1. Pandangan Formil
Menurut pandangan formil, elemen melawan hukum bukan suatu unsur yang
mutlak. Pada dasarnya melawan hukum merupakan perbuatan pidana yang disebut
secara tegas dalam rumusan delik. Menurut pendapat Pompe menyatakan sifat
melawan hukum pada umumnya bukan unsur perbuatan pidana, kecuali
dinyatakan secara tegas dalam suatu rumusan undang-undang. Merujuk pada
pendapat Pompe sebagai contoh Pasal 338 KUHP yang menyatakan “Barangsiapa
sengaja mmerampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Jika dilihat dari contoh di Pasal
tersebut maka tidak terdapat unsur melawan hukum karena tidak disebut dalam
rumusan delik, dan jika di bandingkan dengan Pasal 362 KUHP yang menyatakan
“Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau Sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahu atau denda paling
banyak enam puluh rupiah”. Dari Pasal 362 KUHP mengandung unsur melawan
hukum karena ditulis secara mutlak jelas dalam rumusan delik.
Sehingga menurut pandangan formil dapat ditarik kesimpulan apabila
melawan hukum tidak tertulis dalam delik maka dapat dikatakan melawan hukum
bukan merupakan unsur dari perbuatan pidana. Namun, Apabila melawan hukum
disebut dan tercantum di dalam delik maka dapat dikatakan bahwa melawan
hukum merupakan usur dalam perbuatan pidana karena disebutkan secara tegas
dalam undang-undang.
2. Pandangan Materiil
Pandangan materiil menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur
mutlak dari setiap perbuatan pidana. Menurut Hazewinkel Suringa terhadap
pandangan materiil menyatakan bahwa sifat melawan hukum adalah unsur yang
konstan dan permanen dari setiap perbuatan pidana demikian juga dengan
pertanggungjawaban. Suatu perbuatan pidana tidak hanya kelakukan yang
memenuhi rumusan delik tetapi juga dibutuhkan keduanya, pertama adalah sifat
melawan hukum dan kedua adalah dapat di pertanggungjawabkan pelaku.
Konsekuensi dari ajaran yang menyatakan bahwa kelakuan yang bersifat melawan
hukum dan dan dapat dipertanggungjawabkan pelaku adalah unsur konstitutif,
jaksa harus memasukan dalam tuduhannya dan membuktikannya, jika perbuatan
tersebut adalah sesuai hukum, pelaku tidak dapat di pertanggungjawabkan dan
harus dibebaskan adalah suatu konsekuensi. Dari pendapat yang dikemukan
tersebut apabila unsur melawan hukum dianggap sebagai unsur yang mutlak dari
setiap perbuatan pidana, maka Pentutut Umum dibebani suatu kewajiban untuk
membuktikannya, hal tersebut terlepas dari apakah unsur melawan hukum itu
sendiri disebut ataukan tidak dalam rumusan delik. Hal ini adalah konsekunsi dari
unsur melawan hukum sebagai unsur konstitutif (unsur mutlak yang harus ada)
dari setiap perbuatan pidana.
3. Pandangan Tengah
Pandangan tengah dikemukakan oleh Hazewinkel Suringa yang menyatakan sifat
melawan hukum adalah unsur mutlak jika disebutkan dalam rumusan delik, jika
tidak melawan hukum hanya tanda dari suatu delik. dan menurut Moeljatni yaitu
fungsi dalam lapangan hukum acara yang terdiri dari fungsi positif dan fungsi
negative. Dalam fungsi positif, jika melawan hukum dinyatakan dalam rumusan
delik maka harus dinyatakan di dalam dakwaan. Sedangkan fungsi negative, jika
melawa hukum tidak terdapat dalam rumusan delik, dengan demikian tidak perlu
ada dalam dakwaan. sehingga elemen melawan hukum pada pandangan tengah
merupakan unsur mutlak dalam perbuatan pidana apabila disebut secara tegas
dalam rumusan delik sehingga membawan konsekuensi harus dibuktikan oleh
penuntut umum, namun jika kata “melawan hukum” tidak disebutkan dalam
rumusan delik, maka tetap dianggap ada namun tidak perlu dibuktikan oleh
penuntut umum.
Secara lebih rinci, Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki aspek
pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa
syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Kesalahan
Menurut Mezger mengarikan bahwa kesalahan sebagai keseluruhan syarat yang memberi
dasar percelaan pribadi terhadap pelaku perbuatan pidana. Dalam hal ini kesalahan selalu
melekat pada orang yang berbuat salah. Berdasarkan definisi tersebut kesalahanberkaitan
dengan dua hal yaitu sifat dapat di celanya (verwijtbaarheid) perbuatan dan sifat dapat
dihindarinya (vermijdbaarheid) perbuatan melawan hukum. Mengenai sifat dapat dicela dan
dapat dihidari Jonkers mengemukakan bahwa unsur-unsur kesalah dalam hukum pidana
biasanya disebut sifat melawan hukum, dapat diperhitungkan, dapat dihindari dan dapat
dicela. Ketiga yang terakhir pengertiannyya menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut
di ilustrasikan dengan anak kecil yang sedang bermain di taman lalu mengambil batu dan
melempar batu tersebut kearah seseorang yang berjalan sehingga mengenai kepala orang itu
dan mengeluarkan darah namun dalam hal ini perbuatan anak kecil tersebut mungkin bisa
dihindari, tetapi tidak mungkin dicela. Hal tersebut karena anak kecil tersebut belum
mengetahu mana perbuatan yang boleh di lakukan dengan yang tidak boleh di lakukan serta
tidak mengetahui mana perbuatan yang baik dengan perbuatan yang buruk.
2. Hubungan psikis pelaku dengan perbuatan yang dilakukan. Hubungan psikis ini
melahirkan dua bentuk kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan (kelalaian). Dapat
dikatakan bahwa pengertian kesalahan dapat juga berupa kesengajaan dan kealpaan.
Sedangkan kesalahan dalam arti sempit adalah kealpaan yang merupakan salah satu
bentuk dari kesalahan itu sendiri.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan elemen pertama dari kesalahan. Pada hal ini Van
Hamel memberikan ukuran mengenai kemampuan bertanggung jawab yaitu meliputi tiga hal;
pertama, mampu memahami secara sungguh sungguh akibat dari perbuatanya. Kedua,
mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat.
Ketiga, mampu untuk menentukan kehendaknya atas pebuatan tersebut. Ketiga kemampuan
tersebut bersifat kumulatif artinya salah satu kemampuan tidak terpenuhi maka seseorang
dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP
tidak dirumuskan secara positif, melainkan dirumuskan secara negative pada Pasal 44 KUHP
yang menjelaskan bahwa:
EKSEPSI
Eksepsi adalah penolakan atau keberatan yang disertai alasan-alasan bahwa surat dakwaan
yang dibuat tidak dengan cara yang benar dan tidak menyangkut hal tentang benar atau tidak
benarnya tidak pidana yang di dakwakan. Dalam hal ini eksepsi termuat dalam KUHP dalam
Pasal 156 atau (1) menyatakan bahwa dalam hal terdakwa atau penasihat hukumnya
mengajukan keberatan, bahwa pengadila tidak berwenang mengadili perkaranya atau
dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi
kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim
mempertimbangkan keberatan tersebut
EKSEPSI
Eksepsi adalah penolakan atau keberatan yang disertai alasan-alasan bahwa surat dakwaan
yang dibuat tidak dengan cara yang benar dan tidak menyangkut hal tentang benar atau tidak
benarnya tidak pidana yang di dakwakan. Dalam hal ini eksepsi termuat dalam KUHP dalam
Pasal 156 atau (1) menyatakan bahwa dalam hal terdakwa atau penasihat hukumnya
mengajukan keberatan, bahwa pengadila tidak berwenang mengadili perkaranya atau
dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi
kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim
mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil kesempatan.
Dari bunyi ketentuan Pasal 156 KUHP ayat (1), terdakwa atau penasihat hukumnya bisa
mengajukan keberatan (Eksepsi) meliputi beberapa hal :
1. Pengadilan tidak berwenang mengadili perkatanya;
2. Dakwaan tidak dapat di terima;
3. Dakwaan batal demi hukum.
Dalam hal ini terdapat dua masalah kewenangan pengadilan yaitu kewenangan
absolut dan kewenangan relatif. Kewenangan absolut berhubungan dengan adanya
pembagian kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan
wilayah hukumnya berdasarkan suatu perkara/sengketa yang didasarkan kepada
“objek atau menteri pokok perkaranya”. wewenangan peradilan dalam kompetensi
absolut seperti peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, peradilan tata
usaha negara. Sedangkan kmpetensi relatif yaitu jenis pengadilan dalam lingkungan
peradilan tertentu Kompetensi relatif diartikan kewenangan pengadilan untuk
menangani/mengadili suatu sengketa/perkara didasarkan pada tempat/lokasi/domisili
para pihak yang bersengketa atau didasarkan pada dimana objek yang disengketakan
berada. Atau dengan kata lain, kompetenasi relatif adalah kewenangan pengadilan
untuk menangani perkara sesuai dengan wilayah hukum (yurisdiksi) yang
dimilikinya. Oleh karena itu, para pihak dalam mengajukan gugatan untuk
memperhatikan dimana tempat/lokasi/domisili para pihak serta objek yang
disengketakan, dengan tujuan kompentesi relatif dari gugatan yang diajukan dapat
diterima, diperiksa serta diadili oleh hakim.
Secara materiil, suatu surat dakwaan dipandang telah memenuhi syarat apabila surat dakwaan
tersebut telah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang: