Anda di halaman 1dari 4

POLICY BRIEF

ANAK TERLANTAR TANGGUNG JAWAB SIAPA ?


Abstrak
Amanah dari Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, fakir miskin dan
anak terlantar dipelihara oleh negara. Bab XIV Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial pada
Pasal 33 disebutkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Anak merupakan aset masa depan dari suatu negara dan menentukan maju atau tidaknya
suatu negara diantaranya dengan sumber daya manusia unggul yang memiliki daya saing
dengan negara-negara lain di dunia. Pemerintah (Pusat, Provinsi, kabupaten/kota dan desa)
dalam mengelola peningkatan kesejahteraan sosial anak perlu ada standar pelayanan.
Agenda pembangunan nasional disusun sebagai penjabaran operasional dari Nawa Cita,
diantaranya menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara dan meningkatkan kualitas hidup
manusia Indonesia.
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) bertujuan agar pemenuhan hak dasar anak dan
perlindungan sosial terhadap anak dari keterlantaran, kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat
terwujud. PKSA meliputi program kesejahteraan sosial anak balita, anak terlantar, anak
jalanan, anak berhadapan hukum, anak disabilitas (kecacatan), anak membutuhkan
perlindungan khusus.

Pendahuluan
Analisis Kebijakan yang dilakukan oleh Biro perencanaan Kementerian Sosial RI tahun 2011
mengenai Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), baik melalui kajian literatur, field
review, serta metodologi dan teknik pengumpulan data melalui Diskusi kelompok Terfokus
(Focuss Group Discussion/FGD), menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi terkait
program ASLUT adalah fase input yang belum valid, termasuk didalamnya data base terkait
Anak Terlantar; kemitraan strategis yang belum terbangun dengan baik, khususnya konteks
komplimentaritas bagi capaian kesejahteraan Anak terlantar; juga jangkauan dan
sustainibilitas program yang belum dijadikan fokus program. Disisi lain Kemensos memiliki
potensi regulasi yang telah memadai, Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang
tersedia di Pusat maupun Daerah, pengalaman dalam penanganan Anak terlantar, serta para
mitra yang bergerak di program terkait anak terlantar.
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) merupakan salah satu prorgam nasional yang
bertujuan untuk anak terlantar dalam memenuhi kebutuhan dasar dan pemeliharaan
kesehatan serta menikmati taraf hidup yang wajar.
Kebijakan desentralisasi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang
berdampak adanya tanggung-jawab pelayanan publik dari Pemerintah Daerah kepada setiap
individu masyarakatnya dalam urusan konkuren (bersama) dengan pembagian kewenangan
antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memperoleh pelayanan dasar
yang berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). Urusan Pelayanan publik bidang
sosial melalui rehabilitasi sosial anak terlantar termasuk urusan konkuren dan salah satu
dari indikator SPM Bidang Sosial di daerah provinsi untuk pelayanan dalam panti dan
lembaga. Pada Kabupaten/Kota dengan urusan konkuren dan indikator SPM nya adalah
rehabilitasi sosial anak terlantar luar panti dan lembaga.

Deskripsi Masalah
Fungsi utama pemerintah daerah adalah penyediaan pelayanan publik bagi masyarakat
daerah bersangkutan. Pelayanan publik yang efisien dan efektif menjadi perhatian utama
pemerintah daerah agar dapat menyajikan pelayanan publik yang prima bagi masyarakat.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk
mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat,
dan sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah dalam pelayanan publik. Anak
terlantar termasuk dalam SPM Bidang Sosial dengan jenis dan mutu pelayanan dasar di
dalam panti dan lembaga menjadi kewenangan provinsi. Kabupaten/Kota mempunyai
kewenangan di luar panti dan lembaga. Anak terlantar juga termasuk dalam urusan
pemerintahan wajib yang merupakan Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan
oleh semua daerah untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap anak terlantar yang termasuk
warga negara. SPM akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah provinsi dan kab/kota
dalam melaksanakan urusan wajib terkait pelayanan dasar, sedangkan bagi masyarakat SPM
merupakan pedoman untuk memantau dan mengukur kinerja pemerintah daerah.
Program kesejahteraan sosial anak (PKSA) diprioritaskan kepada anak-anak yang memiliki
kehidupan kurang layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial sperti
kemiskinan, keterlantaran, disabilitas (kecacatan), keterpencilan, ketunaan sosial dan
penyimpangan perilaku, korban bencana, tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi,
meliputi:
1) Anak balita terlantar (usia 5 tahun kebawah),
2) anak terlantar/tanpa asuhan orang tua (usia 6-18 tahun) yaitu anak yang mengalami
perlakuan salah, diterlantarkan orang tua/keluarga, anak kehilangan hak asuh dari orang
tua/keluarga;
3) anak jalanan (usia 6-18 tahun) yaitu anak yang rentan bekerja di jalanan, anak yang
bekerja di jalanan, anak yang bekerja dan hidup di jalanan;
4) anak berhadapan hukum (usia 6-18 tahun) yaitu anak diindikasikan melanggar hukum,
anak yang mengikuti proses peradilan, anak yang berstatus diversi, anak yang telah
menjalani hukuman pidana, anak yang menjadi korban pelanggaran hukum;
5) anak dengan disabilitas/kecacatan (usia 0-18 tahun), berdasarkan Undang-Undang RI No.
8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan bahwa ragam Penyandang
Disabilitas meliputi: penyandang Disabilitas fisik, intelektual, mental, sensorik; 6) anak
membutuhkan perlindungan khusus, yaitu anak yang dalam situasi darurat, anak korban
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik maupun mental, anak korban eksploitasi,
2
anak dari kelompok minoritas, terisolasi dan komunitas adat terpencil, anak korban
penyalahgunaan narkotika, penyalahgunaan zat adiktif, anak korban HIV/AIDS.
Permasalahan anak secara umum disebabkan karena kemiskinan, orang tua bekerja mencari
nafkah, orang tua bercerai. Permasalahan khusus seperti kurangnya koordinasi pelayanan
kesejahteraan sosial anak antar kementerian/lembaga/daerah. Keterpaduan pelayanan
kebutuhan dasar anak dari berbagai aspek diantaranya pendidikan, kesehatan. Karena bila
keluarga anak tidak meningkat kesejahteraannya maka anak akan terus mengalami
permasalahan sosial sehingga diperlukan keberlanjutan pelayanan terhadap kesejahteraan
sosial anak.
Berdasarkan dengan surat Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPP-PA) Nomor: B-54/Set/KPP-PA/Roren/01/2015 tanggal 22 Januari
2015, hal: Standar Pelayanan Minimal (SPM) Layanan Terpadu Perempuan dan Anak, bahwa
Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemda pasal 12 ayat (2) termasuk dalam urusan wajib tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar, sehingga SPM yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 Tahun 2010 tentang “Layanan Terpadu
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan” yang sudah ditetapkan sebagai SPM sesuai
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda setelah ditetapkan UU No. 23 Tahun 2015
tentang Pemda, tidak termasuk dalam SPM karena tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
SPM PPPA tersebut diatas, meliputi 5 (lima) pelayanan yaitu: 1) penanganan
pengaduan/laporan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak; 2) pelayanan
kesehatan bagi perempuan dan korban kekerasan; 3) rehabilitasi sosial bagi perempuan dan
anak korban kekerasan; 4) penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan dan
anak serta bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan; 5) pemulangan dan
reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Rekomendasi
1. Pembenahan dan Penguatan Data anak sebagai Gambaran “input” dari Program
Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA);
2. Pelayanan rehabilitasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan, penegakan dan
bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan dan pemulangan dan
reintegrasi sosial sosial bagi perempuan, anak korban kekerasan, yang juga dalam RPJMN
2015-2019 termasuk dalam “Perlindungan Sosial yang komprehensif dan Pemenuhan Hak
Dasar bagi masyarakat miskin dan rentan” salah satu pelayanan publik bidang sosial
untuk menjadi pertimbangan termasuk salah satu dari urusan konkuren dan SPM Bidang
Sosial.
3. Melaksanakan sistem peradilan anak, dengan menyusun Rancangan Peraturan Menteri
tentang Standar Rehabilitasi Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak Berhadapan
Hukum (LPKS-ABH);
4. Pengintegrasian PKSA dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah (PPD)
provinsi dan kabupaten/kota; Penjangkauan (outreach) terhadap anak yang tidak
mempunyai tempat tinggal yang disebut RT 0/RW 0, dalam implementasinya sulit
dilaksanakan bila dikaitkan dengan kemiskinan perkotaan dan mobilitas penduduk. Hal
ini disebabkan karena anak cenderung mengikuti lingkungan terdekatnya yaitu orang tua
3
atau teman sebaya (peer group), menyebabkan anak sering berpindah-pindah dan tidak
menetap di satu tempat sehingga menyulitkan bantuan dalam bentuk tabungan anak.
Diperlukan kerjasama di pusat dan daerah dalam Tim Terpadu penanganan anak
terlantar.
5. Rehabilitasi sosial dengan pendekatan pekerjaan sosial berdasarkan Peraturan Menteri
Sosial RI No. 22 Tahun 2014, dilaksanakan di dalam dan di luar panti/lembaga.
6. Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RBM) dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga
(RBK) merupakan salah satu pelayanan publik bidang sosial di Kabupaten/Kota dan desa,
perlu disusun Norma, Standar, Prosedur, Kriteria (NSPK) setelah ditetapkannya
Peraturan Pemerintah tentang Urusan Konkuren dan Peraturan Pemerintah tentang
Standar Pelayanan Minimal.
7. Pengintegrasian data anak terlantar termasuk dalam data fakir miskin dan termasuk
dalam Basis Data Terpadu (BDT). Dengan Jumlah 34 (tiga puluh empat) provinsi dan 514
(lima ratus empat belas) kabupaten/kota diseluruh Indonesia, sesuai Peraturan Menteri
Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data Terpadu Program
Penanganan Fakir Miskin, diatur mekanisme pendataan dan pengelolaan data fakir
miskin di Indonesia.

Referensi
• Undang-undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
• Undang-undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
• Undang-Undang RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
• Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial;
• Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019;
• Peraturan Menteri Sosial RI No. 110 Tahun 2009 tentang Pengangkatan Anak;
• Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial;
• Peraturan Menteri Sosial RI No. 21 Tahun 2013 tentang Pengasuhan Anak;
• Peraturan Menteri Sosial No. 22 Tahun 2014 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan
Pendekatan Pekerjaan Sosial;
• Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme Penggunaan Data
Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin
• William M. Dunn, Pengantar Analisi Kebijakan Publik, Edisi Kedua 1999, Gajah Mada
University.

Jakarta, Mei 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

Anda mungkin juga menyukai