Anda di halaman 1dari 58

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PROGRAM DINAS SOSIAL

DALAM MELAKUKAN PENANGANAN ANAK JALANAN


PADA RUMAH SINGGAH “BAIMAN” LINGKAR BASIRIH
KOTA BANJARMASIN

PROPOSAL

Untuk Seminar dalam Penulisan Skripsi

Program Studi Ilmu Pemerintahan

Disusun Oleh:

Siti Istiqamah (1910413320015)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

BANJARMASIN

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semakin majunya zaman melahirkan berbagai masalah sosial

dikalangan masyarakat, salah satunya yaitu kemiskinan. Kemiskinan

merupakan masalah sosial yang menjadi lingkaran setan bagi negara – negara

berkembang dunia, khususnya bagi masyarakat pra-sejahtera dan tidak jarang

berimplikasi pada pemenuhan hak – hak anak. Anak yang seharusnya

merasakan kehidupan yang aman, damai, pendidikan terjamin, justru terpaksa

harus turun ke jalan sebagai pekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan

ekonomi keluarga dan terkadang menjadikan jalanan sebagai tempat

bernaungnya. Sebagai seorang anak yang belum layak untuk bekerja, tentu

saja dunia kerja yang keras dan jalanan yang penuh dengan bahaya akan

mengganggu perkembangan fisik dan mentalnya sebagai seorang anak.

Permasalahan tentang anak jalanan di Indonesia memang bukan

permasalahan yang baru. Permasalahan ini cenderung terjadi di kota – kota

besar, begitu juga dengan Kota Banjarmasin. Apabila kita lihat dari aspek

kesejahteraan sosial, kondisi kehidupan sehari – hari anak jalanan sangat

memprihatinkan. Pola kehidupan mereka cenderung tidak sesuai dengan apa

yang seharusnya mereka peroleh. Kondisi anak jalanan yang harus bekerja di

jalanan secara tidak langsung telah menghilangkan hak – hak yang seharusnya

diperoleh anak. Berbagai upaya telah banyak dilakukan pemerintah dalam

1
menangani upaya permasalahan tentang anak jalanan. Namun seiring dengan

kemajuan zaman dan perekonomian yang semakin sulit memperparah kasus

anak jalanan.

Anak jalanan adalah mereka yang belum berusia 16 tahun yang terlibat

dalam kegiatan ekonomi sektor informal contohnya seperti menjajakan Koran,

menjual rokok/permen, pengemis, badut jalanan, pengamen, dll (Fatimah,

2001) Pada umur tersebut secara umum seorang anak seharusnya masih

berada dalam dunia pendidikan antara tingkat sekolah dasar sampai sekolah

lanjut atas dan masih dalam tanggung jawab orang tua. Definisi lain, menurut

UNICEF (1986) yang dikutip oleh Lusk dalam Journal of Sociology & Social

Welfare (1989:59) anak jalanan di bagi menjai 3 kategori: Anak yang

mempunyai resiko tinggi (children at high risk), Anak yang bekerja di jalan

(children on the street) dan anak yang hidup di jalan (children of the street).

Berdasarkan data Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2008, menunjukan bahwa

anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Pada tahun 2010

mengalami peningkatan sekitar 5,4% sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta

anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan

berjumlah 10,3 juta anak atau 17,6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu

58,7 juta anak (UNICEF, 2020).

Pemerintah Kota Banjarmasin memiliki kewajiban untuk menjamin

hak – hak setiap anak yang ada di Kota Banjarmasin agar dapat hidup, tumbuh

dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta sebagai

2
pelaksana tanggung jawab pemerintah daerah (Undang – Undang

Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002). Setiap anak berhak memperoleh

pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan

tingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya, tidak terkecuali anak

jalanan. Pencapaian kesejahteraan anak di daerah dilaksanakan melalui

pembinaan, pengembangan potensi, pemberdayaan serta pengawasan terhadap

anak dan merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah, Lembaga

Perlindungan Anak, Masyarakat dan Orang tua/Keluarga dalam melindungi

anak.

Anak jalanan dapat dengan mudah kita jumpai keberadaannya disetiap

penjuru Kota Banjarmasin, seperti di pinggir jalan, terminal induk, jembatan

merdeka, masjid raya, masjid jami, pasar sudimampir, pasar lama dan

beberapa kantor pemerintah bahkan sampai pada lingkungan kampus –

kampus yang ada di Kota Banjarmasin. Bahkan fenomena yang sedang marak

terjadi adalah menjamurnya badut jalanan yang dapat kita jumpai di sepanjang

kota. Mirisnya sosok dalam badut jalanan tersebut kebanyakan adalah anak

kecil yang seharusnya merasakan pendidikan yang layak dan dapat bermain

dengan teman sebayanya, tanpa harus memikirkan permasalahan ekonomi.

Program penanganaan yang dilakukan Pemerintah Kota Banjarmasin

terbagi menjadi 2, yaitu (a) program penanganan pendidikan dan (b) program

pembinaan anak jalanan pada rumah singgah. Pembinaan dan pemberdayaan

ini dilakukan untuk memberikan pelatihan dan rehabilitasi bagi anak jalanan

3
yang sudah terjaring razia oleh Satpol PP, yang nantinya akan diberikan bekal

bagi mereka agar tidak kembali ke jalanan.

Rumah singgah adalah tempat penampungan sementara anak jalanan

sebagai wahana pelayanan kesejahteraan sosial Kementrian Sosial Republik

Indonesia. Rumah singgah merupakan proses informal yang memberikan

suasana pusat resosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma di

masyarakat (Afifah, 2014).

Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia, rumah singgah hanya

digunakan semata – mata sebagai perantara anak jalanan dengan pihak – pihak

yang akan membantu mereka sebagai proses informal yang memberikan

suasana pusat realisasi dan sosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan

norma masyarakat. secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah

untuk membantu anak jalanan dalam mengatasi masalah – masalah dan

menemukan alternative untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Rumah Singgah disadari sebagai kebutuhan bagi anak yang hidup di

jalan. Selain dimaksudkan sebagai tempat bernaung, rumah singgah juga

diharapkan menjadi basis bagi pelayannan berikutnya, seperti pelayanan

kesehatan dan pendidikan, pendampingan dan konseling bagi anak yang

sedang bermasalah. Selain itu, rumah singgah juga diharapkan menjadi ruang

komunikasi yang harmonis antara anak dan pihak yang menaruh perhatian

pada kehidupan anak. Keberadaan rumah singgah terhadap anak – anak

jalanan sangat penting peranannya untuk memperoleh masukan yang berkaitan

dengan pembinaan yang menanamkan nilai – nilai normative dan ilmu

4
pengetahuan, serta kesempatan untuk bermain bersama – sama dengan anak –

anak yang lain

Pemerintah Kota Banjarmasin melalui Dinas Sosial memberikan

penanganan terhadap anak jalanan di Rumah Singgah “Baiman” Lingkar

Basirih. Rumah Singgah “Baiman” ini dibangun pada tahun 2010 dan dikelola

oleh Dinas Sosial Kota Banjarmasin untuk membina PMKS seperti

gelandangan, pengemis, anak jalanan dan orang sakit jiwa. Pembinaan dan

pemberdayaan bagi anak jalanan pada Rumah Singgah “Baiman” dilakukan

untuk memberikan pelatihan dan rehabilitasi bagi anak jalanan yang sudah

terjaring razia oleh pihak Satpol PP yang nantinya mereka akan diberikan

bekal dengan berbagai pelatihan sebagai bentuk penanganan agar mereka tidak

kembali lagi ke jalanan. Sayangnya pembinaan yang dilakukan di Rumah

Singgah “Baiman” ini diduga tidak berjalan dengan efektif untuk mampu

mengatasi bahkan untuk mengurangi angka anak jalanan yang ada di Kota

Banjarmasin.

Jumlah anak jalanan di Kota Banjarmasin pada tahun 2012 sebanyak

22 orang. Pada tahun 2013 berjumlah 79 orang dan yang terbina hanya sekitar

60,76%. Kemudian terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun

2014 sebanyak 89 orang dan terus meningkat menjadi 149 orang pada tahun

2020 dengan rincian per-kecamatan di kota Banjarmasin sebagai berikut :

Table 1. Data Anak Jalanan di Kota Banjarmasin

No Kecamatan Jumlah

5
1. Banjarmasin Selatan 44 orang

2. Banjarmasin Timur 14 orang

3. Banjarmasin Barat 34 orang

4. Banjarmasin Utara 31 orang

5. Banjarmasin Tengah 26 orang

TOTAL 149 PMKS

Sumber : Si Sintal (Sistem Informasi Manajemen Data Kesejahteraan Sosial Kota

Banjarmasin)

Program yang dilaksanakan dengan efektif seharusnya mampu

membawa dampak positif bagi banyak pihak, baik bagi penerima manfaat,

keluarga, masyarakat serta pemerintah daerah. Kembalinya hak – hak anak

mulai dari pendidikan, kemudahan akses kesehatan, menurunnya presentase

jumlah anak jalanan, memperoleh keamanan dan jauh dari rasa was – was

akan bahaya jalanan dan memperoleh jaminan atas perlindungan dari

penelantaran orang tua. Peningkatan jumlah anak jalanan setiap tahunnya

juga menggambarkan belum efektifnya penanganan yang dilakukan

Pemerintah Kota Banjarmasin.

Hal ini juga didukung hasil temuan Jurnal Pendidikan

Kewarganegaraan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin ada

beberapa masalah yang dihadapi oleh Dinas Sosial Kota Banjarmasin. Mulai

dari sulitnya pendekatan dengan anak jalanan, hingga pembinaan rumah

singgah dengan waktu singkat yang dirasa tidak seimbang dengan kehidupan

anak jalanan yang bertahun – tahun hidup di jalan. Selain itu, terjadi

6
kecenderungan program ini tidak efektif. Ketika pembinaan selesai dilakukan

dan mereka kembali ke lingkungannya, mereka cenderung kembali hidup di

jalan dan melakukan aktivitas mereka seperti semula.

Maka dari itu, hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian

untuk melihat apakah program pembinaan dan rehabilitasi anak jalanan oleh

“Rumah Singgah Baiman” tersebut efektif dalam memberikan solusi

permasalahan penanganan anak jalanan yang ada. Penelitian ini akan

difokuskan pada bahasan mengenai efektivitas pelaksanaan program

penanganan anak jalanan melalui pembinaan Rumah Singgah “Baiman”

Lingkar Basirih, pembinaan apa saja yang dilakukan, apakah pembinaan

tersebut efektif dan melihat faktor apa saja yang menghambat dalam proses

pembinaan Rumah Singgah Baiman Lingkar Basirih.

1.2 Penelitian Terdahulu

1. Hary Prayogo (2018), dalam skripsi yang berjudul Efektivitas Penanganan

Gelandangan dan Pengemis Oleh Dinas Sosial Kota Banjarmasin, dengan

hasil penelitian menunjukan bahwa efektivitas penanganan gelandang dan

pengemis oleh Dinas Sosial Kota Banjarmasin dapat dikatakan belum

optimal. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan gelandangan dan pengemis

di jalan, meskipun terlihat ada terjadi penurunan jumlah, yang awalnya di

tahun 2016 ada sebanyak 71 orang dan berkurang menjadi 70 orang pada

tahun 2017. Namun pembinaan yang dilakukan pada rumah singgah belum

memberikan pengaruh yang signifikan. Kendala yang dihadapi yaitu

7
sulitnya melakukan pembinaan di Rumah Singgah karena sifatnya yang

sementara sehingga gepeng sulit menerima pengarahan yang diberikan

oleh Dinas Sosial. Dinas Sosial yang tidak dapat memberikan modal

kepada Gepeng yang sudah selesai memperoleh pembinaan karena

anggaran yang terbatas. Integrasi yang belum optimal karena keterbatasan

adanya keterbatasan anggaran, dan adaptasi yang tidak optimal karena

keterbatasan sarana dan prasaran untuk pembinaan Gepeng.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Hary Prayogo (2018)

dengan yang peneliti lakukan yaitu penggunaan pendekatan penelitian

yang sama yaitu kualitatif dengan tipe deskriptif dan bentuk

pengumpualan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi.

Selain itu, lokasi penelitian yang sama, yaitu Dinas Sosial Kota

Banjarmasin dan Rumah Singgah “Baiman” Lingkar Basirih. Perbedaan

dari penelitian ini yaitu pada fokus masalah yang diambil oleh peneliti,

peneliti memfokuskan untuk melihat Efektivitas Penanganan Anak Jalanan

pada Rumah Singgah “Baiman” yang dikelola oleh Dinas Sosial Kota

Banjarmasin.

2. Dian Permata Sari dan Titik Sumarti, 2017 dalam Jurnal yang berjudul

Analisis Efektivitas Program Pemberdayaan Anak Jalanan di Rumah

Singgah Tabayun Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Hasil

penelitian menunjukan, berdasarkan analisis empat indikator tingkat

efektivitas program pemberdayaan anak jalanan yang meliputi ketepatan

sasaran, keberhasilan sosialisasi, pencapaian tujuan dan pemantauan

8
program menunjukan bahwa program pemberdayaan anak jalanan di

Rumah Singgah Tabayun memiliki tingkat efektivitas yang rendah.

Persamaan penelitian yang dilakukan Dian Pemata Sari dan Titik

Sumiarti (2017) dengan yang peneliti lakukan yaitu sama – sama

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan jenis penelitian

deskriptif. Sama – sama menjadikan pemberdayaan anak jalanan yang ada

di rumah singgah sebagai objek penelitian. Perbedaan dari penelitian ini

dilihat dari lokasi penelitian yang berbeda dan indikator pengukuran

tingkat efektivitas yang berbeda.

3. Biru Bara Nirvana Cahyadhi, Nira Zhafirah Puspitasari, Dewi Austine

Britania dan Kalvin Edo Wahyud (2021) dalam jurnal berjudul Efektivitas

Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan di UPTD

Kampung Anak Negeri Kota Surabaya. Hasil dari penelitian ini

menunjukan bahwa efektivitas program layanan kesejahteraan anak

jalanan di UPTD Kampung Anak Negri secara umum belum berjalan

optimal. Hal ini dikarenakan anak belum bertindak secara normatif

sehingga sulit untuk dipaksa mengikuti aturan – aturan yang berlaku

seperti saat mengikuti pendidikan formal di sekolah atau mengikuti

program di UPTD Kampung Anak Negri dengan baik. Kurangnya

motivasi yang dimiliki anak jalanan, rasa malas belajar, serta kurangnya

partisipasi dari keluarga mempengaruhi anak jalanan dalam mengikuti

semua program pelayanan di UPTD.

9
Persamaan penelitian yang dilakukan Biru Bara Nirvana Cahyadhi,

Nira Zhafirah Puspitasari, Dewi Austine Britania dan Kalvin Edo

Wahyud (2021) dengan yang peneliti lakukan yaitu sama – sama

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian

deskriptif. Sama – sama melakukan penelitian untuk melihat faktor

penghambat dalam implementasi program. Perbedaan dari penelitian ini

berada pada lokasi penelitian yang berbeda dan indikator penilaian

efektivitas program yang berbeda. Pada penelitian Biru Bara Nirvana dkk

(2021) menggunakan indikator efektivitas menurut James L. Gibson

sedangkan peneliti menggunakan indikator efektivitas menurut Kettner,

dkk. (2008:262).

4. Rizcah Amelia (2015), dalam skripsi yang berjudul Efektivitas

Pelaksanaan Program Penanganan Anak Jalanan di Dinas Sosial Kota

Makassar. Hasil dari penelitian ini berdasarkan ketepatsasaran program

yang terdiri dari 3 indikator yang ditunjukan untuk anak jalanan, orang tua

anak jalanan dan masyarakat memang sudah cukup efektif. Karena anak

jalanan yang menjadi sasaran dari program penanganan anak jalanan ini

diberikan bantuan beasiswa dan paket pendidikan berupa peralatan –

peralatan sekolah dan pelatihan keterampilan untuk yang putus sekolah.

Sedangkan untuk orang tua anak jalanan sendiri diberikan modal usaha

untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga mereka. Untuk

masyarkat sendiri, Dinas Sosial selalu menghimbau kepada masyarakat

10
agar tidak memberi uang kepada anak jalanan agar anak tersebut tidak

turun lagi ke jalan untuk meminta – minta.

Persamaan penelitian yang dilakukan Rizcah Amelia (2015)

dengan yang peneliti lakukan yaitu sama – sama menggunakan pendekatan

penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Selain itu sama –

sama menggunakan anak jalanan sebagai objek yang diteliti. Perbedaan

dari penelitian ini dengan yang peneliti lakukan yaitu lokasi penelitian

yang berbeda dan penggunaan indikator efektivitas yang berbeda.

5. Sulikah Asmorowati (2008), dalam jurnal berjudul Efektivitas Kebijakan

Perlindungan Pekerja Anak (Child labour) Dengan Fokus Anak Jalanan di

Kota Surabaya. Hasil dari penelitian ini dari segi implementasinya,

program tersebut masih belum efektif kerena belum mampu mencapai

target/tujuan yang telah ditetapkan dalam formulasinya. Ditambah dengan

adanya realitas seperti program salah sasaran, karena tidak terlaksana

secara khusus untuk anak jalanan, program yang tidak berkelanjutan serta

kurangnya koordinasi. Hal ini menyebabkan terjadi kecenderungan

peningkatan anak jalanan dari tahun ke tahun.

Persamaan penelitian Sulikah Asmorowati (2008) dengan yang

peneliti lakukan yaitu pada sama – sama menggunakan pendekatan

penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Selain itu sama –

sama menggunakan anak jalanan sebagai objek yang diteliti. Perbedaan

dari penelitian ini yaitu dari fokus masalah yang diambil oleh dari

Efektivitas Pelaksanaan Program Dinas Sosial Dalam Melakukan

11
Penanganan Anak Jalanan Pada Rumah Singgah “Baiman”. Pada

penelitian ini peneliti menggunakan pekerja anak (child labour) sebagai

objek penelitian dan berbeda dengan yang peneliti lakukan yaitu

menggunakan anak jalanan.

6. Budi Hasanah, Liza Diniarizky Putri (2018), dalam jurnal yang berjudul

Efektivitas Program Penanganan Anak Jalanan Berbasis Community

Development di Kota Serang (Studi Pada Program Rumah Singgah). Hasil

penelitian menunjukan program ini dinilai tidak berjalan dengan efektif.

Hal ini dikarenakan tidak tercapainya tujuan dalam menanggulangi anak

jalanan dan jumlah anak jalanan semakin meningkat. Selain itu, kurangnya

sosialisasi kepada masyarakat terkait program rumah singgah dan

kurangnya pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai

macam unsur yang memiliki kepentingan (baik pihak pemerintah maupun

non-pemerintah) dalam menangani masalah anak jalanan. Selain itu,

karena tidak ada dana dan kurangnya SDM dan kurangnya keseriusan

pemerintah untuk menangani permasalahan anak jalanan.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Budi Hasanah, Liza

Diniarizky Putri (2018) dengan yang peneliti lakukan yaitu sama

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tipe penelitian

deskriptif. Selain itu, sama – sama menggunakan anak jalanan sebagai

objek yang diteliti. Perbedaan dari penelitian ini dari segi lokasi penelitian

dan indikator penilaian yang berbeda.

12
Table 2. Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Penelitian Keterangan

1. Hary Prayogo, Efektivitas Jenis Penelitian : Kualitatif

2018. Universitas Penanganan

Lambung Gelandangan dan Hasil : efektivitas penanganan

Mangkurat Pengemis Oleh gelandangan dan pengemis

Banjarmasin. Dinas Sosial Kota oleh Dinas Sosial dan Tenaga

Fakultas Ilmu Banjarmasin Kerja dapat dikatakan belum

Sosial dan Ilmu optimal. Hal ini dapat dilihat

Politik dari keberadaan gelandangan

dan pengemis di jalan,

meskipun terjadi penurunan

jumlah, pembinaan yang

dilakukan pada rumah

singgah tidak memberikan

pengaruh banyak.

2. Dian Permata Sari Analisis Efektivitas Jenis Penelitian : Kuantitatif

dan Titik Sumarti, Program

2017. Jurnal Sains Pemberdayaan Anak Hasil : Hasil dari penelitian

Komunikasi dan Jalanan di Rumah ini menunjukkan bahwa

Pengembangan Singgah Tabayun karakteristik peserta program

Masyarakat Kecamatan seperti usia, jenis pekerjaan,

Institut Pertanian Cibinong, Kabupaten dan jam kerja memiliki

13
Bogor Bogor hubungan dengan tingkat

efektivitas program. Hasil uji

korelasi menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara

tingkat efektivitas program

dengan perubahan perilaku

peserta program di tingkat

perubahan pengetahuan.

Penelitian ini juga

menunjukkan bahwa tingkat

efektivitas program di Rumah

Singgah Tabayun masih

rendah.

3. Biru Bara Nirvana Efektivitas Program Jenis Penelitian : Kualitatif

Cahyadhi, Nira Pelayanan

Zhafirah Kesejahteraan Sosial Hasil : Hasil penelitian

Puspitasari, Dewi Anak Jalanan di menunjukkan bahwa

Austine Britania UPTD Kampung program pelayanan

dan Kalvin Edo Anak Negeri Kota kesejahteraan anak jalanan

Wahyud, 2021, Surabaya belum terlaksana secara

Program Studi efektif karena rendahnya

Ilmu kesadaran, motivasi, dan

Pemerintahan, keinginan dari anak

14
UPN Veteran jalanan itu sendiri.

Jawa Timur Implementasi yang tidak

efektif tersebut

mengakibatkan tumbuh

kembang anak jalanan yang

kurang optimal sebagai

peserta program pelayanan

kesejahteraan sosial.

4. Rizcah Amelia, Efektivitas Jenis Penelitian : Kualitatif

2015, Program Pelaksanaan Program

Studi Ilmu Penanganan Anak Hasil : Hasil penelitian

Pemerintahan, Jalanan di Dinas menunjukkan bahwa belum

Fakultas Ilmu Sosial Kota cukup efektifnya program

Sosial dan Ilmu Makassar penanganan anak jalanan di

Politik, dinas sosial kota Makassar,

Universitas dari hasil penelitian ini

Hasanuddin, menunjukkan bahwa masih

Makassar ada beberapa hal yang harus

diperhatikan oleh Dinas

Sosial kota Makassar dalam

menangani anak jalanan.

Salah satunya masalah

sosialisasi kepada masyarakat

15
tentang program penanganan

anak jalanan.

5. Sulikah Efektivitas Jenis penelitian : Kualitatif

Asmorowati, Kebijakan

2008, Program Perlindungan Pekerja Hasil : Sedangkan pada

Studi Ilmu Anak (Child labour) konteks implementasi,

Administrasi Dengan Fokus Anak penelitian ini menemukan

Negara, Fakultas Jalanan di Kota bahwa implementasi

Ilmu Sosial dan Surabaya kebijakan tentang anak

Ilmu Politik jalanan di Surabaya belum

Universitas efektif karena belum dapat

Airlangga mencapai maksud dan tujuan

kebijakan tersebut. Apalagi

belum ada kebijakan yang

dirancang khusus untuk anak

jalanan serta belum adanya

koordinasi yang baik antar

instansi terkait dengan

kebijakan tersebut.

6. Budi Hasanah, Efektivitas Program Jenis Penelitian : Kualitatif

Liza Diniarizky Penanganan Anak deskriptif

Putri (2018). Jalanan Berbasis

Jurnal Ilmu Community Hasil : Program yang telah

16
Pemerintahan Development di Kota diupayakan oleh pemerintah

Universitas Serang (Studi Pada adalah terbentuknya Program

Serang Raya, Program Rumah Rumah Singgah. namun,

Indonesia Singgah) seiring berjalannya waktu

program ini tidak berjalan

dengan efektif. Hal ini

dikarenakan tidak tercapainya

tujuan dalam menanggulangi

anak jalanan yang terlihat

bahwa jumlah anak jalanan

semakin meningkat.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok

permasalahan pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan program penanganan anak jalanan

di Rumah Singgah “Baiman” Lingar Basirih Dinas Sosial Kota

Banjarmasin?

2. Apa saja faktor penghambat dalam proses penanganan anak jalanan di

Rumah Singgah “Baiman” Lingkar Basirih Dinas Sosial Kota

Banjarmasin?

1.4 Tujuan Penelitian

17
Adapun tujuan dari pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis apakah program penanganan anak jalanan di Rumah

Singgah “Baiman” Lingkar Basirih Dinas Sosial Kota Banjarmasin

sudah efektif dalam memberikan pembinaan dan rehabilitasi.

2. Memahami faktor penghambat dalam proses penanganan anak jalanan di

Rumah Singgah “Baiman” Lingkar Basirih Dinas Sosial Kota

Banjarmasin.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis ini diharapkan dapat memberikan

manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Bagi penulis, penelitian ini merupakan salah satu syarat wajib

untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan. Sehingga diharapkan

dengan adanya penelitian ini akan melatih dan menambah pengetahuan

penulis lebih luas khususnya pada partisipasi keberlanjutan program,

sehingga setelah menyelesaikan studi di fakultas ini, hasil dari penelitian

ini dapat direalisasikan untuk praktiknya di lapangan.

2. Secara praktis

Penulis berharap penelitian ini dapat berguna sebagai bahan

masukan dan pertimbangan terhadap penyelenggaraan sistem

18
pemerintahan sebagai landasan evaluasi (think again) dan perbaikan di

lapangan.

19
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Pelayanan Publik

2.1.1 Pengertian Pelayanan Publik

Konsep atau terminologi pelayanan berasal dari kata service.

DeVrye (1994) dalam (Mulyadi dkk, 2018) mengatakan ada dua

pengertian yang terkandung di dalamnya, yakni “…the attendance of an

inferior upon a superior” atau “to be useful”. Pengertian pertama

mengandung unsur ikut serta atau tunduk dan pengertian kedua

mengandung suatu kebermanfaatan atau kegunaan. Pengertian kedua dari

pendapat DeVrye tersebut sejalan dengan pendapat Davidow Uttal (1989)

yang memberikan pengertian lebih luas yaitu “…whatever enhances

customer satisfaction”. Dengan demikian dikatakan bahwa pelayanan

merupakan suatu usaha mempertinggi kepuasan pelanggan.

Konsep pelayanan menurut Lovelock dan Wright (1999:5) yaitu

bahwa pelayanan merupakan aktivitas yang ditawarkan kepada pihak lain.

Pelayanan bersifat intangible, artinya pelayanan tidak dapat dilihat,

dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi. Dengan

demikian pelayanan tidak dapat dimiliki oleh pihak yang menerima.

Pelayanan merupakan aktivitas ekonomi yang menghasilkan nilai dan

memberi keuntungan kepada pelanggan.

19
Pelayanan dikatakan tidak berwujud berarti pelayanan itu hanya

dapat dirasakan. Oleh karena itu, Kotler dan Keller (2012: 358)

memberikan empat karakteristik dari konsep pelayanan yaitu:

1) Intangibility atau tidak berwujud bahwa pelayanan tidak dapat dilihat,

dirasakan, didengar, ataupun dicium sebelum dibeli dan dikonsumsi

oleh pengguna.

2) Inserparability atau tidak terpisahkan, maksudnya bahwa kegiatan

pelayanan tidak dapat dipisahkan dari pemberi layanan, baik

perorangan maupun organisasi serta perangkat mesin atau teknologi

karena jasa umumnya diproduksi dan dikonsumsi sekaligus.

3) Variability atau bervariasi, maksudnya bahwa pelayanan sangat

beraneka ragam, tergantung siapa yang memberikan, kapan dan

dimana, serta kepada siapa pelayanan diberikan.

4) Perishability atau dapat dimusnahkan, maksudnya bahwa pelayanan

tidak bisa disimpan, sehingga pada dasarnya pelayanan dikonsumsi

pada saat itu juga.

Pengertian pelayanan publik sesuai dengan Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor

63/KEP/M.PAN/7/2003, adalah “segala kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya

pemenuuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksana ketentuan

peraturan perundang – undangan”. Sinambela dkk. (2008:5)

mendefinisikan pelayanan public sebagai berikut “Pelayanan publik

20
diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap

sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan

dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan

meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.”

Sedangkan menurut Kurniawan (2005:4), pelayanan publik dapat diartikan

sebagai pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat

yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan

pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Dapat disimpulkan berdasarkan

beberapa pendapat di atas bahwa pelayanan publik dapat dimaknai sebgai

aktivitas pelayanan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat.

Konsep pelayanan publik di Indonesia dirumuskan dalam Undang

– Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam UU

tersebut, pelayanan publik didefinisikan berdasarkan pembiyaan dan sifat

pembiayaan. Konsep sistem pemerintah yang desentralistik di Indonesia

memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan

pelayanan yang responsive dan sesuai dengan aspirasi dan dinamika lokal.

Dwiyanto (2010:18) menyatakan bahwa pelayanan publik harus dilihat

dari karakteristik dan sifat pelayanan itu sendiri, bukan karakteristik

lembaga penyelenggara atau sumber pembiyaan semata. Oleh karena itu,

pengembangan pelayanan publik harus berorientasi kepada rakyat.

Kepentingan masyarakat secara keseluruhan harus ditempatkan sebagai

pertimbangan utama dalam mengembangkan sistem pelayanan public.

21
2.1.2 Prinsip – Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Adapun yang berkaitan dengan prinsip standar pelayanan

sebagaimana disebutkan dalam Permenpan dan RB No. 15 tahun 2015

bahwa dalam penyusunan, penetapan dan penerapan standar pelayanan

dilakukan dengan memperhatikan prinsip, sebagai berikut:

1) Sederhana. Standar pelayanan yang mudah dimengerti, mudah

diikuti, mudah dilaksanakan, mudah diukur, dengan prosedur yang

jelas dan biaya terjangkau bagi masyarakat maupun penyelenggara.

2) Partisipatif. Penyusunan standar pelayanan dengan melibatkan

masyarakat dan pihak terkait untuk membahas bersama dan

mendapatkan keselarasan atas dasar komitmen atau hasil

kesepakatan.

3) Akuntabel. Hal – hal yang diatur dalam standar pelayanan harus

dapat dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan kepada pihak yang

berkepentingan.

4) Berkelanjutan. Standar pelayanan harus terus menerus dilakukan

perbaikan sebagai upaya peningkatan kualitas dan inovasi pelayanan.

5) Transparansi. Standar pelayanan harus dapat dengan mudah diakses

oleh masyarakat.

6) Keadilan. Standar pelayanan harus menjamin bahwa pelayanan yang

diberikan dapat menjangkau semua masyarkat yang berbeda status

ekonomi, jarak lokasi geografis.

22
2.1.3 Standar Pelayanan Publik

Definisi standar pelayanan berdasarkan Permenpan dan RB No.

15 Tahun 2014 bahwa “standar pelayanan adalah tolak ukur yang

dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan

penilian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara

kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat,

mudah, terjangkau dan terukur”. Berdasarkan definisi tersebut dapat

dipahami bahwa penyelenggara pemerintah baik pusat dan daerah

memiliki peran penting dalam penyelenggaraan standar pelayanan.

Dalam menyusun standar pelayanan punlik tentunya harus memiliki

stategi yang baik.

Strategi penyusunan standar pelayanan publik yaitu yang

partisipatif. Adapun langkah – langkah yang ditempuh dalam

penyusunan standar pelayanan adalah sebagai berikut:

1) Perubahan mindset,

2) Masayarakat dan stakeholders dilibatkan pada tahap awal,

penyusunan kebijakan standar pelayanan publik.

3) Identifikasi peran dan tingkat keterlibatannya serta instrument

partisipasi yang dipilih.

4) Implementasi strategi dan instrument partisipasi yang dipilih.

23
2.1.4 Faktor Penghambat Pelayanan Publik

Pelayanan merupakan tanggung jawab aparat pemerintah

daerah dalam upaya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

Faktor – Faktor yang menyebabkan tidak berjalan atau tidak sesuai

dengan tujuan pelayanan yang ada pada Rumah Singgah terletak pada

fasilitas dan SDM yang tidak memadai. Menurut Mulyono (2017)

faktor yang menjadi penghambat dalam pelayanan publik antara lain:

1) Sumber daya aparatur yang kurang kompeten

2) Lemahnya sistem pengawasan anggaran

3) Lemahnya pengawasan

4) Adanya sikap apatis dari masyarakat.

2.2 Efektivitas

2.2.1 Konsep Efektivitas

Kata efektif berasal dari serapan Bahasa inggris yaitu effective

yang berarti berhasil. Sesuatu yang dilakukan dengan baik. Robbins

(1994) mendefinisikan efektivitas sebagai tingkat pencapaian

organisasi jangka pendek dan jangka panjang. Efektivitas memiliki arti

berhasil atau tepat guna. Efektif merupakan kata dasar, sementara kata

sifat dari efektif adalah efektivitas. Budiani (2007) menyatakan bahwa

untuk mengukur efektivitas suatu program dapat dilakukan dengan

menggunakan variabel – variabel sebagai berikut:

24
1) Ketepat sasaran program, yaitu sejauh mana peserta program tepat

dengan sasaran yang sudah ditentukan sebelumnya.

2) Sosialisasi program, yaitu kemampuan penyelenggara program

dalam melakukan sosialisasi program sehingga informasi mengenai

pelaksanaan program dapat tersampaikan kepada masyarakat pada

umumnya dan sasaran peserta program pada khususnya.

3) Pencapaian tujuan program, yaitu sejauhmana kesesuaian antara

hasil pelaksanaan program dengan tujuan program yang telah

ditetapkan sebelumnya.

4) Pemantauan program, yaitu kegiatan yang dilakukan setelah

dilaksanakannya program sebagai bentuk perhatian kepada peserta

program.

Menurut Sondang dalam Othenk (2008:4), efektivitas adalah

pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu

yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan

sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankan. Efektivitas

menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah

ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti

makin tinggi tingkat efektivitasnya. Sejalan dengan pendapat tersebut,

Abdurahmat dalam Othenk (2008: 7), efektivitas adalah pemanfaatan

sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara

sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan

tepat pada waktunya. Dapat disimpulkan bahwa efektivitas berkaitan

25
dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan,

ketepatan waktu, dan partisipasi aktif dari anggota serta merupakan

keterkaitan antara tujuan dan hasil yang dinyatakan dan menunjukan

derajat kesesuaian antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang

dicapai.

Efektivitas program dapat dirumuskan sebagai tingkat

perwujudan sasaran yang menunjukan sejauh mana sasaran program

yang telah ditetapkan (Julia, 2010 :26). Berdasarkan beberapa

pengertian efektivitas di atas, dapat dipahami bahwa efektivitas

merupakan sebuah patokan untuk membandingkan antara proses yang

dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang dicapai. Suatu program

dikatakan efektif apabila usaha atau tindakan yang dilakukan sesuai

dengan hasil yang diharapkan. Efektivitas digunakan sebagai tolak

ukur untuk membandingkan antara rencana dan proses yang dilakukan

dengan hasil yang dicapai.

2.2.2 Indikator Efektivitas

Tingkat efektivitas dapat diukur dengan membandingkan antara

rencana atau target yang telah ditentukan dengan hasil yang dicapai,

maka usaha atau hasil pekerjaan tersebut itulah yang dikatakan efektif.

Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan yang dilakukan tidak tercapai

sesuai dengan apa yang direncanakan maka hal itu dapat dikatakan

tidak efektif.

26
Duncan dalam Richard M. Steers (1985:53) mengemukakan

mengenai ukuran efektivitas sebagai berikut:

1) Pencapaian Tujuan. Pencapaian tujuan harus dipandang sebagai

suatu proses. Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa faktor yaitu

kurun waktu pencapaian ditentukan, sasaran berupa target yang

konkrit dan dasar hukum.

2) Integrasi. Integrasi adalah pengukuran terhadap tingkat

kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi,

pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam

organisasi lainnya. Integrasi terdiri dari beberapa faktor yaitu

prosedur dan proses sosialisasi.

3) Adaptasi. Adaptasi adalah proses penyesuaian diri yang dilakukan

untuk menyelaraskan suatu individu terhadap perubahan –

perubahan yang terjadi di lingkungannya. Faktor yang

mempengaruhi adaptasi adalah peningkatan kemampuan sarana

dan prasarana.

Sedangkan menurut Gibson dalam Waluyo (2007:84)

menyebutkan bahwa terdapat dua pendekatan dalam mengidentifikasi

kefektifan, yaitu:

1) Pendekatan menurut tujuan.

2) Pendekatan menurut teori sistem.

27
Sedangkan Etzioni dalam Waluyo (2007) mengemukakan

pendekatan pengukuran efektivitas organisasi yang disebutnya

“System Model” mencakup empat kriteria sebagai berikut:

1) Kriteria Adaptasi. Kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungannya.

2) Kriteria Integrasi. Pengukuran terhadap kemampuan suatu

organisasi untuk menjadikan sosialisasi, pengembangan konsesus

dan komunikasi dengan beberapa macam organisasi lainnya.

3) Kriteria motivasi anggota. Dalam kriteria ini dilakukan pengukuran

mengenai keterkaitan dan hubungan antara perilaku organisasi

dengan organisasinya dan kelengkapan sarana bagi pelaksanaan

tugas pokok dan fungsi organisasi.

4) Kriteria produksi. Usaha pengukuran efektivitas organisasi

dihubungkan dengan jumlah organisasi dan mutu keluaran

organisasi serta intensitas kegiatan suatu organisasi.

Sedangkan menurut Smith (1997) mengembangkannya ke

dalam beberapa indikator yaitu:

1) Keuangan. Hal ini diukur dengan indikator: aliran kas dan

pertumbuhan penjualan.

2) Pelanggan. Hal ini dapat di ukur dengan indikator: penjualan

produk baru, ketepatan waktu pengiriman, kualitas pelayanan.

3) Proses integral dengan indikator: peningkatan teknologi,

produktivitas, biaya perunit.

28
4) Inovasi dengan indikator: waktu yang digunakan untuk

mengembangkan suatu produk, waktu yang digunakan untuk

merespon kebutuhan pasar dan fokus terhadap produk baru.

Kemudian Kettner, dkk (2008:262) dalam bukunya Designing

and Managing Programs An Effectiveness-Based Approach

menjelaskan bahwa ada beberapa indikator efektivitas yaitu:

1) Effort (Upaya). Effort data memberikan umpan balik pada sejumlah

produk dan pelayanan yang disediakan, kualitas jumlah produk,

pelayanan yang disediakan dan tercapainya penyelesaian jumlah

pelayanan.

2) Cost-Effeciency. Cost-effeciency data memberikan umpan balik

mengenai biaya penyediaan produk program dan layanan, termasuk

output menengah, kulaitas output dan output akhir.

3) Result (outcome). Result data memberikan umpan balik tentang

sejauh mana suatu program dapat mencapai hasil yang telah

ditetapkan (outcome) baik hasil sementara dan hasil akhir. Result data

dapat dipantau selama pelaksanaan untuk membadingkan hasil actual

yang dicapai dengan hasil yang direncanakan.

4) Cost-Effectiveness. Cost-effectiveness data memberikan umpan balik

pada biaya mencapai hasil program (outcome), baik hasil sementara

dan hasil akhir. Cost effectiveness data biasanya hanya tersedia pada

akhir tahun program (evaluasi program) dan digunakan untuk

mendokumentasikan biaya mencapai hasil (outcome) untuk keperluan

29
perencanaan kebijakan dan untuk tujuan pelaporan pengukuran

kinerja.

5) Impact (Dampak). Impact data memberikan umpan balik pada

pertanyaan penilian yang paling sulit dari semua yaitu: apa yang

terjadi dengan klien sebagai hasil dari partisipasi dalam program dan

apa yang tidak akan terjadi jika tidak adannya program? Untuk

menjawab pertanyaan ini, data dampak biasanya dihasilkan dengan

menggunakan teknik penelitian ilmu sosial, termasuk penciptaan

kelompok control untuk tujuan perbandngan dan penggunaan statistic

untuk mengukur besarnya dampak.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengambil indikator

efektivitas dari teori Kettner, dkk (2008:262) yang terdiri dari

upaya/usaha (effort), efesien biaya (cost effiviency), hasil (result),

efektivitas biaya (cost effectiveness) dan dampak (impact). Pemilihan

teori tersebut diambil karena peneliti menganggap indikator tersebut

lebih sesuai untuk mengukur tingkat Efektivitas Program Penanganan

Anak Jalan oleh Dinas Sosial Pada Rumah Singgah “Baiman” Lingkar

Basirih Kota Banjarmasin yang menjadi fokus penelitian yang dilakukan

peneliti.

2.3 Anak Jalanan

2.3.1 Pengertian Anak Jalanan

30
Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah

umum yang megacu pada anak – anak yang mempunyai kegiatan

ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan

keluarganya (Suyanto, 2010). Menurut Departemen Sosial RI (2005:5),

Anak Jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar

waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari – hari di jalanan,

baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat –

tempat umum lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri – ciri, berusia

antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran

di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak

terurus dan tingkat mobilitas yang tinggi dari satu tempat ke tempat

yang lain.

UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu

street child are those who have abandoned their homes, school and

immediate communities before they are sixteen years of age and have

drifted into a nomadic street life. Anak jalanan adalah anak – anak

berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga,

sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam

kehidupan berpindah – pindah di jalan raya (Soedijar, 1998).

Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan

anak, menyatakan bahwa anak adalah “seseorang yang belum berusia

18 tahun, termasuk dalam kandungan sang ibu”. Dalam hal ini yang

dimaksud adalah seorang laki – laki dan perempuan yang belum

31
dewasa atau belum menikah. Departemen Sosial RI (2005:5), Anak

Jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya

untuk melakukan kegiatan hidup sehari – hari di jalanan, baik untuk

mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat – tempat umum

lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri – ciri, berusia antara 5 sampai

dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan,

penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, serta

memiliki mobilitas yang tinggi. Shalahuddin (2004:14)

mengkategorikan anak jalanan berdasarkan hubungan mereka dengan

keluarganya sebagai berikut:

a. Children on the street adalah anak – anak yang mempunyai

kegiatan ekonomi di jalan yang masih memiliki hubungan dengan

keluarga. Ada dua kelompok anak dalam kategori ini, yaitu: 1)

anak – anak yang tinggal bersama orang tuanya dan snantiasa

pulang setiap hari, dan 2) anak – anak yang melakukan kegiatan

ekonomi dan tinggal dijalan namun masih mempertahankan

hubungan dengan keluarga dengan cara pulang balik secara berkala

ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.

b. Children of the street addalah anak yang menghabiskan seluruh

atau sebagian besar waktunya di jalanan yang tidak memiliki

hubungan atau memutuskan hubungan dengan

orangtuanya/keluarganya lagi.

32
c. Children in the street atau children from the families of the street

adalah anak – anak yang menghabiskan seluruh waktunya di

jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan.

2.3.2 Karakteristik Anak Jalanan

Anak jalanan pada dasarnya adalah anak – anak marginal di

perkotaan yang mengalami proses dehumanisasi (Mulandar, 1996).

Mereka bukan saja harus mampu bertahan hidup dalam suasana

kehidupan kota yang keras, tidak bersahabat dan tidak kondusif bagi

proses tumbuh kembang anak. Tetapi, lebih dari itu mereka juga

cenderung dikucilkan masyarakat, menjadi objek pemerasan, sasaran

eksploitasi, korban pemerkosaan dan segala bentuk penindasan

lainnya. Hal inilah yang membuat anak jalanan memiliki ciri dan

karakeristik khusus, yang membedakan anak jalanan dengan

masyarakat pada umumnya. Menurut Sadli (Sudarsono, 2009) anak

jalanan memiliki ciri khas baik secara psikologisnya maupun

kreativitasnya sebagai berikut:

1) Mudah tersinggung perasaannya.

2) Mudah putus asa dan cepat murung.

3) Nekat tanpa dapat dipengaruhi secara mudah oleh orang lain yang

ingin membantunya.

33
4) Tidak berbeda dengan anak – anak lainnya yang selalu

menginginkan kasih saying.

5) Tidak mau bertatap muka dalam arti bila mereka diajak bicara,

mereka tidak mau melihat orang lain secara terbuka.

6) Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak – kanak,

mereka sangatlah labil.

7) Mereka memiliki suatu keterampilan, namun keterampilan ini tidak

selalu seusi bila diukur dengan ukuran normative masyarakat

umumnya.

Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Nanda Dian Nusantara

yang bergerak dalam bidang perlindungan anak pada tahun 1996, ada

beberapa ciri secara umum anak jalanan antara lain:

1) Berada di tempat umum (jalanan, pasarm pertokoan, tempat –

tempat hiburan) selama 24 jam.

2) Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, serta sedikit

sekali yang lulus SD).

3) Berasal dari keluarga – keluarga tidak mampu) kebanyakan kaum

urbanisasi dan beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya.

4) Melakukan aktifitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor

informal).

Keterlibatan anak jalanan dalam kegiatan ekonomi akan

berdampak kurang baik bagi perkambangan dan masa depan anak,

kondisi ini jelas tidak menguntungkan bahkan cenderung membutakan

34
terhadap masa depan mereka, mengingat anak adalah asset masa depan

bangsa.

2.3.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Anak Jalanan

Seiring dengan perkembangan waktu, fenomena anak jalanan

atau pekerja anak banyak terkait dengan alasan ekonomi keluarga

(kemiskinan) dan kecilnnya kesempatan untuk memperoleh

pendidikan. Pendapatan orang tua yang sangat sedikit tidak mampu

lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehingga memaksa

mereka untuk ikut bekerja.

Menurut Mulandar (1996), penyebab dari fenomena anak

bekerja antara lain:

1) Dipaksa orang tua.

2) Tekanan ekonomi keluarga.

3) Diculik atau terpaksa bekerja oleh orang yang lebih dewasa.

4) Asumsi dengan bekerja bisa digunakan sebagai sarana bermain.

5) Pembenaran dari budaya bahwa sejak kecil anak harus bekerja.

Sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak –

anak terjerumus dalam kehidupan di jalanan antara lain:

1) Kesulitan keuangan.

2) Tekanan kemiskinan.

3) Ketidakharmonisan rumah tangga.

4) Hubungan orang tua dan anak.

35
2.3.4 Model Penanganan Anak Jalanan

Dalam pola dasar pembangunan kesejahteraan sosial

(Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 23/HUK/1996)

belum terdapat suatu pola operasional khusus mengenai anak jalanan.

Namun demikian, kebijaksanaan mengenai kesejahteraan anak jalanan,

antara lain: usaha kesejahteraan anak ditunjukan untuk mewujudkan,

membina, memulihkan dan mengembangan kesejahteraan anak.

Secara lebih spesifik, dalam penanganan masalah sosial anak

jalanan dikenal dua model program penanganan, yakni:

1. Street Based Program

Program ini mencapai anak – anak jalanan langsung di

tempat mereka beroperasi, terutama bagi anak – anak jalanan yang

mempunyai kontak tidak teratur dengan keluarga mereka.

Dalamhal ini para petugas lapangan atau para relawan sosial

berusaha memahami situasi anak – anak jalanan, mengenali

kebutuhan mereka, memberikan pendidikan khususnya motivasi

untuk mengembalikan mereka kepada keluarga masing – masing.

2. Centre Based Program

Dalam program penanganan ini, bagi anak – anak yang

terlantar atau lari dari rumah, disediakan tempat tinggal sementara

dan pelayanan sosial. Pelayanan sosial yang diberikan pada anak –

anak jalanan dalam program ini berupa konsumsi, pelayanan

36
kesehatan, pendidikan dan pelatihan, serta perlindungan (Silva,

1996).

Adapun metode – metode pekerjaan sosial yang dapat

diterapkan dalam penanganan masalah sosial anak jalanan adalah

sebagai berikut:

1) Bimbingan Sosial Perorangan (social case work)

Perorangan dalam hal ini yaitu individu anak jalanan atau

orang tuanya. Fokus dari bimbingan sosial perseorangan adalah

“perseorangan dalam situasi”, yang mencakup kekuatan

psikologis (internal) dan kekuatan sosial (eksternal) yang

memberikan pertimbangan dalam proses pertolongan.

2. Bimbingan sosial kelompok (social group work)

Fokus dari bimbingan sosial kelompok adalah dinamika

kelompok. Setiap individu berinteraksi dengan orang lain dan

punya kecenderungan untuk berkelompok sesuai dengan minat

dan kepentingan masing – masing. Kelompok sebagai pluralitas

individu – individu yang berinteraksi satu sama lain, yang

menempatkan satu sama lain dalam tanggung jawab dan

mereka menyadari beberapa kesamaan yang berarti.

Pemahaman dan pemanfaatan kelompok penting untuk usaha

kesejahteraan sosial yang dilakukan, dalam hal ini penanganan

masalah sosial anak jalanan.

3. Bimbingan sosial masyarakat (community development)

37
Fokus dari bimbingan sosial masyarakat adalah

masyarakat sebagai lingkungan yang berarti bagi perorangan

anggotanya, dengan asumsi, perubahan pada masyarakat akan

menimbulkan perubahan pada individu – individu anggotanya,

serta melahirkan konsekuensi pada kelembagaan –

kelembagaan didalamnya (Johnson, 1986).

2.4 Rumah Singgah

2.4.1 Pengertian Rumah Singgah

Dalam pengertian Rumah Singgah secara etimologi menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010), rumah berarti bangunan untuk

tempat tinggal, sedangkan singgah adalah mampir atau berhenti

sebentar di suatu tempat ketika dalam perjalanan. Dari pengertian di

atas, rumah singgah bisa diartikan sebagai bangunan atau tempat

tinggal yang ditempati dalam waktu yang tidak lama. Sedankan secara

terminologi, rumah singgah adalah suatu wahana yang dipersiapkan

sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak – pihak yang

membantu mereka (BKSN, 2000: 96). Sedangkan menurut Junaidi

(2008) rumah singgah merupakan suatu shelter yang berfungsi sebagai

tempat tinggal, pusat kegiatan dan pusat informasi bagi anak jalanan.

Rumah singgah merupakan proses informal yang memberikan

suasana resosialisasi kepada anak jalanan terhadap sistem nilai dan

norma yang berlaku di masyarakat setempat. Rumah singgah

merupakan tahap awal bagi seorang anak untuk memperoleh pelayanan

38
selanjutnya, oleh karena itu penting menciptakan rumah singgah

sebagai tempat yang aman, nyaman, menarik dan menyenangkan bagi

anak jalanan sehingga anak akan selalu di rumah singgah.

2.4.2 Sejarah Rumah Singgah

Krisis moneter yang berlangsung di Indonesia sejak

pertengahan tahun 1997 telah memporak – porandakan seluruh aspek

kehidupan bangsa terutama sendi – sendi perekonomian bangsa. Krisis

moneter mengakibatkan meningkatnya jumlah penduduk yang hidup di

bawah garis kemiskinan menjadi sekitar 80 juta penduduk dan

diperkirakan sekitar 20 juta angkatan kerja mengagur. Akibatnya

mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya.

Kemiskinan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan diyakini telah

mengakibatkan peningkatan eksploitasi terhadap anak dalam

melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan dan keahlian

tertentu, seperti pemulung, pedagang asongan dan prostitusi.

Fenomena ini terutama terjadi di daerah urban dan menyebabkan

munculnya anak jalanan dan terlantar (Depdiknas, 2002).

Melihat permasalahan yang dihadapi anak jalanan tersebut

pemerintah berupaya memberi perlindungan dan kesejahteraan anak

jalanan dengan memenuhi hak – haknya. Di Indonesia, untuk

39
mewujudkan hak – hak anak telah dikeluarkan UU No. 4 tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. UU tersebut menjelaskan bahwa anak berhak

untuk tumbuh kembang secara wajar serta memperoleh perawatan,

pelayanan, asuhan dan perlindungan yang bertujuan untuk

mewujudkan kesejahteraan anak. Rumah singgah merupakan model

penanganan anak jalanan sebagai perwujudan dari UU tersebut

(Krismiyarsi dkk, 2014).

2.5 Kerangka Pemikiran

Pada penyusunan usulan penelitian ini peneliti mengacu kepada

pendapat para ahli mengenai teori – teori yang berhubungan dengan fokus

penelitian dan lokus penelitian, sebagai dasar dan pedoman ini sesuai dengan

kenyataan dilapangan sehingga akan menghasilkan kesimpulan yang objektif

berdasarkan masalah – masalah yang telah dikemukakan di atas maka peneliti

mengemukakan teori – teori dari para ahli yang selanjutnya akan ditetapkan

sebagai kerangka berpikir.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian yang berjudul

Efektivitas Pelaksanaan Program Dinas Sosial Dalam Melakukan Penanganan

Anak Jalanan Pada Rumah Singgah “Baiman” Lingkar Basirih Kota

Banjarmasin. Program penanganan ini dilakukan oleh Dinas Sosial dalam

rangka melakukan pembinaan dan rehabilitasi terhadap anak jalanan yang

sudah terjaring razia oleh pihak Satpol PP yang nantinya akan ditampung pada

40
Rumah Singgah Baiman untuk diberikan pembekalan berupa pelatihan sebagai

bentuk penanganan anak jalanan agar mereka tidak kembali melakukan

aktivitas mereka sebelumnya di jalan. Untuk dapat mengukur Efektivitas

Program Penanganan Program Dinas Sosial Dalam Melakukan Penanganan

Anak Jalanan Pada Rumah Singgah “Baiman” Lingkar Basirih Kota

Banjarmasin, peneliti menggunakan ukuran efektivitas program dari Kettner

dkk. Peneliti menggunakan teori ini karena peneliti menganggap teori ini

paling relavan dan memadai dengan indikasi penelitian yang ditemukan

peneliti.

Selanjutnya Kettner dkk (2008) menjelaskan bahwa terdapat lima

kriteria penilaian dalam mengukur efektivitas program, yaitu:

1. Effort (Upaya)

Merupakan upaya yang dilakukan oleh Dinas Sosial melalui

Rumah Singgah “Baiman” dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Selama pelaksanaan program, upaya yang telah dilakukan oleh Rumah

Singgah Baiman dalam mencapai tujuan Program Penanganan Anak

Jalanan berupa pembinaan, rehabilitasi, koordinasi dan juga kerjasama

dengan Dinas Sosial selaku pengelola Rumah Singgah Baiman dan pihak –

pihak terkait untuk menjalankan program penanganan anak jalanan.

2. Cost-Effeciency (Efesiensi Biaya)

Merupakan biaya minimum yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial

Kota Banjarmasin untuk melakukan penanganan anak jalanan pada Rumah

Singgah “Baiman” secara berkualitas. Dalam penelitian ini, efesiensi biaya

41
yang dikeluarkan Dinas Sosial untuk operasional Rumah Singgah

“Baiman” dalam menjalankan Program Penanganan Anak Jalanan diukur

dari tersedianya dana yang sudah disediakan dan direncanakan secara

optimal.

3. Result (Hasil)

Merupakan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan program

penanganan anak jalanan di Rumah Singgah “Baiman”, sejauh mana

program dapat mencapai hasil yang diinginkan. Hasil ini dapat dipantau

selama pelaksanaan program dan dibandingkan dengan hasil yang

diharapkan dalam pelaksanaan program penanganan anak jalanan. Dalam

penelitian ini, maka hasil yang diharapkan yaitu anak jalanan yang

ditampung pada rumah singgah baiman dapat memperoleh pembinaan dan

rehabilitasi secara optimal, mengurangi angka anak jalanan di Kota

Banjarmasin, dapat mewujudkan hak – hak mereka yang hilang akibat

turun kejalan dan dapat memberikan bekal untuk nantinya mereka

terapkan ketika sudah keluar dari rumah singgah baiman dan tidak kembali

ke jalan.

4. Cost-effectiveness (Efektivitas Biaya)

Efektivitas biaya ini mendeskripsikan berapa besaran biaya yang

dikeluarkan untuk mencapai tujuan program yang telah diterapkan. Dalam

penelitian ini, maka besaran biaya yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial

Kota Banjarmasin untuk mencapai tujuan program penanganan anak

jalanan di rumah singgah baiman. Hal ini dilihat dari tercapainya semua

42
hasil yang diharapkan dengan menggunakan dana yang telah disediakan

atau direncanakan.

5. Impact (Dampak)

Merupakan dampak yang dirasakan oleh anak jalanan sebagai

penerima program penanganan yang dilakukan di Rumah Singgah Baiman,

baik sebelum ada program maupun setelah terlaksananya program. Dalam

Peraturanyang
penelitian ini, dampak Daerahdirasakan
Kota Banjarmasin
adalah untuk mengurangi angka
Nomor 12 Tahun 2014 Tentang
Penanganan Gelandangan dan
anak jalanan yang ada di Kota
Pengemis SertaBanjarmasin,
Tuna Susila memberikan pekerjaan yang
Menurut Kettner, dkk.
(2008:262)
lebih layak
terdapat 5
bagi anak jalanan, mengembalikan hak –faktor hak anak jalanan
penghambat
kriteria dalam mengukur dalam proses
Efektivitas Pelaksanaan Program penanganan anak
yang hilang dan meningkatkan
efektivitas program : tarafMelakukan
Dinas Sosial Dalam hidup anak jalananjalanan di Rumah
Effort (Upaya) Penanganan Anak Jalanan Pada Singgah “Baiman”
Cost-Effeciency (Efesiensi
Rumah Singgah “Baiman”
Agar kerangka berpikir diatas Lingkar
dapat lebih jelas dan lebih
Lingkar Basirih mudah
Dinas
Biaya) Basirih Kota Banjarmasin Sosial Kota
Result (Hasil)
Cost-Effectiveness Banjarmasin.
dipahami, peneliti mencoba menggambarkan kerangka berpikir ke dalam
(Efektivitas Biaya)
Impact (Dampak)
gambar di bawah ini: Hasil Output
Mengurangi angka anak jalanan di
Kota Banjarmasin
Memberikan pembinaan dan rebilitasi
yang optimal bagi anak jalanan
Mengembalikan hak anak jalanan
yang hilang
Menjadi bekal untuk pekerjaan yang
Gambar
lebih layak 1. Kerangka Pemikiran

43
2.6. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan singkat yang disimpulkan dari
kerangka pemikiran atau tinjauan pustaka dan merupakan jawaban
sementara terhadap masalah penelitian dan masih harus diuji
kebenarannya karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori
yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta emperis yang diperoleh
melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2010).

44
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Dalam sebuah penelitian tahapan dalam menentukan metode

penelitian haruslah tepat dan sesuai dengan objek studi pada ilmu yang

bersangkutan. Ditinjau dari objek studi ilmu – ilmu yang bersangkutan serta

dari permasalahan penelitian yang ada mengenai penanganan anak jalanan

maka dari itu penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena

penelitian ini bermaksud untuk mengetahui dan memperoleh gambaran

tentang bagaimana Efektivitas Program Dinas Sosial Dalam Melakukan

Penanganan Anak Jalanan Pada Rumah Singgah “Baiman” Lingkar Basirih

Kota Banjarmasin.

Metode kualitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat postpositivism, digunakan untuk meneliti pada

kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrument kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data

bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan

makna daripada generalisasi, (berdasarkan buku metode penelitian

kombinasi). Hal ini sejalan dengan pendapat Erickson dalam Sugiyono (2018)

bahwa metode penelitian kualitatif itu dilakukan secara intensif, peneliti ikut

berpartisipasi lama di lapangan, mencatat secara hati – hati apa yang terjadi,

melakukan analisis reflektif terhadap berbagai dokumen yang ditemukan di

lapangan, dan membuat laporan penelitian secara mendetail.

42
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dikarenakan

penelitian ini menggunakan ilmu pengetahuan sosial sebagai objek studi ilmu

yang bersangkutan, dimana ilmu pengetahuan sosial akan sangat sulit di ukur

dalam bentuk angka dan harus melalui analisis lebih lanjut. Selain itu, sumber

datanya diperoleh melalui suatu proses pengamatan atau observasi dan

pengumpulan data berupa dokumen yang dimiliki baik dari surat kabar,

dokumen pemerintah yang dalam hal ini adalah milik Dinas Sosial Kota

Banjarmasin, non pemerintahan, maupun dokuemen – dokumen yang terdapat

di Rumah Singgah “Baiman”. Daya yang diperoleh dalam penelitian ini lebih

banyak berupa kata – kata yang merupakan gambaran dari kondisi yang

sebenar – benarnya dan berbentuk gambar yang merupakan hasil dari proses

pengamatan dan pelaksanaan penanganan yang dilakukan.

3. 2 Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini, desain penelitian yang digunakan adalah studi

kasus dengan tipe penelitian kualitatif deskriptif. Yaitu untuk memberi

gambaran secara jelas mengenai masalah – masalah yang diteliti dengan

menggambarkan keadaan objek dalam penelitian dapat berupa orang,

lembaga, masyarakat dan lainnya berdasarkan pada fakta – fakta yang ada di

lapangan. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan

untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada yaitu

keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.

Penelitian deskriptif sebagai kegiatan meliputi pengumpulan data dalam

43
rangka menguji hipotesis atau jawaban pertanyaan yang menyangkut

keadaan pada waktu yang sedang berjalan. Penelitian deskriptif tidak hanya

memiliki kekuatan untuk mengontrol hal – hal yang sementara terjadi dan

hanya dapat mengukur apa yang ada. Maka dari itu kegiatan penelitian ini

dilakukan untuk memperoleh informasi yang akurat sehingga dapat

dianalisis lebih lanjut. Terutama yang berkaitan dengan Efektivitas Program

Dinas Sosial Dalam Melakukan Penanganan Anak Jalanan Pada Rumah

Singgah “Baiman” Lingkar Basirih Kota Banjarmasin.

3. 3 Sumber Data Penelitian

Dimana data hasil penelitian didapatkan melalui dua sumber data,

yaitu:

3.3.2 Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil

wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang

dianggap dalam memberikan informasi yang relavan dan sebenarnya

di lapangan. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam

penelitian ini adalah:

1) Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dan Korban Tindak

Kekerasan.

2) Pengurus Rumah Singgah “Baiman” Lingkar Basirih.

3) Anak Jalanan yang sedang dan sudah menerima pembinaan dan

rehabilitasi di rumah singgah “Baiman”.

44
3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah sebagai data pendukung data primer dari

literature dan dokumen serta data yang diambil dari permasalahan

dilapangan yang terdapat pada lokasi penelitian berupa bahan bacaan,

bahan pustaka dan laporan – laporan penelitian. Data yang langsung

dikumpulkan oleh peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama.

Dapat juga dikatakan data yang tersusun dalam bentuk dokumen –

dokumen.

3. 4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama

dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data

(Sugiyono, 2010). Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan pada

setting natural (kondisi alamiah), dalam penelitian ini instrument

utamanya yaitu peneliti dibantu instrument melalui observasi, wawancara

dan dokumentasi.

1. Metode Observasi (Pengamatan)

Observasi atau pengamatan merupakan suatu teknik atau cara

mngumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap

kegiatan yang sedang berlangsung (Syaodih, 2006).

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu observasi non

partisipan peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independent.

Peneliti mencatat, menganalisis dan selanjutnya dapat membuat

45
kesimpulan tentang kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengetahui

Efektivitas Program Dinas Sosial Dalam Melakukan Penanganan Anak

Jalanan Pada Rumah Singgah “Baiman” Lingkar Basirih Kota

Banjarmasin.

2. Wawancara

Menurut Esterber (2002) wawancara merupakan suatu pertemuan

dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga

dapat dikonstruksikan makna suatu topik tertentu. Wawancara adalah

suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali

dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab.

Pada penelitian ini, peneliti melakukan wawancara tidak

terstruktur. Penelelitian ini disusun bukan berupa daftar pertanyaan akan

tetapi hanya berupa poin – poin pokok yang akan ditanyakan pada

informan dan dikembangkan pada saat wawancara berlangsung. Hal ini

dimaksudnya agar proses wawancara berlangsung secara alami dan

mendalam seperti yang diharapkan dalam penelitian kualitatif. Pada

penelitian ini poin utama wawancara yaitu mengenai Efektivitas Program

Dinas Sosial Dalam Melakukan Penanganan Anak Jalanan Pada Rumah

Singgah “Baiman” Lingkar Basirih Kota Banjarmasin.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif

dengan melihat atau menganalisis dokumen – dokumen yang dibuat oleh

subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Dokumen tidak hanya

46
catatan peristiwa saat ini dan yang akan datang, namun juga catatan

dimasa lalu. Data – data yang didapat peneliti dapat berupa gambar,

maupun tabel dari Kantor Dinas Sosial Kota Banjarmasin maupun Rumah

Singgah.

3. 5 Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis

kualitatif dengan metode deskriptif. Aktifitas dalam analisis data menurut

Miles dan Huberman (1984) terdiri atas: data reduction, data display dan

conclusion drawing/verification. secara rinci dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Tujuan utama dalam penelitian kualitatif adalah pada temuan. Oleh

karena itu kalau peneliti dalam melakukan penelitian menemukan segala

sesuatu yang dipandang asing, tidak dikenal, belum memiliki pola, justru

itulah yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan reduksi

data.

Selanjutnya, diakui bila proses reduksi data merupakan proses

berpikir sensitive yang memerlukan kecerdasan dan keluasan serra kedalaman

wawasan yang tinggi. Maka bagi peneliti, dalam melakukan reduksi data

dapat mendiskusikannya dengan teman atau orang lain yang dipandang ahli.

Melalui diskusi itu, maka wawasan peneliti akan berkembang, sehingga dapat

47
mereduksi data – data yang memiliki temuan dan pengembangan teori yang

signifikan.

2. Penyajian Data (Data Display)

Teknik penyajian data dalam penelitian kualtiatif dapat dilakukan

dalam berbagai bentuk seperti tabel, grafik dan sejenisnya. Lebih dari itu,

penyaian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan,

hubunngan antra kategori, flowchart atau sejenisnya. Miles dan

Huberman (1984) mengatakan bahwa “the most frequent from of display

data for qualitative research data in the past has been narrative text”.

Dengan demikian yang paling sering digunakan untuk menyajikan data

dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks normatif.

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing)

Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin

dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi

mungkin juga tidak, karena sepert yang telah dikemukakan di atas bahwa

masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat

sementara dan akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan.

Kesimpulan dalam peneltiian kualitatif adalah merupakan temuan

baru yang sebelumnya belum pernah ada temuan dapat berupa deskripsi

atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih belum jelas atau gelap

48
sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubugan kausal atau

interaktif, hipotesis atau teori.


Pengumpulan
Penyajian Data
Data

Verifikasi/Penarikan
Reduksi Data Kesimpulan
Gambar 2. Model Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dengan judul Efektivitas Program Dinas Sosial Dalam

Melakukan Penanganan Anak Jalanan Pada Rumah Singgah “Baiman” Lingkar

Basirih Kota Banjarmasin. dilaksanakan di dua tempat yaitu, Kantor Dinas Sosial

Kota Banjarmasin dan Rumah Singgah “Baiman” Lingkar Basirih Kota

Banjarmasin.

Dinas Sosial Kota Banjarmasin beralamat Jln. Ir. PHM Noor, Kelurahan

Pelambuan Kecamatan Banjarmasin Barat Kota Banjarmasin. Sedangkan Rumah

Singgah “Baiman” beralamat Alun – Alun, Jl. Gubernur Soebarjo No. 26,

Kelayan Selatan, Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kabupaten Banjar.

49
3.3 Jadwal Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian akan dilaksanakan dalam waktu bulan terhitung

dari bulan Juni hingga Oktober 2021, dengan uraian sebagai berikut:

Table 3. Jadwal Penelitian

Mei Juni Juli Agustus September Oktober


N
Uraian Minggu Ke
o
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Persiapan Penelitian                                                

2 Perencanaan                                                

3 Pelaksanaan Siklus I                                                

4 Pelaksanaan Siklus II                                                

Pelaksanaan Siklus

5 III                                                

6 Pengolahan Data                                                

7 Penyusunan Laporan                                                

50
DAFTAR PUSTAKA

Amelia, R. (2015). Efektivitas Pelaksanaan Program Penanganan Anak Jalanan Di

Dinas Sosial Kota Makassar. Skripsi [Internet].[Diunduh pada 28 Maret

2016]. Tersedia pada: http://repository. unhas. ac. id/bitstrea

m/handle/123456789/14610/SKRIPSI% 20RIZCAH% 20AMELIA. pdf.

Asmorowati, S. (2005). Efektivitas Kebjakan Perlindungan Pekerja Anak Jalanan

di Surabaya.

Biru Bara Nirvana Cahyadhi, N. z. (2021). Efektivitas Program Pelayanan

Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan di UPTD Kampung Anak Negeri Kota

Surabaya. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi.

D. Sari, T. S. (2017). Analisis Efektivitas Program Pemberdayaan Anak Jalanan di

Rumah Singgah Tabayun Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Jurnal

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (JSKPM), 29-42.

F. Putra, D. H. (2015). Pemberdayaan Anak Jalanan di Rumah Singgah. Share :

Social Work Jurnal.

Fatimah, N. (2001). Anak Jalanan : Fenomena Sosial Perkotaan. Jurnal

Antropologi Indonesia.

51
H. M. Ramadhani, S. (2016). Peran Dinas Sosial Dalam Penanggulangan Anak

Jalanan di Kota Banjarmasin. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan.

Hasanah, B. (2019). Efektivitas Program Penanggulangan Anak Jalanan Berbasis

Community Development di Kota Serang (Studi Pada Program Rumah

Singgah). Publik (Jurnal Ilmu Administrasi).

Itsnaini, M. (2010). Pemberdayaan Anak Jalanan Oleh Rumah Singgah Kawah di

Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta. Yogyakarta.

Khumas, A. (1999). Anak Jalanan dan Model - Model Penanganannya. Majalah

Ilmu Psikologi - Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makassar.

Ningsih, P. E. (2012). Strategi Pemberdayaan Anak Jalanan Pada Dinas Sosial

Pemuda dan Olah Raga Kota Semarang . Administrasi Publik Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 37-39.

Prayogo, H. (2018). Efektivitas Penanganan Gelandangan dan Pengemis Oleh

Dinas Sosial Kota Banjarmasin. Banjarmasin.

Prof. Dr. Deddy Mulyadi, M. S., Dr. Hendrikus T. Gedeona, S. M., & Muhammad

Nur Afandi, S. P. (2018). Administrasi Publik Untuk Pelayanan Publik.

Bandung: Alfabeta.

Sugiyono, P. D. (2018). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods).

Bandung: Alfabeta.

Suyanto, D. B. (2010). Masalah Sosial Anak. Jakarta : Prenamedia Group.

UNICEF. (2020). Situasi Anak di Indonesia - Tren, Peluang, dan Tantangan

dalam Memenuhi Hak-hak Anak. Unicef.

52
Widowati, E. (2004). Pengukuran Konsep Efektivitas Sistem Informasi :

Penelitian Pendahuluan. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi

2004.

Y. Putri, N. M. (2015). Program kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) Dalam

Memenuhi Kesejahteraan Anak Jalanan. Prosiding Penelitian dan

Pengabdian Kepada Masyarakat.

53

Anda mungkin juga menyukai