Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KEJAHATAN EKONOMI

‘’JENIS-JENIS TINDAK PIDANA DALAM KEJAHATAN EKONOMI”

Di Susun Oleh:

Nama: Akbar Priyanto Fidmatan

Nim : 202021413

Kelas: R6H

Dosen Pengampu: Harly. C. J. Salmon,SH., MH

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapakan puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya, sehingga Penulisan makalah ini dapat dapat saya selesaikan sebagai salah satu bentuk
TugasDengan Pokok Pembahasan yang dibahas adalah ‘’JENIS-JENIS TINDAK PIDANA DALAM
KEJAHATAN EKONOMI” Penulisan MAKALAH ini disusun guna memenuhi persyaratan sesuai
persyaratan penilaian untuk tiket mengikuti Proses UJIANN TENGAH SEMESTER dari Dosen Mata
Kuliah Kejahatan Ekonomi. Guna untuk menambah wawasan tentang Pengertian, Ruang lingkup serta Jenis tindak
pidana dan juga bentuk pemidanaan dari beberapa tindak pidana ekonomi yang diuraikan. Disamping itu juga dapat
diharapkan dengan adanya penulisan Makalah ini kiranya dapat memberikan bekal berkaitan dengan ilmu Pengetahuan
bagi yang membaca.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..............................................................................................

Daftar Isi........................................................................................................

Bab I pendahuluan.........................................................................................

1.1 Latar Belakang ..................................................................................

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................

Bab II Pembahasan ........................................................................................

2.1 Pengertian dan ruang lingkup, jenis-jenis serta bentuk pemidanaan dari tindak

pidana perbankan, tindak pidana asuransi, tindak pidana pasar modal, tindak

pidana perlindungan konsumen, tindak korporasi, tindak pidana perpajakan,

tindak pidana perdagangan, Tindak Pidana Perniagaan dan tindak pidana

pencucian

uang………………………………………………………………………

Bab III penutup .............................................................................................

Kesimpulan ...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengertian Tindak Pidana Ekonomi
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa yang dimaksudkan dengan Tindak pidana ekonomi (TPE)
dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai tindak pidana yang secara yuridis diatur dalam UU Darurat
nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan tindak pidana ekonomi. Tindak pidana
di bidang ekonomi dapat diartikan perbuatan pelanggaran terhadap setiap hak, kewajiban / keharusan atau
larangan sebagai ketentuan – ketentuan dari peraturan – peraturan hukum yang memuat kebijaksanaan
negara di bidang ekonomi untuk mencapai tujuan nasional.
Adapaun Pengertian Tindak Pidana Ekonomi secara sempit yang mana Menurut arti sempit tindak
pidana ekonomi, ruang lingkup dari tindak pidana ekonomi terbatas pada perbuatan – perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana oleh pasal 1 undang - undang undang No. 1 Tahun 1961 yang dapat terbagi
atas 3 macam yaitu:
1. Tindak pidana ekonomi berdasarkan pasal 1 sub 1e Undang – undang yang mengatur beberapa sektor di
bidang ekonomi sebagai sumber hukum pidana ekonomi, menyatakan ketentuan pidana
a) pelanggaran di bidang devisa
b) pelanggaran terhadap prosedur impor, ekspor
c) pelanggaran izin usahapelanggaran pelayaran nahkoda
d) pelanggaran ketentuan ekspor kapuk,
e) pelanggaran ketentuan ekspor minyak, f) pelanggaran ketentuan ekspor ubi – ubian
2. tindak pidana ekonomi berdasarkan pasal 1 sub 2 e. Ditetapkan beberapa perbuatan pelanggaran
terhadap ketentuan tindak pidana sebagai tindak pidana ekonomi
a. pasal 26, dengan sengaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut berdasarkan suatu ketentuan
dalam undang – undang
b. pasal 32, dengan sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan :
1) suatu hukuman tambahan sebagai tercantum dalam pasal 7 sub s, b, dan c
2) suatu tindakan tata tertib sebagai tercantum dalam pasal 8
3) suatu peraturan termaksud dalam pasal 10
4) suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari hukuman tambahan / t indakan tata
tertib sementara seperti tersebut diatas.

3. Pelanggaran sesuatu ketentuan :

a) Dalam undang – undang lain


b) Berdasarkan undang – undang lain.

Perbuatan – perbuatan yang diuraikan sebagai perbuatan tindak pidana dalam arti sempit
penentuannya tergantung dalam arah politik pemerintah. Hal itu berarti bisa berubah – ubah sesuai dengan
perkembangan yang terjadi secara nasional, regional dan internasional sehingga wajar apabila peraturan –
peraturan di bidang ekonomi sering berubah – ubah dan sulit untuk mengindenfikasikan peraturan –
peraturan mana yang masih berlaku atau peraturan mana yang sudah tidak berlaku.

Selanjutnya Pengertian Tindak Pidana Ekonomi secara luas Tindak pidana ekonomi dalam arti luas
adalah perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan - ketentuan dari peraturan - perbuatan di bidang ekonomi.
pelanggaran diancam dgn hukuman yang tidak termuat dalam undang - undang darurat No. 7 Tahun
1955[4]. Dalam arti luas, TPE didefinisikan sebagai semua tindak pidana diluar UU darurat no 7 tahun 1955
yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat berpengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian
dan keuangan negara yang sehat.

1.2.Rumusan Masalah
Dari uraian penjelasan diatas maka dapat dirumuskan beberapa objek pembahasan yaitu sebagai
berikut:
a. Menjelaskan terkait dengan Pengertian, ruang lingkup dari jenis-jenis tindak pidana dalam
Kejahatan Ekonomi serta bentuk pemidanaan dari tindak Pidana tersebut!
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian, Ruang Lingkup dan bentuk Pemidanaan dari Jenis-jenis Tindak Pidana Ekonomi

1. Tindak Pidana Korporasi


Kejahatan korporasi(corporate crime) merupakan salah satu wacana yangtimbul dengan semakin
majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporatecrime bukanlah barang baru, melainkan barang
lama yang senantiasa bergan ti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman
sertakemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta
kompleksitasnya. Mengenai korporasi di kalangan para sarjana berkembang 2 pendapat. Pendapat pertama
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang sudah berbadan
hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat diperganggungjawab-kan secara pidana adalah korporasi
yang sudah berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah jelas susunan
pengurus serta sejauh mana hak kewajiban dalam korporasi tersebut. Pendapat lain adalah yang bersifat luas,
di mana dikatakan bahwa korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik
dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Konsekuensi korporasi menjadi subjek hukum adalah bahwa korporasi dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, oleh karenanya tentu korporasi dapat melakukan kejahatan yang bisa
dikenai perumusan pasal. Kejahatan korporasi selalu berkaitan dengan usaha perdagangan, misalnya
penyuapan, manipulasi pajak, persaingan tidak sehat, informasi menyesatkan, penentuan harga, produk yang
salah, polusi lingkungan dan lain-lain. Oleh karena korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
maka penentuan pidananya dapat berupa pidana denda, suatu tindakan memulihkan keadaan seperti sebelum
adanya kerusakan oleh suatu usaha, penutupan perusahaan dan ganti kerugian. Mengenai ganti kerugian ini
adalah ganti kerugian yang berbeda dengan ganti kerugian hukum perdata tetapi merupakan ganti kerugian
sebagai salah satu bentuk pidana. Penjatuhan ganti kerugian pada korporasi dapat berupa ganti kerugian
kepada korban dan juga dapat merupakan ganti kerusakan yang telah ditimbulkan.
- Bentuk Pemidanaan

Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Korporasi merujuk kepada Pasal 10 Buku I Ban II KUH
Pidana, dimana jenis pidana diklasifikasikan dua jenis yakni pidana pokok dan pidana tambahan,
yang terdiri dari:

Pidana pokok terdiri dari

• Pidana mati.
• Pidana penjara.
• Pidana kurungan
• Pidana denda.
• Pidana tutupan.

Pidana tambahan terdiri dari:

• Pencabutan hak-hak tertentu.


• Perampasan benda-benda tertentu.
• Pengumuman putusan hakim.

• Pertanggungjawaban Pidana Korporasi


Membahas masalah pertanggungjawaban pidana korporasi tentu tidak bisa dilepaskan dari tindak pidana.
Dalam ilmu hukum pidana terdapat dua aliran yang membahas antara tindak pidana dengan
pertanggungjawaban pidana. Aliran pertama adalah aliran monoistis yang memandang bahwa di dalam
tindak pidana terkandung juga pertanggungjawaban. Salah satu penganut aliran ini adalah Simons.
Simons merumuskan tindak pidana (strafbaar feit) dalam pengertian “een strafbaar gestelde,
onrechtmatige met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaat persoon”, yang
unsurnya adalah:
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3. Melawan hukum (onrechmatig);
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person);

Pada dasarnya korporasi merupakan suatu entitas hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban
yang kegiatannya dikendalikan oleh pengurus dan pengurus tersebut berwenang mewakili korporasi
di dalam dan di luar pengadilan. Berdasarkan konsep itu, jika dikorelasikan dengan siapa yang dapat
dihadapkan ke persidangan di pengadilan dalam hal korporasi melakukan tindak pidana maka
menurut penulis adalah korporasi itu sendiri ataupun pengurus dalam kapasitasnya mewakili
korporasi. Jika hal ini dihubungkan dengan pasal 20 ayat (1) di atas, maka menurut penulis hanya
ada dua alternatif yang dapat dituntut dan dimintakan pertanggungjawabannya, yaitu korporasinya
atau pengurus sebagai representasi dari korporasi.

Atas dasar hal tersebut, maka terkait dengan adanya alternatif yang memungkinkan pengurus dan
korporasinya dituntut dan dijatuhi pidana secara bersamaan di dalam Pasal 20 ayat (1) merupakan
suatu hal tidak tepat, karena sebagaimana yang telah dijelaskan di atas pengurus adalah representasi
dari korporasi sehingga jika pengurus didakwa atas tindak korupsi yang dilakukan oleh atau atas
nama korporasi, maka pengurus tersebut harus dipandang sebagai korporasi bukan pengurus selaku
individu, sehingga dengan demikian menurut penulis akan sangat janggal apabila pengurus dan
korporasi dituntut dan dimintakan pertanggungjawaban secara bersamaan terkait dengan satu tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh atas nama korporasi.

Sehubungan dengan pembahasan di atas, jika dikaitkan dengan rumusan pasal 2 ayat (1) UU
PTPK, maka menurut penulis jika suatu korporasi dikatakan melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, maka yang dapat dihadapkan ke
persidangan sebagai terdakwa adalah korporasi atau pengurus mewakili korporasi.

2. Tindak Pidana Asuransi

Asuransi merupakan salah satu dari buah peradaban manusia dan merupakan suatu hasil evaluasi
kebutuhan manusia yang sangat hakiki ialah kebutuhan akan rasa aman dan terlindung terhadap
kemungkinan menderita kerugian. Asuransi merupakan buah pikiran dan akal budi manusia untuk
mencapai suatu keadaan yang dapat memenuhi kebutuhannya, terutama sekali untuk
kebutuhankebutuhannya yang hakiki sifatnya antara lain rasa aman dan terlindung seperti yang
sudah disebutkan di atas.

Sejarah asuransi pada hakikatnya bukan merupakan suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan
sebuah bagian dari sejarah perdagangan dan pelayaran pada umumnya. Cikal bakal dari asuransi
dimulai pada saat para pedagang yang merasakan adanya ketidakpastian terhadap keselamatan
kegiatan perdagangan mereka, dan itu terjadi kurang lebih 4000 tahun sebelum Masehi dan dirasakan
oleh para pedagang di wilayah sungai Tigris. Para pedagang merasakan ketidakpastian yang ada
didukung oleh berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya rasa tidak aman merupakan hal yang
perlu dihindari: Untuk mendapatkan rasa aman maka para pedagang kemudian melakukan suatu
kegiatan dengan mempergunakan mekanisme ‘semacam’ asuransi.

A. Tindak Pidana Dalam Usaha Perasuransian


Berkenaan dengan kebijakan kriminal terhadap berbagai aktivitas kriminal yang berhubungan
dengan usaha perasuransian, maka dalam usaha perasuransian terdapat beberapa tindak
pidana sebagai berikut:
1. . tindak pidana penipuan asuransi;
2. tindak pidana penggelapan asuransi;
3. Tindak Pidana Penipuan Asuransi

Beberapa tindak pidana yang terkait dengan usaha perasuransian adalah yang terdapat dalam Pasal
381 dan Pasal 382 KUHP tentang “Perbuatan Curang\ Pasal 381 KUHP merupakan tindak pidana
penipuan asuransi yang dilihat dari segi waktu terjadinya pada saat dilakukan perjanjian asuransi,
dengan demikian merupakan “tindak pidana penipuan untuk adanya suatu pengikatan antara
penanggung dan tertanggung’ atau ‘tindak pidana penipuan persetujuan asuransi’, sedangkan Pasal
KUHP adalah penipuan asuransi yang dilihat dari segi waktu terjadi klaim asuransi atau disebut
dengan ‘pidana penipuan klaim asuransi’. Kedua jenis penipuan asuransi ini akan dibahas berikut ini.

a. Tindak Pidana Penipuan Persetujuan Asuransi


Pasal 381 KUHP merupakan salah satu tindak pidana penipuan yang mempunyai sifat
kekhususan (dikualifisir) sehubungan dengan obyeknya. Jika obyek penipuan secara
umum dalam Pasal 381 KUHP adalah ‘barang sesuatu, menghapuskan hutang atau
memberi piutang’, maka dalam hal ini obyek dalam usaha persuransian adalah
‘menyetujui perjanjian asuransi yang tentu tidak akan disetujuinya atau setidaktidaknya
apabila disetujui tidak dengan syarat-syarat demikian, jika diketahui keadaan
sebenarnya’. Dilihat dari obyek tersebut, kriminalisasi atas perbuatan tersebut merupakan
bentuk perlinduingan atas usaha perasuransian dari penyesatan mengenai keadaan-
keadaan yang seharusnya disampaikan secara jujur oleh calon tertanggung. Dengan kata
lain, suatu penipuan asuransi yang dilakukan karena penipuan tertanggung.
Adapun unsur-unsur Pasal 381 KUHP adalah:
1. dengan jalan tipu muslihat;
2. menyesatkan penanggung asuransi mengenai keadaan-keadaan yang berhubungan
dengan pertanggungan;
3. sehingga menyetujui perjanjian yang tentu tidak akan disetujuinya atau setidak-
tidaknya apabila disetujui tidak dengan syarat-syarat yang demikian;
4. jika diketahui keadaan sebenarnya.

Unsur ‘dengan jalan tipu muslihat’ adalah unsur yang sangat menentukan dalam
setiap tindak pidana penipuan. Mengingat unsur ini menentukan cara terjadnya suatu
tindak pidana penipuan. Dalam penipuan pada umumnya (Pasal 378 KUHP), perkataan
‘dengan jalan tipu muslihat’ disandingkan dengan perkataan ‘rangkaian kebohongan’.

Pembuktian atas pemenuhan unsur ‘sehingga disetujui perjanjian yang tentu tidak
akan disetujuinya atau setidaktidaknya apabila disetujui tidak dengan syarat-syarat yang
demikian’ sangat ditentukan dari telah dipenuhinya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
dan Pasal 257 KUHD. Karena perjanjian asuransi dilihat dari bentuknya adalah
merupakan ‘perjanjian konsensual’, sehingga perjanjian ini sudah terbentuk sejak adanya
kata sepakat (Pasal 1320 KUHPerdata). Yang berkenaan dengan perjanjian asuransi
secara khusus terdapat dalam Pasal 257 KUHD yang mengatakan bahwa: ‘perjanjian
pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup; hak-hak dan kewajibankewajiban
bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan
sebelum polisnya ditandatangani’.

Unsur terakhir “jika diketahui keadaan sebenarnya’, dalam hal ini jika tipu muslihat
yang dilakukan oleh calon tertanggung diketahui sejak awal, maka perjanjian asuransi
tersebut tidak akan pernah ditutup. Unsur ini merupakan petunjuk UU bahwa tindak
pidana ini bam sempurna dilakukan jika telah terjadi penutupan asuransi, yang
sebenarnya terdorong oleh tipu muslihat tertanggung. Dengan kata lain, tindak pidana ini
selesai secara sempurna jika telah terjadi perjanjian asuransi.

b. Dasar Hukum dan rumusan Asuransi


Pokok-pokok pengaturan dari asuransi terdapat dalam KUHD, namun dasar hukum
dari asuransi itu sendiri terdapat dalam Pasal 1774 KUHPerdata yang menentukan bahwa
: “Suatu perjanjian untung-untungan 3 Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perasahaan
Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hal-32. 4 Ibid. adalah suatu perbuatan yang
hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak
bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah perjanjian asuransi;
bunga cagak hidup; perjudian dan pertaruhan. Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang”.

c. Pertanggungjawaban Pidana Perusahaan Asuransi


kebijakan legislatif mengenai tindak pidana asuransi, juga memuat ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 372 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan
melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan, diancam paling banyak enam puluh rupiah.”
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Asuransi dilakukan
oleh atau atas nama suatu badan hukum atau badan usaha yang bukan merupakan badan
hukum, maka tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum tersebut atau terhadap
mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana itu atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pidana itu maupun kedua-duanya.
pidana itu maupun kedua-duanya. Dengan demikian, idiom “Barangsiapa” dalam Pasal
21 UU Asuransi jika dikaitkan dengan ketentuan dalam KUHP, bukan hanya ditujukan
terhadap orang perseorangan tetapi juga badan usaha asuransi, sehingga tuntutan pidana
terhadap tindak pidana asuransi dapat dilakukan terhadap:
1. orang perorangan tertentu, yang tidak terkait dengan badan usaha perasuransian
(badan usaha yang berbentuk badan hukum ataupun badan usaha yang bukan badan
hukum) atau;
2. badan usaha perasuransian (badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum) atau;
3. orang perseorangan dalam badan usaha perasuransian (badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum) yang memberi perintah dilakukannya tindak
pidana atau;
4. orang perseorangan dalam badan usaha perasuransian (badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum) yang bertindak sebagai pemimpin
dilakukannya tindak pidana atau.
5. orang perseorangan dalam badan usaha perasuransian (badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum) yang memberi perintah dan bertindak sebagai
pemimpin dilakukannya tindak pidana.

Bila melihat ketentuan di atas, ketentuan tersebut menegaskan bahwa tindak pidana
dalam UU Asuransi, bukan hanya dapat diterapkan terhadap orang perseorangan dalam
kapasitas pribadinya (no. 1), ataupun orang perseorangan yang bertindak untuk dan atas
nama badan usaha perasuransian (no. 3, 4 dan 5), tetapi juga terhadap badan usaha
perasuransian atau koorporasi (no. 2).

3. Tindak Pidana Perbankan


Terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang
lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana Perbankan” dan kedua, “Tindak
Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama mengandung pengertian tindak pidana itu semata-
mata dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral dan
lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam
bank atau keduanya.
Tindak pidana perbankan melibatkan dana masyarakat yang disimpan di bank, oleh
karenanya tindak pidana perbankan merugikan kepentingan berbagai pihak, baik bank itu sendiri
selaku badan usaha maupun nasabah penyimpan dana, sistem perbankan, otoritas perbankan,
pemerintah dan masyarakat luas. Pemakaian istilah tindak pidana perbankan (tipibank) dan
tindak pidana di bidang perbankan belum ada kesamaan pendapat. Apabila ditinjau dari segi
yuridis tidak satupun peraturan perundang-undangan yang memberikan pengertian tentang tindak
pidana perbankan dengan tindak pidana di bidang perbankan.
Pengertian tipibank adalah tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A Undang-undang Perbankan atau Pasal 59
sampai dengan Pasal 66 Undang-undang Perbankan Syariah.Dalam kaitannya dengan tindak
pidana di bidang perbankan ini kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam perlu mendapat
perhatian khusus. Kejahatan orang dalam adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam
bank terhadap bank (crimes against the bank). Kejahatan “orang dalam” dalam bentuk penipuan
(fraud) dan self dealing merupakan penyebab utama kehancuran bank karena bagian terbesar
asset bank berbentuk likuid.
Secara terminologi, istilah tipibank berbeda dengan tindak pidana di bidang perbankan.
Tindak pidana di bidang perbankan mempunyai pengertian yang lebih luas, yaitu segala jenis
perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan
usaha bank, sehingga terhadap perbuatan tersebut dapat diperlakukan peraturan-peraturan yang
mengatur kegiatan-kegiatan perbankan yang memuat ketentuan pidana maupun peraturan-
peraturan Hukum Pidana umum/khusus, selama belum ada peraturan-peraturan Hukum Pidana
yang secara khusus dibuat untuk mengancam dan menghukum perbuatan-perbuatan tersebut.
Artinya tindak pidana di bidang perbankan menyangkut perbuatan yang berkaitan dengan
perbankan dan diancam dengan pidana, meskipun diatur dalam peraturan lain, atau disamping
merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan dalam Undang-undang Perbankan dan Undang-
undang Perbankan Syariah, juga merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan di luar
Undang-undang Perbankan dan Undang-undang Perbankan Syariah yang dikenakan sanksi
berdasarkan antara lain Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Tindak
Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, perbuatan dimaksud
berhubungan dengan kegiatan menjalankan usaha bank seperti pencucian uang (money
laundering) dan korupsi yang melibatkan bank. Sementara itu, tipibank lebih tertuju kepada
perbuatan yang dilarang, diancam pidana yang termuat khusus hanya dalam Undang-Undang
Perbankan dan Undang-undang Perbankan Syariah.
Undang-undang Perbankan membedakan sanksi pidana kedalam dua bentuk, yaitu kejahatan
dan pelanggaran. Tipibank dengan kategori kejahatan terdiri dari tujuh pasal, yaitu Pasal 46, 47,
47A, 48 ayat (1), 49, 50, dan Pasal 50A. Sementara itu, tipibank dengan kategori pelanggaran
dengan sanksi pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana yang digolongkan sebagai
kejahatan, terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal 48 ayat (2). Penggolongan tipibank ke dalam
kejahatan didasarkan pada pengenaan ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan
pelanggaran. Hal ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang
dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga perlu selalu dihindarkan perbuatan yang dapat
mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada dasarnya juga akan
merugikan bank maupun masyarakat. Undangundang Perbankan Syariah tidak membedakan
sanksi tipibank dan mencantumkannya ke dalam delapan pasal, yaitu Pasal 59 sampai dengan
Pasal 66.
a. Jenis Tindak Pidana Perbankan
Dalam hal ini fraud sangat beresiko sekali terjadi di lakukan oleh pengurus atau
pelaksana yang melaksanakan kegiatan perbankan. Salah satunya terdiri dari:
• Fraud terhadap Aset (Asset Misappropriation). Singkatnya, penyalahgunaan aset
perusahaan/lembaga, entah itu dicuri atau digunakan untuk keperluan pribadi, tanpa
ijin dari perusahaan/lembaga. Seperti kita ketahui, aset perusahaan/ lembaga bisa
berbentuk kas (uang tunai) dan non-kas. Sehingga, asset misappropriation
dikelompokan menjadi 2 macam:
• Cash Misappropriation – Penyelewengan terhadap aset yang berupa kas
(Misalnya: penggelapan kas, nilep cek dari pelanggan, menahan cek
pembayaran untuk vendor).
• Non-cash Misappropriation – Penyelewengan terhadap aset yang berupa non-
kas (Misalnya: menggunakan fasilitas perusahaan/lembaga untuk kepentingan
pribadi).
• Fraud terhadap Laporan Keuangan (Fraudulent Statements). ACFE membagi jenis fraud
ini menjadi 2 macam yaitu financial dan nonfinancial. Segala tindakan yang membuat
Laporan Keuangan menjadi tidak seperti yang seharusnya (tidak mewakili kenyataan),
tergolong kelompok fraud terhadap laporan keuangan. Misalnya:
• Memalsukan bukti transaksi
• Mengakui suatu transaksi lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya,
• Menerapkan metode akuntansi tertentu secara tidak konsisten untuk menaikan
atau menurunkan laba
• Menerapkan metode pangakuan aset sedemikian rupa sehingga aset menjadi
nampak lebih besar dibandingkan yang seharusnya.
• Menerapkan metode pangakuan liabilitas sedemikian rupa sehingga liabiliats
menjadi nampak lebih kecil dibandingkan yang seharusnya.
- Korupsi (Corruption). ACFE membagi jenis tindakan korupsi menjadi 2 kelompok,
yaitu:
• Konflik kepentingan (conflict of interest). Kalimat yang paling tepat untuk
mendeskripsikan, contoh sederhananya: Seseorang atau kelompok orang di dalam
perusahaan/lembaga (biasanya manajemen level) memiliki ‘hubungan istimewa’
dengan pihak luar (entah itu orang atau badan usaha). Dikatakan memiliki
‘hubungan istimewa’ karena memiliki kepentingan tertentu (misal: punya saham,
anggota keluarga, sahabat dekat, dll). Ketika perusahaan/lembaga bertransaksi
dengan pihak luar ini, apabila seorang manajer/eksekutif mengambil keputusan
tertentu untuk melindungi kepentingannya itu, sehingga mengakibatkan kerugian
bagi perusahaan/lembaga, maka ini termasuk tindakan fraud. Kita di Indonesia
menyebut ini dengan istilah: kolusi dan nepotisme.
• Menyuap atau Menerima Suap, Imbal-Balik (briberies and excoriation) –
Suap, apapun jenisnya dan kepada siapapun, adalah tindakan fraud. Menyupa dan
menerima suap, merupakan tindakan fraud. Tindakan lain yang masuk dalam
kelompok fraud ini adalah: menerima komisi, membocorkan rahasia
perusahaan/lembaga (baik berupa data atau dokumen) apapun bentuknya, kolusi
dalam tender tertentu.

4. Tindak Pidana Perpajakan


Ada beberapa istilah untuk menyatakan suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan pidana,
perbuatan pidana, delik (delict) atau strafbaarfeit. Dari keempat istilah tersebut, istilah “tindak
pidana” merupakan istilah yang banyak digunakan dalam perundang-undangan di Indonesia
seperti UU No 7 Drt 55 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan sebagainya.
Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Pelaku ini
dapat dikatakan merupakan subyek hukum. Dengan demikian dalam tindak pidana terdapat unsur
perbuatan seseorang. Pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana adalah orang
(natuurlijke person). Dahulu hanya mengenal subyek tindak pidana adalah manusia seperti yang
tercantum dalam KUHP. Namun dalam perkembangannya, terdapat perkumpulan dagang atau
korporasi yang dapat disamakan dengan sutu pribadi manusia yang dapat melakukan suatu tindak
pidana.

Untuk jenis tindak pidana perpajakan sendiri ada banyak dan cukup beragam.
Pertama tindakan Wajib Pajakyang tidak membayarkan pajak terutang. Hal ini sudah
masuk dalam kategori tindak pidana dalam bidang perpajakan. Ada juga Wajib Pajak yang
sengaja tidak mau membuat laporan atau tidak menyerahkan SPT, bahkan melakukan
manipulasi data laporan.

a. Setiap Orang yang Disebabkan oleh Kealpaannya, yaitu :

• Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT atau laporan pajak tahunan.
• Wajib pajak yang menyampaikan laporan pajak tahunan atau SPT tetapi isinya tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya ataupun tidak lengkap. Juga bagi Wajib Pajak yang
melampirkan keterangan yang tidak benar seh ingga dari perbuatannya tersebut
akhirnya menimbulkan kerugian terhadap negara.
Untuk kedua golongan tersebut aka nada sanski pidana kurungan paling tidak satu tahun dan bisa
juga berupa denda paling banyak sejumlah dua kali lipat dari pajak terutang yang kurang atau tidak
dibayarkan. Namun ada perubahan sanksi dimana pidana kurungan lamanya mulai dari 3 bulan dan
maksimal 1 tahun. Sementara untuk sanksi pidana berupa denda besarnya pun hanya 1 kali jumlah pajak
terutang yang tidak dibayar atau kurang.

b. Orang yang Sengaja

Dalam ketentuan tindak pidana pajak yang akan mendapatkan sanksi adalah orang-
orang yang sengaja melakukan hal berikut:
• Tidak mendaftarkan diri ataupun penyalahgunaan hingga menggunakan tanpa hak NPWP
atau Pengukuhan atas PKP atau Pengusaha Kena Pajak.
• Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau masuk dalam kealpaan
• Menyampaikan SPT tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya ataupun keterangan yang tidak
lengkap maupun tidak sesuai dengan fakta atau kondisi
• Menolak untuk diperiksa atau tidak memenuhi panggilan pemeriksaan pajak
• Memperlihatkan pembukuan, dokumen ataupun pencatatan lain yang palsu atau tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya
• Tidak membuat laporan atau pembukuan, tidak meminjamkan ataupun tidak memperlihatkan
catatan, buku, dokumen lainnya ketika ada pemeriksaan pajak
• Tidak membayar pajak yang telah dipungut atau dipotong yang pada akhirnya menimbulkan
kerugian pada Negara
Untuk orang yang sudah melakukan hal-hal tersebut maka sudah bisa dikenakan pidana
kurungan maksimal 6 bulan dengan denda paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang.
Namun sanksi tersebut tentu bisa diubah menjadi lebih lama atau lebih tinggi dendanya
karena dilihat seberapa besar kerugian yang ditimbulkan serta seberapa berat jenis
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak terkait.

• PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TINDAK PIDANA PERPAJAKAN


Roeslan Saleh menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai
diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif
memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.
Maksud celaan obyektif adalah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang memang
merupakan suatu perbuatan yang dilarang. Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan
hukum baik dalam arti melawan hukum formil maupun melawan hukum materiel. Sedangkan
maksud celaan subyektif menunjuk kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang
tadi. Sekalipun perbuatan yang dilarang telah dilakukan oleh seseorang, namun jika orang
tersebut tidak dapat dicela karena pada dirinya tidak terdapat kesalahan, maka
pertanggungjawaban pidana tidak mungkin ada.
Secara lebih rinci, Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki aspek
pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang
harus dipenuhi, yaitu : (Sudarto, 1986 : 77 )
1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat;
2.Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;
3. Adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab;
4. Tidak ada alasan pemaaf.
Berdasarkan uraian di atas, seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
jika sebelumnya orang tersebut telah terbukti melakukan perbuatan yang dilarang.
Merupakan hal yang tidak mungkin jika terdapat seseorang yang dimintai
pertanggungjawaban pidana sementara dia sendiri tidak melakukan perbuatan yang
dilarang oleh hukum. Jika terjadi demikian,loncatan berfikir tidak dapat dielakkan dan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia juga tidak dapat dihindari.
Dalam tindak pidana di bidang perpajakan, yang berpotensi sebagai pihak yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana adalah Wajib Pajak, baik seseorang maupun badan
hukum perusahaan yang didalamnya terdapat subyek hukum orang dan badan hukum.
Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana bidang perpajakan terkait dengan
adanya pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana bidang perpajakan yang
berhubungan dengan suatu wajib pajak Badan Hukum, yakni perusahaan atau korporasi,
dimana dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi, dikenal ada dua macam
doktrine, yaitu doktrine strict liability (tanggung jawab ketat atau tanggung jawab mutlak)
dan doktrine vicarious liability (tanggung jawab pengganti). Namun, karena persoalan
pertanggungjawaban korporasi sedapat mungkin harus mempertimbangkan unsur
kesalahan, maka sebagaimana dijelaskan oleh Muladi, muncul teori baru yang
dipertahankan oleh Viscount Haldane yang dikenal dengan “Theory of primary corporate
criminal liability”yang kenudian dikenal dengan sebutan “Identification Theory”.

5. Tindak Pidana Perdagangan


Perdagangan nasional Indonesia sebagai penggerak utama perekonomian tidak
hanya terbatas pada aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan transaksi
Barang dan/atau Jasa yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, baik di dalam negeri
maupun melampaui batas wilayah negara, tetapi aktivitas perekonomian yang harus
dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang
diselaraskan dengan konsepsi pengaturan di bidang Perdagangan sesuai dengan
cita-cita pembentukan negara Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengaturan dalam Undang-Undang ini bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional serta berdasarkan asas kepentingan nasional, kepastian hukum, adil dan sehat,
keamanan berusaha, akuntabel dan transparan, kemandirian, kemitraan, kemanfaatan,
kesederhanaan, kebersamaan, dan berwawasan lingkungan.
Pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 dirumuskan
secara eksplisit dalam setiap pasal-pasalnya. Subjek hukum dalam Undang-UndangNomor 7
Tahun 2014 adalah orang pribadi dan badan usaha. Berpijak pada pengaturan subjek hukum dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 secara eksplisit dalam Pasal 1 Angka 14
menyebutkan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana ialah pelaku usaha yang
tidak hanya orang perseorangan tetapi juga badan usaha yang berbentuk badan hukum
ataubukan badan hukum.
Berikut diuraikan Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perdagangan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan,
mengatur mengenai bentuk-bentuk tindak pidana `perdagangan, seperti:
1. Setiap Pelaku Usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa
Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) (Pasal 104).Pasal 6 ayat (1) menyatakan: “Setiap Pelaku Usaha
wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang
yang diperdagangkan di dalam negeri.
2. Pelaku Usaha Distribusi yang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan
Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 (Pasal 105).Pasal 9menyatakan: “Pelaku
Usaha Distribusi dilarang menerapkan sistem skema piramida dalam
mendistribusikan Barang”
3. Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan tidak memiliki perizinan di
bidang Perdagangan yang diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (1) (Pasal 106).Pasal 24 ayat (1) menyatakan: “Pelaku Usaha yang
melakukan kegiatan usaha Perdagangan wajib memiliki perizinan di bidang
Perdagangan yang diberikan oleh Menteri”
4. Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam
jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga,
dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) (Pasal 107).Pasal 29 ayat (1) menyatakan: “(1) Pelaku Usaha dilarang
menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu
tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan
lalu lintas Perdagangan Barang”.
5. Pelaku Usaha yang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan
Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (2) (Pasal 108).Pasal 30 ayat (2) menyatakan: “Pelaku Usaha dilarang
melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan
pokok dan/atau Barang penting”.
6. Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang terkait dengan keamanan,
keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang tidak didaftarkan kepada Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf (a).(Pasal 109).Pasal 32 ayat (1)
huruf (a)menyatakan: (1) Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang yang
terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup wajib: (a)
mendaftarkan Barang yang diperdagangkan kepada Menteri.
7. Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan
sebagai Barang dan/atau Jasa yang dilarang untuk diperdagangkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 (Pasal 110).Pasal 36 menyatakan: “Setiap Pelaku Usaha
dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan sebagai Barang
dan/atau Jasa yang dilarang untuk diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (2)”.
8. Setiap Importir yang mengimpor Barang dalam keadaan tidak baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) (Pasal 111).Pasal 47 ayat (1) menyatakan: “Setiap
Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru”.
9. Eksportir yang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk
diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1).Importir yang mengimpor
Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2).Pasal 51 ayat (1)menyatakan: “Eksportir dilarang
mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor”.Pasal
51 ayat (2)menyatakan: “Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai
Barang yang dilarang untuk diimpor”.
10. Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak
memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang
telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) (Pasal
113).Pasal 57 ayat (2)menyatakan: “Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang
di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau
persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib”.
11. Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI,
persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) (Pasal 114). Pasal 60 ayat (1)
menyatakan: “Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang
tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara
wajib”.
12. Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan
sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau Informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 ayat (2) (Pasal 115).Pasal 65 ayat (2) menyatakan: “Setiap Pelaku Usaha
dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik
yang tidak sesuaidengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
13. Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan
peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang tidak
mendapatkan izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) (Pasal
116).Pasal 77 ayat (2)menyatakan: “Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan
pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan
berasal dari luar negeri wajib mendapatkan izin dari Menteri”

Pemberlakuan Ketentuan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan pada


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
• Pasal 104 Setiap Pelaku Usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label
berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
• Pasal 105.Pelaku Usaha Distribusi yang menerapkan sistem skema piramida dalam
mendistribusikan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
• Pasal 106.Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan tidak memiliki
perizinan di bidang Perdagangan yang diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun ataupidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
• Pasal 107. Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang
penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga,
dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Pasal
• 108. Pelaku Usaha yang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan
Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
• Pasal 109.Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang terkait dengan
keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang tidak didaftarkan kepada
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
• Pasal 110.Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa yang
ditetapkan sebagai Barang dan/atau Jasa yang dilarang untuk diperdagangkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
• Pasal 111. Setiap Importir yang mengimpor Barang dalam keadaan tidak baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
• Pasal 112 ayat:(11) Eksportir yang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang
dilarang untuk diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Importir yang mengimpor Barang yang
ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
• Pasal 113.Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak
memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah
diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
• Pasal 114.Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi
SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
• Pasal 115.Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa
dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah).
• Pasal 116.Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan
mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang
tidak mendapatkan izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
6. Tindak Pidana Pasar Modal

Pasar Modal Indonesia telah mempunyai perangkat hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaanya, tetapi hal ini belum cukup memadai karena
masih terdapat praktik-praktik yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

Meskipun Otoritas Jasa Keuangan sebagai institusi yang bertindak sebagai penyelenggara/
pelaksana, pembina dan pengawas terhadap Pasar Modal Indonesia senantiasa membuat peraturan-
peraturan yang dapat memenuhi kebutuhan Pasar Modal, namun perangkat hukum yang telah
memadai belum merupakan jaminan adanya perlindungan dan kepastian hukum, karena perlindungan
dan kepastian hukum, karena perlindungan dan kepastian hukum akan tercapai apabila perangkat
hukum yang telah dibuat akan ditegakkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Apabila hal tersebut tidak
dilakukan, maka tidaklah mungkin Pasar Modal dapat memberikan dukungan maksimal bagi
pembangunan perekonomian nasional pada umumnya dan pembangunan sektor keuangan khususnya.

Sebagai contoh persoalan insider trading , dapat menjadikan pemodal kehilangan


kepercayaan terhadap Pasar Modal, karena tentunya setiap penanam modal mempunyai keinginan
agar dana yang ditanamkannya memperoleh jaminan, terutama dari segi kepastian dan penegakan
hukum. Dalam Undang-undang tersebut diatur 3 jenis tindak pidana dalam pasar modal yaitu
penipuan, manipulasi pasar dan perdagangan orang dalam. Dari 3 jenis tindak pidana Pasar Modal
tersebut tercermin karakteristik atau keunikan dari tindak pidana Pasar Modal karena diketahui
bahwa barang yang dicuri tidaklah nyata, melainkan sebuah informasi, disamping pelaku-pelakunya
juga merupakan kalangan intelektual dan pembuktiannya juga cenderung sulit.

• Bentuk Tindak Pidana Pasar Modal


Modal Pedoman dalam melakukan kegiatan dibidang pasar modal diatur dalam
Undangundang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang dilengkapi denagn Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Dibidang Pasar Modal dan
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal serta
keputusan menteri keuangan Terjadinya kejahatan dan pelanggaran dipasar modal diasumsikan
berdasarkan beberapa alasan, yaitu kesalahan pelaku, kelemahan aparat yang mencakup integritas
dan profesionalisme, serta kelemahan peraturan. Oleh sebab itu Bapepam berkewajiban selalu
malakukan penelaahan hukum yang menyangkut perlindungan hukum dan penegakan hukum yang
semakin penting. Lembaga pasar modal merupakan lembaga kepercayaan, yaitu sebagai lembaga
perantara (intermediary) yang menghubungkan kepentingan pemakai dana (issuer, ultimate
borrower) dan para pemilik dana (investor, ultimate lender).6 Dengan demikian perangkat Undang-
undang yang mengatur tentang pasar modal akan memberikan kontribusi positif bagi penegakan
hukum didalam memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada pelaku pasar modal.
1. Jenis- jenis transaksi yang dilarang dalam Pasar Modal
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) menjelaskan jenis-jenis
transaksi yang dilarang dalam pasar modal seperti penipuan, manipulasi pasar dan
perdagangan orang dalam serta menetapkan sanksi-sanksi baik berupa sanksi pidana maupun
sanksi administrasi. Tindak pidana dalam dalam pasar modal ini mempunyai karakteristik
yang khas, yaitu barang yang menjadi objek dari tindak pidana adalah informasi, selain itu
pelaku tindak pidana tersebut bukanlah mengandalkan kemampuan fisik akan tetapi lebih
mengandalkan pada kemampuan untuk membaca situasi pasar serta memanfaatkannya untuk
kepentingan pribadi. Beberapa jenis transaksi yang dilarang dalam pasar modal adalah
sebagai berikut:
a. Penipuan

Penipuan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 90 huruf c UUPM adalah membuat


pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang
material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada
saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian
untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli
atau menjual Efek. Larangan ini ditujukan pada semua pihak yang terlibat dalam perdagangan
efek, bahkan turut serta malakukan penipuan pun termasuk dalam ketentuan ini. Dalam pasal
378 Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP), dijelaskan bahwa penipuan adalah
tindakan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara:

• Melawan hukum
• Memakai nama palsu atau martabat palsu.
• Tipu muslihat.
• Rangkaian kebohongan.
• Membujuk orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang padanya, atau supaya
member utang atau menghapuskan piutang
b. Manipulasi Pasar
. Manipulasi Pasar Yang dimaksud dalam manipulasi pasar menurut pasal 91 UUPM
adalah tindakan oleh setiap pihak, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan
untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan,
keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek. Transaksi yang dapat menimbulkan
gambaran semu antara lain transaksi efek yang tidak mengakibatkan perubahan
kepemilikan atau penawaran jual atau beli efek pada harga tertentu dimana pihak tersebut
juga telah bersekongkol dengan pihak lain yang melakukan penewaran beli atau jual efek
yang sama pada harga yang kurang lebih sama. Motif dari manipulasi pasar antara lain
adalah untuk meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan harga efek. Beberapa pola
manipulasi adalah :
• Menyebarluaskan informasi palsu mengenai emiten dengan tujuan untuk
mempengaruhi harga efek perusahaan yang dimaksud dibursa efek (false
information). Misalnya suatu pihak menyebarkan rumor bahwa emiten A akan
segera dilikuidasi, pasar merespon yang menyebabkan harga efeknya jatuh tajam.
• Menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau informasi yang tidak lengkap
(misinformation). Misalnya suatu pihak menyebarkan rumor bahwa emiten A tidak
termasuk perusahaan yang akan dilikuidasi oleh pemerintah, padahal emiten A
termasuk yang diambil alih oleh pemerintah.

- Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pasar Modal di Indonesia

Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana
hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang
ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Rahardio, penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan. Secara konsepsional, inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaedah-kaedah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut
dikatakannya keberhasilan penegakan hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai
arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-
faktor ini mempunyai yang saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur dari
effektivitas penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah :

1. hukum (undang-undang).
2. penegak hukum, yakni fihak-fihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan.
5. dan faktor kebudayaan, yakni sebagai. hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Keberadaan pasar modal Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan
perekonomian Indonesia, sehingga diatur dalam satu aturan khusus, yaitu Undang-Undang No.8 tahun 1995
tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) dan berbagai aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengaturan
khusus ini bertujuan agar aktivitas di Pasar Modal dapat berjalan konsisten dan taat asas bagi semua pelaku
di pasar modal dan tidak terjadi pelanggaran dan tindak pidana, sehingga apa yang menjadi tujuan pendirian
pasar modal dapat terwujud. Selama 32 tahun terakhir, keberadaan pasar modal Indonesia terus meningkat,
dengan mulai banyaknya pelaku bisnis berinvestasi di Pasar Modal. Sayang sejalan dengan perkembangan
pasar modal tersebut, perbuatan pelanggaran dan tindak pidana pasar modal juga ikut semakin meningkat.

7. Tindak Pidana Perlindungan Konsumen

Istilah atau pengertian hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen merupakan
istilah yang sering disamaartikan. Ada yang mengatakan hukum konsumen adalah juga hukum
perlindungan konsumen. Namun ada pula yang membedakannya, dengan mengatakan bahwa baik
mengenai substansi maupun mengenai penekanan luas lingkupnya adalah berbeda satu sama lain.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.

Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap rang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kepuasan dan ketidakpuasan serta ketidaknyamanan
pelanggan/konsumen adalah merupakan respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang
dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah
pemakaiannya.

Sementara Undang-undang Perlindungan Konsumen masih merupakan cita-cita dan


perjuangan gerakan konsumen, kita perlu terus memasyarakatkan permasalahan perlindungan
konsumen kepada masyarakat luas, khususnya pada kaum terpelajar, mahasiswa, serjana dan para
cendekiawan serta aktifis pada umumnya.

Bentuk-bentuk tindak pidana terhadap konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-


Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

Pasal 61 menyatakan:

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.


Pasal 62 menyatakan:

1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,
ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa bentuk-bentuk tindak pidana terhadap konsumen
dapat terjadi apabila pelaku usaha melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan dijelaskan pada Bab IV mengenai Perbuatan
Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha. Bab V Ketentuan Pencantuman Klausula Baku.

Pasal 63:

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:

1) perampasan barang tertentu;


2) pengumuman keputusan hakim;
3) pembayaran ganti rugi;
4) perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
5) kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
6) pencabutan izin usaha.

8. Tindak Pidana Perniagaan

Dalam dunia perniagaan, masalah angkutan memegang peranan yang sangat penting, tidak
hanya sebagai alat fisik yang harus membawa barang yang diperdagangkan dari produsen ke
konsumen, tetapi juga sebagai penentu dari harga barang–barang tersebut.

Pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana


pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu
tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk
membayar uang angkutan”.

Penegakan hukum terhadap pelaku pengangkutan barang berbahaya telah banyak dilakukan
oleh aparat penegak hukum dan telah mendapat putusan hakim disidang pengadilan. Penegakan
hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal tehadap oknum-oknum pelaku pengangkutan
barang berbahaya, tapi dalam kenyataan nya semakin intensif dilakukan penegakan hokum semakin
meningkat pula pelaku-pelaku pengakutan barang barang berbahaya yang tidak sesuai prosedur.

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan pengangkutan barang berbahaya


pada akhirnya akan bermuara pada persoalan bagaimana hakim dalam menjatuhkan hukuman. Dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana akan sangat menentukan apakah putusan seorang
hakim dianggap adil atau menentukan apakah putusannya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.

Di dalam Pasal 1 peraturan menteri perhubungan republik Indonesia No 16 PM Tahun 2021


Tentang tata cara penanganan dan pengangkutan barang berbahaya di pelabuhan, yang dimaksud
Barang Berbahaya adalah zat, bahan, dan/ atau benda yang dapat berpotensi membahayakan
kesehatan, keselamatan, harta benda, dan lingkungan hidup, sebagaimana tercantum dalam
International Maritime Dangerous Goods Code beserta perubahannya. International Maritime
Dangerous Goods Code yang selanjutnya disebut IMDG Code adalah koda maritim yang mengatur
mengenai Penanganan Barang Berbahaya dan Pengangkutan Barang Berbahaya.

Produk atau bahan berbahaya (dangerous goods) adalah benda padat, gas atau cair yang dapat
membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa dan harta benda serta keselamatan transportasi, maupun
penyimpanan. Karena tingkat bahaya yang ditimbulkan, maka ksematan yang digunakan untuk
produk-produk tersebut harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang berlaku secara nasional
maupun internasional.

- Jenis-jenis Barang Berbahaya Yang Tidak Sesuai Barang Prosedur


Dangerous Goods (DG) merupakan jenis barang berbahaya dengan resiko tinggi dan
merupakan jenis barang yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan pengiriman. Jenis
barang ini sangat peka terhadap getaran, suhu dan juga tekanan udara sehingga dapat merusak alat
angkut yang digunakan dalam proses pengirimannya.
Jenis barang berbahaya tersebut telah diidentifikasi dan terklasifikasi dalam 9 (sembilan)
klasifikasi dengan potensi atau sifat sebagai berikut :
1. sebagai bahan yang dapat meledak,
2. bahan yang mengandung gas yang mudah terbakar, gas yang tidak beracun dan tidak
mudah terbakar, gas beracun;

3. bahan cair yang mudah terbakar;

4. bahan padat yang mudah terbakar, bahan yang secara spontan mudah terbakar, bahan yang
bilamana basah akan berbahaya;

5. adalah bahan oksidasi atau organik berperoksida;

6. bahan beracun cair atau padat dan bahan yang membuat orang terinfeksi penyakit karena
virus; 7. barang yang memiliki radiasi;

8. adalah barang korosif yang mampu menghancurkan logam atau merusak jaringan kulit, dan
yang terakhir;

9. bahan yang mengandung potensi bahaya yang lain di luar klasifikasi pertama hingga
kedelapan.

9. Tindak Pidana Pencucian Uang

Pengertian tindak pidana pencucian uang sebagai mana yang dijelaskan dalam UU No. 8 Tahun
2010 Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah
lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
Pencucian Uang.
3. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau
menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.
4. Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran,
penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau
penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan
uang.
5. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
b. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
c. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak
Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana.
6. Transaksi Keuangan Tunai adalah Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan
uang kertas dan/atau uang logam.
7. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai
dugaan adanya tindak pidana.
8. Hasil Pemeriksaan adalah penilaian akhir dari seluruh proses identifikasi masalah, analisis dan
evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan
profesional yang disampaikan kepada penyidik.
9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi.
10. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
11. Pihak Pelapor adalah Setiap Orang yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan
laporan kepada PPATK.
12. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa Pihak Pelapor.
13. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.
14. Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang
sebagai penentu kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan
Korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
15. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan
tindak pidana Pencucian Uang.
16. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar,
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas
atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
17. Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan,
pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor.
18. Pengawasan Kepatuhan adalah serangkaian kegiatan Lembaga Pengawas dan Pengatur serta
PPATK untuk memastikan kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban pelaporan menurut Undang-
Undang ini dengan mengeluarkan ketentuan atau pedoman pelaporan, melakukan audit
kepatuhan, memantau kewajiban pelaporan, dan mengenakan sanksi.

Pasal 2 (1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

a. korupsi;
b. penyuapan;
c. narkotika;
d. psikotropika;
e. penyelundupan tenaga kerja;
f. penyelundupan migran;
g. di bidang perbankan;
h. di bidang pasar modal;
i. di bidang perasuransian;
j. kepabeanan;
k. cukai;
l. perdagangan orang;
m. perdagangan senjata gelap;
n. terorisme;
o. penculikan;
p. pencurian;
q. penggelapan;
r. penipuan;
s. pemalsuan uang;
t. perjudian;
u. prostitusi;
v. di bidang perpajakan;
w. di bidang kehutanan;
x. di bidang lingkungan hidup;
y. di bidang kelautan dan perikanan; atau
z. tindak pidana lain

Yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan
secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris
perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

Untuk bentuk pemidanaannya sendiri terdiri atas pidana penjara dan pidana denda
sebagaimana hal ini di atur dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 UU No.8 Tahun 2010 yang berbunyi
sebagi berikut :

Pasal 3 Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,


membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak
pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4 Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 5 (1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
BAB III

PENUTUP

1.3. KESIMPULAN

Dari semua penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa, Istilah pertama menunjuk
kepada kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan atau aktivitas ekonomi (dalam arti luas).
Istilah keduamenunjuk kepada kejahatan konvesional yang mencari keuntunganyang bersifat
ekonomis misalnya pencurian, perampokan, pencopetan, pemalsuan atau penipuan. Yang mana
secara umum Tindak Pidana Ekonomi telah diatur dalam UU drt. No. 7 Tahun 1955 namun UU
tersebut juga memberikan kesempatan kepada generasi selanjutnya untuk menjabarkan norma dan
pengertian perekonomian Negara yang berkaitan dengan perekonomian secara umum serta bersifat
merugikan Negara. Dengan demikian maka lahirlah aturan-aturan yang berkaitan dengan
perekonomian negara seperti:

1. UU No. 3 Tahun 1971 yang telah diganti dengan UU no 31 Tahun 1999 dandirubah dengan
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan indak PidanaKorupsi.
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun2000, Undang-undang
Nomor 10 tahun 1995 dan Undang-undang Nomor 11Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
3. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
4. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan TidakSehat.
5. UU. No. 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
DAFTAR PUSTAKA

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum
Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, halaman 75.

Muladi, Barda Nawawi Arief, Teoriteori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998, halaman 90.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung:
Citra Aditya, 2001, halaman 162.

Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum Vol 6-1999. I. S. Susanto,
Kriminologi, Cet. Pertama, Genta Publishing, Yokyakarta, 2011. Kristian, Hukum Pidana Korporasi,
Kebijakan Integral (Integral Policy), Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,
Nuansa Aulia, Bandung, 2014.

Flora Dianti, Jika Mahkamah Konstitusi Menafsir Tindak Pidana Korupsi : Analisis Putusan Judicial Review
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 2, Mei 2006,
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006.

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Peranggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,
CV Utomo, Bandung, 2004.

Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sekolah Tinggi
Hukum, Bandung, 1991.

UU No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

Hartono. Sri Rejeki., Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1997.

Huda. Chairul dan Lukman Hakim., Tindak Pidana Dalam Bisnis Asuransi, Lembaga Pemberdayaan Hukum
Indonesia, Jakarta, 2006.

FDIC DOS Manual of Exam Policies Bank Fraud and Insider Abuse, Section 9.3. Jerry L. Turner, Theodore
J. Mock, dan Rajendra P. Srivasta, “An Analysiof the Fraud Triangle”, Research Roundtable 3, The
University of Memphisincorporated with University of Southern CaliforniadanUniversity of Kansas,
2003.

Jonathan R. Macey and Geoffrey P. Miller. “Bank Failures, Risk Monitoring, and the arket for Bank
Control”. Columbia Law Review (October 1988).
Soekardi Husodo. “Faktor-faktor Pemicu Terjadinya Fraud Perbankan”, Makalah. Disampaikan pada
Seminar Nasional Infobank dalaMembangun Komitmen Pengurus dan Manajemen Bank
dalamPenerapan Strategi antifraud, Le Meridien Hotel, 7 Maret 2012.

Abdul, Manan,. Aspek Hukum Dalam Penyelenggaraan Investasi Dipasar Modal Syariah Indonesia,.

Kencana, Jakarta, 2009. Anuraga, Pandji dan Piji Pakarti, Pengantar Pasar Modal, Edisi Revisi, Rineka
Cipta, Jakarta, 2001.

Anwar, Jusuf,. Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan Dan Investasi,. PT. Alumni, Bandung, 2008. Asril,
Sitompul,. Pasar Modal: Penawaran Umum dan Permasalahannya. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004.

Hamud, M. Balfas, “Hukum Pasar Modal Indonesia”, Tata Nusa, Jakarta 2006.

Indra Rahadiyan,. Hukum Pasar Modal di Indonesia,. UII Press, Yogyakarta, 2014

Indra Safitri,. Catatan Hukum Pasar Modal,. Go global Book, Jakarta, 1998.

Irsan Nasarudin, M. dan Indra Surya,. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Anda mungkin juga menyukai