KEJAHATAN EKONOMI
Di Susun Oleh:
Nim : 202021413
Kelas: R6H
Dengan mengucapakan puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya, sehingga Penulisan makalah ini dapat dapat saya selesaikan sebagai salah satu bentuk
TugasDengan Pokok Pembahasan yang dibahas adalah ‘’JENIS-JENIS TINDAK PIDANA DALAM
KEJAHATAN EKONOMI” Penulisan MAKALAH ini disusun guna memenuhi persyaratan sesuai
persyaratan penilaian untuk tiket mengikuti Proses UJIANN TENGAH SEMESTER dari Dosen Mata
Kuliah Kejahatan Ekonomi. Guna untuk menambah wawasan tentang Pengertian, Ruang lingkup serta Jenis tindak
pidana dan juga bentuk pemidanaan dari beberapa tindak pidana ekonomi yang diuraikan. Disamping itu juga dapat
diharapkan dengan adanya penulisan Makalah ini kiranya dapat memberikan bekal berkaitan dengan ilmu Pengetahuan
bagi yang membaca.
DAFTAR ISI
Daftar Isi........................................................................................................
Bab I pendahuluan.........................................................................................
2.1 Pengertian dan ruang lingkup, jenis-jenis serta bentuk pemidanaan dari tindak
pidana perbankan, tindak pidana asuransi, tindak pidana pasar modal, tindak
pencucian
uang………………………………………………………………………
Kesimpulan ...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
Perbuatan – perbuatan yang diuraikan sebagai perbuatan tindak pidana dalam arti sempit
penentuannya tergantung dalam arah politik pemerintah. Hal itu berarti bisa berubah – ubah sesuai dengan
perkembangan yang terjadi secara nasional, regional dan internasional sehingga wajar apabila peraturan –
peraturan di bidang ekonomi sering berubah – ubah dan sulit untuk mengindenfikasikan peraturan –
peraturan mana yang masih berlaku atau peraturan mana yang sudah tidak berlaku.
Selanjutnya Pengertian Tindak Pidana Ekonomi secara luas Tindak pidana ekonomi dalam arti luas
adalah perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan - ketentuan dari peraturan - perbuatan di bidang ekonomi.
pelanggaran diancam dgn hukuman yang tidak termuat dalam undang - undang darurat No. 7 Tahun
1955[4]. Dalam arti luas, TPE didefinisikan sebagai semua tindak pidana diluar UU darurat no 7 tahun 1955
yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat berpengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian
dan keuangan negara yang sehat.
1.2.Rumusan Masalah
Dari uraian penjelasan diatas maka dapat dirumuskan beberapa objek pembahasan yaitu sebagai
berikut:
a. Menjelaskan terkait dengan Pengertian, ruang lingkup dari jenis-jenis tindak pidana dalam
Kejahatan Ekonomi serta bentuk pemidanaan dari tindak Pidana tersebut!
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian, Ruang Lingkup dan bentuk Pemidanaan dari Jenis-jenis Tindak Pidana Ekonomi
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Korporasi merujuk kepada Pasal 10 Buku I Ban II KUH
Pidana, dimana jenis pidana diklasifikasikan dua jenis yakni pidana pokok dan pidana tambahan,
yang terdiri dari:
• Pidana mati.
• Pidana penjara.
• Pidana kurungan
• Pidana denda.
• Pidana tutupan.
Pada dasarnya korporasi merupakan suatu entitas hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban
yang kegiatannya dikendalikan oleh pengurus dan pengurus tersebut berwenang mewakili korporasi
di dalam dan di luar pengadilan. Berdasarkan konsep itu, jika dikorelasikan dengan siapa yang dapat
dihadapkan ke persidangan di pengadilan dalam hal korporasi melakukan tindak pidana maka
menurut penulis adalah korporasi itu sendiri ataupun pengurus dalam kapasitasnya mewakili
korporasi. Jika hal ini dihubungkan dengan pasal 20 ayat (1) di atas, maka menurut penulis hanya
ada dua alternatif yang dapat dituntut dan dimintakan pertanggungjawabannya, yaitu korporasinya
atau pengurus sebagai representasi dari korporasi.
Atas dasar hal tersebut, maka terkait dengan adanya alternatif yang memungkinkan pengurus dan
korporasinya dituntut dan dijatuhi pidana secara bersamaan di dalam Pasal 20 ayat (1) merupakan
suatu hal tidak tepat, karena sebagaimana yang telah dijelaskan di atas pengurus adalah representasi
dari korporasi sehingga jika pengurus didakwa atas tindak korupsi yang dilakukan oleh atau atas
nama korporasi, maka pengurus tersebut harus dipandang sebagai korporasi bukan pengurus selaku
individu, sehingga dengan demikian menurut penulis akan sangat janggal apabila pengurus dan
korporasi dituntut dan dimintakan pertanggungjawaban secara bersamaan terkait dengan satu tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh atas nama korporasi.
Sehubungan dengan pembahasan di atas, jika dikaitkan dengan rumusan pasal 2 ayat (1) UU
PTPK, maka menurut penulis jika suatu korporasi dikatakan melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, maka yang dapat dihadapkan ke
persidangan sebagai terdakwa adalah korporasi atau pengurus mewakili korporasi.
Asuransi merupakan salah satu dari buah peradaban manusia dan merupakan suatu hasil evaluasi
kebutuhan manusia yang sangat hakiki ialah kebutuhan akan rasa aman dan terlindung terhadap
kemungkinan menderita kerugian. Asuransi merupakan buah pikiran dan akal budi manusia untuk
mencapai suatu keadaan yang dapat memenuhi kebutuhannya, terutama sekali untuk
kebutuhankebutuhannya yang hakiki sifatnya antara lain rasa aman dan terlindung seperti yang
sudah disebutkan di atas.
Sejarah asuransi pada hakikatnya bukan merupakan suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan
sebuah bagian dari sejarah perdagangan dan pelayaran pada umumnya. Cikal bakal dari asuransi
dimulai pada saat para pedagang yang merasakan adanya ketidakpastian terhadap keselamatan
kegiatan perdagangan mereka, dan itu terjadi kurang lebih 4000 tahun sebelum Masehi dan dirasakan
oleh para pedagang di wilayah sungai Tigris. Para pedagang merasakan ketidakpastian yang ada
didukung oleh berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya rasa tidak aman merupakan hal yang
perlu dihindari: Untuk mendapatkan rasa aman maka para pedagang kemudian melakukan suatu
kegiatan dengan mempergunakan mekanisme ‘semacam’ asuransi.
Beberapa tindak pidana yang terkait dengan usaha perasuransian adalah yang terdapat dalam Pasal
381 dan Pasal 382 KUHP tentang “Perbuatan Curang\ Pasal 381 KUHP merupakan tindak pidana
penipuan asuransi yang dilihat dari segi waktu terjadinya pada saat dilakukan perjanjian asuransi,
dengan demikian merupakan “tindak pidana penipuan untuk adanya suatu pengikatan antara
penanggung dan tertanggung’ atau ‘tindak pidana penipuan persetujuan asuransi’, sedangkan Pasal
KUHP adalah penipuan asuransi yang dilihat dari segi waktu terjadi klaim asuransi atau disebut
dengan ‘pidana penipuan klaim asuransi’. Kedua jenis penipuan asuransi ini akan dibahas berikut ini.
Unsur ‘dengan jalan tipu muslihat’ adalah unsur yang sangat menentukan dalam
setiap tindak pidana penipuan. Mengingat unsur ini menentukan cara terjadnya suatu
tindak pidana penipuan. Dalam penipuan pada umumnya (Pasal 378 KUHP), perkataan
‘dengan jalan tipu muslihat’ disandingkan dengan perkataan ‘rangkaian kebohongan’.
Pembuktian atas pemenuhan unsur ‘sehingga disetujui perjanjian yang tentu tidak
akan disetujuinya atau setidaktidaknya apabila disetujui tidak dengan syarat-syarat yang
demikian’ sangat ditentukan dari telah dipenuhinya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
dan Pasal 257 KUHD. Karena perjanjian asuransi dilihat dari bentuknya adalah
merupakan ‘perjanjian konsensual’, sehingga perjanjian ini sudah terbentuk sejak adanya
kata sepakat (Pasal 1320 KUHPerdata). Yang berkenaan dengan perjanjian asuransi
secara khusus terdapat dalam Pasal 257 KUHD yang mengatakan bahwa: ‘perjanjian
pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup; hak-hak dan kewajibankewajiban
bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan
sebelum polisnya ditandatangani’.
Unsur terakhir “jika diketahui keadaan sebenarnya’, dalam hal ini jika tipu muslihat
yang dilakukan oleh calon tertanggung diketahui sejak awal, maka perjanjian asuransi
tersebut tidak akan pernah ditutup. Unsur ini merupakan petunjuk UU bahwa tindak
pidana ini bam sempurna dilakukan jika telah terjadi penutupan asuransi, yang
sebenarnya terdorong oleh tipu muslihat tertanggung. Dengan kata lain, tindak pidana ini
selesai secara sempurna jika telah terjadi perjanjian asuransi.
Bila melihat ketentuan di atas, ketentuan tersebut menegaskan bahwa tindak pidana
dalam UU Asuransi, bukan hanya dapat diterapkan terhadap orang perseorangan dalam
kapasitas pribadinya (no. 1), ataupun orang perseorangan yang bertindak untuk dan atas
nama badan usaha perasuransian (no. 3, 4 dan 5), tetapi juga terhadap badan usaha
perasuransian atau koorporasi (no. 2).
Untuk jenis tindak pidana perpajakan sendiri ada banyak dan cukup beragam.
Pertama tindakan Wajib Pajakyang tidak membayarkan pajak terutang. Hal ini sudah
masuk dalam kategori tindak pidana dalam bidang perpajakan. Ada juga Wajib Pajak yang
sengaja tidak mau membuat laporan atau tidak menyerahkan SPT, bahkan melakukan
manipulasi data laporan.
• Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT atau laporan pajak tahunan.
• Wajib pajak yang menyampaikan laporan pajak tahunan atau SPT tetapi isinya tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya ataupun tidak lengkap. Juga bagi Wajib Pajak yang
melampirkan keterangan yang tidak benar seh ingga dari perbuatannya tersebut
akhirnya menimbulkan kerugian terhadap negara.
Untuk kedua golongan tersebut aka nada sanski pidana kurungan paling tidak satu tahun dan bisa
juga berupa denda paling banyak sejumlah dua kali lipat dari pajak terutang yang kurang atau tidak
dibayarkan. Namun ada perubahan sanksi dimana pidana kurungan lamanya mulai dari 3 bulan dan
maksimal 1 tahun. Sementara untuk sanksi pidana berupa denda besarnya pun hanya 1 kali jumlah pajak
terutang yang tidak dibayar atau kurang.
Dalam ketentuan tindak pidana pajak yang akan mendapatkan sanksi adalah orang-
orang yang sengaja melakukan hal berikut:
• Tidak mendaftarkan diri ataupun penyalahgunaan hingga menggunakan tanpa hak NPWP
atau Pengukuhan atas PKP atau Pengusaha Kena Pajak.
• Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau masuk dalam kealpaan
• Menyampaikan SPT tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya ataupun keterangan yang tidak
lengkap maupun tidak sesuai dengan fakta atau kondisi
• Menolak untuk diperiksa atau tidak memenuhi panggilan pemeriksaan pajak
• Memperlihatkan pembukuan, dokumen ataupun pencatatan lain yang palsu atau tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya
• Tidak membuat laporan atau pembukuan, tidak meminjamkan ataupun tidak memperlihatkan
catatan, buku, dokumen lainnya ketika ada pemeriksaan pajak
• Tidak membayar pajak yang telah dipungut atau dipotong yang pada akhirnya menimbulkan
kerugian pada Negara
Untuk orang yang sudah melakukan hal-hal tersebut maka sudah bisa dikenakan pidana
kurungan maksimal 6 bulan dengan denda paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang.
Namun sanksi tersebut tentu bisa diubah menjadi lebih lama atau lebih tinggi dendanya
karena dilihat seberapa besar kerugian yang ditimbulkan serta seberapa berat jenis
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak terkait.
Pasar Modal Indonesia telah mempunyai perangkat hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaanya, tetapi hal ini belum cukup memadai karena
masih terdapat praktik-praktik yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Meskipun Otoritas Jasa Keuangan sebagai institusi yang bertindak sebagai penyelenggara/
pelaksana, pembina dan pengawas terhadap Pasar Modal Indonesia senantiasa membuat peraturan-
peraturan yang dapat memenuhi kebutuhan Pasar Modal, namun perangkat hukum yang telah
memadai belum merupakan jaminan adanya perlindungan dan kepastian hukum, karena perlindungan
dan kepastian hukum, karena perlindungan dan kepastian hukum akan tercapai apabila perangkat
hukum yang telah dibuat akan ditegakkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Apabila hal tersebut tidak
dilakukan, maka tidaklah mungkin Pasar Modal dapat memberikan dukungan maksimal bagi
pembangunan perekonomian nasional pada umumnya dan pembangunan sektor keuangan khususnya.
• Melawan hukum
• Memakai nama palsu atau martabat palsu.
• Tipu muslihat.
• Rangkaian kebohongan.
• Membujuk orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang padanya, atau supaya
member utang atau menghapuskan piutang
b. Manipulasi Pasar
. Manipulasi Pasar Yang dimaksud dalam manipulasi pasar menurut pasal 91 UUPM
adalah tindakan oleh setiap pihak, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan
untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan,
keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek. Transaksi yang dapat menimbulkan
gambaran semu antara lain transaksi efek yang tidak mengakibatkan perubahan
kepemilikan atau penawaran jual atau beli efek pada harga tertentu dimana pihak tersebut
juga telah bersekongkol dengan pihak lain yang melakukan penewaran beli atau jual efek
yang sama pada harga yang kurang lebih sama. Motif dari manipulasi pasar antara lain
adalah untuk meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan harga efek. Beberapa pola
manipulasi adalah :
• Menyebarluaskan informasi palsu mengenai emiten dengan tujuan untuk
mempengaruhi harga efek perusahaan yang dimaksud dibursa efek (false
information). Misalnya suatu pihak menyebarkan rumor bahwa emiten A akan
segera dilikuidasi, pasar merespon yang menyebabkan harga efeknya jatuh tajam.
• Menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau informasi yang tidak lengkap
(misinformation). Misalnya suatu pihak menyebarkan rumor bahwa emiten A tidak
termasuk perusahaan yang akan dilikuidasi oleh pemerintah, padahal emiten A
termasuk yang diambil alih oleh pemerintah.
Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana
hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang
ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Rahardio, penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan. Secara konsepsional, inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaedah-kaedah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut
dikatakannya keberhasilan penegakan hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai
arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-
faktor ini mempunyai yang saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur dari
effektivitas penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. hukum (undang-undang).
2. penegak hukum, yakni fihak-fihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan.
5. dan faktor kebudayaan, yakni sebagai. hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Keberadaan pasar modal Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan
perekonomian Indonesia, sehingga diatur dalam satu aturan khusus, yaitu Undang-Undang No.8 tahun 1995
tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) dan berbagai aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengaturan
khusus ini bertujuan agar aktivitas di Pasar Modal dapat berjalan konsisten dan taat asas bagi semua pelaku
di pasar modal dan tidak terjadi pelanggaran dan tindak pidana, sehingga apa yang menjadi tujuan pendirian
pasar modal dapat terwujud. Selama 32 tahun terakhir, keberadaan pasar modal Indonesia terus meningkat,
dengan mulai banyaknya pelaku bisnis berinvestasi di Pasar Modal. Sayang sejalan dengan perkembangan
pasar modal tersebut, perbuatan pelanggaran dan tindak pidana pasar modal juga ikut semakin meningkat.
Istilah atau pengertian hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen merupakan
istilah yang sering disamaartikan. Ada yang mengatakan hukum konsumen adalah juga hukum
perlindungan konsumen. Namun ada pula yang membedakannya, dengan mengatakan bahwa baik
mengenai substansi maupun mengenai penekanan luas lingkupnya adalah berbeda satu sama lain.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.
Pasal 61 menyatakan:
1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,
ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa bentuk-bentuk tindak pidana terhadap konsumen
dapat terjadi apabila pelaku usaha melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan dijelaskan pada Bab IV mengenai Perbuatan
Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha. Bab V Ketentuan Pencantuman Klausula Baku.
Pasal 63:
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:
Dalam dunia perniagaan, masalah angkutan memegang peranan yang sangat penting, tidak
hanya sebagai alat fisik yang harus membawa barang yang diperdagangkan dari produsen ke
konsumen, tetapi juga sebagai penentu dari harga barang–barang tersebut.
Penegakan hukum terhadap pelaku pengangkutan barang berbahaya telah banyak dilakukan
oleh aparat penegak hukum dan telah mendapat putusan hakim disidang pengadilan. Penegakan
hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal tehadap oknum-oknum pelaku pengangkutan
barang berbahaya, tapi dalam kenyataan nya semakin intensif dilakukan penegakan hokum semakin
meningkat pula pelaku-pelaku pengakutan barang barang berbahaya yang tidak sesuai prosedur.
Produk atau bahan berbahaya (dangerous goods) adalah benda padat, gas atau cair yang dapat
membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa dan harta benda serta keselamatan transportasi, maupun
penyimpanan. Karena tingkat bahaya yang ditimbulkan, maka ksematan yang digunakan untuk
produk-produk tersebut harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang berlaku secara nasional
maupun internasional.
4. bahan padat yang mudah terbakar, bahan yang secara spontan mudah terbakar, bahan yang
bilamana basah akan berbahaya;
6. bahan beracun cair atau padat dan bahan yang membuat orang terinfeksi penyakit karena
virus; 7. barang yang memiliki radiasi;
8. adalah barang korosif yang mampu menghancurkan logam atau merusak jaringan kulit, dan
yang terakhir;
9. bahan yang mengandung potensi bahaya yang lain di luar klasifikasi pertama hingga
kedelapan.
Pengertian tindak pidana pencucian uang sebagai mana yang dijelaskan dalam UU No. 8 Tahun
2010 Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah
lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
Pencucian Uang.
3. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau
menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.
4. Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran,
penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau
penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan
uang.
5. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
b. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
c. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak
Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana.
6. Transaksi Keuangan Tunai adalah Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan
uang kertas dan/atau uang logam.
7. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai
dugaan adanya tindak pidana.
8. Hasil Pemeriksaan adalah penilaian akhir dari seluruh proses identifikasi masalah, analisis dan
evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan
profesional yang disampaikan kepada penyidik.
9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi.
10. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
11. Pihak Pelapor adalah Setiap Orang yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan
laporan kepada PPATK.
12. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa Pihak Pelapor.
13. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.
14. Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang
sebagai penentu kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan
Korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
15. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan
tindak pidana Pencucian Uang.
16. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar,
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas
atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
17. Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan,
pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor.
18. Pengawasan Kepatuhan adalah serangkaian kegiatan Lembaga Pengawas dan Pengatur serta
PPATK untuk memastikan kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban pelaporan menurut Undang-
Undang ini dengan mengeluarkan ketentuan atau pedoman pelaporan, melakukan audit
kepatuhan, memantau kewajiban pelaporan, dan mengenakan sanksi.
Pasal 2 (1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. narkotika;
d. psikotropika;
e. penyelundupan tenaga kerja;
f. penyelundupan migran;
g. di bidang perbankan;
h. di bidang pasar modal;
i. di bidang perasuransian;
j. kepabeanan;
k. cukai;
l. perdagangan orang;
m. perdagangan senjata gelap;
n. terorisme;
o. penculikan;
p. pencurian;
q. penggelapan;
r. penipuan;
s. pemalsuan uang;
t. perjudian;
u. prostitusi;
v. di bidang perpajakan;
w. di bidang kehutanan;
x. di bidang lingkungan hidup;
y. di bidang kelautan dan perikanan; atau
z. tindak pidana lain
Yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan
secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris
perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Untuk bentuk pemidanaannya sendiri terdiri atas pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana hal ini di atur dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 UU No.8 Tahun 2010 yang berbunyi
sebagi berikut :
Pasal 4 Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 5 (1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
BAB III
PENUTUP
1.3. KESIMPULAN
Dari semua penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa, Istilah pertama menunjuk
kepada kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan atau aktivitas ekonomi (dalam arti luas).
Istilah keduamenunjuk kepada kejahatan konvesional yang mencari keuntunganyang bersifat
ekonomis misalnya pencurian, perampokan, pencopetan, pemalsuan atau penipuan. Yang mana
secara umum Tindak Pidana Ekonomi telah diatur dalam UU drt. No. 7 Tahun 1955 namun UU
tersebut juga memberikan kesempatan kepada generasi selanjutnya untuk menjabarkan norma dan
pengertian perekonomian Negara yang berkaitan dengan perekonomian secara umum serta bersifat
merugikan Negara. Dengan demikian maka lahirlah aturan-aturan yang berkaitan dengan
perekonomian negara seperti:
1. UU No. 3 Tahun 1971 yang telah diganti dengan UU no 31 Tahun 1999 dandirubah dengan
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan indak PidanaKorupsi.
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun2000, Undang-undang
Nomor 10 tahun 1995 dan Undang-undang Nomor 11Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
3. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
4. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan TidakSehat.
5. UU. No. 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
DAFTAR PUSTAKA
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum
Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, halaman 75.
Muladi, Barda Nawawi Arief, Teoriteori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998, halaman 90.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung:
Citra Aditya, 2001, halaman 162.
Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum Vol 6-1999. I. S. Susanto,
Kriminologi, Cet. Pertama, Genta Publishing, Yokyakarta, 2011. Kristian, Hukum Pidana Korporasi,
Kebijakan Integral (Integral Policy), Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,
Nuansa Aulia, Bandung, 2014.
Flora Dianti, Jika Mahkamah Konstitusi Menafsir Tindak Pidana Korupsi : Analisis Putusan Judicial Review
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 2, Mei 2006,
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006.
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Peranggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,
CV Utomo, Bandung, 2004.
Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sekolah Tinggi
Hukum, Bandung, 1991.
Hartono. Sri Rejeki., Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1997.
Huda. Chairul dan Lukman Hakim., Tindak Pidana Dalam Bisnis Asuransi, Lembaga Pemberdayaan Hukum
Indonesia, Jakarta, 2006.
FDIC DOS Manual of Exam Policies Bank Fraud and Insider Abuse, Section 9.3. Jerry L. Turner, Theodore
J. Mock, dan Rajendra P. Srivasta, “An Analysiof the Fraud Triangle”, Research Roundtable 3, The
University of Memphisincorporated with University of Southern CaliforniadanUniversity of Kansas,
2003.
Jonathan R. Macey and Geoffrey P. Miller. “Bank Failures, Risk Monitoring, and the arket for Bank
Control”. Columbia Law Review (October 1988).
Soekardi Husodo. “Faktor-faktor Pemicu Terjadinya Fraud Perbankan”, Makalah. Disampaikan pada
Seminar Nasional Infobank dalaMembangun Komitmen Pengurus dan Manajemen Bank
dalamPenerapan Strategi antifraud, Le Meridien Hotel, 7 Maret 2012.
Abdul, Manan,. Aspek Hukum Dalam Penyelenggaraan Investasi Dipasar Modal Syariah Indonesia,.
Kencana, Jakarta, 2009. Anuraga, Pandji dan Piji Pakarti, Pengantar Pasar Modal, Edisi Revisi, Rineka
Cipta, Jakarta, 2001.
Anwar, Jusuf,. Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan Dan Investasi,. PT. Alumni, Bandung, 2008. Asril,
Sitompul,. Pasar Modal: Penawaran Umum dan Permasalahannya. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004.
Hamud, M. Balfas, “Hukum Pasar Modal Indonesia”, Tata Nusa, Jakarta 2006.
Indra Rahadiyan,. Hukum Pasar Modal di Indonesia,. UII Press, Yogyakarta, 2014
Indra Safitri,. Catatan Hukum Pasar Modal,. Go global Book, Jakarta, 1998.
Irsan Nasarudin, M. dan Indra Surya,. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004.