Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH EKONOMI SYARIAH

TINDAKAN PIDANA EKONOMI (IHTIKAR DAN GHASAB)


Dosen Pengampu : Khaerul Anwar, S.E.Sy., M.Si

Disusun Oleh :
Anggun Lestari (11012200466)
Aza Sofwatur Rohmah (11012200676)
Dimas Jati (11012200660)
Renny Jeriyanti (11012200473)
Raihan taufiqurohman (11012200678)
Silfiani (11012200467)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BINA BANGSA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah UKM
Bapak Khaerul Anwar, S.E.Sy., M.Si yang membimbing kami dalam pengerjaan makalah ini.
Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Serang, 19 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................ 2
2.1 Tindakan Pidana Ekonomi ........................................................................................................ 2
2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Ekonomi Secara Sempit........................................................ 2
2.1.2 Pengertian Tindak Pidana Ekonomi Secara Luas ........................................................... 3
2.2 Ihtikar ........................................................................................................................................ 3
2.2.1 Pengertian Ihtikar............................................................................................................. 3
2.2.2 Dasar Hukum Ihtikar....................................................................................................... 5
2.2.3 Dosa Ihtikar...................................................................................................................... 6
2.2.4 Kriteria Larangan Mekanisma Ihtikar.............................................................................. 6
2.2.5 Dampak Ihtikar................................................................................................................ 9
2.2.6 Hikmah Terlarangnya Ihtikar........................................................................................... 11
2.3 Ghasab........................................................................................................................................ 11
2.3.1 Pengertian Ghasab .......................................................................................................... 11
2.3.2 Dasar Hukum Ghasab ..................................................................................................... 12
2.3.3 Pendapat Jumhur Ulama dalam Kriteria Ghasab ............................................................ 14
2.3.4 Dampak Ghasab .............................................................................................................. 15

BAB III PENUTUP ....................................................................................................................... 17


3.1 Simpulan .................................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindak pidana ekonomi ialah salah satu bentuk dandimensi perkembangan kejahatan yangsaat ini
sedang menjadi pusat perhatian dankeprihatinan saat ini. Munculnya delik ekonomi ialah sebagai
konsekuensi dari semakin turut campurnya pemerintah dalam menyelenggarakan usaha-usaha di
bidang kesejahteraan rakyat. Sehingga untuk mengatasi adanya perbenturan kepentingan antara para
pihak yangterkait, diperlukan suatu tatanan hokum yangmempunyai tugas menjaga
ataumempertahankan keamanan danketertiban di segala bidang kehidupan rakyat, termasuk
didalamnya ialah keamanan danketertiban di bidang ekonomi. Sarana hokum tersebut ialah hokum
pidana ekonomi, yangpenerapannya harus diberlakukan secara sekunder artinya baru diberi fungsi
setelah saranasarana hokum lainnya telah terbukti kurang mampu ataukurang sesuai. 1 Hokum Pidana
Ekonomi ialah bagian dari hokum pidana, yangmempunyai corak tersendiri, yaitu corak ekonomi.
Dengan demikian, hokum pidana ekonomi hendaknya mengambil tempat di samping hokum pidan.
Moch. Anwar mengartikan hokum pidana ekonomi sebagai sekumpulan peraturan di bidang ekonomi
yangmemuat ketentuan-ketentuan tentang keharusan/kewajiban danataularangan, terhadap
2
pelanggaran mana diancam dengan hokuman. Tindak pidana dalam lembaga keuangan sebagai
bagian dari tindak pidana ekonomi pada umumnya dapat terjadi dengan berbagai cara ataumodus.
Sejalan dengan semakin majunya masyarakat, maka tidak dapat disangkal pula bermunculannya
modus baru di bidang kejahatan, khususnya kejahatan dalam lembaga keuangan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Tindak Pidana Ekonomi?
2. Bagaimana pemahaman tentang Ihtikar dari segi pengertian, dasar hukum, kriteria, dampak dan
hikmahnya?
3. Bagaimana Pemahaman tentang Ghasab dari segi pengertian, dasar hukum, kriteria dan
dampaknya?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui definisi dari Tindak Pidana Ekonomi secara luas
2. Mengetahui bagaimana pemahaman tentang Ihtikar secara rinci dan luas
3. Mengetahui bagaimana pemahaman tentang Ghasab secara rinci dan luas

1
Setiadi, Edi, 2010, Hokum Pidana Ekonomi, Bandung, Graha Ilmu, Hlm 24.
2
Anwar, Moch .(Daading), 1990, Hokum Pidana di bidang Ekonomi,. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm 11.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tindak Pidana Ekonomi


2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Ekonomi Secara Sempit
Tindak Pidana Ekonomi secara sempit diartikan sebagai tindak pidana yang secara
yuridis diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-
Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, maka ruang lingkup Tindak Pidana Ekonomi terbatas pada perbuatan-
perbuatan yang dillarang dan diancam pidana oleh Pasal 1, dapat dibedakan dalam 3 (tiga)
macam, yaitu:
a) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 1e
1) Pelanggaran di bidang devisa
2) Pelanggaran terhadap prosedur ekspor impor
3) Pelanggaran terhadap ijin usaha
4) Pelanggaran terhadap pelayaran nakhoda
5) Pelanggaran terhadap ketentuan ekspor kapuk
6) Pelanggaran terhadap ketentuan ekspor minyak
7) Pelanggaran terhadap ketentuan ekspor ubi-ubian
b) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 2e
Ditetapkan beberapa perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan tindak pidana
sebagai Tindak Pidana Ekonomi, yaitu :
1) Pasal 26, “Dengan sengaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut
berdasarkan suatu ketentuan dalam udang-undang.
2) Pasal 32, dengan sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan
dengan:
a. Suatu hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Pasal 7 sub a, b dan c.
b. Suatu tindakan tata tertib sebagai tercantum dalam Pasal 8
c. Suatu perbuatan termaksud dalam Pasal 10
d. Suatu tindakan tata tertib sementara untuk menghindari hukuman
tambahan/tindakan tata tertib sementara seperti tersebut di atas.

2
3) Pasal 33, dengan sengaja baik sendiri maupun perantara orang lain menarik
bagian-bagian kekayaan untuk dihindarkan dari :
a. Tagihan-tagihan
b. Pelaksanaan suatu hukuman atau tindakan tata tertib sementara, yang
dijatuhkan berdasarkan undang-undang
c. Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 3c
c. Pelanggaran suatu ketentuan
1) Dalam undang-undang lain
2) Berdasarkan undang-undang lain

Perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan Tindak Pidana


Ekonomi dalam arti sempit penentuannya tergantung pada arah politik pemerintah
sehingga dapat berubah sesuai dengan perkembangan nasional, regional dan
internasional.

2.1.2 Pengertian Tindak Pidana Ekonomi secara Luas

Tindak Pidana Ekonomi juga dapat diartikan sebagai perbuatan pelanggaran terhadap
setiap hak, kewajiban/keharusan atau larangan sebagai ketentuan- ketentuan dari peraturan
hukum yang memuat kebijaksanaan negara di bidang ekonomi untuk mencapai tujuan
nasional. Tindak Pidana Ekonomi secara luas diartikan sebagai perbuatan pelanggaran
terhadap ketentuan dan peraturan di bidang ekonomi. Pelanggaran tersebut dicancam dengan
ancaman hukuman yang tidak termuat dalam ketentuan Undang-Undang Darurat Nomor 7
Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Tindak Pidana Ekonomi dalam arti luas juga diartikan sebagai semua tindak pidana di
luar Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang bercorak ekonomi atau yang dapat berpengaruh
negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan negara yang sehat.

2.2 Ihtikar
2.2.1 Pengertian Ihtikar
Ihtikar secara estimologi adalah penimbunan, pengumpulan (barang-barang) atau tempat
untuk menimbun. Kata-kata Ihtikar adalah masdar (kata kerja yang dibendakan) dari fi'il
madhi ihtikara, akar kata darihakara yang sudah dimasukkan oleh huruf ziyadah (tambahan)
yaitu hamzah dan ta. Hakara menurut bahasa adalah istabadda yang artinya bertindak

3
sewenang-wenang. Maka kalimat ihtikaraal-syai'a yang artinya adalah mengumpulkan
sesuatu dan menahannya dengan menunggu naiknya harga lalu menjualnya dengan harga
tinggi. Sedangkan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa ihtikar secara bahasa mashda dari
kata hakara yang maknanya habasa (menahan).

Sedang secara istilah ihtikar berarti membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya
supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik. Ihtikar secara
terminologis adalah menahan (menimbun) barang-barang pokok manusia untuk dapat meraih
keuntungan dengan menaikkan harganya serta menunggu melonjaknya harga di pasaran.
Ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa, dan enggan menjual dan
memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara
drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar,
sementara masyarakat, negara maupun hewan amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa
tersebut. Namun, yang menjadi problem seperti yang dilarang oleh Rasulullah adalah
memonopoli perdagangan yaitu membeli barang dengan tujuan untuk memengaruhi
pergerakan pasar. Mereka membeli barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok
barang dipasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa merebutkan barang
tersebut setelah dinaikkan harganya berkali-kali lipat.

Beberapa definisi penimbunan barang (ihtikar) menurut beberapa pendapat yaitu:

a. Imam al-Ghazali (Mazhab Syafi'i) mendefinisikan ihtikar sebagai penyimpanan barang


dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya
ketika harga melonjak.
b. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan ihtikar adalah penyimpanan barang oleh produsen
baik, makanan, pakaian, dan segala barang yang merusak pasar.
c. As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyatakan al-Ihtikar sebagai membeli suatu
barang dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang di masyarakat sehingga
harganya meningkat sehingga manusia akan mendapatkan kesulitan akibat kelangkaan
dan mahalnya harga barang tersebut.
d. Adiwarman Karim mengatakan bahwa al-Ihtikar adalah mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih
tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly's rent.
e. Fathi ad-Duraini (Guru besar fiqh di Universitas Damaskus Suriah) mendefinisikan
ihtikar dengan tindakan menyimpan harta, manfaat ataujasa, dan enggan menjual dan
memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara

4
drastis disebabkan persediaan barang terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari
pasar, sementara rakyat, negara, ataupun hewan (peternakan) sangat membutuhkan
produk, manfaat, atau jasa tersebut. Ihtikar menurutad-Duraini tidak hanya menyangkut
komoditas, tetapi manfaat suatukomoditas dan bahkan jasa dari pembeli jasa dengan
syarat, embargo yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini bisa memuat harga
pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, atau jasa tersebut sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, negara, dan lain-lain.

Contoh ihtikar:

Pada awal pandemi Covid-19, masyarakat berbondong-bondong memborong masker yang


membuat kelangkaan masker di pasarandan menyebabkan kenaikan harga.

Salah satu fungsi dan peran Koperasi adalah membangun, mengembangkan potensi dan
kemampuan ekonomi anggota koperasi dan masyarakat umum untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi dan sosialnya. Untuk itu pemerintah mengeluarkan jenis-jenis
koperasi agar masyarakat Indonesia dapat memenuhi kebutuhan ekonominya sesuai dengan
sosial dan budaya yang ada.

2.2.2 Dasar Hukum Ihtikar


Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan adanya ihtikar
adalah kandungan nilai-nilai universal Al-Qur'an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan
aniaya termasuk di dalamnya ihtikar diharamkan oleh agama Islam.

"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda)
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya." (QS Al-Hasyr
[59]:7)

5
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya,
dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-
kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat
siksa-Nya." (QS Al-Maidah [5]: 2).
Hadis yang diriwayatkan Sa'id bin Musayyab.
Dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, Rasulullah Saw.
bersabda, "Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa." (HR Muslim).
2.2.3 Dosa ihtikar
Dari Ma’mar bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR.
Muslim, no. 1605).
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

“Siapa yang mempengaruhi harga bahan makanan kaum muslimin sehingga menjadi mahal,
merupakan hak Allah untuk menempatkannya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti di
hari kiamat.” (HR. Ahmad, 4:485. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini dhaif).

6
2.2.4 Kriteria Larangan Mekanisme Ihtikar

Monzher Khaf memberikan komentar terkait penimbunan harta atau Ihtikar bahwa hal
tersebut termasuk bentuk kejahatan. (Havis Arafik: 2017). Dengan adanya keterangan
demikian dapat diselaraskan dengan ittifaqnya madzahib Ast-Tsalatsah terkait
mengharamkannya praktek Ihtikar itu sendiri. Tentunya ketika pencetusan hukum haram
bukan tidak memandang kemaslahatan yang dihasilkan, sehingga para fuqaha’ memberikan
keterangan tambahan terkait bagaimana dan apa saja kriteria yang diharamkannnya dalam
Ihtikar tersebut.

Ada tiga kriteria yang diharamkan menurut ulama’ fuqaha’(Sayid Safiq:1987), Pertama,
barang yang disimpan atau ditimbun melebihi kadar kebutuhan yang berlaku pada umumnya
semisal kebutuhan keluarga dalam satu bulan atau satu tahun untuk keluarganya misalnya.
Jika memang nyata tidak demikian maka hukumnya adalah Mubah. Jika demikian adanya
maka hukumnya adalah mubah jika sesuai kriteria diatas, Karena Nabi sendiri juga pernah
melakukan Ihtikar lebih tepatnya menyimpan untuk keperluan atau kebutuhan kurang lebih
dari satu tahun lamanya. Kedua, penimbunan dilakukan untuk penjualan dikala stok sudah
kosong dan menjumpai kelangkaan sehingga berakibat masyarakat harus menebusnya dengan
membeli harga mahal. Ketiga, penyebab dilarangnya adalah jika yang disimpan berupa
kebutuhan sandang, pangan dan lain-lain yang menyangkut kebutuhan pokok. Jika komoditas
yang ditimbun termasuk dari jenis komoditas yang banya beredar ditangan pedagang lainnya
atau juga bukan termasuk bahan pokok primer dan sekunder yang bila stoknya kehabisan
dapat merugikan maka hal itu boleh dan sah-sah saja.

Ada sebuah komentar terhadap pendapat Al-Ghazali yaitu dari Syekh Yusuf Qardhawi
ulama’ abad kontemporer, bahwa beliau menilai yang masuk kriteria makanan pokok itu
hanya meliputi beras, gandum, dan lauk pauk saja. Sehingga jenis seperti minyak, madu dan
lain-lain mereka anggap ukan bagian dari makanan pokok. Sebenarnya yang diungkapkan
oleh ulama’ klasik terkait batasan makanan pokok itu jika diukur dari sudut pandang ilmu
pengetahuan dan gizi kesehatan belum mencukupi unsur-unsur protein dan vitamin yang
cukup, sehingga nantinya dapat memberikan efek yang kurang maksimal dalam kekebalan
tubuh dan mudah nantinya diserang oleh berbagai macam penyakit.

Terlebih disaat seperti ini dimana perekonomian yang sedang tidak stabil dan semua
harga dipasaran hampir melonjak sebab adanya pandemi covid 19. Maka tentu hal ini sesuatu
yang berkaitan dengan kesehatan seperti obat-obatan, masker dan yang lainnya tentu sangat

7
dibutuhkan. Oleh sebab itu bukan hanya terpusat pada makanan dan pakaian saja tetapi juga
lebih kepada prioritas seperti alat-alat rumah tangga dan komoditas yang berkaitan dengan
kesehatan haram hukumnya melakukan penimbunan tersebut, dikarenakan dapat maraknya
terjadi kasus penipuan dan kelangkaan stok dipasaran disebabkan adanya Ihtikar tersebut.
Pendapat dari Syekh yusuf Qardhawi sendiri memiliki Tashiliyyah kepada Imam Abu Yusuf
(Fuqaha’ dari kalangan madzhab Hanafi) dan madzhab Maliki yang mengharamkan adanya
penimbunan barang dalam bentuk apapun selama hal tersebut masih termasuk bagian dari
kebutuhan masyarakatnya. Begitupun juga menurut Fathi Ad-Duraini, bahwa sebenarnya
tidak dapat dibenarkan bilamana pemerintah melakukan ekspor secara besar-besaran yang
mengakibatkan kelangkaan suatu komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakatnya.
Sebenarnya bentuk ekspor tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan dengan Ihtikar dalam
aspek imbas yang dirasakan terhadap masyarakat menengah kebawah. Terlebih lagi jika yang
diekspor adalah hal yang berkaitan dengan minyak tanah misalnya, disaat rakyat pedesaan
dan terpelosok membutuhkannya. Maka tentu hal ini harus lebih dilaksanakan kebijakan yang
sesuai. Dan bilamana sudah menemukan solusinya dengan beralih ke tabung gas maka sudah
selayaknya masyarakat dibantu atau disubsidi, sebab minyak tanah juga merupakan bagian
kepemilikan umum dari mereka yang telah diekspor oleh negara.

8
2.2.5 Dampak Ihtikar
Memang pada dasarnya adalah hak setiap insan untuk mendistribusikan harta bendanya
sesuai dengan apa yang dikehendakinya sendiri, baik ditimbun maupun dijual dengan harga
semahal-mahalnya. Namun kalau sudah memasuki pada takaran ihtikar, maka permasalahan
yang dibicarakan sudah bukan lagi mengenai hak kebebasan distribusi. Akan tetapi telah
menyentuh pada dampak yang akan ditimbulkan atas tindakan yang ia lakukan.
Ihtikar yang dilarang dalam agama, pasti mempunyai dampak yang besar terhadap
perekonomian masyarakat. Dampak dari ihtikar akan bisa mengacau-balaukan situasi
perekonomian. Karena mahalnya barang-barang pokok yang menjadi kebutuhan manusia.
Setiap hari akan menuntut melambungnya nilai tawar barang-barang lain, karena adanya
imbas melambungnya harga suatu barang.

9
Hal ini berkaitan dengan hukum ekonomi apabila permintaan meningkatsedangkan
barang menurun maka harga akan meningkat. Peningkatan ini akan memberikan dampak
yang luas. Berdasarkan hukum ekonomi, maka semakin sedikit persediaan barang di pasar,
maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin berkurang.
Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih
tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari
keuntungan normal, sementara konsumen akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikâr
masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar
monopoli seorang produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga). Dalam
situasi dan kondisi semacam ini yang dirasa adalah serba kesulitan dan kekurangan. Implikasi
lebih jauh, ihtikâr tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan
menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat proses
distribusi kekayaan di antara manusia. Sebab, konsumen masih harus membayar harga
produk yang lebih tinggi dari ongkos marginal.
Dengan demikian praktik ihtikâr akan menghambat kesejahteraan umat manusia. Padahal
salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah kesejahteraan umat manusia.
Berangkat dari sudut inilah, ‘illah keharaman ihtikâr diangkat. Karenanya, menurut Imam al-
Syawkânî, keharaman ihtikâr tidak hanya tertentu pada barang-barang pokok semata. Akan
tetapi semua barang yang bila ditimbun akan bisa mengakibatkan ruwetnya perekonomian
manusia. Sebab menurut analisisnya, zahir Hadis-hadis Nabi tidak membedakan antara
makanan pokok manusia, hewan, atau lainnya. Sedangkan Hadis yang langsung menjelaskan
keharaman ihtikâr dikhususkan hanya pada makanan pokok yang ada dalam sebagian riwayat
tidak bisa digunakan untuk mengkhususkan Hadishadis lain yang redaksinya mutlak. Namun
pendapat ini, masih mungkin untuk ditepis dengan kaidah usul fikih yang menjelaskan bahwa
bila ada dalil muthlaq, maka dalil tersebut bisa diarahkan pada dalil muqayyad. Demikian
pula bila ada dalil yang ‘âm, maka bisa di-takhshîish dengan dalil yang khâsh.
Akan tetapi, al-Syawkânî mengelaknya dan menjawab, kata ‚‫‛ الطعام‬yang ada di dalam
salah satu Hadis hanyalah sekadar memberi contoh salah satu ba-rang yang tidak boleh
ditimbun. Bukan untuk men-takhshîsh-kan.‛23 Sebab, meniadakan hukum selain makanan
pokok itu diambil dari mafhûm-nya laqab (kata ‚"‫ام‬VVV‫ ‚ الطع‬yang ada dalam Hadis).
Pengambilan mafhûm mukhâlafah semacam ini, menurut jumhûr ulama usul fikih jelas tidak
bisa dibenarkan. Sebab, tujuan disebutkannya laqab bukanlah untuk meniadakan hukum
selainnya. Kalau sudah demikian, maka penyebutan perkara/ lafaz dalam suatu dalil yang

10
tujuan penyebutannya bukan untuk meniadakan hukum lainnya, menurut kaidah usul fikih,
tidaklah bisa digunakan menggarisbawahi dalil-dalil lain yang redaksinya muthlaq.
Jadi, pada hakikatnya ihtikâr dapat merusak sistem pasar yang sudah berjalan normal.
Oleh karena itu, wajar apabila sebagian ulama menyatakan ihtikâr adalah pelbagai bentuk,
dan tidak terbatas pada makanan pokok. Dengan mendasarkan ihtikâr adalah untuk semua
barang yang dapat merusak sistem pasar, maka dapat diketahui bahwa sistem pasar seperti ini
harus dipelihara oleh pelaku pasar. Pasar harus berjalan secara normal.
Secara garis besar ketidaksempurnaan pasar terjadi karena tiga hal. Pertama,
penyimpangan terstruktur. Suatu pasar akan mengganggu mekanisme pasar dengan cara yang
sistematis dan terstruktur pula. Struktur pasar yang dimaksudkan adalah monopoli dan
kompetisi yang tidak sehat. Struktur pasar seperti ini menjadi larangan dalam Islam, sebab
selain merusak sistem pasar juga berlawanan dengan maqâshid al-syarî‘ah. Kedua,
penyimpanan tidak terstruktur, yaitu adanya faktor internal insidental dan temporer yang
mengganggu sistem pasar, misalnya ihtikâr, najasy, tadlîs, kolusi pedagang untuk membuat
harga di atas normal. Sistem seperti ini juga berlawanan dengan tujuan yang telah diatur
syariat. Ketiga, ketidaksempurnaan informasi dan penyesuaian. Hal ini seperti yang terjadi
membeli barang dari produsen ketika masih di tengah jalan (bukan di dalam pasar/talaqqi
rukbân), membeli dari orang yang bodoh yang tidak mengerti harga pasar yang sebenarnya
(al-ghubn).
Ketiga hal yang dapat merusak pasar ini harus dihindari dan dilarang dalam Islam. Oleh
karena itu, setiap penjual dan pembeli harus berhati-hati dalam melakukan transaksi tersebut.
Larangan yang ada dalam agama ini memang tidak memberikan sanksi secara tegas, akan
tetapi sanksinya berupa keharaman hukum yang perhitungannya kelak di akhirat. Oleh karena
itu, sebagai pelaku pasar harus tetap mengutamakan sistem transendensi seperti yang telah
dibahas di atas.
Konsep transendensi ini salah satunya adalah dalam setiap kegiatan pasar harus
didasarkan pada hal yang halal dan haram secara ketat dan kesadaran diri. Artinya, apapun
yang terjadi dalam sistem pasar pertimbangan halal dan haram dalam melakukan transaksi
harus tetap menjadi pertimbangan utama dan pertama. Seseorang tidak boleh terperdaya
dengan harga atau lainnya, sebab hal ini akan menjadi pertanggungjawaban di akhirat kelak.
2.2.6 Hikmah Terlarangnya Ihtikar
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena
dapat menimbulkan mudarat bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11:43).

11
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Alasan larangan penimbunan adalah untuk
menghindarkan segala hal yang menyusahkan umat Islam secara luas. Segala hal yang
menyusahkan umat Islam wajib dicegah. Dengan demikian, bila pembelian suatu barang di
suatu negeri menyebabkan harga barang menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas,
wajib untuk dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah
‘menghindarkan segala hal yang menyusahkan’ adalah pedoman dalam masalah penimbunan
barang.” (Ikmalul Mu’lim, 5: 161).
Adapun jika menimbun barang sebagai stok untuk beberapa bulan ke depan seperti yang
dilakukan oleh beberapa pihak grosir, maka itu dibolehkan jika tidak memudhorotkan orang
banyak (Shahih Fiqh As-Sunnah, 4:395).

2.3 Ghasab
2.3.1 Pengertian Ghasab
Terjemahan kitab Fathkul Qarib menerangkan bahwa ghasab yakni mengambil sesuatu
secara zalim dengan terang-terangan. Sedangkan menurut syara’ berarti menguasai hak orang
lain dengan zalim. Hak orang lain yang dimaksud adalah segala sesuatu yang sah dianggap
ghasab, dari barang yang bukan kategori harta. 3 Terdapat beberapa definisi ghasab dari para
ulama yang dikutip oleh Nasroen Haroen dalam bukunya yakni4:
a. Imam Hanafi mengemukakan ghasab merupakan tindakan mengambil harta yang bernilai
secara syara’ serta dihormati tanpa seizin pemiliknya sehingga harta tersebut berpindah
tangan dari si pemilik dengan terang-terangan.
b. Imam Maliki berpendapat bahwa ghasab merupakan perbuatan mengambil harta orang
lain dengan paksa serta sewenang-wenang (tidak berarti merampok) baik dalam bentuk
materi maupun manfaatnya. Imam Maliki juga menyatakan orang yang melakukan
ghasab dikenakan ganti rugi.
c. Imam Syafi’i dan Hambali mendefinisikan ghasab sebagai penguasaan harta orang lain
dengan sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.

Mereka juga menyatakan bahwa ghasab tidak hanya menguasai materi harta namun juga
manfaat suatu benda. Menurut para ulama’ tersebut ghasab dapat terjadi pada harta benda
bergerak dan harta benda tidak bergerak, karena hal tersebut ditentukan oleh sifat penguasaan
sewenang-wenang terhadap harta tersebut. Penguasaan terhadap harta berupa tanah dan
rumah, dengan cara menempati atau meletakkan barang di dalamnya termasuk tindakan
3
Abu Hazim Mubarok, Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib-Edisi Revisi (Kediri: Mu’jizat, 2019), hal 47.
4
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 57.

12
ghasab. Pada pendapat tersebut juga menyatakan bahwa ghasab sama dengan al-itlaf
(merusak barang orang lain), di mana harta yang bergerak atau tidak bergerak wajib untuk
ditanggung. Berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama dapat
disimpulkan bahwa ghasab merupakan perilaku atau tindakan dengan mengambil barang
yang dimiliki orang lain tanpa izin, tidak dengan maksud memiliki namun meminjam tanpa
izin atau mengambil manfaat dari barang tersebut. Tindakan ghasab merupakan perbuatan
yang batil atau sesuatu yang dilakukan dengan tidak benar menurut ketentuan Allah SWT.
Dasar hukum mengenai ghasab dijelaskan dalam firman Allah SWT pada surat alBaqarah
ayat 188 yang berbunyi:

2.3.2 Dasar Hukum Ghasab


Ulama fiqih sepakat bahwa ghasab adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dan
hukumnya adalah haram dan orang yang melakukannya akan mendapat dosa. Apabilah
seseorang meng-ghasab berupa harta, maka orang tersebut wajib mengembalikannya dan
wajib membayar ganti rugi atas kerugian yang dialami si pemilik harta atau mengganti
kekurangan walaupun harta tersebut tidak dipakai.5
Dasar hukum mengenai ghasab dijelaskan dalam firman Allah SWT dan hadits
Rasulullah Saw sebagai berikut:
1. Surat An-Nisa ayat 29

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.

2. Surat Al-Baqarah 188

5
Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedia Hukum Islam...,h. 401

13
Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
3. Sabda Rasulullah

“Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, Allah akan mengalungkan tanah
itu pada hari kiamat dari tujuh lapis bumi” (Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim).
"Darah dan harta seseorang haram bagi orang lain (HR Bukhari dan Muslim dari Abi
Bakrah)
"Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan
hati pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik).

Dari ayat-ayat diatas telah jelas bahwa ghasab dilarang dalam agama. Karena perbuatan
tersebut merupakan perbuatan yang merugikan orang lain. Perbuatan tersebut dilarang dalam
islam dikarenakan itu adalah perbuatan yang dianggap dzalim. Orang yang telah melakukan
hal tersebut hendaknya bertaubat kepada Allah dan mengembalikan harta yang telah di
ghasab kepada pemiliknya dan meminta maaf serta mengganti rugi atas kerugian yang di
alami si pemilik harta. Harta seseorang haram bagi orang lain. Siapapun orangnya tidak boleh
mengambil atau memanfaatkannya tanpa kerelaan hati pemiliknya. Islam mengharamkan
perbuatan ghasab yang mengakibatkan dosa bagi pelakunya. Dalam kompilasi hukum
ekonomi syariah pasal 430-445 diatur tentang syarat dan ketentuan ghasab sebagai berikut:

a. Menghalangi seseorang untuk mempergunakan kekayaannya, makaperbuatan ini


termasuk dalam ghasab.
b. Mengingkari keberadaan wadi’ah juga termasuk sebagai ghasab.
c. Pelaku ghasab harus mengembalikan semua hak serta harta yang telah dighasab.
d. Segala biaya pengembalian harta yang dighassab semuanya ditanggung oleh pelaku
ghasab.
e. Pelaku ghasab wajib memperbaiki harta yang dighasab.
f. Pelaku ghasab wajib menganti harta yang telah dighasab jika harta tersebut telah hilang.

14
g. Penggantian harta yang sudah dighasab dapat dilakukan dengan harta yang sama atau
dengan nilai yang sama.
h. Penggantian harta yang sudah dighasab dapat dilakukan dengan harta yang sama atau
dengan nilai yang sama.
i. Pelaku ghasab dapat terbebas dari perbuatannya jika sudah mengembalikan harta yang
sudah dighasabnya.
j. Ghasab dianggap tidak terjadi apabila pelaku ghasab mengembalikan harta yang
dighasabnya seelum korban mengetahui bahwa hartanya telah dighasab.
k. Korban ghasab berhak meminta penggantian harta kepada pelaku ghasab.
l. Pelaku ghasab wajib membayar harta yang mengalami penyusutan nilai harta yang telah
dighasab.
m. Setiap pertambahan nilai harta dari ghasab menjadi hak milik korban. 6

2.3.3 Pendapat Jumhur Ulama dalam Kriteria Ghasab


Para ulama sepakat bahwa ada beberapa yang dapat dikategorikan agar bisa dikatakan
sebagai pebuatan ghasab. Dalam hal ini ada beberapa pendapat diantaranya:
a. Menurut jumhur ulama Malikiyyah, Syafi’iah, dan Hanbali yang bisa dikatakan sebagai
perbuatan ghasab apabila adanya penguasaan atau pengambilan harta orang lain, bukan
hanya mengambil atau menguasai dengan hal yang nyata, akan tetapi adanya tindakan
yang menjadi penghalang harta dengan pemiliknya.
b. Menurut Imam Hanafi yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan ghasab yaitu dengan
menyingkirkan kekuasaan seseorang dari harta miliknya yang mempunyai nilai dilakukan
secara terang-terangan dan paksa, dengan melakukan suatu tindakan terhadap harta
tersebut. Tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan ghasab apabila menetapkan dan
mengukuhkan kekuasaan pelaku atas hartanya, yaitu dengan mengambil harta pemilik
serta menyingkirkan kekuasaan pemilik, yaitu ddengan menyingkirkan harta dengan
pemilik.7 Dari paparan ulama di atas bahwa yang dapat disebut sebagai perbuatan ghasab
apabila telah memenuhi kriteria, yaitu adanya penguasaan harta tanpa izin dari pemilik
harta tersebut menghalangi pemilik hartanya sehingga pemilik harta tidak mendapat
manfaat atas hartanya. Adapun suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan ghasab
apabila memenuhi rukun ghasab sebagai berikut:
1. Pelaku ghasab

6
Drs.H.M.Fauzan, S.H.,M.M., M.H., Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,(Depok: Kencana, 2009), h. 117-127
7
Wahbah Al Zuhaily, Fiqih Islam wa Adillatuhu, terj Abdul Hayyie al Kattani, et al,(Jakarta: Gema Insani,2011), h.
665

15
2. Korban ghasab
3. Harta yang dirampas atau dimanfaatkan
4. Perbuatannya

2.3.4 Dampak Ghasab

Beberapa efek buruk yang ditimbulkan dari kebiasaan tersebut ialah: menambah angka
kriminalitas, merenggangkan tali persaudaraan dan menghadirkan kekhawatiran pada
masyarakat.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam haditsnya yang berbunyi:

Artin
ya: “Barangsiapa yang melakukan kezaliman dengan mengambil sejengkal tanah, maka Allah
akan menimpakan padanya tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim/Muttafaq ‘Alaih).

Dalil di atas menunjukkan bahwa tradisi ghasab memang perbuatan yang tidak disukai
oleh Allah. Maka alangkah baiknya jika kita mulai sadar diri dan mengurangi kebiasaan
buruk tersebut.
Ada masalah ada solusi. Begitupun dengan ghasab, terdapat sejumlah cara pencegahan
terjadinya ghasab yaitu: Mencermati kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang
berkaitan dengan keutamaan yang mampu menahan amarah, mencegah diri dari kemurkaan,
niatkan lillahi ta’ala dan lebih berhati-hati terhadap pengaruh buruk ghasab yang
menyebabkan pertikaian dan dendam.
Selain dilarang ternyata ghasab juga memiliki hikmah-hikmah dari pantangan tersebut.
Antara lain: mencegah kehilangan harta atau benda secara batil, menghindari terjadinya
perselisihan antar umat, terwujudnya zona kehidupan yang aman dan damai, belajar untuk
menghargai barang milik orang lain secara halal.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Tindak Pidana Ekonomi juga dapat diartikan sebagai perbuatan pelanggaran terhadap setiap hak,
kewajiban/keharusan atau larangan sebagai ketentuan- ketentuan dari peraturan hukum yang memuat
kebijaksanaan negara di bidang ekonomi untuk mencapai tujuan nasional. Tindak Pidana Ekonomi
secara luas diartikan sebagai perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan di bidang

17
ekonomi. Pelanggaran tersebut dicancam dengan ancaman hukuman yang tidak termuat dalam
ketentuan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Ihtikar secara estimologi adalah penimbunan, pengumpulan (barang-barang) atau tempat untuk
menimbun. Ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa, dan enggan menjual dan
memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis
disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat,
negara maupun hewan amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Dasar hukum yang
digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan adanya ihtikar adalah kandungan nilai-nilai
universal Al-Qur'an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya termasuk di dalamnya ihtikar
diharamkan oleh agama Islam. Dampak dari ihtikar akan bisa mengacau-balaukan situasi
perekonomian. Karena mahalnya barang-barang pokok yang menjadi kebutuhan manusia.

Terjemahan kitab Fathkul Qarib menerangkan bahwa ghasab yakni mengambil sesuatu secara
zalim dengan terang-terangan. Sedangkan menurut syara’ berarti menguasai hak orang lain dengan
zalim. Hak orang lain yang dimaksud adalah segala sesuatu yang sah dianggap ghasab, dari barang
yang bukan kategori harta. Ulama fiqih sepakat bahwa ghasab adalah perbuatan yang tidak
dibenarkan dan hukumnya adalah haram dan orang yang melakukannya akan mendapat dosa.
Apabilah seseorang meng-ghasab berupa harta, maka orang tersebut wajib mengembalikannya dan
wajib membayar ganti rugi atas kerugian yang dialami si pemilik harta atau mengganti kekurangan
walaupun harta tersebut tidak dipakai. Beberapa efek buruk yang ditimbulkan dari kebiasaan tersebut
ialah: menambah angka kriminalitas, merenggangkan tali persaudaraan dan menghadirkan
kekhawatiran pada masyarakat. Ada masalah ada solusi. Begitupun dengan ghasab, terdapat sejumlah
cara pencegahan terjadinya ghasab yaitu: Mencermati kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits
yang berkaitan dengan keutamaan yang mampu menahan amarah, mencegah diri dari kemurkaan,
niatkan lillahi ta’ala dan lebih berhati-hati terhadap pengaruh buruk ghasab yang menyebabkan
pertikaian dan dendam.

DAFTAR PUSTAKA

Ernawati dan Erwan Baharudin. 2018. “Peningkatan Kesadaran Santri Terhadap Perilaku Ghasab Dan
Pemaknaannya Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif”. Dalam
https://www.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/5.-Peningkatan-Kesadaran-Santri-

18
Terhadap-Perilaku-Ghasab-Dan-Pemaknaannya-Dalam-Hukum-Islam-Dan-Hukum-Positif.pdf.
Diakses pada 19 November 2023.
Etheses IAIN Kediri. 2018. “24 Bab IILandasan Teori”. Diakses pada 19 November 2023 Dalam
http://etheses.iainkediri.ac.id/8629/3/933707518_bab2.pdf.
Harbani, Rahma Indina. 2021 “Mengenal Ghasab, Pengertian, Hukum, dan Contohnya” Dalam
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5522987/mengenal-ghasab-pengertian-hukum-dan-
contohnya. Diakses pada 19 November 2023.
Illiyah, Luluk dan Irdlon Sahil. 2023. “Hikmah Larangan Ihtikar Mekanisme Pasar Domestik dalam
Ekonomi Islam”. Dalam https://journal.staisyaichona.ac.id/index.php/jeir/article/view/50. Diakses
pada 19 November 2023.
Kurnia Ningsih, Prilla. 2021. Fiqih Muamalah. Bogor: PT Rajagrafindo Persada.
Pane, Musa Darwin. 2017. Bahan Ajar Tindak Pidana Ekonomi. Bandung: Fakultas Hukum Universitas
Komputer Indonesia Bandung.
Ponpes Baitul Arqom Balung Jember. 2017. “Budaya Ghasab yang Tidak Kita Sadari Sisi Negatifnya”
Dalam https://www.baitularqom.id/budaya-ghasab-yang-tidak-kita-sadari-dan-sisi-
negatifnya.html. Diakses pada 19 November 2023.
Universitas Muhammadiyah Metro. 2019. “Latar Belakang Tindak Pidana Ekonomi” Dalam
http://eprints.ummetro.ac.id/464/3/BAB%20I.pdf. Diakses pada 19 November 2023.

19

Anda mungkin juga menyukai