Anda di halaman 1dari 19

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAM


POLITEKNIK IMIGRASI
Jl. Raya Gandul No. 4, Cinere, Depok
Telp. (021) 7530001, Laman: www.poltekim.ac.id
Email: tupoliteknikimigrasi@gmail.com

LEMBAR JAWABAN PESERTA DIDIK


UJIAN TENGAH SEMESTER / UJIAN AKHIR SEMESTER
TINGKAT : I / SATU
PRODI/KELAS : ADMINISTRASI KEIMIGRASIAN / C
NAMA : THERESYA BERLIAN
NRT : 2021.2438.2.02
NO. URUT PRESENSI : 26
HARI/ TANGGAL : SENIN, 21 NOVEMBER 2022
WAKTU : 15.30 – 17.00 WIB
DOSEN : DR.DRS. MERCY MARVEL,S.H.,M.SI.
MATA KULIAH : DOKUMEN PERJALANAN KEIMIGRASIAN

SOAL
1. Apakah yang dapat Kalian pakai sebagai dasar ukuran untuk menentukan bahwa
perbuatan seseorang itu melawan hukum atau tidak? Jelaskan jawaban Kalian serta
berikan contoh tentang hal tersebut bagaimanakah Praktiknya di Indonesia terkait
perbuatan seseorang melawan hukum tersebut?
2. Apakah Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia? Berikanlah jawaban Kalian
dengan penjelasan yang lengkap dan sistematis, berikut contohnya dalam praktik.
3. Apakah yang kalian ketahui dengan "Politik Hukum" itu? Idealnya "Politik Hukum
Nasional Indonesia" itu, haruslah semaksimal mungkin difokuskan pada pencapaian
tujuan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang se-adil-adilnya untuk meraih
"welfare state" sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945
Apakah dengan politik hukum yang dijalankan sekarang ini, berdasarkan "trend
kemajuan teknologi yang bisa dikuasai Indonesia", Indonesia akan lebih cepat dapat
mewujudkan "welfare state", sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan
UUD 1945 tersebut?
4. Bagaimanakah Praktik Sistem Penegakkan Hukum dan Peradilan di Indonesia?
5. Dalam Hukum Positif Indonesia, Bagaimanakah Fungsi keimigrasian sebagai
penjaga "wilayah kedaulatan" dan "wilayah berdaulat NKRI, kaitannya dengan
Hukum Administrasi Negara.

LEMBAR JAWABAN UJIAN 1


JAWABAN

NOMOR 1

Perbuatan melawan hukum, baik perdata (onrechtmatige daad) maupun


pidana (wederrechtelijke daad) adalah dua konsep penting dalam wacana ilmu
hukum (baca juga uraian serupa tentang bagian ini dalam Shidarta, 2010: 65-84).
Secara umum, terutama jika mengikuti arus besar (mainstream) pemikiran hukum di
Indonesia, kedua konsep ini mengalami divergensi dalam arah pemafsirannya.
Perbuatan melawan hukum perdata mengarah kepada pemaknaan yang meluas
(ekstensif), yakni dengan mengartikan hukum tidak sama dengan undang-undang
(wet). Jadi, onrechtmatig dibedakan pengertiannya dengan onwetmatig. Momentum
historis dari perluasan ini terjadi setelah putusan Hoge Raad der
Nederlanden tanggal 31 Januari 1919, yaitu dalam kasus kasus Lindenbaum versus
Cohen. Lain halnya dengan perbuatan melawan hukum dalam lapangan pidana
yang justru mengarah ke pemaknaan yang menyempit (restriktif), yakni lebih
mengarah kepada sifat melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid).
Apa yang disebut hukum lazimnya mengacu pada ketentuan norma positif
dalam sistem perundang-undangan pidana yang telah ada, tertulis, dan berlaku
sebelum perbuatan dilakukan. Pelanggaran terhadap syarat ini merupakan
pelanggaran serius terhadap asas legalitas. Jika terjadi divergensi dalam kedua
lapangan hukum itu, lalu bagaimana halnya dengan perbuatan melawan hukum di
dalam lapangan hukum lingkungan? Hal ini menarik untuk ditanyakan karena ranah
hukum lingkungan tidak sepenuhnya dapat dimasukkan ke dalam kriteria hukum
perdata dan hukum pidana. Dengan mengutip Drupsteen, Koesnadi Hardjasoemantri
(1999: 38) mengatakan hukum lingkungan (millieurecht) adalah hukum yang
berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk millieu) dalam arti seluas-luasnya.
Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan
lingkungan. Dengan demikian, hukum lingkungan merupakan instrumentarium
yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan
terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri dari
hukum pemerintahan (bestuursrecht). Dalam tulisan ini, perbuatan melawan hukum
dalam ranah hukum lingkungan itu diberi nomenklatur “perbuatan melawan hukum
lingkungan”.
Dasar pijakan dari perbuatan melawan hukum perdata adalah Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Indonesia), yang secara historis memiliki
kesamaan makna dengan Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek (lama) Negeri Belanda.
Menurut L.C. Hoffmann, dari bunyi Pasal 1401 ini dapat diturunkan setidaknya
empat unsur, yaitu: (1) harus ada yang melakukan perbuatan, (2) perbuatan itu
harus melawan hukum, (3) perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang
lain, dan (4) perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakakan kepadanya.
Mariam Darus Badrulzaman memerinci perbuatan melawan hukum ini menjadi lima
unsur, yakni: (1) harus ada perbuatan (baik positif maupun negatif), (2) perbuatan itu
harus melawan hukum, (3) ada kerugian, (4) ada hubungan sebag akibat antara
perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian, dan (5) ada kesalahan (Agustina,

LEMBAR JAWABAN UJIAN 2


2003: 49-50). Sejak arrest kasus Lindenbaum-Cohen tanggal 31 Januari 1919,
pemaknaan perbuatan melawan hukum di lapangan hukum keperdataan setidaknya
dapat dihubungkan dengan empat hal, yaitu perbuatan itu harus: (1) melanggar hak
orang lain; (2) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau; (3)
bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau; (4) bertentangan dengan
kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.
Pemaknaan yang muncul dari putusan tersebut merupakan terobosan penting
setelah beberapa putusan sebelumnya cenderung masih mempersempit makna
“hukum” sama seperti makna “undang-undang”, misalnya dalam putusan kasus
mesin jahit Singer (1905) dan kasus pipa air ledeng kota Zutphen (1910). Jika
diterapkan ke dalam hukum lingkungan, ada beberapa persoalan yang perlu
diberikan catatan (bandingkan juga dengan Setiawan, 1991: 8-15).
Pertama, pengertian melanggar hak orang lain di sini mencakup area
denotasi yang luas. Orang tersebut tidak harus subjek yang bertempat tinggal di
lokasi yang terkena dampak langsung pencemaran atau perusakan lingkungan
hidup. Orang ini dapat terdiri dari mereka yang dirugikan secara idealisme, misalnya
para aktivis lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan. Dalam kasus
gugatan terhadap PT Inti Indorayon Utama (1988), misalnya, Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) sebagai penggugat adalah lembaga swadaya masyarakat
yang tidak berdomisili di kawasan Sumatera Utara, tetapi oleh hukum ia dimasukkan
ke dalam kategori subjek hukum lingkungan yang ikut dilanggar kepentingannya.
Catatan di atas berkorelasi dengan asas penting dalam hukum acara, yaitu point
d’intérêt, point d’action (siapa yang berkepentingan, dia memiliki ius standi untuk
beracara).
Kedua, pengertian bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku
adalah kewajiban menurut undang-undang. Penafsiran demikian karena rumusan
Hoge Raad tentang pengertian perbuatan melawan hukum tahun 1919 itu menjiplak
secara harafiah rancangan undang-undang tahun 1913. Kata “undang-undang” di
sini meliputi undang-undang dalam arti material, termasuk peraturan perundang-
undangan pidana. Ini berarti seseorang yang melakukan pelanggaran pidana karena
mencuri atau menipu, di samping dapat dituntut secara pidana, dimungkinkan pula
karena kerugian yang ditimbulkannya untuk digugat secara perdata.
Ketiga, pengertian bertentangan dengan kesusilaan yang baik dan kepatutan
dapat dianggap sebagai perluasan yang penting dari penafsiran perbuatan melawan
hukum. Kedua batasan tersebut memang dapat berubah dari waktu ke waktu dan
berbeda dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan sudah dengan sendirinya
bertentangan dengan kesusilaan. Apa yang dikenal sebagai “bertentangan dengan
kepatutan” adalah jika: (1) perbuatan tersebut sangat merugikan orang lain tanpa
kepentingan yang layak, dan (2) perbuatan itu tidak berguna atau menimbulkan
bahaya bagi orang lain. Perbuatan penyalahgunaan hak (misbruik van recht) yang
terjadi dalam kasus terkenal “cerobong asap palsu” yang diputus oleh Pengadilan
Colmar tanggal 2 Mei 1855, membuktikan bahwa perbuatan yang sia-sia dan
merugikan orang lain, adalah juga pelanggaran hukum.
Ada hal yang menarik untuk membedakan antara ketentuan Pasal 1365 KUH
Perdata dan Pasal 1366 KUH Perdata. Secara redaksional ketentuan Pasal 1365

LEMBAR JAWABAN UJIAN 3


menggunakan kata-kata “karena salahnya” (schuld) yang berbeda dengan bunyi
Pasal 1366 yang berbunyi “karena kelalaian atau ketidakhati-hatian” (nalatigheid;
onvoorzichtigheid). Kata “melawan hukum” mengandung arti baik tindakan aktif
maupun pasif. C. Asser (1991) juga menekankan tentang hal ini. Menurutnya, jika
Pasal 1365 KUHPer menekankan pada perbuatan aktif, maka Pasal 1366
menekankan pada aspek pembiaran (tidak berbuat). Dengan demikian, segala
perbuatan yang disebabkan oleh kesengajaan maupun kelalaian atau ketidakhati-
hatian, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, sepanjang
perbuatan itu salah (melanggar hukum dalam arti luas), dan oleh karena itu si
pelakunya layak diberikan beban untuk mengganti kerugian.
Sehingga dapat diismpulkan bahwa, Praktiknya di Indonesia terkait perbuatan
seseorang melawan hukum dapat dilihat dari, Pertama, perbuatan melawan hukum
dalam hukum pidana sering disebut dengan Wederrechtelijk dan perbuatan melawan
hukum dalam hukum perdata sering di sebut dengan Onrechtmatige daad. Kedua,
dasar hukum pengaturannya, perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sedangkan perbuatan melawan
hukum dalam hukum perdata di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata/
KUHPer (BW) khususnya di Pasal 1365 BW. Ketiga, sifat perbuatan melawan
hukum dalam hukum pidana bersifat publik artinya ada kepentingan umum yang
dilanggar (disamping juga kepentingan individu), sedangkan perbuatan hukum
dalam konteks perdata bersiffat privat yang dilanggar hanya kepentingan pribadi
saja. Keempat unsur- unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana adalah
perbuatan yang melanggar Undang-Undang, perbuatan yang dilakukan di luar batas
kewenagannya atau kekuasaannya dan perbuatan yang melanggar asas-asas
umum yang berlaku di lapangan hukum sedangkan unsur-unsur dari perbuatan
melawan hukum dalam konteks perdata adalah adanya suatu perbuatan, perbuatan
tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian
bagi korban dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

NOMOR 2

Pada dasarnya, dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu
pertentangan antara bagian-bagian. Selain itu juga tidak boleh terjadi duplikasi atau
tumpang tindih diantara bagian-bagian itu. Suatu sistem mengandung beberapa
asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya.Secara umum sistem hukum
dibagi menjadi dua yaitu Eropa Kontinental (civil law system) dan Angglo Saxon
(comman law system). Civil law system adalah bentuk-bentuk sumber hukum dalam
arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan perundang- undangan,
kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Negara- negara penganut civil law
menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-
undangan. Semua negara penganut civil law mempunyai konstitusi tertulis. comman
law systema Sistem hukum anglo saxon merupakan suatu sistem hukum yang
didasarkan pada yurispudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang
kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem Hukum Anglo
Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan
dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Sedangkan di Indonesia jika dilihat
dari pengertian civil law system dan comman law system Indonesia menganut

LEMBAR JAWABAN UJIAN 4


kedua-duanya senderung ke civil law system tapi juga pada pelaksanaannya masih
menggunakan comman law system.

Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang dapat diartikan sebagai
keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. Prof. Subekti, SH menyebutkan
sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang
terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu
rencana ataupola, hasil dari suatu penulisan untul mencapai suatu tujuan”.Dalam
suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan antara bagian-
bagian. Selain itu juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih diantara
bagian-bagian itu. Suatu sistem mengandung beberapa asas yang menjadi
pedoman dalam pembentukannya.Dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak
terlepas dari asas- asas yang mendukungnya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem
artinya suatu susunan atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya
terdiri bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.Dapat disimpulkan bahwa sistem
hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian
atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara
erat. Untuk mencapai suatu tujuan kesatuan tersebut perlu kerja sma antara bagian-
bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana dan pola tertentu.

Pembagian Hukum itu sendiri di golongkan dalam beberapa jenis :


1. Berdasarkan Wujudnya
Hukum tertulis, yaitu hukum yang dapat kita temui
dalam bentuk tulisan dan dicantumkan dalam berbagai
peraturan negara, Sifatnya kaku, tegas Lebih menjamin
kepastian hukum Sangsi pasti karena jelas tertulis
Contoh: UUD, UU, Perda.
Hukum tidak tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dan
tumbuh dalam keyakinan masyarakat tertentu (hukum
adat). Alam praktik ketatanegaraan hukum tidak tertulis
disebut konvensi Contoh: pidato kenegaraan presiden
setiap tanggal 16 Agustus.
2. Berdasarkan Ruang atau Wilayah Berlakunya
Hukum lokal, yaitu hukum yang hanya berlaku di daerah
tertentu saja (hukum adat Manggarai-Flores, hukum adat
Ende Lio-Flores, Batak, Jawa Minangkabau, dan
sebagainya.
Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku di negara
tertentu (hukum Indonesia, Malaysia, Mesir dan
sebagainya).
Hukum internasional, yaiu hukum yang mengatur
hubungan antara dua negara atau lebih (hukum perang,
hukum perdata internasional, dan sebagainya).
3. Berdasarkan Waktu yang Diaturnya
Hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum); disebut juga hukum
positif.

LEMBAR JAWABAN UJIAN 5


Hukum yang berlaku pada waktu yang akan datang (ius
constituendum).
Hukum asasi (hukum alam).

Perbandingan Sistem Hukum Indonesia


1. Sistem Hukum Eropa Kontinental (civil law system)
Sistem hukum ini berkembang di negara- negara Eropa
daratan dan sering disebut sebagai “Civil Law” yang semula
berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran romawi
pada masa pemerintahan Kaisar justinianus abad VI sebelum
masehi.
Sistem Civil Law mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya
kodifikasi, hakim tidak terikat kepada presiden sehingga undang-
undang menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem
peradilan bersifat inkuisitorial. Karakteristik utama yang menjadi
dasar sistem

Hukum Civil Law adalah hukum memperoleh kekuatan


mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang
berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di
dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut mengingat bahwa
nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian
hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau
tindakan-tindakan hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur
dengan peraturan-peraturan hukum tertulis. Dengan tujuan
hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim
tidak dapat leluasa menciptakan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi menetapkan
dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas
wewenangnya. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara
hanya mengikat para pihak yang berperkara saja ( Doktrins Res
Ajudicata).
Karakteristik kedua pada sistem Civil Law tidak dapat
dilepaskan dari ajaran pemisahan kekusaan yang mengilhami
terjadinya Revolusi Perancis. Menurut Paul Scolten, bahwa
maksud sesungguhnya pengorganisasian organ-organ negara
Belanda adalah adanya pemisahan antara kekuasaan pembuatan
undang-undang, kekuasaan peradilan, dan sistem kasasi adalah
tidak dimungkinkannya kekuasaan yang satu mencampuri urusan
kekuasaan lainnya. Penganut sistem Civil Law memberi
keleluasaan yang besar bagi hakim untuk memutus perkara tanpa
perlu meneladani putusan-putusan hakim terdahulu. Yang
menjadi pegangan hakim adalah aturan yang dibuat oleh
parlemen, yaitu undang-undang.
Karakteristik ketiga pada sistem hukum Civil Law adalah apa
yang oleh Lawrence Friedman disebut sebagai digunakannya
sistem Inkuisitorial dalam peradilan. Di dalam sistem itu, hakim

LEMBAR JAWABAN UJIAN 6


mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan
memutuskan perkara; hakim aktif dalam menemukan fakta dan
cermat dalam menilai alat bukti. Menurut pengamatan Friedman,
hakim di dalam sistem hukum Civil Law berusaha untuk
mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang
dihadapinya sejak awal. Sistem ini mengandalkan
profesionalisme dan kejujuran hakim.
Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem
hukum Civil Law berupa peraturan perundang-undangan,
kebiasaan- kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam rangka
menemukan keadilan, para yuris dan lembaga-lembaga yudisial
maupun quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber tersebut.
Dari sumber-sumber itu, yang menjadi rujukan pertama dalam
tradisi sistem hukum Civil Law adalah peraturan perundang-
undangan. Negara-negara penganut civil law menempatkan
konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan
perundang-undangan. Semua negara penganut civil law
mempunyai konstitusi tertulis.
Dalam perkembangannya, sistem hukum ini mengenal
pembagian hukum publik dan hukum privat. Hukum publik
mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan
dan wewenang penguasa/negara serta hubungan-hubungan
antara masyarakat dan negara (sama dengan hukum publik di
sistem hukum Anglo-Saxon). Hukum Privat mencakup peraturan-
peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara
individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi
hidupnya.
Sistem hukum ini memiliki segi positif dan negatif. Segi
positifnya adalah hampir semua aspek kehidupan masyarakat
serta sengketa-sengketa yang terjadi telah tersedia undang-
undang/hukum tertulis, sehingga kasus-kasus yang timbul dapat
diselesaikan dengan mudah, disamping itu dengan telah
tersedianya berbagai jenis hukum tertulis akan lebih menjamin
adanya kepastian hukum dalam proses penyelesaiannya. Sedang
segi negatifnya, banyak kasus yang timbul sebagai akibat dari
kemajuan zaman dan peradaban manusia, tidak tersedia undang-
undangnya. Sehingga kasus ini tidak dapat diselesaikan di
pengadilan. Hukum tertulis pada suatu saat akan ketinggalan
zaman karena sifat statisnya. Oleh karena itu, sistem hukum ini
tidak menjadi dinamis dan penerapannya cenderung kaku karena
tugas hakim hanya sekedar sebagai alat undang-undang. Hakim
tak ubahnya sebagai abdi undang-undang yang tidak memiliki
kewenangan melakukan penafsiran guna mendapatkan nilai
keadilan yang sesungguhnya.

LEMBAR JAWABAN UJIAN 7


Posisi Sistem Hukum Indonesia
Negara negara penganut sistem hukum Eropa Koninental atau
civil law antara lain negara negara Perancis, Jerman, Belanda
dan bekas jajahan Belanda antara lain Indonesia, Jepang dan
Thailand.
Pada sistem ini, putusan pengadilan berdasarkan pada
peraturan perundang undangan yang berlaku, contohnya bisa
UUD 45, Tap MPR, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah,
Perpres/Kep Pres, MA,

Keputusan Menteri dan lain lain. jadi, keputusan pengadilan


bersifat fleksibel (berubah ubah) tergantung hakim yang
memutuskan berdasarkan fakta/bukti yang ada.21
Tidak menganut sistem juri karena negara negara tersebut
menganut faham bahwa orang awam yang tidak tahu hukum tidak
bisa ikut andil/menentukan nasib seseorang, tetapi putusan
Hakim yang menentukan berdasarkan fakta sumber sumber dan
saksi saksi yang mendukung.
Adanya sistem perjanjian “the receipt rule” yakni perjanjian
terbentuk ketika penerimaan terhadap suatu penawaran sampai
ke pemberi tawaran. Jadi, ketika seseorang membatalkan suatu
kontrak perjanjian dengan cara mengirimkan email atau surat fax
ke perusahaan tertentu, maka perjanjian pembatalan terlaksana
ketika surat tersebut dibaca oleh manajer atau pemilik
perusahaan yang bersangkutan. jika karena masalah (belum
sampai membaca surat) maka perjanjian masih belum
terlaksana.22 Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa system hukum
Indonesia menganut system Hukum Eropa Koninental atau Civil
Law System.

NOMOR 3

Pada dasarnya, Menurut Mahfud MD dalam buku Politik Hukum di


Indonesia, politik hukum adalah Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang
hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun
dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.Adapun
pengertian politik hukum menurut Padmo Wahjono, adalah kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan dibentuk. Lebih jelasnya,
Padmo Wahjono menerangkan bahwa politik hukum merupakan kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk membentuk suatu
yang mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan tentang hukum
yang menentukan arah, bentuk dan isi hukum yang mencakup pembentukan,

LEMBAR JAWABAN UJIAN 8


penerapan, dan penegakan hukum dalam rangka mencapai tujuan politik hukum
yaitu tujuan sosial tertentu/tujuan negara.
Konsepsi negara kesejahteraan diadopsi di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya di dalam alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945, dengan menempatkan frase ‘memajukan kesejahteraan
umum’ sebagai salah satu cita negara Republik Indonesia. Setelah mengalami
perubahan, UUD 1945 mengamanatkan implementasi demokrasi ekonomi,
sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Di dalam demokrasi
ekonomi tersebut diperkenalkan sebuah asas efisiensi-berkeadilan yang ditengarai
sebagai senyawa sistem ekonomi kapitalis yang mengusung jiwa neoliberalisme.
Dari analisis yang dilakukan penulis, penulis menemukan bahwa beberapa unsur
neoliberalisme telah larut ke dalam kebijakan-kebijakan hukum di bidang ekonomi
Indonesia, yaitu privatisasi, aturan pasar, deregulasi, dan pemotongan pengeluaran
publik. Kebijakan hukum di bidang ekonomi, kaitannya dengan pelembagaan
konsepsi welfare state, tentunya tidak lepas dari rangkaian kajian politik hukum yang
melandasi hak asasi manusia di bidang ekonomi tersebut dan politik hukum
kaitannya dengan struktur ekonomi Indonesia. Politik hukum, menurut Padmo
Wahjono, adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu di dalamnya mencakup pembentukan,
penerapan, dan penegakan hukum.1 Dari pengertian tersebut, kajian politik hukum
terdiri atas:
(1) politik pembentukan hukum (perundang-undangan),
(2) politik penerapan hukum, dan
(3) politik penegakan hukum.
Politik perundangan-undangan tidak dapat dipisahkan dari politik hukum,
karena peraturan perundang-undangan merupakan salah satu dari subsistem
hukum. Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie mengungkapkan bahwa semua bentuk
peraturan perundang-undangan dan termasuk policy rules berisi norma hukum yang
bersifat abstrak dan umum (abstract and general norms) sebagai keseluruhan legal
policy yang mengandung kebijakan-kebijakan kenegaraan, pemerintahan, dan
pembangunan. Legal policy yang tertinggi dimuat dalam naskah undang- undang
dasar.

Konsepsi Welfare State di Indonesia


Bahwasannya, kesejahteraan mengacu pada peran negara yang aktif dalam
mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup
tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan
kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Sejalan dengan
pelayanan kesejahteraan dasar tersebut, Ross Cranton, sebagaimana dikutip oleh
Prof. Safri Nugraha mendefinisikan negara kesejahteraan sebagai negara yang
menentukan standar minimal kesejahteraan sosial. Di banyak negara, esensi negara
kesejahteraan dibebankan pada standar minimal yang dijamin oleh negara, yaitu:
penghasilan, pangan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan. Ada sebuah
keyakinan dari Bangsa Indonesia yang dinyatakan di dalam Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia (UUD 1945) bahwa Indonesia adalah negara
kesejahteraan (welfare state). Satu di antaranya tercantum di dalam Pembukaan

LEMBAR JAWABAN UJIAN 9


UUD 1945 yang secara jelas menentukan bahwa salah satu staatsidee Negara
Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum.
Di dalam Batang Tubuhnya, UUD 1945 juga merumuskan konsepsi negara
kesejahteraan ke dalam frase “kemakmuran rakyat”. Adapun frase tersebut dapat
diintegrasikan pada dua Ketentuan Pasal di dalam UUD 1945. Pertama, Pasal 23
ayat (1) UUD 1945 yang merupakan rezim Bab Keuangan Negara menentukan
bahwa: “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan
secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.” Kedua, frase “kemakmuran rakyat” juga dapat ditemukan di dalam rumusan
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang ada merupakan bagian dari Bab Perekonomian
Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Pasal tersebut menentukan bahwa: Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.25 Setidaknya secara
kajian konstitusi, pelembagaan kesejahteraan sosial dan kemakmuran rakyat berada
di ranah penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)
dan formulasi kebijakan terkait dengan penataan ekonomi nasional.
Kaitan dengan social welfare provision di atas, Pasal 33 ayat (2) UUD 1945,
memberikan pengaturan lebih lanjut untuk penguasaan dan penyediaan barang
publik (public goods), yaitu: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Sebagaimana telah diulas sebelumnya, perkembangan Teknologi yang
signifikan dapat mempengaruhi serta mendukung pencapaian tujuan mewujudkan
cita-cita bangsa Indonesia yang se-adil-adilnya , tetapi harus sejalan dan tetap
mendasar pada dasar hukum atau falsafah hukum Indonesia yaitu berdasarkan
Pancasila, dan UUD 1945. Dimana arah kebijakan perekonomian nasional
menunjukkan beberapa pengadopsian nilai-nilai neoliberalisme, atau dengan kata
lain, neoliberalisme telah menjadi rujukan dalam perumusan kebijakan perkonomian
nasional. Setelah mengidentifikasi hal yang demikian itu, kita dapat
memperbandingkan kompatibilitas nilai-nilai neoliberalisme dan konsepsi negara
kesejahteraan, sekaligus melihat konsistensi arah kebijakan perekonomian nasional
dalam melembagakan konsepsi welfare state di Indonesia.
Sebagai politik hukum pemerintah, arah kebijakan perekonomian nasional harus
diorientasikan pada pelembagaan staatsidee dari Bangsa Indonesia untuk
memajukan kesejahteraan umum. Dan ‘wahana’ untuk melembagakan staatsidee
itu, sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, adalah konsepsi negara kesejahteraan (welfare
state).
Ada dua hal yang yang harus kita cermati, sekaligus melihat kompatibilitas di
antara keduanya, yaitu neoliberalisme dan konsepsi welfare state. Beberapa ahli
memformulasikan adanya hubungan paradoksal antara neoliberalisme dengan
konsepsi welfare state. Jika kita menghendaki adanya konsistensi perumusan arah
kebijakan perekonomian nasional dengan original intent dari Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengamatkan
pelembagaan konsepsi welfare state untuk mewujudkan kesejahteraan umum, perlu

LEMBAR JAWABAN UJIAN 10


dilakukan reformulasi kebijakan perekonomian nasional dengan mengembalikan
khittah beban pembentukan tata sosial dan tata ekonomi pada negara.

NOMOR 4

SISTEM PENEGAKAN HUKUM DAN PERADILAN DI INDONESIA

Penegakan hukum ditujukan guna me- ningkatkan ketertiban dan kepastian


hukum dalam masyarakat. Hal ini dilakukan antara lain dengan menertibkan fungsi,
tugas dan wewe- nang lembaga-lembaga yang bertugas menegak- kan hukum
menurut proporsi ruang lingkup masing-masing, serta didasarkan atas sistem
kerjasama yang baik dan mendukung tujuan yang hendak dicapai. Tingkat
perkembangan masyarakat tem- pat hukum diberlakukan mempengaruhi pola
penegakan hukum, karena dalam masyarakat modern yang bersifat rasional dan
memiliki tingkat spesialisasi dan differensiasi yang tinggi penggorganisasian
penegak hukumnya juga semakin kompleks dan sangat birokratis. Kajian secara
sistematis terhadap penegakan hukum dan keadilan secara teoritis dinyatakan
efektif apabila 5 pilar hukum berjalan baik yakni: instrument hukumnya,aparat
penegak hukumnya, faktor warga masyarakat- nya yang terkena lingkup peraturan
hukum, faktor kebudayaan atau legal culture, factor sarana dan fasilitas yang dapat
mendukung pelaksanaan hukum.

1. Upaya meningkatkan peran hukum untuk menumbuhkan hukum anggota


masyarakat. Penegak kesadaran Pelaksanaan hukum di dalam masyarakat selain
tergantung pada kesadaran hukum ma- syarakat juga sangat banyak ditentukan oleh
aparat penegak hukum, oleh karena sering terjadi beberapa peraturan hukum tidak
dapat terlaksana dengan baik oleh karena ada beberapa oknum penegak hukum
yang tidak melaksanakan suatu ketentuan hukum sebagai mana mestinya. Hal
tersebut disebabkan pe- laksanaan oleh penegak hukum itu sendiri yang tidak
sesuai dan merupakan contoh buruk dan dapat menurunkan citra .Selain itu teladan
baik dan integritas dan moralitas aparat penegak hukum mutlak harus baik, karena
mereka sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktik suap dan penyelahgunaan
wewenang. Uang dapat mempengaruhi proses penyidikan, proses penuntutan dan
putusan yang dijatuhkan. Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegak
hukum itu dijalankan oleh kom- ponen yudikatif dan dilaksanakan oleh birokra- si,
sehingga sering disebut juga birokrasi pe- negakan hukum. Eksekutif dengan
birokrasinya merupakan bagian dari bagian dari mata rantai untuk mewujudkan
rencana yang tercantum dalam (peraturan) hukum. Kebebasan peradilan merupakan
essensilia daripada suatu negara hukum saat ini sudah terwujud dimana kekuasa-
an Kehakiman adalah merdeka yang bebas dari pengaruh unsur eksekutif,

LEMBAR JAWABAN UJIAN 11


legislatif .serta ke- bebasan peradilan ikut menentukan kehidupan bernegara dan
tegak tidaknya prinsip Rule of Law.
2. Proses Penegakan Hukum di lingkungan Peradilan
Peradilan sebagai salah satu institusi pe- negak hukum, oleh karenanya aktivitasnya
ti- dak terlepas dari hukum yang telah dibuat dan disediakan oleh badan pembuat
hukum itu. Dalam hal ini ada perbedaan peradilan dan pe- ngadilan, peradilan
menunjukan kepada proses mengadili, sedangkan pengadilan adalah me- rupakan
salah satu lembaga dalam proses ter- sebut, lembaga-lembaga lain yang terlibat
dalam proses mengadili adalah kepolisian, kejaksaan dan advokat.
Berjalannya proses peradilan tersebut berhubungan erat dengan substansi yang
diadili yaitu berupa perkara perdata atau pidana, keterlibatan lembaga-lembaga
dalam proses peradilan secara penuh hanya terjadi pada saat mengadili perkara
pidana. Dalam perkembang- annya terbentuklah beberapa badan peradilan dalam
lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara, Pengadilan perpajakan dimana masing-masing mempunyai
kewenangan untuk mengadili perkara sesuai dengan kewenangan masing-masing
peradilan tersebut.
Menurut hemat penulis peranan lembaga peradilan dalam mewujudkan pengadilan
yang mandiri, tidak dipengaruhi oleh pihak manapun, bersih dan profesional belum
berfungsi sebagai- mana yang diharapkan. Hal tersebut tidak ha- nya disebabkan
oleh:
a. adanya intervensi dari pemerintah dan pe- ngaruh dari pihak lain terhadap
putusan pengadilan, tetapi juga karena kualitas profesionalisme, moral dan akhlak
aparat penegak hukum yang masih rendah.
b. lemahnya penegakan hukum juga disebab- kan oleh kinerja aparat penegak
hukum lainnya seperti Hakim, Polisian, Jaksa, Advokat dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) yang belum menunjukan sikap yang profesional dan integritas moral
yang tinggi.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pemberdayaan terhadap lembaga


peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya langkah- langkah yang perlu
dilakukan yaitu:
Peningkatan kualitas dan kemampuan aparat penegak hukum yang lebih
profesioanal, berintegritas, berkepribadian, dan bermoral tinggi.
Perlu dilakukan perbaikan–perbaikan sistem perekrutan dan promosi aparat
penegak hukum, pendidikan dan pelatihan, serta me- kanisme pengawasan yang
lebih memberikan peran serta yang besar kepada masyarakat terhadap perilaku
aparat penegak hukum.
Mengupayakan peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum yang sesuai
dengan pemenuhan kebutuhan hidup.
Krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum disebabkan antara lain karena
masih banyaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) yang belum tuntas penyelesaiannya secara hukum.
Dalam rangka memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum,
upaya yang harus dilakukan adalah :

LEMBAR JAWABAN UJIAN 12


Menginventarisasi dan menindak lanjuti secara hukum berbagai kasus KKN dan
HAM.
Melakukan pemberdayaan terhadap aparat penegak hukum, khususnya aparat
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan masyarakat.
Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu.
Adanya kekerasan horizontal dan vertikal pada dasarnya disebabkan melemahnya
pene- rapan nilai-nilai budaya dan kesadaran hukum masyarakat yang
mengakibatkan rendahnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan timbulnya
berbagai tindakan penyalahgunaan wewenang. Demikian juga kurangnya sosialisasi
peraturan perundang-undangan baik sebelum maupun sesudah diterapkan baik
kepada ma- syarakat umum maupun kepada penyelenggara negara termasuk
aparat penegak hukum. Upaya yang akan dilakukan adalah dengan meningkat- kan
pemahaman dan kesadaran hukum di semua lapisan masyarakat terhadap
pentingnya hak-hak dan kewajiban masing-masing individu yang pada akhirnya
diharapkan akan mem- bentuk budaya hukum yang baik.
Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keadaan dan interaksi sosial
yang terjadi dalam masyarakat, dapat dicantumkan dalam masyarakat yang
memelihara atau mengem- bangkan sistem hak-hak berdasarkan atas status, atau
suatu masyarakat dengan perbeda- an yang tajam antara “ the have “ dan “the have
not “, atau suatu masyarakat yang berada dalam lingkungan kekuasaann otoriter ,
akan menempatkan sistem penegakan hukum yang berbeda dengan masyarakat
yang terbuka dan egaliter. Dengan kata lain penegakan hukum yang benar dan adil
ditentukan oleh kehendak dan partisipasi anggota masyarakat, bukan semata-mata
keinginan pelaku penegak hukum.
3. Upaya Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum
Lainnya.
Pemberdayaan peradilan dan lembaga penegak hukum bertujuan untuk
meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap pe- ran dan citra lembaga
peradilan dan lembaga penegak hukum seperti; Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian
dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lainnya (PPNS) sebagai bagian dari upaya me-
wujudkan upaya supremasi hukum dengan dukungan hakim dan aparat penegak
hukum lainnya yang profesional, berintegritas dan ber- moral tinggi.
Dalam rangka mewujudkan Penegakan Hukum dilingkungan peradilan demi
terciptanya lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh penguasa maupun pihak
lain dengan tetap mempertahankan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan hal-
hal yang perlu dilakukan adalah:
Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk me-
mudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan ter-
hadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu.
Menyususn sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan
terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan me- megang asas kompetensi,
transparansi, dan partisipasi baik bagi hakim maupun bagi aparat penegak hukum
lainnya.
Meningkatkan kesejahteraan hakim dan apa- rat penegak hukum lainnya seperti
jaksa, Polisi dan PNS melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya

LEMBAR JAWABAN UJIAN 13


sampai dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang disesuaikan dengan
tugas, wewenang dan tanggung jawab kerja yang dibebankan.
Menunjang terciptanya sistem peradilan pi- dana yang terpadu melalui sinkronisasi
per- aturan perundang-undangan yang mengatur tugas dan wewenang hakim dan
aparat penegak hukum lainnya.
Meningkatkan peran Advokat dan Notaris melalui optimalisasi standar kode etik di
lingkungan masing-masing.
Menyempurnakan kurikulum dibidang pen- didikan hukum guna menghasilkan
aparatur hukum yang profesional, berintegrasi dan bermoral tinggi.
Meningkatkan kualitas hakim dalam melaku- kan penemuan hukum baru melalui
putusan- putusan pengadilan (yurisprudensi) yang di- gunakan sebagai dasar
pertimbangan hukum, yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum
dilingkungan peradilan.
Meningkatkan pembinaan terhadap integritas moral, sikap perilaku dan
pemberdayaan ke- mampuan dan kerterampilan aparat penegak hukum.
Mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan
atau Alternative Dispute Resolution (ADR) dan dengan memperbaiki upaya
perdamaian di Pengadilan.
Aparat penegak hukum yang turut membantu dalam penyelenggaraan pelaksanaan
peradilan untuk menciptakan kepastian hukum selain lembaga kehakiman meliputi:
- Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor. 16 Tahun
2005 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan Republik Indonesia
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negera di bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang- undang yang
dilaksanakan secara merdeka.
- Kepolisian sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian Negara RI
mempunyai tugas dan fungsi untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelanan
kepada masyarakat
- Rules of adjudication. Salah satu yang menonjol yang dirasakan di Indonesia
saat ini adalah sifat birokratisnya penegakan hukum yang sesuai dengan
kewenangan masing-masing institusi atau lembaga hukum yang bertugas
menegakkan hukum sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan
undang-undang
PRAKTIK :
KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
INDONESIA
Kebijakan kriminal yang menjadi pilihan bagi penyelenggara negara (legislatif,
yudikatif, eksekutif) di Indonesia merupakan upaya untuk mengatasi kejahatan dan
mewujudkan ketertiban dan kesejahteraan sosial. Kebijakan penegakan hukum
pidana terhadap penanggulangan kejahatan dalam rangka pembaharuan hukum
pidana di Indonesia dapat dimulai dengan pembentukan produk hukum yang tepat
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, misalnya aturan hukum pidana yang terkait dengan
perkembangan teknologi informasi, internet, dan bentuk- bentuk transaksi elektronik,

LEMBAR JAWABAN UJIAN 14


yang melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Kendala yang dihadapi dalam penerapan kebijakan penegakan hukum pidana
terhadap penanggulangan kejahatan dalam rangka pembaharuan hukum pidana di
Indonesia dan bagaimana upaya dalam mengatasinya dapat bersumber dari
peraturan perundang-undangan yang tidak menyesuaikan dengan perkembangan
zaman. Kejahatan yang dilakukan oleh beberapa anggota masyarakat bukan hanya
semakin meningkat, tetapi juga semakin canggih dan efeknya dapat sangat besar.
Permasalahan ini tidak hanya merupakan permasalahan di bidang penegakan
hukum, namun juga menyangkut ancaman keamanan negara. Dengan demikian,
kendala dalam menangani tindak pidana selain berasal dari peraturan perundang-
undangan yang saling tumpang tindih dan bertentangan satu dengan yang lain dan
tidak menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, juga karena sumber daya
penegak hukum yang masih sangat terbatas dan kurang update terhadap
perkembangan tekonologi, serta karena kurang adanya koordinasi antar lembaga
penegak hukum. Selain itu, faktor pengaruh eksternal dalam upaya penegakan
hukum pidana untuk menanggulangi tindak pidana juga berasal dari faktor budaya
hukum dan faktor masyarakat.

NOMOR 5

Pada dasarnya, Secara operasional fungsi keimigrasian tersebut dapat


diterjemahkan ke dalam konsep Tri fungsi Imigrasi. Konsep ini hendak menyatakan
bahwa sistem keimigrasian, baik ditinjau dari budaya hukum keimigrasian, materi
hukum (peraturan hukum) keimigrasian, lembaga, organisasi, aparatur, mekanisme
hukum keimigrasian, sarana dan prasarana hukum keimigrasian, dalam
operasionalisasinya harus selalu mengandung Trifungsi, di antaranya:

a)Fungsi Pelayanan Masyarakat


Salah satu fungsi keimigrasian adalah fungsi penyelenggaraan pemerintahan atau
administrasi negara yang mencerminkan aspek pelayanan. Dari aspek ini, imigrasi
dituntut untuk memberi pelayanan prima di bidang keimigrasian: baik kepada WNI
maupun WNA. Pelayanan bagi WNI terdiri dari: (1) pemberian paspor/ pemberian
Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP)/Pas Lintas Batas (PLB); dan (2)
Pemberian tanda bertolak/masuk. Pelayanan bagi WNA terdiri dari: (1) pemberian
Dokumen Keimigrasian (DOKIM) berupa: Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), Kartu
Izin Tinggal Tetap (KITAP), Kemudahan Khusus Keimigrasian (DAHSUSKIM); (2)
Perpanjangan izin tinggal meliputi: Visa Kunjungan Wisata (VKW), Visa Kunjungan
Sosial Budaya (VKSB), Visa Kunjungan Usaha (VKU); (3) Perpanjangan DOKIM
meliputi KITAS, KITAP DAHSUSKIM; (4) Pemberian Izin Masuk Kembali, Izin
Bertolak; dan (5) Pemberian Tanda Bertolak dan Masuk.
b)Fungsi Penegakan Hukum
Dalam pelaksanaan tugas keimigrasian, keseluruhan aturan hukum keimigrasian itu
diletakkan kepada setiap orang yang berada di dalam wilayah hukum negara RI baik
itu WNI atau WNA, penegakan hukum keimigrasian terhadap WNI, ditujukan pada
permasalahan: (1) Pemalsuan identitas; (2) Pertanggungjawaban sponsor; (3)

LEMBAR JAWABAN UJIAN 15


Kepemilikan paspor ganda; dan (4) Keterlibatan dalam pelanggaran aturan
keimigrasian.
c)FungsiKeamanan
Imigrasi berfungsi sebagai penjaga pintu gerbang negara. Dikatakan demikian
karena imigrasi merupakan institusi pertama dan terakhir yang menyaring
kedatangan dan keberangkatan orang asing ke dan dari wilayah RI. Pelaksanaan
fungsi keamanan yang ditujukan kepada WNI dijabarkan melalui tindakan
pencegahan ke luar negeri bagi WNI atas permintaan Menteri Keuangan dan
Kejaksaan Agung. Khusus untuk WNI tidak dapat dilakukan pencegahan karena
alasan-alasan keimigrasian belaka.

Adapun Konsepsi Hukum Keimigrasian Yang Ideal, hal ini Konsep ketahanan
nasional mencakup pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan
yang seimbang dan serasi dalam kehidupan nasional. Pengertian konsepsi
ketahanan nasional adalah konsep pengaturan dan penyelenggara kesejahteraan
dan keamanan yang seimbang dan serasi dalam kehidupan nasional, yang
melingkupi seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh berlandaskan
falsafah bangsa, ideologi negara, konstitusi, dan wawasan nasional dengan metode
Astagatra.
Dalam hal ini, pengertian ketahanan nasional itu sendiri adalah kondisi
dinamik suatu bangsa yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang
terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala
ATHG (ancaman, tantangan, hambatan, gangguan) baik yang datang dari luar atau
dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas,
identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan
nasional.
Hal tersebut diatas adalah merupakan pijakan dasar dalam pengembangan
dan pembangunan bangsa. Operasionalisasinya membutuhkan aturan atau hukum
sebagai alat untuk mengarahkan masyarakat ke tujuan yang diinginkan, yaitu kondisi
yang memiliki kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi ancaman, tantangan,
hambatan dan gangguan (ATHG). Penggunaan “hukum positif Indonesia” dalam
operasionalisasi konsep ini, yaitu bahwa hukum merupakan alat merekayasa
masyarakat (law as a tool of social engineering). Oleh karena itu,ketika hukum
dipakai sebagai instrumen penting untuk menjabarkan usaha pencapaian kondisi
masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk mengatasi ancaman, tantangan,
hambatan dan gangguan (ATHG), dapat dikatakan bahwa hukum bukan sekedar
“alat” melainkan sudah berfungsi sebagai “sarana” pembaruan masyarakat. Dapat
dikatakan bahwa dalam mengusahakan ketahanan nasional, hukum tidak dapat
tidak harus dilibatkan sebagai agen perubahan masyarakat.
Sehingga jika dikaitkan antara Fungsi keimigrasian sebagai penjaga "wilayah
kedaulatan" dan "wilayah berdaulat NKRI, kaitannya dengan Hukum Administrasi
Negara bahwa, Pembahan paradigma fungsi-kngsi dm perm-perm imigrasi serta

LEMBAR JAWABAN UJIAN 16


pembaruan peraturan perundang-undangan keimigrasian dalam sistem hukum
nasional Indonesia yang tujuannya untuk dapat memberikan kemudahan clan
fasilitas untuk perijinan bagi orang asing, dalam pengimplementasiamya telah tejadi
kemu- ngkinan-kemungkinan pdanggaranlpenyimpangan atas perijinan yang
diberikan. Lu- asnya kondisi geografis, padatnya penduduk, bmyaknya perusaham-
perusahaan asing dan adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kemudahan
dan fasilitas yang diberikan pemerintah, sangat mendorong terjahya
pelanggaratllpenyeiewe ngan untuk menghindari pemantauan aparat imigrasi.
keimigrasian merupa-kan bagian dari sistem hukum nasional yang berlaku di
Indonesia. Hal tersebut, merupakan subsistem dari Hukum Administmi Megara
(HAN). Implikasi dari kasus tersebut jika Orang asing tidak menaati peraturan
pemdang-undangan yang berla- ku di Indonesia, hal ini menimbulkan masalah dan
dapat dikenakan tindakan hukum, berupa :
a)  Tindakan hukum pidana berupa penyidikan keimigrasian yang merupakan bagian
daripada ran&uan integrated criminal sys- tem, sistem deradilan pidana (penyidikan,
penuntutan, peradilan) dan atau ;
b)  Tindakan hukum administrasi negara berupa tindakan keimigra- sian adalah
tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses peradilan. Termasuk
bagian daripada tindakan keirni- grasian ini adalah diantaranya deportasi terhadap
orang asing untuk keluar dari wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

LEMBAR JAWABAN UJIAN 17


DAFTAR PUSTAKA

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum


Nasional, Bandung, Alumni, 1991.

Handoyo, Hestu Cipto, Hukum Tata Negara Indonesia.


Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, 2009.

George Winterton, “Comparative Law Teaching” dalam the


American Journal of Comparative Law, Vol. 23, No. 1.
(Winter, 1975.

http://alfaroby.wordpress.com/2009/01/13/sistem-hukum/

http://nuravik.wordpress.com/2014/10/27/kedudukan-
hukum- administrasi-negara-dalam-tata-hukum/

Syahrin, M.A., 2018. Menakar Kedaulatan Negara dalam


Perspektif Keimigrasian.

Penelitian Hukum De Jure, 18


Syahrin, M.A., 2018. Teori Kebijakan Selektif

LEMBAR JAWABAN UJIAN 18


Keimigrasian. Petak Norma.

Syahrin, M.A., 2016. Antara Batas Imajiner Dan


Kedaulatan Negara.

LEMBAR JAWABAN UJIAN 19

Anda mungkin juga menyukai