Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sifat Melawan Hukum


Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila
usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan
nestapa penderitaan, kendati demikian, tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu
menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran
melindungi dan memperbaiki.1

Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat
dalam suatu pasal. Salah atu usur dalam suatu pasal adalah seifat melawan hukum
(wederrechtelijke) baik yang secara ekspilit maupun yang secara impilist ada dalam suatu
pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang implisit dan ekspilit dalam suatu pasal
masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yag
harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dalam
dilakukan penuntutandan pembuktian pengadilan.

Demikian yang disebutkan, bahwa salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat
objektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada
Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dalam bahasa belanda melawan hukum itu adalah wederrechtelijik
(weder = bertentangan dengan, melawan; recht = hukum). Dalam menentukan perbuatan
dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur
yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undan-undang akan menjadi terlampau luas. Selain
itu, sifat dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik, yaitu dalam delik
cupla. Sedangkan dalam hukum pidana, yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan
yang bersifat melawan hukum sja, perbuatan-perbuatan inilah dihukum dan diancam
pidana.2

Menurut pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian
melawan hukum antara lain ialah:
1. Simon: melawan hukum berarti beretentangan dengan hukum pada umumnya
2. Noyon: melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Pompe: melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pengertian yang lebih luas,
bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak
tertulis.
4. Van Hammel: melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang
5. Hoge raad: dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan menurut HR melawan hukum
adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan.
6. Lamintang berpendapat bahwa perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan
karena dalam bahasa belanda recht dapat berarti “hak”. Ia mengatakan, dalam bahasa
Indonesia kata wederrechtelijik itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi

1
Sudarto, dalam H. Soetiyono, kejahatan korporasi, (Malang: bayumedia publishing, 2005) hal. 102.
2
Moeljatno, asas-asas hukum pidana, (Jakarta: Rinka Cipta, 2008) hal.140

1
pengertian “beretentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang
lain atau hukum subjektif”.3

Hoge Raad4 pada tanggal 31 januari 1919, N.J. 1919, W. 10365 berpendapat. Antara lain
sebagai berikut: “onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan denga hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga yang
bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.5

Karena bermacam-macam pengertian melawan hukum itu, Noyon-Langemeyer (1954)


mengusulkan agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan stiap delik tanpa secara
asasi menghilangkan kesatuan artinya. Misalnya Hoge Raad dengan Arrest-nya tanggal 28
juni 1911, dalam menerapkan pasal 362 Ned:W.v.S (= pasal 378 KUHP) mengatakan “de
dader geen eigen recht op de bevoordeling heft” (terdakwa tidak mempinyai ak sendiri
untuk menikmati keuntungan itu). Menurut Pompe “melawan hukum” dalam kasus tersebut
berarti melawan hukum tidak tertulis.6

B. Sifat Melawan Hukum dalam Perspektif Hukum Pidana


Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat
melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana
dan sifat melawan hukum didalamnya memiliki empat makna yakni:
1. Perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan
sebagaiamana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia termasuk dalam
rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
2. Kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demkian, sifat
melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
3. Sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah
dipenuhi.

Sifat melawan hukum materil mengandung dua pandangan sebagai berikut:


a) Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan
delik.
b) Dari sudut pandang hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan
dengan asas kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan
berikut, sifat melawan hukum materil dibagi menjadi sifat melawan hukum materil
dalam negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif
berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa
keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan
hukum materil dalam fungsi postif mengandung arti meski perbuatan tidak memenuhi
unsur delik, tetapi juka perbuatan itu dianggap tercela karen atidak sesuai rasa
keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.

3
Teguh prasetyo dan Abdul Hakim Barakatullah, politik hukum pidana kajian kebijakan kriminalisasi dan
diskriminasi. (yogyakarta: pustaka belajar, 2005) hal. 31-32.
4
Mahkamah agung di Belanda
5
Laden Marpaung, asas-teori-praktek hukum pidana i (jakarta : sinar grafika, 2005) hal. 44
6
Andi Hamzah, asas asas hukum pidana (jakarta : Rineka cipta, 2010) hal.140

2
Karena memang dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-
perbuatan yang melawan ukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam
dengan pidana.7

Didalam KUHP istilah sifat melawan hukum itu bermacam-macam:


Tegas dipakai istilah “melawan hukum”, (wederrechtelijik) dalam pasal 167, 168,
335,(1), 522;
Dengan istilah lain misalnya: “tanpa mempunyai hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549);
“tanpa izin” (zonder verlof) (pasal 496, 510); “dengan melampaui kewenangannya”
(pasal 430); “tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan umum”
(pasal 429).8

Seperti yang telah dipaparkan diatas, bahwa kata melawan hukum telah dicantumkan
dalam beberapa pasal yang telah disebutkan. Pada umumnya para sarjana hukum
menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik
dinyatakan secara ekspilit atau tidak, tetapi tidak semua pasal dalam KUHP menvantumkan
unsur melawan ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian
wajar sifat melawan hukmnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit.
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau
bertentangan dengan kaidag materil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan
sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana
adalah ionzizin,. Tidak masuk akal, sifar melawan hukumnya perbuatan merupakan salah
satu syarat pemidanaan.9

C. Macam-macam Sifat atau Perbuatan Melawan Hukum


Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di
samping asas legalitas. Menurut D. Schaffmeister, pembagian melawan hukum itu ada 4
kelompok:
1. Sifat melawan hukum secara umum
2. Sifat melawan hukum secara khusus
3. Sifat melawan hukum secara materil
4. Sefat melawan hukum secara formil10

Adapun perinciannya ialah sebagai berikut:


Sifat melawan hukum secara umum semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian
inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat di pidana, jadi tidak perlu
dicantumkan dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu
dicantumkan dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan.
Contoh pembunuhan.

7
Moeljatni, op., cit. Hal 140
8
P.A.F. Lamitang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung : Sinar Baru, 1990). hal. 332.
9
Andi Zainal Abidin, asas-asas hukum pidana (bagian pertama). (bandung: Alumni. 1987). hal. 269-270.
10
D. Schaffmeister, hukum pidana, diterjemahkan oleh J.E sahetapy (yogyakarta: Liberty cet kedua, 2003), hal.
39.

3
Sifat melawan hukum secara khusus pasal 2 dan pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 yang
secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum harus
dicantumkan di dalam suarat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan
hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan maka putusan bebas.

Sifat melawan hukum secara materil bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-
undang saja, tetapi juga yang bertentangan dengan kepatutan, kezaliman didalam pergaulan
masyarakt dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.

Sifat melawan hukum secara formil seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau
dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.

Namun, banyak pendapat bersebrangan dengan pendapat D. Schaffmeister. Termasuk


Menurut Bamang Purnomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan tedapat dua ukurang,
yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele wederchttelijkheidsbegrip dan sifat
melawan hukum materil atau materieele wederechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum
formil apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delikdan pengecualiannya, seperti daya paksa,
pembelaan terpaksa, itupun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang.
Sebalinya melawan hukum materil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu
bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak
melawan hukum. Dengan demikian, Dalam pandangan sifat melawan hukum materil,
melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundang-undangan maupun
hukum diluar peraturan perundang-undangan.11

Demikian memang, secara umum ajaran ini hanya dibagi menjadi dua bagian yakni:
ajaran sifat melawan hukum yang formal dan juga yang materil.
1. Ajaran sifat melawan hukum formal
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang-undang.
Sifat melawan hukum formal merupakan syarat-syarat untuk dipidananya perbuatan.
Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi
semua unsur-unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah
tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga
disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Secara singkat melawan hukum formal
diartikan bertentangan denga rumusan undang-undang yang berlaku, atau apbila suati
perbuatan.
Sudah memnuhi rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara
formal.12
Keberadaan formale wederrechtelijikheid tidak menjadi persoalan karena ini secara
eksplisit menjadi unsur dari suatu Pasal, sehingga untuk menentukan apakah seseorang
itu wederrechtelijk atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah
memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik atautidak. Tetapi bagaimana
dengan materiele wederrechtlikheid. Terhadap hal ini memang menjadi persoalan karena
di negeri Belanda sendiri ajaran materiele wederrechtlikheid kurang berkembang,
edangkan persoalannya menjadi lain karena di Indonesia berkembang pula hukum tidak

11
Bambang Poernomo. Asas-asas hukum pidana. (jakarta : Ghalia indonesia. 1994). Hal. 115
12
Andi Hamzah, op,.cit, hal. 140

4
tertulis yaitu hukum adat yang memungkinkan sifat melawan hukum tidak berdasarkan
hukum tertulis dan terdapat dalam KUHP tetapi unsur melawan hukum itu ada dalam
kehidupan masyarakat yang tidak tertulis. Sebagaimana menurut Simon : untuk dapat
dipidana perbuatan harus mencocoko rumusan delik yang tersebut dalam wet, jika sudah
demikian biasanya tida perlu lagi untuk menyeidiki apakah perbuatan melawan hukum
atau tidak.13

2. Ajaran sifat melawan hukum materil


Sifat melawan hukum meteril merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak
hanya terdapat didalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya
asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan
bedasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.14

Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik,
perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang
tidak patut atau tercela. Karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar diluar
undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak
tertulis.

Ajaran sifat melawan hukum metrial (materiele wederrechtelijheid) di Indonesia


bukan hanya hkum pidana yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum pidana yang
didasarkan pada KUHP saja, tetapi juga hukum adat yang sampai sekarang masih
terpelihara, jika hal ajaran sifat melawan hukum material tidak ditampung dalam sutu
perundang-undangan atau yurisprudensivmaka dikhawatirkan hukum pidana adat akan
mengalami kematian. Tetapi untungnya Mahkamah Agung dalam putusannya tahun 1965
berani bertolaj belakang dengan KUHP yang berlaku pada saat itu sehingga hukum
pidana atau hukum yang hidup dan tidak tertulis bisa di selamtakan.

Penyusun konsep atau rancangan KUHP Baru 1998 menyadari hal ini sehingga
mereka perlu memasukkannya menjadi suatu bagian yang tersendiri disamping ajaran
sifat melawan hukum formal selama ini sudah terakomodasi. Bahkan lebih
mengunggulkan nilai-nilai keadilanyang ada dalam masyarakat dibanding nilai kepastian
yang berarti mereka betul-betul menghargai hukum pidana adat yang sekarang ada dan
berlaku.15

Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya
berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan
asas-asas keadilan atau asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, sebagai
misalnya 3 faktor:
1. Negara tidak dirugikan;
2. Kepentingan umum dilayani; dan
3. Terdakwa tidak mendapat untung.16

13
Ibid , Hal 143
14
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Pt rajagrapindo Persada, 2011). Hal. 67-75
15
Teguh Prasetyo, op.cit.,hal 34-35
16
L. Suryadarmawan, Himpunan Keputusan-keputusan Dari Mahkamah Agung. (Jakarta: 1967) hal 555

5
D. Unsur-Unsur Sifat Melawan Hukum
Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak di atur dalam undang-undang
(melawan hukum formil) namun apabila perbuatan hukum tersebut dianggap tercela karna
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat
(melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat di[idana. Untuk menentukan
perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum
sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi
terlampaui luas. Sifat ini juga dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik pula.

Suatu tindakan pada umumnya dapat hilan sifatnya sebagai melawan hukum bukan
hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga
berdsarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum
dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani
dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung. Karena memang sepatutnya, untuk dapat
dipidananya seorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana, memang seharusnya ada
ketentuan di dalam hukum acara.
1. Tindak pidana yang di tuduhkan atau didakwakan itu harus di buktikan,
2. Tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi semua unsur yang terdapat di
dalam rumusannya;

Jika unsur melawan hukum itu tegas termasuk dalam rumusan delik, maka unsur juga
harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan.
Maka untuk menentukan apakah suatu perbuatan dukatakan perbuatan melawan hukum
diperlukan unsur-unsur:
1. Perbuatan tersebut melawan hukum
2. Harus ada kesalahan pada pelaku
3. Harus ada kerugian

Selanjutnya menurut Simons “hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang
materil tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak
pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, dibawah pengawasan
keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu
perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan
tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar
hukum dalam hukum positif sendiri”.17

Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan unsur sifat melawan hukum itu
tegas-tegas dalam sesuatu rumusan delim, karena pembentuk undang-undang khawatir,
apalagi apabila usur melawan hukum itu tak dicantumkan denga tegas, yang berhak atau
berwenang untuk melakukan perbuatan-perbauatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undang itu, mungkin dipidana pula.

17
Ibid, hal.143

6
Pada umunya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-
unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara ekspilit atau tidak, tetapi tidak semua pasal
dalam KUHP mencantumkan unsur melawan hukumini secara tertulis, hal ini disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain:
1. Bilaman dari rumus Undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah demikian wajar
sifat melawan hukmnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara ekspilit;
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbautan sesorang melanggar atau
bertentangan dengan kaidah metriil yng berlaku baginya, oleh karena itu dengan
sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana
adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukmnya perbuatan merupakan salah
salah satu syarat pemidanaan18

18
Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama).(Bandung:Alumni, 1987). Hal. 267-270.

7
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Sifat melawan hukum adalah salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif,
di mana sifat melawan hukum ini di jadikan unsur tertulis dalam pembentukan undang-
undang.
Adapun jenis dari sifat yang melawan hukum menurut D.Schaffmeister yaitu:
1. Sifat melawan hukum secara umum
2. Sifat melawan hukum secara khusus
3. Sifat melawan hukum secara materil
4. Sifat melawan hukum secara formil

Namun menurut kebanyakan pakar hukum hanya membagi menjadi dua jenis:
1. Sifat melawan hukum formal
2. Sifat melawan hukum material

Perbuatan melawam hukum formil, yaitu suatu perbuatan melawan hukum apabila
perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang. Jadi, sandarannya adalah hukum
tertulis.
Perbuatan melawan hukum materiil, yaitu suatu melawan hukum walaupun belum diatur
dalam undang-undang. Sandarannya adalah asas umum yang terdapat di lapangan hukum.
Suatu tindakan dapat hilanag sifatnya sebagai melawan hukum karna berdsarkan asas
keadilan karna 3 faktor:
1. Negara tidak di rugikan
2. Kepentingan umum dilayani; dan
3. Terdakwa tidak mendapat untung.

8
DAFTAR PUSTAKA

Sudarto, dalam H. Soetiyono. 2005. kejahatan korporasi. Malang : bayumedia publishing.

Prasetyo, Teguh dan barakatullah, Abdul Hakim. 2005. Politik hukum pidana kajian kebijakan
kriminalisasi dan deskriminasi. Yogyakarta: pustaka belajar.

Marpaung, Leden. 2005. asas-teori-praktek hukum pidana. Jakarta: sinar grafika.

M.Tuanakotta, Theodorus. 2009. menghitung kerugian keuangan negara dalam tindak pidana
korupsi. Salemba empat.

Moeljatno. 2002. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Lamitang, P.A.F. 1990, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung. Sinar Baru.

Zainal Abidin, Andi. 1987, Asas-asas Hukum Pidana (Bagian Pertama). Bandung. Alumni.

Saleh, Roeslan.1968. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Dua Pengertian Dasar
Dalam Hukum Pidana). Jakarta ,Centra.

Anda mungkin juga menyukai