Anda di halaman 1dari 28

DRAFT HASIL PUBLIC HEARING-

JOGJAKARTA 1 OKTOBER 2020

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR: TAHUN 2020

TENTANG

TATA CARA PENAHANAN KAPAL DI PELABUHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 222 dan


Pasal 223 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Perhubungan tentang Tata Cara Penahanan Kapal di
Pelabuhan;

Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang


Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4849);
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang
Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 75);
4. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 tentang
-2-

Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 203);
5. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 122 Tahun
2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 1756);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG TATA
CARA PENAHANAN KAPAL DI PELABUHAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Penahanan Kapal adalah tindakan yang dilakukan
Syahbandar untuk membatasi pergerakan Kapal
meninggalkan Pelabuhan, yang terkait dengan perkara
pidana atau perkara perdata berdasarkan perintah
tertulis dari Pengadilan.
2. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis
tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga
mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda,
termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis,
kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung
dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
3. Kapal Berbendera Indonesia adalah Kapal yang telah
didaftarkan dalam daftar Kapal Indonesia.
4. Kapal Asing adalah Kapal yang berbendera selain
berbendera Indonesia dan tidak dicatat dalam daftar
Kapal Indonesia.
5. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung
-3-

lain yang dipergunakan untuk melakukan


penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan
ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan,
pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan
penelitian/eksplorasi perikanan.
6. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan
yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan
tertinggi untuk menjalankan dan melakukan
pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan
peraturan perundangundangan untuk menjamin
keselamatan dan keamanan pelayaran.
7. Hipotek Kapal adalah hak agunan kebendaan atas
kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang
tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor
lain.
8. Pemilik Kapal adalah perseorangan, instansi
pemerintah Kementerian/lembaga, badan usaha milik
negara dan badan hukum Indonesia yang telah
memperoleh penetapan status badan hukum, dan
tercatat dalam Grosse Akta Pendaftaran Kapal atau
Grosse Akta Pendaftaran Balik Nama Kapal.
9. Klaim Pelayaran adalah klaim yang diajukan
sehubungan dengan peristiwa, kejadian atau
kepentingan lainnya yang terkait dengan pengoperasian
kapal.
10. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan
dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai
tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal
bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar
muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh
kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan
-4-

keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang


pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan
antarmoda transportasi.
11. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak dan atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan sebagaimana dimaksud
dalam Ketentuan Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
12. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan, atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan
mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan
tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing.
13. Sita Jaminan adalah pengambilalihan sesuatu barang
yang diminta oleh pihak-pihak yang merasa berhak,
baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak
untuk disimpan sebagai jaminan dan tidak boleh dijual
belikan, disewakan kepada orang lain dan dilakukan
sebelum perkara tersebut diputus oleh pengadilan.
14. Sita Eksekusi adalah adalah sita yang berhubungan
dengan masalah pelaksanaan suatu putusan karena
pihak tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara
sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan
agar putusan tersebut dilaksanakan secara sukarela
sebagaimana mestinya.
15. Surat dan Dokumen Kapal adalah surat ukur, surat
-5-

tanda kebangsaan kapal, sertifikat keselamatan,


sertifikat garis muat, sertifikat pengawakan kapal, dan
dokumen muatan serta dokumen lain dari Kapal.
16. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang
memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan
pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis
muat, pemuatan, kesejahteraan Awak Kapal dan
kesehatan penumpang, status hukum kapal,
manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran
dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk
berlayar di perairan tertentu.
17. Hipotek Kapal adalah hak agunan kebendaan atas
kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang
tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor
lain.
18. Pengadilan adalah Pengadilan Negeri, Pengadilan
Agama, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan
Industrial, Mahkamah Syar’iyah atau pengadilan
lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
19. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, atau badan hukum Indonesia
yang khusus didirikan untuk pelayaran.
20. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
korporasi.
21. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
22. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang pelayaran.
-6-

23. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal


Perhubungan Laut.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2
Peraturan Menteri ini berlaku untuk:
a. Kapal berbendera Indonesia selain Kapal Perikanan,
yang dioperasikan untuk mengangkut penumpang
dan barang, yang berlayar di perairan Indonesia;
b. Kapal berbendera Indonesia selain Kapal Perikanan,
yang dioperasikan untuk mengangkut penumpang
dan barang, yang berlayar di luar perairan Indonesia;
c. Kapal berbendera Indonesia atau Kapal berbendera
Asing yang dijadikan jaminan;
d. Kapal berbendera Indonesia yang dibebani Hipotek
Kapal.

Pasal 3
(1) Peraturan Menteri ini mengatur:
a. Tata cara Penahanan Kapal yang terkait dengan
perkara pidana; dan
b. Tata cara Penahanan Kapal yang terkait dengan
perkara perdata.
(2) Perkara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b mencakup segala masalah keperdataan yang
diselesaikan di Pengadilan menurut hukum acara
perdata atau perdata syari’ah terdiri atas:
a. perkara perdata umum;
b. ekonomi syariah;
c. syariah islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
d. perselisihan hubungan industrial;
-7-

e. kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran


utang;
f. klaim pelayaran; atau
g. perkara perdata lainnya sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 4
(1) Syahbandar hanya dapat menahan Kapal di Pelabuhan
atas perintah tertulis Pengadilan.
(2) Penahanan Kapal berdasarkan perintah tertulis
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan berdasarkan alasan:
a. Kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara
pidana; atau
b. Kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara
perdata.
(3) Perintah tertulis Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa:
a. Penetapan Pengadilan; atau
b. Putusan Pengadilan.

BAB II
TATA CARA PENAHANAN KAPAL TERKAIT DENGAN
PERKARA PIDANA

Bagian Kesatu
Pelaksanaan Penahanan Kapal Terkait
Dengan Perkara Pidana
Pasal 5
(1) Penahanan Kapal terkait dengan perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a,
dilaksanakan melalui tindakan Penyitaan untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
-8-

penuntutan dan peradilan sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.
(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Penyidik berdasarkan penetapan
Pengadilan.
(3) Setelah memperoleh penetapan Pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyidik
memerintahkan kepada Pemilik Kapal atau yang
dikuasakan, untuk menghadap kepada Penyidik
melalui Syahbandar di Pelabuhan, disertai dengan
penyerahan Surat Dan Dokumen Kapal, antara lain
meliputi:
a. Surat Ukur;
b. Grosse Akta Kapal atau Grosse Akta Balik Nama
Kapal;
c. Grosse Akta Hipotek Kapal (apabila dibebani
tanggungan);
d. Surat Tanda Kebangsaan Kapal;
e. Sertifikat Keselamatan Kapal;
f. Sertifikat Garis Muat;
g. Sertifikat Pengawakan Kapal (apabila ditetapkannya
Tersangka dan/atau para saksi dalam perkara
pidana); dan
h. Dokumen muatan.
(4) Penyerahan Kapal beserta Surat Dan Dokumen Kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam
Berita Acara Serah Terima Penyitaan ditandatangani
oleh Pemilik Kapal atau yang dikuasakan, dan
Penyidik, yang diketahui Syahbandar, dengan
mencantumkan informasi paling sedikit terdiri dari:
a. Nama Kapal;
b. Identitas pemilik Kapal;
c. Bendera Kapal;
-9-

d. Tanda Pendaftaran Kapal;


e. IMO Number (jika ada);
f. Tanda panggilan (Call sign) (jika ada);
g. Jenis Kapal (type);
h. Tonase Kotor Kapal (GT);
i. Panjang Kapal (LOA);
j. Lebar Kapal (breadth);
k. Dalam Kapal (depth);
l. Tanda Selar;
m. Sertifikat Keselamatan Kapal;
n. Warta Kapal (informasi tentang kondisi umum Kapal
dan muatannya (ship condition); dan
o. Keadaan atau peristiwa lain yang dianggap penting.

Bagian Kedua
Penyimpanan Kapal Sitaan
Pasal 6
(1) Kapal yang telah dilakukan Penyitaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), disimpan oleh
Penyidik di lokasi yang aman dan layak di Pelabuhan
berdasarkan pertimbangan dari Syahbandar.
(2) Biaya penyimpanan Kapal di lokasi yang aman dan
layak di Pelabuhan menjadi tanggungjawab instansi
Penyidik atau Pemilik Kapal.
(3) Terhadap Surat Dan Dokumen Kapal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dapat disimpan pada
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara atau di
Kantor Syahbandar.
(4) Dalam hal Surat dan Dokumen Kapal disimpan di
Kantor Syahbandar, Penyidik membuat Berita Acara
Penitipan dokumen sitaan yang ditandatangani oleh
Penyidik dan Syahbandar.
(5) Penyimpanan Surat Dan Dokumen Kapal di Kantor
-10-

Syahbandar sebagaimana dimaksud pada ayat (4),


diadministrasikan dengan sebaik-baiknya dan
tanggung jawab atasnya ada pada Syahbandar.
(6) Surat Dan Dokumen Kapal dapat dipinjamkan
sewaktu-waktu kepada Penyidik sesuai dengan
kebutuhan tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan perkara pidana Kapal yang bersangkutan,
dan dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
(7) Dalam hal Surat Dan Dokumen Kapal dapat lekas
rusak atau hilang, maka Syahbandar melakukan
penyelamatan Surat dan Dokumen Kapal ke dalam
bentuk salinan digital.
(8) Salinan digital sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
disimpan dalam basis data yang didukung dengan
penerapan sistem teknologi informasi dan komunikasi
yang dapat diakses setiap saat oleh pihak yang
berwenang dalam setiap tahapan pemeriksaan perkara
pidana Kapal yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Pinjam Pakai Kapal Sitaan
Pasal 7
(1) Kapal yang disita dan disimpan di lokasi yang layak di
Pelabuhan hanya dapat dipinjam-pakaikan kepada
Pemilik Kapal atau yang dikuasakan.
(2) Pemilik Kapal atau yang dikuasakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), mengajukan permohonan
persetujuan Pinjam Pakai Barang Bukti kepada
Penyidik, Penuntut Umum atau Ketua Pengadilan
sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara pidana
Kapal yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal dikabulkannya permohonan persetujuan
-11-

Pinjam Pakai Barang Bukti sebagaimana dimaksud


pada ayat (2), maka Penyidik, Penuntut Umum atau
Ketua Pengadilan menyampaikan pemberitahuan
tertulis melalui Penyidik kepada Syahbandar.
(4) Setelah adanya pemberitahuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), maka Syahbandar
menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar terhadap
Kapal setelah memenuhi kelaiklautan kapal dan
kewajiban lainnya di Pelabuhan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Pengembalian Kapal Sitaan
Pasal 8
(1) Kapal beserta Surat Dan Dokumen Kapal dikembalikan
Penyidik kepada Pemilik Kapal atau yang dikuasakan,
apabila:
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak
diperlukan lagi;
b. perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup
bukti atau ternyata tidak merupakan tindak
pidana;
c. perkara dikesampingkan untuk kepentingan umum
atau perkara ditutup demi hukum, kecuali apabila
Surat Dan Dokumen Kapal diperoleh dari suatu
tindak pidana atau yang dipergunakan untuk
melakukan suatu tindak pidana.
(2) Kapal beserta Surat Dan Dokumen Kapal yang
dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
didasarkan adanya penetapan penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara
pidana Kapal yang bersangkutan.
-12-

(3) Kapal beserta Surat Dan Dokumen Kapal juga dapat


dikembalikan Penyidik kepada Pemilik Kapal atau yang
dikuasakan dalam hal adanya putusan Pengadilan.
(4) Penyidik menyampaikan pemberitahuan tertulis
adanya penetapan penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), atau putusan Pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada Syahbandar.
(5) Berdasarkan pemberitahuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Syahbandar menerbitkan
Surat Persetujuan Berlayar terhadap Kapal setelah
memenuhi kelaiklautan kapal dan kewajiban lainnya di
Pelabuhan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB III
TATA CARA PENAHANAN KAPAL TERKAIT DENGAN
PERKARA PERDATA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9
(1) Penahanan Kapal terkait dengan perkara perdata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b,
dilakukan oleh Syahbandar untuk pelaksanaan:
a. Sita Jaminan atas Kapal; atau
b. Sita Eksekusi atas Kapal,
oleh Panitera Pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Sita Jaminan atas Kapal atau Sita Eksekusi atas Kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf
b, didasarkan oleh adanya:
-13-

a. penetapan Pengadilan; atau


b. putusan Pengadilan.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Sita Jaminan Atas Kapal

Pasal 10
(1) Pelaksanaan Sita Jaminan atas Kapal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, dilakukan
oleh Panitera Pengadilan melalui Peletakan Sita
Jaminan Secara Sah dan Berharga dengan disaksikan
oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Dalam hal Kapal yang menjadi objek dalam
pelaksanaan Peletakan Sita Jaminan Secara Sah dan
Berharga tidak diketahui keberadaannya, maka
Panitera Pengadilan melalui Ketua Pengadilan yang
bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis terkait adanya penetapan Pengadilan atau
putusan Pengadilan kepada Direktur Jenderal.
(3) Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan
kepada Syahbandar di seluruh Indonesia untuk
menginformasikan keberadaan Kapal.
(4) Syahbandar yang mengetahui keberadaan Kapal,
segera setelah menerima pemberitahuan tertulis dari
Panitera Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) atau pemberitahuan dari Direktur Jenderal
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), melaporkan
kepada Ketua Pengadilan.

Pasal 11
(1) Pelaksanaan Peletakan Sita Jaminan Secara Sah dan
Berharga atas Kapal oleh Panitera Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1),
-14-

dituangkan dalam Berita Acara Peletakan Sita Jaminan


Secara Sah dan Berharga yang ditandatangani oleh
panitera Pengadilan, para saksi, pihak yang
berkepentingan, dan Pemilik Kapal atau yang
dikuasakan, serta diketahui oleh Syahbandar.
(2) Berita Acara Peletakan Sita Jaminan Secara Sah dan
Berharga atas Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), mencantumkan informasi paling sedikit terdiri atas:
a. Nama Kapal;
b. Identitas pemilik Kapal;
c. Bendera Kapal;
d. Tanda Pendaftaran Kapal;
e. IMO Number (jika ada);
f. Tanda panggilan (Call sign) (jika ada);
g. Jenis Kapal (type);
h. Tonase Kotor Kapal (GT);
i. Panjang Kapal (LOA);
j. Lebar Kapal (breadth);
k. Dalam Kapal (depth);
l. Tanda Selar;
m. Sertifikat Keselamatan Kapal;
n. Warta Kapal (informasi tentang kondisi umum Kapal
dan muatannya (ship condition)); dan
o. Keadaan atau peristiwa lain yang dianggap penting.

Pasal 12
(1) Kapal yang telah diletakkan Sita Jaminan Secara Sah
dan Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) dapat disimpan oleh Panitera Pengadilan di
lokasi yang aman dan layak di Pelabuhan, dengan
pertimbangan dan penjagaan dari Syahbandar.
(2) Biaya penyimpanan Kapal di lokasi yang aman dan
layak di Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
-15-

(2) menjadi tanggungjawab Pemilik Kapal atau pihak


yang berkepentingan.
(3) Terhadap Surat Dan Dokumen Kapal atas Kapal yang
telah diletakkan Sita Jaminan Secara Sah dan
Berharga dapat disimpan di Kantor Syahbandar.
(4) Dalam hal Surat dan Dokumen Kapal disimpan di
Kantor Syahbandar, panitera Pengadilan membuat
Berita Acara Penitipan dokumen sitaan yang
ditandatangani oleh panitera Pengadilan dan
Syahbandar.
(5) Penyimpanan Surat dan Dokumen Kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diadministrasikan dengan
sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada
Syahbandar atau pejabat yang berwenang sesuai
dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
perkara perdata yang bersangkutan, dan Kapal
dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
(6) Dalam hal Surat dan Dokumen Kapal dapat lekas
rusak atau hilang, maka Syahbandar melakukan
penyelamatan Surat dan Dokumen Kapal ke dalam
bentuk salinan digital.
(7) Salinan digital sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
disimpan dalam basis data yang didukung dengan
penerapan sistem teknologi informasi dan komunikasi
yang dapat diakses sewaktu-waktu oleh pihak yang
berkepentingan dalam pemeriksaan perkara perdata
yang bersangkutan.

Pasal 13
(1) Pemilik Kapal atau yang dikuasakan dapat meminta
Kapal yang telah diletakkan Sita Jaminan Secara Sah
dan Berharga untuk dilepas dari Penahanan Kapal
setelah mengajukan permohonan kepada Ketua
-16-

Pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan


perundang-undangan.
(2) Pelepasan Penahanan Kapal yang telah diletakkan Sita
Jaminan Secara Sah dan Berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dalam hal adanya jaminan
atau tanggungan lain yang cukup.
(3) Dalam hal adanya penetapan Pengadilan yang
mengabulkan permohonan pelepasan Penahanan Kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitera
Pengadilan menyampaikan pemberitahuan tertulis
kepada Syahbandar.
(4) Berdasarkan pemberitahuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Syahbandar menerbitkan
Surat Persetujuan Berlayar terhadap Kapal setelah
memenuhi kelaiklautan kapal dan kewajiban lainnya di
Pelabuhan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 14
(1) Kapal yang telah diletakkan Sita Jaminan Secara Sah
dan Berharga atas Kapal oleh Pengadilan, sewaktu-
waktu dapat diangkat dari Sita Jaminan atas Kapal.
(2) Pengangkatan Sita Jaminan atas Kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), setelah adanya penetapan
Pengadilan atau putusan Pengadilan berupa:
a. Pengangkatan Sita Jaminan Secara Sah dan
Berharga atas Kapal; dan/atau
b. Pembatalan Peletakan Sita Jaminan Secara Sah dan
Berharga atas Kapal.
(3) Ketua Pengadilan melalui panitera Pengadilan
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas
adanya penetapan Pengadilan atau putusan Pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
-17-

Syahbandar.
(4) Berdasarkan pemberitahuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Syahbandar segera
mengembalikan dokumen sitaan Kapal kepada Pemilik
Kapal atau yang dikuasakan.
(5) Syahbandar menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar
terhadap Kapal setelah memenuhi kelaiklautan kapal
dan kewajiban lainnya di Pelabuhan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan Sita Eksekusi Atas Kapal

Pasal 15
(1) Sita Eksekusi atas Kapal dilakukan berdasarkan
adanya:
a. putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap;
b. Akta perdamaian yang memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap; atau
c. Grosse Akta Hipotek Kapal yang memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
(2) Sita Eksekusi atas Kapal terdiri atas:
a. Sita Eksekusi Langsung; atau
b. Sita Eksekusi Dengan Perintah dari Pengadilan.
(3) Pelaksanaan Sita Eksekusi atas Kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b,
didasarkan oleh adanya penetapan Pengadilan.
(4) Berdasarkan adanya penetapan Pengadilan, pihak yang
berkepentingan atau panitera Pengadilan
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada
-18-

Syahbandar;
(5) Tata cara dan prosedur pelaksanaan Sita Eksekusi atas
Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16
(1) Pelaksanaan Sita Eksekusi atas Kapal, dituangkan
dalam Berita Acara Eksekusi atas Kapal, yang
ditandatangani oleh pihak yang berkepentingan atau
panitera Pengadilan, para saksi serta diketahui oleh
Syahbandar.
(2) Berita Acara Eksekusi atas Kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), mencantumkan informasi
paling sedikit terdiri atas:
a. Dasar pelaksanaan eksekusi yakni akta
eksekutorial, atau putusan Pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap;
b. Berita Acara Peletakan Sita Jaminan Secara Sah
dan Berharga atas Kapal (bila didahului Sita
Jaminan);
c. Identitas pemilik Kapal;
d. Bendera Kapal;
e. Tanda Pendaftaran Kapal;
f. IMO Number (jika ada);
g. Tanda panggilan (Call sign) (jika ada);
h. Jenis Kapal (type);
i. Tonase Kotor Kapal (GT);
j. Panjang Kapal (LOA);
k. Lebar Kapal (breadth);
l. Dalam Kapal (depth);
m. Tanda Selar;
n. Sertifikat Keselamatan Kapal;
o. Warta Kapal (informasi tentang kondisi umum Kapal
-19-

dan muatannya (ship condition); dan


p. Petunjuk pelaksanaan eksekusi lainnya yang
dianggap penting.
(3) Kapal yang telah diletakkan Sita Jaminan Secara Sah
dan Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dapat ditingkatkan statusnya menjadi Sita
Eksekusi atas Kapal, dalam hal perkara perdata yang
menyangkut Kapal telah memperoleh putusan
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
(4) Kapal yang telah diletakkan Sita Eksekusi atas Kapal
dapat dilelang oleh Pengadilan dengan bantuan dari
Kantor Kekayaan dan Lelang Negara setelah
diterbitkannya penetapan eksekusi lelang dari
Pengadilan.
(5) Berdasarkan penetapan eksekusi lelang dari
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
panitera Pengadilan menyampaikan pemberitahuan
tertulis kepada Syahbandar.
(6) Dalam hal mendukung kelancaran eksekusi lelang
dari Pengadilan, Syahbandar dapat melakukan
pengamanan dan penjagaan Kapal di Pelabuhan.
(7) Ketentuan mengenai tata cara dan prosedur eksekusi
lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB IV
TATA CARA PENAHANAN KAPAL
DALAM PERKARA PERDATA BERUPA KLAIM PELAYARAN
TANPA MELALUI PROSES GUGATAN

Bagian Kesatu
Umum
-20-

Pasal 17
(1) Penahanan Kapal dalam perkara perdata berupa klaim
pelayaran tanpa melalui proses gugatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f, dapat
dilaksanakan berdasarkan satu atau lebih klaim
Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Konvensi
Internasional tentang Penahanan Kapal 1999
(International Convention on Arrest Of Ship) atau
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Klaim Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi antara lain:
a. kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh
pengoperasian kapal;
b. hilangnya nyawa atau luka parah yang dialami
seseorang yang terjadi, baik di darat atau perairan
yang berhubungan langsung dengan pengoperasian
kapal;
c. kegiatan penyelamatan atau perjanjian apapun
tentang salvage, termasuk, apabila dapat
diterapkan, ganti rugi khusus berkenaan dengan
kegiatan penyelamatan yang menimbulkan
kerusakan terhadap Iingkungan baik karena
kapalnya atau barang muatannya;
d. kerusakan atau ancaman kerusakan yang
disebabkan oleh kapal terhadap lingkungan,
pantai atau kepentingan-kepentingan
terkait;langkah tindakan untuk: mencegah,
mengurangi atau meniadakan kerusakan tersebut;
ganti rugi untuk kerusakan yang terjadi; biaya-biaya
yang dikeluarkan secara patut dan beralasan untuk
langkah-langkah yang di ambil guna memulihkan
lingkungan, yang secara nyata telah dilakukan
atau akan dilakukan; kerugian yang terjadi
-21-

atau kemungkinan akan terjadi, yang dilakukan oleh


pihak ketiga berkaitan dengan kerusakan yang
timbul; biaya-biaya atau kerugian yang sejenis;
e. biaya-biaya atau pengeluaran yang berkenaan
dengan pengangkatan, pemindahan, perbaikan, atau
upaya lainnya terhadap kapal yang karam, kandas,
terdampar atau ditinggalkan, dan pemenuhan
kebutuhan awak kapal;
f. setiap perjanjian yang berkenaan dengan
pemakaian/ pengoperasian atau penyewaan kapal
yang tertuang dalam perjanjian charter, perjanjian
sewa guna usaha atau perjanjian lainnya;
g. setiap perjanjian yang berkenaan dengan
pengangkutan barang atau penumpang di atas kapal,
yang tertuang dalam perjanjian charter atau
perjanjian lainnya;
h. kerugian atau kerusakan yang berkenaan dengan
barang termasuk peti atau koper yang diangkut di
atas kapal;
i. kerugian dan kerusakan atas kapal dan barang,
karena terjadinya peristiwa kecelakaan di laut;
j. penarikan atau penundaan kapal;
k. pemanduan;
l. barang-barang, perlengkapan, kebutuhan kapal,
bahan bakar, peralatan kapal termasuk peti kemas
yang disediakan untuk pelayanan dan kebutuhan
kapal dalam rangka pengoperasian, pengurusan,
penyelamatan atau pemeliharaan kapal;
m. konstruksi, rekonstruksi, perbaikan, perubahan atau
kelengkapan kebutuhan kapal;
n. biaya-biaya pelabuhan, terusan, dermaga, bandar,
alur pelayaran, atau biaya-biaya pungutan lainnya di
perairan;
-22-

o. Gaji dan penghasilan lainnya yang terutang kepada


Nakhoda, awak kapal dan orang lain yang
dipekerjakan di atas kapal, termasuk biaya untuk
repatriasi, asuransi sosial untuk kepentingan
mereka;
p. Pembayaran yang telah dikeluarkan untuk
kepentingan kapal atas nama pemiliknya atau pihak
lainnya yang mengoperasikan kapal;
q. Premi asuransi termasuk iuran asuransi yang harus
dibayar oleh pemilik kapal atau penyewa guna usaha
kapal;
r. Setiap komisi, biaya perantara dan keagenan yang
harus dibayar berkaitan dengan kapal oleh atau atas
nama pemilik kapal atau operator kapal;
s. Setiap sengketa berkenaan dengan status
kepemilikan kapal atau penguasaan kapal;
t. Setiap sengketa yang terjadi di antara rekan
kepemilikan bersama atas kapal berkenaan dengan
pengoperasian atau penghasilan kapal;
u. Hipotek kapal atau pembebanan lain yang sifatnya
sama atas kapal; atau
v. Sengketa yang timbul dari perjanjian penjualan
kapal.
(3) Jenis Klaim Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menjadi dasar bagi Pengadilan untuk
memerintahkan Penahanan Kapal.

Pasal 18
(1) Penahanan Kapal berdasarkan Klaim Pelayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan
terhadap :
a. kapal-kapal niaga berbendera Indonesia; dan/atau
b. kapal berbendera asing yang memasuki pelabuhan di
-23-

Indonesia.
(2) Penahanan Kapal dapat juga dilakukan di luar yuridiksi
Republik Indonesia di pelabuhan-pelabuhan dari negara
penandatangan Konvensi Internasional Tentang
Penahanan Kapal 1999 (International Convention on
Arrest Of Ship).
(3) Penahanan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui saluran diplomatik atau pengadilan di
negara yang bersangkutan sesuai dengan aturan hukum
Penahanan Kapal yang berlaku di negara yang
bersangkutan.
(4) Penahanan kapal berdasarkan Klaim Pelayaran tidak
dapat dilaksanakan terhadap:
a. Kapal yang dimiliki oleh pemerintah yang digunakan
khusus untuk tugas pemerintahan;
b. Kapal yang dimiliki oleh Tentara Nasional Indonesia
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
digunakan untuk melaksanakan tugasnya.

Bagian Kedua
Kewenangan Penahanan Kapal
Berdasarkan Klaim Pelayaran

Pasal 19
(1) Penahanan Kapal dapat dilakukan terhadap Kapal yang
menimbulkan klaim pelayaran apabila:
a. Pihak yang memiliki Kapal pada saat
timbulnya klaim pelayaran bertanggung jawab atas
klaim dan merupakan Pemilik Kapal pada saat
Penahanan Kapal dilakukan;
b. Pencharter tanpa awak kapal pada saat
timbulnya klaim pelayaran bertanggung jawab atas
klaim dan merupakan pencharter tanpa awak kapal
-24-

atau Pemilik Kapal pada saat Penahanan Kapal


dilakukan;
c. Klaim didasarkan atas hipotek atau sesuatu
pembebanan lainnya yang sama sifatnya atas Kapal
tersebut;
d. Klaim terkait dengan kepemilikan atau penguasaan
atas Kapal;
e. Klaim ditujukan terhadap pemilik kapal, pencharter
tanpa awak kapal, manajer, atau operator kapal dan
dijamin berdasarkan suatu hak yang didahulukan
yang diberikan atau timbul berdasarkan suatu
undang-undang dari negara dimana Penahanan Kapal
tersebut diajukan.

Pasal 20
(1) Selain penahanan kapal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, penahanan terhadap kapal-kapal lain yang
dimiliki oleh pemilik kapal atau operator kapal juga
dapat dilakukan, apabila pada saat Penahanan Kapal
dilakukan, Pemilik Kapal atau operator kapal dari yang
ditahan merupakan pihak yang bertanggung jawab atas
klaim Pelayaran.
(2) Penahanan terhadap kapal lain yang dimiliki oleh
pemilik kapal atau operator kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap klaim
yang berhubungan dengan kepemilikan atau
penguasaan kapal.

Bagian Ketiga
Prosedur Penahanan Kapal
Berdasarkan Klaim Pelayaran

Pasal 21
-25-

(1) Penahanan Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal


17 dapat dilakukan atas dasar permohonan Klaim
Pelayaran.
(2) Permohonan klaim pelayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan oleh pemohon atau kuasanya
secara tertulis kepada Ketua Pengadilan yang
berwenang, sesuai dengan tata cara dan prosedur yang
berlaku di lingkungan peradilan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal adanya penetapan Pengadilan atau putusan
Pengadilan terhadap permohonan klaim pelayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Syahbandar
melaksanakan Penahanan Kapal berdasarkan petunjuk
dari juru sita Pengadilan Negeri.
(4) Kapal yang ditahan harus dibebaskan apabila suatu
jaminan telah diberikan dalam bentuk dan jumlah yang
dapat diterima oleh pengadilan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Pembebasan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), dilakukan oleh Syahbandar setelah diterimanya
pemberitahuan tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri.
(6) Syahbandar menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar
terhadap Kapal setelah memenuhi kelaiklautan kapal
dan kewajiban lainnya di Pelabuhan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB V
TATA CARA PEMBERLAKUAN PUTUSAN ARBITRASE
DALAM PELAKSANAAN PENAHANAN KAPAL

Pasal 22
(1) Penahanan Kapal dapat dilakukan berdasarkan:
-26-

a. putusan arbitrase nasional/arbitrase syariah


nasional; atau
b. putusan arbitrase internasional/arbitrase syariah
internasional.
(2) Pelaksanaan Penahanan Kapal berdasarkan putusan
arbitrase nasional/arbitrase syariah nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan
oleh Syahbandar setelah diterimanya pemberitahuan
secara tertulis adanya penetapan Pengadilan yakni
perintah eksekusi pelaksanaan putusan arbitrase
nasional/arbitrase syariah nasional dari Panitera
Pengadilan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Pelaksanaan Penahanan Kapal berdasarkan putusan
arbitrase internasional/arbitrase syariah internasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan
oleh Syahbandar setelah diterimanya pemberitahuan
secara tertulis adanya perintah eksekusi pelaksanaan
putusan arbitrase internasional/arbitrase syariah
internasional yang disampaikan oleh Panitera pada
Pengadilan, berdasarkan Putusan Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat/Pengadilan Agama Jakarta Pusat
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penahanan Kapal yang didasarkan pelaksanaan
putusan arbitrase nasional/arbitrase syariah nasional
atau putusan arbitrase internasional/arbitrase syariah
internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), dilakukan oleh Syahbandar guna mendukung
kelancaran eksekusi lelang yang dijalankan oleh
pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-27-

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 23
Direktur Jenderal melaksanakan pembinaan dan
pengawasan teknis terhadap pelaksanaan Peraturan
Menteri ini.

Pasal 24
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2020

MENTERI PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA

BUDI KARYA SUMADI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2020
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

WIDODO EKATJAHJANA
-28-

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR

Anda mungkin juga menyukai