Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KELOMPOK

TIPIKOR ( TINDAK PIDANA KORUPSI )

DI SUSUN OLEH :

1. M. LIWALIL HAMDI AMRULLAH (D1A019365)


2. MUHAMAD YAZID ZIDANE AKBAR (D1A019371)
3. MEDY ANGGORO PUTRA (D1A019347)
4. MUH. HUZAIR TARMIZI KHOLID (D1A019357)
5. MOH. FAJAR BASKARA ( D1A019355 )
6. NURAENI ( D1A117234)
7. MUHAMMAD ZAINUL MI'ROJI (D1A019404)
8. PANJI SATRIA WARDHANA (D1A019462)
9. MUHAMAD ZAYID MUZAKI (D1A019372)
10. WAWAN ADRIAN (D1A118265)
11. MUHAMMAD SOFYAN HAKIM (D1A019401)
12. PRAMUDYA RAFLI RAKA JAYADI (D1A019464)

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................


DAFTAR ISI..........................................................................................
BAB I PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA
KHUSUS ..............................................................................
A. Pengertian .......................................................................
B. Ruang Lingkup ................................................................
BAB II SEKELUMIT TINDAK PIDANA KHUSUS .............................
A. Informasi Elektronik dan/atau Data Elektronik sebagai Alat
Bukti .........................................................................
B. Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana.......................
BAB III TINDAK PIDANA KORUPSI.................................................
A. Perkembangan Peraturan Pemberantasan Korupsi di
Indonesia.........................................................................
B. Tindak Pidana Korupsi ....................................................
C. Pembuktian Terbalik Yang Terbatas................................
D. Peran Pembagian Beban Pembuktian untuk Pemberantasan
............................................................
BAB IV TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.................................
A. Sistem Pembuktian Dalam Uu No. 8 Tahun 2010 ...........
B. Alat Buktl Menurat Pasal 73 Uu No. 8 Yahun 2010.........
BAB V TINDAK PIDANA EKONOMI ................................................
A. Pengertian Tindak Pidana Ekonomi.................................
B. Badan Hukum Sebagai Pelaku Tindak
Pidana Ekonomi ..............................................................
C. Pidana Yang Oapat Dikenakan........................................
BAB VI TINDAK PIDANA INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK ......................................................................
A. Peristilahan......................................................................
B. Tindak Pidana ...............................................................
C. Ketentuan Khusus Acara Pidana .....................................
BAB VII TINDAK PIDANA NARKOTIKA ...........................................
A. Pengertian Narkotika ..................................................
B. Tindak Pidana Narkotika.................................................
BAB VIII TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA ......................................
A. Pengertian Psikotropika ..................................................
B. Tindak Pldana Psikotropika ............................................
C. Ketentuan Khusus ..........................................................
BAB IX TINDAK PIDANA TERORISME............................................
A. Pendahuluan ..................................................................
B. Kedudukan Hukum Pidana .............................................
C. Retroactive .....................................................................
D. Materi Tindak Pidana Anti-Terorisme..............................
E. Ketentuan-Ketentuan Khusus .........................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di
samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana khusus, seperti
adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka tindak
pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekanse minima
mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Dengan diantisipasi sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda
perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga lambat
laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat
pada umumnya.

Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih


dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak
negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh
berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial
ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat
laun perbuatan ini seakan menjadi budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita
menuju masyarakat adil dan makmur.

Selama ini korupsi lebih banyak dimaklumi oleh berbagai pihak daripada
memberantasnya, padahal tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis kejahatan yang dapat
menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian,
keuangan negara, moral bangsa, dan sebagainya, yang merupakan perilaku jahat yang cenderung
sulit untuk ditanggulangi. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak
diputusan bebas terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung
oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan
negara dan menghambat pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara terus-menerus dalam waktu
yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas hukum dan peraturan
perundang-undangan oleh warga negara. Perasaan tersebut memang telah terlihat semakin lama
semakin menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aksi
main hakim sendiri kepada pelaku tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan
mengatasnamakan keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan perundang-
undangan, dan juga para penegakhukum di Indonesia.

Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan penyakit sosial yang sangat berbahaya
yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi
telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih
memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang
dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislative dengan dalih studi banding, THR,
uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan
keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan
cerminan rendah nyamoralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan
dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain
kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas
korupsi, atau paling tidakmengurangisampai pada titiknadi yang paling rendahmakajanganharap
negara iniakanmampumengejarketertinggalannyadibandingkan negara lain untukmenjadisebuah
negara yang maju. Karena korupsimembawadampaknegatif yang cukupluas dan dapatmembawa
negara kejurangkehancuran.

Korupsi telah meluluh lantankkan sendi-sendi kehidupan bernegara dan memandulkan


fungsi negara sebagai pengemban amanat mensejahterakan, melayani dan mencerdaskan rakyat.
Kejahatan ini telah terjadi secara sistemik dan meluas, melibatkan setiap struktur aparatur negara
secara bersekongkol, setitik kebaikan yang tumbuh menjadi musuh di internal institusi negara,
aparatur negara tidak lagi mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat tapi berlomba-lomba
memperkaya dirinya sendiri, predikat sebagai abdi negara hanyalah kehormatan tanpa makna,
karena hanya sebagai tameng untuk menutupi praktek-praktek kebathilan, akibatnya jutaan orang
menganggur, miskin, lapar dan terbelakang. Oleh karena itulah korupsi digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang upaya pemberantasannya juga harus dilakukan
dengan cara yang luar biasa pula.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik sebuah rumusan masalah, antara
lain:
1. Apakah yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi serta undang-undang apa
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi?
2. Mengapa tindak pidana korupi termasuk ke dalam tindak pidana khusus?
3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap perkara tindak pidana korupsi
menurut undang-undang di Indonesia?
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Korupsi berasaldari kata latin “Corruptio”atau “Corruptus” yang kemudian


muncul dalam bahasa inggris dan Prancis “Corruption”, dalam Bahasa Belanda “Korruptie”, dan
Bahasa Indonesia “korupsi” (Dr. Andi Hamzah, S.H. 1985: 143). Korupsi secara harfiah berarti
jahat atau busuk (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1977: 149), sedangkan A.I.N. Kramer ST
menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi.

Memperhatikan UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, maka Tindak
Pidana Korupsi dapat dilihat dari dua segi, yaitu:

1. Korupsi Aktif
a) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang Korporasi, yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No 31 Tahun
1999)
b) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporas
imenylahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
(Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999)
2. Korupsi Pasif
a) Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji
karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannnya yang bertentangan
dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001).
b) Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi
putusan perkara yang di serahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi
nasehat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkaranya yang di
serahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001).
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:

a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara
dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2
UU No 20 Tahun 2001)
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau
perekonomian Negara (Pasal 3 UU No 20 Tahun 2001).
c. Barangsiapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388,
415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.

Berdasarkan Pasal 2-Pasal 17 dan Pasal 21-Pasal 24 UU No 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pelaku tindak pidananya adalah Setiap orang yang
berarti orang perseorangan dan Korporasi. Dalam UU No 3 Tahun 1971 pelaku Tindak Pidana
Korupsi yaitu orang perseorang saja. Pelaku Tindak Pidana Korupsi menurut KUHP adalah
“Barangsiapa” yang berarti orang perseorang (swasta atau pegawai negeri).

Jenis tindak pidana korupsi menurut UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001,
yaitu:

1. Kerugiankeuangan negara (Pasal 2 dan 3)


2. Suapmenyuap
3. Penggelapandalamjabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatancurang
6. Benturankepentingandalampengadaan (Pasal 12 huruf I)
7. Gratifikasi (Pasal 12B jo. Pasal 12C)

Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi menurut UU No 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, terdiridari:

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21).


2. Tidak member keterangan atau member keterangan yang tidak benar (Pasal 22 jo.
Pasal 28)
3. Bank yang tidak member keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo. Pasal 29).
4. Saksi atau ahli yang tidak member keterangan atau member keterangan palsu
(Pasal 22 jo. Pasal 35).
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
member keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 36).
6. Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo. Pasal 31)

Ruang Lingkup Berlakunya Pasal 16 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi ini menjangkau setiap orang yang di luar wilayah Indonesia memberikan
bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya Tindak Pidana Korupsi. Untuk itu
pelakunya dapat dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 2, 3, dan 5 sampai dengan
pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999.

B. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KHUSUS

Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang diatur di
luar kitab Undang-Undang Pidana dasar pemberlakuantindakpidanakhususadalah KUHP
diaturdalampasal 103 yaitu: ketentuan- ketentuandalam Bab I sampai Bab VIII bukuini juga
berlakubagiperbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana kecuali jika oleh Undang-undang ditentukan lain, misal: tindak pidana korupsi
(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Tindak Pidana Korupsi),Tindak Pidana Khusus maksudnya ditinjau dari peraturan yang menurut
Undang-undang bersifat khusus baik jenis tindak pidananya, penyelesaiannya, sanksinya bahkan
hukum acaranya sebagian diatur secara khusus dalam Undang-undang tersebut dan secara umum
tetap berpedoman pada kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).tindak pidana
korupsi merupakan salah satu bagian dari tindak pidana khusus di samping mempunyai
spesifikasi tertentu yang berbeda dengan tindak pidana umum. Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi merupakan aturan yang mempunyai sifat kekhususan, baik menyangkut Hukum Pidana
Formal (Acara) maupun Materil (Substansi).

Tindak pidana Korupsi merupakan tindakan melawan hukum dengan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain yang bisa merugikan perekonomian maupun keuangan
negara. Pemberantasan tindak pidana korupsi diatur di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2001. Sedangkan tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.Akibat
hukum suatu tindak pidana menjadi tindak pidana korupsi, antara lain : Lembaga yang
menangani tindak pidana korupsi, sistem pembuktiannya Pembuktian dalam tindak pidana
korupsi menerapkan sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, dan dari
segi pemidanaannya. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana implikasi
penanganan perkara suatu tindak pidana sebagai tindak pidana korupsi.

C. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA


KORUPSI MENURUT UU DI INDONESIA

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi. Di Indonesia,


korupsi diterima secara luas sebagai penyakit yang sudah mewabah, bahkan ada yang
menganggap telah menjadi budaya masyarakat. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah bersifat
sistemik dan endemik sehingga tidak saja merugikan keuangan negara dan perekonomian negara
tetapi juga telah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas. Korupsi di Indonesia
sudah merembes masuk ke segala aspek kehidupan, ke semua sektor, ke segala tingkatan, baik di
pusat maupun di daerah.

Membahas masalah pertanggungjawaban pidana korporasi tentu tidak bisa dilepaskan


dari tindak pidana. Dalam ilmu hukum pidana terdapat dua aliran yang membahas antara tindak
pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Aliran pertama adalah aliran monoistis yang
memandang bahwa di dalam tindak pidana terkandung juga pertanggungjawaban. Salah satu
penganut aliran ini adalah Simons. Simons merumuskan tindak pidana (strafbaar feit) dalam
pengertian “een strafbaar gestelde,onrechtmatige met schuld verband staande handeling van een
toerekening svatbaat person”. yang unsurnya adalah:

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon);
Dari pengertian tindak pidana yang dikemukan oleh Simons tersebut terlihat di dalam
rumusan tindak pidana telah terkandung masalah pertanggungjawaban pidana. Aliran kedua
adalah aliran dualistis. Penganut aliran dualistis memahami bahwa dalam pengertian tindak
pidana tidak termasuk di dalamnya masalah pertanggunggjawaban, karena tindak pidana hanya
merujuk pada dilarangnya suatu perbuatan. Salah seorang penganut dualistis ini adalah
Moeljatno yang memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility atau criminal liability).

Secara prinsipil, antara penganut dualistis dan monolistis tidak memiliki perbedaan yang
mencolok terkait dengan pemaknaan terhadap tindak pidana. Hanya saja bagi yang berpandangan
monoistis seorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi
penganut dualistis sama sekali belum cukup syarat untuk dipidana karena harus disertai syarat
pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.Aliran Dualistis
mensyaratkan orang tersebut harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang
dilakukannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, maka perbuatan tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut,dan berlaku asas “geen straf zonder schuld”
(Tiada Pidana Tanpa Kesalahan).Dalam hal ini aliran dualistis memandang meskipun seseorang
terbukti melakukan suatu tindak pidana tidak secara otomatis ia dapat langsung dinyatakan
bersalah, tapi harus terlebih dahulu dibuktikan apakah ia dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara pidana terhadap tindak pidana yang dilakukannya tersebut.

Dari rumusan di atas, telihat bahwa dalam pertanggungjawaban pidana ada hal yang
penting untuk dibuktikan yaitu adalah adanya kesalahan pada diri orang yang melakukan
perbuatan atau tindak pidana, dengan demikian dalam konteks diterimanya korporasi sebagai
subjek hukum dalam hukum pidana yang menurut Mardjono Reskodipuro merupakan perluasan
dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader). Namun timbul suatu
permasalahan baru, bagaimana merumuskan kesalahan yang dilakukan oleh suatu korporasi?
Lalu bagaimana mempertimbangkan pertanggungjawaban pidananya?

Dalam kenyataannya diketahui bahwa korporasi dijalankan oleh manusia atau dengan
kata lain perbuatan atau tindakan korporasi diwujudkan oleh manusia (Pengurus atau orang lain).
Jadi pertanyaan pertama adalah bagaimana konstruksi hukumnya bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh pengurus atau orang lain dapat dinyatakan sebagai perbuatan korporasi yang
melawan hukum pidana? Pertanyaan kedua bagaimana konstruksi hukumnya bahwa korporasi
dapat dinyatakan mempunyai kesalahan dan karena itu dapat dipertanggungjawabkan dan
dijatuhi pidana? Hal ini karena dalam hukum pidana Indonesia dikenal asas tidak dapat dipidana
apabila tidak ada kesalahan.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka terlebih dahulu kita perlu melihat
bentuk-bentuk sistem pertanggungjawaban korporasi yang terdapat dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, yang terdiri dari:

1. Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat dan Penguruslah Yang Bertanggungjawab

Sistem ini sejalan dengan perkembangan korporasi sebagai subjek hukum Pidana tahap
I,dimana para ahli hukum masih bersepakat dengan asas “universitas delinquere non protest”
(badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana).Asas ini berlaku sudah lama di seluruh
Eropa Kontinental, sebagaimana banyak pendapat hukum pidana individual dari aliran klasik
yang berlaku pada waktu itu.Bahwa hanya yang menjadi subjek dalam tindak pidana
sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Memorie van Toelichting (MvT) terhadap Pasal
59 KUHP yang berbunyi “suatu tindak pidana hanya dilakukan oleh manusia”.

Von Savigny pengemuka teori fiksi (fiction theory) menyatakan bahwa korporasi
merupakan subjek hukum, tetapi hal ini tidak diakui di dalam lapangan hukum pidana, karena
pada waktu itu pemerintah Belanda tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam
hukum pidana. Jika KUHP yang berlaku Indonesia diperhatikan, maka dapat diketahui Indonesia
adalah pengikut asas societas/universitas delinquere non protest, hal ini bisa kita temui dalam
ketentuan Pasal 59 KUHP. Dalam pasal ini juga mengenal alasan penghapus pidana, yaitu
pengurus, badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur tangan melakukan
pelanggaran tidak dipidana.

Korporasi Sebagai Pembuat dan Penguruslah yang Bertanggungjawab Dalam hukum


pidana yang tersebar di luar KUHP diatur bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, akan
tetapi tanggung jawab untuk itu dibebankan kepada pengurusnya. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal
35 UU No. 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Pasal 35 ayat (1) menegaskan:
Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal 32, 33 dan 34 Undang-undang
ini dilakukan oleh suatu badan hukum, penuntutan pidana dikenakan dan pidana dijatuhkan
terhadap pengurus atau pemegang kuasa dari badan hukum itu.µAyat (2) Ketentuan ayat (1)
pasal ini diperlakukan sama terhadap badan hukum yang bertindak sebagai atau pemegang kuasa
dari suatu badan hukum lainµUU No. 3 Tahun 1982 ini secara tegas membebankan tanggung
jawab pidana yang dilakukan oleh korporasi kepada para pengurus/pemegang kuasa dari badan
hukum, dengan demikian pengurus yang tidak ikut sertapun harus bertanggungjawab atas semua
tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi.

Selain pengurus, yang dapat mempertanggungjawabkan pidana yang dilakukan oleh


korporasi adalah mereka yang memberi perintah dan atau mereka yang bertindak sebagai
pimpinan, hal ini bisa ditemukan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No. 38 Tahun 1960
Tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman Tertentu, selain itu dalam UU
No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, dikenal dengan adanya pertanggungjawaban pidana
korporasi oleh pengurus, badan hukum, sekutu aktif, pengurus yayasan, wakil atau kuasa di
Indonesia dari perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Dengan demikian dapat
diketahui di dalam beberapa peraturan perundangundangan di luar ketentuan KUHP dikenal
adanya tindak pidana korporasi, namun aturan tersebut membebankan pertanggungjawaban
pidana kepada pengurus, pemegang kuasa dari badan hukum, sekutu aktif dan badan wakil atau
penerima kuasa.

2. Korporasi Sebagai Pembuat dan Juga Sebagai yang Bertanggungjawab

Pada tahun 1990 dalam Kongres PBB ke-8 ditegaskan agar ada tindakan terhadap
perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perkara korupsi. Selain itu dalam dokumen kongres
PBB ke-9 tahun 1995 di Kairo ditegaskan kembali perihal korporasi sebagai subjek dalam tindak
pidana korupsi , yang intinya” asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat dalam penyuapan
para pejabat untuk berbagai alasan yang tidak semuanya bersifat ekonomis. Namun dalam
banyak kasus, masih saja penyuapan digunakan untuk mencapai keuntungan ekonomis.
Tujuannya ialah membujuk para pejabat untuk memberikan berbagai bentuk perlakuan
khusus/istimewa, antara lain: a). memberi kontrak, b). mempercepat/memperlancar izin, dan c).
membuat pengecualian-pengecualian atau menutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran
aturan.

Dijadikannya Korporasi sebagai subjek yang harus mempertanggungjawabkan tindak


pidana di samping manusia alamiah merupakan pergeseran dari doktrin societas/universitas
delinquere non protest, dan penerimaan terhadap konsep pelaku fungsional (fungtional
daderschap).Hal-hal yang membenarkan dapat dimintakannya pertanggung-jawaban pidana
korporasi adalah: pertama, karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan fiskal, keuntungan
yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat sedemikian besar,
sehinggi tidak akan mungkin seimbang bila pidana hanya dijatuhkan pada pengurusnya saja;
kedua, dengan hanya memidana pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi
tidak akan mengulangi tindak pidana lagi, dengan demikian memidana korporasi dapat menaati
peraturan yang bersangkutan.

Dalam sejarah di Indonesia, pertanggungjawaban pidana korporasi ini pertama kali diatur
di dalam UU No. 7 Drt Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, Khususnya dalam Pasal 5 ayat (1).Kemudian dalam perkembangan selanjutnya
lahir berbagai aturan perundangundangan di luar KUHP lainnya yang mengatur hal yang serupa
misalnya : Pasal 39 UU No 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, Pasal 24 UU No 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian, Pasal 20 UU PTPK, dan beberapa perundang-undangan
lainnya.

Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam beberapa undang-undang, maka terkait dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi muncul beberapa doktrin tentang pertanggungjawaban
pidana korporasi antara lain : 1. Doktrin Identifikasi, 2. Doktrin Pertanggungjawab Pengganti
(vicarious liability), dan 3. Doktrin Pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-undang
(strict liability). Pertama, Doktrin Identifikasi. Pertanggungjawaban ini dikenal di negaranegara
Anglo Saxon seperti Inggris. Konsep pertanggungjawaban ini dikenal dengan direct corporate
criminal liability.Asas “mens rea”menurut doktrin ini tidak dikesampingkan, sikap batin atau
perbuatan dari pejabat senior korporasi yang memiliki directing mind dapat dianggap sebagai
sikap korporasi. Hal ini berarti sikap batin tersebut dapat diidentifikasikan sebagai korporasi,
dengan demikian korporasi bisa dimintai pertanggungjawaban langsung.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan dampak
bagi rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi. Pemiskinan koruptor
dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus tindak pidana korupsi. Konsep
pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan
penggantian kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan
koruptor ini dinilai mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak
pidana korupsi.

B. SARAN
Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan koruptor. Rekonseptualisasi
dengan memberikan arahan yang jelas bagi penegak hukum mengenai konsep pemiskinan
koruptor, sehingga pelaksanaan pemiskinan koruptor dapat dijalankan sebagai suatu terobosan
hukum yang memberikan efek jera dalam tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Harianti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika.

Ruslan, Renggong. 2016. Hukum Pidana Kusus Memaami Delik-Delik Di Luar KUHP. Jakarta :
Prenadamedia Group.

Priyatno, Dwidja. 2004. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana


Korporasi Di Indonesia. Bandung. CV Utomo.

Moeljatno. 1990. Hukum Pidana. Semarang. Yayasan Sudarto.

Anda mungkin juga menyukai