UNIVERSITAS TERBUKA
Fakultas: FHISIP
Tugas : 1
NIM : 043425602
1. Menurut studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan pembangunan, terdapat 5
(lima) unsur yang harus dikembangkan supaya hukum tidak menghambat ekonomi, yaitu
stabilitas (stability), prediksi (predictability), keadilan (fairness), pendidikan (education),
dan pengembangan khusus dari sarjana hukum (the special development abilities of the
lawyer)
A. Stabilitas
Sebagaimana pendapat Erman Radjagukguk, maka hukum investasi sebagai bagian
dari hukum ekonomi harus mempunyai fungsi stabilitas, yaitu bagaimana potensi
hukum dapat menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang
saling bersaing dalam masyarakat.
Perubahan yang sering dapat menyebabkan ketidakpastian dan menghambat kegiatan
ekonomi jangka panjang.
B. Prediksi
Kebutuhan fungsi hukum investasi untuk dapat meramalkan (predictability) adalah
mensyaratkan bahwa hukum tersebut mendatangkan kepastian. Investor akan datang
ke suatu negara bila ia yakin hukum akan melindungi investasi yang dilakukan.
Kepastian hukum akan memberikan jaminan kepada investor untuk memperoleh
economic oppurtunity sehingga investasi mampu memberikan keuntungan secara
ekonomis bagi investor.
C. Keadilan
Aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama bagi semua orang atau pihak
di depan hukum, perlakuan yang sama kepada semua orang dan adanya standar pola
perilaku pemerintah, oleh banyak ahli ditekankan sebagai syarat untuk berjalannya
menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan
D. Pendidikan
Hukum itu setelah mempunyai keabsahan agar mempunyai kemampuan maka harus
dibuat pendidikannya (education) dan selanjutnya disosialisasikan
E. Pengembangan khusus dari sarjana hukum
Agar hukum mampu memainkan peranannya untuk memberikan kepastian hukum
pada pelaku ekonomi, maka pemerintah bertanggung jawab menjadikan hukum
berwibawa dengan jalan merespon dan menindaklanjuti pendapat dan keinginan
pakar-pakar ekonomidi atas. Sehingga ke depan diharapkan hukum mampu
memainkan peranannya sebagai faktor pemandu, pembimbing, dan menciptakan
iklim kondusif pada bidang ekonomi.
2. UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk definisi
mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955
pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu ketentuan
dalam atau berdasarkan Ps. 1 sub 1e, Ps. 1 sub 2e, dan Ps. 1 sub 3e.
Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun
1955 adalah tindak pidana ekonomi. Hukum Pidana Ekonomi diatur dalam UU Drt. No. 7
Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Tujuan dibentuknya UU Drt. No 7 Tahun 1955 adalah untuk mengadakan
kesatuan dalam peraturan perundang-undangan tentang pengusutan, penuntutan dan
peradilan mengenai tindak pidana ekonomi.
UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan
hukum pidana ekonomi, oleh karena UU Drt. No. 7 Tahun1955 mengatur secara
tersendiri perumusan Hukum Pidana Formal disamping adanya ketentuan Hukum Pidana
Formal dalam Hukum Pidana Umum (Hukum Acara Pidana). Selain itu juga terdapat
penyimpangan terhadapketentuan Hukum Pidana Materiil (KUHP).
UU tersebut sudah disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 1961 melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 36 Tahun 1960 tentang
Perubahan Dan Tambahan Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang
Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
3.
A. Hukuman Pidana Pokok Berupa Denda Yang Tidak Maksimal
Pertanyaan mendasar adalah sejauh mana efektivitas ketentuan mengenai ancaman
pidana terhadap korporasi dalam praktik?
Pertanyaan ini menjadi penting karena mengingat kejahatan korupsi yang
dilakukan korporasi dewasa ini begitu merajalela dan sistematis sehingga mengakibatkan
kerugian negara yang begitu besar baik dalam bidang bisnis perdagangan, perbankan,
pertanian, sumber daya alam dan pengadaan barang dan jasa.
Apabila menilik lebih jauh pidana pengganti denda apabila tidak dibayar berdasarkan
pasal 30 KUHP yaitu :
Ayat (2) : jika denda tidak dibayar lalu diganti dengan kurungan.
Ayat (3) : lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling lama
enam bulan.
Ayat (5) : jika ada pemberatan denda, disebabkan karena perbarengan atau pengulangan,
atau karena ketentuan pasal 52 dan 52 a. maka kurungan pengganti paling lama dapat
menjadi delapan bulan.
Ayat (6) : kurungan pengganti sekali kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Walaupun pidana pokok berupa denda tidak dibayar dapat dikenakan hukuman
penggganti berupa pidana kurungan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, namun
penerapan pidana kurungan tersebut tidak dapat diterapkan kepada korporasi. Kalaupun
hukuman pengganti tersebut dibebankan kepada pengurus, maka akan timbul
permasalahan yaitu siapa dari pengurus korporasi yang harus menjalankan pidana
kurungan tersebut ? sebab permasalahan tersebut tidak diatur dalam undang-undang
tindak pidana korupsi.
Hal ini tentunya menjadi kendala bagi jaksa dalam melakukan eksekusi putusan
pengadilan,maka hal tersebut merupakan suatu kelemahan dalam semangat
pemberantasan korupsi yang dewasa ini korupsi di Indonesia sedang merajalela dalam
segala tatanan kehidupan bangsa, sehingga sudah dapat dibayangkan sanksi pidana
tersebut tidak memberikan efek jera terhadap korposasi yang melakukan korupsi.
Oleh karenanya sanksi pidana denda menurut penilaian penulis tidak efektif
menjerat dan memberi efek jera bagi korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut Hakim Agung Surya Jaya “Dalam perkara korupsi, penjatuhan pidana denda
bagi korporasi tidak efektif. Sanksi pidana denda hanya menjadi macam kertas saja,”