Anda di halaman 1dari 5

Nilai dan Etika Pekerjaan Sosial

A.    Prinsip, Nilai dan Etika Praktik Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Masalah
Dalam mengembangkan berbagai layanan sosial (social service) pada masyarakat
para pelaku kesejahteraan sosial dan pekerja sosiak mempunyai berbagai nilai-nilai dasar dan
prinsip-prinsip dalam melakukan praktik perubahan sosial terencana (intervensi). Dalam
kaitannya dengan nilai dan prinsip-prinsip dasar ini, Zastrow (2010) melihat ada tiga
komponen dasar yang harus dipertimbangkan dan dielaborasi dalam mengembangkan profesi
praktisi di bidang kesejahteraan sosial. Ke tiga komponen dasar tersebut adalah:[1]
1.      Pengetahuan (knowledge)
Menurut pendapat kahn (1969) pengetahuan adalah pemahaman teoritis ataupu praktis yang
terkait dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan (science), belajar, dan seni yang melibatkan
penelitian maupun peraktik serta pengembangan keterampilan. Sedangkan Allen Pincus dan
Anne Minahan dalam Zastrow (2010:97) melihat pengetahuan sebagai pemahaman yang
dihasilkan dari suatu peroses observasi secara ilmiah, sehingga hasilnya tellah diverifikasi
terlebih dahulu, serta dapat diverifikasi oleh mereka yang ingin menguji keabsahan dari hasil
observasi tersebut.
2.      Keterampilan (skill)
Keterampilan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu profesi pemberian bantuan
(helping profession), serta menjadi prasyarat bila profesi tersebut ingin berkembang. Secara
devinitif, keterampilan didefinisikan sebagai kemampuan, keahlian ataupun kemahiran yang
diperoleh dari peraktik dan pengetahuank. Keterampilan tidak muncul sekedar dari suatu
proses uji-coba belaka, tetapi keterampilan muncul karena adanya keterkaitan dengan
pengetahuan yang dipelajari oleh seorang agen perubahan.
3.      Nilai (value)
Pincus dan Minahan (1973:38) menyatakan nilai adalah keyakinan, preferensi ataupun
asumsi mengenai apa yang diinginkan atau dianggap baik oleh manusia. Nilai yang dianut
oleh seseorang dapat menentukan sikap dan tindakan seseorang dalam berintraksi dengan
orang lain. Pincus dan Zastrow (2010) melihat niali bukan sebagai sesuatu yang kita lihat dari
dunia kita berdasarkan apa yang kita ketahui, akan tetapi nilai lebih terkait dengan apa yang
seharusnya terjadi. Misalnya,”keyakinan bahwa suatu masyarakat mempunyai
tanggungjawab untuk membantu individu mengembangkan potensi diri mereka (setiap
individu)”. Maka pernyataan tersebut lebih berupa tentang pernyataan tentang nilai (value
statement) dan bukan pernyataan tentang pengetahuan (knowledge statement).
Sedangkan Maas (1977) mengemukakan enam perinsip dasar yang menjadi landasan para
praktisi yang bergerak di level mikro, yaitu: penerimaan (acceptance), komunikasi
(communication), individualisasi (individualisation), partisipasi (participation), kerahasiaan
(confidentiality), dan kesadaran diri petugas (worker self-awerness).[2]
B.      Peranan Pekerja Sosial dalam Penanganan Masalah
Peran adalah sekumpulan kegiatan yang dilakukan guna tercapainya tujuan yang telah
ditentukan bersama antara penyedia dan penerima pelayanan. Peranan merupakan cara yang
dilakukan oleh seseorang untuk menggunakan kemampuan dalam situasi tertentu. Peranan
dalam profesi apa pun tidak ditentukan dalam kevakuman, namun terkait dengan aneka
ragam variable. Peranan juga tidak berdiri sendiri namun terkait dengan peranan-peranan
lain. Dengan demikian, peranan bersifat dinamis dan interaksional, dalam pengertian dapat
berubah sesuai dengan variabell dan peranan-peranan lain yang dilaksanakan oleh pekerja
sosial.[3]
Beberapa variable yang menentukan peranan pekerjaan sosial professional ialah: 1)
pendekatan dualisttis dalam pekerjaan sosial, yaitu perubahan dan pengembangan personal
serta perubahan dan pengembangan sosial sebagai satu kesatuan, 2) fungsi-fungsi praktik
pekerjaan sosial yang saling berkaitan yaitu pencegahan, dengan peranan-peranan penelitian,
analisis, penyusunan dan pengembangan kebijakan, program dan pelayanan kesejahteraan
sosial.[4]
            Peranan yang ditampilkan oleh pekerja sosial di dalam masyarakat, lembaga/panti
sosial akan bervariasi tergantung pada permasalahan yang dihadapinya. Pernyataan itu
diperkuat dan dipertegas oleh Bradford W. Sheafor dan Charles R. Horejsi, (2003:55),
peranan yang ditampilkan pekerja sosial antara lain:[5]
1.  Peranan sebagai perantara (broker roles), pekerja sosial bertindak di antara klien atau
penerima layanan dengan sistem sumber (bantuan materi dan non materi tentang pelayanan)
yang ada di lembaga/panti sosial. Selain sebagai perantara, pekerja sosial juga berupaya
membentuk jaringan kerja dengan organisai pelayanan sosial untukmengontrol kualitas
pelayanan tersebut. Peranan sebagai broker muncul akibat banyaknya orang yang tidak
mampu menjangkau system pelayanan sosial yang biasanya memiliki aturan penggunaannya
yang kompleks dan kurang resfonsif terhadap kebutuhan klien atau penerima layanan.
Sebagai contoh, membantu klien untuk memperoleh keringanan biaya rehabilitasi di
badan/lembaga/panti sosial karena ketidak mampuan dan keterbatasan keluarga, membantu
keluarga untuk mendapatkan subsidi rehabilitasi bagi klien, membantu menemukan konselor
dan pembimbing yang professional.
2.    Peranan sebagai pemungkin (enabler role) adalah peranan yang sering digunakan dalam
profesi pekerjaan sosial karena diilhami oleh konsep pemberdayaan dan difokuskan pada
kemampuan, kapasitas, dan kompetensi klien untuk menolong dirinya sendiri. Sedangkan
pekerja sosial hanya berperan membantu untuk menentukan kekuatan dan unsur yang ada
dalam diri klien sendiri termasuk untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan atau untuk
mencapai tujuan yang dikehendaki klien. Jadi peranan pekerja sosial adalah berusaha untuk
memberikan peluang agar kepentingan dan kebutuhan klien atau penerima layanan tidak
terhambat. Pendekatan yang sering digunakaan sebagai enabler  adalah konseling dengan
korban, kelompok  atau keluargaa, mengatasi masalah yang berkaitan dengan lingkungan,
berupaya memberikan peluang agar meningkatkan partisipasi dan keterlibatan keluarga.
3.    Peranan sebagai penghubung (mediator role), peranan yang dilakukan pekerja sosial dalam
hal ini adalah membantu meyelesaikan konflik di antara dua system atau lebih,
menyelesaikan pertikaian antara keluarga dan klien, dan memperoleh hak-hak korban. Dalam
hal ini, prilaku pekerja sosial tetap memliki posisi netral, tidak memihak pada salah satu
pihak dan menjaga nilai-nilai professional sehingga apabila mampu menemukan solusi akhir
konflik diharapkan terjadi kerja sama diantara keduanya (win-win solution).
4.   Peranan sebagai advokasi (advocator role), peranan advokat biasanya sebagai juru bicara
klien, memaparkan dan berargumentasi tentang masalah klien apabila diperlukan, membela
kepentingan korban untuk menjamin system sumber, memberikan pelayanan yang
dibutuhkan atau merubah kebijakan system yang tidak responsive terhadap kepentingan
korban. Kegiatan lain dari peranan pekerja sosial sebagai advokat adalah dalam hal
menyediakan pelayanan yang dibutuhkan, dan mengembangkan program.
5.  Peranan sebagai perunding (conferee role), adalah peranan yang diasumsikan ketika pekerja
sosial dan klien mulai bekerja sama. Kerangka pikir dari peranan sebagai perunding berasal
dari model pemecahan masalah. Ini merupakan kolaborasi diantara klien dan pekerja sosial
yang menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Pendekatan ini termasuk didalamnya
eksplorasi dan pengertian yang jelas tentang masalah, menghubungkan dan
menentukan assessment yang merupakan kesatuan dari masalah, merancang tujuan untuk
mengurangi tekanan, membuat strategi alternative yang umum, evaluasi hasil, implementasi
strategi dan teminasi atau pengahiran pelayanan. Keterampilan yang diperlukan dalam
peranan ini adalah keterampilan umum yang digunakan dalam pekerjaan sosial, seperti
keterampilan mendengarkan, probing, penguatan/refleksi dan lain-lain.
6.      Peranan sebagai pelindung (guardian role), biasanya dilakukan oleh bidang aparat, tetapi
profesi pekerja sosial dapat mengambil peran seperti melindungi klien, dan orang yang
beresiko tinggi terhadap kehidupan sosial. Korban merasa nyaman untuk mengutarakan
masalahnya,beban dalam pikirannya terlepas, dan merasa  bahwa masalahnya dapat
dirahasiakan pekerja sosial.
7. Peranan sebagai pasilitasi (facilitator rule), dilakukan untuk membantu korban berpartisipasi,
berkontribusi, mengikuti keterampilan baru dan menyimpulkan apa yang telah dicapai oleh
korban (Friesen dan Parson, 1994:12). Dalam hal ini pekerja sosial harus bervariasi dalam
memberikan pelayanannya tergantung pada kebutuhan korban dan masalah-masalah yang
dihadapinya agar mampu berpikir secara jelas tentang apa yang dibutuhkan di setiap waktu
dalam  proses rehabilitasi. Di samping itu, peranan ini sangat penting membantu
meningkatkan keberfungsian korban khususnya berkaitan dengan kebutuhan, dan tujuan yang
ingin dicapai.  
8.     Perana sebagai inisiator (inisiator role), Zastrow, (2000:75) menyebut sebagai “peranan yang
memberikan perhatikan pada masalah atau hal-hal yang berpotensi untuk jadi masalah”. Oleh
karena itu, sebagai seorang inisiator, pekerja sosial berupaya memberikan perhatian pada isu-
isu seperti masalah-masalah korban yang ada di badan/lembaga/panti sosial, dan kebutuhan-
kebebutuhan yang diperlukan. Isu ini tidak akan muncul atau menarik perhatian petugas lain
sebelum ada yang memunculkannya. Disinilah peran pekerja sosial sebagai inisiator untuk
menyadarkan badan/lembaga/panti sosial bahwa ada permasalahan yang terjadi di lingkungan
mereka.
9.      Peranan sebagai negosiator (negosiator role), ditujukan pada para klien yang mengalami
konflik dan mencari penyelesaiannya dengan kompromi sehingga tercapai kesepakatan
diantara ke dua belah pihak. Posisi seorang negosiator berbeda dengan mediator yang
berposisi netral. Seorang negosiator berada pada salah satu posisi yang sedang konflik.
C.      Etika Pekerja Sosial dalam Penanganan Masalah dengan Klien
Dalam pembukaan kode etik profesi pekerjaan sosial sudah membahas mengenai
landasan untuk menentukan persoalan-persoalan etika dalam menyelenggarakan hubungan
professional dengan kilen, rekan sejawat, lembaga tertentu tempat ia dipekerjakan, dan
dengan masyarakat dinilai menyimpang dari standar prilaku etika.
Profesi pekerjaan sosial menempatkan kaidah-kaidah hak asasi manusia, demokrasi,
dan keadilan sosial sebagai landasan dan motivasi bagi tiap-tiap pekerja sosial untuk
mengetahui keunikan dan kesetaraan setia porang dan martabat serta tanggung jawab sosial.
[6]
Dengan menerima dan menaati kode peksos ini, seorang pekerja sosial menyatakan
komitmen pribadinya terhadap prinsip-prinsip umum profesi pekerjaan sosial di Indonesia
dan di seluruh dunia, menegaskan kemauan dan semangat untuk bertindak dengan integritas
professional yang setingi-tingginya, serta menyediakan kesediaannya untuk dinilai secara etis
dalam seluruh perbuatan mereka sebagai pekerja sosial professional, terutama dalam berbagai
situasi yang mempunyai implikasi etis.
Dalam BAB IV pasal 7 di kode etik pekerjaan sosial membahas mengenai hubungan
pekerja sosial dengan klien, yaitu:[7]
1.    Pekerja sosial professional harus mengakui, menghargai, dan berusaha sebaik mungkin
melindungi kepentingan klien dalam kontekks pelayanan yaitu:
a.       Memberi pelayanan sesuai dengan kompetensi yang profesionalnya.
b.      Memberi informasi yang akurat dan lengkap tentang keluasan lingkup, jenis dan sifat
pelayanan.
c.  Memberitahukan hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan dan resiko yang melekat pada dan
atau timbul dari hubungan pelayanan yang diberikan.
d.      Meminta saran, nasehat, dan bimbingan dari rekan sejawat dan atau peyelia manakala
diperlukan demi kepentingan klien.
e.       Segera menarik diri dari konteks pelayanan manakala linkungan dan suasana yang ada tidak
lagi memungkinkan bagi pemberian pertimbagan yang seksama, penyampaian pelayanan
yang sebaik-baiknya dan pengurangan atau pencegahan dampak negative yang mungkin
muncul atau terjadi.
f.   Memberitahu klien tentang pengakhiran konteks pelayanan, baik yang dilakukan melalui
pengalihan, perujukan atau pemutusan pelayanan.
2. Pekerja sosial professional wajib mengakui, menghargai, berupaya mewujudkan dan
melindungi hak-hak klien. Hak klien untuk menentukan nasib sendiri, yaitu meliputi:
a.       Dalam mengerjakan pekerjaannya, pekerja sosial professional harus selalu melindungi
kepentingan-kepentingan dan hak-hak asasi klien.
b.      Bila pekerja sosial professional melimpahkan atau memberikan wewenang kepada orang lain
untuk bertindak demi kepentingan klien, maka dia harus menjaga agar pelayanan itu tetap
sesuai dengan kepentingan klien.
c.       Pekerja sosial professional tidak ikut campur dalam tindakan yang melanggar atau
mengurangi hak-hak sipil atau hak-hak asasi klien.
3.    Pekerja sosial professional menjaga kerahasiaan klien dalam konteks pelayanan, yang
meliputi:
a.   Member tahu klien tentang hak-hak mereeka terhadap kerahasiaan dalam konteks pelayanan,
juga termasuk bila melibatkan pihak ke tiga dalam pelayanan.
b.      Member tahu klien tentang pentingnya kerahasiaan informasi dalam konteks pelayanan.
c.       Member tahu catatan informasi atas permintaan klien, dan sejauh itu untuk kepentingan
pelayanan.
d.     Tidak membuka rahasia klien kepada pihak lain, kecuali atas perintah ketentuan hukum.
e.      Tidak membuka rahasia klien kepada pihak lain tanpa mendapat persetujuan dari yang
bersangkutan, sekalipun pertimbangan-pertimbangan professional mengharuskannya.
4.    Pekerja sosial professional tidak dibenarkan memanfaatkan hubungan dengan klien untuk
kepentingan pribadi.
5.  Pekerja sosial professional tidak dibenarkan memberikan atau melibatkan diri dalam
hubungan dan komitmen yang bertentangan dengan kepentingan klien.
6.    Pekerja sosial professional tidak dibenarkan melakukan, menyetujui, membantu, bekerja
sama atau ikut serta dalam konteks pelayanan yang diskriminatif atas dasar ras, jenis kelamin,
orientasi seksual, usia, agama, status perkawinan, pandangan politik, dan perbedaan kapasitas
mental atau fisik serta terhadap orang dengan HIV/AIDS dan mantan narapidan.

Anda mungkin juga menyukai