Anda di halaman 1dari 7

Melawan Hukum Materil Dalam Fungsi Positif (1)

1. Putusan MA No. 2608 K/Pid/2006 ( Terdakwa: Ahmad Rojadi – Kasus Korupsi KPU)

Selain itu sehubungan dengan keberatan tersebut tidak berkelebihan apabila dikemukakan
pendirian Mahkamah Agung yang tetap memberi makna ”perbuatan melawan hukum” yang
tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang N0.31 tahun 1999, baik dalam arti formil
maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006,
No.003/PUU-IV/2006 Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-
Undang No.31 tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, mengingat alasanalasan sebagai berikut :

1. bahwa dengan dinyatakannya penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001
jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, maka yang dimaksud dengan unsur ”melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat
1 Undang-Undang tersebut menjadi tidak jelas rumusannya, oleh karena itu berdasarkan
doctrine ”Sens-Clair (la doctrine du senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum
dengan memperhatikan
1. bahwa Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menentukan ”Hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”, karena menurut pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 2004,
”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib memeriksa dan mengadilinya”;
2. bahwa Hakim dalam mencari makna ”melawan hukum” seharusnya mencari dan
menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut
diberlakukan pada kasus konkrit (bandingkan M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, halaman 120);
3. bahwa Hamaker dalam keterangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet
en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya
sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup didalam
masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I.H. Hymans (dalam keterangannya :
Het recht der werkelijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran
hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan ”hukum dan
makna sebenarnya” (Het recht der werkelijkheid) (lihat Prof. Dr. Achmad Ali. SH. MH.
Menguak tibir hukum (suatu kajian Filosofis dan Sosiologis). Cetakan ke.II (kedua), 2002,
hal.140);
4. bahwa ”apabila kita memperhatikan Undang-Undang, ternyata bagi kita, bahwa Undang-
Undang tidak saja menunjukan banyak kekurangan-kakurangan, tapi seringkali juga tidak
jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal
sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kapada hakim untuk menetapkan sendiri
maknanya ketentuan Undang-Undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam
suatu ketentuan Undang-Undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-
Undang secara gramatikal atau histories baik ”recht maupun wetshistoris” (Lie Oen Hok,
Jusprudensi sebagai Sumber Hukum, Pidato diucapkan pada waktu peresmian
Pemangkuan Jabatan Guru Basar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Universitas
Indonesia di Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11.)
2. bahwa memperhatikan butir 1 tersebut, maka Mahkamah Agung dalam memberi makna
unsur”secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 akan memperhatikan doktrin dan Yurisprudensi
Mahkamh Agung yang berpendapat bahwa unsur ”secara melawan hukum” dengan tindak
pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun
materil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materil yang meliputi fungsi
positif dan negatifnya, yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada :
1. bahwa ”Tujuan diperluasnya unsur ”perbuatan melawan hukum”, yang tidak lagi dalam
pengertian formil, namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materil, adalah
untuk mempermudah pembuktiannya dipersidangan, sehingga suatu perbuatan yang
pandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara materil atau tercela
perbuatannya, dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak pidana korupsi, meskipun
perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil (Dr.Indriyanto Seno Adji. SH. MH.,
Korupsi dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, hlm.14);
2. bahwa pengertian melawan hukum menurut Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang No.3
Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup
pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaulan
masyarakat atau dipandang tercela oleh masyarakat;
3. bahwa dari butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI. Tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar
diajukannya RUU No. 3 Tahun 1971 dapat disimpulkan pengertian perbuatan melawan
hukum secara materil adalah dititik beratkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum
tidak tertulis, hal ini disirat dari surat tersebut yang pada pokoknya berbunyi ”maka untuk
mencakup perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya bersifat koruptif akan tetapi sukar
dipidana, karena tidak didahului suatu kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran dalam
RUU ini dikemukakan sarana ”melawan hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi,
yang pengertiannya juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-
norma yang lazim atau bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk
bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun haknya;
4. bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan
Mahkamah Agung RI tanggal 28 Desember 1983 No.275 K/Pid/1983, untuk pertama
kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materil melawan hukum, karena
perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati
masyarakat banyak, dengan memakai tolak ukur asas-asas hukum yang bersifat umum
menurut kepatutan dalam masyarakat;
3. bahwa Yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain Undang-Undang
dan kebiasaan serta trakat yang tepat digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus
konkrit yang dihadapinya, Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam
arti formil dan dalam arti materil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya
konsisten penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai
dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat,
kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat;

Bahwa berdasarkan pengertian ”melawan hukum” dalam arti materil tersebut, Mahkamah
Agung berpendapat perbuatan-perbuatan terdakwa ”1 merahasiakan nilai total HPS kepada
calon-calon rekanan, 2 menerima uang saku dari saksi Julinda Juniarti padahal ia sudah
mendapatkan uang perjalanan dinas dari KPU, 3 telah mengajukan surat permohonan
pembebasan biaya masuk yang harus dibayar oleh rekanan” adalah merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan kepatutan masyarakat, oleh karena itu perbuatan-perbuatan tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi positipnya ;

Majelis Hakim : 1) Parman Suparman (Ketua); 2) Iskandar Kamil (Anggota); 3) MS


Lumme (Anggota); 4) Odjak Parulian Simanjuntak (Anggota); 5) Leopold Hutagalung
(Anggota)
Sifat Melawan Hukum dalam Fungsinya yang Negatif
Hukum pidana kita memberlakukan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang
negatif. Merupakan hukum yang tidak tertulis. Namun diterapkan dalam berbagai putusan
pengadilan. Meskipun perbuatan terdakwa memenuhi unsur tindak pidana tertentu, apabila
perbuatan tersebut menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat tidak lagi mengandung sifat
melawan hukum, telah merupakan social adequat, telah menjadi hal yang biasa dalam
masyarakat, maka kepada terdakwa tidak dipidana. Di jatuhkan pelepasan dari segala tuntutan
hukum. Merupakan alasan peniadaan pidana disebabkan kehilangan sifat melawan hukumnya
perbuatan. Merupakan alasan pembenar.

Berlakunya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, merupakan alasan
peniadaan pidana di luar UU, dan termasuk alasan pembenar. Dan sejak arres HR“dokter hewan
dari kota Huizen”tanggal 2-2-1933 sampai sekarang sudah dianut dalam praktik baik di Belanda
maupun di Indonesia. Telah menjadi suatu azas hukum yang tidak tertulis.

Di Indonesia, banyak sekali putusan MA yang memberlakukan /menerapkan sifat melawan


hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Contohnya, al:

>No.: 42K/Kr/1965: 8-1-1966: Pertimbangan hukum MA sbb: “Suatu tindakan pada umumnya
dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan sesuatu ketentuan
dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas hukum yang tidak tertulis
dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor: yakni: Negara tidak dirugikan; kepentingan
umum dilayani; tertuduh tidak dapat untung”

>No.: 72K/Kr/1970: 27-5-1972. . Pertimbangan hukum MA sbb: “Meskipun yang dituduhkan


adalah suatu delik formil namun Hakim secara materiil harus memperhatikan juga adanya
kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas dasar mana mereka tidak dapat dihukum
(materiele wederrechtelijkheid)”.

>No. 97K/Kr/1973 :17-10-1974. Pertimbangan hukum MA sbb: “Karena pebuatan-perbuatan


sebagaimana dituduhkan pada terdakwa merupakan tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam
mengelola uang Perusahaan Negara (PN), yang menguntungkan PN serta sesuai dengan
program kerja PN dan dibenarkan pula oleh atasan terdakwa, lagi pula tidak merugikan negara,
kepentingan umum terlayani dan terdakwa pribadi tidak mendapatkan untung, maka
perbuatan terdakwakehilangan sifat melawan hukumnya”.

>No. 81K/Kr/1973: 16-12-1976. Pertimbangan hukum MA sbb: “Azas “materiele


wederrechtelijkheid” merupakan suatu “buitenwettelijke uitsluittinggrond”, suatu buiten
wettelijke rechtsvaardigingsgrond” dan sebagai suatu alasanyang buiten wettelijk sifatnya
merupakan suatu “fait d’exuse” yang tidak tertulis, seperti dirumuskan oleh dokrin dan
jurisprodensi.Sesuai dengan tujuan dari azas “materiele wederrechtelijkheid” suatu perbuatan
yang merupakan perbuatan pidana, tidak dapat dipidana apabila perbuatan tersebut
adalah social adequat”.

Dicontohkan Pasal 328 KUHP, terdapat unsur “dengan maksud menempatkan orang itu
secaramelawan hukum”. Sementara Pasal 333 Ayat (1) KUHP, terdapat unsur dengan sengaja
dan melawan hukum. Karena di dahului oleh unsur maksud dan sengaja, maka sifat melawan
hukumnya merupakan sifat melawan hukum subjektif.Ada 2 langkah untuk membuktikan
adanya sifat melawan hukum subjektif. Pertama, terlebih dulu harus dapat dibuktikan secara
objektif bahwa di dalam suatu perbuatan yang didakwakanmengandung sifat celaan atau
melawan hukum.Berdasarkan keadaan-keadaan tertentu yang terdapat sekitar perbuatan
maupun objek perbuatan menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat mengandung sifat
celaan. Kedua, harus dapat dibuktikan terdapatnya kesadaran pada diri si pembuatnya, bahwa
apa yang dilakukannya adalah mengandung sifat celaan. Sebaliknya apabila terdapat suatu
keadaan tertentu yang menurut nilai-nilai keadilan dan kepatutan dalam perbuatan tersebut
tidak mengandung sifat celaan, maka tidak mungkin terdapat kesadaran tentang sifat melawan
hukum perbuatan yang secara objektif pada perbuatan itu tidak mengandung sifat melawan
hukum. Contohnya, terdapatnya suatu keadaan berupa gejala-gejala kelainan jiwa seseorang.
Maka menjadi wajar apabila orang yang terdekat hubungan kekeluargaan meminta Rumah
Sakit untuk memeriksa dan merawat orang itu. Dalam hal perbuatan meminta RS untuk
memeriksa dan merawat seseorang yang terdapat gejala-gejala gangguan kejiwaan/mental
seperti itu, maka tidak mungkin adanya kehendak/kesadaran bahwa perbuatan itu sebagai
tercela atau bersifat melawan hukum. Justru perbuatan seperti itu merupakan perbuatan
melaksanakan suatu kewajiban hukum. Suatu perbuatan dilakukan dengan itikad baik.
Demikian juga, misalnya orang tua yang memukul anaknya sebagai bentuk pendidikan,
atauseorang guru menjewer telinga muridnya, dan sebagainya. Semua perbuatan seperti itu
kehilangan sifat melawan hukum perbuatan. Sehingga pelakunya tidak patut dijatuhi pidana
karena perbuatan yang dilakukan telah kehilangan sifat melawan hukumnya, yang telah
menjadi social adequat. Kalau dalam rumusan tindak pidana dicantumkan unsur sifat melwan
hukum seperti Pasal 328 atau 333 Ayat (1) atau 335KUHP, sementara unsur tersebut tidak
terbukti/tiada, maka kepada terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum..

Pasal 335 Ayat (1) KUHP. Kalau dirinci, unsur-unsurnya sebagai berikut:
Perbuatan: memaksa
Objeknya : orang
dengan melawan hukum
Cara melakukan perbuatan (memaksa):
a.-dengan kekerasan; atau
-dengan perbuatan lain, maupun
-dengan perbuatan yang tidak menyenangkan
b.-dengan ancaman kekerasan; atau
-dengan ancaman perbuatan lain; maupun
-dengan ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan

5.Tujuan pembuat melakukan perbuatan:


a.orang itu atau orang lainsupaya melakukan sesuatu
b.orang itu atau orang lain supaya tidak melakukan sesuatu
c.orang itu atau orang lainmembiarkan sesuatu.
Unsur sifat melawan hukum dalam perbuatan memaksa dari Pasal 335 KUHP, bersifat objektif.
Artinya menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam suatu wujud perbuatan memaksa
mengandung sifat celaan. Terdapat keadaan tertentu sebagai indikator adanya sifat celaan
dalam suatu perbuatan. Sebaliknya apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menurut
sifatnya merupakan suatu kewajaran, maka sifat melawan hukum yang diperlukan oleh Pasal
335 tersebut tidak ada atau menjadi tiada. Misalnya, seorang guru yang memaksa muridnya
yang masuk kelas terlambat untuklari mengelilingi lapangan sekolah, bila tidak dilakukan maka
ia tidak boleh masuk sekolah hari itu. Pemaksaan dengan perbuatan tidak menyenangkan oleh
guru tersebut tidak mengandung sifat melawan hukum. Karena perbuatan tersebut dalam
rangka pendidikan, telah menjadi kewajaran dalam masyarakat, atau sosial adequat . Sama
halnya juga, misalnya apabila terdapat gejala-gejala seseorang dalam keadaan adanya
gangguan terhadap mental/kejiwaannya.Maka menjadi suatu kewajaran, apabila anggota
keluarganya meminta pertolongan pada Rumah Sakit untuk memeriksa dan merawat orang
tersebut. Keadaan seperti itu tidak boleh dianggap sebagai memaksanya untuk melakukan atau
membiarkan sesuatu perbuatan secara melawan hukum.Ukuran melawan hukum suatu
perbuatan harus diukur dari ketidak wajaran berdasarkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat,
dalam hal seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu.

Pasal 304 KUHP,terdapat unsur hubungan antara si pembuat (yang menempatkan atau
membiarkan orang dalam keadaan sengsara) dengan orang yang ditempatkan dalam keadaan
sengsara. Unsur hubungan tersebut adalah berupa suatu kewajiban hukum bagi si pelaku
terhadap orang yang dibiarkan dalam keadaan sengsara. Kewajiban hukum tersebut
berupa,kewajiban untuk memberi kehidupan, perawatan atau pemiliharaan.Kedudukan hukum
seorang istri tidak merupakan kedudukan hukum yang membeban kewajiban hukum untuk
memberikan kehidupan, perawatan atau pemiliharaan kepada suaminya. Sebaliknya justru
suamilah yang membeban kewajiban hukum tersebut kepada istri dan anak-anaknya.Pasal 304
KUHP tidak dimaksudkan untuk istri yang tidak berbuat apa-apa (membiarkan atau
menempatkan) pada suami pada waktu keadaan ekonomi dan kesehatan suami yang sulit.

Pasal 45 Ayat (1) jo 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004. Kekerasan psikis dalam lingkup rumah
tangga dalam UU 23 Tahun 2004, adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan dalam lingkup rumah tangga yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan psikologis”. Sifat melawan hukumtidak dicantumkan sebagai unsur dalam Pasal 45
Ayat (1) jo 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004.Unsur sifat melawan hukum dalam delik ini
terdapat secara terselubung di dalam unsur perbuatan kekerasan. Tidak perlu dibuktikan secara
khusus. Cukup membuktikan adanya unsur perbuatan kekerasan saja. Namun sebaliknya,
apabila di dalam perbuatan kekerasan tersebut kehilangan sifat melawan hukum, maka
ketiadaan sifat melawan hukum tersebut menjadi alasan peniadaan pidana di luar UU. Keadaan
ini terjadi disebabkan dalam hukum pidana Belanda dan berlaku untuk Indonesia, menganut
azas berlakunya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Misalnya seorang
petinju dalam pertandingan memukul lawannya di atas ring, mengakibatkan lawannya
meninggal dunia. Seorang suami menampar muka istrinya yang terbukti berzina.Seorang ayah
memukul anaknya yang mencuri uang ibunya.Perbuatan-perbuatan seperti contoh tersebut
dapat menjadi kewajaran (sosial adequat) menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Karena
itu terhadap pelakunya tidak patut dijatuhi pidana, melainkan dilepaskan dari segala tuntutan
hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Terdapat perbedaan antara tidak terbuktinya atau tidak terdapatnyaunsur sifat melawan
hukum yang dicantumkan dalam rumusan delikdengan hapusnya /tiadanya sifat melawan
hukum. Perbedaan itu adalah:

-Dalam hal sifat melawan hukumdicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Kemudian unsur
tersebut tidak dapat dibuktikan atau tidak ada/tiada, maka tindak pidana tidak terjadi. Kepada
terdakwa harus di bebaskan.

-Sementara apabila unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan tindak
pidana, namun terbukti suatu perbuatan dlam tindak pidana tersebut telah kehilangan sifat
melawan hukum perbuatan, maka kepada terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

6 Juni 2011.

H. Adami Chazawi

Catatan: Tulisan di atas disusun kembali dari keterangan ahli (lisan) di sidang Pengadilan kasus
Pasal 338 dan 335 KUHP.

Anda mungkin juga menyukai