Jurist-Diction
Volume 2 No. 2, Maret 2019
Histori artikel: Submit 1 Februari 2019; Diterima 15 Februari 2019; Diterbitkan online 1 Maret 2019.
Abstrak
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah menjelaskan konsep dari anti modern slavery dan
mengetahui parameter dari pencegahan modern slavery berdasarkan hukum hak asasi manusia
internasional maupun nasional. Tujuan yang kedua adalah untuk menjelaskan hasil analisa tiga
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan terhadap pencegahan modern slavery dalam industri
perikanan. Penelitian ini merupakan tipe penelitian yuridis normatif. Adapun permasalahan yang
dikaji yaitu anti modern slavery dalam perspektif hukum hak asasi manusia dan analisa Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan terhadap pencegahan modern slavery dalam industri perikanan.
Hasil penelitian ini menjabarkan bahwa terdapat tiga cara yang harus ditempuh dalam rangka
pencegahan modern slavery dalam industri perikanan yaitu menerapkan Sistem HAM Perikanan,
memiliki Sertifikat HAM Perikanan dan mengadakan Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal
Perikanan.
Kata Kunci: Hak Asasi Manusia; Modern Slavery; Anak Buah Kapal Perikanan; Industri
Perikanan.
Pendahuluan
Sebagai makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan, manusia
terlahir dengan suatu hak yang dimilikinya. Hak yang dimiliki setiap manusia
disebut
476 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada
hak asasi manusia.1 Salah satu hak asasi manusia yang diakui dalam Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut
dengan
UUD NRI Tahun 1945) adalah hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.2
Pengaturan lebih lanjut untuk perlindungan hak tersebut, Indonesia telah memiliki
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang
selanjutnya disebut dengan UU Ketenagakerjaan). Undang-undang tersebut
menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan
kemajuan dunia usaha, misalnya tidak mendiskriminasikan antara pekerja laki-laki
dengan pekerja perempuan, tidak mendiskriminasikan pekerja berdasarkan
terhadap pemeluk agama tertentu, dan adanya kesempatan bagi para pekerja untuk
mendapatkan upaya pemulihan yang
efektif melalui peradilan.
Walaupun telah terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang baik
secara umum dan secara khusus mengatur tentang hak bagi para tenaga kerja,
tetapi pada kenyataannya masih banyak ditemukan praktik pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi pada tenaga kerja. Penelitian ini akan memfokuskan pada
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada Anak Buah Kapal dalam sektor
industri perikanan (yang selanjutnya disebut dengan ABK Perikanan). Hal ini
dikarenakan kurangnya pengaturan hukum untuk menangani permasalahan yang
terjadi pada ABK Perikanan dan sulitnya pengawasan terhadap pengusaha atau
perusahaan yang mempekerjakan ABK Perikanan tersebut, sebab aktifitas kerja
mereka yang tidak dilakukan di daratan, melainkan di lautan baik di dalam
wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. Selain itu, ABK Perikanan
merupakan salah satu
aktor penting dalam misi Indonesia menjadi negara poros maritim dunia.3
Praktik pelanggaran hak asasi manusia yang sering menimpa para ABK
adalah perdagangan orang dan eksploitasi kerja. Pada bulan Maret tahun 2015
telah ditemukan kasus perbudakan nelayan di Benjina. ABK asing yang berjumlah
322 orang ditemukan terdampar dalam kondisi memprihatinkan di areal pabrik
milik PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku
(yang selanjutnya disebut dengan Kasus Benjina). Diduga, mereka menjadi korban
kerja
paksa oleh perusahaan perikanan berbendera Thailand di wilayah Indonesia.4
Selain itu, masih di tahun yang sama, ditemukan kasus ABK berkewarganegaraan
Indonesia bernama Supriyanto yang meninggal di atas kapal tempatnya bekerja di
tengah Samudera Pasifik, yaitu Kapal Fu Tzu Chun milik Taiwan (yang
selanjutnya disebut dengan Kasus Supriyanto). Namun beberapa hari sebelumnya,
Supriyanto mengalami luka parah karena dianiaya oleh kepala teknisi dan kapten
kapal.5 Kedua kasus tersebut dapat dikatakan sebagai kasus perdagangan orang
dan eksploitasi kerja dikarenakan para ABK yang dipekerjakan tidak memiliki
dokumen yang
lengkap akibat penipuan oleh agen penyalur tenaga kerja dan pengusaha
perikanan.6 Selain itu, mereka juga dipaksa untuk bekerja terus menerus
(eksploitasi kerja)
lebih dari 20 jam per hari.7
hasil yang didapat tersebut akan digunakan sebagai tolak ukur untuk menganalisis
3 (tiga) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia terkait
sebagai bentuk pencegahan agar tidak kembali terjadi pelanggaran HAM terhadap
ABK Perikanan.
Perdagangan budak dihapuskan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-
19. Penghapusan perbudakan tersebut bermotifkan kepedulian kemanusiaan.
Tonggak penghapusan perbudakan adalah disahkannya Konvensi untuk
Melenyapkan Perbudakan dan Perdagangan Budak 1926 oleh Liga BangsaBangsa
sebagai salah satu bentuk komitmen untuk melawan dan menghapus perbudakan
dalam tatanan kehidupan sosial.13 Pengesahan konvensi tersebut didasarkan pada
pandangan bahwa sekarang hak asasi manusia lebih dipahami secara manusiawi
sebagai hak-hak yang melekat dengan harkat dan hakikat kemanusiaan, dengan
mengesampingkan latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin,
usia maupun pekerjaan. Namun fakta yang ada mengatakan bahwa praktik
perbudakan masih eksis hingga saat ini. Di Indonesia sendiri, berdasarkan laporan
dari Global Slavery Index 2018 mengungkapkan setidaknya masih ada 1.220.000
warga Negara Indonesia yang terjebak dalam praktik modern slavery.14 Tidak
seperti perbudakan pada masa imperialisme dan kolonialisme yang dilakukan
secara kasar, kejam dan sewenang-wenang, praktik modern slavery dilakukan
dengan cara yang tidak terlihat oleh pelaku dan korbannya seperti yang terjadi
dalam industri perikanan, perkebunan,
pertanian dan sebagainya.15
Arti dari Modern slavery ialah bahwa seseorang yang satu memperlakukan
seseorang yang lain seperti properti miliknya dengan tujuan dieksploitasi demi
kepentingan orang yang melakukan perbudakan. Akibatnya adalah seorang budak
tidak akan melakukan sesuatu kecuali atas kehendak tuannya karena kemerdekaan
atau kebebasannya telah terampas. M. Yunan Nasution mengemukakan bahwa
setidaknya terdapat 3 (tiga) macam sistem baru modern slavery, yaitu Political
Slavery (perbudakan yang didasarkan pada kepentingan politik), Social Slavery
(perbudakan sosial, seperti perdagangan orang) dan Industrial Slavery
(perbudakan
yang ditimbulkan oleh perkembangan dan kemajuan industri).
Menurut Anti-Slavery International, modern slavery memiliki arti bahwa
seseorang yang menjadi korban perbudakan bukan tentang dimiliki oleh orang
lain, tetapi lebih mengarah untuk dieksploitasi dan dikontrol oleh orang lain tanpa
dapat
melepaskan diri. Seseorang dikatakan sedang dalam perbudakan apabila :16
14 Global Slavery Index, ‘Country Data of Indonesia’, (Global Slavery Index, 2018)
<https:// www.globalslaveryindex.org/2018/data/country-data/indonesia/> diakses 23 September
2018.
15 Endah Artika Noerilita dan Saiman Pakpahan, ‘Peran Walk Free Foundation dalam
Mengatasi Modern Slavery di Mauritania’ (2016) 3 International Society.[22].
16 Anti Slavery, ‘What is Modern Slavery?’, (Anti-Slavery
International, 2018) <https://www.
482 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada
1. Dipaksa untuk bekerja, baik melalui paksaan, ancaman mental atau fisik;
2. Dimiliki atau dikendalikan oleh majikan, baik melalui ancaman
pelecehan, pelecehan mental atau fisik;
3. Diperlakukan tidak manusiawi, seperti diperlakukan sebagai komoditas,
dibeli dan dijual sebagai properti;
4. Tidak memiliki kebebasan untuk bergerak.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara slavery dengan modern slavery.
Persamaannya terdapat pada cara majikan memperlakukan pihak yang lain, yaitu
sama-sama memperlakukan orang lain dengan kejam atau tidak manusiawi.
Sedangkan perbedaannya terdapat pada cara atau modus perbudakan yang
digunakan dan rasa memiliki atas orang lain. Apabila slavery, cara atau modus
perbudakan hanya dilakukan secara sederhana saja, misal jual beli budak. Oleh
karena itu, pihak yang membeli budak (majikan) merasa memiliki budak yang
telah dibelinya sehingga pihak majikan memperlakukan budak tersebut seperti
properti miliknya. Sedangkan dalam modern slavery, cara atau modus yang
digunakan lebih sistematis dan bermacam-macam sehingga tidak terlihat,
misalnya dalam proses perekrutan ABK Perikanan disertai dengan penipuan oleh
agen penyalur tenaga kerja dan pengusaha perikanan, seperti yang terjadi pada
Kasus Benjina.18 Dikarenakan tidak dilakukan dengan cara atau modus jual beli,
pihak majikan tidak merasa memiliki pihak yang lain, namun pihak majikan
melakukan pengeksploitasian terhadap pihak yang lain demi kepentingan dan
keuntungan dirinya sendiri. Modern slavery dikatakan tidak terlihat sebab kedua
belah pihak tidak merasa atau tidak sadar bahwa kegiatan yang dilakukan tersebut
termasuk dalam kategori perbudakan.
Bentuk-bentuk dari modern slavery, antara lain :19
1. Human trafficking (perdagangan orang), merupakan runtutan peristiwa yang
didalamnya melibatkan pengangkutan, perektrutan atau penyembunyian orang
untuk tujuan eksploitasi dengan menggunakan kekerasan, ancaman atau
paksaan.
2. Forced labour (kerja paksa), merupakan pemaksaan terhadap orang lain untuk
melakukan suatu pekerjaan atau layanan apapun dengan ancaman beberapa
bentuk hukuman.
3. Debt Bondage or bonded labour (kerja terikat), merupakan perbudakan yang
terjadi ketika seseorang tidak mampu membayar utang sehingga orang tersebut
diharuskan bekerja untuk melunasi utangnya.
4. Child slavery (perbudakan anak), merupakan perbudakan yang terjadi ketika
seorang anak dieksploitasi demi kepentingan orang lain yang dapat
mengakibatkan terhambatnya perkembangan dan pendidikan anak itu sendiri.
5. Early and forced marriage (perkawinan dini dan perkawinan paksa),
merupakan perbudakan yang terjadi ketika seseorang yang belum cukup umur
melangsungkan perkawinan dengan atau tidak dengan keinginan mereka dan
tidak dapat menghindari keberlangsungan perkawinan tersebut.
6. Descent-based slavery (perbudakan berdasarkan keturunan), merupakan
perbudakan yang terjadi karena faktor keturunan. Seseorang dilahirkan sebagai
budak karena nenek moyang mereka diperbudak.
Berdasarkan beberapa pengertian dari modern slavery diatas, Penulis
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan modern slavery adalah pelaku
perbudakan tidak merasa memiliki korban perbudakan, namun pelaku perbudakan
melakukan eksploitasi dan memperlakukan korban perbudakan dengan kejam,
tidak manusiawi dan sewenang-wenang demi kepentingan pelaku perbudakan
tanpa adanya kebebasan untuk melepaskan diri. Dalam perkembangannya, slavery
bukanlah lagi hanya sebatas pada perdagangan budak, namun telah berubah
menjadi beberapa bentuk, antara lain perdagangan orang, kerja paksa, kerja
terikat, perbudakan anak, perkawinan dini/perkawinan paksa dan perbudakan
berdasarkan keturunan.
Pengaturan Anti Slavery dalam Hukum Hak
Asasi Manusia Internasional
Melihat dari sejarahnya, baik perbudakan yang terjadi di masa lampau dan
sekarang tentunya memiliki dampak yang merugikan terhadap orang di setiap
484 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada
negara di dunia. Oleh karena itu diperlukan suatu instrumen hukum yang
bertujuan melawan dan menghapus perbudakan di muka bumi. Dalam instrumen
hukum hak asasi manusia, istilah yang digunakan adalah “slavery” (perbudakan).
Namun perkembangan yang terjadi sudah berbeda dengan zaman dahulu dan
pengaturannya tidak cukup apabila hanya diatur dalam 1 (satu) instrumen hukum
saja, mengingat
bentuk dari modern slavery yang sangat beragam.
Instrumen hukum hak asasi manusia internasional yang ada saat ini, baik
yang berupa deklarasi maupun konvensi internasional masih dapat dianggaap
relevan untuk mengatur slavery dalam perkembangannya. Beberapa deklarasi atau
konvensi internasional yang dimaksud, yaitu Universal Declaration of Human
Rights 1948, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
1966, International Covenant on Civil and Political Rights 1966, The Rome
Statute of The International Criminal Court 1998, ILO Convention No. 29
Concerning of Forced or Compulsory Labour 1930, ILO Convention no. 105
Concerning The Abolition of Forced Labour 1957, Maritime Labour Convention
2006 dan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights 2011.
Pertama, apabila melihat ketentuan pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 5
Universal Declaration of Human Rights 1948 (yang selanjutnya disebut dengan
DUHAM), Pasal 7-Pasal 8 International Covenant on Civil and Political Rights
1966 (yang selanjutnya disebut dengan ICCPR) dan Pasal 7 The Rome Statute of
The International Criminal Court 1998 (yang selanjutnya disebut dengan Statuta
Roma), maka dapat diketahui bahwa ketiga instrumen hukum hak asasi manusia
internasional tersebut secara umum mengatur larangan perbudakan, larangan
untuk menyiksa atau memperlakukan orang lain dengan tidak manusiawi dan
larangan pemberlakukan kerja paksa. Keberadaan beberapa pasal tersebut berarti
menegaskan bahwa perbudakan termasuk kategori kejahatan terhadap
kemanusiaan dan larangan internasional tentang perbudakan adalah bersifat
mutlak dan tidak ada pengecualian, mengingat setiap manusia memiliki hak
asasinya untuk bebas melakukan sesuatu atas kehendaknya tanpa ada ancaman
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 485
asasi manusia oleh korporasi.19 Kerangka yang berhasil dirancang oleh Ruggie
dalam rangka memberikan standar global dalam mencegah dan mengatasi dampak
negatif dari kegiatan bisnis pada hak asasi manusia tersebut dibangun berdasarkan
3 (tiga) Prinsip-Prinsip Panduan (Guiding Principles), yaitu :20
1. Kewajiban negara untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar;
2. Peran perusahaan bisnis sebagai organ khusus dari masyarakat yang melakukan
fungsi-fungsi khusus, sehingga harus mengikuti peraturan yang berlaku dan
menghormati hak asasi manusia; dan
3. Kebutuhan akan hak dan kewajiban yang sesuai dengan pemulihan yang layak
dan efektif ketika dilanggar.
19 Iman Prihandono, ‘Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia’, (2015)
ELSAM.[1].
20 Ramona Elisabeta CÎRLIG, ‘Business and Human Rights : From Soft Law to Hard
Law’, (2016) 2 Juridical Tribune.[231].
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 487
2. Isi dari Pasal 4, Pasal 20 dan Pasal 33 UU HAM menegaskan bahwa hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan hak untuk tidak diperbudak
merupakan beberapa jenis hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Sama dengan UUD NRI
Tahun 1945, UU HAM juga telah mengadopsi ketentuan DUHAM. Namun
aturan tersebut telah disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan
pembangunan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun
1945.21
3. Pasal 7 UU Pengadilan HAM memuat ketentuan bahwa pelanggaran hak asasi
manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. kemudian berdasarkan Pasal 9 huruf (c) UU Pengadilan HAM,
disebutkan bahwa perbudakan merupakan salah satu jenis dari kejahatan
terhadap kemanusiaan. UU Pengadilan HAM ini mengatur mengenai
kejahatan hak asasi manusia yang berat yang merupakan extra ordinary
crimes dan harus memenuhi beberapa unsur sesuai dengan Statuta Roma. Hal
itulah yang membedakan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
hanya mengatur mengenai kejahatan biasa (ordinary crimes).
4. Dalam Pasal 1 UU TPPO telah dimuat definisi mengenai trafficking.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa definisi trafficking
mengandung 3 (tiga) elemen pokok yang bersifat kumulatif, yaitu :22
a. Elemen perbuatan, meliputi tindakan merekrut, mengangkut,
memindahkan, menyembunyikan atau menerima;
b. Elemen sarana (cara) mengendalikan korban dan elemen tujuan, meliputi
ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekerasan atau posisi rentan atau
pemberian/penerimaan atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas korban; dan
c. Elemen tujuan, meliputi eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau
bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan
dan pengambilan organ tubuh.
Namun dari beberapa ketentuan instrumen hukum hak asasi manusia
nasional tersebut, ternyata masih belum mengadopsi ketentuan dari UNGP
mengenai penghormatan hak asasi manusia sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi perusahaan bisnis dalam menjalankan usahanya.
21 Penjelasan UU HAM.
22 Maslihati Nur Hidayati, ‘Upaya Pemberantasan dan
Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional
dan Hukum Positif di Indonesia’, (2012) 1 Jurnal Al-Azhar
Indonesia Seri Pranata Sosial.[166-167].
488 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada
melelahkan dengan kondisi perlakuan yang tidak layak, mereka dibayar dengan
upah minim atau tidak sama sekali.25 Yang lebih parah,
beberapa dari mereka mengalami cacat bahkan mati diatas kapal.30
Setelah berhasil mengevakuasi para korban perbudakan di Benjina,
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, baik secara hukum maupun non-
hukum. Pelaksanaan berbagai upaya hukum maupun non-hukum telah
berhasil dilakukan dengan kerjasama antara Tim Satgas Gahtas Illegal Fishing,
Kementrian Kelautan dan Perikanan dan International Organization for
Migration (IOM Indonesia). Upaya non-hukum yang dimaksud adalah berupa
pemberian bantuan bagi korban perbudakan, antara lain bantuan pemulangan,
bantuan makanan dan non-makanan, bantuan kesehatan, bantuan penampungan
dan bantuan reintegrasi.
Selain melakukan berbagai upaya non hukum, Pemerintah Indonesia juga
melakukan upaya hukum. Kasus Benjina tersebut diserahkan untuk diadili lebih
lanjut oleh Pengadilan Negeri Kepulauan Aru di Tual. Pengadilan Negeri Tual
dapat mengadili kasus tersebut dikarenakan asas territorial yang dianut oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia26 dan asas Locus Delictie27
yang
dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia. 28
Tindakan pemerintah Indonesia dalam memberikan bantuan hukum terhadap para
korban juga merupakan sebagai bentuk komitmen penegakkan hak asasi manusia,
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 ICCPR yang pada intinya
menyatakan bahwa setiap negara pihak berjanji untuk menghormati dan menjamin
25 ibid.[3].
30
ibid.[4].
26 Pasal 2 KUHP berbunyi, “Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang
yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.”
Perundang-undangan Indonesia yang dimaksud dalam pasal
tersebut, dapat berupa ketentuan dalam KUHP maupun di luar
KUHP.
27 Pasal 84 angka 1 KUHAP berbunyi, “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala
perkara tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.”
28 Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana, (Airlangga
University Press, 2014).[36-37].
490 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada
hak-hak yang diakui dalam ICCPR tersebut bagi semua orang yang berada dalam
wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal usul
kebangsaan atau
sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
Pengadilan Tual memutuskan 8 (delapan) orang terdakwa bersalah atas
perdagangan manusia di Benjina yang terdiri dari 5 (lima) orang
berkewarganegaraan Thailand dan 3 (tiga) orang berkewarganegaraan Indonesia.
Untuk 5 (lima) orang yang berkewarganegaraan Thailand, mereka dinyatakan
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah dikarenakan telah
melakukan tindakan yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU TPPO. Oleh
karena tindakan tersebut dapat dibuktikan dalam persidangan, pada tanggal 10
Maret 2016, hakim yang menangani
perkara telah menjatuhkan putusan kepada 5 (lima) warga negara Thailand dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 160.000.000,-
(seratus enam puluh juta) subsidair pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
Sedangkan untuk 3 (tiga) orang yang berkewarganegaraan Indonesia
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah
dikarenakan telah melakukan tindakan yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (2)
jo. Pasal 10 UU TPPO. Oleh karena tindakan tersebut dapat dibuktikan dalam
persidangan, pada tanggal 10 Maret 2016, hakim yang menangani perkara telah
menjatuhkan putusan kepada 3 (tiga) orang terdakwa ini dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 160.000.000,- (seratus enam
puluh juta) subsidair pidana
kurungan selama 2 (dua) bulan.
Contoh kasus lainnya, yaitu Kasus Supriyanto, ABK asal Indonesia yang
meninggal setelah dihajar oleh kapten kapal, kepala teknisi kapal serta 2 (dua)
ABK asal Indonesia lainnya, bernama Agus dan Munawir. Namun, Agus dan
Munawir ikut menghajar Supriyanto karena mendapat paksaan dari kapten kapal.
Berdasarkan bukti video yang ada, Supriyanto meninggal pada tanggal 25 Agustus
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 491
2015 ketika Kapal Fu Tzu Chun milik Taiwan berlayar di tengah Samudera
Pasifik,
raturan kilometer di selatan Mikronesia.
Banyak ABK yang bekerja di Taiwan yang menerima perlakuan buruk
selama melakukan pekerjaannya. Hal tersebut disebabkan mereka datang hanya
berbekal dengan visa pendatang yang berlaku selama 7 (tujuh) hari sehingga
mereka tidak tercatat sebagai ABK yang resmi bekerja di Taiwan dan tidak
terekam dalam daftar tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dalam kondisi seperti
ini, menurut kamus pelaut, ABK yang tidak tercatat sebagai pelaut disebut “ABK
LG” yang merupakan kependekan dari Letter of Guarantee. Sedangkan untuk
ABK yang tercatat sebagai
pelaut disebut “ABK Lokal”.29
Dalam rangka menangani Kasus Supriyanto, Kejaksaan Kota Pingtung
di Taiwan telah menyelidi kasus tersebut. Namun, kasus tersebut ditutup karena
kurangnya bukti yang menunjukkan bahwa Supriyanto meninggal karena
penganiayaan. Hasil autopsi pada tubuh Supriyanto menunjukkan bahwa
kematiannya dikarenakan sakit yang dipicu infeksi pada luka yang menganga di
lututnya.30 Menanggapi hasil penyelidikan Kejaksaan Kota Pingtung, Control
Yuan, yang merupakan badan pengawas Pemerintah Taiwan, melakukan
investigasi mendalam terhadap kasus kematian Supriyanto ini. Hasil investigasi
tersebut menunjukkan bahwa Kejaksaan Kota Pingtung telah ceroboh
menyimpulkan hasil autopsi Supriyanto. Tim forensik yang dikerahkan Control
Yuan menemukan bekas-bekas penyiksaan pada jasad Supriyanto. Kejaksaan
Kota Pingtung juga dinilai telah lalai karena tidak menggunakan 3 (tiga) rekaman
video yang direkam Mualip sebagai bukti adanya kekerasan yang dilakukan oleh
Kapten Kapal dan Kepala Teknisi Kapal. Selain itu, penerjemah dari Kejaksaan
Kota Pingtung tidak memahami percakapan bahasa Jawa dalam ketiga video.
31 ibid.
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 493
1. Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b PERMEN KP HAM Perikanan sesuai dengan
Guiding Principles. Berdasarkan Pasal 3 tersebut, PERMEN KP HAM
Perikanan dinyatakan berlaku bagi setiap orang, baik warga negara Indonesia
maupun negara asing, termasuk pengusaha perikanan yang melakukan kegiatan
usaha perikanan di WPPNRI dan setiap kapal perikanan berbendera Indonesia
yang melakukan kegiatan perikanan di WPPNRI, serta kapal pengangkut ikan
berbendera asing yang melakukan kegiatan perikanan di WPPNRI. Maka dapat
dikatakan bahwa Indonesia telah berusaha melindungi penegakan hak asasi
manusia di territorial dan/atau yurisdiksinya dari pelanggaran hak asasi
manusia yang dilakukan oleh
pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah pengusaha perikanan;32
ABK.36 Hal tersebut sebenarnya juga dianut oleh 3 (tiga) PERMEN KP. Namun
hanya saja, dalam 3 (tiga) PERMEN KP tersebut tidak menggunakan istilah
“ABK”, melainkan menggunakan istilah “Pekerja”. Melihat adanya ketidak-
konsistenan tersebut, mengacu pada teori Lex Superior Derogat Legi Inferiori dan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, maka seharusnya digunakan istilah “ABK”
dibandingkan
menggunakan istilah “Pekerja”.
Kedua, aturan-aturan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
dapat diterapkan. Hal tersebut dapat diketahui apabila melihat kapan
diundangkannya PERMEN KP HAM Perikanan dan PERMEN KP Persyaratan
dan Mekanisme Sertifikasi HAM Perikanan. PERMEN KP HAM Perikanan yang
secara garis besar mengatur tentang Sistem dan Sertifikasi HAM Perikanan
diundangkan pada tanggal 10 Desember 2015, sedangkan PERMEN KP
Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM Perikanan yang mengatur mengenai
prosedur dan tata cara Sertifikasi HAM Perikanan diundangkan pada tanggal 23
Januari 2017, namun baru berlaku setelah 6 (bulan) diundangkan atau setidak-
tidaknya pada tanggal 23 Juli 2017.
Ketiga, dalam PERMEN KP PKL kurang menegaskan terkait yurisdiksi
Indonesia untuk menerapkan hukumnya, terutama terkait ABK Indonesia.
Misalnya, mengenai bagaimana cara pemerintah Indonesia menerapkan hukumnya
apabila ABK Perikanan Indonesia yang bekerja di kapal perikanan berbendera
asing dan beroperasi di negara lain mengalami pelanggaran hak asasi manusia,
padahal Negara wajib bertanggung jawab terhadap perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi warga negaranya sesuai yang
diamanatkan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu,
mengingat Negara Indonesia yang memiliki komitmen untuk menegakkan hak
asasi manusia, sebaiknya juga diperlukan untuk melakukan perjanjian bilateral
maupun multilateral dalam mempekerjakan ABK Perikanan sehingga dapat
36 Pasal 1 angka 40 dan Pasal 1 angka 41 UU
Pelayaran.
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 497
melindungi hak-hak yang dimiliki ABK Perikanan tersebut, baik saat bekerja di
kapal berbendera Indonesia/berbendera asing yang beroperasi di WPPNRI, laut
lepas maupun perairan negara lain.
Kesimpulan
Modern slavery adalah pelaku perbudakan tidak merasa memiliki korban
perbudakan, namun pelaku perbudakan melakukan eksploitasi dan
memperlakukan korban perbudakan dengan kejam, tidak manusiawi dan
sewenang-wenang demi kepentingan pelaku perbudakan tanpa adanya kebebasan
untuk melepaskan diri. Dalam perkembangannya, slavery bukanlah lagi hanya
sebatas pada perdagangan budak, namun telah berubah menjadi beberapa bentuk,
antara lain perdagangan orang, kerja paksa, kerja terikat, perbudakan anak,
perkawinan dini/perkawinan paksa dan perbudakan berdasarkan keturunan. Dari
beberapa bentuk tersebut, bentuk modern slavery yang sering terjadi pada ABK
Perikanan adalah perdagangan orang dan kerja
paksa. Meskipun sama-sama memperlakukan korban perbudakan dengan kejam,
tidak manusiawi dan sewenang-wenang, modern slavery dengan slavery memiliki
perbedaan yang terletak pada cara atau modus yang digunakan dan rasa memiliki
atas orang lain. Berdasarkan perspektif hukum hak asasi manusia internasional
maupun nasional, modern slavery merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak
asasi manusia. Dapat dilihat pada Pasal 7 dan Pasal 8 ICCPR serta Pasal 28G dan
Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap
orang memiliki hak atas martabat, rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Sehingga, setiap orang sejatinya tidak dapat diperbudak, disiksa atau mendapat
perlakuan keji lainnya yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Kemudian, dengan diundangkan 3 (tiga) Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan yang telah dibahas sebelumnya menunjukkan bahwa Pemerintah
Indonesia telah berupaya mengatur perlindungan hak asasi manusia bagi seluruh
Awak Kapal Perikanan yang berupa pengaturan tentang kewajiban pengusaha
498 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada
perikanan untuk turut serta melakukan penghormatan hak asasi manusia dalam
menjalankan usahanya dengan menerapkan Sistem HAM Perikanan, memiliki
Sertifikat HAM Perikanan, dan membuat PKL dalam menanggapi permasalahan
hak asasi manusia yang terjadi dalam industri perikanan, terutama pasca terjadinya
Kasus Benjina dan Kasus Supriyanto. Namun, hendaknya kedudukan ketiga
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut diperkuat ke dalam
perundang-undangan yang lebih tinggi, dikarenakan berkaitan dengan pengaturan
perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, dikarenakan kurangnya pengaturan
mengenai yurisdiksi Negara Indonesia dalam PERMEN KP PKL, maka
diperlukan pengaturan mengenai perjanjian bilateral maupun multilateral dalam
hal mempekerjakan ABK perikanan sehingga dapat melindungi hak-hak yang
dimiliki ABK perikanan tersebut, baik saat bekerja di kapal berbendera
Indonesia/berbendera asing yang beroperasi di WPPNRI, laut lepas maupun
perairan negara lain.
Daftar Bacaan
Buku
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka
(Pustaka Utama Grafiti 1994).
Modul
Associated Press, ‘Are Slaves Catching The Fish You Buy?’, (2015) AP
Investigation.
Laman/Media Online
Anti Slavery, ‘What is Modern Slavery?’ (Anti-Slavery International, 2018)
<https://www.antislavery.org/slavery-today/modern-slavery/> diakes 23
September 2018.
ekonomi/20150407155215-92-44823/benjina-kisah-perbudakan-
ratusannelayan-di-timur-indonesia> diakses 6 Agustus 2018.
Global Slavery Index, ‘Country Data of Indonesia’, (Global Slavery Index 2018)
<https://www.globalslaveryindex.org/2018/data/country-data/indonesia/>
diakses 23 September 2018.
Lidya Kembaren, ‘Sampai Agustus 2018, Menteri Susi Tenggelamkan 125 Kapal’,
(CNBC Indonesia, 2018) <https://www.cnbcindonesia.com/
news/20180821124049-4-29555/sampai-agustus-2018-menteri-
susitenggelamkan-125-kapal> diakses 7 Desember 2018.
Jurnal
Ramona Elisabeta CÎRLIG, ‘Business and Human Rights : From Soft Law to
Hard Law’, (2016) 6 Juridical Tribune.
Endah Artika Noerilita dan Saiman Pakpahan, ‘Peran Walk Free Foundation
dalam Mengatasi Modern Slavery di Mauritania’, (2016) 3 International
Society.
Majalah
Tempo, ‘Budak Indonesia di Kapal Taiwan’, (2017) Investigasi.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Deklarasi/Konvensi Internasional
ILO Convention No. 29 Concerning of Forced or Compulsory Labour 1930.
ILO Convention No. 105 Concerning The Abolition of Forced Labour 1957.
HOW TO CITE: Indah Prisnasari, ‘Modern Slavery Pada Anak Buah Kapal (Abk) Perikanan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia’ (2019)
Vol. 2 No. 2 Jurist-Diction
--halaman ini sengaja dibiarkan
kosong--