DI SUSUN OLEH :
ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di
samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana khusus, seperti
adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka tindak
pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekanse minima
mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Dengan diantisipasi sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda
perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga lambat
laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat
pada umumnya.
Selama ini korupsi lebih banyak dimaklumi oleh berbagai pihak daripada
memberantasnya, padahal tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis kejahatan yang dapat
menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian,
keuangan negara, moral bangsa, dan sebagainya, yang merupakan perilaku jahat yang cenderung
sulit untuk ditanggulangi. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak
diputusan bebas terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung
oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan
negara dan menghambat pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara terus-menerus dalam waktu
yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas hukum dan peraturan
perundang-undangan oleh warga negara. Perasaan tersebut memang telah terlihat semakin lama
semakin menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aksi
main hakim sendiri kepada pelaku tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan
mengatasnamakan keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan perundang-
undangan, dan juga para penegakhukum di Indonesia.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan penyakit sosial yang sangat berbahaya
yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi
telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih
memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang
dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislative dengan dalih studi banding, THR,
uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan
keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan
cerminan rendah nyamoralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan
dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain
kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas
korupsi, atau paling tidakmengurangisampai pada titiknadi yang paling rendahmakajanganharap
negara iniakanmampumengejarketertinggalannyadibandingkan negara lain untukmenjadisebuah
negara yang maju. Karena korupsimembawadampaknegatif yang cukupluas dan dapatmembawa
negara kejurangkehancuran.
PEMBAHASAN
Memperhatikan UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, maka Tindak
Pidana Korupsi dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1. Korupsi Aktif
a) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang Korporasi, yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No 31 Tahun
1999)
b) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporas
imenylahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
(Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999)
2. Korupsi Pasif
a) Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji
karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannnya yang bertentangan
dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001).
b) Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi
putusan perkara yang di serahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi
nasehat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkaranya yang di
serahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001).
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara
dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2
UU No 20 Tahun 2001)
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau
perekonomian Negara (Pasal 3 UU No 20 Tahun 2001).
c. Barangsiapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388,
415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
Jenis tindak pidana korupsi menurut UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001,
yaitu:
Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi menurut UU No 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, terdiridari:
Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang diatur di
luar kitab Undang-Undang Pidana dasar pemberlakuantindakpidanakhususadalah KUHP
diaturdalampasal 103 yaitu: ketentuan- ketentuandalam Bab I sampai Bab VIII bukuini juga
berlakubagiperbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana kecuali jika oleh Undang-undang ditentukan lain, misal: tindak pidana korupsi
(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Tindak Pidana Korupsi),Tindak Pidana Khusus maksudnya ditinjau dari peraturan yang menurut
Undang-undang bersifat khusus baik jenis tindak pidananya, penyelesaiannya, sanksinya bahkan
hukum acaranya sebagian diatur secara khusus dalam Undang-undang tersebut dan secara umum
tetap berpedoman pada kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).tindak pidana
korupsi merupakan salah satu bagian dari tindak pidana khusus di samping mempunyai
spesifikasi tertentu yang berbeda dengan tindak pidana umum. Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi merupakan aturan yang mempunyai sifat kekhususan, baik menyangkut Hukum Pidana
Formal (Acara) maupun Materil (Substansi).
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon);
Dari pengertian tindak pidana yang dikemukan oleh Simons tersebut terlihat di dalam
rumusan tindak pidana telah terkandung masalah pertanggungjawaban pidana. Aliran kedua
adalah aliran dualistis. Penganut aliran dualistis memahami bahwa dalam pengertian tindak
pidana tidak termasuk di dalamnya masalah pertanggunggjawaban, karena tindak pidana hanya
merujuk pada dilarangnya suatu perbuatan. Salah seorang penganut dualistis ini adalah
Moeljatno yang memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility atau criminal liability).
Secara prinsipil, antara penganut dualistis dan monolistis tidak memiliki perbedaan yang
mencolok terkait dengan pemaknaan terhadap tindak pidana. Hanya saja bagi yang berpandangan
monoistis seorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi
penganut dualistis sama sekali belum cukup syarat untuk dipidana karena harus disertai syarat
pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.Aliran Dualistis
mensyaratkan orang tersebut harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang
dilakukannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, maka perbuatan tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut,dan berlaku asas “geen straf zonder schuld”
(Tiada Pidana Tanpa Kesalahan).Dalam hal ini aliran dualistis memandang meskipun seseorang
terbukti melakukan suatu tindak pidana tidak secara otomatis ia dapat langsung dinyatakan
bersalah, tapi harus terlebih dahulu dibuktikan apakah ia dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara pidana terhadap tindak pidana yang dilakukannya tersebut.
Dari rumusan di atas, telihat bahwa dalam pertanggungjawaban pidana ada hal yang
penting untuk dibuktikan yaitu adalah adanya kesalahan pada diri orang yang melakukan
perbuatan atau tindak pidana, dengan demikian dalam konteks diterimanya korporasi sebagai
subjek hukum dalam hukum pidana yang menurut Mardjono Reskodipuro merupakan perluasan
dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader). Namun timbul suatu
permasalahan baru, bagaimana merumuskan kesalahan yang dilakukan oleh suatu korporasi?
Lalu bagaimana mempertimbangkan pertanggungjawaban pidananya?
Dalam kenyataannya diketahui bahwa korporasi dijalankan oleh manusia atau dengan
kata lain perbuatan atau tindakan korporasi diwujudkan oleh manusia (Pengurus atau orang lain).
Jadi pertanyaan pertama adalah bagaimana konstruksi hukumnya bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh pengurus atau orang lain dapat dinyatakan sebagai perbuatan korporasi yang
melawan hukum pidana? Pertanyaan kedua bagaimana konstruksi hukumnya bahwa korporasi
dapat dinyatakan mempunyai kesalahan dan karena itu dapat dipertanggungjawabkan dan
dijatuhi pidana? Hal ini karena dalam hukum pidana Indonesia dikenal asas tidak dapat dipidana
apabila tidak ada kesalahan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka terlebih dahulu kita perlu melihat
bentuk-bentuk sistem pertanggungjawaban korporasi yang terdapat dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, yang terdiri dari:
Sistem ini sejalan dengan perkembangan korporasi sebagai subjek hukum Pidana tahap
I,dimana para ahli hukum masih bersepakat dengan asas “universitas delinquere non protest”
(badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana).Asas ini berlaku sudah lama di seluruh
Eropa Kontinental, sebagaimana banyak pendapat hukum pidana individual dari aliran klasik
yang berlaku pada waktu itu.Bahwa hanya yang menjadi subjek dalam tindak pidana
sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Memorie van Toelichting (MvT) terhadap Pasal
59 KUHP yang berbunyi “suatu tindak pidana hanya dilakukan oleh manusia”.
Von Savigny pengemuka teori fiksi (fiction theory) menyatakan bahwa korporasi
merupakan subjek hukum, tetapi hal ini tidak diakui di dalam lapangan hukum pidana, karena
pada waktu itu pemerintah Belanda tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam
hukum pidana. Jika KUHP yang berlaku Indonesia diperhatikan, maka dapat diketahui Indonesia
adalah pengikut asas societas/universitas delinquere non protest, hal ini bisa kita temui dalam
ketentuan Pasal 59 KUHP. Dalam pasal ini juga mengenal alasan penghapus pidana, yaitu
pengurus, badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur tangan melakukan
pelanggaran tidak dipidana.
Pada tahun 1990 dalam Kongres PBB ke-8 ditegaskan agar ada tindakan terhadap
perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perkara korupsi. Selain itu dalam dokumen kongres
PBB ke-9 tahun 1995 di Kairo ditegaskan kembali perihal korporasi sebagai subjek dalam tindak
pidana korupsi , yang intinya” asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat dalam penyuapan
para pejabat untuk berbagai alasan yang tidak semuanya bersifat ekonomis. Namun dalam
banyak kasus, masih saja penyuapan digunakan untuk mencapai keuntungan ekonomis.
Tujuannya ialah membujuk para pejabat untuk memberikan berbagai bentuk perlakuan
khusus/istimewa, antara lain: a). memberi kontrak, b). mempercepat/memperlancar izin, dan c).
membuat pengecualian-pengecualian atau menutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran
aturan.
Dalam sejarah di Indonesia, pertanggungjawaban pidana korporasi ini pertama kali diatur
di dalam UU No. 7 Drt Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, Khususnya dalam Pasal 5 ayat (1).Kemudian dalam perkembangan selanjutnya
lahir berbagai aturan perundangundangan di luar KUHP lainnya yang mengatur hal yang serupa
misalnya : Pasal 39 UU No 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, Pasal 24 UU No 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian, Pasal 20 UU PTPK, dan beberapa perundang-undangan
lainnya.
Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam beberapa undang-undang, maka terkait dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi muncul beberapa doktrin tentang pertanggungjawaban
pidana korporasi antara lain : 1. Doktrin Identifikasi, 2. Doktrin Pertanggungjawab Pengganti
(vicarious liability), dan 3. Doktrin Pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-undang
(strict liability). Pertama, Doktrin Identifikasi. Pertanggungjawaban ini dikenal di negaranegara
Anglo Saxon seperti Inggris. Konsep pertanggungjawaban ini dikenal dengan direct corporate
criminal liability.Asas “mens rea”menurut doktrin ini tidak dikesampingkan, sikap batin atau
perbuatan dari pejabat senior korporasi yang memiliki directing mind dapat dianggap sebagai
sikap korporasi. Hal ini berarti sikap batin tersebut dapat diidentifikasikan sebagai korporasi,
dengan demikian korporasi bisa dimintai pertanggungjawaban langsung.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan dampak
bagi rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi. Pemiskinan koruptor
dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus tindak pidana korupsi. Konsep
pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan
penggantian kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan
koruptor ini dinilai mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak
pidana korupsi.
B. SARAN
Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan koruptor. Rekonseptualisasi
dengan memberikan arahan yang jelas bagi penegak hukum mengenai konsep pemiskinan
koruptor, sehingga pelaksanaan pemiskinan koruptor dapat dijalankan sebagai suatu terobosan
hukum yang memberikan efek jera dalam tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Ruslan, Renggong. 2016. Hukum Pidana Kusus Memaami Delik-Delik Di Luar KUHP. Jakarta :
Prenadamedia Group.