Anda di halaman 1dari 6

A.

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA BESERTA CONTOHNYA


 Asas legalitas.
Didasarkan pada adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenale, asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, maksudnya adalah “tiada
suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Ketentuan ini
merupakan wujud dari keberadaan Asas Legalitas dalam hukum pidana Indonesia.
Keberadaan asas ini memiliki konsekuensi :
1. Perumusan tindak pidana harus dalam bentuk perundang-undangan (lex certa,
lex stricta, lex scripta tidak ada perbuatan yang dapat dihukum tanpa adanya
ketentuan yang tertulis).
2. Tidak boleh berlaku surut
3. Tidak ada analogi
Konsekuensi tindak pidana harus dalam bentuk perundang Lex certa asas yang
menghendaki hukum pidana harus mengandung kepastian hukum; lex stricta
menentukan bahwa hukum pidana tidak bersifat elastis atau memiliki banyak
penafsiran; lex scipta hukum pidana harus dalam bentuk tertulis.
Asas Legalitas melarang suatu ketentuan dalam hukum pidana berlaku surut.
Hal ini untuk menjamin :
1. Kebebasan individu dari detournament de pouvoir oleh penguasa
2. Kepastian hukum
3. Adanya paksaan psikis bagi pelaku agar tidak melakukan perbuatan yang
dilarang (Anselm von Feurbach – aliran rasional).
Anslem von Feuerbach merumuskan asas legalitas secara rinci dalam ba
hasa Latin sebagai berikut :
- Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-
undang)
- Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa tindak pidana)
- Nullum crimen sine poena legali (tidak ada tindak pidana tanpa pidana menurut
undang-undang)
Pada umumnya asas legalitas mengandung tiga makna sebagai pedoman kuasa
berlakunya hukum pidana menurut waktu, yakni :
(1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang undang.
(2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas)
(3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Terhadap asas nullum delictum ini Utrecht mengemukakan beberapa keberatan
yaitu :
(1) Asas nullum delictum ini kurang melindungi kepentingan-kepentingan
kolektif.
(2) Akibat asas nullum delictum itu hal hanyalah dapat dipidana mereka yang
melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (peraturan yang telah ada)
disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum.
(3) Ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu kejahatan tetapi tidak
disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal
tidak dihukum.
(4) Asas nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana
menghukum seorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak
strafbaar, masih juga straffwaardig.
Berdasarkan alasan tersebut di atas Utrecht menganjurkan agar asas nullum
delictum itu ditinggalkan terkait delik-delik yang dilakukan terhadap kolektivitas
(masyarakat), tetapi dapat dipertahankan terkait delik-delik yang dilakukan terhadap
individu. Untuk itu Utrecht menganjurkan bahwa analogi supaya dapat dipakai dalam
delik-delik yang dilakukan terhadap kolektivitas (masyarakat), tetapi boleh ditolak
dalam delik-delik yang dilakukan terhadap individu.
 Asas Teritorialitas atau Asas Kewilayahan (territorealiteits beginsel ofland
gebieds beginsel) = lihat rangkuman pdf
 Asas Nasionalitas Aktif atau Asas Personalitas (actieve nationalities beginsel of
personaliteits beginsel) = lihat rangkuman pdf
 Asas Nasional Pasif atau Asas Perlindungan (passieve nationaliteits beginsel of
beschermings beginsel) = lihat rangkuman pdf
 Asas Universalitas (universaliteits beginsel) = lihat rangkuman pdf

B. DEFINISI TINDAK PIDANA YANG MENCAKUP ALIRAN MONOISTIS


DAN DUALISTIS
Perbuatan pidana (tanpa memandang pendapat monistis ataupun dualistis)
adalah perbuatan yang telah ditetapkan di dalam perundangundangan, yang melawan
hukum jadi berada diluar diri pelaku. Sedangkan pertanggungjawaban pidana
berkaitan dengan kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab jadi berada di dalam
diri pelaku.
Aliran Monistis yaitu Pandangan dalam ilmu hukum pidana yang tidak
memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana,
sedangkan Aliran dualistis yaitu Pandangan dalam ilmu hukum pidana yang
memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana.
Pokok perbedaannya antara aliran monistis dengan dualistis adalah pada
terpisah/tidaknya unsur kesalahan (pertanggung-jawaban pidana) dengan
unsur-unsur yang lain. Bagi aliran monistis unsur :
1. unsur tingkah laku,
2. bersifat melawan hukum, dan
3. kesalahan, merupakan unsur yang mutlak harus ada dan melekat
dalam tindak pidana.
Sedangkan untuk pandangan dualistis yang dipandang sebagai unsur mutlak
dalam tindak pidana adalah :
1. tingkah laku manusia dan
2. sifat melawan hukum, sementara itu unsur kesalahan melekat pada
orangnya.
a. Aliran monistis :
 Simons, sebagai menganut pandangan monistis Simons mengatakan bahwa
pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) adalah ”Een strafbaar gestelde,
onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een
toerekeningsvatbaar persoon”. Atas dasar pandangan tentang tindak pidana
tersebut di atas, unsurunsur tindak pidana menurut Simons adalah :
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan);
2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3. Melawan hukum (onrechtmatig);
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar persoon).
Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut Simons membedakan adanya unsur
obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah :
 Yang dimaksud dengan unsur subyektif ialah :
1. Perbuatan orang;
2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai
perbuatanperbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat
”openbaar” atau ”dimuka umum”.
 Selanjutnya unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah :
1. Orangnya mampu bertanggung jawab;
2. Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan
dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu
dilakukan2
1. Van Hamel menentukan unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan
manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum,
dilakukan dengan kesalahan dan, patut dipidana.
2. Mezger menentukan unsur-unsur tindak pidana yang meliputi perbuatan
dalam arti luas dari manusia (aktif/membiarkan), bersifat melawan hukum
(objektif dan/subjektif), dapat dipertanggungjawabkan pada seseorang, dan
diancam dengan pidana.
3. Wirjono Prodjodikoro dapat digolongkan sebagai bagian dari aliran
monistis. Hal ini dapat dilihat dari pendapatnya tentang tindak pidana,
“Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana”
4. J. Baumman, menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah
perbuatan yang memenuhi rumusan delik : 1. Bersifat melawan hukum; dan
2. Dilakukan dengan kesalahan.
Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat disimpulkan
bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility
 Aliran dualistis:
Berbeda dengan aliran dualistis dalam merumuskan batasan tindak pidana.
Berikut pandangan ahli hukum pidana yang beraliran dualistis:
1. H.B. Vos, menyebutkan Strafbaarfeit hanya berunsurkan: 1. Kelakuan
manusia dan 2. Diancam pidana dengan undang-undang.
2. W.P.J. Pompe, menyatakan : menurut hukum positif strafbaarfeit adalah
tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang,
jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan
dengan kesalahan dan diancam pidana.
3. Pompe mengatakan bahwa Tindak pidana adalah perbuatan yang bersifat
melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam dengan pidana.
Adapun unsur-unsurnya adalah : perbuatan dan ancaman pidana disatu sisi,
perbuatan bersifat melawan hukum disisi yang lain dan kesalahan disisi
lainnya lagi menghasilkan pidana
4. Mulyatno mengatakan bahwa untuk adanya perbuatan pidana harus
ada unsur-unsur : kelakuan dan akibat, hal ikhwal atau keadaan yang
menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana,
unsur melawan hukum obyektif dan subyektif. Dapat dikatakan bahwa
secara singkat, bahwa unsur-unsur perbuatan pidana tersebut meliputi,
perbuatan manusia, memenuhi rumusan dalam undang undang, bersifat
melawan hukum. Selanjutnya Kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab
tidak termasuk unsur perbuatan pidana, tetapi melekat pada orangnya. Namun
demikian orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan kalau tidak
melakukan perbuatan pidana. Walaupun demikian harus pula diingat bahwa
adanya perbuatan pidana belum cukup untuk mempidana seseorang.
Pendapat Muljatno ini mengikuti pendapat dari Herman Kontorowic
yang mengkritik para penganut paham monistis karena mencampur
adukkan unsur Handlung dan Schuld. Menurutnya kesalahan seseorang
bukanlah sifat perbuatannya, tetapi sifat orang yang melakukan perbuatan
tersebut.
5. Roeslan Saleh mengatakan pokok pikiran perbuatan pidana diletakkan
semata-mata pada perbuatannya. Selanjutnya dikatakan pula pokok pikiran
perbuatan pidana adalah “perbuatan”, tidak mungkin pengertian ini juga
meliputi sifat-sifat dari orang yang melakukan perbuatan. Peraturan-peraturan
yang melarang perbuatan tertentu itulah yang disebut perbuatan pidana.

Anda mungkin juga menyukai