Anda di halaman 1dari 28

Jurist-Diction: Vol. 2 No.

2, Maret 2019 475

Jurist-Diction
Volume 2 No. 2, Maret 2019
Histori artikel: Submit 1 Februari 2019; Diterima 15 Februari 2019; Diterbitkan online 1 Maret 2019.

Modern Slavery Pada Anak Buah Kapal (Abk) Perikanan Dalam


Perspektif Hak Asasi Manusia
Indah Prisnasari
indahprsn@gmail.com
Universitas Airlangga
Abstract
The first objective of this research is to explain the concept of anti modern slavery and to discover
the parameters of prevention of modern slavery based on international and national human rights
law. The second objective is to explain the results of the analysis of the three Regulations of
Minister of Marine and Fisheries on the prevention of modern slavery in the fisheries industry.
This research is a type of normative juridical research. The problems studied are anti modern
slavery in the perspective of human rights law and analysis of Regulation of the Minister of
Marine and Fisheries on the prevention of modern slavery in the fisheries industry. The results of
this study illustrate that there are three ways that must be taken in order to prevent modern
slavery in the fisheries industry : applying the Human Rights System for Fisheries, having a
Fisheries Human Rights Certificate and establishing a Sea Labor Agreement for Fishing Boat
Crew.
Keywords: Human Rights, Modern Slavery, Fishing Boat Crew, Fisheries Industry.

Abstrak
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah menjelaskan konsep dari anti modern slavery dan
mengetahui parameter dari pencegahan modern slavery berdasarkan hukum hak asasi manusia
internasional maupun nasional. Tujuan yang kedua adalah untuk menjelaskan hasil analisa tiga
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan terhadap pencegahan modern slavery dalam industri
perikanan. Penelitian ini merupakan tipe penelitian yuridis normatif. Adapun permasalahan yang
dikaji yaitu anti modern slavery dalam perspektif hukum hak asasi manusia dan analisa Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan terhadap pencegahan modern slavery dalam industri perikanan.
Hasil penelitian ini menjabarkan bahwa terdapat tiga cara yang harus ditempuh dalam rangka
pencegahan modern slavery dalam industri perikanan yaitu menerapkan Sistem HAM Perikanan,
memiliki Sertifikat HAM Perikanan dan mengadakan Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal
Perikanan.
Kata Kunci: Hak Asasi Manusia; Modern Slavery; Anak Buah Kapal Perikanan; Industri
Perikanan.

Pendahuluan
Sebagai makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan, manusia
terlahir dengan suatu hak yang dimilikinya. Hak yang dimiliki setiap manusia
disebut
476 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

hak asasi manusia.1 Salah satu hak asasi manusia yang diakui dalam Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut
dengan
UUD NRI Tahun 1945) adalah hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.2

Pengaturan lebih lanjut untuk perlindungan hak tersebut, Indonesia telah memiliki
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang
selanjutnya disebut dengan UU Ketenagakerjaan). Undang-undang tersebut
menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan
kemajuan dunia usaha, misalnya tidak mendiskriminasikan antara pekerja laki-laki
dengan pekerja perempuan, tidak mendiskriminasikan pekerja berdasarkan
terhadap pemeluk agama tertentu, dan adanya kesempatan bagi para pekerja untuk
mendapatkan upaya pemulihan yang
efektif melalui peradilan.
Walaupun telah terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang baik
secara umum dan secara khusus mengatur tentang hak bagi para tenaga kerja,
tetapi pada kenyataannya masih banyak ditemukan praktik pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi pada tenaga kerja. Penelitian ini akan memfokuskan pada
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada Anak Buah Kapal dalam sektor
industri perikanan (yang selanjutnya disebut dengan ABK Perikanan). Hal ini
dikarenakan kurangnya pengaturan hukum untuk menangani permasalahan yang
terjadi pada ABK Perikanan dan sulitnya pengawasan terhadap pengusaha atau
perusahaan yang mempekerjakan ABK Perikanan tersebut, sebab aktifitas kerja
mereka yang tidak dilakukan di daratan, melainkan di lautan baik di dalam

1 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39


Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2 Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 477

wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. Selain itu, ABK Perikanan
merupakan salah satu
aktor penting dalam misi Indonesia menjadi negara poros maritim dunia.3
Praktik pelanggaran hak asasi manusia yang sering menimpa para ABK
adalah perdagangan orang dan eksploitasi kerja. Pada bulan Maret tahun 2015
telah ditemukan kasus perbudakan nelayan di Benjina. ABK asing yang berjumlah
322 orang ditemukan terdampar dalam kondisi memprihatinkan di areal pabrik
milik PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku
(yang selanjutnya disebut dengan Kasus Benjina). Diduga, mereka menjadi korban
kerja
paksa oleh perusahaan perikanan berbendera Thailand di wilayah Indonesia.4

Selain itu, masih di tahun yang sama, ditemukan kasus ABK berkewarganegaraan
Indonesia bernama Supriyanto yang meninggal di atas kapal tempatnya bekerja di
tengah Samudera Pasifik, yaitu Kapal Fu Tzu Chun milik Taiwan (yang
selanjutnya disebut dengan Kasus Supriyanto). Namun beberapa hari sebelumnya,
Supriyanto mengalami luka parah karena dianiaya oleh kepala teknisi dan kapten
kapal.5 Kedua kasus tersebut dapat dikatakan sebagai kasus perdagangan orang
dan eksploitasi kerja dikarenakan para ABK yang dipekerjakan tidak memiliki
dokumen yang

3 PresidenRI.go.id, ‘Indonesia Sebagai Poros Maritim


Dunia’, (PresidenRI.go.id, 2015)
<http://presidenri.go.id/berita-aktual/indonesia-sebagai-poros-
maritim-dunia.html>, diakses 06 Januari 2019.
4 Elisa Valenta Sari, ‘Benjina, Kisah Perbudakan
Ratusan Nelayan di Timur Indonesia’, (CNN Indonesia, 2015)
<https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150407155215-
92-44823/ benjina-kisah-perbudakan-ratusan-nelayan-di-
timur-indonesia> diakses 6 Agustus 2018.
5 Tempo.co, ‘Pembunuhan ABK Indonesia Supriyanto
akan Diselidiki Ulang’, (Tempo.co, 2017)
<https://nasional.tempo.co/read/834700/pembunuhan-abk-
indonesia-supriyanto-akan-diselidiki-ulang/full&view=ok>,
diakses 9 Agustus 2018.
478 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

lengkap akibat penipuan oleh agen penyalur tenaga kerja dan pengusaha
perikanan.6 Selain itu, mereka juga dipaksa untuk bekerja terus menerus
(eksploitasi kerja)
lebih dari 20 jam per hari.7

Pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa para ABK tersebut


diperparah dengan fakta bahwa beberapa dari mereka dipekerjakan di atas kapal
yang melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU
Fishing).8 Kegiatan IUU Fishing merupakan aktifitas penangkapan ikan yang
melanggar ketentuan perundangan yang berlaku, salah satunya melanggar UU
Perikanan. Kegiatan tersebut telah
merugikan Indonesia secara finansial, karena mengakibatkan turunnya
produktivitas dan hasil tangkapan secara signifikan serta mengancam ketersediaan
sumber daya perikanan laut Indonesia.9 Terdapat banyak Negara asing dan orang
yang tidak bertanggungjawab datang ke Indonesia untuk memanfaatkan kekayaan
bahari Indonesia dengan menangkap ikan secara ilegal. Kementerian Kelautan dan
Perikanan di bawah kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti telah
menenggelamkan 125 kapal yang terlibat
pada kegiatan IUU Fishing selama periode Januari-Agustus 2018.10

6 Fiki Ariyanti, ‘Menteri Susi Gambarkan Pelanggaran


HAM yang Banyak Menimpa ABK RI’, (Liputan 6, 2017)
<https://www.liputan6.com/bisnis/read/2835655/menteri-susi-
gambarkan-pelanggaran-ham-yang-banyak-menimpa-abk-ri>
diakses 5 Agustus 2018.
7 KumparanNEWS, ‘Begini Temuan Praktik
Perbudakan ABK Indonesia’, (Kumparan, 2015)
<https://kumparan.com/@kumparannews/begini-temuan-
praktik-perbudakan-abk-indonesia> diakses 5 Agustus 2018.
8 Simela Victor Muhamad, ‘Illegal Fishing di Perairan Indonesia : Permasalahan dan
Upaya Penanganannya Secara Bilateral di Kawasan’ (2012) 3 Politica.[62].
9 ibid.[60-61].
10 Lidya Kembaren, ‘Sampai Agustus 2018, Menteri
Susi Tenggelamkan 125 Kapal’, (CNBC Indonesia, 2018)
<https://www.cnbcindonesia.com/news/20180821124049-4-
29555/sampai-agustus-2018-menteri-susi-tenggelamkan-125-
kapal> diakses 7 Desember 2018. 11 Pasal 28I ayat (4) UUD
NRI Tahun 1945.
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 479

Melihat hal tersebut, pemerintah Indonesia merasa khawatir karena akan


semakin memberikan kesempatan untuk terjadinya kegiatan IUU Fishing diikuti
dengan pelanggaran hak asasi manusia terhadap ABK, baik yang bekerja untuk
kapal dalam negeri maupun kapal asing. Oleh karena itu, Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti mengeluarkan beberapa Peraturan
Menteri, yaitu Peraturan Menteri No.35/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem dan
Sertifikasi Hak Asasi Manusia di Industri Perikanan (yang selanjutnya disebut
dengan PERMEN KP HAM Perikanan), Peraturan Menteri No.42/PERMEN-
KP/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan (yang
selanjutnya
disebut dengan PERMEN KP PKL) dan Peraturan Menteri
No.2/PERMENKP/2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak
Asasi Manusia di Industri Perikanan (yang selanjutnya disebut dengan PERMEN
KP Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM Perikanan). Ketiga Peraturan
Menteri tersebut dibuat untuk memperkuat peraturan perundang-undangan terkait
yang sudah ada dan merupakan wujud tanggung jawab Negara terhadap
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia.11 Maka
diperlukan analisis mengenai konsep anti modern slavery dalam perspektif hukum
hak asasi manusia dan analisis penerapan dari 3 (tiga) Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan tersebut terhadap
pencegahan modern slavery dalam industri perikanan.
Metode Penelitian
Penulisan penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif
(normative legal research) yang menggunakan pendekatan konseptual
(conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan kasus (case approach). Dengan menggunakan pendekatan konseptual
(conceptual approach), penulis akan meneliti mengenai konsep Anti Modern
Slavery dengan merujuk pada berbagai peraturan perundang-undangan baik yang
berlaku dalam skala internasional maupun nasional. Mengingat kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia terhadap ABK Perikanan yang terjadi sebelumnya,
480 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

hasil yang didapat tersebut akan digunakan sebagai tolak ukur untuk menganalisis
3 (tiga) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia terkait
sebagai bentuk pencegahan agar tidak kembali terjadi pelanggaran HAM terhadap
ABK Perikanan.

Pengertian Modern Slavery


Perbudakan telah berlangsung di muka bumi sejak beribu-ribu tahun yang
lalu, tak terkecuali di Indonesia. Menurut Lizzy van Leeuwen, praktik
perdagangan
budak di Indonesia dimulai pada saat Jan Pieterzoon Coen yang menguasai
perkebunan pala di Pulau Banda mempraktikkan perbudakan dengan membeli
budak dari pulau tersebut.11 Pada masa itu, perbudakan menjadi bagian dari sistem
sosial dan menduduki posisi stratifikasi terendah, yaitu di bawah rakyat jelata
yang tinggal di pedesaan. Hal tersebut dikarenakan mereka memberi arti bahwa
budak merupakan segolongan manusia yang kebebasan hidupnya dirampas untuk
bekerja demi kepentingan dan keuntungan golongan manusia lain atau yang biasa
disebut
dengan tuan/majikan/penguasa.12

Perdagangan budak dihapuskan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-
19. Penghapusan perbudakan tersebut bermotifkan kepedulian kemanusiaan.
Tonggak penghapusan perbudakan adalah disahkannya Konvensi untuk
Melenyapkan Perbudakan dan Perdagangan Budak 1926 oleh Liga BangsaBangsa
sebagai salah satu bentuk komitmen untuk melawan dan menghapus perbudakan
dalam tatanan kehidupan sosial.13 Pengesahan konvensi tersebut didasarkan pada
pandangan bahwa sekarang hak asasi manusia lebih dipahami secara manusiawi
sebagai hak-hak yang melekat dengan harkat dan hakikat kemanusiaan, dengan

11 Lizzy van Leeuwen dalam Mu’jizah, ‘Menyingkap Sejarah Perbudakan dalam


Manuskrip Indonesia : Surat Raja Tanette’, (2014) 7 Metasastra.[69].
12 Mu’jizah, ‘Menyingkap Sejarah Perbudakan dalam Manuskrip Indonesia : Surat Raja
Tanette’, (2014) 7 Metasastra.[69].
13 Scott Davidson diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka, Hak Asasi Manusia,
(Pustaka Utama Grafiti 1994).[11].
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 481

mengesampingkan latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin,
usia maupun pekerjaan. Namun fakta yang ada mengatakan bahwa praktik
perbudakan masih eksis hingga saat ini. Di Indonesia sendiri, berdasarkan laporan
dari Global Slavery Index 2018 mengungkapkan setidaknya masih ada 1.220.000
warga Negara Indonesia yang terjebak dalam praktik modern slavery.14 Tidak
seperti perbudakan pada masa imperialisme dan kolonialisme yang dilakukan
secara kasar, kejam dan sewenang-wenang, praktik modern slavery dilakukan
dengan cara yang tidak terlihat oleh pelaku dan korbannya seperti yang terjadi
dalam industri perikanan, perkebunan,
pertanian dan sebagainya.15

Arti dari Modern slavery ialah bahwa seseorang yang satu memperlakukan
seseorang yang lain seperti properti miliknya dengan tujuan dieksploitasi demi
kepentingan orang yang melakukan perbudakan. Akibatnya adalah seorang budak
tidak akan melakukan sesuatu kecuali atas kehendak tuannya karena kemerdekaan
atau kebebasannya telah terampas. M. Yunan Nasution mengemukakan bahwa
setidaknya terdapat 3 (tiga) macam sistem baru modern slavery, yaitu Political
Slavery (perbudakan yang didasarkan pada kepentingan politik), Social Slavery
(perbudakan sosial, seperti perdagangan orang) dan Industrial Slavery
(perbudakan
yang ditimbulkan oleh perkembangan dan kemajuan industri).
Menurut Anti-Slavery International, modern slavery memiliki arti bahwa
seseorang yang menjadi korban perbudakan bukan tentang dimiliki oleh orang
lain, tetapi lebih mengarah untuk dieksploitasi dan dikontrol oleh orang lain tanpa
dapat
melepaskan diri. Seseorang dikatakan sedang dalam perbudakan apabila :16

14 Global Slavery Index, ‘Country Data of Indonesia’, (Global Slavery Index, 2018)
<https:// www.globalslaveryindex.org/2018/data/country-data/indonesia/> diakses 23 September
2018.
15 Endah Artika Noerilita dan Saiman Pakpahan, ‘Peran Walk Free Foundation dalam
Mengatasi Modern Slavery di Mauritania’ (2016) 3 International Society.[22].
16 Anti Slavery, ‘What is Modern Slavery?’, (Anti-Slavery
International, 2018) <https://www.
482 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

1. Dipaksa untuk bekerja, baik melalui paksaan, ancaman mental atau fisik;
2. Dimiliki atau dikendalikan oleh majikan, baik melalui ancaman
pelecehan, pelecehan mental atau fisik;
3. Diperlakukan tidak manusiawi, seperti diperlakukan sebagai komoditas,
dibeli dan dijual sebagai properti;
4. Tidak memiliki kebebasan untuk bergerak.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara slavery dengan modern slavery.
Persamaannya terdapat pada cara majikan memperlakukan pihak yang lain, yaitu
sama-sama memperlakukan orang lain dengan kejam atau tidak manusiawi.
Sedangkan perbedaannya terdapat pada cara atau modus perbudakan yang
digunakan dan rasa memiliki atas orang lain. Apabila slavery, cara atau modus
perbudakan hanya dilakukan secara sederhana saja, misal jual beli budak. Oleh
karena itu, pihak yang membeli budak (majikan) merasa memiliki budak yang
telah dibelinya sehingga pihak majikan memperlakukan budak tersebut seperti
properti miliknya. Sedangkan dalam modern slavery, cara atau modus yang
digunakan lebih sistematis dan bermacam-macam sehingga tidak terlihat,
misalnya dalam proses perekrutan ABK Perikanan disertai dengan penipuan oleh
agen penyalur tenaga kerja dan pengusaha perikanan, seperti yang terjadi pada
Kasus Benjina.18 Dikarenakan tidak dilakukan dengan cara atau modus jual beli,
pihak majikan tidak merasa memiliki pihak yang lain, namun pihak majikan
melakukan pengeksploitasian terhadap pihak yang lain demi kepentingan dan
keuntungan dirinya sendiri. Modern slavery dikatakan tidak terlihat sebab kedua
belah pihak tidak merasa atau tidak sadar bahwa kegiatan yang dilakukan tersebut
termasuk dalam kategori perbudakan.
Bentuk-bentuk dari modern slavery, antara lain :19
1. Human trafficking (perdagangan orang), merupakan runtutan peristiwa yang
didalamnya melibatkan pengangkutan, perektrutan atau penyembunyian orang
untuk tujuan eksploitasi dengan menggunakan kekerasan, ancaman atau
paksaan.

antislavery.org/slavery-today/modern-slavery/> diakses 23 September


2018. 18 Fiki Ariyanti, Loc.Cit. 19 ibid.
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 483

2. Forced labour (kerja paksa), merupakan pemaksaan terhadap orang lain untuk
melakukan suatu pekerjaan atau layanan apapun dengan ancaman beberapa
bentuk hukuman.
3. Debt Bondage or bonded labour (kerja terikat), merupakan perbudakan yang
terjadi ketika seseorang tidak mampu membayar utang sehingga orang tersebut
diharuskan bekerja untuk melunasi utangnya.
4. Child slavery (perbudakan anak), merupakan perbudakan yang terjadi ketika
seorang anak dieksploitasi demi kepentingan orang lain yang dapat
mengakibatkan terhambatnya perkembangan dan pendidikan anak itu sendiri.
5. Early and forced marriage (perkawinan dini dan perkawinan paksa),
merupakan perbudakan yang terjadi ketika seseorang yang belum cukup umur
melangsungkan perkawinan dengan atau tidak dengan keinginan mereka dan
tidak dapat menghindari keberlangsungan perkawinan tersebut.
6. Descent-based slavery (perbudakan berdasarkan keturunan), merupakan
perbudakan yang terjadi karena faktor keturunan. Seseorang dilahirkan sebagai
budak karena nenek moyang mereka diperbudak.
Berdasarkan beberapa pengertian dari modern slavery diatas, Penulis
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan modern slavery adalah pelaku
perbudakan tidak merasa memiliki korban perbudakan, namun pelaku perbudakan
melakukan eksploitasi dan memperlakukan korban perbudakan dengan kejam,
tidak manusiawi dan sewenang-wenang demi kepentingan pelaku perbudakan
tanpa adanya kebebasan untuk melepaskan diri. Dalam perkembangannya, slavery
bukanlah lagi hanya sebatas pada perdagangan budak, namun telah berubah
menjadi beberapa bentuk, antara lain perdagangan orang, kerja paksa, kerja
terikat, perbudakan anak, perkawinan dini/perkawinan paksa dan perbudakan
berdasarkan keturunan.
Pengaturan Anti Slavery dalam Hukum Hak
Asasi Manusia Internasional
Melihat dari sejarahnya, baik perbudakan yang terjadi di masa lampau dan
sekarang tentunya memiliki dampak yang merugikan terhadap orang di setiap
484 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

negara di dunia. Oleh karena itu diperlukan suatu instrumen hukum yang
bertujuan melawan dan menghapus perbudakan di muka bumi. Dalam instrumen
hukum hak asasi manusia, istilah yang digunakan adalah “slavery” (perbudakan).
Namun perkembangan yang terjadi sudah berbeda dengan zaman dahulu dan
pengaturannya tidak cukup apabila hanya diatur dalam 1 (satu) instrumen hukum
saja, mengingat
bentuk dari modern slavery yang sangat beragam.
Instrumen hukum hak asasi manusia internasional yang ada saat ini, baik
yang berupa deklarasi maupun konvensi internasional masih dapat dianggaap
relevan untuk mengatur slavery dalam perkembangannya. Beberapa deklarasi atau
konvensi internasional yang dimaksud, yaitu Universal Declaration of Human
Rights 1948, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
1966, International Covenant on Civil and Political Rights 1966, The Rome
Statute of The International Criminal Court 1998, ILO Convention No. 29
Concerning of Forced or Compulsory Labour 1930, ILO Convention no. 105
Concerning The Abolition of Forced Labour 1957, Maritime Labour Convention
2006 dan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights 2011.
Pertama, apabila melihat ketentuan pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 5
Universal Declaration of Human Rights 1948 (yang selanjutnya disebut dengan
DUHAM), Pasal 7-Pasal 8 International Covenant on Civil and Political Rights
1966 (yang selanjutnya disebut dengan ICCPR) dan Pasal 7 The Rome Statute of
The International Criminal Court 1998 (yang selanjutnya disebut dengan Statuta
Roma), maka dapat diketahui bahwa ketiga instrumen hukum hak asasi manusia
internasional tersebut secara umum mengatur larangan perbudakan, larangan
untuk menyiksa atau memperlakukan orang lain dengan tidak manusiawi dan
larangan pemberlakukan kerja paksa. Keberadaan beberapa pasal tersebut berarti
menegaskan bahwa perbudakan termasuk kategori kejahatan terhadap
kemanusiaan dan larangan internasional tentang perbudakan adalah bersifat
mutlak dan tidak ada pengecualian, mengingat setiap manusia memiliki hak
asasinya untuk bebas melakukan sesuatu atas kehendaknya tanpa ada ancaman
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 485

atau paksaan dari pihak lain.17


Kedua, apabila melihat ketentuan pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 7
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (yang
selanjutnya disebut dengan ICESCR , Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 angka 1 ILO
Convention No. 29 Concerning of Forced or Compulsory Labour 1930, Pasal 1
sampai dengan Pasal 2 ILO Convention no. 105 Concerning The Abolition of
Forced Labour 1957, dan Pasal 4 sampai dengan Pasal 5 Maritime Labour
Convention 2006, maka dapat diketahui bahwa keempat instrumen hukum hak
asasi manusia internasional tersebut secara umum mengatur mengenai pengakuan
dan perlindungan hak atas pekerjaan dan larangan pemberlakuan kerja paksa. Hak
atas pekerjaan merupakan salah satu kategori hak yang sangat penting, karena
terkait dengan pemenuhan hak-hak asasi lainnya serta merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dan inheren dengan martabat manusia. Dengan memiliki
pekerjaan yang secara bebas dipilih atau diterima olehnya, maka seseorang akan
berkembang
dan mendapatkan pengakuan dalam lingkup masyarakat.18
Ketiga, untuk melengkapi beberapa peraturan yang sudah ada sebelumnya,
maka dirumuskanlah United Nations Guiding Principles on Business and Human
Rights 2011 (yang selanjutnya disebut dengan UNGP). Perumusan UNGP tersebut
dipelopori oleh Professor John Ruggie bersama timnya, yang sebelumnya telah
berhasil mengidentifikasi permasalahan utama dalam isu bisnis dan hak asasi
manusia. Salah satunya, mereka menemukan bahwa terdapat pelanggaran hak
asasi manusia yang dilakukan oleh korporasi. Pelanggaran hak asasi manusia
tersebut terjadi dikarenakan kurang aktifnya pemerintah dalam mengatur
kebijakan mengenai penghormatan hak

17 Savira Dhanika Hardianti, ‘Modern Slavery in Indonesia : Between Norms and


Implementation’, (2015) 2.[1].
18 General Comment No 18, diadopsi pada 24 Nopember
2005, Pasal 6 dari ICESCR.
486 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

asasi manusia oleh korporasi.19 Kerangka yang berhasil dirancang oleh Ruggie
dalam rangka memberikan standar global dalam mencegah dan mengatasi dampak
negatif dari kegiatan bisnis pada hak asasi manusia tersebut dibangun berdasarkan
3 (tiga) Prinsip-Prinsip Panduan (Guiding Principles), yaitu :20
1. Kewajiban negara untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar;
2. Peran perusahaan bisnis sebagai organ khusus dari masyarakat yang melakukan
fungsi-fungsi khusus, sehingga harus mengikuti peraturan yang berlaku dan
menghormati hak asasi manusia; dan
3. Kebutuhan akan hak dan kewajiban yang sesuai dengan pemulihan yang layak
dan efektif ketika dilanggar.

Pengaturan Anti Modern Slavery dalam Hukum


Hak Asasi Manusia Nasional
Dari beberapa instrumen hukum internasional yang telah mengatur
mengenai anti slavery¸ nilai-nilai yang termuat dalam instrumen hukum
internasional tersebut telah diadopsi oleh konstitusi maupun peraturan perundang-
undangan di Indonesia, yaitu UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya disebut dengan UU
HAM), Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia (yang selanjutnya disebut dengan UU Pengadilan HAM), dan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (yang selanjutnya disebut dengan UU TPPO) yang akan
dijelaskan sebagai berikut :
1. Isi dari Pasal 28G dan Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa
setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan martabat manusia. Berdasarkan isi kedua pasal tersebut, maka
dapat diketahui apabila sistematika pengaturan hak asasi manusia pada
konstitusi Indonesia ini telah mengadopsi ketentuan DUHAM.

19 Iman Prihandono, ‘Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia’, (2015)
ELSAM.[1].
20 Ramona Elisabeta CÎRLIG, ‘Business and Human Rights : From Soft Law to Hard
Law’, (2016) 2 Juridical Tribune.[231].
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 487

2. Isi dari Pasal 4, Pasal 20 dan Pasal 33 UU HAM menegaskan bahwa hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan hak untuk tidak diperbudak
merupakan beberapa jenis hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Sama dengan UUD NRI
Tahun 1945, UU HAM juga telah mengadopsi ketentuan DUHAM. Namun
aturan tersebut telah disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan
pembangunan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun
1945.21
3. Pasal 7 UU Pengadilan HAM memuat ketentuan bahwa pelanggaran hak asasi
manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. kemudian berdasarkan Pasal 9 huruf (c) UU Pengadilan HAM,
disebutkan bahwa perbudakan merupakan salah satu jenis dari kejahatan
terhadap kemanusiaan. UU Pengadilan HAM ini mengatur mengenai
kejahatan hak asasi manusia yang berat yang merupakan extra ordinary
crimes dan harus memenuhi beberapa unsur sesuai dengan Statuta Roma. Hal
itulah yang membedakan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
hanya mengatur mengenai kejahatan biasa (ordinary crimes).
4. Dalam Pasal 1 UU TPPO telah dimuat definisi mengenai trafficking.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa definisi trafficking
mengandung 3 (tiga) elemen pokok yang bersifat kumulatif, yaitu :22
a. Elemen perbuatan, meliputi tindakan merekrut, mengangkut,
memindahkan, menyembunyikan atau menerima;
b. Elemen sarana (cara) mengendalikan korban dan elemen tujuan, meliputi
ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekerasan atau posisi rentan atau
pemberian/penerimaan atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas korban; dan
c. Elemen tujuan, meliputi eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau
bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan
dan pengambilan organ tubuh.
Namun dari beberapa ketentuan instrumen hukum hak asasi manusia
nasional tersebut, ternyata masih belum mengadopsi ketentuan dari UNGP
mengenai penghormatan hak asasi manusia sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi perusahaan bisnis dalam menjalankan usahanya.

21 Penjelasan UU HAM.
22 Maslihati Nur Hidayati, ‘Upaya Pemberantasan dan
Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional
dan Hukum Positif di Indonesia’, (2012) 1 Jurnal Al-Azhar
Indonesia Seri Pranata Sosial.[166-167].
488 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

Pemberantasan Modern Slavery dalam Industri


Perikanan di Indonesia
Pemberantasan modern slavery dalam industri perikanan di Indonesia
dilakukan sebagai akibat dari terjadinya Kasus Benjina dan Kasus Supriyanto pada
tahun 2015 yang lalu. Dalam rangka menangani Kasus Benjina, Presiden Republik
Indonesia, Joko Widodo membentuk sebuah tim gabungan bernama Satuan Tugas
Pencegahan dan Pemberantasan (Satgas Gahtas) Illegal Fishing yang terdiri dari
Tentara Nasional Indonesia, Bea Cukai, Kepolisian dan Badan Keamanan Laut
dengan tujuan untuk menangani dan menginvestigasi dugaan kasus perbudakan di
Benjina. Lebih lanjut, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Susi
Pudjiastuti, langsung memerintahkan menghentikan sementara pengiriman produk
perikanan yang
dihasilkan oleh PT. Pusaka Benjina Resources, termasuk larangan ekspor.23
Masih di areal PT. Pusaka Benjina Resources, Tim Satgas Gahtas Illegal
Fishing menemukan 322 ABK dengan rincian 256 orang berasal dari Myanmar,
58 orang berasal dari Kamboja dan 8 orang berasal dari Laos.27 Berdasarkan
keterangan dari salah satu korban perbudakan di Benjina, Maung Soe, mereka
diberi buku pelaut palsu dengan kewarganegaraan Thailand oleh agen yang telah
menipunya. Nama dan tandatangannya adalah palsu, yang benar hanyalah pas foto
yang tertera dalam buku pelaut tersebut.24 Selama melakukan pekerjaan di atas
kapal, seluruh korban hampir pernah ditendang, dicambuk dengan ekor ikan pari
beracun atau dihajar apabila mereka malas bekerja atau ketahuan beristirahat.
Kapten kapal juga memaksa mereka untuk meminum air kotor dan bekerja selama
20 hingga 22 jam per hari tanpa hari libur. Setelah melakukan pekerjaan

23 Sabrina Asril, ‘Tangani Kasus Perbudakan di


Benjina Maluku, Jokowi Bentuk Tim Gabungan’, (Nasional
Kompas, 2015)
<https://nasional.kompas.com/read/2015/04/07/19103111/Tan
gani.
Kasus.Perbudakan.di.Benjina.Maluku.Jokowi.Bentuk.Tim.Gab
ungan> diakses 26 November 2018. 27 Elisa Valenta Sari,
Loc.Cit.
24 Associated Press, ‘Are Slaves Catching The Fish You
Buy?’, (2015) AP Investigation.[8-9].
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 489

melelahkan dengan kondisi perlakuan yang tidak layak, mereka dibayar dengan
upah minim atau tidak sama sekali.25 Yang lebih parah,
beberapa dari mereka mengalami cacat bahkan mati diatas kapal.30
Setelah berhasil mengevakuasi para korban perbudakan di Benjina,
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, baik secara hukum maupun non-
hukum. Pelaksanaan berbagai upaya hukum maupun non-hukum telah
berhasil dilakukan dengan kerjasama antara Tim Satgas Gahtas Illegal Fishing,
Kementrian Kelautan dan Perikanan dan International Organization for
Migration (IOM Indonesia). Upaya non-hukum yang dimaksud adalah berupa
pemberian bantuan bagi korban perbudakan, antara lain bantuan pemulangan,
bantuan makanan dan non-makanan, bantuan kesehatan, bantuan penampungan
dan bantuan reintegrasi.
Selain melakukan berbagai upaya non hukum, Pemerintah Indonesia juga
melakukan upaya hukum. Kasus Benjina tersebut diserahkan untuk diadili lebih
lanjut oleh Pengadilan Negeri Kepulauan Aru di Tual. Pengadilan Negeri Tual
dapat mengadili kasus tersebut dikarenakan asas territorial yang dianut oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia26 dan asas Locus Delictie27
yang
dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia. 28
Tindakan pemerintah Indonesia dalam memberikan bantuan hukum terhadap para
korban juga merupakan sebagai bentuk komitmen penegakkan hak asasi manusia,
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 ICCPR yang pada intinya
menyatakan bahwa setiap negara pihak berjanji untuk menghormati dan menjamin
25 ibid.[3].
30
ibid.[4].
26 Pasal 2 KUHP berbunyi, “Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang
yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.”
Perundang-undangan Indonesia yang dimaksud dalam pasal
tersebut, dapat berupa ketentuan dalam KUHP maupun di luar
KUHP.
27 Pasal 84 angka 1 KUHAP berbunyi, “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala
perkara tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.”
28 Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana, (Airlangga
University Press, 2014).[36-37].
490 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

hak-hak yang diakui dalam ICCPR tersebut bagi semua orang yang berada dalam
wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal usul
kebangsaan atau
sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
Pengadilan Tual memutuskan 8 (delapan) orang terdakwa bersalah atas
perdagangan manusia di Benjina yang terdiri dari 5 (lima) orang
berkewarganegaraan Thailand dan 3 (tiga) orang berkewarganegaraan Indonesia.
Untuk 5 (lima) orang yang berkewarganegaraan Thailand, mereka dinyatakan
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah dikarenakan telah
melakukan tindakan yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU TPPO. Oleh
karena tindakan tersebut dapat dibuktikan dalam persidangan, pada tanggal 10
Maret 2016, hakim yang menangani
perkara telah menjatuhkan putusan kepada 5 (lima) warga negara Thailand dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 160.000.000,-
(seratus enam puluh juta) subsidair pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
Sedangkan untuk 3 (tiga) orang yang berkewarganegaraan Indonesia
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah
dikarenakan telah melakukan tindakan yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (2)
jo. Pasal 10 UU TPPO. Oleh karena tindakan tersebut dapat dibuktikan dalam
persidangan, pada tanggal 10 Maret 2016, hakim yang menangani perkara telah
menjatuhkan putusan kepada 3 (tiga) orang terdakwa ini dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 160.000.000,- (seratus enam
puluh juta) subsidair pidana
kurungan selama 2 (dua) bulan.
Contoh kasus lainnya, yaitu Kasus Supriyanto, ABK asal Indonesia yang
meninggal setelah dihajar oleh kapten kapal, kepala teknisi kapal serta 2 (dua)
ABK asal Indonesia lainnya, bernama Agus dan Munawir. Namun, Agus dan
Munawir ikut menghajar Supriyanto karena mendapat paksaan dari kapten kapal.
Berdasarkan bukti video yang ada, Supriyanto meninggal pada tanggal 25 Agustus
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 491

2015 ketika Kapal Fu Tzu Chun milik Taiwan berlayar di tengah Samudera
Pasifik,
raturan kilometer di selatan Mikronesia.
Banyak ABK yang bekerja di Taiwan yang menerima perlakuan buruk
selama melakukan pekerjaannya. Hal tersebut disebabkan mereka datang hanya
berbekal dengan visa pendatang yang berlaku selama 7 (tujuh) hari sehingga
mereka tidak tercatat sebagai ABK yang resmi bekerja di Taiwan dan tidak
terekam dalam daftar tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dalam kondisi seperti
ini, menurut kamus pelaut, ABK yang tidak tercatat sebagai pelaut disebut “ABK
LG” yang merupakan kependekan dari Letter of Guarantee. Sedangkan untuk
ABK yang tercatat sebagai
pelaut disebut “ABK Lokal”.29
Dalam rangka menangani Kasus Supriyanto, Kejaksaan Kota Pingtung
di Taiwan telah menyelidi kasus tersebut. Namun, kasus tersebut ditutup karena
kurangnya bukti yang menunjukkan bahwa Supriyanto meninggal karena
penganiayaan. Hasil autopsi pada tubuh Supriyanto menunjukkan bahwa
kematiannya dikarenakan sakit yang dipicu infeksi pada luka yang menganga di
lututnya.30 Menanggapi hasil penyelidikan Kejaksaan Kota Pingtung, Control
Yuan, yang merupakan badan pengawas Pemerintah Taiwan, melakukan
investigasi mendalam terhadap kasus kematian Supriyanto ini. Hasil investigasi
tersebut menunjukkan bahwa Kejaksaan Kota Pingtung telah ceroboh
menyimpulkan hasil autopsi Supriyanto. Tim forensik yang dikerahkan Control
Yuan menemukan bekas-bekas penyiksaan pada jasad Supriyanto. Kejaksaan
Kota Pingtung juga dinilai telah lalai karena tidak menggunakan 3 (tiga) rekaman
video yang direkam Mualip sebagai bukti adanya kekerasan yang dilakukan oleh
Kapten Kapal dan Kepala Teknisi Kapal. Selain itu, penerjemah dari Kejaksaan
Kota Pingtung tidak memahami percakapan bahasa Jawa dalam ketiga video.

29 Tempo, ‘Budak Indonesia di Kapal Taiwan’, (2017)


Investigasi.[50].
30 The Reporter, ‘Bersama Menyingkap Gelap’, (2017)
Investigasi.[55].
492 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

Sehingga penerjemah tersebut menghilangkan 10 (sepuluh) kalimat, termasuk


pengakuan Supriyanto mengenai penganiayaan oleh kapten, kepala teknisi kapal
dan ABK lain terhadap dirinya. Akhirnya, kasus Supriyanto ini dibuka kembali
oleh Kejaksaan Kota Pingtung, Pemerintah Taiwan juga memberi respon positif
terhadap kasus kematian Supriyanto ini, yaitu menyatakan akan membuat regulasi
yang ditujukan untuk mengakhiri eksploitasi terhadap ABK ikan dari negara lain.31

Analisis Tiga Peraturan Menteri Kelautan dan


Perikanan Republik Indonesia
Indonesia telah memiliki berbagai peraturan perundang-undangan yang
secara umum mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia bagi para
pekerja, antara lain UUD NRI Tahun 1945, UU HAM dan UU Ketenagakerjaan.
Namun
pada kenyataannya, aturan tersebut masih belum cukup untuk melindungi hak
asasi manusia bagi para pekerja, khususnya bagi pekerja di sektor industri
perikanan. Oleh karena itu, dibentuklah 3 (tiga) Peraturan Menteri oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, antara lain PERMEN
KP HAM Perikanan, PERMEN KP PKL dan PERMEN KP Persyaratan dan
Mekanisme Sertifikasi HAM Perikanan.
Tiga PERMEN KP tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah berusaha
mengatur tentang perlindungan hak asasi manusia bagi seluruh Awak Kapal
Perikanan. Pertama, PERMEN KP HAM Perikanan mewajibkan setiap
pengusaha perikanan untuk melaksanakan Sistem HAM Perikanan dan memiliki
Sertifikat HAM Perikanan dalam rangka menghormati hak asasi manusia para
pihak yang terkait dengan kegiatan usaha perikanan dan masyarakat sekitar.
Dalam ketentuan mengenai pelaksanaan Sistem HAM Perikanan tersebut juga
telah mencakup Kebijakan HAM, Uji Tuntas HAM dan Pemulihan HAM, maka
dapat dikatakan bahwa PERMEN KP HAM Perikanan tersebut telah mengadopsi
ketentuan dari UNGP, antara lain :

31 ibid.
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 493

1. Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b PERMEN KP HAM Perikanan sesuai dengan
Guiding Principles. Berdasarkan Pasal 3 tersebut, PERMEN KP HAM
Perikanan dinyatakan berlaku bagi setiap orang, baik warga negara Indonesia
maupun negara asing, termasuk pengusaha perikanan yang melakukan kegiatan
usaha perikanan di WPPNRI dan setiap kapal perikanan berbendera Indonesia
yang melakukan kegiatan perikanan di WPPNRI, serta kapal pengangkut ikan
berbendera asing yang melakukan kegiatan perikanan di WPPNRI. Maka dapat
dikatakan bahwa Indonesia telah berusaha melindungi penegakan hak asasi
manusia di territorial dan/atau yurisdiksinya dari pelanggaran hak asasi
manusia yang dilakukan oleh
pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah pengusaha perikanan;32

2. Pasal 12 PERMEN KP HAM Perikanan yang mengatur mengenai penerapan


sanksi administratif berupa pembekuan hingga pencabutan surat izin usaha
tertentu apabila pengusaha perikanan yang bersangkutan tidak memiliki
Sertifikat HAM Perikanan maupun telah memiliki Sertifikat HAM Perikanan
namun melakukan pelanggaran kriteria Kepatuhan HAM. Pengaturan ini sesuai
dengan Guiding Principles dalam UNGP yang menyatakan bahwa negara juga
mengharuskan perusahaan untuk turut serta menghormati hak asasi manusia;
3. Pasal 4 PERMEN KP HAM Perikanan yang mewajibkan setiap pengusaha
perikanan untuk melaksanakan Sistem HAM Perikanan, yang meliputi
Kebijakan HAM, Uji Tuntas HAM dan Pemulihan HAM. Isi dari Pasal ini
dapat dikatakan telah mengadopsi ketentuan Guiding Principles dalam UNGP
yang menyatakan bahwa Negara wajib menciptakan pengaturan yang
memfasilitasi penghormatan bisnis untuk hak asasi manusia dan memberikan
bimbingan atau panduan yang efektif kepada perusahaan tentang bagaimana
cara menghormati hak asasi manusia dalam pelaksanaan operasi bisnis mereka.

32 M. Rizqy Darulzain, H. M. Kabul Supriyadhie dan


Rahayu, ‘Penerapan Foundational Principles of The State
Duty to Protect Human Rights dalam United Nations Guiding
Principles on Business and Human Rights (UNGP)’, (2017) 6
Diponegoro Law Journal.[9].
494 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

Kedua, PERMEN KP PKL dibentuk berdasarkan amanat Pasal 5 ayat (2)


huruf c PERMEN KP HAM Perikanan, maka dapat dikatakan bahwa UNGP juga
merupakan ruh/jiwa dalam pembentukan PERMEN KP PKL ini. Keberadaan dari
PKL melengkapi Sistem dan Sertifikasi HAM Perikanan sebagai upaya
pencegahan modern slavery dalam industri perikanan. Isi dari PKL yang
setidaknya memuat kesepakatan mengenai persyaratan kerja, jaminan kelayakan
kerja, jaminan upah, jaminan kesehatan, jaminan asuransi kecelakaan dan
musibah, jaminan keamanan serta jaminan hukum yang mengacu pada ketentuan
perundang-undangan diharapkan
dapat melindungi ABK Perikanan dari perbuatan pelanggaran hak asasi manusia.
Ketiga, PERMEN KP Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM
Perikanan yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 9 ayat (5) PERMEN KP HAM
Perikanan ini bersifat lebih prosedural. Keberadaan PERMEN ini dirasa sangat
penting dikarenakan di dalamnya mengatur tentang prosedur pengajuan Sertifikasi
HAM Perikanan. Mengingat bahwa pengusaha perikanan dapat dikenai sanksi
administratif berupa pembekuan hingga pencabutan Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan.atau Surat Izin Kapal Pengangkut
Ikan (SIKPI) juga rekomendasi pencabutan izin penggunaan tenaga kerja kepada
Kementrian Ketenagakerjaan RI apabila tidak memiliki Sertifikat HAM Perikanan
atau melanggar kriteria Kepatuham HAM.
Berdasarkan 3 (tiga) PERMEN KP tersebut, dapat diketahui bahwa Menteri
memiliki kewenangan yang sangat kuat, antara lain :
1. Kewenangan untuk menerbitkan Sertifikat HAM Perikanan;33
2. Kewenangan untuk membentuk Tim HAM Perikanan;34 dan
3. Kewenangan untuk melakukan pelatihan pelaksanaan Sistem HAM Perikanan
dan Sertifikasi HAM Perikanan.35

33 Pasal 8 ayat (2) PERMEN KP HAM Perikanan.


34 Pasal 9 ayat (1) PERMEN KP HAM Perikanan.
35 Pasal 10 ayat (1) PERMEN KP HAM Perikanan.
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 495

Namun dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, Menteri dapat


melimpahkannya kepada Tim HAM Perikanan, sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 9 ayat (4) PERMEN KP HAM Perikanan
Untuk ketentuan mengenai sanksi administratif, hanya diatur dalam 2 (dua)
PERMEN saja, yaitu PERMEN KP HAM Perikanan dan PERMEN KP PKL.
Dalam PERMEN KP HAM Perikanan maupun PERMEN KP PKL sama-sama
mengatur mengenai sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan surat
izin tertentu. Hal tersebut dikarenakan bahwa dalam masalah perlindungan hak
asasi manusia, kewenangan Menteri memang terbatas. Sedangkan untuk sanksi
pidana dapat menggunakan peraturan perundang-undangan lain yang lebih bersifat
khusus, seperti dalam Kasus Benjina, para terdakwa dihukum berdasarkan
ketentuan yang dimuat dalam UU TPPO. Sedangkan dalam PERMEN KP
Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM Perikanan tidak diatur mengenai
sanksi administratif, namun didalamnya diatur mengenai partisipasi masyarakat,
yaitu bahwa masyarakat dapat menyampaikan keluhan terkait proses pelaksanaan
Sistem HAM Perikanan.
Tiga Peraturan Menteri yang diterbitkan oleh Kementrian Kelautan dan
Perikanan tersebut memiliki kelebihan, bahwa peraturan tersebut merupakan
aturan pertama yang dimiliki Indonesia dalam rangka melindungi hak asasi
manusia dalam sektor industri perikanan. Selain itu, aturan-aturan di dalamnya
telah mengadopsi ketentuan UNGP yang menegaskan adanya indikasi bahwa
korporasi juga termasuk sebagai pelanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu,
terutama dalam era globalisasi
seperti sekarang ini diperlukan suatu aturan yang menjembatani antara
kepentingan bisnis dan kepentingan hak asasi manusia agar pelanggaran hak asasi
manusia yang
diakibatkan dan melibatkan korporasi dapat diminimalisir.
Selain memiliki kelebihan, tiga Peraturan Menteri yang diterbitkan oleh
Kementrian Kelautan dan Perikanan tersebut pasti juga memiliki kekurangan.
Pertama, masih ditemukannya ketidak-konsistenan mengenai peristilahan yang
digunakan. Berdasarkan UU Pelayaran, Awak Kapal terdiri dari Nahkoda dan
496 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

ABK.36 Hal tersebut sebenarnya juga dianut oleh 3 (tiga) PERMEN KP. Namun
hanya saja, dalam 3 (tiga) PERMEN KP tersebut tidak menggunakan istilah
“ABK”, melainkan menggunakan istilah “Pekerja”. Melihat adanya ketidak-
konsistenan tersebut, mengacu pada teori Lex Superior Derogat Legi Inferiori dan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, maka seharusnya digunakan istilah “ABK”
dibandingkan
menggunakan istilah “Pekerja”.
Kedua, aturan-aturan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
dapat diterapkan. Hal tersebut dapat diketahui apabila melihat kapan
diundangkannya PERMEN KP HAM Perikanan dan PERMEN KP Persyaratan
dan Mekanisme Sertifikasi HAM Perikanan. PERMEN KP HAM Perikanan yang
secara garis besar mengatur tentang Sistem dan Sertifikasi HAM Perikanan
diundangkan pada tanggal 10 Desember 2015, sedangkan PERMEN KP
Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM Perikanan yang mengatur mengenai
prosedur dan tata cara Sertifikasi HAM Perikanan diundangkan pada tanggal 23
Januari 2017, namun baru berlaku setelah 6 (bulan) diundangkan atau setidak-
tidaknya pada tanggal 23 Juli 2017.
Ketiga, dalam PERMEN KP PKL kurang menegaskan terkait yurisdiksi
Indonesia untuk menerapkan hukumnya, terutama terkait ABK Indonesia.
Misalnya, mengenai bagaimana cara pemerintah Indonesia menerapkan hukumnya
apabila ABK Perikanan Indonesia yang bekerja di kapal perikanan berbendera
asing dan beroperasi di negara lain mengalami pelanggaran hak asasi manusia,
padahal Negara wajib bertanggung jawab terhadap perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi warga negaranya sesuai yang
diamanatkan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu,
mengingat Negara Indonesia yang memiliki komitmen untuk menegakkan hak
asasi manusia, sebaiknya juga diperlukan untuk melakukan perjanjian bilateral
maupun multilateral dalam mempekerjakan ABK Perikanan sehingga dapat
36 Pasal 1 angka 40 dan Pasal 1 angka 41 UU
Pelayaran.
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 497

melindungi hak-hak yang dimiliki ABK Perikanan tersebut, baik saat bekerja di
kapal berbendera Indonesia/berbendera asing yang beroperasi di WPPNRI, laut
lepas maupun perairan negara lain.

Kesimpulan
Modern slavery adalah pelaku perbudakan tidak merasa memiliki korban
perbudakan, namun pelaku perbudakan melakukan eksploitasi dan
memperlakukan korban perbudakan dengan kejam, tidak manusiawi dan
sewenang-wenang demi kepentingan pelaku perbudakan tanpa adanya kebebasan
untuk melepaskan diri. Dalam perkembangannya, slavery bukanlah lagi hanya
sebatas pada perdagangan budak, namun telah berubah menjadi beberapa bentuk,
antara lain perdagangan orang, kerja paksa, kerja terikat, perbudakan anak,
perkawinan dini/perkawinan paksa dan perbudakan berdasarkan keturunan. Dari
beberapa bentuk tersebut, bentuk modern slavery yang sering terjadi pada ABK
Perikanan adalah perdagangan orang dan kerja
paksa. Meskipun sama-sama memperlakukan korban perbudakan dengan kejam,
tidak manusiawi dan sewenang-wenang, modern slavery dengan slavery memiliki
perbedaan yang terletak pada cara atau modus yang digunakan dan rasa memiliki
atas orang lain. Berdasarkan perspektif hukum hak asasi manusia internasional
maupun nasional, modern slavery merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak
asasi manusia. Dapat dilihat pada Pasal 7 dan Pasal 8 ICCPR serta Pasal 28G dan
Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap
orang memiliki hak atas martabat, rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Sehingga, setiap orang sejatinya tidak dapat diperbudak, disiksa atau mendapat
perlakuan keji lainnya yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Kemudian, dengan diundangkan 3 (tiga) Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan yang telah dibahas sebelumnya menunjukkan bahwa Pemerintah
Indonesia telah berupaya mengatur perlindungan hak asasi manusia bagi seluruh
Awak Kapal Perikanan yang berupa pengaturan tentang kewajiban pengusaha
498 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

perikanan untuk turut serta melakukan penghormatan hak asasi manusia dalam
menjalankan usahanya dengan menerapkan Sistem HAM Perikanan, memiliki
Sertifikat HAM Perikanan, dan membuat PKL dalam menanggapi permasalahan
hak asasi manusia yang terjadi dalam industri perikanan, terutama pasca terjadinya
Kasus Benjina dan Kasus Supriyanto. Namun, hendaknya kedudukan ketiga
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut diperkuat ke dalam
perundang-undangan yang lebih tinggi, dikarenakan berkaitan dengan pengaturan
perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, dikarenakan kurangnya pengaturan
mengenai yurisdiksi Negara Indonesia dalam PERMEN KP PKL, maka
diperlukan pengaturan mengenai perjanjian bilateral maupun multilateral dalam
hal mempekerjakan ABK perikanan sehingga dapat melindungi hak-hak yang
dimiliki ABK perikanan tersebut, baik saat bekerja di kapal berbendera
Indonesia/berbendera asing yang beroperasi di WPPNRI, laut lepas maupun
perairan negara lain.

Daftar Bacaan
Buku
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka
(Pustaka Utama Grafiti 1994).

Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana (Airlangga University Press 2014)

Modul
Associated Press, ‘Are Slaves Catching The Fish You Buy?’, (2015) AP
Investigation.

Laman/Media Online
Anti Slavery, ‘What is Modern Slavery?’ (Anti-Slavery International, 2018)
<https://www.antislavery.org/slavery-today/modern-slavery/> diakes 23
September 2018.

Elisa Valenta Sari, ‘Benjina, Kisah Perbudakan Ratusan Nelayan di Timur


Indonesia’, (CNN Indonesia, 2015) <https://www.cnnindonesia.com/
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 499

ekonomi/20150407155215-92-44823/benjina-kisah-perbudakan-
ratusannelayan-di-timur-indonesia> diakses 6 Agustus 2018.

Fiki Ariyanti, ‘Menteri Susi Gambarkan Pelanggaran HAM yang Banyak


Menimpa ABK RI’, (Liputan 6, 2017) <https://www.liputan6.com/bisnis/
read/2835655/menteri-susi-gambarkan-pelanggaran-ham-yang-
banyakmenimpa-abk-ri> diakses 5 Agustus 2018.

Global Slavery Index, ‘Country Data of Indonesia’, (Global Slavery Index 2018)
<https://www.globalslaveryindex.org/2018/data/country-data/indonesia/>
diakses 23 September 2018.

Kumparan NEWS, ‘Begini Temuan Praktik Perbudakan ABK Indonesia’,


(Kumparan, 2015) <https://kumparan.com/@kumparannews/beginitemuan-
praktik-perbudakan-abk-indonesia> diakses 5 Agustus 2018.

Lidya Kembaren, ‘Sampai Agustus 2018, Menteri Susi Tenggelamkan 125 Kapal’,
(CNBC Indonesia, 2018) <https://www.cnbcindonesia.com/
news/20180821124049-4-29555/sampai-agustus-2018-menteri-
susitenggelamkan-125-kapal> diakses 7 Desember 2018.

PresidenRI.go.id, ‘Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia’, (PresidenRI.go.id,


2015) <http://presidenri.go.id/berita-aktual/indonesia-sebagai-porosmaritim-
dunia.html. diakses 06 Januari 2019.
Sabrina Asril, ‘Tangani Kasus Perbudakan di Benjina Maluku, Jokowi Bentuk
Tim Gabungan’. (Nasional Kompas, 2015) <https://nasional.kompas.com/
read/2015/04/07/19103111/Tangani.Kasus.Perbudakan.di.Benjina.Maluku.
Jokowi.Bentuk.Tim.Gabungan> diakses 26 November 2018.

Tempo.co, ‘Pembunuhan ABK Indonesia Supriyanto akan Diselidiki Ulang’,


(Tempo, 2017) <https://nasional.tempo.co/read/834700/pembunuhanabk-
indonesia-supriyanto-akan-diselidiki-ulang/full&view=ok> diakses 9
Agustus 2018.

Jurnal
Ramona Elisabeta CÎRLIG, ‘Business and Human Rights : From Soft Law to
Hard Law’, (2016) 6 Juridical Tribune.

M. Rizqy Darulzain, H. M. Kabul Supriyadhie, dan Rahayu, ‘Penerapan


Foundational Principles of The State Duty to Protect Human Rights dalam
United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights
(UNGP)’, (2017) 6 Diponegoro Law Journal.
500 Indah Prisnasari: Modern Slavery Pada

Savira Dhanika Hardianti,, ‘Modern Slavery in Indonesia : Between Norms and


Implementation’, (2015) 2 Brawijaya Law Journal.

Maslihati Nur Hidayati, ‘Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan


Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif di Indonesia’,
(2012) 1 Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial.

Simela Victor Muhamad, ‘Illegal Fishing di Perairan Indonesia : Permasalahan


dan Upaya Penanganannya Secara Bilateral di Kawasan’, (2012) 3 Politica.

Mu’jizah, ‘Menyingkap Sejarah Perbudakan dalam Manuskrip Indonesia : Surat


Raja Tanette’, (2014) 7 Metasastra.

Endah Artika Noerilita dan Saiman Pakpahan, ‘Peran Walk Free Foundation
dalam Mengatasi Modern Slavery di Mauritania’, (2016) 3 International
Society.

Iman Prihandono, ‘Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia’,


(2015) ELSAM.

Majalah
Tempo, ‘Budak Indonesia di Kapal Taiwan’, (2017) Investigasi.

The Reporter, ‘Bersama Menyingkap Gelap’, (2017) Investigasi.

Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886).

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026).

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720).
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 35/
PERMEN-KP/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada
Usaha Perikanan.
Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019 501

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 42/


PERMEN-KP/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal
Perikanan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/


PERMEN-KP/2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak
Asasi Manusia Perikanan.

Deklarasi/Konvensi Internasional
ILO Convention No. 29 Concerning of Forced or Compulsory Labour 1930.

Universal Declaration of Human Rights 1948.

ILO Convention No. 105 Concerning The Abolition of Forced Labour 1957.

International Covenant on Civil and Political Rights 1966.

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966.

The Rome Statute of The International Criminal Court 1998.

Maritime Labour Convention 2006.

United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights 2011.

HOW TO CITE: Indah Prisnasari, ‘Modern Slavery Pada Anak Buah Kapal (Abk) Perikanan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia’ (2019)
Vol. 2 No. 2 Jurist-Diction
--halaman ini sengaja dibiarkan
kosong--

Anda mungkin juga menyukai