Anda di halaman 1dari 11

ANAK JALANAN

Berulang-kali pemerintah mengeluarkan target bombastis, tetapi tidak satupun yang menjadi kenyataan. Kalaupun ada yang berubah, itu hanya angka-angka di atas kertas belaka. Tetapi fakta menunjukkan bahwa kehidupan rakyat makin susah, sedangkan lapangan kerja semakin menghilang. Salah satu target bombastis terbaru pemerintah datang dari Kementerian Sosial, bekerjasama dengan kementerian lainnya, adalah: Indonesia Bebas Anak Jalanan tahun 2011. Kedengarannya memang sangat indah, tetapi kita tidak tahu seperti apa pemerintah akan mencapai target tersebut. Persoalan anak jalanan di Indonesia berakar dalam relasi ekonomi-politik, yakni sebuah sistem ekonomi yang terus-menerus memproduksi kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan. Kami sering menyebut sistim ekonomi tersebut dengan istilah neoliberalisme. Karena pemerintah gandrung menjalankan agenda neoliberal, maka setiap tahunnya ada ribuan anak-anak Indonesia yang terlempar ke jalanan. Di Jakarta, contohnya, peningkatan anak jalanan mencapai 50% setiap tahunnya. Menurut Komnas Perlindungan Anak, Jika pada 2008 jumlahnya sekitar 8.000 orang, maka pada 2009 jumlah mereka mencapai lebih dari 12.000 jiwa. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata pada 2009 jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia mencapai 230 ribu orang. Kalau musim PHK, bisa naik sampai 40 persen. Kalau ekonomi stabil, tumbuh 20 persen per tahun, ujar Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak DKI Jakarta, Sunarto, sebagaimana dikutip Kompas. Sementara itu, selama ini pemerintah masih menggunakan metode pendekatan represif untuk mengatasi persoalan ini, yaitu melakukan penggarukan dan menempatkan mereka di rumah singgah. Cara ini tidak menjawab persoalan, malah membawa dampak buruk pada psikologis anak. Bagi sebagian anak jalanan yang pernah ditangkap dan dititipkan di rumah singgah, pengalaman tersebut sama seperti orang yang dipenjara. Jadi, alih-alih rumah singgah bisa menyelamatkan anak jalanan, tempat tersebut justru dianggap layaknya Hotel Prodeo. Di sana kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Kami dipekerjakan layaknya budak. Tidak hanya itu, siksaan demi siksaan juga harus kami hadapi setiap hari, kata Haris, anak jalanan yang pernah menghuni Hotel Prodeo di Kedoya, Jakarta Barat. Tidak mungkin membayangkan Indonesia tanpa anak jalanan, jika tidak menghentikan sistem ekonomi yang menyebabkan kemiskinan. Ini seperti berusaha menampung air dari tanggung yang jebol dengan menyiapkan ember. Jika ditelisik dari program Kemensos untuk mengurangi anak jalanan, maka solusi andalannya pun masih rumah singgah. Kami berharap bisa menambah jumlah rumah singgah dari 70 menjadi 100 unit yang akan berlokasi di beberapa wilayah di Indonesia khususnya yang menjadi lumbung anak jalanan, kata Mensos Salim Segaf Al Jufrie.

Jika demikian yang dimaksudkan pak Menteri, itu berarti anak jalanan itu bukannya dikurangi atau diselamatkan, melainkan dikirimkan ke kamp-kamp konsentrasi (baca: rumah singgah). Di jalanan memang akan bersih anak jalanan, tetapi rumah singgah seluruh Indonesia akan menjadi semacam kamp konsentrasi jaman Hitler. Kalaupun memberikan bantuan, sebagaimana yang diakui Mensos, yaitu telah memberi buku tabungan bagi 1200 anak untuk tahap pertama, maka program itu tidak akan bisa mengatasi persoalan jikalau program mendasarnya tidak terselesaikan. TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini baru 5.420 anak jalanan dari sekitar 8.000 anak jalanan di Jakarta yang mendapatkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) dengan total bantuan senilai Rp 11,4 miliar dari anggaran sejumlah lembaga seperti Kemensos, Dinas Sosial, ILO, dan Medco. "Dalam upayanya menuntaskan masalah anak jalanan di Indonesia, tahun ini Kemensos sudah memberikan buku tabungan kepada 3.849 anak," ungkap Menteri Sosial Dr. Salim Segaf Al-Jufri, M.A saat peluncuran Belanja Bareng Anak di Bekasi, Rabu (24/8/2011). Selain itu, Kemensos juga bekerjasama dengan Dinas Sosial dalam membantu pemberdayaan 766 keluarga anak jalanan dengan total bantuan senilai Rp 800 juta. Ia menyatakan Program BBA ini diharapkan dapat membantu pemenuhan kebutuhan anak seperti makanan, pakaian, dan peralatan sekolah. "Program ini juga bisa menjadi sarana silaturahmi, rekreasi/hiburan anak, serta sarana untuk mendidik dan mengarahkan mereka agar bisa mengambil keputusan secara mandiri dalam menentukan prioritas barang yang akan dibeli," ungkapnya. Sebagai tindak lanjut kegiatan hari ini, Kemensos akan mendata anak jalanan yang ikut serta guna dibina pada sejumlah rumah singgah mitra Kemensos untuk menampung anak jalanan," ungkapnya. Berdasarkan data Kemensos, saat ini terdapat 230 ribu anak jalanan di Indonesia, dan melalui program-programnya Kemensos berkomitmen membuat Indonesia bebas anak jalanan tiga tahun dari sekarang.

Akademi Rakyat, Sekolah gratis untuk anak jalanan dan kaum miskin..
Sementara Undang-undang Dasar 1945 mengharuskan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah dengan kepala batu justru menyerahkan sektor pendidikan pada mekanisme pasar. Akibatnya, ada banyak sekali rakyat Indonesia yang dikeluarkan dari dunia pendidikan, salah satunya, adalah anak jalanan. Anak jalanan, yang telah tersingkirkan secara sosial, hampir tidak pernah mendapat perhatian sedikitpun dari pemerintah. Mereka ibarat perkataan yang mengatakan; antara ada dan

tiada. Ya, pada kenyataannya mereka eksis dalam kehidupan nyata, hadir di tengah-tengah kita, namun seolah-olah perhatian pemerintah menganggap mereka tidak ada. Anak-anak itu sering menjadi buruan satpol PP untuk ditangkap dan diperlakukan seperti binatang. Oleh kekuasaan resmi, mereka sering diberikan label sampah masyarakat, biang kriminalitas, dan lain sebagainya. Situasi itulah yang mendorong dua orang aktivis di Pekanbaru, yaitu Ady Adith Kuswanto dan Ratno Budi, untuk mendirikan Akademi Rakyat, sebuah sekolah yang diperuntukkan khusus untuk anak jalanan dan anak-anak keluarga miskin. Ini adalah sekolah yang diperuntukkan bagi kaum yang terpinggirkan, tegas Adith, yang juga merupakan pengurus Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Pekanbaru. Untuk merealisasikan tugas sangat mulia ini, keduanya lalu menghubungi seorang pengajar di Akademi Melayu Riau (AKMR). Sasaran pertama kami adalah anak-anak jalanan yang berada di persimpangan lampu merah. Namun usaha itu tidak berjalan dengan mudah, sebab ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja mengatur dan mengeksploitasi anak-anak ini. Disamping itu, anak-anak itu sangat sulit untuk dikumpulkan, apalagi untuk diarahkan untuk belajar. mereka terkesan enggan dengan sekolah. Sebab, di kepala mereka itu, sekolah adalah pemenjaraan bakat dan kreatifitas. Mereka itu juga terbentur dengan persoalan ekonomi juga. Mereka harus bekerja sepanjang hari untuk mengumpulkan receh, supaya bisa menyambung hidup untuk esok hari. Jadinya, mereka hampir tak punya waktu untuk ikut sekolah gratis ini. Namun, Adith dan kawan-kawannya tidak cepat patah arang, apalagi berfikir untuk menghentikan perjuangannya ini. Mereka pun mendirikan Kelompok Pengamen Jalanan (KPJ), yang menghimpun anak-anak jalanan dari berbagai sudut lampu merah di Pekanbaru. Dari tangan-tangan aktivis gerakan rakyat inilah berdiri Akademi Rakyat. Penggunaan kata akademi akan segera mengingatkan kita kepada filsuf Yunani paling terkemuka, Plato, yang mengutip nama pahlawan YunaniAcademus. Di akademi rakyat, seperti juga di akademi Plato, anak-anak peserta didik menjalankan proses pendidikan melalui dialog dan dilakukan pada waktu senggang Menurut Adith, anak-anak diberi kesempatan untuk menentukan waktu dan tempat belajar. Nanti pengajar akan mengunjungi sesuai jadwal yang sudah diputuskan. jadinya, akademi rakyat ini dilakukan secara nomaden (berpindah-pindah). Tergantung di mana anak-anak paling mudah untuk berkumpul, ungkapnya. Namun, berbeda dengan sekolah-sekolah umum atau sekolah alternatif lainnya, akademi rakyat ini lebih focus pada pemberian skill kepada anak-anak jalanan, seperti melukis, mematung, menari, dan bermain teater.

Ada juga pengetahuan sosial, seperti mengenai sejarah masyarakat, sejarah perjuangan bangsa, dan dasar-dasar filsafat. Intinya kami memberikan mereka pengetahuan yang membebaskan fikiran mereka dari kapitalisme, ujar Adith. Dengan memberikan pelajaran seperti ini, Adith dan kawan-kawan menyakini bahwa anakanak ini akan berguna secara sosial, lebih peka terhadap persoalan rakyat, dan karyakaryanya pun mencerminkan perjuangan rakyat. Disamping itu, anak-anak diharapkan punya skill dan bisa ditampilkan di jalanan, dan dengan begitu tidak lagi dianggap gembel. Untuk sekarang ini, Adith mengaku sudah berhasil mendirikan dua kelompok belajar (KPJ), yaitu KPJ MTQ (basis pengorganisiran SRMI) dan KPJ harapan raya. Untuk KPJ di kawasan MTQ, ada sekitar 40 anak jalanan yang sudah terkumpul dan rutin mengikuti akademi rakyat ini. Sementara KPJ harapan raya belum melaporkan jumlah anak-anak yang berpartisipasi. Adith mengakui, apa yang dicetuskan bersama kawan-kawannya ini masih bersifat awal sekali, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk terus melakukan penyesuaianpenyesuaian dengan kebutuhan praktis di lapangan. (Ulfa) TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk mendukung aktivitas para anak jalanan yang mengenyam bangku pendidikan di sekolah-sekolah, Pemprov DKI memberikan bantuan berupa uang tunai sebesar Rp 1.095.000 kepada 364 anak jalanan dalam bentuk tabungan. Masing-masing anak jalanan akan mendapat uang tersebut agar mampu membeli berbagai perlengkapan sekolah mulai dari seragam sampai alat-alat tulis. Menurut Kepala Dinas Sosial DKI, Kian Kelana, ketiadaan biaya menjadi masalah tersendiri bagi anak jalanan untuk mengenyam pendidikan. Walaupun mendapat pendidikan gratis, berbagai persiapan harus dilakukan untuk mendukung aktivitas selama di bangku sekolah seperti penyediaan baju seragam dan peralatan sekolah lainnya. "Hal-hal seperti itu kan menguras kantong mereka juga. Karena itu melalui program Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar, kita berikan bantuan masing-masing sebesar Rp 1.095.000 kepada 364 anak jalanan dalam bentuk tabungan," ujar Kian, Senin (12/12/2011). Kian menuturkan tujuan pemberian bantuan tersebut dalam bentuk tabungan agar bantuan itu tidak dapat digunakan seenaknya oleh yang bersangkutan. Selain itu, pengawasan terhadap dana bantuan tersebut juga dibantu oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) yang ada di tiap kecamatan. "Selain dari kami, pihak swasta juga memberikan bantuan yang sama kepada 180 anak jalanan lainnya," imbuhnya.

Penanganan Anak Jalanan Dipublikasikan oleh tira - Pada Jumat, 18 Maret 2011 Permasalahan Anak Jalanan Harus Diatasi dengan Banyak Strategi Oleh : Lestari W*)

Untuk mengatasi permasalahan anak jalanan, Kementerian Sosial akan memberikan bantuan modal usaha kepada 500 kepala keluarga ungkap Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial, Rusli Wahid, usai pembukaan workshop bertema Strategi Percepatan Penanganan Anak Jalanan Melalui Intervensi Keluarga.

Untuk anak jalanannya kita biayai dengan Program Kesejahteraan Sosial Anak sedangkan untuk keluarganya kita berdayakan dengan pemberian modal usaha. Dengan begitu kita harapkan terjadi pengentasan pengurangan angka anak jalanan, terutama di Jakarta, ujar Rusli.

Rusli menjelaskan, modal usaha yang diberikan adalah sebesar Rp 1 juta untuk satu keluarga. Ada pun dana yang disediakan untuk program ini adalah sebesar Rp 500 juta. Program pemberdayaan keluarga bagi keluarga anak jalanan ini telah dilakukan sejak tahun 2009 dengan jumlah penerima sebanyak 300 orang. Dari 300 keluarga tersebut, sebanyak 200 anak sudah tidak lagi turun ke jalanan. Kami optimis program ini akan dapat membantu mencapai target Jakarta Bebas Anak Jalanan Tahun 2011. Pengentasan masalah anak jalanan tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah namun perlu peran serta masyarakat dan dunia usaha. Jadi, menurut kami target itu bukanlah sesuatu yang berat asal ada kerjasama dengan berbagai pihak, paparnya. Hal senada dikemukakan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial, Toto Utomo, dalam kata sambutannya. Menurut Toto, masalah anak jalanan tidak akan dapat diselesaikan oleh Direktorat Perlindungan Anak atau pun oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial seorang

diri. Bahkan seluruh jajaran dalam Kementerian Sosial pun tidak akan mampu menyelesaikannya. Permasalahan anak jalanan adalah permasalahan yang disebabkan oleh akumulasi permasalahan sosial yang ada. Tidak ada satu permasalahan sosial pun yang bisa diselesaikan dengan satu cara. Kita perlu duduk bersama-sama kembali untuk merumuskan strategi dan menemukan cara-cara lainnya dalam menangani masalah anak jalanan, tegas Toto. Pemerintah daerah, Toto menambahkn, adalah salah satu pihak yang bertanggungjawab untuk mengatasi permasalahan anak jalanan. Keterlibatan pemda, dalam pandangannya, merupakan kunci dalam penanganan masalah anak jalanan. Kita harus menyatukan pandangan dan persepsi dengan pemerintah daerah. Walau bukan berasal dari Jakarta, misalnya, anak jalanan yang ada di wilayah Jakarta adalah anak kita juga. Salah satu strategi yang akan dilakukan oleh Kementerian Sosial adalah dengan mereposisi fungsi balai-balai milik Kementerian Sosial. Balai akan kami fungsikan untuk melakukan koordinasi dengan dinas-dinas yang ada di wilayahnya, Toto menerangkan. Melalui workshop ini diharapkan terjalin sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam menjamin terpenuhinya hak-hak anak, tercipta paradigma bahwa pemberdayaan orang tua anak jalanan yang dilakukan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) tidak lagi pada tataran caritas namun lebih pada untuk mendorong pemberdayaan orang tua anak jalanan untuk membangun dirinya sendiri, dan tercipta kesamaan persepsi bahwa keluarga merupakan sosok penting dalam menentukan kualitas hidup anak. *) Tim Infocare

PURWOKERTO 200 Anak Jadi Korban Eksploitasi Seks


http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/10/dar32.htm PURWOKERTO - Data yang dikumpulkan Kelompok Studi Pinggiran (KSP) Biyung Emban, di Purwokerto ada 200 anak jalanan menjadi korban eksploitasi seks. Dari jumlah tersebut terbagi 30 persen anak laki-laki dan 70 persen anak perempuan. ''Anehnya, Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (DKKS) Banyumas tak punya data sedikit pun mengenai kondisi anak jalanan di Purwokerto,'' kata Koordinator KSP Biyung Emban, Nurlaila Diryat. Ia mengatakan, jumlah anak jalanan yang terdata sekitar 200 anak. Sedang yang tak terdaftar jumlahnya dua kali lipat atau sekitar 400 anak. Mereka menjadi korban eksploitasi seks, secara bisek maupun heteroseksual. ''Karena pola hubungan seks sesama jenis maupun berlainan jenis, 100 di antaranya terancam menderita HIV,'' jelasnya seusai Pembentukan Forum Peduli Anak (FPA) Banyumas kemarin. Anakjalanan, lanjut Laila, memang rawan dengan pola gaya hidup seks bebas. Sehingga sering terjadi kasus sodomi, hamil di luar nikah, maupun menjadi pelacur. Dari 200 anak yang didata KSP Biyung Emban, semua sudah

pernah melakukan hubungan seks bebas. Sering Berbenturan Ketika DKKS Banyumas diminta data anak jalanan, semua saling lempar. Kepala DKKS dr Khoirul Mufied menyuruh menemui Kasubdis Kesejahteraan Sosial, Dra Endang Pudjiorini yang juga menjadi Ketua Panitia Pembentukan Forum Peduli Anak. Namun Endang juga berupaya keras menghindar dengan menyuruh menemui Adhi Pramono, SH . Penggiat KSP Biyung Emban, Dimas Jayasrana mengatakan masalah data sering berbenturan dengan Pemkab Banyumas. Setiap data terbaru diberikan selalu dibantah. ''Kalau data yang kami peroleh di lapangan ada 80 anak jalanan. Pasti selalu dibantah hanya ada 30 anak, padahal Pemkab tidak pernah turun mendata,'' katanya. Dimas juga heran, baru sekarang Pemkab membentuk FPA, padahal permasalahan anak jalanan sudah sejak dulu ada. Seperti di terminal, perempatan Sri Ratu dan beberapa pemberhentian lampu. Menurut Dimas, perhatian Pemkab terhadap anak jalanan sangat rendah. Untuk membantu membuatkan akta kelahiran gratis saja sampai sekarang tidak terpenuhi. (ash-47)

40 Ponpes Jawa Tengah Rekrut 1.500 Anak Jalanan


SOLO-Sebanyak 40 pondok pesantren yang berada di Provinsi Jawa Tengah akan merekrut 1.500 anak jalanan. Ke 40 pondok tersebut merupakan Pondok Pesantren (Ponpes) Pendidikan Terpadu Anak Harapan (Dikterapan) yang telah ditunjuk Kementerian Agama dan akan memberikan pendidikan bagi anak-anak marginal usia 7-15 tahun. Ketua Asosiasi Ponpes Dikterapan Jawa Tengah KH Drs Amrul Choiri MAg mengatakan, kuota anak jalanan yang ditampung di Jawa Tengah sangat banyak jika dibandingkan dengan tujuh provinsi lainnya. Setiap ponpes di Jawa Tengah yang ditunjuk akan ditempati sekitar 40 anak, sehingga kuotanya 1.500 anak, kata Amrul saat ditemui di kediamannya, barubaru ini. Di Jawa Tengah pelaksanannya akan bekerja sama dengan lembaga pendidikan non formal, yakni 40 pondok pesantren yang telah ditunjuk. Setelah itu dilakukan proses perekrutan yang sebelumnya didahului dengan sosialisasi pada dinas-dinas terkait yang membantu pelaksanannya. Akan diadakan sosialisasi dulu pada dinas-dinas dan kepolisian serta satpol PP, ungkap pendiri serta pengasuh Ponpes Terbuka Al Ahad, Surakarta. Dibina Nantinya, santri dari anak jalanan tersebut akan dibina hingga tahun 2014 dan difokuskan pada keahlian dan keterampilan serta pembenahan mental spiritualnya. Semua kebutuhan mereka mulai dari pendidikan, sarana prasarana hingga biaya hidup akan ditanggung. Sementara itu untuk Surakarta, Ponpes yang ditunjuk adalah Ponpes Terbuka Al Ahad.

Alokasi bantuan anggaran dana bagi mereka Rp 500.000 per santri/bulan. Dana tersebut terbilang mepet untuk semua kebutuhan santri. Karena itu, dalam pelaksanannya bekerja sama dengan dinas untuk urusan tenaga pendidiknya. Berdasarkan data Kemenag Surakarta, saat ini di Solo ada 27 ponpes. Sepuluh pondok di antaranya berstatus salafiyah yang hanya mengajarkan pelajaran agama dan satu ponpes berstatus modern. Pondok lainnya berstatus kombinasi yang mengajarkan pelajaran agama dan pendidikan formal. (han-75)

Eksploitasi Anak Jalanan, Parah!


Surabaya- Saat ini, di jalan-jalan banyak terlihat anak jalanan. Padahal, notabene, sebagian dari anak-anak itu justru anak usia sekolah. Dinas Sosial Surabaya pun merasa prihatin dan harus menangani permasalahan tersebut. Dengan gerakan diam-diam atau silent operation, sejak 18 Desember lalu, dinas ini pun turun ke jalan. Ada 48 anak jalanan yang terjaring operasi tersebut. Dari data yang ada, anak-anak itu turun ke jalan tak hanya karena suruhan orang tua, tapi ada juga yang sengaja dieksploitasi oknum tak bertanggungjawab. Menurut Kepala Dinas Sosial Surabaya Eko Hariyanto, razia ini harus dilakukan. Jika tidak, jumlah anak jalanan itu terus bertambah. Saat merazia, kita juga menemukan ada oknum tak bertanggungjawab yang sengaja mengeksploitasi anak jalanan tersebut. Oknum itu sudah kita tangkap dan diserahkan ke pihak kepolisian, aku Eko. Razia tertutup ini akan rutin dilakukan di tempat-tempat acak dan tak terjadwal. Tujuannya agar anak jalanan itu tak tahu pasti jadwal petugas razia. Tujuan aksi itu untuk mengurangi anak jalanan itu beroperasi. Saat kita titipkan di Liponsos, anak jalanan itu tak bisa keluar jika tak dijemput orangtuanya sendiri atau kepala sekolahnya. Kita harapkan, lingkungan, orangtua dan sekolah harus samasama memperhatikan hal ini agar tak ada anak usia sekolah yang mau jadi anak jalanan lagi. Dari 48 anak jalanan yang kita tangkap, enam diantaranya berasal dari sekolah yang sama. Semua pihak harus turut mengawasi anak-anak ini, kata Eko. Eko juga mengaku jika musim liburan, anak jalanan akan bertambah. Sebab, anak-anak ini mencari uang untuk bisa menikmati persewaan play station atau game online. Makanya pada musim liburan bulan ini, razia akan lebih digalakan. Oleh: Windhi Ariesman-Editor: Vivi Irmawati Sumber: Berita Terbaru

Open Dioalo Issue : Penanganan Anak Jalanan Tanggal: Rabu, 04 Mei 2011 Topik: Organisasi Hukum dan Humas

Persoalan Anak Jalanan dan Kemiskinan Harus Diselesaikan Berbarengan Oleh : Lestari W*)

Penyelesaian persoalan anak jalanan dan kemiskinan harus dilakukan secara bersama-sama. Sebab, faktor utama yang mendorong anak-anak turun ke jalanan adalah kemiskinan. Ada dua cara pandang terkait anak jalanan. Pertama, anak jalanan sebagai sebuah masalah dan kedua sebagai sebuah fenomena. Dalam pandangan Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos, Makmur Sunusi, anak jalanan bukanlah sebuah masalah melainkan sebuah fenomena yang menunjukkan suatu gejala tertentu. Yang jadi masalah adalah apa yang ada di balik fenomena tersebut, apa penyebab utamanya? Dalam kasus anak jalanan, sebab utamanya adalah kemiskinan. Dari situ kemudian kita lihat berapa populasinya dan dari mana kantong-kantongnya. Jadi harus paralel antara mengurangi populasi kemiskinan dengan gejala yang terjadi. Sepanjang kemiskinan masih ada maka fenomena anak jalanan masih akan terus ada," papar Makmur ketika berbicara dalam acara bertajuk Open Dialog Issue/Debat Publik Dalam Rangka Publikasi dan Promosi Program Kesejahteraan Sosial Anak, di Jakarta, Selasa (3/5).

Lebih jauh Makmur mengatakan, tertutupnya akses masyarakat miskin ke sumber-sumber modal telah menyebabkan mereka mengambil jalan pintas dengan mengeksploitasi anak mereka sendiri. Karena itu yang harus dilakukan dalam menyelesaikan persoalan anak jalanan pertama-tama adalah bagaimana mengembalikan anak-anak yang sudah terlanjur turun ke jalan agar dapat bersekolah lagi dan memberdayakan orang tua mereka dengan memberi bantuan modal untuk usaha. Dari sini kami ingin agar selain ada Program Keluarga Harapan (PKH) juga ada PKH untuk anak. Sebab selama ini PKH langsung diberikan melalui jalur keluarga sedangkan anak-anak yang termasuk dalam kategori marjinal tidak mendapat bantuan. Inilah awal dari ide membuat Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), terang Makmur. Makmur menjelaskan, untuk menangani anak jalanan pemerintah sudah menyediakan dana APBN untuk 4.500 anak jalanan. Sementara untuk mencapai target Jakarta Bebas Anak Jalanan Tahun 2011 Pemda DKI melalui APBD telah menganggarkan dana untuk 2.500 anak jalanan dari 8.000 anak jalanan yang ada di DKI Jakarta. Kami terus mencari metode yang sistematis untuk menangani anak jalanan. Dan itu tidak gampang karena harus melihat dari berbagai sisi. Ketika sudah mendapat design yang pas, harus dilihat lagi berapa jumlah populasi mereka dan bagaimana aksinya dengan dana yang ada. Sejauh ini sudah ada 320 perusahaan yang mau terlibat dalam penanganan anak jalanan

sehingga kami optimis target tahun 2011 Jakarta Bebas Anak Jalanan akan bisa tercapai, kata Makmur optimis. Jika nantinya terjadi penyimpangan dalam target tersebut, Makmur menambahkan, itu artinya anak-anak jalanan itu berasal dari luar Jakarta. Untuk mengatasinya harus dibuat blokade atas daerah-daerah yang menjadi daerah tempat anak-anak tersebut berasal. Caranya dengan menerapkan program yang sama di daerah itu dengan melibatkan pemerintah daerah.

Tidak Selalu Bisa Kembali Ke Sekolah Umar Sumardinata dari Rumah Singgah An Nur Muhiyam, Jakarta, yang turut menjadi pembicara dalam acara tersebut menyatakan, sejauh ini PKSA berhasil membuat anak-anak jalanan yang ditanganinya keluar dari jalanan. Dari 75 anak jalanan yang diasuhnya sebanyak 85 persen telah kembali ke keluarga mereka dan bisa bersekolah lagi. Jumlah anak jalanan yang masih dalam usia sekolah sudah jauh berkurang sekarang ini. Yang mengamen justru kebanyakan yang sudah berusia 18 tahun ke atas, yang sudah bukan anak-anak lagi, ujar Umar. Sementara itu Abdul Hakim dari International Labour Organization (ILO) mengatakan, fakta yang terjadi di lapangan seringkali tidak semudah yang dibayangkan, khususnya terkait usaha mengembalikan anak-anak jalanan ke sekolah. Nyatanya, banyak sekolah yang menolak menampung anak-anak jalanan di tempat mereka dengan alasan bukan berasal dari DKI Jakarta. Misalnya saja pada tahun 2009, dari 1.200 anak jalanan yang ditangani hanya 204 yang benar-benar bisa kembali ke sekolah lagi. Itu pun setelah diperjuangkan habis-habisan. Sebab 25 persen dari anak-anak tersebut bukan warga DKI Jakarta. PKSA merupakan program yang menarik, terlebih tujuannya adalah mengembalikan anak ke sekolah. Sayangnya institusi pendidikan yang menjadi rujukan tidak pernah siap, walaupun sudah ada MoU dengan Kementerian Pendidikan Nasional, tegas Hakim. Menanggapi hal tersebut Makmur menyatakan masalah anak jalanan yang tidak diterima di sekolah seharusnya tidak terjadi. Sebab, beberapa tahun lalu hal itu memang tidak menjadi masalah, terlebih ketika ada Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang disediakan khusus untuk anak marjinal. "Jadi dulu ada dua BOS yakni di Kemensos, yang dananya berasal dari ADB, dan di Kemendiknas. Dana BOS di Kemensos dibuat untuk anak-anak termarjinalkan seperti anak jalanan. Namun, pada saat ADB pergi, dana BOS di Kemensos dihentikan. Akibatnya, anak jalanan kembali tidak terurus," tukasnya. *) Tim Info Care

Artikel dari Ditjen Rehsos || Kemensos RI http://rehsos.depsos.go.id


KSP. Biyung Emban adalah Lembaga Sosial Masyarakat yang secara resmi berdiri tanggal 25 September 1998, dengan akta Notaris No. 4, 22 Maret 1999. Filosofi nama Biyung Emban diambil dari bahasa jawa, Biyung (Ibu), Emban (Menggendong, Mengasuh). Biyung Emban berarti Orang tua yang mengasuh, membimbing, mendidik. Aktifitas Biyung Emban telah dimulai sebelum tahun 1998 dengan fokus pada program pembinaan anak jalanan dan pemberdayaan masyarakat pinggiran di wilayah Kabupaten Banyumas, sebuah kota transit jalur selatan yang terletak di bagian barat dan selatan Jawa Tengah dengan ibu kota Purwokerto sebagai kota administratif yang dilingkupi Gunung Slamet dan Sungai Serayu. Bagi sebuah organisasi sosial yang usianya relatif masih muda, Biyung Emban pada awalnya hanya menfokuskan kepada pembinaan anak jalanan terminal bus Purwokerto dan masyarakat Pinggiran perkampungan kumuh belakang Terminal Bus Purwokerto yang dijuluki masyarakat dengan Kampung Dayak. Sebutan ini tentunya membawa dampak yang negatif, dan akhirnya Biyung Emban mengganti Kampung Dayak dengan nama Kampung Sri Rahayu yang pencanangannya diresmikan Walikotatif Purwokerto. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka Biyung Emban setelah berdiri secara resmi dengan akta notaris NO. 4, 22 Maret 1999, mengibarkan bendera sebagai LSM yang bergerak dalam perlindungan, pembinaan dan pendidikan anakanak rawan dan pemberdayan masyarakat pinggiran di wilayah Banyumas. Pada bulan April 1999, Biyung Emban dipercaya Unicef Indonesia bekerjasama dalam program NFE pendidikan alternatif dan Informal bagi anak jalanan dan pekerja anak di Banyumas yang berakhir pada bulan Juni 2000, tanggal 1 May 2000 BE sebagai salah satu dari sembilan LSM di Indonesia mendapat udangan pada World Summit for Children 30 May - 2 Juni 2000 di UNICEF New York. Pada bulan April 1999- Desember 2000 dipercaya Kanwil Depsos Jawa Tengah untuk bekrjasama dalam program pembinaan anak jalanan melalui Rumah Singgah dan pemberdayaan orang tua anak jalanan dalam wirausaha mandiri. Sebagai LSM yang Independen dalam menjalankan programnya Biyung Emban telah menjalin kerjasama baik dengan seluruh masyarakat, Instansi pemerintah dan non pemerintah, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Tengah dan dengan semua pihak yang concern dan peduli terhadap anak rawan dan masyarakat pinggiran. Untuk menguatkan aksi bersama dalam program perlindungan anak, Biyung Emban telah bergabung dalam jaringan LSM-LSM peduli anak di seluruh Indonesia. (C)BiyungEmban 08/2000 e-mai: biyung_emban@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai