Anda di halaman 1dari 3

A.

ELEMEN MELAWAN HUKUM

Apakah elemen atau unsur melawan hukum merupakan unsur mutlak suatu perbuatan pidana
atau tidak ? Tidak ada kesepahaman diantara para ahli hukum pidana terhadap pertanyaan ini.
Ada tiga pandangan terkait elemen melawan hukum, yaitu Pandangan Formil, Pandangan
Materiil dan Pandangan Tengah.

1.) Pandangan Formil


Menurut pandangan formil, elemen melawan hukum bukanlah unsur mutlak perbuatan
pidana. Melawan hukum merupakan unsur perbuatan pidana jika disebut secara tegas
dalam rumusan delik. Itu merupakan pendapat dari Pompe.
Dalam handboeknya, Pompe secara tegas menyatakan, "wederrechtelijkheid is dus in
het algemeen geen bestandeel van het strafbare feit, tenzij uitdrukkelijk in de wettelijke
omschrijving opgenomen", artinya Sifat melawan hukum pada umumnya bukan unsur
perbuatan pidana, kecuali dinyatakan dengan tegas dalam rumisan undang-undang.
Menurut Pompe :
Sifat melawan hukum bukan merupakan unsur perbuatan pidana, meskipun demikian
adanya hal-hal yang menghapus melawan hukum akan menghapus pula adanya
pidana. Dengan demikian dapat dipidananya pelaku dari perbuatan pidana yang
dilakukan akan dihapus.

Penulis buku ini menyatakan bahwa tidak sependapat dengan pernyataan dari
pandangan formil. Hal ini didasarkan pada beberapa argumentasi:
Pertama, definisi perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang.
Kedua, adanya pertentangan dalam pernyataan Pompe. Di satu sisi Pompe
menyatakan bahwa melawan hukum bukan merupakan unsur pidana, di sisi lain Pompe
menyatakan jika suatu perbuatan tidak melawan hukum, maka menghapus adanya
pidana.
Ketiga, sulit diterima secara akal sehat jika suatu rumusan delik tidak mencantumkan
kata-kata "melawan hukum", lalu kita menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukan
merupakan perbuatan melawan hukum.

Contoh:
Pasal 338 KUHP berbunyi, "Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun". Jika melihat
pendapat Pompe, maka dalam pasal ini tidak terdapat unsur melawan hukum, karena
tidak disebut dalam rumusan delik.
Bandingkan dengan Pasal 362 KUHP yang menyatakan, "Barangsiapa mengambil
barang sesuatu yang seharusnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud
dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah". Dengan
demikian berdasarkan pandangan Pompe, Pasal 362 KUHP mengandung unsur
melawan hukum karena tertulis secara expressive verbis dalam rumusan delik.
2.) Pandangan Materiil
Pandangan yang menyatakan bahwa melawan hukum adalah unsur mutlak dari setiap
perbuatan pidana. Pandangan ini dianut oleh Vos dan Moeljantno.
Menurut Hazewinkel Suringa bahwa sifat melawan hukum adalah unsur konstan dan
permanen dari setiap perbuatan pidana jika disebut, demikian pula dengan
pertanggungjawaban. Suatu perbuatan pidana tidak hanya kelakuan yang memenuhi
rumusan delik tetapi dibutuhkan keduanya, pertama adalah sifat melawan hukum dan
kedua adalah dapat dipertanggungjawabkan pelaku. Konsekuensi dari ajaran yang
menyatakan bahwa kelakuan yang bersifat melawan hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan pelaku adalah unsur konstitutif.
Sebenarnya pandangan materiil yang menyatakan bahwa melawan hukum merupakan
unsur mutlak dari perbuatan pidana berasal dari hukum pidana jerman dan bukan
merupakan hukum pidana belanda.
Suringa juga kembali menyatakan bahwa untuk sifat melawan hukum sebagai unsur
mutlak perbuatan pidana merupakan corak yang berasal dari ajaran ilmu pengetahuan
hukum pidana jerman, meskipun bukan bagian dari rumusan delik tetapi merupakan
cakupan isi dari perbuatan pidana sehingga melawan hukum harus dibuktikan.
- Menurut hemat penulis, salah satu kelemahan dari pandangan materiil ini adalah berada
dalam penuntutan di pengadilan. Jika unsur melawan hukum dianggap sebagai unsur
mutlak dari setiap perbuatan pidana, maka penuntut umum diembani kewajiban untuk
membuktikan, terlepas dari apakah unsur melawan hukum itu sendiri disebut ataukah
tidak dalam rumusan delik. Hal ini adalah konsekuensi unsur melawan hukum sebagai
unsur konstitutif dari setiap perbuatan pidana.

3.) Pandangan Tengah


Selain pandangan formil dan pandangan materiil terhadap elemen melawan hukum,
masih ada pandangan ketiga yang disebut sebagai padangan tengah. Pandangan ini
dikemukakan oleh hazewinkel Suringa sebagai berikut, “sifat melawan hukum adalah
unsur mutlak jika disebutkan dalam rumusan delik, jika tidak, melawan hukum hanya
merupakan tanda dari suatu delik”.
Menurut Moeljatno dalam lapangan hukum acara yang terdiri dari fungsi positif dan
fungsi negative. Fungsi positif, jikwa melawan hukum dinyatakan dalam rumusan delik
dan harus dinyatakan dalam dakwaan. Sedangkan fungsi negative, jika melawan hukum
tidak terdapat dalam rumusan delik, sehingga demikian tidak perlu ada dalam dakwaan.
Lebih lanjut menurut Suringa “keuntungan konstruksi undang-undang seperti ini, jaksa
tidak dibebani pembuktian yang berat, sebab jika melawan hukum merupakan unsur
setiap perbuatan pidana, maka di samping membuktikan unsur-unsur yang lain, jaksa
harus membuktikan unsur melawan hukum kejadian itu. Hal ini mengakibatkan suatu
yang negative yakni suatu pembuktian yang sukar tidak adanya suatu alas an pembenar
seperti tidak ada keadaan darurat, tida ada perintah undang-undang, tidak ada perintah
jabatan yang sah dan lain sebagainya. Dengan demikian jaksa hanya mengemukakan
dan membuktikan unsur-unsur yang merupakan isi delik. Alasan-alasan pembenar
melepaskan dari segala tuntutan, pengecualian dapat dipidananya suatu perbuatan”
Pendapat Jonkers :
Orang lain sebaliknya menganggap sifat melawan hukum, demikian juga dapat
dipertanggungjawabkan pidana sebagai sifat yang tidak jelas disebut dalam rumusan delik
sebagai sifat perbuatan pidana, tetapi secara diam-diam sebagai unsur setiap perbuatan
pidana.
Mengenai perbuatan, jika sifat melawan hukum tidak ada, maka perbuatan tidak dapat
dipidana. Lain halnya dengan pertanggungjawaban pidana, perbuatannya memang dapat
dipidana tetapi orangnya tidak, berdasarkan alasan-alasan umum tidak dapat
dipertanggungjawabkan pidana yang dapat disimpulkan dari alasan-alasan khusus (Pasal 44,
48, 49, 50 dan 51 KUHP).

Dari ketiga pandangan tersebut, penulis lebih setuju dengan pandangan di tengah. Di
satu sisi, elemen melawan hukum merupakan unsur mutlak dalam perbuatan pidana jika
disebut secara expressive verbis dalam rumusan delik sehingga membawa konsekuensi harus
dibuktikan oleh penuntut umum, namun di sisi lain, jika kata-kata "melawan hukum" tidak
disebutkan dalam rumusan delik, maka elemen tersebut dianggap ada namun tidak perlu
dibuktikan oleh penuntut umum.

Anda mungkin juga menyukai