Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“DELIK KORUPSI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN”

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK III

MIRANDA SICIKA PUTRI KADIR

INGRID GABRIELA BANGOL

VENA NOVITA MOKOGINTA

PIKA VERONIKA BULO

SRI DEWINAL IBRAHIM

FIRLI PAPUTUNGAN

WINNIE MAKALALAG

BARLIAN

INSTITUT KESEHATAN DAN TEKNOLOGI

GRAHA MEDIKA KOTAMOBAGU

PRODI DIII KEBIDANAN

T.A 2021/2022

1
DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………1

DAFTAR ISI……………………………………………………..…............2

KATA PENGANTAR….………………………………………………..…..3

BAB I PENDAHULUAN………..……………………………..…………..4

A. Latar Belakang….…………………...……….......................4
B. Tujuan Penulisan……………………….……...…….………8
C. Manfaat penulisan………………………..……..…....……..9
BAB II PEMBAHASAN……………………………………….…….…...10
A. Delik korupsi dalam perundang-undangan ……….…….…10
B. Gratifikasi ……….…………………………………………15
C. Kerugian keuangan Negara ………………………………..17
BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………..20
A. Kesimpulan…………………………………………….……20

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena rahmat dan
karunianya kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “DELIK
KORUPSI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN”. Penulisan makalah ini
dimaksudkan untuk menunjang proses pembelajaran mata kuliah PENDIDIKAN
BUDAYA ANTI KORUPSI. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, Semoga makalah ini dapat
bermanfaat khusus bagi kami dan umumnya bagi kita semua pembaca.

KOTAMOBAGU, 10 FEBRUARI 2022

KELOMPOK III

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi merupakan suatu budaya yang sulit diubah karena melekat
pada diri manusia itu sendiri yang merupakan moralitas atau ahlak.Untuk
mengubah dan memeperbaiki semua itu diperlukan cara-cara untuk mencari
dan mengatasi penyebab-penyebab terjadinya tindak pidana korupsi.penyebab
utama adanya korupsi berasal dari diri masing-masing individu dan untuk
mengatasinya diperlukan penyususnan ahlak yang baik dalam diri manusia itu
sendiri.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak hak
sosial dan hak hak ekonomi masyarakat,sehingga tindak pidana korupsi tidak
dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melaikan
telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).Sehingga dalam
upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara
biasa”,tetapi”dituntut cara-cara yang luar biasa”(extra ordinary enforcement).
Walapun koruptor dipidana, akan terlihat akan terlihat oercuma jika kerugian
keuangan Negara tidak dapat dikembalikan kerena harta yang telah
disalahguankan oleh koruptor tersebut tersebut sudah beralih tangan,sehingga
jaksa penuntut umum mengalami kesulitan untuk mencari keseluruhan harta
tersebut.Maka dari itu,penulis berniat untuk meneliti cara-cara jaksa penuntut
umum yang telah berhasil melaksanakan upaya pengambilan keuangan
Negara akibat tindak pidana korupsi .
Menurut penjelasan dalam KHUP,delik-delik yang di ambil dari KHUP itu
sendiri di adopsi menjadi delik korupsi sehingga delik tersebut di dalam
KHUP menjadi tidak berlaku lagi.dengan demikian ssebagai konsekuensi
diambilnya delik tersebut dari KHUP adalah ketentuan delik tersebut tersebut
didalam KHUP menjadi tidak berlaku lagi.atau dengan kata lain,apabila

4
perbuatan seseorang memenuhi rumusan delik itu maka kepadanya akan din
ancamkan delik korupsi sebagaimana diatur dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi.Delik korupsi yang di tarik secara
mutlak dari KHUP adalah pasal 5 sampai dengan pasal 12 undang-undang
nomor 31 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 31 tqhun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Bedasarkan penjabaran tindak pidana korupsi yang bersifat umum disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan bersifat umum dalam hal ini adalah tindak
pidana korupsi yang dilakukan bukan oleh orang yang mempunyai jabatan
atau kekuasaan atau aparat pemerintahan/Negara.Artinya dapat di lakukan
oleh siapa saja dari masyarakat umum.Hal ini diatur dalam pasal 2 undang-
undang Nomor 31 tahun 1999,yang berbunyi sebagai berikut:

1. setiap orang secara yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


meperkarya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan
keungangan Negara atau perekonomian Negara dipidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dam paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00(satu milyar rupiah).

2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)


dilakukan dlam keadaan tertentu,pidana mati dapat dijatuhkan. Sedangkan
penjabaran korupsi dalam KUHP pada prakteknya memang lebih sering
diterapkan pasal 425 KUHP yang beberbunyi : “seorang pegawai negri
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya,memaksa seseorang untuk
memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan
potongan,atau untuk mengerjakan pembeyaran sesuatu untuk dirinya sendiri,

5
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Hal tersebut di
karenakan mungkin lebih sulit membuktikan pasal 425 KUHP karena adanya
bagian inti delik “pada waktu menjalankan jabatannya” yang dalam 423
KUHP tidak ada.
Contohnya, dua orang hakim (Heru Gunawan dan John Z. Loudo)
keduanya hakim pada Pengadilan Negri Jakarta Pusat, yang didakwa
melanggar primair pasal 420 KUHP,knevelarij,pemerasan dalam
jabatan,subsidair pasal 420 KUHP. Sebenarnya,sedikit lebih sulit
membuktikan adanya unsur”paksaan”,dan yang dipaksa atau diperas tidak
dipidana,sedangkan pada penerimaan suap oleh haim yang mengenai suatu
perkara (pasal 420 KUHP yang sudah diadopsi oleh UUPTPK),keduanya baik
yang member suap kepada hakim (pasal 210 KUHP maupun hakimnya
dipidana,yang sudah diadopsi oleh UUPTPK),dipidana. Baik pemberian dan
penerimaan suap, pemerasan dalam jabatan masuk kedalam Undang Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain meninjau dari oerbandingan pemaparan tindak pidana korupsi dari sisi
KUHP dan publik/umum, dapat pula meninjau tindak pidana korupsi dari sisi
peratyran perundang-undangannya, contoh:

1) Undang-undang No. 31 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang


No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-
undang No.20 tahun 2001 merupakan undang-undang yang lahir semata untuk
memperbaiki kelemahan dan kekurangan undang-undang terdahulu.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, beberapa kelemahan tersebut kemudian
revisi didalam undang-undang yang baru. Adapun revisi atas kelemahan
undang-undnag nomor 31 tahun 1999 adalah:
a) penarikan pasal-pasal perbuatan tertentu dari KUHP sebagai
tindak pidana korupsi dilakukan dengan cara mengadopsi isi

6
pasal secara keseluruhan sehingga perubahan KUHP tidak akan
mengakibatkan ketidaksinkronan.
b) pengaturan alasan penjatuhan pidana mati didasarkan atas
perbuatan korupsi yang dilakukan atas dana-dana yang
digunakan bagi penanggulangan keadaan tertentu seperti
keadaan bahaya,bencana nasional,dan krisis moneter.
c) pengaturan alasan penjatuhan pidana mati didasarkan atas
perbuatan korupsi yang dilakukan atas dana-dana yang
dilakukan bagi penanggulangan keadaan tertentu seperti
keadaan bahaya,bencana nasional,dan krisis moneter.
d) pengaturan alasan penjatuhan pidana mati didasarkan atas
oerbuatan koruosi yang dilakukan atas dana-dana yang
dilakukan bagi penanggulangan keadaan tertentu seperti
keadaan bahaya,bencana nasional,dan krisis moneter.
e) pengaturan alasan penjatuhan pidana mati didasarkan atas
perbuatan koruosi yang dilakukan atas dana-dana yang
dilakukan bagi penanggulangan keadaan tertentu seperti
keadaan bahaya,bencana nasional,dan krisis moneter.
f) pengaturan alasan penjatuhan pidana mati didasarkan atas
perbuatan koruosi yang dilakukan atas dana-dana yang
dilakukan bagi penanggulangan keadaan tertentu seperti
keadaan bahaya,bencana nasional,dan krisis moneter
g) di cantumkannya aturan peralihan yang secara tegas menjadi
jembatan antara undang-undang lama yang sudah tidak berlaku
dengan adanya undang-undang baru, sehingga tidak lagi
menimbulkan resiko kekosongan hukum yang dapat merugikan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
h) di cantumkannya aturan peralihan yang secara tegas menjadi
jembatan antara undang-undang lama yang sudah tidak berlaku

7
dengan adanya undang-undang baru, sehingga tidak lagi
menimbulkan resiko kekosongan hukum yang dapat merugikan
pemberantasan tindak pidana korupsi.

2) Undang-undang No.30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak


pidana korupsi.
Sebagai suatu tindak pidana yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime),
pemberantasan korupsi dianggap perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar
biasa. Cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa itu sebenarnya telah
tercantum didalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 dianataranya
mengenai alat-alat bukti yang dapat dijadikan sebagai dasr pembuktian di
pengadilan termasuka adanya beban pembuktian terbalik terbatas atau
berimbang dimana pelaku tindak pidana korupsi juga dibebani kewajiban
untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana
korupsi.
Contoh konkrit tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sendiri dapat
dilihat dari kasus asset pemda DKI yang tidak tercatat senilai Rp 5 triliun
yang terdiri dari beberapa lokasi tanah yang diduga hilang atau dijual oleh
oknum pemda DKI,antara lain sebidang tanah milik PD Pembangunan saran
dijalan Matraman,Jakarta Timur,sekrang di kuasi Bank Bira,sebidang tanah di
Duri Kepka,Jakarta timur,sekarang dikuasai pengembangan dan jalur hijau
dibelakang kantor Wali Kota Jakarta Barat,yang sekarang dikuasai
pengembang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana delik korupi dalam perundang-undangan?
2. Apa yang di maksud dengan gratifikasi?
3. Bagaimana kerugian keungan Negara saat ini?
C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan delik korupsi dalam perundang-undangan

8
2. Menjelaskan maksud gratifikasi
3. Menjelaskan bagaimana kerugian keuangan Negara

9
BAB II
PEMBAHASAN

A. Delik Korupsi Dalam Perundang-undangan (KUHP)

KUHP yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918 merupakan


warisan Belanda. Ia merupakan kodifikasi dan unifikasi yang berlaku bagi semua
golongan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi, diundangkan dalam
Staatblad 1915 Nomor 752 berdasarkan KB 15 Oktober 1915.

Sebagai hasil saduran dari Wetboek van Strafrecht Nederland 1881, berarti 34
tahun lamanya baru terjelma unifikasi berdasar asas konkordansi ini. Dengan
demikian, KUHP itu pada waktu dilahirkan bukan barang baru. Dalam
pelaksanaannya, diperlukan banyak penyesuaian untuk memberlakukan KUHP di
Indonesia mengingat sebagai warisan Belanda terdapat banyak ketentuan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia.

Meski tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi di dalamnya,
KUHP telah mengatur banyak perbuatan korupsi, pengaturan mana kemudian
diikuti dan ditiru oleh pembuat undang-undang pemberantasan korupsi hingga saat
ini. Namun demikian terbuka jalan lapang untuk menerapkan hukum pidana yang
sesuai dan selaras dengan tata hidup masyarakat Indonesia mengingat KUHP yang
kita miliki sudah tua dan sering diberi merek kolonial.

Dalam perjalanannya KUHP telah diubah, ditambah, dan diperbaiki oleh beberapa
undang-undang nasional seperti Undang-undang Nomor 1 tahun 1946, Undang-
undang Nomor 20 tahun 1946, dan Undang-undang Nomor 73 tahun 1958,
termasuk berbagai undang-undang mengenai pemberantasan korupsi yang
mengatur secara lebih khusus beberapa ketentuan yang ada di KUHP. Delik
korupsi yang ada di dalam KUHP meliputi delik jabatan dan delik yang ada

10
kaitannya dengan delik jabatan. Sesuai dengan sifat dan kedudukan KUHP, delik
korupsi yang diatur di dalamnya masih merupakan kejahatan biasa saja

1. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor


Prt/ Peperpu/013/1950
Pendapat yang menyatakan bahwa korupsi disebabkan antara lain oleh
buruknya peraturan yang ada telah dikenal sejak dulu. Dengan demikian
pendapat bahwa perbaikan peraturan antikorupsi akan membawa akibat
berkurangnya korupsi tetap menjadi perdebatan.
Peraturan yang secara khusus mengatur pemberantasan korupsi adalah
Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor
Prt/Peperpu/013/1950, yang kemudian diikuti dengan Peraturan Penguasa
Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/ PM/06/1957, tanggal 27 mei 1957
Nomor Prt/PM/03/1957, dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/PM/011/1957.
2. Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat
tentang Pemberantasan Korupsi itu bersifat darurat, temporer, dan
berlandaskan Undangundang Keadaan Bahaya. Dalam keadaan normal ia
memerlukan penyesuaian. Atas dasar pertimbangan penyesuaian keadaan
itulah lahir kemudian Undang-undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada mulanya berbentuk
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
3. Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Dalam penyusunannya, Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 ini relatif
lancar tidak mengalami masalah kecuali atas beberapa hal seperti adanya
pemikiran untuk memberlakukan asas pembuktian terbalik dan keinginan
untuk memasukkan ketentuan berlaku surut.

11
4. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Melalui penyelenggaraan Sidang Umum Istimewa MPR, disusunlah TAP
No. XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. TAP MPR ini di dalamnya memuat
banyak amanat untuk membentuk perundang-undangan yang akan
mengawal pembangunan orde reformasi, termasuk amanat untuk
menyelesaikan masalah hukum atas diri mantan Presiden Soeharto beserta
kroni-kroninya.
5. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dalam undang-undang ini diatur pengertian kolusi sebagai tindak pidana,
yaitu adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar
penyelenggara negara, atau antara penyelenggara negara dan pihak lain,
yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara. Sedangkan
tindak pidana nepotisme didefinisikan sebagai adalah setiap perbuatan
penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa, dan Negara.
6. Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Lahirnya undang-undang pemberantasan korupsi Nomor 31 tahun 1999
dilatar belakangi oleh 2 alasan, yaitu pertama bahwa sesuai dengan
bergulirnya orde reformasi dianggap perlu meletakkan nilai-nilai baru atas
upaya pemberantasan korupsi, dan kedua undangundang sebelumnya yaitu
UU No. 3 tahun 1971 dianggap sudah terlalu lama dan tidak efektif lagi
7. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

12
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 merupakan undang-undang yang
lahir semata untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan undang-
undang terdahulu. Sebagaimana telah disebutkan di atas, beberapa
kelemahan tersebut kemudian direvisi di dalam undangundang baru.
8. Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Lahirnya Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 merupakan amanat dari
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang menghendaki dibentuknya
suatu komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebagai suatu tindak pidana yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime),
pemberantasan korupsi dianggap perlu dilakukan dengan cara-cara yang
juga luar biasa.
9. Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation
Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.
Merajalelalanya korupsi ternyata tidak hanya di Indonesia, tetapi juga
hampir di seluruh belahan dunia. Hal ini terbukti dengan lahirnya United
Nation Convention Against Corruption atau UNCAC sebagai hasil dari
Konferensi Merida di Meksiko tahun 2003. Sebagai wujud keprihatinan
dunia atas wabah korupsi, melalui UNCAC disepakati untuk mengubah
tatanan dunia dan mempererat kerjasama pemberantasan korupsi. Beberapa
hal baru yang diatur di dalam UNCAC antara lain kerjasama hukum timbal
balik (mutual legal assistance), pertukaran narapidana (transfer of sentence
person), korupsi di lingkungan swasta (corruption in public sector),
pengembalian aset hasil kejahatan (asset recovery), dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia yang sedang menggalakkan pemberantasan korupsi
merasa perlu berpartisipasi memperkuat UNCAC, oleh karena melalui
Undang-undang Nomor 7 tahun 2006. Ratifikasi dikecualikan (diterapkan
secara bersyarat) terhadap ketentuan Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian
Sengketa. Diajukannya Reservation (pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat

13
(2) adalah berdasarkan pada prinsip untuk tidak menerima kewajiban
dalam pengajuan perselisihan kepada Mahkamah Internasional kecuali
dengan kesepakatan Para Pihak.
10. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peranserta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
PP No. 71 tahun 2000 dibentuk untuk mengatur lebih jauh tata cara
pelaksanaan peran serta masyarakat sehingga apa yang diatur di dalam
undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut pada dasarnya
memberikan hak kepada masyarakat untuk mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi tentang dugaan korupsi serta menyampaikan saran
dan pendapat maupun pengaduan kepada penegak hukum (polisi, jaksa,
hakim, advokat, atau kepada KPK).
11. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 lahir dilatarbelakangi oleh
keinginan untuk mempercepat pemberantasan korupsi, mengingat situasi
pada saat terbitnya Inpres pemberantasan korupsi mengalami hambatan dan
semacam upaya perlawanan/serangan balik dari koruptor.

Delik korupsi yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang adalah


delik-delik yang memang dibuat dan dirumuskan secara khusus sebagai
delik korupsi oleh para pembuat undang-undang. Menurut berbagai
literatur, delik korupsi yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang
hanya meliputi 4 pasal saja yaitu sebagaimana yang diatur di dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 13, dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
juncto Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Namun apabila kita perhatikan secara seksama apa yang

14
diatur dalam Pasal 15 undang-undang tersebut sesungguhnya bukanlah
murni rumusan pembuat undang-undang akan tetapi mengambil konsep
sebagaimana yang diatur di dalam KUHP.

B. Pengertian Gratifikasi

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang
tambahan (free) atau hadiah, barang, rabat (diskon), fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Secara umum gratifikasi bisa diartikan sebagai sebuah pemberian dalam berbagai
bentuk yang berkaitan dengan pekerjaan, jabatan, atau tugas. Gratifikasi ada yang
diperbolehkan dan ada yang dilarang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi adalah pemberian yang
diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh.
yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya. Pengertian tercantum dalam menurut UU Nomor 20/2021 penjelasan
pasal 12b ayat 1.

1. Peraturan yang Mengatur Gratifikasi :

15
a) Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi "Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya".
b) Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi "Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK".
2. Penjelasan Aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001 :
1. Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta
dan paling banyak Rp 1 miliar
2. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
3. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri

3. Gratifikasi perlu dilaporkan


Gratifikasi perlu dilaporkan karena korupsi sering berawal dari kebiasaan yang
tidak disadari pegawai negeri dan pejabat penyelenggara negara. Misal
penerimaan hadiah dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian fasilitas
yang tidak wajar.

4. Contoh kasus gratifikasi yang dilarang

16
o Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan
pribadi secara cuma-Cuma
o Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan
oleh rekanan atau bawahannya
o Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan
oleh rekanan atau bawahannya
o Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan
kantor pejabat tersebut
o Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari
rekanan
o Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
o Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
o Pemberian hadiah kepada dosen dari mahasiswa setelah melaksanakan sidang
skripsi.

C. Kerugian Keuangan Negara


1. Pengertian Rugi dan Kerugian
“Kamus besar Bahasa Indonesia memberikan rumusan arti kata rugi sebagai berikut:
(1) terjual dan sebagainya kurang dari modalnya ; tidak mendapat laba
(2) kurang dari modal ( karena menjual lebih rendah daripada harga pokok)
(3) tidak mendapat faedah (manfaat) ; tidak beroleh sesuatu yang berguna
(4) sesuatu yang kurang baik ( tidak Menguntungkan ; mudharat).

Sedangkan Kerugian dirumuskan sebagai:


(1) menanggung atau menderita rugi
(2) perihal rugi
(3)sesuatu yang dianggap mendatangkan rugi (tentang kerusakan dsb)
(4) ganti rugi.

17
2.    Pengertian keuangan Negara
“Pengertian keuangan Negara menurut penjelasan UU No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak PidanaK orupsi, adalah:
Seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang
tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b .Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”

3. Kerugian Keuangan Negara


“Menurut UU No. 31 tahun 1999 bahwa kerugian keuangan Negara adalah
berkurangnya kekayaan Negara yang disebabkan suatu tindakan melawan
hukum, penyalah gunaan wewenang / kesempatan atau sarana yang ada pada
seseorang karena jabatan atau kedudukan, kelalaian seseorang dan atau
disebabkan oleh keadaan di luar kemampuan manusia (force majure).
Kerugian Keuangan Negara dapat berbentuk :
a. Pengeluaran suatu sumber/kekayaannegara/daerah (dapat berupa uang,
barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan
b. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/ daerah lebih besar dari yang
seharusnya menurut kriteria yang berlaku
c. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima
(termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif)
d. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang
seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai)

18
e. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusya tidak ada;
f. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima
menurut aturan yang berlaku
g. Hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.”

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi merupakan suatu kejahatan yang sangat bebahaya,korupsi
merupakan suatu kejahatan yang luar biasa(extraordinary cryme) yang
memeng telah tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Semakin hari perkembangan korupsi didunia dan khususnya diindonesia
bukanlah semakin berkurang,akan tetapi makin hari makin meluas dan
bertambah.Hal tersebut di tandai dengan modus dalam suatu kejahatan
korupsi yang dari waktu ke waktu bisa di katakan banyak mengalami
perubahan yang dratis.Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam kasus
korupsi yang ditangani oleh penegak hukum,baik oleh komisi pemberantas
korupsi,kopolisian,maupun kejaksaan itu sendiri.

20

Anda mungkin juga menyukai