Anda di halaman 1dari 36

OTORITAS JASA KEUANGAN

MAKALAH

Sebagai Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Pasar modal

Dosen Pengampu: Wilman Sanmarino S.E., M.M

Disusun oleh:

NAVA APRILIATRIANDITA (203404125)


SANI NOVIANI (203404111)
INTAN PUTRI APRILIANI (203404117)
RINA YULIANA (203404104)
BESTY BERLIANA R (203404131)
Kelas D

PROGRAM STUDI PERBANKAN DAN KEUANGAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2022
DAFTAR ISI

Halaman
COVER.....................................................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Pengertian Otoritas Jasa Keuangan...........................................................1

1.2 Dasar Hukum.............................................................................................2

1.3 Sejarah Terbantuknya Otoritas Jasa Keuangan.........................................3

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................7

2.1 Visi dan Misi OJK.....................................................................................7

2.2 Struktur Organisasi Otoritas Jasa Keuangan.............................................7

2.3 Tugas dan Wewenang.............................................................................12

2.4 Kinerja OJK.............................................................................................15

BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................23

3.1 Kesimpulan..............................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Otoritas Jasa Keuangan

Menurut para pakar ekonomi:

1. Menkeu Agus Martowardojo: Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi


kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan
OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di
Indonesia.
2. Fuad Rahmany menyatakan bahwa OJK akan menghilangkanpenyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam
OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah.
3. Darmin Nasution: OJK adalah untuk mencari efisiensi di sektor perbankan.
pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab, suatu perekonomian yang kuat,
stabil, dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan.

Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad: terdapat empat pilar sektor


keuangan global yang menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka kebijakan yang
kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua, persiapan resolusi terhadap lembaga-
lembaga keuangan yang ditengarai bisa berdampak sistemik. Ketiga, lembaga
keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dan
keempat transparansi yang harus dijaga.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,


Pasal 1, menyatakan:"Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat dengan
OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,
yang mempunyai fungsi tugas, dan wewenang pengaturan pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini," Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah
sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar
modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Pada

1
dasarnya UU tentang OJK ini hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan
tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki kekuasaan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independent atau tanpa
campur tangan pihak lain. Maksudnya yaitu mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. OJK dibentuk
berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan. OJK didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-
LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan, serta
menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank,
serta untuk melindungi konsumen industri jasa keuangan termasuk mampu
melindungi kepentingan masyarakat luas.

1.2 Dasar Hukum

Dasar hukum Ojk dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun


2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di
sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti
Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
lainnya.

Tugas pengawasan industri keuangan non-bank dan pasar modal secara


resmi beralih dari Kementerian Keuangan dan Bapepam-LK ke OJK pada 31
Desember 2012. Sedangkan pengawasan di sektor perbankan beralih ke OJK pada
31 Desember 2013 dan Lembaga Keuangan Mikro pada 2015

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali

2
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962)

1.3 Sejarah Terbantuknya Otoritas Jasa Keuangan

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan amanat pasal 34


Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dipersyaratkan
pembentukan suatu lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang baru dan
independen yang dibentuk dengan Undang-Undang. Sebagai perwujudan pasal
tersebut dibentuklah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Undang-Undang
Nomor21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dengan terbentuknya
otoritas pengawasan baru yang bernama Otoritas Jasa Keuangan, maka
pengawasan dan pengaturan di sektor jasa keuangan mengalami perubahan yang
sangat fundamental. Pengawasan dan pengaturan industri jasa keuangan non bank
dan pasar modal yang sebelumnya dilakukan oleh BadanPengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK), semenjak 31 Desember 2012 beralih
dan dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara itu pengawasan
dan pengaturan industri perbankan yang sebelumnya dilakukan oleh Bank
Indonesia sejak tanggal 31 Desember 2013 beralih ke Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Pengaturan dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro juga dilakukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak tahun 2015 dua tahunberdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro pasal
28. Peralihan tersebut membuat Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya
otoritas pengaturan dan peangawasan industri jasa keuangan yang memiliki
kewenangan untuk mengawasi seluruh lembaga keuangan formal di Indonesia.
Pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan tersebut meliputi sektor
Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan

3
Lembaga jasa keuangan lainnya. Latar belakang lahirnya Otoritas Jasa Keuangan
karena berbagai hal :

1. Adanya Kongklomerasi Bisnis.

Munculnya kongklomerasi bisnis dibidang jasa keuangan disebabkan


berbagai faktor seperti keinginan lembaga keuangan untuk tumbuh dan
berkembang dengan jalan mengakuisisi jasa lembaga keuangan lainnya,
melakukan diversivikasi produk dan layanan jasa keuangan yang komphrehensif
sesuai dengan tuntutan masyarakat serta keinginan untukmelakukan ekspansi ke
sektor jasa keuangan lainnya.

2. Integrasi produk dan jasa keuangan.

Produk dan jasa keuangan yang mengalami dinamika begitu pesat


membutuhkan pengaturan dan pengawasan yang sangat ketat. Bank yang dulunya
hanya menjual produk yang berasal dari dari bank itu sendiri sekarang bisa
menjual produk yang berasal dari jasa keuangan non bank. Kondisi tersebut bisa
menimbulkan perpindahan risiko produk dan jasa keuangan yang berasal dari
lembaga jasa keuangan non bank yang membuat produk tersbut ke bank yang
menjual produk jasa keuangan bukan bank. Oleh karena itu dibutuhkan lembaga
otoritas yang bisa mengawasi dan mengatur kondisi tersebut yaitu Otoritas Jasa
Keuangan (OJK).

3. Hybrid Product.

Pesatnya kemajuan dibidang teknologi informasi serta inovasi keuangan


telah mendorong industri jasa keuangan untuk mengembangkan dan membuat jasa
keuangan lebih shopisticated (canggih), berbasis teknologi informasi dan
memiliki keterkaitan dengan produk jasa keuangan yang berbeda. Dengan hybrid
product diharapkan lembaga jasa keuangan selalu mengembangkan inovasi seperti
yang diharapkan oleh masyarakat.

4. Arbitrase Peraturan.

4
Pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang dilakukan oleh
otoritas yang berbeda dapat menimbulkan arah kebijakan yang berbeda pula.
Contohnya perbankan yang masuk dalam pengawasan otoritas bank sementara
dalam bursa efek perbankan diawasi oleh otoritas pasar modal. Hal ini akan
menimbulan kebijakan yang berbeda dari dua otoritas maka akan memunculkan
arbitrary yang kebijakan dan pengaturannya bertolak belakang. Oleh karena itu
OJK merupakan solusi untuk kondisi ini.

5. Koordinasi Lintas Sektoral.

Koordinasi lintas sektoral yang semakin baik akan mendorong harmonisasi


kebijakan dibidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan yang semakin
terpadu, saling mendukung dan saling menjaga kestabilan sistem jasa keuangan di
Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan Kementrian Keuangan, Bank
Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan(LPS) dalam melakukan koordinasi lintas
sektoral secara cepat dan tanggap dalam menangani berbagai permasalahan
dibidang sektor jasa keuangan.

6. Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 mengamanatkan kepada Otoritas


Jasa Keuangan khususnya pasal 4, pasal 28, pasal 29, pasal 30 dan pasal 31 untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen dan masyarakat di sektor jasa
keuangan. Pasal-pasal dalam undangundang tersebut secara jelas mengungkap
perlunya edukasi dan perlindungan kepada konsumen. Dasar pembentukan
Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan berbagai aspek terutama aspek
teknologi dimana pertumbuhan dan pengembangan serta sistem layanan jasa
keuangan semakin dibutuhkan oleh masyarakat secara cepat dan tepat. Dengan
lahirnya Otoritas Jasa Keuangan maka pengaturan dan pengawasanlembaga jasa
keuangan dapat dengan mudah dilakukan melalui satu pintu mengingat bahwa
lembaga jasa keuangan tidak hanya perbankan saja tetapi juga ada lembaga jasa
keuangan non bank dan pasar modal. Dengan terbentuknya OJK diharapkan dapat
mendukung kepentingan sektor jasa keuangan secara menyeluruh dan

5
meningkatkan daya saing lembaga jasa keuangan itu sendiri dalam memberikan
kontribusi dalam pembangunan nasional. Selain itu OJK diharapkan dapat
menjaga kepentingan nasional dalam industri jasa keuangan dalam pengelolaan
dibidang sumber daya manusia, pengoperasian, pengendalian dan kepemilikan di
sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek tata kelola yang baik
yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan
kewajaran.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Visi dan Misi OJK

Visi OJK adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang
terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dan mampu
mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang
berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum.

Misi OJK adalah:

1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan


secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
2. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil
serta;
3. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

2.2 Struktur Organisasi Otoritas Jasa Keuangan

7
Keterangan:

STRUKTUR ORGANISASI OJK TERDIRI ATAS:

1. Dewan Komisioner OJK

2. Pelaksana Kegiatan Operasional

STRUKTUR DEWAN KOMISIONER TERDIRI ATAS:

1. Ketua merangkap anggota;

8
2. Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;

3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;

4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;

5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga


Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;

6. Ketua Dewan Audit merangkap anggota;

7. Anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen;

8. Anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan


Gubernur Bank Indonesia; dan

9. Anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat


setingkat Eselon I Kementerian Keuangan.

PELAKSANA KEGIATAN OPERASIONAL TERDIRI ATAS:

1. Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis I;

2. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis II;

3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang Pengawasan Sektor


Perbankan;

4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang Pengawasan


Sektor Pasar Modal;

5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga


Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin bidang
Pengawasan Sektor IKNB;

6. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko;
dan

7. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen


memimpin bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.

9
8. ADK (Anggota Dewan Komisioner)
9. SCOM (Strategic Committee)
10. DKSK (Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan)
11. DSVL (Departemen Surveillance)
12. GKKT (Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi)
13. GDST (Grup Pengelolaan Data dan Statistik Terintegrasi)
14. DKIR (Deputi Komisioner Internasional dan Riset)
15. DINT (Departemen Internasional)
16. DRJK (Departemen Riset SJK)
17. GPUT (Grup Penanganan APU PPT)
18. DKID (Deputi Komisioner OJK Institure dan Keuangan Digital)
19. OJKI (OJK Institute)
20. GIKD (Grup Inovasi Keuangan Digital)
21. DKRG (Deputi Komisioner Regional)
22. KR (Kantor Regional)
23. KOJK (Kantor OJK)
24. DKIK (Deputi Komisioner Sistem Informasi dan Keuangan)
25. DPSI (Departemen Pengelolaan Sistem Informasi)
26. DKEU (Departemen Keuangan)
27. GPSI (Grup Pengembangan Aplikasi Sistem Informasi)
28. DKHP (Deputi Komisioner Hukum dan Penyidikan)
29. DHUK (Departemen Hukum)
30. DPJK (Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan)
31. GPHK (Grup Penelitian dan Pengembangan Hukum Sektor Jasa Keuangan)
32. DKSM (Deputi Komisioner SDM dan Manajemen Strategis)
33. DOSM (Departemen Organisasi dan SDM)
34. DMSP (Departemen Manajemen Strategis dan Perubahan)
35. DKSL (Departemen Komisioner Sekretariat Dewan Komisioner dan Logistik)
36. DSHK (Departemen Sekretariat Dewan Komisioner dan Hubungan
Kelembagaan)
37. DLOG (Departemen Logistik)

10
38. DKAI (Deputi Komisioner Audit Internal dan Manajemen Risiko)
39. DPAI (Departemen Audit Internal)
40. DRPK (Departemen Manajemen Risiko dan Pengendalian Kualitas)
41. GPAF (Grup Penanganan Anti Fraud)
42. DKEP (Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen)
43. DLIH (Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Hubungan Masyarakat)
44. DPLK (Departemen Perlindungan Konsumen)
45. DKB1 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I)
46. DKB2 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II)
47. DKB3 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III)
48. DPNP (Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan)
49. DPIP (Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan
50. DPPS (Direktorat Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah)
51. DPKP (Departemen Pengendalian Kualitas Pengawasan Perbankan
52. DPMK (Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis)
53. DRKP (Departemen Pemeriksaan Khusus Perbankan)
54. DPB1 (Departemen Pengawasan Bank 1)
55. DPB2 (Departemen Pengawasan Bank 2)
56. DPB3 (Departemen Pengawasan Bank 3)
57. DPBS (Departemen Pengawasan Bank Syariah)
58. DKM1 (Deputi Komisioner Pengawas PM I)
59. DKM2 (Deputi Komisioner Pengawas PM II)
60. DPM1 (Departemen Pengawasan PM 1A)
61. DPM2 (Departemen Pengawasan PM 1B)
62. DPM3 (Departemen Pengawasan PM 2A)
63. DPM4 (Departemen Pengawasan PM 2B)
64. DKI1 (Deputi Komisioner Pengawas IKNB I)
65. DKI2 (Deputi Komisioner Pengawas IKNB II)
66. DPI1 (Departemen Pengawasan IKNB 1A)
67. DPI2 (Departemen Pengawasan IKNB 1B)
68. DPI3 (Departemen Pengawasan IKNB 2A)

11
69. DPI4 (Departemen Pengawasan IKNB 2B)

2.3 Tugas dan Wewenang

Berdasarkan gambar diatas OJK melakukan pengawasan prudensial


terutama yang bersifat mikroprudensial dilakukan secara menyeluruh terhadap
kelembagaan, proses bisnis, governance, permodalan dan likuiditas maupun
sistem pelaporan setiap lembaga jasa keuangan. Pengawasan yang dilakukan OJK
dapat bersifat on-site atau of-site yaitu secara langsung dan tidak langsung dengan
cara memonitor kinerja setiap lembaga jasa keuangan apakah sudah patuh dan
sesuai dengan aturan dan ketentuan dari OJK. Pengawasan market conduct adalah
pengawasan yang memiliki karakter khusus dan spesifik yang berhubungan
dengan perlindungan konsumen pemakai lembaga jasa keuangan. Pengawasan
market conduct yang dilakukan oleh OJK meliputi desain produk, launching
product, pemasaran produk dan purna jual produk jasa keuangan serta
penyelesaian sengketa produk jasa keuangan yang dimanfaatkan oleh konsumen
jasa keuangan. Bidang Pengawasan Sektor Perbankan mempunyai fungsi
penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi pada sektor
perbankan

 Tugas OJK

12
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Sementara berdasarkan pasal 6 dari UU No 21 tahun 2011, tugas utama dari OJK
adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap :

1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;


2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;
3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Adapun wewenang yang dimiliki OJK adalah sebagai berikut:

a. Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank


yang meliputi:
 Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia,
merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;
 Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
 Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan
kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit
(credit testing); dan standar akuntansi bank;
 Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti-
pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan
perbankan; serta pemeriksaan bank.
b. Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) meliputi:
 Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
 Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;

13
 Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
 Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
 Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter
pada lembaga jasa keuangan;
 Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menata usahakan kekayaan dan kewajiban;
 Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor jasa
keuangan.
 
c. Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) meliputi:
 Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
 Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
 Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
konsumen dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku,
dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan;
 Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau
pihak tertentu;
 Melakukan penunjukan pengelola statuter;
 Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
 Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
 Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan,
efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan

14
melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan
pembubaran dan penetapan lain.
 Fungsi OJK
 Mengawasi aturan main yang sudah dijalankan dari forum stabilitas
keuangan
 Menjaga stabilitas sistem keuangan
 Melakukan pengawasan non-bank dalam struktur yang sama seperti
sekarang
 Pengawasan bank keluar otoritas Bank Indonesia sebagai bank sentral dan
dipegang oleh lembaga baru.
 Tujuan pembentukan OJK
 Untuk mencapainya Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan
moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dengan
mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
 Mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis.
 Menciptakan satu otoritas yang lebih kuat dengan memiliki sumber daya
manusia dan ahli yang mencukupi.

2.4 Kinerja OJK

15
16
Otoritas Jasa Keuangan mencatat stabilitas sektor jasa keuangan hingga
akhir 2021 tetap terjaga diiringi dengan fungsi intermediasi perbankan dan
penghimpunan dana di pasar modal yang terus membaik didorong terkendalinya
pandemi Covid-19, pulihnya mobilitas dan meningkatnya kegiatan perekonomian.

Penghimpunan dana di pasar modal hingga 24 Desember tercatat sebesar


Rp 358,4 triliun, merupakan nilai tertinggi sepanjang sejarah dengan emiten baru
tercatat sebanyak 55 emiten. Penghimpunan dana ini mayoritas digunakan sebagai
modal kerja.

Sementara fungsi intermediasi perbankan pada November 2021 tumbuh


sebesar 4,82 persen yoy atau 4,17 persen ytd didorong peningkatan pada kredit
UMKM dan ritel.

Indikator perekonomian domestik juga menunjukkan perbaikan yang terus


berlanjut. Indikator-indikator sektor riil seperti Purchasing Managers Index (PMI)

17
Manufaktur, Indeks Keyakinan Konsumen, Penjualan Kendaraan, dan lowongan
pekerjaan terus meningkat.

Sementara itu, sektor eksternal juga terus membaik ditunjukkan oleh


surplus neraca perdagangan dan peningkatan cadangan devisa. Hal ini
diperkirakan dapat menyediakan buffer untuk meredam dampak normalisasi
kebijakan moneter bank sentral utama khususnya The Fed.

Sejalan dengan itu, pasar saham Indonesia masih menguat. Hingga 24


Desember 2021, IHSG tercatat menguat sebesar 0,4 persen mtd ke level 6.563
dengan non residen mencatatkan inflow  sebesar Rp 0,94 triliun. Sementara di
pasar SBN, non residen mencatatkan outflow sebesar Rp 24,99 triliun sehingga
mendorong rerata yield SBN naik 8 bps mtd pada seluruh tenor.

Di industri perbankan, mayoritas sektor utama kredit mencatatkan


kenaikan terutama pada sektor pengolahan dan rumah tangga masing-masing
sebesar Rp 24,9 triliun dan Rp 9,1 triliun. Sementara itu, Dana Pihak Ketiga
(DPK) mencatatkan pertumbuhan sebesar 10,48 persen yoy atau 9,98 persen ytd.

Di sektor IKNB, sektor asuransi berhasil menghimpun premi pada bulan


November 2021 sebesar Rp26,1 triliun dengan premi Asuransi Jiwa sebesar Rp
16,3 triliun, serta Asuransi Umum dan Reasuransi sebesar Rp9,8 triliun. Selain
itu, Fintech peer to peer  (P2P) lending pada November 2021 terus mencatatkan
pertumbuhan outstanding pembiayaan sebesar 106,6 persen yoy atau meningkat
Rp1,2 triliun (ytd: Rp13,8 triliun). Sementara itu, piutang perusahaan pembiayaan
tercatat relatif stabil pada level Rp363 triliun.

Profil risiko lembaga jasa keuangan pada November 2021 masih terjaga
dengan rasio NPL net tercatat turun menjadi 0,98 persen (NPL gross: 3,19 persen)
dan rasio NPF Perusahaan Pembiayaan tercatat sebesar 3,92 persen.

Sementara restrukturisasi kredit Covid-19 masih melanjutkan tren


penurunan di November 2021 dengan kredit restrukturasi Covid-19 tercatat
sebesar Rp 693,62 triliun (Oktober 2021: Rp 714,01 triliun). Jumlah debitur

18
restrukturisasi Covid-19 juga menurun dari 4,4 juta debitur menjadi 4,2 juta
debitur.

Sedangkan Posisi Devisa Neto (PDN) November 2021 tercatat sebesar


1,60 persen atau berada jauh di bawah threshold sebesar 20 persen.

Selain itu, likuiditas industri perbankan pada November 2021 masih


berada pada level yang memadai. Hal tersebut terlihat dari rasio Alat Likuid/Non-
Core Deposit dan Alat Likuid/DPK masing-masing sebesar 154,90 persen dan
34,24 persen, di atas ambang batas ketentuan masing-masing pada level 50 persen
dan 10 persen.

Dari sisi permodalan, lembaga jasa keuangan juga mencatatkan


permodalan yang semakin membaik. Industri perbankan mencatatkan peningkatan
CAR menjadi sebesar 25,62 persen atau jauh di atas threshold. Sementara itu,
industri asuransi jiwa dan asuransi umum mencatatkan RBC yang terjaga sebesar
589,5 persen dan 322,9 persen yang berada jauh di atas threshold sebesar 120
persen. Begitu pula pada gearing ratio perusahaan pembiayaan yang tercatat
sebesar 1,91 kali atau jauh di bawah batas maksimum 10 kali.

OJK secara konsisten melakukan asesmen terhadap perekonomian dan


sektor jasa keuangan bersama dengan Pemerintah dan otoritas terkait lainnya serta
para stakeholder dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dan
mendorong momentum akselerasi pemulihan ekonomi nasional.

Untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional, OJK terus melakukan


sinergi dan koordinasi dengan berbagai kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah
dan Industri Jasa Keuangan dengan menggelar berbagai kegiatan untuk
menggerakkan UMKM, pengembangan KUR klaster, Bank Wakaf Mikro dan
vaksinasi massal. 

Sedangkan untuk kinerja jasa keuangan dalam triwulan I tahun 2022


menunjukkan sejumlah indikator positif. Peran penting Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dalam menjaga stabilitas kinerja sektor jasa keuangan pun mendapatkan
apresiasi dari banyak kalangan. Seiring kian terkendalinya dampak pandemi

19
Covid-19, OJK mampu mendorong peningkatan fungsi intermediasi di sektor
perbankan dan industri keuangan non-bank (IKNB). Peran ini sangat strategis
dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi setelah sempat terpuruk akibat
Pandemi Covid-19.

Peningkatan fungsi intermediasi sektor perbankan dan IKNB bisa dilihat


dari meningkatnya pertumbuhan kredit sebesar 6,67 persen yoy pada bulan Maret
2022 dengan seluruh kategori debitur mencatatkan kenaikan, terutama UMKM
dan ritel. Secara sektoral, mayoritas sektor utama mencatatkan kenaikan kredit
secara mount to mounth (mtm), terutama perdagangan, manufaktur, dan rumah
tangga masing-masing sebesar Rp20,2 triliun, Rp19,3 triliun, dan Rp16,7 triliun.

Kepercayaan investor terhadap kinerja sektor jasa keuangan, kata Fathan


juga mengalami peningkatan. Hal itu tercermin dari menguatnya indeks harga
saham gabungan (IHSG) yang mencapai all time high di level 7.276. Selain itu
penghimpunan dana di pasar modal di triwulan pertama melalui penawaran umum
saham, sukuk, dan obligasi mencapai angka cukup tinggi di kisaran Rp85 triliun.
Hingga Maret lalu, permodalan perbankan jauh di atas threshold sebesar 24,80
persen. Begitu pula gearing ratio perusahaan pembiayaan yang tercatat sebesar
1,94 kali atau jauh di bawah batas maksimum 10 kali.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2017-2022 segera berakhir pada


Juli 2022 mendatang. Proses pemilihan anggota dewan komisioner (ADK) OJK
yang baru pun sudah hampir mencapai final pada awal April ini.

Bagi ADK OJK baru, ini menjadi tantangan serius untuk tetap menjaga
stabilitas sistem perbankan, pasar modal, dan asuransi di tengah pandemi dan
kondisi ekonomi global yang semakin tidak menentu ini.

Tantangan kedua, ADK OJK baru harus mampu mendorong kinerja


industri jasa keuangan lebih baik dan berdampak besar kepada publik. Tentu, ini

20
termasuk perbaikan kinerja di sektor perbankan, pasar modal, dan industri
keuangan nonbank (IKNB).

Di sektor perbankan, misalnya, kebijakan restrukturisasi kredit perbankan


mampu mendorong penyaluran kredit mulai tumbuh positif. Pada Februari 2022,
pertumbuhan kredit mencatatkan tren positif sebesar 6,33 persen yoy (0,93 persen
mtm), dengan seluruh kategori debitur mencatatkan kenaikan, terutama UMKM
dan ritel.

Di sektor pasar modal, dampak kebijakan pengendalian volatilitas OJK


terlihat sejak Mei 2020. Ini bisa dilihat dari volatilitas IHSG sudah mulai mereda
dan pasar SBN juga sudah mulai menguat. Hal ini mengindikasikan kepercayaan
investor yang membaik. Peningkatan kepercayaan investor tersebut mampu
meningkatkan capital inflows dan menahan capital outflows.

Setelah mencapai titik terendah sebesar 3.937,6 pada 24 Maret 2020,


IHSG sampai dengan akhir tahun 2021 telah menguat dan ditutup pada level
6.581,48 persen atau meningkat 10,08 persen secara year to date (Ytd).
Kapitalisasi pasar saham mencapai Rp 8.256 triliun atau naik 18,45 persen
dibandingkan posisi akhir tahun 2020 yakni Rp 6.970 triliun.

Aktivitas perdagangan juga mencatatkan rekor-rekor baru, diantaranya


frekuensi transaksi harian tertinggi terjadi pada tanggal 9 Agustus 2021 yang
mencapai 2,14 juta kali transaksi, volume transaksi harian tertinggi yang
mencapai 50,98 miliar saham di 9 November 2021, dan kapitalisasi pasar tertinggi
yang mencapai Rp 8.354 triliun di 13 Desember 2021. Dari sisi demand, terjadi
peningkatan jumlah investor pasar modal secara signifikan di sepanjang 2021. Per
30 Desember 2021, jumlah investor sebanyak 7,49 juta atau meningkat sebesar
92,99 persen dibandingkan akhir tahun 2020 yang tercatat hanya sebesar 3,88 juta.
Jumlah ini meningkat hampir tujuh kali lipat dibandingkan akhir tahun 2017.

Penghimpunan dana di pasar modal melalui penawaran umum saham,


obligasi dan sukuk hingga 29 Maret 2022 telah mencapai Rp 47,6 triliun dengan
penambahan emiten baru sebanyak 15.

21
Pada sektor IKNB, piutang perusahaan pembiayaan terpantau dalam tren
meningkat, dengan nominal tercatat sebesar Rp 372 triliun pada Februari 2022
terutama didorong oleh jenis pembiayaan modal kerja dan investasi dengan
mayoritas sektoral mengalami pertumbuhan positif.

Kapitalisasi pasar saham mencapai Rp 8.256 triliun atau naik 18,45 persen
dibandingkan posisi akhir tahun 2020 yakni Rp 6.970 triliun. Namun demikian,
premi asuransi umum kembali terkontraksi pada Februari 2022 sebesar 3,5 persen
yoy setelah bulan sebelumnya terpantau positif 4,68 persen. Sementara itu, premi
asuransi jiwa juga masih terkontraksi 22,02 persen yoy. Nilai restrukturisasi di
perusahaan pembiayaan pada akhir 2020 pernah tercatat sebesar Rp 189,96 triliun
yang terdiri dari 5 juta kontrak pembiayaan yang kebanyakan UMKM atau sekitar
48,52% dari total pembiayaan. Pada Februari 2022, nilai restrukturisasi
pembiayaan mencapai Rp 221,83 triliun yang terdiri dari 5,25 juta kontrak.

Tantangan ketiga, ADK OJK baru dihadapkan pada masalah penyelesaian


kasus perusahaan jasa keuangan. Kerja OJK dalam mengatur dan mengawasi
sektor jasa keuangan tentunya akan menemukan kasus-kasus di sejumlah
perusahaan atau pelaku sektor jasa keuangan. Kasus-kasus itu pun berhasil
diungkap dan diselesaikan.

Pada 2021, OJK telah memproses 110 kasus pasar modal dan paling
banyak terkait transaksi dan lembaga efek. Rinciannya, 43 kasus terkait transaksi
dan lembaga efek, 39 kasus terkait emiten dan perusahaan publik, 15 kasus terkait
pengelolaan investasi dan 13 kasus terkait profesi penunjang pasar modal. OJK
telah menetapkan setidaknya 386 sanksi. Terdiri dari 19 sanksi peringatan tertulis,
26 sanksi pembekuan izin, 1 sanksi pencabutan izin, dan 340 sanksi administratif
berupa denda dengan jumlah denda seluruhnya sebesar Rp 57,7 miliar.

Di industri perbankan, kerja pengaturan dan pengawasan berhasil


membawa sektor perbankan melewati krisis ekonomi tanpa ada satu bank-pun
yang mengalami dampak berarti. Berbagai kasus perbankan yang muncul seperti

22
Bukopin, Bank Muamalat dan Bank Banten juga berhasil diselesaikan melalui
ketegasan kewenangan yang dimiliki OJK sebagai otoritas.

Di industri keuangan non-Bank, berbagai kasus lama seperti asuransi


Jiwasraya berhasil diselesaikan bekerja sama dengan pemerintah, sebagai pemilik
perusahaan. Untuk kasus Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera, OJK terus
mengupayakan penyelesaian melalui pembentukan Badan Perwakilan Anggota
untuk segera melengkapi manajemen AJBB. Kelengkapan manajemen AJBB
berperan dalam menyiapkan dan menjalankan proses penyehatan perusahaan
asuransi mutual ini.

Tantangan keempat, normalisasi kebijakan ekonomi negara-negara maju


pasca-pandemi covid-19. Saat ini, negara-negara maju --dalam hal ini Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa-- sednag menyiapkan kebijakan ekonomi
kembali ke normal. Jika normalisasi berjalan lebih cepat, ini akan menyebabkan
terjadinya pemulihan ekonomi global yang tidak sinkron, sehingga akan
menimbulkan banyak masalah baru terutama bagi negara berkembang. ADK OJK
baru mesti menyiapkan jurus-jurus jitu untuk memperkecil efek normalisasi ini.
Apalagi, kebijakan ekonomi negara-negara maju itu nantinya berdampak pada
keluar masuknya aliran uang dari dalam dan luar negeri.

Tantangan kelima buat ADK OJK baru: Transformasi digital industri jasa
keuangan. Ada ruang lingkup risiko yang meluas terutama berkaitan data dan
keamanan digital. Hal ini berdampak pada potensi kejahatan siber yang akan
meningkat. Apalagi, ketergantungan terhadap layanan pihak ketiga akan
memperbesar kemungkinan kebocoran data dan risiko siber lainnya. Inilah
mengapa berbagai serangan seperti malware, phising atau pengelabuan, cyber
pharming, dan lain-lain kerap terjadi. Pemerataan infrastruktur digital, gap
distribusi internet, dan adopsi digital di beberapa daerah dan pedesaan di
Indonesia juga masih menjadi tantangan serius industri jasa keuangan. OJK saat
ini melakukan supervisor technology. Tujuannya agar inovasi digital tetap
berjalan beriringan secara seimbang dengan penyelenggaraan layanan yang baik
dan keamanan pengguna yang tetap terjaga

23
24
25
26
27
BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan amanat pasal


34 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dipersyaratkan
pembentukan suatu lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang baru dan
independen yang dibentuk dengan Undang-Undang. Dasar pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan mempertimbangkan berbagai aspek terutama aspek teknologi
dimana pertumbuhan dan pengembangan serta sistem layanan jasa keuangan
semakin dibutuhkan oleh masyarakat secara cepat dan tepat. Dengan lahirnya
Otoritas Jasa Keuangan maka pengaturan dan pengawasan lembaga jasa keuangan
dapat dengan mudah dilakukan melalui satu pintu mengingat bahwa lembaga jasa
keuangan tidak hanya perbankan saja tetapi juga ada lembaga jasa keuangan non
bank dan pasar modal. Dengan terbentuknya OJK diharapkan dapat mendukung
kepentingan sektor jasa keuangan secara menyeluruh dan meningkatkan daya
saing lembaga jasa keuangan itu sendiri dalam memberikan kontribusi dalam
pembangunan nasional.

Dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh


dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan
seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara
adil kepada seluruh rakyat Indonesia maka program pembangunan ekonomi
nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan
kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan
menyentuh ke seluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia.
Program pembangunan ekonomi nasional juga harus dilaksanakan secara
transparan dan akuntabel yang berpedoman pada prinsip demokrasi ekonomi
sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, program pembangunan
ekonomi nasional perlu didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik yang

28
secara terus menerus melakukan reformasi terhadap setiap komponen dalam
sistem perekonomian nasional. Salah satu komponen penting dalam sistem
perekonomian nasional dimaksud adalah sistem keuangan dan seluruh kegiatan
jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan
produktif di dalam perekonomian nasional.

Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa


keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang cukup
signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi
nasional. Oleh karena itu, Negara senantiasa memberikan perhatian yang serius
terhadap perkembangan kegiatan sektor jasa keuangan tersebut, dengan
mengupayakan terbentuknya kerangka peraturan dan pengawasan sektor jasa
keuangan yang terintegrasi dan komprehensif.

Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya


kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan
sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-
subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu,
adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai
subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan
interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.

Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang


meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa
keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong
diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang
terintegrasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali


struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor
perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai

29
mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang
timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya
stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan
kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi.

Selain pertimbangan-pertimbangan terdahulu, Undang-Undang Nomor 23


Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang, juga mengamanatkan pembentukan lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana
pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan
lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan tersebut di atas pada hakikatnya merupakan lembaga bersifat
independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar
pemerintah. Lembaga ini berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan
Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dalam Undang-Undang ini


disebut Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan
pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance)
dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor
jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan,
cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria
lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta
ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang
menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral
tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha
Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait
dengan sektor jasa keuangan lainnya.

30
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan
jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung
kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya
saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional,
antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan
kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek
positif globalisasi.

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata


kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
transparansi, dan kewajaran (fairness).

Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah,


yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari
kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur
perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan
merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan
yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh
karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur- unsur dari kedua otoritas
tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka
koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan
sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan
terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan
kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam
rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan.

Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan


yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan
lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan

31
cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Independensi Otoritas Jasa Keuangan tercermin dalam kepemimpinan


Otoritas Jasa Keuangan. Secara orang perseorangan, pimpinan Otoritas Jasa
Keuangan memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali
memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Di samping
itu, untuk mendapatkan pimpinan Otoritas Jasa Keuangan yang tepat, Undang-
Undang ini mengatur mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan
melibatkan partisipasi publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya
terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya


berlandaskan asas-asas sebagai berikut:

1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan


pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;
4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara,
termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan;
5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap
berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

32
6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam
setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas
Jasa Keuangan; dan
7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas, Otoritas


Jasa Keuangan harus memiliki struktur dengan prinsip “checks and balances”. Hal
ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan. Fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
serta pengawasan dilakukan oleh Dewan Komisioner melalui pembagian tugas
yang jelas demi pencapaian tujuan Otoritas Jasa Keuangan. Tugas anggota Dewan
Komisioner meliputi bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui
mekanisme dewan audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas,
dan wewenang pengawasan untuk sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut maka dibentuk


Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan.

33
DAFTAR PUSTAKA

OJK.go.id. Tentang OJK. Diakses pada 2 September 2022, dari


https://www.ojk.go.id/id/FAQ.aspx
Tokopedia.com. Otoritas Jasa Keuangan. Diakses pada 2 September 2022,
dari
https://kamus.tokopedia.com/o/otoritas-jasa-keuangan/
Wikipedia. (2 Juni 2022). Otoritas Jasa Keuangan. Diakses pada 2 September
2022, dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Otoritas_Jasa_Keuangan
Jogloabang.com. (29 November 2020). UU 21 tahun 2011 tentang OJK.
Diakses pada 2 September 2022, dari
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-21-2011-ojk

34

Anda mungkin juga menyukai