Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN VICTIMOLOGI PERBUDAKAN ANAK BUAH KAPAL PADA

KAPAL PENANGKAP IKAN BERBENDERA ASING

Yuda Prasetya
yudaprasetya24@students.unnes.ac.id

Abstak
Perbudakan adalah pelaku perbudakan tidak merasa memiliki korban perbudakan,
namun pelaku perbudakan melakukan eksploitasi dan memperlakukan korban
perbudakan dengan kejam, tidak manusiawi dan sewenang-wenang demi
kepentingan pelaku perbudakan tanpa adanya kebebasan untuk melepaskan diri.
Perbudakan yang sering terjadi adalah pada ABK Perikanan yaitu perdagangan
orang dan kerja paksa. Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan
Perikanan Tangkap bertujuan memastikan awak kapal perikanan tangkap
mempunyai kondisi kerja yang layak di kapal penangkap ikan. Undang-Undang
(UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Undang-undang ini mengatur secara khusus proses rekrutmen, penempatan,
perlindungan selama bekerja dan setelah bekerja bagi pekerja migran. Namun, UU
ini berlaku umum dan membutuhkan aturan turunan yang dikhususkan bagi ABK.

Kata Kunci : Perbudakan, Pekerja, Pelaut, Anak Buah Kapal, Perikanan

Pendahuluan
Pertumbuhan penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami kenaikan.
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 2015 jumlah penduduk
Indonesia pada 2019 diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa. Menurut jenis
kelamin, jumlah tersebut terdiri atas 134 juta jiwa laki-laki dan 132,89 juta jiwa
perempuan. Indonesia saat ini sedang menikmati masa bonus demografi di mana
jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dari usia tidak produktif, yakni lebih
dari 68% dari total populasi. 1
Laju pertumbuhan manusia yang sangat pesat akhirnya akan berdampak
pada peningkatan angkatan kerja di Indonesia. Apabila lapangan pekerjaan tidak
sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk maka akan menyebabkan masalah
sosial yaitu pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah
pengangguran di Indonesia bertambah menjadi 6,88 juta orang pada Februari
2020. Angka ini naik 60.000 orang 0,06 juta orang dibanding periode yang sama
tahun lalu.2
Akibat dari sulitnya mencari pekerjaan, banyak warga Indonesia yang
akhirnya memutuskan untuk menjadi tenaga migran di luar negeri. Pada era
globalisasi, penduduk dunia bergerak meninggalkan tanah airnya menuju negara
lain yang menawarkan pekerjaan dengan upah yang jauh lebih tinggi dari pada
lapangan pekerjaan yang ada di negara asalnya. Pergerakan tenaga kerja ini
biasanya dilakukan oleh tenaga kerja dari negara berkembang menuju negara
1
Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2018,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/04/jumlah-penduduk-indonesia-2019-
mencapai-267-juta-jiwa (Diakses pada tanggal 19 Juni 2020).
2
Giri Hartomo, 2020, 5 Fakta Terbaru soal Pengangguran di Indonesia, Jumlahnya Naik Jadi 6,8
Juta Orang, https://economy.okezone.com/read/2020/05/08/320/2211090/5-fakta-terbaru-soal-
pengangguran-di-indonesia-jumlahnya-naik-jadi-6-8-juta-orang#
maju. Dalam hal ini banyak warga negara Indonesia menjadi pekerja rumah
tangga (wanita lebih mendominasi), dan banyak pula yang menjadi anak buah
kapal baik di laut Indonesia atau pun di laut lepas. Di kapal yang memanfaatkan
kekayaan laut dari sektor ekonomi, transportasi maupun pariwisata.
Indonesia adalah salah satu negara dengan pemasok tenaga kerja sebagai
anak buah kapal (ABK) ke berbagai negara. Menurut data Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tenaga kerja
Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing berturut-turut pada tahun 2011
sebanyak 4.371 orang, 2012 sebnyak 5.123 orang, 2013 sebanyak 5.559, 2014
sebanyak 4.810 orang, dan tahun 2015 (hingga Februari) sebanyak 5.116 orang
telah di tempatkan bekerja di kapal berbendera asing di luar negeri dari 30 negara
di dunia.3 Berbagai permasalahan sering dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia
yang bekerja di kapal perikanan asing yang terjadi pada saat pra penempatan,
selama penempatan, dan purna penempatan.
Sejak tahun 2005 sampai tahun 2015 telah banyak terjadi berbagai kasus
yang dialami oleh para Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia bidang perikanan
yang bekerja di kapal perikanan Asing. Menurut catatan buruh migran persoalan
yang dialami oleh ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal asing 92% dialami
oleh ABK yang bekerja di kapal ikan dan hanya 8% dialami oleh mereka yang
bekerja di kapal niaga.4 Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
( BP2MI) Benny Ramdhani menjelaskan bahwa terdapat 411 aduan dari anak
buah kapal Indonesia. Data tersebut diterima dari tahun 2018 hingga 13 Mei
2020.5 Kasus-kasus yang sering menimpa ABK indonesia ini diantaranya:
kecelakaan, perkelahian, perdagangan manusia, disharmonisasi dengan kapten
kapal, tidak terpenuhinya hak-hak, dan terjadi tindak kekerasan.
Praktik pelanggaran hak asasi manusia yang sering menimpa para ABK
adalah perdagangan orang dan eksploitasi kerja. Pada bulan Maret tahun 2015
telah ditemukan kasus perbudakan nelayan di Benjina. ABK asing yang berjumlah
322 6orang ditemukan terdampar dalam kondisi memprihatinkan di areal pabrik
milik PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku
(yang selanjutnya disebut dengan Kasus Benjina). Diduga, mereka menjadi
korban kerja paksa oleh perusahaan perikanan berbendera Thailand di wilayah
Indonesia.
Kasus yang baru baru saja terjadi yaitu pada bulan Mei 2020, terjadi
tindakan ekploitasi di salah satu kapal ikan Long Xing 629 yang berasal dari
China. Kapal tersebut mempekerjakan tenaga kerja Indonesia dengan tidak
3
Imam Bukhori, 2014, BNP2TKI-HNSI Tandatangani MoU Peningkatan Kompetensi TKI Pelaut
Perikanan, dimuat di website resmi BNP2TKI http://www.bnp2tki.go.id/beritamainmenu-
231/9772-bnp2tki-hnsi-tandatangani-mou-peningkatan-kompetensi-tki-pelaut-perikanan.html dan
http://www.kompasiana.com/ik2mi/nasib-pelaut-perikanan-indonesia-di-luar-negerisangat-
menyedihkan_560b869a337b61de0567bd64
4
Nasib Pelaut Perikanan Indonesia di luar negeri sangat menyedihkan, dimuat dalam situs resmi
kompasiana http://www.kompasiana.com/ik2mi/nasib-pelaut-perikanan-indonesia-di-luarnegeri-
sangat-menyedihkan_560b869a337b61de0567bd64
5
Devina Halim, 2020, "BP2MI Berencana Serahkan 411 Aduan ABK ke Polri",
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/14/20420621/bp2mi-berencana-serahkan-411-aduan-
abk-ke-polri.
6
Elisa Valenta Sari, ‘Benjina, Kisah Perbudakan Ratusan Nelayan di Timur Indonesia’,
(CNN Indonesia, 2015) https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150407155215-92-44823/
benjina-kisah-perbudakan-ratusan-nelayan-di-timur-indonesia
manusiawi. Tenaga kerja Indonesia tersebut mengaku digaji dengan nominal yang
tidak sesuai dengan perjanjian bahkan ada yang tidak mendapatkan gaji. Mereka
bekerja selama lebih dari 18 jam sehari dan tanpa istirahat tentu saja ini tidak
manusiawi bahkan ketika tangkapan melimpah mereka bekerja 48 jam non-stop
tanpa istirahat. DNT Lawyers, kuasa hukum WNI yang menjadi ABK di kapal
nelayan berbendera China, Long Xing 629, menduga seluruh kliennya
dieksploitasi selama bekerja di sana. Selain itu, mereka juga menduga seluruh
WNI tersebut merupakan korban perdagangan orang.7 Anak buah kapal yang
berasal dari Indonesia diberikan air minum berupa air sulingan dari air laut yang
masih sangat asin yang tentu saja akan memeperngaruhi kesehatan mereka.
Puncak dari kasus ini yaitu, viralnya video yang merekam aksi pelarungan jenazah
anak buah kapal Indonesia ke laut. Korban meninggal yang dilarung ke laut ada 3
orang dan 1 jenazah yang meninggal di rumah sakit di Busan, Korea Selatan.
Sementara itu pemerintah Indonesia berhasil memulangkan 14 TKI dan 1 jenazah
yang meninggal di Korea Selatan.
Manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa untuk berinteraksi sosial
dengan sesamanya. Dengan interaksi ini maka akan timbul dan tercipta beberapa
bentuk pola perilaku manusia di dalam masyarakat. Pola perilaku tersebut ada
yang baik dan ada juga yang menyimpang dari norma-norma atau kaedah-kaedah
yang telah disepakati dan ditetapkan sebagai pedoman pergaulan hidup.
Penyimpangan terhadapat norma dan kaedah tersebut akan menimbulkan
suatu kejahatan yang berakibat juga pada timbulnya korban. Masalah korban
kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya
dan pada korban/pihak korban kejahatan pada khususnya (orang dewasa, anak).8
Korban adalah pihak yang mengalami kerugian baik materil maupun
immateril, jasmaniah ataupun rohaniah sebagai akibat suatu tindakan yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain demi suatu kepentingan yang
bertentangan dengan hukum. Korban tidaklah hanya merupakan sebab dan dasar
proses terjadinya kejahatan tetapi memainkan peranan penting dalam mencari
kebenaran materil yang dikehendaki hukum pidana materil. Korban juga
merupakan elemen penting dalam berlangsungnya suatu pembuktian hukum
sebagai saksi korban atau pelapor. Seperti halnya dengan masalah kejahatan
perbudakan.
Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap para korban kejahatan
suatu masyarakat merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan dan
pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut. Ini berarti juga bahwa
citra mengenai sesama manusia dalam masyarakat tersebut masih belum
memuaskan dan perlu disempurnakan demi pembangunan manusia seutuhnya.
Dalam rangka pelaksanaannya, diperlukan adanya dasar-dasar pemikiran yang
mendukung pelayanan terhadap korban kejahatan. Maka, mutlak bagi kita untuk
juga memahami dan mengembangkan viktimologi yang dapat memberikan dasar
pemikiran untuk dapat memahami masalah penimbulan korban kejahatan serta
penanggulangan permasalahannya secara rasional, bertanggung jawab, dan

7
Kumparan News, 2020, Perbudakan ABK WNI di Kapal Long Xing 629, diakses melalui
https://kumparan.com/kumparannews/perbudakan-abk-wni-di-kapal-long-xing-629-
1tOHAw6b4Rf/full
8
Ibrahim, I. A. (2013). Tinjauan Viktimologis Terhadap Kejahatan Perdagangan Orang (Human
Trafficking) Di Kota Bandung (Doctoral Dissertation).
bermanfaat. Terdapat tiga tujuan Viktimologi antara lain: (1) to analyze the
manifold aspect of the victim’s problem; (2) to explain the causes for
victimization; (3) to develop a system of measures for reducing human suffering.9
Pembahasan
Kejahatan perbudakan telah berlangsung sejak beribu-ribu tahun yang lalu,
termasuk di Indonesia. Menurut Lizzy van Leeuwen, praktik perdagangan budak
di Indonesia dimulai pada saat Jan Pieterzoon Coen yang menguasai perkebunan
pala di Pulau Banda mempraktikkan perbudakan dengan membeli budak dari
pulau tersebut.10 Pada masa itu, perbudakan menjadi bagian dari sistem sosial dan
menduduki posisi stratifikasi terendah, yaitu di bawah rakyat jelata yang tinggal di
pedesaan. Hal tersebut dikarenakan mereka memberi arti bahwa budak merupakan
segolongan manusia yang kebebasan hidupnya dirampas untuk bekerja demi
kepentingan dan keuntungan golongan manusia lain atau yang biasa disebut
dengan tuan/majikan/penguasa.11
Perdaganagn budak mulai dihapuskan pada akhir abad ke 18 dengan motif
kepedulian manusia. Tonggak penghapusan perbudakan adalah disahkannya
Konvensi untuk Melenyapkan Perbudakan dan Perdagangan Budak 1926 oleh
Liga BangsaBangsa sebagai salah satu bentuk komitmen untuk melawan dan
menghapus perbudakan dalam tatanan kehidupan sosial.12 Pengesahan konvensi
tersebut didasarkan pada pandangan bahwa sekarang hak asasi manusia lebih
dipahami secara manusiawi sebagai hak-hak yang melekat dengan harkat dan
hakikat kemanusiaan, dengan mengesampingkan latar belakang ras, etnik, agama,
warna kulit, jenis kelamin, usia maupun pekerjaan. Namun fakta yang ada
mengatakan bahwa praktik perbudakan masih eksis hingga saat ini. Di Indonesia
sendiri, berdasarkan laporan dari Global Slavery Index 2018 mengungkapkan
setidaknya masih ada 1.220.000 warga Negara Indonesia yang terjebak dalam
praktik perbudakan.13
Pada era saat ini perbudakan sering disebut dengan modern slavery. idak
seperti perbudakan pada masa imperialisme dan kolonialisme yang dilakukan
secara kasar, kejam dan sewenang-wenang, praktik modern slavery dilakukan
dengan cara yang tidak terlihat oleh pelaku dan korbannya seperti yang terjadi
dalam industri perikanan, perkebunan, pertanian dan sebagainya.14 Arti dari
Modern slavery ialah bahwa seseorang yang satu memperlakukan seseorang yang
lain seperti properti miliknya dengan tujuan dieksploitasi demi kepentingan orang
yang melakukan perbudakan. Akibatnya adalah seorang budak tidak akan
melakukan sesuatu kecuali atas kehendak tuannya karena kemerdekaan atau

9
Wilian G. Doerner/Steven P.Lab, 1998, Victimology, Secon Edition, Anderson Publishing co,
page 9, dalam Iswanto dan Angkasa, 2009, Viktimologi, Purwokerto: Fakultas Hukum Unsoed,
hlm 15.
10
Lizzy van Leeuwen dalam Mu’jizah, ‘Menyingkap Sejarah Perbudakan dalam Manuskrip
Indonesia : Surat Raja Tanette’, (2014) 7 Metasastra.[69].
11
Mu’jizah, ‘Menyingkap Sejarah Perbudakan dalam Manuskrip Indonesia : Surat Raja Tanette’,
(2014) 7 Metasastra.[69].
12
Scott Davidson diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka, Hak Asasi Manusia, (Pustaka
Utama Grafiti 1994).[11].
13
Global Slavery Index, ‘Country Data of Indonesia’, (Global Slavery Index, 2018) <https://
www.globalslaveryindex.org/2018/data/country-data/indonesia/> diakses 23 September 2018.
14
Endah Artika Noerilita dan Saiman Pakpahan, ‘Peran Walk Free Foundation dalam Mengatas
Modern Slavery di Mauritania’(2016) 3 International Society.[22].
kebebasannya telah terampas. Yunan Nasution mengemukakan bahwa setidaknya
terdapat 3 (tiga) macam sistem baru modern slavery, yaitu Political Slavery
(perbudakan yang didasarkan pada kepentingan politik), Social Slavery
(perbudakan sosial, seperti perdagangan orang) dan Industrial Slavery
(perbudakan yang ditimbulkan oleh perkembangan dan kemajuan industri).
Menurut Anti-Slavery International, modern slavery memiliki arti bahwa
seseorang yang menjadi korban perbudakan bukan tentang dimiliki oleh orang
lain, tetapi lebih mengarah untuk dieksploitasi dan dikontrol oleh orang lain tanpa
dapat melepaskan diri. Seseorang dikatakan sedang dalam perbudakan apabila :15
1. Dipaksa untuk bekerja, baik melalui paksaan, ancaman mental atau fisik;
2. Dimiliki atau dikendalikan oleh majikan, baik melalui ancaman pelecehan,
pelecehan mental atau fisik;
3. Diperlakukan tidak manusiawi, seperti diperlakukan sebagai komoditas,
dibeli dan dijual sebagai properti;
4. Tidak memiliki kebebasan untuk bergerak.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara slavery dengan modern slavery.
Persamaannya terdapat pada cara majikan memperlakukan pihak yang lain, yaitu
sama-sama memperlakukan orang lain dengan kejam atau tidak manusiawi.
Sedangkan perbedaannya terdapat pada cara atau modus perbudakan yang
digunakan dan rasa memiliki atas orang lain. Apabila slavery, cara atau modus
perbudakan hanya dilakukan secara sederhana saja, misal jual beli budak. Oleh
karena itu, pihak yang membeli budak (majikan) merasa memiliki budak yang
telah dibelinya sehingga pihak majikan memperlakukan budak tersebut seperti
properti miliknya. Sedangkan dalam modern slavery, cara atau modus yang
digunakan lebih sistematis dan bermacam-macam sehingga tidak terlihat,
misalnya dalam proses perekrutan ABK Perikanan disertai dengan penipuan oleh
agen penyalur tenaga kerja dan pengusaha perikanan, seperti yang terjadi pada
Kasus Benjina.16 Dikarenakan tidak dilakukan dengan cara atau modus jual beli,
pihak majikan tidak merasa memiliki pihak yang lain, namun pihak majikan
melakukan pengeksploitasian terhadap pihak yang lain demi kepentingan dan
keuntungan dirinya sendiri.
Modern slavery dikatakan tidak terlihat sebab kedua belah pihak tidak
merasa atau tidak sadar bahwa kegiatan yang dilakukan tersebut termasuk dalam
kategori perbudakan. Bentuk-bentuk dari modern slavery, antara lain :17

1. Human trafficking (perdagangan orang), merupakan runtutan peristiwa


yang didalamnya melibatkan pengangkutan, perektrutan atau
penyembunyian orang untuk tujuan eksploitasi dengan menggunakan
kekerasan, ancaman atau paksaan.
2. Forced labour (kerja paksa), merupakan pemaksaan terhadap orang lain
untuk melakukan suatu pekerjaan atau layanan apapun dengan ancaman
beberapa bentuk hukuman.

15
Anti Slavery, ‘What is Modern Slavery?’, (Anti-Slavery International, 2018) <https://www.
antislavery.org/slavery-today/modern-slavery/>
16
Fiki Ariyanti, ‘Menteri Susi Gambarkan Pelanggaran HAM yang Banyak Menimpa ABK
RI’, (Liputan 6, 2017) <https://www.liputan6.com/bisnis/read/2835655/menteri-susi-gambarkan-
pelanggaran-ham-yang-banyak-menimpa-abk-ri>
17
Ibid.
3. Debt Bondage or bonded labour (kerja terikat), merupakan perbudakan
yang terjadi ketika seseorang tidak mampu membayar utang sehingga
orang tersebut diharuskan bekerja untuk melunasi utangnya.
4. Child slavery (perbudakan anak), merupakan perbudakan yang terjadi
ketika seorang anak dieksploitasi demi kepentingan orang lain yang dapat
mengakibatkan terhambatnya perkembangan dan pendidikan anak itu
sendiri.
5. Early and forced marriage (perkawinan dini dan perkawinan paksa),
merupakan perbudakan yang terjadi ketika seseorang yang belum cukup
umur melangsungkan perkawinan dengan atau tidak dengan keinginan
mereka dan tidak dapat menghindari keberlangsungan perkawinan
tersebut.
6. Descent-based slavery (perbudakan berdasarkan keturunan), merupakan
perbudakan yang terjadi karena faktor keturunan. Seseorang dilahirkan
sebagai budak karena nenek moyang mereka diperbudak.
Dalam perkembangannya, slavery bukanlah lagi hanya sebatas pada perdagangan
budak, namun telah berubah menjadi beberapa bentuk, antara lain perdagangan
orang, kerja paksa, kerja terikat, perbudakan anak, perkawinan dini/perkawinan
paksa dan perbudakan berdasarkan keturunan.

Pengaturan Anti Slavery dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional


Melihat dari sejarahnya, baik perbudakan yang terjadi di masa lampau dan
sekarang tentunya memiliki dampak yang merugikan terhadap orang di setiap
negara di dunia. Oleh karena itu diperlukan suatu instrumen hukum yang
bertujuan melawan dan menghapus perbudakan di muka bumi. Dalam instrumen
hukum hak asasi manusia, istilah yang digunakan adalah “slavery” (perbudakan).
Namun perkembangan yang terjadi sudah berbeda dengan zaman dahulu dan
pengaturannya tidak cukup apabila hanya diatur dalam 1 (satu) instrumen hukum
saja, mengingat bentuk dari modern slavery yang sangat beragam.
Instrumen hukum hak asasi manusia internasional yang ada saat ini, baik
yang berupa deklarasi maupun konvensi internasional masih dapat dianggaap
relevan untuk mengatur slavery dalam perkembangannya. Beberapa deklarasi atau
konvensi internasional yang dimaksud, yaitu Universal Declaration of Human
Rights 1948, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
1966, International Covenant on Civil and Political Rights 1966, The Rome
Statute of The International Criminal Court 1998, ILO Convention No. 29
Concerning of Forced or Compulsory Labour 1930, ILO Convention no. 105
Concerning The Abolition of Forced Labour 1957, Maritime Labour Convention
2006 dan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights
2011.
Pertama, apabila melihat ketentuan pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 5
Universal Declaration of Human Rights 1948 (yang selanjutnya disebut dengan
DUHAM), Pasal 7-Pasal 8 International Covenant on Civil and Political Rights
1966 (yang selanjutnya disebut dengan ICCPR) dan Pasal 7 The Rome Statute of
The International Criminal Court 1998 (yang selanjutnya disebut dengan Statuta
Roma), maka dapat diketahui bahwa ketiga instrumen hukum hak asasi manusia
internasional tersebut secara umum mengatur larangan perbudakan, larangan
untuk menyiksa atau memperlakukan orang lain dengan tidak manusiawi dan
larangan pemberlakukan kerja paksa. Keberadaan beberapa pasal tersebut berarti
menegaskan bahwa perbudakan termasuk kategori kejahatan terhadap
kemanusiaan dan larangan internasional tentang perbudakan adalah bersifat
mutlak dan tidak ada pengecualian, mengingat setiap manusia memiliki hak
asasinya untuk bebas melakukan sesuatu atas kehendaknya tanpa ada ancaman
atau paksaan dari pihak lain.18
Pengaturan Anti Modern Slavery dalam Hukum Hak Asasi Manusia
Nasional
Dari beberapa instrumen hukum internasional yang telah mengatur
mengenai anti slavery¸ nilai-nilai yang termuat dalam instrumen hukum
internasional tersebut telah diadopsi oleh konstitusi maupun peraturan perundang-
undangan di Indonesia, yaitu UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya disebut dengan UU
HAM), Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia (yang selanjutnya disebut dengan UU Pengadilan HAM), dan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (yang selanjutnya disebut dengan UU TPPO)

Permasalahan anak buah kapal


Bekerja sebagai awak kapal di luar negeri menjadi impian segelintir orang.
Terutama bagi mereka yang bosan bekerja di kapal ikan tangkap perusahaan
dalam negeri. Perusahaan kapal ikan tangkap asing menjanjikan gaji jutaan rupiah
ketimbang bekerja sebagai awak kapal ikan tangkap dalam negeri. Perusahaan
ikan tangkap luar negeri menjanjikan gaji dengan bayaran dalam mata uang dolar.
Misalnya, perusahaan kapal asing asal Taiwan yang menggaji awak buah kapal
sampai Rp4,5 juta per bulan. Begitu juga dengan China yang memiliki standar
gaji bagi awak kapal sekitar Rp3 juta per bulan. Dua negara tersebut termasuk
yang memiliki standar upah terendah. Awak kapal yang bekerja untuk perusahaan
ikan tangkap di Jepang, Korea, Spanyol dan Selandia Baru memiliki standar yang
lebih tinggi. Selain standar gaji, mereka juga memiliki kontrak kerja sebagai
kepastian lama kerja. Sebab di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur
standar upah bagi awak kapal perikanan.19
Pada industri perikanan tangkap dalam negeri, awak kapal digaji dengan
sistem bagi hasil. Pendapatan mereka tidak menentu dan tergantung hasil jual ikan
saat di darat. Termasuk juga dari jenis ikan yang ditangkap akan menghasilkan
upah yang berbeda. Kata Andi, awak kapal yang bekerja di kapal penangkap
cumi-cumi, ikan tuna, ikan cakalang akan berbeda secara pendapatan. Namun
sistem bagi hasil tersebut juga dirasa kurang adil bagi awak kapal. Selain
perjanjian kerja dibuat secara informal, awak kapal kerap mendapatkan bagi hasil
paling kecil. Praktik ketidakadilan seperti inilah yang membuat para awak kapal
dalam negeri bermimpi bekerja di kapal ikan perusahaan asing. Sebab dengan
bekerja di perusahaan tersebut mereka memiliki kepastian upah yang diterima tiap
bulan. Namun, kadang ekspektasi tak sesuai dengan realita. Banyak dari mimpi

18
Savira Dhanika Hardianti, ‘Modern Slavery in Indonesia : Between Norms and Implementation’,
(2015) 2.[1].
19
Anisyah Al Faqir,2020, Membongkar Alasan ABK Indonesia Memilih Bekerja di Kapal Ikan
Tangkap Asing, https://www.merdeka.com/uang/membongkar-alasan-abk-indonesia-memilih-
bekerja-di-kapal-ikan-tangkap-asing.html
mereka untuk memiliki gaji yang tinggi kandas karena mereka malah di
ekploitasi. permasalahan kemanusiaan yang menjerat ABK Indonesia telah
menjadi rahasia umum. Adapun modus utamanya ialah janji palsu terkait
pendapatan materi berlimpah.
Rendahnya tingkat pendidikan ditengarai menjadi penyebab utama ABK
rentan menjadi korban kejahatan kemanusiaan. Sebab, tingkat pendidikan turut
mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang dalam mengambil keputusan. Di
samping itu, rendahnya tingkat pendidikan membuat mereka kesulitan untuk
memperoleh pekerjaan yang laik di dalam negeri. Terlebih, jumlah lapangan kerja
yang tersedia kian terbatas. Oleh karenanya iming-iming akan pendapatan materi
yang berlimpah tak kuasa ditolak para ABK. Padahal, tanpa disadari modus
seperti tak lebih dari janji palsu yang lumrah diberikan kepada setiap pekerja
migran asal Indonesia. Menurutnya, ABK yang menjadi korban kejahatan
manusia kerap menerima perlakuan yang tergolong pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) berat. Misalnya eksploitasi jam kerja hingga penangguhan
pembayaran upah, kekerasan fisik, diskriminasi perlakuan dan lain lai sehinga hal
tersebut tentunya berdampak buruk bagi kondisi kesehatan fisik dan mental para
ABK.20

Upaya Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Pekerja Laut


Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007
Konvensi ini terdiri dari delapan bagian, yaitu bagian pertama mengenai
definisi dan ruang lingkup; bagian kedua mengenai prinsip-prinsip umum; bagian
ketiga mengenai persyaratan minimal untuk bekerja di kapal penangkap ikan;
bagian keempat mengenai persyaratan layanan; bagian kelima mengenai
perawatan kesehatan, perlindungan kesehatan, dan jaminan sosial; bagian keenam
mengenai mematuhi dan menegakkan peraturan; bagian ketujuh mengenai
lampiran dan bagian kedelapan sebagai ketentuan akhir. Selain itu terdapat tiga
lampiran yaitu Lampiran I mengenai Kesetaraan dalam pengukuran; Lampiran II
mengenai Perjanjian kerja awak kapal dan Lampiran III mengenai Akomodasi di
kapal penangkap ikan.
Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk memastikan bahwa awak kapal
mempunyai kondisi kerja yang layak di kapal penangkap ikan dalam hal
persyaratan minimal untuk bekerja di kapal; standarstandar persyaratan layanan;
akomodasi dan makanan; perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja;
perawatan kesehatan dan jaminan sosial. Konvensi ini berlaku terhadap pekerja
perikanan tangkap komersil baik di perairan tawar maupun di perairan air asin
(pesisir dan laut). Standar perlindungan dalam konvensi diberlakukan terhadap
satu atau beberapa syarat kapal perikanan sebagai berikut: kapal dengan panjang
24 meter atau lebih; kapal yang berlayar di laut selama lebih dari tujuh hari; kapal
dengan rute melaut berjarak lebih dari 200 mil laut garis pantai; kapal dengan rute
melaut lebih dari garis terluar landas kontinen; dan pekerja yang berada di kapal
penangkap ikan.
Dari syarat tersebut konvensi ini berlaku secara luas kepada kapal skala
besar di atas 24 meter maupun terhadap kapal skala kecil apabila secara khusus
20
Sulaeman,2020, Nestapa ABK RI, Pendidikan Rendah Buat Mudah Tergiur Iming-Iming Gaji
Tinggi, https://www.merdeka.com/uang/nestapa-abk-ri-pendidikan-rendah-buat-mudah-tergiur-
iming-iming-gaji-tinggi.html
melakukan kegiatan melaut lebih dari tujuh hari atau dengan jarak di atas 200 mil.
Juga tingkat penggunaan teknologi yang tidak terbatas. Konvensi ini berlaku juga
terhadap pekerja perikanan dalam usaha pengolahan yang dilakukan di atas kapal,
baik perairan umum maupun perairan laut lepas/laut teritorial.
Pengecualian pemberlakuan konvensi dilakukan terhadap perikanan
subsisten dan perikanan rekreasi (memancing untuk olahraga). Sebagai penjelas,
subsisten maksudnya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai
penyedia makan kepada keluarga dan tidak menjual hasil tangkapan.
Konvensi ini menitikberatkan terhadap kapal yang izinnya dikeluarkan
oleh negara tempat mendaftarkan kapal-kapal perikanan dan sebagai yurisdiksi
keberlakuan hukum negara tersebut. Tidak terbatas kepada tempat melakukan
penangkapan ikan. Selain itu juga terhadap negara pelabuhan yang memiliki
yurisdiksi terhadap kapal perikanan terlepas dari kebangsaan kapal, dimana kapal
tersebut akan melapor kepada pelabuhan di bawah yurisdiksi negara tersebut.
Negara tersebut, baik negara bendera maupun negara pelabuhan, dimandatkan
untuk memenuhi standar-standar yang ada dalam konvensi.
Spesifikasi keselamatan secara teknis diatur dalam Recommendation for
Work in Fishing Convention 2007 pada angka 47 bahwa Negara Anggota perlu
menangani hingga ke tingkat yang dapat diterapkan dan sesuai kondisi yang ada
di sektor penangkapan ikan; kelaikan laut dan stabilitas kapal penangkap ikan;
komunikasi radio; temperatur; ventilasi dan penerangan tempat kerja;
pengurangan tingkat kelicinan di permukaan dek; keamanan mesin; termasuk
pelindung mesin; pemahaman tentang kapal untuk awak kapal dan pemantau
perikanan yang baru di kapal; alat pelindung pribadi; pemadaman kebakaran dan
penyelamatan jiwa; bongkar muat kapal; gir pengangkat (lifting gear); peralatan
jangkar dan tambatan; keselamatan dan kesehatan di tempat tinggal; kebisingan
dan getaran di tempat kerja; ergonomi, termasuk yang terkait dengan susunan
tempat kerja serta pengangkatan dan penanganan secara manual; peralatan dan
prosedur untuk menangkap, menangani, menyimpan dan memproses ikan dan
sumber daya laut lainnya; desain, konstruksi dan modifikasi kapal yang terkait
dengan kesehatan dan keselamatan kerja; navigasi dan penanganan kapal; bahan-
bahan berbahaya yang digunakan di kapal; sarana aman untuk keluar masuk kapal
penangkap ikan di pelabuhan; ketentuan keselamatan dan kesehatan khusus untuk
remaja; upaya untuk mencegah keletihan; dan persoalanpersoalan lain yang
terkait dengan keselamatan dan kesehatan.
Setiap pekerja yang bekerja di bidang kemaritiman kenyataannya memiliki
potensi kecelakaan kerja yang sangat tinggi. Dari berbagai kecelakaan yang
selama ini terjadi, banyak diantaranya yang disebabkan oleh tenaga kerja itu
sendiri yang tidak menguasai bidang pekerjaannya. Salah satu pengetahuan yang
sudah seharusnya dimiliki oleh pelaut kapal perikanan adalah Basic Safety
Training (BST), yakni kemampuan pelaut dalam kompetens penyelamatan diri,
pencegahan dan pemadaman kebakaran, pertolongan pertama pada kecelakaan,
pencegahan polusi dari kegiatan kapal dan hubungan manusia di atas kapal.
Sertifikat tersebut harus dimiliki oleh seluruh awak kapal tanpa memerhatikan
jabatan apapun di atas kapal. Sedangkan untuk perwira kapal masih diperlukan
sertifikat-sertifikat keterampilan lainnya serta menguasai teknologi dan
kompetensi tentang: bernavigasi, penangkapan ikan, komunikasi, penanganan
hasil tangkap, bahasa internasional serta budaya dan bahasa asing sesuai dengan
negara tempat bekerja.
Untuk mengurangi dan mencegah kecelakaan kerja, pembentukan
instrumen hukum internasional terhadap standar kompetensi bagi setiap pekerja
kemaritiman yang mengikat bagi setiap negara sangat dibutuhkan. Instrumen
hukum internasional yang mengatur tentang standar kompetensi berupa pelatihan
dan sertifikasi bagi pekerja perikanan tangkap adalah International Convention on
Standard of Training, Certification, and Watchkeeping for Fishing Vessel
Personnel (STCW-F) yang digagas oleh IMO pada tahun 1995 dan Safety
Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 meter in Length
and Undecked Fishing Vessels dan Work in Fishing Convention 2007 yang
digagas oleh ILO. Kedua konvensi yang dsebutkan di awal lebih terkait pada
spesifikasi kapal yang seharusnya digunakan sehingga keselamatan anak buah
kapal didalamnya lebih terjamin agar kecelakaan kapal dapat diminimalkan.
Sedangkan Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 mengatur hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi pekerja perikanan tangkap.
Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi STCW-F dan Safety
Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 meter in Length
and Undecked Fishing Vessels dengan berbagai pertimbangan teknis dan
nonteknis diantaranya bahwa kapal-kapal penangkap ikan di Indonesia
menghadapi kesulitan teknis dan juga mempertimbangkan bahwa armada kapal
penangkap ikan di Indonesia 94% berbobot kurang dari 5 GT. Apabila konvensi
ini diamandemen berkaitan dengan dimasukkannya kesetaraan kriteria panjang
kapal dengan GT di mana panjang kapal 24 meter setara dengan 300 GT, maka
kapal-kapal di Indonesia yang terkena peraturan hanya sedikit.21
Ketentuan Pasal 6 STCW-F 1995 mengatur tentang sertifikat bagi pelaut
yang menyatakan bahwa “Personil kapal penangkap ikan harus disertifikasi sesuai
dengan ketentuan lampiran Konvensi ini”. Ketentuan BST yang telah disebutkan
sebelumnya telah diatur di bagian Annex, Chapter III Regulation 1 konvensi ini
yang mengatur bahwa personil kapal perikanan wajib, sebelum ditugaskan di
sebuah kapal, menerima pelatihan dasar yang telah disetujui dalam bidang: teknik
bertahan hidup termasuk cara menggunakan pakaian keselamatan dan, jika perlu,
pakaian penyelaman; pencegahan kebakaran dan pemadaman kebakaran; prosedur
darurat; dasar-dasar pertolongan pertama; pencegahan pencemaran laut; dan
pencegahan kecelakaan kapal. Agar ketentuan tersebut dapat berjalan dengan
baik, maka negara harus menentukan bagaimana dan, lalu sejauh mana, ketentuan-
ketentuan ini berlaku untuk personil kapal perikanan kecil atau orang yang sudah
bekerja di kapal perikanan. Sehingga antara STCW-F dan Safety
Recommendations for Decked Fishing Vessels of Less than 12 meter in Length
and Undecked Fishing Vessels dengan Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 (Work
in Fishing Convention 2007) saling melengkapi.
Ketentuan terkait pelatihan dan kompetensi telah dijabarkan dalam
rekomendasi Work in Fishing Convention 2007 yang menjelaskan bahwa setiap
negara perlu: mempertimbangkan standar-standar internasional yang diterima
secara umum tentang pelatihan dan kompetensi untuk awak kapal dalam
21
Djodjo Suwardjo, John Haluan, Indra Jaya & Soen’an H. Poernomo, “Keselamatan Kapal
Penangkap Ikan, Tinjauan dari Aspek Regulasi Nasional dan Internasional”, Jurnal Teknologi
Perikanan dan Kelautan, Vol. 1 No. 1, 2010, hlm. 7.
menentukan kompetensi yang dibutuhkan untuk nakhoda, kelasi, masinis dan
pihak lain yang bekerja di kapal penangkap ikan; menangani persoalanpersoalan
yang terkait dengan pelatihan kejuruan untuk awak kapal: perencanaan dan
administrasi nasional, termasuk koordinasi;standarkeuangan dan pelatihan;
program-program pelatihan, termasuk prapelatihan kejuruan serta kursus-kursus
singkat untuk awak kapal yang sedang bekerja; metoda pelatihan; kerjasama
internasional; dan memastikan tidak ada diskriminasi yang terkait atas akses
kepelatihan.
Secara khusus, dalam rekomendasi Work in Fishing Convention 2007
mengatur tentang sertifikasi dan pelatihan untuk melindungi remaja yang berumur
16 sampai 18 tahun yang bekerja di kapal perikanan dalam bentuk perlunya
negara anggota menetapkan persyaratan tentang pelatihan sebelum melaut bagi
mereka yang berusia 16 sampai 18 tahun yang bekerja di kapal penangkap ikan,
dengan mempertimbangkan instrumen-instrumen internasional mengenai
pelatihan kerja di kapal penangkap ikan, termasuk masalah kesehatan dan
keselamatan kerja seperti kerja di malam hari, tugas-tugas berbahaya, bekerja
menggunakan mesin berbahaya, penanganan secara manual dan transportasi
muatan yang berat, pekerjaan dengan ruang gerak yang besar, pekerjaan yang
lama serta persoalan-persoalan terkait lainnya yang diidentifikasi setelah
dilakukan penilaian resiko terkait.
Selain itu, hal yang juga penting adalah perlunya pelatihan bagi mereka
yang berusia antara 16 sampai 18 tahun melalui partisipasi dalam program
magang atau program pelatihan yang telah disetujui, yang harus beroperasi sesuai
ketentuan yang telah ditetapkan dan dipantau oleh pihak berwenang yang
berkompeten, dan tidak boleh mengganggu pendidikan umum mereka.
Penentuan standar jumlah upah bulanan seorang pekerja bidang perikanan
di sebuah kapal juga diatur oleh Joint Maritime Commission (JMC) atau badan
lain yang berwenang menurut Badan Pengurus Kantor Perburuhan Internasional.
Setiap hasil keputusan Badan Pengurus, harus memberitahukan nominal yang
direvisi kepada semua anggota organisasi. Pada tahun 2014, JMC telah
menetapkan standar terendah upah bulanan setiap pelaut adalah US$585 -
US$592, mulai pada Januari 2015 dan US$614 mulai pada Januari 2016. 22
Mengingat Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007,
maka Indonesia bukan anggota JMC dan tidak berhak memperoleh informasi atau
mengikuti ketentuan yang disepakati dalam pertemuan tersebut. Akibatnya upah
tenaga kerja perikanan asal Indonesia yang diterima lebih rendah dari tenaga kerja
perikanan asal negara lain yang sudah meratifikasi.
Aspek perlindungan terhadap penempatan tenaga kerja Indonesia di kapal
perikanan asing sangat terkait pada sistem pengelolaan dan pengaturan yang
dilakukan berbagai pihak yang terlibat pada pengiriman tenaga kerja Indonesia
keluar negeri. Sampai saat ini agensi yang menempatkan TKI pelaut ke luar negeri
sebanyak 104 perusahaan, terdiri dari 48 perusahaan di kapal perikanan dan 66
perusahaan di kapal niaga.23

22
ILO, 2014, ILO Body Adopts New Minimum Monthly Wage For Seafarers, (Online),
(http://www.ilo.org/suva/information
23
Imam Bukhori, 2014, BNP2TKI - HNSI Tandatangani MoU Peningkatan Kompetensi TKI
Pelaut Perikanan, (Online), (http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu231/9772-bnp2tkihnsi-
tandatangani-mou-peningkatan-kompetensi-tki-pelautperikanan.html.
Untuk langkah penempatan tenaga kerja di kapal perikanan asing,
Indonesia telah menetapkan mekanisme melalui tiga fase tanggung jawab
penempatan yakni fase pra penempatan, selama penempatan, dan purna
penempatan. Proses penempatan tenaga kerja Indonesia pada umumnya sangat
berbeda dengan penempatan tenaga kerja pelaut Indonesia, demikian juga proses
penempatan tenaga kerja yang bekerja di kapal perikanan berbeda dengan pelaut
yang bekerja di kapal niaga (kargo, cruise, tanker, dan offshore). Perbedaan ini
meliputi berbagai aspek seperti: fungsi kapal, wilayah pelayaran, muatan, jam
kerja, gaji, sifat pekerjaan, pemimpin di atas kapal maupun keahlian.

Kebijakan Nasional terkait Perlindungan Anak Buah Kapal


Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam yang disahkan
dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 15 Maret 2016 juga mengatur mengenai
pekerjaan perikanan tangkap, yang dalam konteks pengaturan di undang-undang
tersebut disebut sebagai nelayan buruh. Bahkan dalam Pasal 28 disebutkan
mengenai keharusan pemilik dan penyewa kapal yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan dengan melibatkan nelayan buruh harus membuat perjanjian
kerja atau perjanjian bagi hasil secara tertulis. Perjanjian kerja tersebut paling
sedikit harus memuat hak dan kewajiban, jangka waktu perjanjian, dan pilihan
penyelesaian sengketa. Bahkan dalam Pasal 34 disampaikan kewajiban bagi
pelaku usaha besar untuk memberikan jaminan risiko penangkapan ikan pada
nelayan buruh melalui asuransi perikanan untuk kecelakaan kerja dan asuransi
jiwa untuk kehilangan jiwa.
KKP sebagai kementerian yang mengurus sub sektor perikanan tangkap
juga memiliki Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 35
Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha
Perikanan. Apabila ditelaah seksama, maka terlihat bahwa Permen KP ini
merupakan kebijakan nasional yang berupaya menerjemahkan Konvensi ILO No.
188 Tahun 2007 dengan melakukan penyesuaian terhadap karakteristik dan
kebutuhan nasional. Permen KP ini dibuat dengan tujuan memastikan pengusaha
perikanan menghormati HAM para pihak yang terkait dengan kegiatan usaha
perikanan, termasuk awak kapal perikanan dan masyarakat sekitar dengan
mencegah terjadinya pelanggaran HAM dan/atau mengatasi dampak pelanggaran
HAM yang telah terjadi. Bahkan Permen KP ini juga memberikan sanksi
administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha perikanan
yang tidak memiliki sertifikat HAM. Namun dari 14 isu yang dirangkum dalam
Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 masih ditemukan 2 isu yang belum
terakomodasi dalam Permen KP No. 35 Tahun 2015, yaitu larangan untuk
membayar apapun demi mengamankan pekerjaan mereka atau dari
dimasukkannya ke dalam daftar hitam untuk alasan apapun, dan mengharuskan
setiap perusahaan jasa perekrutan dan penempatan swasta dan agen tenaga kerja
swasta untuk diatur dan dikendalikan dengan benar. Selain itu, beberapa isu yang
sangat rinci dalam Konvensi ILO tersebut tidak dinyatakan secara jelas dalam
Permen KP. Contoh Konvensi ILO mengatur mengenai jam istirahat minimum
bagi awak kapal penangkap ikan yang berada di laut selama lebih dari tiga hari
tidak boleh kurang dari 10 jam dalam rentang waktu 24 jam dan/atau 77 jam
dalam rentang waktu 7 hari, namun pihak berwenang yang berkompeten dapat
mengizinkan pengecualian sementara terhadap batas-batas ini. Termasuk konvensi
ini mengatur rinci mengenai kebutuhan akomodasi yang disesuaikan dengan
ukuran kapal, seperti jarak langit-langit dan kepala, jalan masuk ke dalam dan
antara ruang akomodasi, penyekatan, kebisingan dan getaran.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia No. 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penempatan dan
Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing merupakan
peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang
Perlindungan TKI di Luar Negeri. Substansi dari peraturan ini adalah pendaftaran
pelaksana penempatan pelaut perikanan (P4); pelaksana penempatan; tata cara
penempatan pelaut perikanan; perlindungan pelaut perikanan; dan pengawasan.
Dalam pengertian peraturan ini, pelaut perikanan didefinisikan sebagai TKI yang
bekerja di kapal penangkap ikan berbendera asing yang beroperasi di laut
internasional untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Dalam
peraturan ini memuat mengenai syarat-syarat kerja (gaji, jam kerja, upah lembur,
cuti, istirahat, bonus sesuai perhitungan, dan jaminan sosial); kewajiban pelaut
perikanan memiliki dokumen, seperti: perjanjian penempatan, sertifikat
pemeriksaan kesehatan, paspor, buku pelaut, perjanjian kerja laut, asuransi di
Indonesia, visa, dan kartu tenaga kerja luar negeri, asuransi, dan pemulangan.
Termasuk juga didalamnya bagaimana penyelesaian perselisihan.
Dukungan legislatif terhadap Permen KP No. 35 Tahun 2015 belum terasa,
baik dukungan politik, anggaran, dan pengawasan. Dalam konteks tersebut, maka
peraturan yang sudah diterbitkan belum sepenuhnya memberikan pemenuhan hak
dasar, terutama hak untuk memperoleh perlindungan hukum dan hak untuk
memperoleh rasa aman.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 2 Tahun 2017. Permen
mensyaratkan, kapal-kapal yang akan merekrut ABK asal Indonesia, sudah harus
menempuh sertifikasi HAM. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 2
Tahun 2017. Permen ini mensyaratkan, kapal-kapal yang akan merekrut ABK asal
Indonesia, sudah harus menempuh sertifikasi HAM. Ada juga Undang-Undang
(UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Undang-undang ini mengatur secara khusus proses rekrutmen, penempatan,
perlindungan selama bekerja dan setelah bekerja bagi pekerja migran. Namun, UU
ini berlaku umum dan membutuhkan aturan turunan yang dikhususkan bagi ABK.
Belum adanya peraturan pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut mengenai
penempatan dan pelindungan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan sesuai Pasal
64 berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017
Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia merupakan sebuah urgensi dalam
penegakan perlindungan hukum terhadap anak buah kapal perikanan. Maka dari
itu pemerintah seharusnya bertindak cepat dalam perancangan peraturan
pemerintah tersebut.

Kesimpulan
Modern slavery adalah pelaku perbudakan tidak merasa memiliki korban
perbudakan, namun pelaku perbudakan melakukan eksploitasi dan
memperlakukan korban perbudakan dengan kejam, tidak manusiawi dan
sewenang-wenang demi kepentingan pelaku perbudakan tanpa adanya kebebasan
untuk melepaskan diri. Dalam perkembangannya, slavery bukanlah lagi hanya
sebatas pada perdagangan budak, namun telah berubah menjadi beberapa bentuk,
antara lain perdagangan orang, kerja paksa, kerja terikat, perbudakan anak,
perkawinan dini/perkawinan paksa dan perbudakan berdasarkan keturunan. Dari
beberapa bentuk tersebut, bentuk modern slavery yang sering terjadi pada ABK
Perikanan adalah perdagangan orang dan kerja paksa.
Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan Perikanan Tangkap
bertujuan memastikan awak kapal perikanan tangkap mempunyai kondisi kerja
yang layak di kapal penangkap ikan dalam hal persyaratan minimal untuk bekerja
di kapal; standar standar persyaratan layanan; akomodasi dan makanan;
perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; perawatan kesehatan dan jaminan
sosial. Konvensi ini berlaku terhadap pekerja perikanan tangkap komersil baik di
perairan tawar maupun di perairan air asin (pesisir dan laut). Konvensi ini perlu
diratifikasi, karena masih terdapat celah dalam kebijakan yang sudah dibuat secara
nasional untuk memberikan perlindungan bagi pekerja perikanan tangkap.
Kebijakan Nasional yang terkait langsung dengan perlindungan pekerja perikanan
tangkap dibagi dua, yaitu terhadap pekerja migran dan pekerja di dalam negeri.
Kebijakan nasional yang dianggap belum memberikan perlindungan bagi pekerja
perikanan tangkap adalah Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri; Peraturan
Kepala BNP2TKI Nomor 3 Tahun 2013.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 2 Tahun 2017. Permen
mensyaratkan, kapal-kapal yang akan merekrut ABK asal Indonesia, sudah harus
menempuh sertifikasi HAM. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 2
Tahun 2017. Permen ini mensyaratkan, kapal-kapal yang akan merekrut ABK asal
Indonesia, sudah harus menempuh sertifikasi HAM. Ada juga Undang-Undang
(UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Undang-undang ini mengatur secara khusus proses rekrutmen, penempatan,
perlindungan selama bekerja dan setelah bekerja bagi pekerja migran. Namun, UU
ini berlaku umum dan membutuhkan aturan turunan yang dikhususkan bagi ABK.
Belum adanya peraturan pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut mengenai
penempatan dan pelindungan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan sesuai Pasal
64 berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017
Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia merupakan sebuah urgensi dalam
penegakan perlindungan hukum terhadap anak buah kapal perikanan. Maka dari
itu pemerintah seharusnya bertindak cepat dalam perancangan peraturan
pemerintah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

(CNN Indonesia, 2015)


https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150407155215-92-44823/
Adam, L. (2017). Kebijakan Perlindungan Pekerja Perikanan Tangkap Indonesia.
Kajian, 21(4), 321-338.
Anisyah Al Faqir,2020, Membongkar Alasan ABK Indonesia Memilih Bekerja di
Kapal Ikan Tangkap Asing,
https://www.merdeka.com/uang/membongkar-alasan-abk-indonesia-
memilih-bekerja-di-kapal-ikan-tangkap-asing.html
Anti Slavery, ‘What is Modern Slavery?’, (Anti-Slavery International, 2018)
<https://www. antislavery.org/slavery-today/modern-slavery/>
benjina-kisah-perbudakan-ratusan-nelayan-di-timur-indonesia
Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2018,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/04/jumlah-penduduk-
indonesia-2019-mencapai-267-juta-jiwa (Diakses pada tanggal 19 Juni
2020).
Devina Halim, 2020, "BP2MI Berencana Serahkan 411 Aduan ABK ke Polri",
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/14/20420621/bp2mi-
berencana-serahkan-411-aduan-abk-ke-polri.
Djodjo Suwardjo, John Haluan, Indra Jaya & Soen’an H. Poernomo,
“Keselamatan Kapal Penangkap Ikan, Tinjauan dari Aspek Regulasi
Nasional dan Internasional”, Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan,
Vol. 1 No. 1, 2010, hlm. 7.
Elisa Valenta Sari, ‘Benjina, Kisah Perbudakan Ratusan Nelayan di Timur
Indonesia’,
Endah Artika Noerilita dan Saiman Pakpahan, ‘Peran Walk Free Foundation
dalam Mengatas Modern Slavery di Mauritania’(2016) 3 International
Society.[22].
Fiki Ariyanti, ‘Menteri Susi Gambarkan Pelanggaran HAM yang Banyak
Menimpa ABK RI’, (Liputan 6, 2017)
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2835655/menteri-susi-gambarkan-
pelanggaran-ham-yang-banyak-menimpa-abk-ri
Giri Hartomo, 2020, 5 Fakta Terbaru soal Pengangguran di Indonesia, Jumlahnya
Naik Jadi 6,8 Juta Orang,
https://economy.okezone.com/read/2020/05/08/320/2211090/5-fakta-
terbaru-soal-pengangguran-di-indonesia-jumlahnya-naik-jadi-6-8-juta-
orang#
Global Slavery Index, ‘Country Data of Indonesia’, (Global Slavery Index, 2018)
<https:// www.globalslaveryindex.org/2018/data/country-
data/indonesia/> diakses 23 September 2018.
Ibrahim, I. A. (2013). Tinjauan Viktimologis Terhadap Kejahatan Perdagangan
Orang (Human Trafficking) Di Kota Bandung (Doctoral Dissertation).
ILO, 2014, ILO Body Adopts New Minimum Monthly Wage For Seafarers,
(Online), (http://www.ilo.org/suva/information
Imam Bukhori, 2014, BNP2TKI - HNSI Tandatangani MoU Peningkatan
Kompetensi TKI Pelaut Perikanan, (Online),
(http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu231/9772-bnp2tkihnsi-
tandatangani-mou-peningkatan-kompetensi-tki-pelautperikanan.html.
Imam Bukhori, 2014, BNP2TKI-HNSI Tandatangani MoU Peningkatan
Kompetensi TKI Pelaut Perikanan, dimuat di website resmi BNP2TKI
http://www.bnp2tki.go.id/beritamainmenu-231/9772-bnp2tki-hnsi-
tandatangani-mou-peningkatan-kompetensi-tki-pelaut-perikanan.html
dan http://www.kompasiana.com/ik2mi/nasib-pelaut-perikanan-
indonesia-di-luar-negerisangat-
menyedihkan_560b869a337b61de0567bd64
Kumparan News, 2020, Perbudakan ABK WNI di Kapal Long Xing 629, diakses
melalui https://kumparan.com/kumparannews/perbudakan-abk-wni-di-
kapal-long-xing-629-1tOHAw6b4Rf/full
Lizzy van Leeuwen dalam Mu’jizah, ‘Menyingkap Sejarah Perbudakan dalam
Manuskrip Indonesia : Surat Raja Tanette’, (2014) 7 Metasastra.[69].
Mu’jizah, ‘Menyingkap Sejarah Perbudakan dalam Manuskrip Indonesia : Surat
Raja Tanette’, (2014) 7 Metasastra.[69].
Nasib Pelaut Perikanan Indonesia di luar negeri sangat menyedihkan, dimuat
dalam situs resmi kompasiana http://www.kompasiana.com/ik2mi/nasib-
pelaut-perikanan-indonesia-di-luarnegeri-sangat-
menyedihkan_560b869a337b61de0567bd64
Savira Dhanika Hardianti, ‘Modern Slavery in Indonesia : Between Norms and
Implementation’, (2015) 2.[1].
Scott Davidson diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka, Hak Asasi
Manusia, (Pustaka Utama Grafiti 1994).[11].
Sulaeman,2020, Nestapa ABK RI, Pendidikan Rendah Buat Mudah Tergiur
Iming-Iming Gaji Tinggi, https://www.merdeka.com/uang/nestapa-abk-
ri-pendidikan-rendah-buat-mudah-tergiur-iming-iming-gaji-tinggi.html
Wilian G. Doerner/Steven P.Lab, 1998, Victimology, Secon Edition, Anderson
Publishing co, page 9, dalam Iswanto dan Angkasa, 2009, Viktimologi,
Purwokerto: Fakultas Hukum Unsoed, hlm 15.

NAMA : YUDA PRASETYA


NIM : 8111418292
ABSEN : 21
MATA KULIAH : KRIMINOLOGI DAN VIKTIMOLOGI

NILAI YANG SAYA INGIKAN : 87


Saya menginginkan nilai tersebut karena saya menuliskan tentang topik yang baru
baru saja terjadi di Indonesia sehinga sangat update. Saya menuliskan ini dengan
rasa penuh semangat karena sejak awal dari mata kuliah ini jika diperhatikan saya
sangat tertarik dengan kejahatan internasional, misalnya saja yaitu perdagangan
orang dan perbudakan. Tata penulisan saya juga sudah cukup bagus dan materi
yang saya sampaikan juga jelas.

Anda mungkin juga menyukai