Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH AKUNTANSI FORENSIK

TENTANG
UNDANG-UNDANG BIDANG KEUANGAN NEGARA
&
UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Di Susun Oleh:

Agnes Pratiwi Towua ( C30020028 )


Alda Alfiani ( C30020036 )
Alfira Rahmatia Latasad ( C30020022 )

AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini berjudul “Undang-undang Bidang Keuangan Negara & Undang-
undang Tindak Pidana Pencucian Uang” disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah
Akuntansi Forensik.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca.

Akhir kata, kami sampaikan permohonan maaf apabila ada kesalahan penulisan. Atas
perhatiannya,kami ucapkan Terima Kasih.

Palu,17 September 2022

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan masalah............................................................................................................2
C.Tujuan masalah................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3

1. UNDANG-UNDANG KEUANGAN NEGARA..............................................................3


1.1. Definisi Keuangan Negara..................................................................................3
1.2. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara..............................................3
1.3. Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD...................................................4
1.4. Pelaksanaan APBN dan APBD..........................................................................5
1.5. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara........................................5

2. UNDANG-UNDANG PERBENDAHARAAN NEGARA..............................................6


2.1. Definisi,Ruang Lingkup, dan Asas Umum Perbendaharaan Negara.................6
2.2. Penerapan Kaidah Pengelolaan Keuangan yang sehat.......................................7
2.3. Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.................................................8

3. UNDANG-UNDANG PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA................................8


3.1 Definisi Pemeriksaan Keuangan Negara.............................................................8
3.2. Lingkup Pemeriksaan.........................................................................................8
3.3. Pelaksanaan Pemeriksaan .................................................................................9
3.4. Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut...............................................................10
3.5. Pengenaan Ganti Kerugian Negara....................................................................11

4. UNDANG-UNDANG BPK.........................................................................................12.
4.1. Definisi BPK................................................................................................12.

5. PENCUCIAN UANG.......................................................................................................13
5.1. Definisi Pencucian Uang...................................................................................13
5.2. Undang-undang 15/2002...................................................................................13
5.3. Undang-undang 25/2003...................................................................................14

ii
6. PRINSIP MENGENAL NASABAH (KYC)..............................................................15

BAB III PENUTUP........................................................................................................23

A. Kesimpulan.................................................................................................................23
B. Saran............................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu


penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam
upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang
berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-
Undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan
negara.

Upaya untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara telah
dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian Undang-undang
tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan
selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar 1945.

Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangatmerugikan


Negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomiannasional atau keuangan
Negara dengan meningkatkan berbagai kejahatan. Praktik pencucianuang kotor, uang tunai atau
kekayaan lain yang berasal dari aktivitas criminal termasuk hasilkorupsi guna menghilangkan asal-
usul merupakan suatu bisnis yang menggiurkan

Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun
2002dengan diundangkannya Undang Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak PidanaPencucian
Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003 diamdemen dengan UndangUndang No.25
Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknyaimplementasi terhadap
ketentuan ini masih jauh dari memuaskan.
Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada
kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini juga 
atas desakan Financial Action Task Force (FATF).
Desakan internasional pertama kali dikakukan padaJuni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk
tekanan dan penilaian FATF akhirnya padaPebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring formal
FATF.

Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak “diawasi”karena 
pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan
rezim anti pencucian uang di Indonesia termasuk peratutan perundangan yang mendukung penegakannya.

1
B. Rumusan Masalah

Apa itu Undang-undang Keuangan Negara ?


Apa itu Undang-undang Perbendaharaan Negara ?
Apa itu Undang-undang Pemeriksaan Keuangan Negara ?
Apa itu Undang-undang BPK ?
Apa itu Undang-undang 15/2002 ?
Apa itu Undang-undang 25/2003 ?
Bagaimana Prinsip Mengenal Nasabah ?

C. Tujuan Masalah

Memahami Undang-undang Keuangan Negara


Memahami Undang-undang Perbendaharaan Negara
Memahami Undang-undang Pemeriksaan Keuangan Negara
Memahami Undang-undang BPK
Memahami Undang-undang 15/2002
Memahami Undang-undang 25/2003
Mengetahui Prinsip Mengenal Nasabah

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. UNDANG-UNDANG KEUANGAN NEGARA

1.1 Definisi Keuangan Negara

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, keuangan negara didefinisikan


sebagai; semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 butir 1).
Keuangan negara merupakan aspek terpenting dalam proses penyelenggaraan negara. Proses
pembangunan tidak akan berjalan lancar apabila keuangan negara terganggu atau tidak stabil.
Wujud pengelolaan keuangan negara tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). APBN disusun oleh pemerintah dan dibahas bersama DPR dengan memperhatikan
pertimbangan dari DPD.

Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek,
subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan
dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala
sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan
Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai
oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada
kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi
tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang
pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan.

1.2. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,


pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung
jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai
dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Keuangan Negara
perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke
dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan
keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas
maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik)
dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :
- akuntabilitas berorientasi pada hasil;
- profesionalitas;

3
- proporsionalitas;

- keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;


- pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan
daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan
Undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus
dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

1.3. Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD

Penyusunan APBN dilakukan untuk membiayai segala kepentingan negara demi mewujudkan
perekonomian nasional yang lebih baik. Dari rincian APBN tersebut, pemeritah dapat melihat seberapa
besar penerimaan negara yang diterima serta berapa besar biaya yang harus dibayarkan negara di tahun
anggaran berjalan.

Secara singkat, alur penyusunan APBN terdiri dari:


Penyusunan RAPBN (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) oleh lembaga-lembaga
terkait berdasarkan hasil analisis dari asumsi-asumsi makroekonomi.
Pemerintah akan mengajukan RAPBN tersebut kepada DPR untuk didiskusikan lebih lanjut apakah
RAPBN tersebut dapat disetujui atau tidak.
Jika DPR menyetujui RAPBN tersebut, maka DPR akan mengesahkannya menjadi APBN. Jika DPR
menolak RAPBN tersebut, maka pemerintah harus menggunakan APBN yang terdahulu.

Tujuan utama dari APDB adalah sebagai pedoman pemerintah daerah dalam mengatur pendapatan daerah
serta pengeluaran daerah demi kesejahteraan daerah. APDB juga bertujuan sebagai koordinator
pembiayaan dalam pemerintahan daerah dan menciptakan transparasi dalam anggaran pemeritah daerah.

APBD juga memiliki fungsi seperti APBN yaitu:


 Fungsi Otoritas
APBD menjadi pedoman dalam pelaksanaan pendapatan serta belanja negara pada TA tertentu.
 Fungsi Perencanaan
APBD berfungsi sebagai pedoman dalam perencanaan anggaran keuangan daerah pada TA tertentu.
 Fungsi Pengawasan
APBD berfungsi untuk mengawasi kinerja dari pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian
daerah
 Fungsi Alokasi
APBD berfungsi sebagai pedoman dalam alokasi dana yang tepat bagi peningkatan perekonomian daerah.
Alokasi penggunaan dana APBD haruslah sesuai dengan tujuan peningkatan perekonomian tersebut.
 Fungsi Distribusi
APBD haruslah didistribusikan secara merata dan adil.
 Fungsi Stabilitas
APBD harus dapat menjadi instrumen dalam kestabilan ekonomi daerah.

4
Mirip dengan APBN, alur penyusunan APBD adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah daerah menyusun RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
2. Pemerintah daerah akan mengajukan RAPBD tersebut kepada DRPD untuk dirapatkan apakan
RAPBD tersebut disetujui atau tidak.
3. Jika DPRD memutuskan untuk menyetujui RAPBD, maka RAPBD akan disahkan menjadi
APBD.

1.4. Pelaksanaan APBN dan APBD

Pelaksanaan APBN diatur dalam Undang-Undang No. 45 Tahun 2013 tentang tata cara pelaksanaan
APBN agar APBN dapat berjalan dengan baik dan bertanggung jawab. Dalam pelaksanaannya, terdapat
pengawasan APBN yang bersifat internal maupun eksternal. Pengawasan internal diterapkan oleh satuan
pengawas dari kelompok yang diawasi. Sementara itu, pengawasan eksternal dilakukan dengan
pemeriksaan oleh BPH (Badan Pemeriksa Keuangan).
Setelah APBD selesai dirancang dan diresmikan, dimulailah pelaksanaan APBD. Pelaksana APBD adalah
pemerintah daerah yang menetapkan RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) berdasarkan APBD yang
sudah disahkan menjadi DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja). DASK kemudian menjadi pedoman
dasar pelaksanaan seluruh anggaran.

1.5. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara

Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD


disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran,
neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi
pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran
yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah
berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.

Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan
Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah
ditetapkan dalam UU tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut
dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya
Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang
untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik
negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya.
Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud
merupakan unsur pengendalian intern yang andal.

5
2. UNDANG-UNDANG PERBENDAHARAAN NEGARA

2.1. Definisi,Ruang Lingkup, dan Asas Umum Perbendaharaan Negara

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dimaksudkan untuk memberikan
landasan hukum di bidang administrasi keuangan negara. Dalam Undang-Undang tersebut ditetapkan
bahwa Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk
investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.

Ruang lingkup Perbendaharaan Negara meliputi:


 Pelaksanaan Pendapatan Negara dan Belanja Negara;
 Pelaksanaan Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah;
 Pelaksanaan Penerimaan Negara dan Pengeluaran Negara;
 Pelaksanaan Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah;
 Pengelolaan Kas Negara;
 Pengelolaan Piutang Negara, Utang Negara, Piutang Daerah, dan Utang Daerah;
 Pengelolaan Investasi, Barang Milik Negara, dan Barang Milik Daerah;
 Penyelenggaraan Akuntansi dan Sistem Informasi Manajemen Keuangan Negara/Daerah;
 Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN/APBD;
 Penyelesaian Kerugian Negara dan Kerugian Daerah;
 Pengelolaan Badan Layanan Umum;
 Perumusan Standar, Kebijakan, Serta Sistem dan Prosedur yang Berkaitan dengan Pengelolaan
Keuangan Negara Dalam Rangka Pelaksanaan APBN/APBD.

Asas umum Perbendaharaan Negara adalah:


 Undang-Undang tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah Pusat untuk melakukan penerimaan
dan pengeluaran negara.
 Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan
penerimaan dan pengeluaran daerah.
 Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika
anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.
 Semua pengeluaran negara, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang sesuai dengan program
pemerintah pusat, dibiayai dengan APBN.
Program Pemerintah Pusat dimaksud diusulkan di dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN
serta disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara dengan berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
 Semua pengeluaran daerah, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang sesuai dengan program
pemerintah daerah, dibiayai dengan APBD.
Program Pemerintah Daerah dimaksud diusulkan di dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
serta disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan daerah dengan berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.

6
 Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak atau tidak terduga disediakan dalam
Bagian Anggaran tersendiri yang selanjutnya diatur dalamPeraturan Pemerintah.
 Kelambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan pelaksanaan APBN/APBD dapat
mengakibatkan pengenaan denda atau bunga.
Denda dan/atau bunga dimaksud dapat dikenakan kepada kedua belah pihak.

Sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 menganut asas kesatuan, asas universalitas, asas tahunan, dan asas spesialitas.
 Asas kesatuan menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu
dokumen anggaran.
 Asas universalitas mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam
dokumen anggaran.
 Asas tahunan membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu. Asas spesialitas
mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya.
Demikian pula, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 memuat ketentuan yang mendorong
profesionalitas, serta menjamin keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran.
Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dimaksudkan pula untuk
memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula
dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut
dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan
kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu Undang-
undang Perbendaharaan Negara ini selain menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan reformasi
pengelolaan Keuangan Negara pada tingkat pemerintahan pusat, berfungsi pula untuk memperkokoh
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

2.2. Penerapan Kaidah Pengelolaan Keuangan yang sehat


Fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintahan yang terbatas
secara efisien meliputi perencanaan kas yang baik, pencegahan supaya tidak terjadi kebocoran
danpenyimpangan , pencarian sumber pembiayaan yang termurah dan pemanfaatan dana yang
mengangguruntuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan.Penatausahaan dan
Pertanggungjawaban Pelaksanaan

Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara perlu


ditetapakanketentuan yang mengatur mengenai hal-hal tersebut agar:

 Dihasilkan melalui proses akuntansi


 Disajikan sesuai standar akuntansi pemerintahan
 Disajikan sebagai wujud pertanggungjawaban setiap entitas pelaporan
 Disampaikan kepada DPR/DPRD selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran
yangbersangkutan berakhir
 Dapat menghasilkan statistik keuangan yang mengacu pada manual Statistik Keuangan
Pemerintah

7
2.3. Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dapat dibentuk Badan Layanan
Umum yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara yang tidak
dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan Badan
Layanan Umum yang bersangkutan. Berkenaan dengan itu, rencana kerja dan anggaran serta laporan
keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah.
Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum dilakukan oleh Menteri Keuangan, sedangkan pembinaan
teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.

3. UNDANG-UNDANG PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA

3.1 Definisi Pemeriksaan Keuangan Negara

Pemeriksaan Keuangan Negara atau Audit Keuangan Negara adalah proses identifikasi
masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional
berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan
keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Negara mengatur pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebelum berlakunya Undang-Undang ini, dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara, BPK berpedoman berpedoman kepada Instructie en Verdere
Bepalingen voor de Algemene Rekenkomer atau IAR (Staatsblad Tahun 1898 Nomor 9 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Staatsblad Tahun 1933 Nomor 320). Undang-Undang ini bertujuan untuk
mewujudkan pengelolaan keuangan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004tentang Perbendaharaan Negara, di mana perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa
keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 23E Undang-Undang Dasar
1945.

3.2. Lingkup Pemeriksaan

Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan
pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi
seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara.

8
Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh Akuntan Publik berdasarkan ketentuan undang undang,
laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Penyampaian
laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud diperlukan agar BPK dapat melakukan evaluasi
pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik. Hasil pemeriksaan akuntan publik dan
evaluasi tersebut selanjutnya disampaikan oleh BPK kepada lembaga perwakilan, sehingga dapat
ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya.

Pemeriksaan sebagaimana dimaksud terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu:

 Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini
tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
 Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan
aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan
manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah.
Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945 mengamanati BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja
pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan hal hal yang
perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja
dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara
ekonomis dan efisien serta memenuhi sasarannya secara efektif.
 Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan
keuangan dan pemeriksaan kinerja. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan
atas hal hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian
intern pemerintah.

3.3. Pelaksanaan Pemeriksaan


Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode
pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri
oleh BPK.

BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan,
pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan
dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri
dalam undang undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.

Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga
perwakilan. Permintaan dimaksud dapat berupa hasil keputusan rapat paripurna, rapat kerja, dan alat
kelengkapan lembaga perwakilan.

Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan pendapat sebagaimana dimaksud, BPK atau lembaga
perwakilan mengadakan pertemuan konsultasi.

Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah,
bank sentral, dan masyarakat. Informasi dari pemerintah termasuk dari lembaga independen yang
dibentuk dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi, Komisi pengawasan Persaingan Usaha, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

9
Informasi dari masyarakat termasuk penelitian dan pengembangan, kajian, pendapat dan keterangan
organisasi profesi terkait, berita media massa, pengaduan langsung dari masyarakat.

Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat
memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Untuk keperluan sebagaimana
dimaksud, laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK.

Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari
luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar
BPK dilakukan apabila BPK tidak memiliki/tidak cukup memiliki pemeriksa dan/atau tenaga ahli yang
diperlukan dalam suatu pemeriksaan. Pemeriksa dan/atau tenaga ahli dalam bidang tertentu dari luar BPK
dimaksud adalah pemeriksa di lingkungan aparat pengawasan intern pemerintah, pemeriksa, dan/atau
tenaga ahli lain yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh BPK. Penggunaan pemeriksa yang
berasal dari aparat pengawasan intern pemerintah merupakan penugasan pimpinan instansi yang
bersangkutan.

Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, pemeriksa dapat:

 meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
 mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau
dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain
yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya;
 melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan negara;
Penyegelan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pemeriksa sebagai salah satu bagian dari prosedur
pemeriksaan paling lama 2 x 24 jam dengan memperhatikan kelancaran pelaksanaan pekerjaan/pelayanan
di tempat yang diperiksa. Penyegelan hanya dilakukan apabila pemeriksaan atas persediaan uang, barang,
dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara terpaksa ditunda karena sesuatu hal. Penyegelan
dilakukan untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara dari
kemungkinan usaha pemalsuan, perubahan, pemusnahan, atau penggantian pada saat pemeriksaan
berlangsung.
 meminta keterangan kepada seseorang;
Permintaan keterangan dilakukan oleh pemeriksa untuk memperoleh, melengkapi, dan/atau meyakini
informasi yang dibutuhkan dalam kaitan dengan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan seseorang adalah
perseorangan atau badan hukum.
 memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan.
Kegiatan pemotretan, perekaman, dan/atau pengambilan sampel (contoh) fisik obyek yang dilakukan oleh
pemeriksa bertujuan untuk memperkuat dan/atau melengkapi informasi yang berkaitan dengan
pemeriksaan.

3.4. Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut


Pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan (LHP) setelah pemeriksaan selesai dilakukan.

Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksaan. Laporan interim
pemeriksaan dimaksud, diterbitkan sebelum suatu pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan tujuan
untuk segera dilakukan tindakan pengamanan dan/atau pencegahan bertambahnya kerugian.

Muatan laporan-laporan hasil pemeriksaan:

10
 LHP atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.
 LHP atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
 LHP dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan disajikan
dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria:

1. kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan;


2. kecukupan pengungkapan (adequate disclosures);
3. kepatuhan terhadap peraturan perundang undangan; dan
4. efektivitas sistem pengendalian intern.
Terdapat 4 jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni:

1. opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion);


2. opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion);
3. opini tidak wajar (adversed opinion); dan
4. pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).
Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi
pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada LHP.

LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD
selambat-lambatnya 2 bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat. Yang dimaksud
dengan LKPP adalah laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

3.5. Pengenaan Ganti Kerugian Negara


BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas
kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan
yang merugikan keuangan negara/daerah. Surat keputusan dimaksud pada ayat ini diterbitkan apabila
belum ada penyelesaian yang dilakukan sesuai dengan tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/
daerah yang ditetapkan oleh BPK.

Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK dalam waktu 14 hari kerja
setelah menerima surat keputusan sebagaimana dimaksud.

Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan dirinya ditolak, BPK menetapkan surat
keputusan pembebanan penggantian kerugian negara/daerah kepada bendahara bersangkutan. Pembelaan
diri ditolak oleh BPK apabila bendahara tidak dapat membuktikan bahwa dirinya bebas dari kesalahan,
kelalaian, atau kealpaan.

Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK setelah
berkonsultasi dengan pemerintah. Tatacara penyelesaian ganti kerugian sebagaimana dimaksud berlaku
pula bagi pengelola perusahaan umum dan perusahaan perseroan yang seluruh atau paling sedikit 51%
sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang
tersendiri.

11
Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/direksi perusahaan negara dan badan badan lain
yang mengelola keuangan negara melaporkan penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat
lambatnya 60 hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah dimaksud. BPK memantau
penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau
pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.

4. UNDANG-UNDANG BPK

4.1. Definisi BPK

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia adalah lembaga negara dalam sistem


ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri. Anggota
BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah, dan diresmikan oleh Presiden. Anggota BPK sebelum memangku jabatannya
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya yang dipandu oleh Ketua Mahkamah
Agung .

Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang:

1. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan


waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan;
2. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit
organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank
Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan
lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara;
3. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat
pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap
perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan
daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara;
4. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;
5. menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara;
6. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
7. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas
nama BPK;
8. membina jabatan fungsional Pemeriksa;
9. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan
10. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah Pusat/Pemerintah
Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah.

12
5. PENCUCIAN UANG

5.1. Definisi Pencucian Uang

Pencucian uang merupakan perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,


membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Dengan menjauhkan para
pelaku kejahatan dari hasil kejahatannya, pelaku kejahatan dapat menikmati hasil kejahatan tanpa adanya
kecurigaan kepadanya, ataupun melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya
atau ke dalam bisnis yang sah.

5.2. Undang-undang 15/2002


Pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) tahap kegiatan, yakni
placement, layering dan integration.
a. Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan
misalnya dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok
untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank, atau
dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan (misalnya cek atau giro) yang akan
ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain. Placement
dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang
tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari
kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah.
b. Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan
yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan
dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui
serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/menyembunyikan sumber
uang “haram” tersebut.
c. Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate explanation'
bagi hasil kejahatan. Disini uang yang ‘dicuci’ melalui placement maupun layering dialihkan ke
dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas
kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang
telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan
hukum.
Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang,maka dibentuk PPATK yang bertugas :

Berdasarkan Pasal 3 Perpres No. 10 tahun 2022, tugas PPATK adalah mencegah dan memberantas tindak
pidana pencucian uang. Secara lebih rinci, tugas PPATK adalah sebagai berikut:

13
1. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang
2. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK
3. Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor
4. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak
pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain.

Sementara itu, dalam melaksanakan tugasnya, fungsi PPATK adalah sebagai berikut:

Fungsi pencegahan dan pemberantasan TPPU Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang, wewenang PPATK adalah:

1. Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta
yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah
dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu
2. Menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan
3. Mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait
Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana
Pencucian Uang
4. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang
berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang
5. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang
6. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.

Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK
dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.

5.3. Undang-undang 25/2003


Kemudian, Undang-Undang 15/2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 (disingkat Undang-Undang 25/2003).

Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di


bidangkomunikasi menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan, termasuk sistem
perbankan.Mekanisme lalu lintas dana antarnegara dapat dilakukan dalam waktu yang sangat
singkat.Di samping mempunyai dampak positif, keadaan ini juga berdampak negatif, yaitu semakin
meningkatnya tindak pidana yang berskala nasional dan internasional, termasuk tindakpidana
pencucian uang.

Ketentuan dalam Undang-Undang 15/2002 tersebut dirasakan belum memenuhi standar


internasional sehingga perlu diubah. Berikut perubahan dalam undang-undang ini.

1. Penyedia jasa keuangan diperluas tidak hanya meliputi setiap orang yang menyediakan jasa di
bidang keuangan, tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan

14
penyedia jasa keuangan yang belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan
mengantisipasi munculnya bentuk Penyedia Jasa Keuangan baru yang belum diatur dengan
Undang-Undang15/2002.
2. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan diperluas dengan mencantumkan transaksi
keuangan yang dilakukan atau bakal dilakukan dengan menggunakan kekayaan yang diduga
berasal dari hasil tindak pidana.
3. Menghapus pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp500 juta atau lebih karena tidak
sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa dapat/tidaknya suatu perbuatan dipidana tidak
ditentukan oleh besar kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh.
4. Cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas.
5. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat, yang
semula 14 hari kerja menjadi tidak lebih dari 3 hari kerja setelah penyedia jasa keuangan
mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar kekayaan
yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat
segera dilacak.
6. Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan
7. penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau
penyidik (anti-tipping off). Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mencegah berpindahnya hasil
tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga mengurangi efektivitas
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

5.3. Prinsip Mengenal Nasabah (KYC)


Sistem keuangan sangat rawan bagi kegiatan pencucian uang. Mengingat perbankan paling
dominan dalam sistem keuangan Indonesia, pengamanan sistem perbankan dari kegiatan pencucian
uang perlu mendapat perhatian khusus. Untuk itu, Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan yang
melarang setoran modal bank pada tanggal 12 Mei 1999 dengan menggunakan dana yang berasal
dari dana untuk tujuan pencucian uang. Ketentuan setoran modal dimaksud berlaku dalam rangka
pendirian bank baru dan tambahan setoran modal. Dalam ketentuan ini mewajibkan investor
membuat surat pernyataan bahwa dana penerapannya, untuk setoran modal atau tambahan setoran
modal bank tidak berasal dari atau untuk tujuan pencucian uang.

Selanjutnya, pada tanggal 18 Juni 2001, Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan Prinsip
digunakan sebagai sarana pencucian uang. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip prudential
mengenal profil dan karekteristik transaksi nasabahnya sebagai upaya awal mencegah bank
Mengenal Nasabah atau Know Your Customer Principles (KYC) yang mewajibkan bank unink

15
internasional yang mewajibkan bank-bank memiliki pedoman manajemen risiko. Risiko banking
berdasarkan Basle Core Principles for Effective Banking Supervision. Ini praktik yang akan
dihadapi apabila bank dimanfaatkan untuk sarana pencucian uang meliputi risiko operasional, risiko
hukum, risiko konsentrasi, dan risiko reputasi.

FATF memandang langkah-langkah tersebut di atas kurang memadai karena belum adanya
KYC bagi lembaga keuangan non-bank, termasuk perusahaan sekuritas. Hal ini menjadi salah satu
faktor penyebab FATF memasukkan Indonesia dalam daftar Non- Cooperative Countries and
Territories pada bulan Juni 2001.

Pada Januari 2003, Departemen Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal
mengeluarkan ketentuan KYC bagi Lembaga Keuangan Non-Bank yang berada di bawah
pengawasan instansi tersebut. Departemen Keuangan (Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan)
memiliki kewenangan pengawasan terhadap perusahaan asuransi, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan pegadaian. Sementara itu, Bapepam mengawasi perusahaan efek, pengelola reksa
dana dan kustodian. Pada bulan Desember 2001, Bank Indonesia menyempurnakan ketentuan KYC
dengan standar minimum yang wajib dijadikan acuan bank-bank.

BEBERAPA KONSEP PENTING

Secara umum, hal-hal yang menjadi latar belakang dari undang-undang mengenai tindak pidana
pencucian uang dibahas di atas. Pada bagian ini, kita akan melihat beberapa konsep penting dalam
undang-undang ini

Kriminalisasi dari Perbuatan Pencucian Uang

Seperti dibahas pada Bab 22, hukum pidana memiliki asas yang dikenal dengan istilah nullum delictum.
Dengan undang-undang ini, Indonesia menetapkan perbuatan-perbuatan tertentu secara resmi sebagai
tindak pidana, sebagai perbuatan kriminal, atau secara spesifik disebut Tindak Pidana Pencucian Uang
(disingkat TPPU).

TPPU ini diperinci pada Bab II dari undang-undang tentang TPPU. Bab III memerinci
tindak pidana lain yang berkaitan dengan TPPU. Di bawah ini akan dibahas beberapa pasal dari Bab
II dan III.

Pasal 3

16
 Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana kedalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama
sendiri maupun atau atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atau atas nama
pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atau atas nama pihak lain;
e. menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik atas namanya sendiri maupun atau atas nama pihak lain;
f. membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya,
h. dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian
uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

(2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 6
(1) Setiap orang menerima atau menguasai:
 penempatan;
 pentransferan;
 pembayaran;
 hibah;
 sumbangan;

17
 penitipan; atau
 penukaran;
 harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang
melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimar.a dimaksud dalam Pasal 13.

Semua kejahatan yang disebut dalam Pasal 2 ayat 1, kecuali huruf n (terorisme), menunjukkan
arus uang yang bersumber dari kejahatan tersebut ("hasil tindak pidana") melalui TPPU diupayakan
menjadi "bersih". Inilah proses pencucian uang atau money laundering yang biasanya dikenal.

Khusus untuk tindak pidana terorisme, yang terjadi adalah sebaliknya. Ada arus uang yang
berasal dari bermacam-macam sumber yang disamarkan sebagai sumbangan kemanusiaan,
pendidikan, keagamaan, dan lain-lain yang kemudian dipakai untuk tindak pidana terorisme. Ini
disebut pencucian uang secara terbalik atau reverse money laundering. Harta kekayaan ini diatur
dalam Pasal 2 ayat 2: "harta kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung
untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n".

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagain.ana
dimaksud dalam ayat (1). Aturan ini juga berlaku untuk Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi
Indonesia yang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 7).

Pasal 6 ayat 1 menegaskan: "Setiap orang menerima atau menguasai":

a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran

18
Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Tindak pidana lain yang berkaitan dengan TPPU mengatur tindak pidana dan sanksi berkenaan dengan:

o Tidak menyampaikan laporan yang seharusnya disampaikan ke PPATK (Pasal 8 dan 9);
o Tidak merahasiakan identitas pelapor (Pasal 10);
o Tidak merahasiakan dokumen dan/atau keterangan (Pasal 10A).

Pasal 12 menegaskan bahwa tindak pidana dalam Bab II dan III yang dijelaskan di atas adalah kejahatan.

Kewajiban Melapor

Undang-undang TPPU hanya bisa berjalan apabila pihak-pihak yang berkewajiban menyampaikan
laporan kepada PPATK, melaksanakan kewajibannya. Itulah sebabnya disebutkan bahwa mereka akan
melakukan kejahatan apabila pihak-pihak ini tidak melakukan kewajibannya.

Ada dua jenis laporan yang wajib disampaikan, yaitu laporan mengenai transaksi keuangan mencurigakan
dan laporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai. Kedua jenis transaksi ini
dijelaskan dalam Pasal 1 butir 7 dan 8.

Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari
nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakanharta kekayaan
yang diduga berasal dari Hasil Tindak Pidana.

Perluasan Definisi "Dokumen"

Seperti halnya dengan undang-undang mengenai tindak pidana korupsi (lihat Bab 16), undang-undang
TPPU juga memperluas definisi tradisional mengenai dokumen (lazimnya dikenal sebagai "surat")
dengan memperhitungkan teknologi informasi dan komunikasi.

19
Pasal 1 ayat 9 mendefinisikan dokumen sebagai berikut.

Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun
selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tetapi tidak terbatas pada:

a. tulisan, suara, atau gambar


b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapatdipahami oleh orang
yang mampu membaca atau memahaminya.

Perlindungan bagi Pelapor dan Saksi

Perlindungan bagi pelapor dan saksi di atur dalam Bab VII Undang-Undang TPPU. Di bawah ini
disajikan kutipan dari beberapa pasal.

BAB VII
PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI
Pasal 39

(1) PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan hak kepada
pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan.

Pasal 40

(1) Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberikan
perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau
hartanya, termasuk keluarganya.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 41

(1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak
pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor,
atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

20
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi,
penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 42

(1) Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib
diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau
kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalamPasal 40 dan Pasal 42.

Kerja Sama Internasional dalam Masalah TPPU

TPPU melewati batas negara. Karena itu, kerja sama timbal balik antarnegara sangat
penting. Hal di atur dalam Bab VIII Undang-Undang TPPU. Di bawah ini disajikan kutipan dari
beberapa pasal.

BAB VIII
BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 44

o Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja
sama bantuan timbal balik di bidang bukum dengan negara lain melalui forum bilateral atau
multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
o Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini dapat dilaksanakan dalam
hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan negara
Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas.

21
o Permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari dan ke negara lain disampaikan kepada dan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan perundang-undangan.
o Menteri dapat menolak permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari Negara lain dalam hal
tindakan yang diajukan oleh negara lain tersebut dapat mengganggu kepentingan nasional atau
permintaan tersebut berkaitan dengan penuntutan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan
dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang.

Pasal 44A

(1) Kerja sama bantuan timbal balik dengan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
antara lain meliputi:
 pengambilan barang bukti dan pernyataan seseorang, termasuk pelaksanaan surat rogatory;
 pemberian barang bukti berupa dokumen dan catatan lain;
 identifikasi dan lokasi keberadaan seseorang;
 pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan;
 upaya untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil kejahatan;
 mengusahakan persetujuan orang-orang yang bersedia memberikan kesaksian atau
membantu penyidikan di negara peminta;
 bantuan lain yang sesuai dengan tujuan pemberian kerja sama bantuan timbal balik yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam rangka melakukan kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan peraturan perundang- undangan dapat
meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian berupa penggeledahan,
pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, pengambilan keterangan, atau hal-hal lain yang
sesuai dengan ketentuan dan persyaratan sebagaiman diatur dalam Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang ini.
(3) Barang bukti, pernyataan, dokumen, atau catatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Dari pasal-pasal di atas, dapat dilihat hubungan dengan ekstradisi dan Mutual Legal Assistance
yang dibahas pada Bab 28. Misalnya, kita bertemu kembali dengan istilah surat rogatori yang dalam
penjelasan Pasal 44A ayat 1 huruf a dijelaskan sebagai berikut: "Surat rogatori dalam ketentuan ini
adalah surat dari negara lain yang berisi permintaan pemeriksaan untuk mendapatkan keterangan

22
mengenai tindak pidana pencucian uang yang dilakukan di bawah sumpah dan di hadapan penyidik,
penuntut umum, atau hakim di Indonesia dan sebaliknya. Surat rogatori ini dikenal dengan letter of
rogatory".

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Undang-undang yang berlaku, bahwa keuangan Negara adalah meliputi:

· Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
· Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
· Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
· Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
· Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah
Pusat.
· Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah
Daerah.
· Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
· Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
· Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
· Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
· Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
· Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
· Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
· Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih.
· Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

23
· Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih.
· Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

B. Saran
         Menjaga kekayaan Negara dengan memberi masukan terhadap kondisi keuangan Negara yang
dikelola pejabat setempat.
         Menjalankan hak dan kewajiban dalam bidang keuangan bagi rakyat banyak seperti hak-hak
atas dana pembangunan desa, atau untuk kepentingan sekolah.

24
DAFTAR PUSTAKA

https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2970:keuangan-
negara-dan-keuangan-publik&catid=103&Itemid=184

https://www.kelaspintar.id/blog/edutech/beda-penyusunan-dan-pelaksanaan-apbn-dan-apbd-2551/

https://www.academia.edu/39327598/Makalah_Tindak_Pidana_Pencucian_Uang

http://www.wikiapbn.org/perbendaharaan-negara/

https://djpk.kemenkeu.go.id/attach/post-uu-no-1-tahun-2004-tentang-perbendaharaan-negara/UU-67-60-
uu01_2004pjl.htm

https://keuangannegara.id/dasar-pengetahuan/pemeriksaan-keuangan-negara/

25

Anda mungkin juga menyukai