TENTANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG TATA
CARA PENAHANAN KAPAL DI PELABUHAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Penahanan Kapal adalah tindakan yang dilakukan
Syahbandar untuk membatasi pergerakan Kapal
meninggalkan Pelabuhan, yang terkait dengan perkara
pidana atau perkara perdata berdasarkan perintah
tertulis dari Pengadilan.
2. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis
tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga
mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda,
termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis,
kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung
dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
3. Kapal Berbendera Indonesia adalah Kapal yang telah
didaftarkan dalam daftar Kapal Indonesia.
4. Kapal Asing adalah Kapal yang berbendera selain
berbendera Indonesia dan tidak dicatat dalam daftar
Kapal Indonesia.
5. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung
-3-
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Peraturan Menteri ini berlaku untuk:
a. Kapal berbendera Indonesia selain Kapal Perikanan,
yang dioperasikan untuk mengangkut penumpang
dan barang, yang berlayar di perairan Indonesia;
b. Kapal berbendera Indonesia selain Kapal Perikanan,
yang dioperasikan untuk mengangkut penumpang
dan barang, yang berlayar di luar perairan Indonesia;
c. Kapal berbendera Indonesia atau Kapal berbendera
Asing yang dijadikan jaminan;
d. Kapal berbendera Indonesia yang dibebani Hipotek
Kapal.
Pasal 3
(1) Peraturan Menteri ini mengatur:
a. Tata cara Penahanan Kapal yang terkait dengan
perkara pidana; dan
b. Tata cara Penahanan Kapal yang terkait dengan
perkara perdata.
(2) Perkara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b mencakup segala masalah keperdataan yang
diselesaikan di Pengadilan menurut hukum acara
perdata atau perdata syari’ah terdiri atas:
a. perkara perdata umum;
b. ekonomi syariah;
c. syariah islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
d. perselisihan hubungan industrial;
-7-
Pasal 4
(1) Syahbandar hanya dapat menahan Kapal di Pelabuhan
atas perintah tertulis Pengadilan.
(2) Penahanan Kapal berdasarkan perintah tertulis
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan berdasarkan alasan:
a. Kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara
pidana; atau
b. Kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara
perdata.
(3) Perintah tertulis Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa:
a. Penetapan Pengadilan; atau
b. Putusan Pengadilan.
BAB II
TATA CARA PENAHANAN KAPAL TERKAIT DENGAN
PERKARA PIDANA
Bagian Kesatu
Pelaksanaan Penahanan Kapal Terkait
Dengan Perkara Pidana
Pasal 5
(1) Penahanan Kapal terkait dengan perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a,
dilaksanakan melalui tindakan Penyitaan untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
-8-
Bagian Kedua
Penyimpanan Kapal Sitaan
Pasal 6
(1) Kapal yang telah dilakukan Penyitaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), disimpan oleh
Penyidik di lokasi yang aman dan layak di Pelabuhan
berdasarkan pertimbangan dari Syahbandar.
(2) Biaya penyimpanan Kapal di lokasi yang aman dan
layak di Pelabuhan menjadi tanggungjawab instansi
Penyidik atau Pemilik Kapal.
(3) Terhadap Surat Dan Dokumen Kapal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dapat disimpan pada
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara atau di
Kantor Syahbandar.
(4) Dalam hal Surat dan Dokumen Kapal disimpan di
Kantor Syahbandar, Penyidik membuat Berita Acara
Penitipan dokumen sitaan yang ditandatangani oleh
Penyidik dan Syahbandar.
(5) Penyimpanan Surat Dan Dokumen Kapal di Kantor
-10-
Bagian Ketiga
Pinjam Pakai Kapal Sitaan
Pasal 7
(1) Kapal yang disita dan disimpan di lokasi yang layak di
Pelabuhan hanya dapat dipinjam-pakaikan kepada
Pemilik Kapal atau yang dikuasakan.
(2) Pemilik Kapal atau yang dikuasakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), mengajukan permohonan
persetujuan Pinjam Pakai Barang Bukti kepada
Penyidik, Penuntut Umum atau Ketua Pengadilan
sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara pidana
Kapal yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal dikabulkannya permohonan persetujuan
-11-
Bagian Keempat
Pengembalian Kapal Sitaan
Pasal 8
(1) Kapal beserta Surat Dan Dokumen Kapal dikembalikan
Penyidik kepada Pemilik Kapal atau yang dikuasakan,
apabila:
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak
diperlukan lagi;
b. perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup
bukti atau ternyata tidak merupakan tindak
pidana;
c. perkara dikesampingkan untuk kepentingan umum
atau perkara ditutup demi hukum, kecuali apabila
Surat Dan Dokumen Kapal diperoleh dari suatu
tindak pidana atau yang dipergunakan untuk
melakukan suatu tindak pidana.
(2) Kapal beserta Surat Dan Dokumen Kapal yang
dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
didasarkan adanya penetapan penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara
pidana Kapal yang bersangkutan.
-12-
BAB III
TATA CARA PENAHANAN KAPAL TERKAIT DENGAN
PERKARA PERDATA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) Penahanan Kapal terkait dengan perkara perdata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b,
dilakukan oleh Syahbandar untuk pelaksanaan:
a. Sita Jaminan atas Kapal; atau
b. Sita Eksekusi atas Kapal,
oleh Panitera Pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Sita Jaminan atas Kapal atau Sita Eksekusi atas Kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf
b, didasarkan oleh adanya:
-13-
Bagian Kedua
Pelaksanaan Sita Jaminan Atas Kapal
Pasal 10
(1) Pelaksanaan Sita Jaminan atas Kapal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, dilakukan
oleh Panitera Pengadilan melalui Peletakan Sita
Jaminan Secara Sah dan Berharga dengan disaksikan
oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Dalam hal Kapal yang menjadi objek dalam
pelaksanaan Peletakan Sita Jaminan Secara Sah dan
Berharga tidak diketahui keberadaannya, maka
Panitera Pengadilan melalui Ketua Pengadilan yang
bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis terkait adanya penetapan Pengadilan atau
putusan Pengadilan kepada Direktur Jenderal.
(3) Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan
kepada Syahbandar di seluruh Indonesia untuk
menginformasikan keberadaan Kapal.
(4) Syahbandar yang mengetahui keberadaan Kapal,
segera setelah menerima pemberitahuan tertulis dari
Panitera Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) atau pemberitahuan dari Direktur Jenderal
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), melaporkan
kepada Ketua Pengadilan.
Pasal 11
(1) Pelaksanaan Peletakan Sita Jaminan Secara Sah dan
Berharga atas Kapal oleh Panitera Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1),
-14-
Pasal 12
(1) Kapal yang telah diletakkan Sita Jaminan Secara Sah
dan Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) dapat disimpan oleh Panitera Pengadilan di
lokasi yang aman dan layak di Pelabuhan, dengan
pertimbangan dan penjagaan dari Syahbandar.
(2) Biaya penyimpanan Kapal di lokasi yang aman dan
layak di Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
-15-
Pasal 13
(1) Pemilik Kapal atau yang dikuasakan dapat meminta
Kapal yang telah diletakkan Sita Jaminan Secara Sah
dan Berharga untuk dilepas dari Penahanan Kapal
setelah mengajukan permohonan kepada Ketua
-16-
Pasal 14
(1) Kapal yang telah diletakkan Sita Jaminan Secara Sah
dan Berharga atas Kapal oleh Pengadilan, sewaktu-
waktu dapat diangkat dari Sita Jaminan atas Kapal.
(2) Pengangkatan Sita Jaminan atas Kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), setelah adanya penetapan
Pengadilan atau putusan Pengadilan berupa:
a. Pengangkatan Sita Jaminan Secara Sah dan
Berharga atas Kapal; dan/atau
b. Pembatalan Peletakan Sita Jaminan Secara Sah dan
Berharga atas Kapal.
(3) Ketua Pengadilan melalui panitera Pengadilan
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas
adanya penetapan Pengadilan atau putusan Pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
-17-
Syahbandar.
(4) Berdasarkan pemberitahuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Syahbandar segera
mengembalikan dokumen sitaan Kapal kepada Pemilik
Kapal atau yang dikuasakan.
(5) Syahbandar menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar
terhadap Kapal setelah memenuhi kelaiklautan kapal
dan kewajiban lainnya di Pelabuhan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Sita Eksekusi Atas Kapal
Pasal 15
(1) Sita Eksekusi atas Kapal dilakukan berdasarkan
adanya:
a. putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap;
b. Akta perdamaian yang memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap; atau
c. Grosse Akta Hipotek Kapal yang memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
(2) Sita Eksekusi atas Kapal terdiri atas:
a. Sita Eksekusi Langsung; atau
b. Sita Eksekusi Dengan Perintah dari Pengadilan.
(3) Pelaksanaan Sita Eksekusi atas Kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b,
didasarkan oleh adanya penetapan Pengadilan.
(4) Berdasarkan adanya penetapan Pengadilan, pihak yang
berkepentingan atau panitera Pengadilan
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada
-18-
Syahbandar;
(5) Tata cara dan prosedur pelaksanaan Sita Eksekusi atas
Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
(1) Pelaksanaan Sita Eksekusi atas Kapal, dituangkan
dalam Berita Acara Eksekusi atas Kapal, yang
ditandatangani oleh pihak yang berkepentingan atau
panitera Pengadilan, para saksi serta diketahui oleh
Syahbandar.
(2) Berita Acara Eksekusi atas Kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), mencantumkan informasi
paling sedikit terdiri atas:
a. Dasar pelaksanaan eksekusi yakni akta
eksekutorial, atau putusan Pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap;
b. Berita Acara Peletakan Sita Jaminan Secara Sah
dan Berharga atas Kapal (bila didahului Sita
Jaminan);
c. Identitas pemilik Kapal;
d. Bendera Kapal;
e. Tanda Pendaftaran Kapal;
f. IMO Number (jika ada);
g. Tanda panggilan (Call sign) (jika ada);
h. Jenis Kapal (type);
i. Tonase Kotor Kapal (GT);
j. Panjang Kapal (LOA);
k. Lebar Kapal (breadth);
l. Dalam Kapal (depth);
m. Tanda Selar;
n. Sertifikat Keselamatan Kapal;
o. Warta Kapal (informasi tentang kondisi umum Kapal
-19-
BAB IV
TATA CARA PENAHANAN KAPAL
DALAM PERKARA PERDATA BERUPA KLAIM PELAYARAN
TANPA MELALUI PROSES GUGATAN
Bagian Kesatu
Umum
-20-
Pasal 17
(1) Penahanan Kapal dalam perkara perdata berupa klaim
pelayaran tanpa melalui proses gugatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f, dapat
dilaksanakan berdasarkan satu atau lebih klaim
Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Konvensi
Internasional tentang Penahanan Kapal 1999
(International Convention on Arrest Of Ship) atau
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Klaim Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi antara lain:
a. kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh
pengoperasian kapal;
b. hilangnya nyawa atau luka parah yang dialami
seseorang yang terjadi, baik di darat atau perairan
yang berhubungan langsung dengan pengoperasian
kapal;
c. kegiatan penyelamatan atau perjanjian apapun
tentang salvage, termasuk, apabila dapat
diterapkan, ganti rugi khusus berkenaan dengan
kegiatan penyelamatan yang menimbulkan
kerusakan terhadap Iingkungan baik karena
kapalnya atau barang muatannya;
d. kerusakan atau ancaman kerusakan yang
disebabkan oleh kapal terhadap lingkungan,
pantai atau kepentingan-kepentingan
terkait;langkah tindakan untuk: mencegah,
mengurangi atau meniadakan kerusakan tersebut;
ganti rugi untuk kerusakan yang terjadi; biaya-biaya
yang dikeluarkan secara patut dan beralasan untuk
langkah-langkah yang di ambil guna memulihkan
lingkungan, yang secara nyata telah dilakukan
atau akan dilakukan; kerugian yang terjadi
-21-
Pasal 18
(1) Penahanan Kapal berdasarkan Klaim Pelayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan
terhadap :
a. kapal-kapal niaga berbendera Indonesia; dan/atau
b. kapal berbendera asing yang memasuki pelabuhan di
-23-
Indonesia.
(2) Penahanan Kapal dapat juga dilakukan di luar yuridiksi
Republik Indonesia di pelabuhan-pelabuhan dari negara
penandatangan Konvensi Internasional Tentang
Penahanan Kapal 1999 (International Convention on
Arrest Of Ship).
(3) Penahanan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui saluran diplomatik atau pengadilan di
negara yang bersangkutan sesuai dengan aturan hukum
Penahanan Kapal yang berlaku di negara yang
bersangkutan.
(4) Penahanan kapal berdasarkan Klaim Pelayaran tidak
dapat dilaksanakan terhadap:
a. Kapal yang dimiliki oleh pemerintah yang digunakan
khusus untuk tugas pemerintahan;
b. Kapal yang dimiliki oleh Tentara Nasional Indonesia
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
digunakan untuk melaksanakan tugasnya.
Bagian Kedua
Kewenangan Penahanan Kapal
Berdasarkan Klaim Pelayaran
Pasal 19
(1) Penahanan Kapal dapat dilakukan terhadap Kapal yang
menimbulkan klaim pelayaran apabila:
a. Pihak yang memiliki Kapal pada saat
timbulnya klaim pelayaran bertanggung jawab atas
klaim dan merupakan Pemilik Kapal pada saat
Penahanan Kapal dilakukan;
b. Pencharter tanpa awak kapal pada saat
timbulnya klaim pelayaran bertanggung jawab atas
klaim dan merupakan pencharter tanpa awak kapal
-24-
Pasal 20
(1) Selain penahanan kapal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, penahanan terhadap kapal-kapal lain yang
dimiliki oleh pemilik kapal atau operator kapal juga
dapat dilakukan, apabila pada saat Penahanan Kapal
dilakukan, Pemilik Kapal atau operator kapal dari yang
ditahan merupakan pihak yang bertanggung jawab atas
klaim Pelayaran.
(2) Penahanan terhadap kapal lain yang dimiliki oleh
pemilik kapal atau operator kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap klaim
yang berhubungan dengan kepemilikan atau
penguasaan kapal.
Bagian Ketiga
Prosedur Penahanan Kapal
Berdasarkan Klaim Pelayaran
Pasal 21
-25-
BAB V
TATA CARA PEMBERLAKUAN PUTUSAN ARBITRASE
DALAM PELAKSANAAN PENAHANAN KAPAL
Pasal 22
(1) Penahanan Kapal dapat dilakukan berdasarkan:
-26-
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Direktur Jenderal melaksanakan pembinaan dan
pengawasan teknis terhadap pelaksanaan Peraturan
Menteri ini.
Pasal 24
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2020
MENTERI PERHUBUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2020
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
WIDODO EKATJAHJANA
-28-