Anda di halaman 1dari 19

PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu:
Dr. Tofik Yanuar Chandra, S.H.,M.H.

Oleh:
Humaltike Kristine
2021330050103

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhah Yang Maha Esa karena hanya oleh rahmat dan
karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah dengan judul “Pidana
Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia”.
Pembahasan dalam makalah ini adalah untuk memahami apa yang dimaksud dengan
pidana mati dalam tindak pidana korupsi dan hal apa yang mempengaruhi pelaksanaan
pidana mati di Indonesia.

Makalah ini merupakan salah satu penugasan mata kuliah Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. Penulis menyadari bahwa penyelesaian
makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan dari Dr. Tofik Yanuar Chandra,
S.H.,M.H. selaku Dosen Pengampu untuk mata kuliah Hukum Pidana.

Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan sehingga
membutuhkan masukan dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki isi
dari makalah ini. Pada akhirnya, Penulis mengharapkan kiranya makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi dunia akademis di bidang hukum pidana pada khususnya
dan bagi masyarakat umum yang sedang mempelajari pidana mati dalam tindak pidana
korupsi di Indonesia

Jakarta, Januari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ....................................................................................................... i

KATA PENGANTAR................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

I.1. Latar Belakang Masalah................................................................... 3

I.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 3

I.3. Tujuan Penulisan .............................................................................. 3

I.4. Manfaat Penulisan ............................................................................ 3

BAB II. PEMBAHASAN / LANDASAN TEORI ................................................. 5

II.1. Pengaturan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Korupsi

di Indonesia....................................................................................... 5

II.2 Masalah Penjatuhan Pidana Mati Kepada Koruptor

di Indonesia....................................................................................... 8

BAB III. PENUTUP .................................................................................................. 13

III.1 Kesimpulan .................................................................................... 13

III.2. Saran ............................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 15

iii
BAB I. PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Tindak pidana korupsi telah menjadi sebuah kejahatan yang terstruktur


sistematis dan meluas dalam ruang lingkup lini kehidupan. Hal ini menjadikan korupsi
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)1. Tindak pidana korupsi tidak hanya
merugikan negara secara ekonomi dan keuangan tetapi juga pelanggaran terhadap hak-
hak sosial masyarakat yang terdampak dari adanya praktik korupsi. Korupsi sebagai
extraordinary crime dalam pemberantasannya juga harus dilakukan dengan langkah-
langkah yang luar biasa.

Salah satu efek penjeraan yang ingin diberikan kepada para koruptor di
Indonesia adalah dengan adanya sanksi pidana mati yang telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diperbarui dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)2.
Namun, ternyata adanya sanksi pidana mati hingga saat ini belum memberikan efek
jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hingga saat ini, banyak perangkat hukum
yang tidak bermuara pada keadilan dan tidak melindungi rakyat. Secara sadar, hukum
dibuat tidak berdaya untuk menyentuh pejabat tinggi yang korup mendapat dan
menikmati privilege karena diperlakukan istimewa. Merajalelanya korupsi adalah
karena faktor perangkat hukumnya lemah.3 Mengingat semakin merajalelanya tindak
pidana korupsi di Indonesia, maka tidak salah jika hukuman mati diterapkan terhadap
pelaku-pelaku korupsi yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Namun
demikian, penerapan hukuman mati sampai saat ini masih merupakan perdebatan yang
menarik di kalangan ahli, tidak sedikit yang menolak diterapkannya hukuman mati
terhadap pelaku korupsi.

1
Penjelasan Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
2
Astuti, P. B. W. P. E. S.. 2016. Problem Yuridis Penerapan Sanksi Pidana Mati Terhadap Tindak
Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001. Diponegoro Law Journal, 5(4), 1–12.
3
Evi Hartanti. 2009. Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.

1
Kasus suap bantuan sosial Covid-19 yang melibatkan Mentri Sosial Republik
Indonesia, Juliari Batubara dalam kasus suap bantuan sosial Covid-19 yang ditangani
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan terbukti Mentri Sosial, Juliari
Batubara menerima uang sebesar Rp 8,2 Miliar4 adalah kasus korupsi besar yang
menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Pengadaan Bansos Covid-19 berupa paket
sembako di Kementerian Sosial Republik Indonesia dengan nilai Rp 5,9 triliun dengan
272 kontrak untuk dilaksanakan dalam dua periode. KPK menduga ada kesepakatan
sejumlah “pembayaran” dari penunjukan rekanan pengadaan Bansos Covid-19 dan
“pembayaran” tersebut juga diduga diterima oleh Mentri Sosial, Juliari Batubara.
Keadaan Indonesia yang masih bergulat dengan pandemi Covid-19 tidak berlebihan
jika menjadikan Indonesia sedang dalam kondisi keadaaan tertentu. Keadaan tertentu
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbarui
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur apabila terjadi tindak pidana korupsi dalam
keadaan tertentu, Aparat Penegak Hukum dapat menuntut ataupun menjatuhkan pidana
mati terhadap pelaku korupsi.

Penjatuhan pidana mati seharusnya tidak dapat dihindarkan, karena undang-


undang yang mengatur telah menyatakan demikian dan situasi pandemi Covid-19
menjadi keadaan tertentu terpenuhi. Maka, dalam kasus korupsi yang menyeret Mentri
Sosial, Juliari Batubara di saat Indonesia sedang mengalami pandemi Covid-19 dan
berdasarkan aturan dalam UU Tipikor bahwa koruptor dapat dijatuhi pidana mati
apabila melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu. Oleh karena itu,
Penulis ingin membahas tentang bagaimana penjatuhan pidana mati kepada koruptor
di Indonesia dan masalah yang dihadapi dalam penjatuhan hukuman mati kepada
koruptor di Indonesia.

4
https://nasional.tempo.co/read/1619783/kronologi-korupsi-bansos-juliari-batubara-nomor-6-
vonis-diringankan-karena-dihujat diakses 3 Januari 2023 pukul 19.40 WIB

2
I.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang disampaikan, maka rumusan permasalahan


yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah :

1. Bagaimana penjatuhan pidana mati kepada koruptor di Indonesia ?

2. Apa masalah yang dihadapi dalam penjatuhan hukuman mati kepada koruptor
di Indonesia?

I.3. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan latar belakang yang disampaikan, maka tujuan dari penulisan ini
adalah:

1. untuk menjelaskan penjatuhan pidana mati kepada koruptor di Indonesia;

2. untuk mengetahui masalah yang dihadapi dalam penjathuan hukuman mati


kepada koruptor di Indonesia.

I.4. MANFAAT PENULISAN

Manfaat dari penulisan ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu sisi teoritis dan sisi
praktis manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat dari penulisan ini adalah sebagai sumber pengetahuan
untuk menambah khasanah pemikiran dalam bidang hukum pidana, khususnya
pidana mati kepada koruptor di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, manfaat dari penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Pidana di Universitas Jayabaya. Kemudian, penulisan ini
diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi rekan mahasiswa jurusan Ilmu

3
Hukum Fakultas Hukum untuk memahami permasalahan penjatuhan pidana
mati kepada koruptor di Indonesia.

4
BAB II. PEMBAHASAN

II.1. Pengaturan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-


Undang Republik Indonesia 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengatur pidana mati dalam pasal 2 ayat (2). Pasal tersebut memberikan
hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan
tertentu. Bunyi pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Korupsi adalah dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Unsur-unsur Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Korupsi yang perlu dijelaskan dalam hal ini adalah klausul keadaan tertentu. Keadaan
tertentu yang dimaksud dalam pasal ini sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-
Undang Korupsi ini adalah:

Keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak
pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-
dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam
nasional, penaggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan
krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Pemberian pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi ini diharapkan
memberikan efek jera kepada pelakunya dan membuat orang lain takut untuk
melakukan perbuatan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan teori pemidanaan bahwa
teori pemidanaan yang bersifat integratif berorientasi pada pembalasan, pencegahan
agar orang lain tidak melakukan perbuatan tersebut dan pendidikan agar si pelaku tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Korupsi ini yang menyebabkan perekonomian negara
digerogoti sehingga kesejahteraan masyarakat yang diinginkan tidak pernah terlaksana.

Pasal 2 ayat (1) yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) tersebut adalah bunyinya
sebagai berikut:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya


diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit RP.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

5
Berdasarkan isi pasal tersebut dapat di uraikan unsur-unsurnya sebagai berikut:

a) Setiap orang;

Setiap orang yang dimaksud dalam pasal tersebut sebaimana dimuat dalam
pasal 1 angka 3 adalah:

orang perorangan atau korporasi. Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak menentukan
adanya suatau syarat, misalnya syarat harus pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang harus mnyertai setiap orang yang melakukan
tindak pidana korupsi.5
b) Secara melawan hukum;
Penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang korupsi mengenai secara
melawan hukum adalah sebagai berikut:
Secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Secara melawan hukum dalam pasal 2 ayat (1) mencakup perbuatan yang
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, maka dapat diketahui bahwa sifat ajaran sifat
melawan hukum materiil yang diikuti oleh Undang-Undang korupsi ini
adalah sifat melawan hukum materiil.6
c) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
Memperkaya adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya
dan perbutan ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara.

5
Wiyono. 2009.Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta :
SInar Grafika, hal. 31
6
Wiyono. 2009.Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta :
SInar Grafika, hal. 33

6
Memperkaya sebagaimana terdapat dalam pertimbangan hukum dari
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 13 Mei 1992 Nomor
18/Pid//B/1992/PN/TNG yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
memperkaya diri adalah “menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya
atau orang yang sudah kaya bertambah kaya”
d) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Merugikan keuangan negara adalah perbuatan yang menyebabkan
berkurangnya keuangan negara dan akibat dari berkurangnya keuangan
negara tersebut negara merasa dirugikan. Dalam penjelasan umum Undang-
Undang Korupsi yang dimaksung dengan keuangan negara adalah:
Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau
tidak dipidahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
1) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat
Pusat maupun Daerah;
2) Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal
negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Perekonomian negara sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan


Undang-Undang Korupsi ini adalah:
Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara
mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik
ditingkat pusat atau di daerahsesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat,
kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Namun, Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dapat
dilakukan sebagaimana dinyatalan dalam Pasal 2 ayat (2) menjadi sangat sulit
dilakukan, karena unsur pemberat pidana yang terdapat dalam pennjelasan Undang-
Undang Korupsi yakni:
a) apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya;
b) bencana alam nasional;

7
c) penaggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas;
d) penanggulangan krisis ekonomi dan moneter; dan
e) pengulangan tindak pidana korupsi.

Unsur-unsur tersebut sangat sulit diterapkan, karena tindak pidana korupsi yang
terjadi saat ini kebanyakan tindak pidana korupsi dalam bentuk atau yang memiliki
unsur-unsur diluar unsur yang terdapat dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Korupsi tersebut. Namun, pandemi Covid-197 yang telah ditetapkan sebagai
bencana nasional seharunya telah memenuhi syarat bahwa tindakan korupsi yang
dilakukan Mentri Sosial untuk dijatuhi pidana mati.

II.2. Masalah Penjatuhan Pidana Mati Kepada Koruptor di Indonesia

Namun, pada realitanya sampai saat belum pernah ada penjatuhan sanksi pidana
mati di Indonesia meskipun perbuatan koruptor tersebut telah terdapat kesalahan yang
harus dipertanggungjawabkan. Hal ini pula menjadikan Indonesia dijadikan sebagai
wahana yang indah bagi para koruptor, karena ancaman pidana mati yang tercantum
dalam UU Tipikor belum pernah di eksekusi dan pastinya pengaturan hukuman mati
bagi koruptor menjadi terabaikan. Hal ini disebabkan dari perumusan pidana
penjatuhan pidana mati bagi koruptor hanya terdapat di Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Tipikor dan syarat penjatuhannya pun sangat sulit untuk diterapkan 8.

Fakta dari ancaman pidana mati yang tercantum dalam UU Tipikor sampai saat
ini belum pernah diterapkan terhadap koruptor disebabkan karena masih terdapat
problematika yuridis tentang penjatuhan pidana mati yang masih mempunyai beberapa
kelemahan. Pertama, kelemahan dalam sisi substansi hukum bahwa pidana mati hanya
dapat diancamkan atau diterapkan terhadap tindak pidana memperkaya diri
sendiri/orang lain/koorporasi yang dilakukan saat keadaan tertentu. Hal ini menjadi

7
https://bnpb.go.id/berita/presiden-tetapkan-covid19-sebagai-bencana-
nasional#:~:text=JAKARTA%20%2D%20Presiden%20Joko%20Widodo%20secara,%2D19)%20
Sebagai%20Bencana%20Nasional diakses pada tanggal 02 Januari 2023 pukul 20.21 WIB
8
Batubara, R. F. 2014. Kebijakan Formulasi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi Di Indonesia. LAW REFORM. https://doi.org/10.14710/lr.v10i1.12458

8
kelemahan yang cukup vital ketika ditambah dalam UU Tipikor tidak dirumuskan
mengenai batasan pengulangan (recidive) tindak pidana korupsi 9

Kedua, kelemahan dalam sisi struktur hukum. Hal ini mengacu masih terjadinya
tumpang tindih kepentingan antar Aparat Penegak Hukum, kewenangan penyidikan
dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga Kepolisian.
Kemudian wewenang menuntut yang biasanya dilakukan oleh Kejaksaan dapat
dilakukan juga oleh KPK sehingga menimbulkan tumpang tindih. Tumpang tindih
wewenang dan yurisdiksi antar lembaga pemerintahan ini memunculkan masalah
struktural yang berpotensi memunculkan adanya gesekan antar lembaga dan berimbas
pada vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor tidak maksimal sehingga efek jera tidak
sesuai yang diharapkan10.

Ketiga, kelemahan dalam sisi kultur hukum. Di dalam masyarakat masih terdapat
pro dan kontra tentang pidana mati bagi pelaku korupsi. Anggapan yang berkembang
di masyarakat adalah penjatuhan pidana mati sama saja dengan pelanggaran HAM.
Pada prinsipnya hak asasi manusia adalah hak asasi/hak kodrat/hak mutlak milik umat
manusia, orang per orang yang dimiliki umat manusia sejak lahir sampai dengan
meninggal dunia; sedangkan dalam pelaksanaannya didampingi oleh kewajiban dan
tanggungjawab. Mengingat hak asasi manusia adalah hak dasar yang dibawa manusia
sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa, maka hak asasi manusia tersebut
bukan bersumber dari Negara, tetapi bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam
semesta raya beserta isinya, sehingga hak asasi manusia itu tidak dapat dikurangi (Non
Derogable Rights). Oleh karena itu, yang diperlukan dari negara hukum itu adalah
suatu jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut.11 Selanjutnya,
menjadi pertanyaan bagaimana dengan pertanggungjawaban dari hak-hak asasi orang
yang menjadi tidak terwujud karena kesejahteraan telah dirampas dengan tindak pidana

9
Arief, B. N. 2013. Kebijakan Reformulasi Ancaman Pidana Mati Tindak Pidana Korupsi Dalam
Peraturan Perundang-Undangan. Masalah-Masalah Hukum.
https://doi.org/10.14710/mmh.42.1.2013.23-33
10
Astuti, P. B. W. P. E. S. (2016). Problem Yuridis Penerapan Sanksi Pidana Mati Terhadap
Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001. Diponegoro Law Journal, 5(4), 1–12.
11
Manan, Bagir. (2001). Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum.

9
korupsi, dalam hal ini pada kasus suap Mentri Sosial, masyarakat jelas mengalami
kerugian karena tindak pidana yang dilakukan oleh Julianri Batubara.

Perdebatan tentang pidana mati haruslah mencapai suatu kesepakatan bagaimana


penjatuhan pidana mati bagi koruptor di Indonesia layak untuk diterapkan. Faktanya
aturan hukum seolah dibuat tidak berdaya untuk menyentuh pejabat tinggi yang
melakukan korupsi dengan adanya kata “dapat” dalam pasal UU Tipikor yang
merekonstruksi dijatuhkannya pidana mati bagi koruptor. Kata “dapat” bersifat
subjektif ditambah dengan perangkat hukum yang lemah dalam mengatasi korupsi.
Narasi penjatuhan pidana mati bagi koruptor sering digaungan bagi mereka yang pro
dengan hukuman mati tetapi ada pihak yang kontra dengan hukuman mati karena
melanggar Hak Asasi Manusia. Sehingga akan selalu ada polemik mengenai kebijakan
hukuman mati bagi koruptor.12

Menurut Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), perlu dilakukan


perubahan paradigma pemidanaan dari teori retibutif (pembalasan) menuju arah teori
restoratif. Hal ini didasari oleh fakta dalam data indeks prestasi korupsi, negara yang
menempati peringkat tertinggi dalam menanganani tindak pidana korupsi tidak
menerapkan hukuman mati. Selain itu, mitos dari pemberian efek jera dalam
penjatuhan pidana mati juga masih diperdebatkan dan belum dapat dibuktikan dalam
penelitian ilmiah. Perlu menjadi perhatian lebih lanjut, bagaimana negara-negara yang
sudah tidak menggunakan pidana mati melakukan reformasi hukum di negaranya
sehingga penerapan terori restoratif dalam penegakan hukum pidana dapat
terlakansana. Secara khusus di Indonesia, pemberian penjatuhan pidana mati bagi
koruptor masih hanya sebagai fenomena popular yang termanifestasi dalam
pengambilan kebijakan hukum yang kurang bersifat partisipatif-masyarakat dengan
mengeksploitasi kemarahan publik terhadap korupsi guna membangun sentimen
publik yang ditujukan meraih reputasi dan simpati publik13 daripada penegakan hukum
pidana korupsi itu sendiri.

12
Surahmad.2016.. Kontroversi Kebijakan Hukuman Mati Bagi Koruptor Di Indonesia.
Pusdiknas : Jurnal Ilmiah Kebijakan Nasional Dan Internasional, 2(3).
13
Iftitahsari. 2020. Hukuman Mati Dalam Pemberantasan Korupsi.

10
Pendukung pidana mati terhadap koruptor juga dapat ditemukan dalam
masyrakat Indonesua. Alasan yang diutamakan narasi pendukung pidana mati adalah
pelaku tindak pidana korupsi harus dapat dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya atas
perbuatan yang diperbuatnya. Predikat tindak pidana korupsi sebagai extraordinary
crime tidak hanya untuk memberikan kesan istimewa tetapi untuk menunjukkan bahwa
kerugian yang dirasakan tidak hanya kerugian yang nyata dihasilkan tetapi juga
kerugian tidak nyata yang yaitu kesejahteraan masyarakat yang semakin sulit untuk
diwujudkan. Setiap perbuatan tindak pidana korupsi mengandung unsur kesalahan atau
tindak pidana, maka unsur tersebut yang dapat menyebabkan seseorang itu dihukum
sebagaimana dikeal dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf zonder
schuld atau no punishment without guilt) yang merupakan asas pokok dalam
pertanggungjawaban pidana.14

Pemberian sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi dinilai
masih pantas untuk diterapkan. Melihat dampak yang ditimbulkan dari korupsi yang
mengakibatkan kehancuran yang luar biasa bagi kehidupan bangsa. Tidak hanya
hancur dari sisi ekonomi saja tetapi sisi moralitas bangsa juga turut terdegradasi dari
tindak pidana korupsi yang seolah menjadi ‘budaya’ yang mengakar dari bangsa ini.
Efek yang ditimbulkan pun akan semakin berkelanjutan dan posisi bangsa Indonesia
pun makin rendah di dunia internasional apabila tidak mampu mengendalikan
korupsi.15

Berdasarkan United Nations Corruption Againts Convention (UNCAC) tahun


2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nation Convention Againts Corruption tanggal 18 April 2006,
menyatakan korupsi sebagai persoalan yang serius dan mengancam stabilitas dan
keamanan masyarakat, melecehkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai
etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan aturan
hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) International Covenant on

14
Dr. Tofik Yanuar Chandra.2022.Hukum Pidana. Jakarta: PT. Sangir Multi Usaha, hal.68
15
Anshari, & Fajrin, M. (2020). Urgensi Ancaman Hukuman Pidana Mati Pada Pelaku Tindak
Pidana Korupsi (Analisis Yuridis Normatif Terhadap Kebijakan Hukum Pidana/Penal Policy
Sanksi Pidana Mati di Indonesia). Res Judicata, 3(1), 26–50.

11
Civil and Political Rights (ICCPR) yang masih membolehkan penerapan pidana mati
pada jenis kejahatan yang bersifat serius. Mendasarkan pada ketentuan tersebut, pidana
mati tidak bertentangan dengan ketentuan Internasional.16

Pro dan kontra dari pidana mati memiliki kekuatan argumen yang kuat karena
meletakkan kepentingan sosial sebagai kacamata untuk menelaah penjatuhan pidana
mati kepada koruptor di Indonesia. Maka, pada akhirnya hakim persidangan tindak
pidana korupsi harus melakukan penggalian dan penemuan hukum yang lebih
mendalam dan menjadi kepentingan sosial sebagai tolak ukur utama dalam
pertimbangan keputusan penjatuhan pidana hukum kepada koruptor di Indonesia.
Nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat harus diperhatikan sebagai
pertimbangan yang penting.

Anjari, W. (2020). Penerapan Pidana Mati Terhadap Terpidana Kasus Korupsi. Masalah-
16

Masalah Hukum, 49(4), 432–442. https://doi.org/10.14710/mmh.49.4.2020.432-442

12
BAB III. PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Penjatuhan hukum pidana mati telah tertuang dalam Undang-Undang


Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diperbarui dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) Pasal 2 ayat (2) sulit dilakukan karena Pasal 2 ayat
(2) hanya menjadikan “keadaan tertentu” sebagai pemberat bukan sebagai
syarat materiil dari tindak pindana korupsi yang harus dijatuhi pidana mati.
2. Penegakan pidana mati kepada koruptor di Indonesia menghadapi 3 masalah
utama :
a. Kelemahan dalam substansi hukum “keadaan tertentu” yang
bersifat sebagai pemberat hukuman saja;
b. Kelemahan struktur hukum, yaitu tumpang tindih kewenangan
antara KPK dengan APK lainnya, hanya ini membuat
pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi
tidak utuh karena kedua lembaga tersebut akan saling bergesekan
kepentingan;
c. Kelemahan kultur hukum, yaitu pro dan kontra tentang pidana
mati dalam masyarakat yang masih “terbentang jauh” sehingga
pidana mati dimasukkan ke dalam undang-undang tampak
“hanya sekedar” memenuhi keinginan masyarakat tanpa
memperhatikan efek jera ataupun perwujudan kesejahteraan
yang ingin dicapai.

13
III.2. Saran

Berdasarkan pembahasan diatas dapat Penulis ingin mengajukan saran sebagai


berikut:

1. Pemberlakuan pidana mati harus dijadikan hukuman maksimal dalam setiap


keadaan di mana tindak pidana korupsi terjadi, tanpa harus memperhatikan
“keadaan tertentu” .
2. Ketiga masalah dalam yang ditemukan dari pembahasan dapat dilakukan
penanggulangan dengan cara :
a. Menghapus “keadaan tertentu” supaya pidana mati dapat dilakukan
dalam kondisi apapun sebagai hukuman masksimal dari tindak pidana
korupsi;
b. Perlu dilakukan penyamaan visi dan misi administrasi atau tata laksana
pemberantaran tindak pidana korupsi antara KPK dan APK sehingga
tumpang tindih kewenangan dapat diminimalisir;
c. Pro dan kontra tentang pidana mati akan terus terjadi namun,
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak boleh
menjadikan pro dan kontra masyarakat sebagai alasan melemahkan
pelaksanaan hukum maksimal dari tindak pidana korupsi supaya efek
jera terwujud walaupun tanpa pidana mati.

14
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang

Penjelasan Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi

Buku dan Jurnal


Anjari, W. (2020). Penerapan Pidana Mati Terhadap Terpidana Kasus Korupsi.
Masalah-Masalah Hukum, 49(4), 432–442.
https://doi.org/10.14710/mmh.49.4.2020.432-442
Anshari, & Fajrin, M. (2020). Urgensi Ancaman Hukuman Pidana Mati Pada
Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Analisis Yuridis Normatif Terhadap
Kebijakan Hukum Pidana/Penal Policy Sanksi Pidana Mati di Indonesia).
Res Judicata, 3(1), 26–50.
Arief, B. N. 2013. Kebijakan Reformulasi Ancaman Pidana Mati Tindak Pidana
Korupsi Dalam Peraturan Perundang-Undangan. Masalah-Masalah Hukum.
https://doi.org/10.14710/mmh.42.1.2013.23-33
Astuti, P. B. W. P. E. S.. 2016. Problem Yuridis Penerapan Sanksi Pidana Mati
Terhadap Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Diponegoro Law
Journal, 5(4), 1–12.
Batubara, R. F. 2014. Kebijakan Formulasi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Korupsi Di Indonesia. LAW REFORM.
https://doi.org/10.14710/lr.v10i1.12458
Chandra, Dr. Tofik Yanuar.2022.Hukum Pidana. Jakarta: PT. Sangir Multi Usaha
Evi Hartanti. 2009. Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.
Iftitahsari. 2020. Hukuman Mati Dalam Pemberantasan Korupsi.
Manan, Bagir. (2001). Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi
Manusia di Indonesia. Jakarta: Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan
Supremasi Hukum.

15
Surahmad.2016.. Kontroversi Kebijakan Hukuman Mati Bagi Koruptor Di
Indonesia. Pusdiknas : Jurnal Ilmiah Kebijakan Nasional Dan Internasional,
2(3).
Wiyono. 2009.Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta : SInar Grafika, hal. 31

Website
https://nasional.tempo.co/read/1619783/kronologi-korupsi-bansos-juliari-
batubara-nomor-6-vonis-diringankan-karena-dihujat diakses 3 Januari 2023
pukul 19.40 WIB
https://bnpb.go.id/berita/presiden-tetapkan-covid19-sebagai-bencana-
nasional#:~:text=JAKARTA%20%2D%20Presiden%20Joko%20Widodo%
20secara,%2D19)%20Sebagai%20Bencana%20Nasional diakses pada
tanggal 02 Januari 2023 pukul 20.21 WIB

16

Anda mungkin juga menyukai