Anda di halaman 1dari 237

Seri Teknologi Pelatihan

Jejak Langkah Perubahan


Kumpulan Pengalaman Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Local Governance Support Program


Training and Participation
Jejak Langkah
Perubahan

Kumpulan Pengalaman
Menerapkan
Pendekatan Partisipatif

Local Governance Support Program


Training and Participation
Maret 2009
Jejak Langkah Perubahan – Kumpulan Pengalaman Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Buku lain pada Seri Teknologi Pelatihan ini:


1. Metode-metode Dasar Fasilitasi - Panduan fasilitator
2. Fasilitasi yang Efektif- Buku Pegangan fasilitator
3. Melaksanakan Pelatihan Fasilitasi yang Efektif -Panduan Pelatih
4. Mendesain Kegiatan Interaktif - Buku Pegangan Fasilitator
5. Permainan Kreatif untuk mendukung Kegiatan/Pelatihan Partisipatif - Referensi Fasilitator
6. Menyiapkan Kegiatan/Pelatihan Partisipatif - Referensi Fasilitator
7. Kepemimpinan Fasilitatif
Tentang LGSP

Local Governance Support Program (LGSP) memberikan bantuan teknis guna mendukung kedua sisi
dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di Indonesia. Bagi pemerintah daerah,
LGSP membantu meningkatkan kompetensi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pokok di
bidang perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi, meningkatkan kemampuan dalam memberikan
pelayanan yang lebih baik serta mengelola sumber daya. Bagi DPRD dan organisasi masyarakat, LGSP
memberi bantuan untuk memperkuat kapasitas mereka agar dapat melakukan peran-peran perwakilan,
pengawasan dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

LGSP bekerja di lebih dari 60 kabupaten dan kota di sembilan provinsi di Indonesia: Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi
Selatan dan Papua Barat.

Buku ini terwujud berkat bantuan yang diberikan oleh United States Agency for International Development
(USAID) berdasarkan kontrak dengan RTI International nomor 497-M-00-05-00017-00, mengenai
pelaksanaan Local Governance Support Program (LGSP) di Indonesia. Pendapat yang tertuang di dalam
laporan ini tidak mencerminkan pendapat dari USAID.

Program LGSP dilaksanakan atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS),
Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, pemerintah daerah dan organisasi masyarakat
dalam wilayah provinsi mitra LGSP. Program LGSP didanai oleh USAID dan dilaksanakan oleh RTI
International berkolaborasi dengan International City/County Management Association (ICMA), Democracy
International (DI), Computer Assisted Development Incorporated (CADI) dan Indonesia Media Law and
Policy Centre (IMLPC). Program dilaksanakan mulai 1 Maret 2005 dan berakhir 30 September 2009.

Informasi lebih lanjut tentang LGSP, hubungi:

Local Governance Support Program

Bursa Efek Indonesia, Gedung 1, lantai 29 Telephone: +62 (21) 515 1755
Jl. Jend. Sudirman, kav. 52-53 Fax : +62 (21) 515 1752
Jakarta 12190 email : lgsp@lgsp.or.id
Website : www.lgsp.or.id
Dicetak di Indonesia.

Publikasi ini didanai oleh USAID. Sebagian atau seluruh isi buku ini,
termasuk ilustrasinya, boleh diperbanyak, direproduksi atau diubah dengan
syarat disebarkan secara gratis.
Abstraksi
Buku ini diperuntukkan bagi siapapun yang ingin menjadi, atau sedang terlibat sebagai,
fasilitator, baik untuk berbagai kegiatan pengambilan keputusan dalam proses
pelaksanaan pemerintahan daerah, maupun untuk proses-proses lainnya yang
melibatkan interaksi kelompok. Tujuan pembuatan buku ini adalah agar penggunanya
dapat mengetahui pembelajaran yang diperoleh sekelompok praktisi dalam menerapkan
pendekatan yang partisipatif di lingkungannya, yang meliputi bidang pemerintahan
daerah, penguatan masyarakat, maupun di dunia pendidikan. Para praktisi ini adalah
mitra LGSP di daerah.

Pembelajaran yang mereka peroleh serta pengalaman-pengalaman mereka dituangkan


dengan sederhana menggunakan kerangka teori fasilitasi sebagai dasar penuturan,
dilengkapi dengan contoh-contoh penerapannya. Di bagian awal dijelaskan arti
pendekaan partisipatif bagi LGSP, latar belakang mengapa buku ini dibuat, serta
bagaimana proses pembuatannya. Pada bagian kedua dibahas sikap dasar yang perlu
dimiliki seorang fasilitator atau pelatih, disertai contoh-contoh pengalaman mitra
LGSP menerapkannya di lapangan. Sikap dasar yang diangkat meliputi kemampuan
berempati, berpikir positif, dan percaya pada kelompok. Bagian ketiga menyoroti
berbagai keterampilan dasar yang perlu dimiliki oleh seorang fasilitator dan pelatih,
yakni keterampilan verbal dan non verbal. Seperti di bagian sebelumnya, dipaparkan
pula bagaimana mitra LGSP menerapkannya.

Bagian keempat memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi para mitra LGSP ini
dalam menjalankan peran mereka sebagai fasilitator atau pelatih, baik tantangan internal
maupun eksternal, dan bagaimana kiat mereka menghadapinya. Bagian kelima
mengangkat berbagai pembelajaran yang dicatat dari berbagai contoh pengalaman
mereka dalam menerapkan pendekatan-pendekatan partisipatif di daerah, termasuk
berbagai perubahan yang telah terjadi di lingkungan mereka sebagai buah dari
penggunaan pendekatan partisipatif tersebut.

iii
Abstract
This book is intended for anyone wishing to become (or who already is) a facilitator of
local governance decision making activities involving multi stakeholders, and other group
interaction processes. The book shares with readers some of the lessons learned by
practitioners when applying participatory approaches in the spheres of local governance,
civil society strengthening, and general education.

The practitioners showcased in this publication are all partners of LGSP. Their experiences
and lessons learned are narrated in a reader-friendly fashion using theory of facilitation
as the framework. The book is enriched with practical cases of facilitation.

After an explanation on the role of participation in the LGSP program, and the background
to developing this book, the next section considers the basic competencies required by
facilitators and trainers, and how LGSP partners have applied these competencies in the
field. Emphathy, positive thinking, and trust in the participants are all prerequisites for
successful facilitation. Facilitators and trainers must have good verbal and non verbal
communication skills.

The basic theory is illumintaed with actual cases related by the practitioners themselves.
After portraying some of the challenges that facilitators have faced (both internal and
external), and how they responded, in the last section highlighted some key lessons
drawn partner experiences in applying participatory approaches in their own localities,
as well as some of the changes that have taken place, which are at least partly attributable
to the use of a participatory training approach.

iv
Daftar Isi
Abstraksi......................................................................................................................... iii
Abstract ......................................................................................................................... iv
Daftar Isi.......................................................................................................................... v
Kata Pengantar ................................................................................................................ vii
Bab 1 Pengantar........................................................................................................... 1
Bab 2 Sikap-sikap Dasar Fasilitator dan Pelatih ....................................................... 11
Bab 3 Keterampilan Dasar Fasilitator dan Pelatih ..................................................... 23
Bab 4 Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih ....................................................... 41
Bab 5 Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman .......................................................... 65
Bab 6 Penutup ............................................................................................................ 101

Lampiran: Kumpulan Pengalaman Menarik:


L1. Rencanakan Pembangunan dengan Participative Approach (Mukhlis Sufri)................... 106
L2. Kisah Memfasilitasi: Aib yang Membawa Berkah (Rutiana) ....................................... 110
L3. Inovasi Metode Pembelajaran dalam Studio Proses Perencanaan (Artiningsih) ...... 113
L4. Aktifitas Model Technical Assistance (TA) dalam Mentransfer Materi Perencanaan
(Eko Budi Santoso)....................................................................................................... 116
L5. Berkat TOP, Kampus Panca Budi Selalu Bersih (M. Thoyib Daulay) ........................... 120
L6. Fasilitator adalah Dunia Lain bagi Seorang Konsultan (Rina Sinulingga .................... 123
L7. Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Bukit Tinggi (Deny Helard) ................ 125
L8. Menempa Fasilitator Musrenbang Lewat Pilot Project (Singomaruto) ......................... 128
L9. Pendekatan Partisipatif Tingkatkan Kapasitas Pengelola Keuangan
(Gagaring Pagalung) ....................................................................................................... 131
L10. Motivasi Peserta Kunci Keberhasilan Pembelajaran (Harryanto) .............................. 137
L11. Akuntansi yang Baik Selamatkan Keuangan Daerah (Dr. Andi Kusumawati M.S.,Akt.) 142
L12. Pendekatan Partisipatif Dorong Lahirnya Perbup Pos Pelayanan Publik Paripurna
(P4) di Pinrang (dr. Rusman Ahmad, M.Kes.) ............................................................... 147
L13. Meretas Kemiskinan dengan Pendekatan Partisipatif (Ma’galatung) ........................... 151
L14. Kelebihan Fasilitasi Yang Efektif (Srihestiningsih) ....................................................... 157
L15. Klibi yang Bernyawakan Partisipasi (Armyn Daulay) ................................................... 160
L16. Sukses Awal Penggunaan Pendekatan Partisipatif (Guntur) ....................................... 163

v
L17. Kuasai Filosofinya Sebelum Menggunakannya (Sajidin) ......................................... 166
L18. Perda Untuk Mutu Pendidikan di Tanah Datar (Sri Elniati) ................................... 169
L19. Pendekatan Partisipatif Dorong Perda Partisipatif
L20. (Dr. Andi Syriyaman Mustari Pide, SH, MH)............................................................ 173
L21. Permudah Tansfer Materi Hukum Lewat Gambar (Lilik Puji Astuti) .................... 178
L22. Mengajak Pentolan Fraksi Kembangkan Diri (M. Haris Nabawi) .......................... 181
L23. Menguatkan Jejaring CSO dengan Pendekatan IT dan Formal (M. Solekhan) ..... 185
L24. Mempertahankan Komitmen Kebersamaa, Tepis Egi Pribadi (Gus Dudung) ......... 187
L25. Roys Vahlevi: Saya Belajar Banyak dari Memfasilitasi (Roys Vahlevi) ...................... 191
L26. Cut Aja tak Suka yang Biasa-biasa Saja (Cut Aja Fauziah) ...................................... 194
Pendekatan Partisipatif Lahirkan Regulasi Pro Rakyat Ranperda Perencanaan dan
L27. Penganggaran Berbasis Masyarakat (PPBM) (Ibrahim Fattah) ................................. 197
L28. Konteks Selalu Berarti Subyek (Krisdinar Sumadja) ............................................ 201
L29. Perempuan Sebagai Fasilitator, Mengapa Tidak? (Hamidah) .................................. 204
L30. Siasat Mempersiapkan dan Mendiseminasikan Draft RPJPD (Kadaryono) .......... 207
L31. Memancing Kemampuan Menulis Lewat Potongan Kata (Zaenal Arifin Emka)..... 211
L32. Menumbuhkan Empati Diantara Dua Kubu yang Berseteru (Sugeng Wahyudi).... 214
L33. Pemakaian Metaplan untuk FGD Penelitian (Slameto) ......................................... 218
L34. “Fasilitasi” Sebuah Dunia Penuh dengan Keajaiban (Samsulhuda) ........................ 221
“Moodline” yang Selalu Naik (Budiyono) ................................................................ 223

vi
Kata Pengantar
Dalam rangka menerapkan pendekatan partisipatif dalam pelaksanaan program-
programnya, dan untuk memperluas jangkauan pendekatan ini, LGSP telah memberikan
serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kapasitas para fasilitator yang terlibat mendorong
proses pemerintahan daerah yang partisipatif. Para fasilitator ini berasal dari berbagai
kalangan, baik pemerintah dan wakil rakyat di daerah, aktivis organisasi masyarakat,
kalangan perguruan tinggi, maupun konsultan/penyedia jasa fasilitasi. Peran mereka adalah
mendorong pihak-pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan pemerintahan
daerah untuk menyuarakan aspirasi mereka, berkontribusi dalam penyelesaian persoalan,
dan membuahkan hasil yang konkrit melalui proses pengambilan keputusan yang partisipatif.

Pada gilirannya, para fasilitator yang juga merupakan mitra LGSP ini telah menerapkan
pendekatan partisipatif yang diperkenalkan tersebut di berbagai bidang pekerjaan mereka,
yang baik langsung atau tak langsung, terkait dengan berbagai proses dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah. Penerapannya telah membuahkan berbagai perubahan yang
siginifikan, baik dalam lingkup terbatas seperti dalam hal proses dinamika kelompok,
maupun dalam lingkup yang lebih luas seperti menghasilkan perubahan kebijakan dan
peraturan.

Terdapat banyak pembelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman-pengalaman berharga


para mitra ini. LGSP merasa perlu mendokumentasikan pengalaman-pengalaman dan
pembelajaran-pembelajaran ini, agar orang lain dan daerah lain dapat memanfaatkannya,
dan belajar dari situ, dan agar proses-proses yang partisipatif ini dapat menular lebih
luas. Kami menyadari bahwa ini hanyalah secuil dari beragam pengalaman yang pernah
dilalui tidak hanya oleh mitra-mitra LGSP, tetapi juga oleh saudara-saudara kita yang lain
di Indonesia, dalam mendorong proses-proses yang demokratis dalam pemerintahan.
Namun kami juga percaya bahwa dengan mendokumentasikannya, banyak manfaat dapat
dipetik orang lain darinya.

Akhirnya kami berharap buku ini akan dapat melengkapi sumbangan kami pada penguatan
demokrasi dan pemerintahan daerah di Indonesia.

Jakarta, Maret 2009

Judith Edstrom
Chief of Party
USAID-LGSP
RTI International

vii
Buku ini disiapkan oleh sekelompok anak manusia, dan bermula dari dua lokakarya.

Pengarah: Judith Edstrom


Penanggung jawab: Yoenarsih Nazar
Koordinator: Bahtiar Fitanto
Pelaku dan penulis awal:
Mukhlis Sufri, Rutiana, Artiningsih, Eko Budi Santoso, M. Thoyib Daulay, Rina Sinulingga,
Deny Helard, Singomaruto, Gagaring Pagalung, Harryanto, Andi Kusumawati, Rusman
Ahmad, Ma'galatung, Srihestiningsih, Armyn Daulay, Guntur, Sajidin, Sri Elniati, Andi
Suriyaman Mustari Pide, Lilik Pujiastuti, M. Haris Nabawi, M. Solekhan, Gus Dudung,
Roys Vahlevi, Cut Aja Fauziah, Ibrahim fattah, Krsidinar, Hamidah, kadaryono, Zaenal
Arifin Emka, Sugeng Wahyudi, Slameto, Samsulhuda, Budiyono.
Penulis ulang tulisan pengalaman-pengalaman:
Yayan Sakti Suryandaru, Syamsuddin Simmau, Soetopo, Fahmi Rizal, Mohammad
Kholifan, Justanti Salilo
Penyunting Utama: Yayan Sakti Suryandaru
Penyunting Pendamping: Bahtiar Fitanto, Fitri Handayani, Elisabeth Yunita Ekasari
Pemeriksa sampel buku: Hans Antlov, Robert van der Hoff, Dina Limanto
Pemeriksa Desain: Richard Pedler
Desain dan perwajahan: Mahmud Hidayat
Ilustrator: Bondan
Foto-foto Karya: Bahtiar Fitanto
Urusan Administrasi: Elisabeth Yunita Ekasari
Dukungan koordinasi dengan para mitra: Zulfa Ermiza, Dedi Haryono
Koordinator lokakarya Batu: Bahtiar Fitanto
Koordinator lokakarya Berastagi: Fahmi Rizal, Hamdan
Pencatat hasil lokakarya: Sugeng Raharjo
1
Kumpulan Pengalaman
2 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Tiap o rang pasti


memiliki keunikan
masing-masing”
3
Kumpulan Pengalaman
4 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Apakah Anda memiliki pengalaman


dalam memberikan pelatihan kepada
forum multistakeholders? Apa yang telah
Anda alami dan rasakan? Anda mungkin
saja telah menemukan berbagai hal
baru, menarik dan penuh tantangan.
Forum-forum itu mungkin saja juga
telah memperkaya wawasan Anda,
menambah jam terbang Anda untuk
mengalami berbagai situasi dan kondisi
yang berbeda pada ruang-ruang
pelatihan dan pertemuan untuk
mencapai konsensus bersama.
Begitupun dengan para mitra LGSP
yang selama ini telah melakukan
serangkaian kegiatan peningkatan
kapasitas stakeholders daerah bagi
peningkatan tata kelola pemerintahan.

Local Governance Support Program (LGSP) atau Program Dukungan Tata Kelola
Kepemerintahan merupakan prakarsa Unites States Agency for International
Development (USAID) dalam rangka meningkatkan tata kelola kepemerintahan di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Kegiatan LGSP difokuskan pada
perencanaan partisipatif, penganggaran berbasis kinerja dan peningkatan manajemen
pelayanan publik. Untuk mewujudkan fokus utama tersebut dilakukan juga penguatan
bagi anggota legislatif serta penguatan organisasi masyarakat sipil.

Program-program yang mendukung bidang utama itu dilakukan dengan pendekatan


yang partisipatif. Karenanya, LGSP juga memberikan Pelatihan Memfasilitasi dengan
Efektif kepada lebih dari 1.400 mitranya yang berkiprah di berbagai bidang tersebut.
Tujuannya jelas, agar mereka dapat menerapkan proses-proses yang partisipatif pada
berbagai kegiatan di bidang masing-masing.

Mitra LGSP yang dimaksud mencakup pimpinan atau staf pada dinas/badan/lembaga/
kantor pemerintah kabupaten/kota, pimpinan dan anggota DPRD, serta pegiat
organisasi masyarakat sipil. Ketiganya merupakan pilar utama dalam tata kelola
pemerintahan di daerah. Termasuk di dalam kelompok yang sudah dilatih ini adalah
Pengantar 5

para penyedia jasa (service providers) yang telah bekerjasama dalam kegiatan-kegiatan
LGSP selama program ini berlangsung.

Sebagai strategi keberlanjutan dan replikasi berbagai hasil baik (best practices) dari
program LGSP, peran peningkatan kapasitas bagi stakeholders daerah tersebut mulai
bergeser ke tangan para mitra (service providers). Sebagai praktisi dalam proses tata
kelola pemerintahan daerah, mereka telah melaksanakan berbagai peran. Tidak hanya
sebagai pelatih, namun juga berfungsi sebagai motivator dan fasilitator bagi daerah.
Sebagian telah berhasil memperkenalkan dan menumbuhkan proses-proses yang
partisipatif di lingkungannya sendiri, sebagian lagi telah mampu berperan dalam
mempengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan di berbagai daerah yang mereka
dampingi.

Kumpulan berbagai pengalaman menarik ini adalah sebuah


upaya untuk mendokumentasikan berbagai keberhasilan
dan berbagai tantangan yang selama ini dihadapi oleh para
“Cerit
“Ceritaa yang paling mitra LGSP tersebut dalam berbagai kegiatan peningkatan
bagus ad alah cerit
ceritaa kapasitas di berbagai daerah.Tujuannya adalah agar orang
yang kit
kitaa alami”
lain dapat mengetahui bagaimana mereka melakukannya,
dan belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut.
-John C. Maxwell-

Pada bagian kedua buku ini akan dibahas tentang sikap


dasar seorang fasilitator maupun pelatih. Setiap fasilitator
atau pelatih haruslah memiliki minat yang kuat. Kenapa?
Karena yang akan Anda hadapi adalah orang-orang lain yang ingin Anda perhatikan.
Bagaimana bila Anda tidak mempedulikannya? Tidak cukup hanya minat, tetapi juga
membutuhkan empati, yaitu bagaimana kita bisa menempatkan diri pada kondisi
dimana orang lain yang kita pandu merasakannya.

Tidak kalah penting dari itu semua adalah berpikir positif. Tiap orang pasti memiliki
keunikan masing-masing. Karena itu, dibutuhkan sikap untuk bisa menerima berbagai
perbedaan tersebut dengan positif. Pada sisi yang lain, dibutuhkan pula sikap percaya
pada kekuatan kelompok. Sudah banyak kita temui seorang pelatih ataupun fasilitator
yang berangkat menemui audiens-nya dengan keragu-raguan akan kemampuan
kelompok untuk menjawab masalah mereka sendiri. Sehingga fasilitator dan pelatih
tidak lagi menjadi pendorong proses, tetapi mengajukan diri sebagai penentu jalan
keluar.
Kumpulan Pengalaman
6 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Bagian ketiga akan membahas


bagaimana para mitra LGSP
menerapkan berbagai keterampilan
dasar yang perlu dimiliki oleh seorang
fasilitator dan pelatih. Pada dasarnya,
keterampilan seorang fasilitator ini
bisa dikelompokkan dalam dua bagian
besar : keterampilan verbal dan
keterampilan non verbal. Keduanya
dibutuhkan bagi seorang fasilitator
ataupun pelatih. Keterampilan verbal
dibutuhkan fasilitator untuk
melakukan: questioning, probing,
paraphrasing dan summarizing. Bagi
seorang pelatih, keterampilan verbal
perlu diasah untuk dapat
menyampaikan materi pelatihan
dengan prima.

Keterampilan non verbal akan membuat seorang fasilitator ataupun pelatih semakin
bersahaja di depan kelompok yang dipandunya. Pembawaan yang baik dan penempatan
raut muka yang tepat, akan membuat kelompok merasa nyaman. Intonasi suara, akan
memudahkan fasilitator ataupun pelatih memudahkan penekanan pada muatan materi
yang penting. Begitupun akan pentingnya observing secara kontinyu untuk melihat
energi kelompok. Semua keterampilan ini bisa dijabarkan dalam berbagai metode
yang dilakukan dalam sebuah kegiatan. Baik itu metode workshop, mind mapping, round
robin ataupun berbagai metode yang lain.

Bagian keempat buku ini membahas berbagai hal yang menjadi tantangan dan kiat
yang dilakukan oleh para mitra LGSP sebagai fasilitator dan trainer. Banyak hal yang
ikut mempengaruhi sukses atau tidaknya sebuah pelatihan ataupun forum fasilitasi.
Paling banyak jelas masalah persiapan, seperti materi pelatihan, ruang dan keragaman
peserta. Namun selain itu, faktor eksternal juga seringkali tidak bisa dihindarkan
begitu saja, seperti budaya birokrasi dan kebiasaan-kebiasaan lokal. Semua ini tentu
memiliki pengaruh pada keberhasilan kegiatan. Menarik sekali kita pelajari bagaimana
kiat para mitra LGSP mengatasi berbagai tantangan ini.
Pengantar 7

Pada bagian kelima, kita dapat memetik berbagai pembelajaran dari pengalaman-
pengalaman para mitra LGSP dalam berbagai kegiatan di daerah. Dimulai dari bagaimana
membangun semangat dan kesetaraan antar peserta, hingga membangun berbagai
atmosfir keajaiban dalam forum fasilitasi dan pelatihan. Selanjutnya, kita bisa melihat
berbagai jejak kecil sebagai langkah awal perubahan yang besar menuju terwujudnya
tata kelola pemerintahan yang baik sebagai impian bersama.

Arti Pendekatan Partisipatif


dalam LGSP
Pernahkah Anda mengikuti sebuah pertemuan untuk mengambil konsensus bersama?
Bagaimana prosesnya? Ataukah Anda mengalami sebuah pelatihan yang membikin kantuk
Anda tidak tertahankan lagi karena harus diam membisu sepanjang sesi? Pendekatan
partisipatif memungkinkan Anda untuk mengalami sebuah pengalaman diskusi yang
menarik. Begitupun juga dengan pelatihan dengan pendekatan partisipatif, akan
memungkinkan Anda untuk berkembang sesuai keagungan insani dengan proses
yang jauh lebih kreatif.

James Surowiecki dalam bukannya The Wisdom of Crowds (2006) menyampaikan


berbagai hasil penelitian tentang “kearifan massa”, dan menyimpulkan bahwa
keputusan yang dibuat oleh orang banyak seringkali hasilnya lebih baik dari keputusan
yang dibuat oleh seorang ahli. Maka, ketika LGSP mengedepankan pendekatan yang
partisipatif dalam memberikan bantuan teknis bagi berbagai daerah yang menerima
program ini, hal itu adalah keputusan yang sudah tepat pada jalurnya.

Pada bidang perencanaan partisipatif, pendekatan ini


dimaksudkan agar pemerintah daerah dalam proses
perencanaan dapat menjaring berbagai usulan dari
masyarakat. Sehingga kebijakan yang dibuat mengenai
“Alam semes
semestta pengalokasian sumber sumber daya adalah keputusan yang
ter diri atas kisah
atas
bukan atom” tepat dan benar benar mampu menjawab kebutuhan
masyarakat. Kebijakan yang dimaksud adalah yang berkaitan
-Muriel Rukeyser- dengan perencanaan tahunan dan rencana pembangunan
jangka menengah daerah.
Kumpulan Pengalaman
8 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Pada bidang penganggaran, pendekatan partisipatif diterapkan melalui pelatihan-


pelatihan yang dilakukan secara interaktif. Tujuannya adalah agar staf pemerintah
kabupaten/kota yang dilatih dapat lebih memahami proses penganggaran yang benar
dan berbasis konsultasi publik. Dengan semangat yang ditimbulkan dalam pelatihan,
mereka lebih terdorong untuk menjalankan fungsi-fungsi penganggaran, keuangan
dan akuntansi pemerintah dengan lebih baik.

Pada bidang peningkatan manajemen pelayanan publik,


tujuannya adalah agar proses pengelolaan pelayanan publik
dapat lebih menjawab kebutuhan masyarakat, dan sesuai
“Kit
“Kitaa perlu belajar
d ari k esalahan- dengan daya jangkau dan kemampuan masyarakat.
k esalahan o rang
lain, And a harus Pada bidang penguatan legislatif, pendekatan partisipatif
hidup cukup lama
untuk mampu ditanamkan agar hubungan konstituensi anggota DPRD
membuat semuanya sebagai wakil rakyat dengan masyarakat yang diwakilinya
sendiri” dapat menguat, sehingga mereka dapat betul-betul
menjaring aspirasi masyarakat dengan akurat, dan
-Hyman G Rioko ver-
kepentingan rakyat banyak dapat tercermin dalam
kebijakan dan peraturan yang mereka buat.

Pada bidang penguatan masyarakat, perubahan paradigma governance mengharuskan


sebuah proses konsultasi dimana masyarakat dapat menyuarakan preferensi mereka
tentang kebijakan publik. Untuk itu, pendekatan partisipatif dilakukan agar masyarakat
mampu menentukan prioritas kebutuhan mereka secara analitis dan berdasar.

Menurut pengalaman LGSP dan donor lain, dengan berpartisipasinya warga dalam
proses pembuatan kebijakan publik, maka:
• Kebijakan publik akan menjadi lebih baik, berlanjut, dan bijaksana.
• Kemampuan dan percaya diri masyarakat akan lebih terbangun.
• Kepercayaan dan saling pengertian diantara para stakeholder akan terbangun
juga, yang pada akhirnya akan dapat mengubah ABC (Attitude and Behavior Change).
• Kalau marginalisasi adalah penyebab utama pemiskinan, maka keterlibatan warga
akan bisa mengatasi akar kemiskinan.
• Kedaulatan rakyat akan dapat ditegakkan.
Pengalaman-pengalaman mitra LGSP menerapkan pendekatan partisipatif yang
dipaparkan dalam buku ini akan memperhatikan sejauh mana harapan-harapan
tersebut telah tercapai.
Pengantar 9

Tujuan Penyusunan Buku


Secara umum, buku ini diharapkan
dapat menjadi salah satu artefak LGSP.
Bersama-sama materi publikasi LGSP
lainnya, buku ini diharapkan dapat
menjadi referensi dalam penguatan
proses tata pemerintahan yang baik di
masa mendatang, khususnya pada
penguatan proses yang partisipatif.
Pengalaman serta pembelajaran yang
diperoleh para mitra LGSP yang
didokumentasikan dalam buku ini
diharapkan akan dapat bermanfaat bagi
siapapun pegiat dan praktisi di bidang
tata kelola pemerintahan.

Melalui buku ini, Anda akan:

• Mengetahui bagaimana mitra-mitra LGSP menerapkan pendekatan partisipatif di


daerah atau di lingkungan mereka.
• Mengetahui perubahan apa saja yang telah berhasil mereka dorong dalam
menjalankan proses-proses yang partisipatif, terutama pada tataran sikap atau
perilaku pihak-pihak yang terkait dengan tata kelola pemerintahan daerah.
• Mengetahui bagaimana penerapan pendekatan partisipatif pada berbagai bidang
beserta kiat dan tantangan yang dihadapi.

Proses Penyusunan
Buku ini disusun melalui tahap-tahap berikut ini:

Pada awalnya LGSP menyelenggarakan lokakarya bersama sejumlah mitra, untuk


merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka menerapkan pendekatan partisipatif.
Di dalam lokakarya ini, para mitra berbagi pengalaman, sekaligus berlatih menuliskannya.
Lokakarya ini dilaksanakan dua kali. Pertama, di Batu, Jawa Timur, pada tanggal 28-30
Maret 2008. Lokakarya diikuti oleh 29 mitra dari 3 provinsi: Jawa Timur, Jawa Tengah,
Kumpulan Pengalaman
10 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

dan Sulawesi Selatan. Lokakarya kedua di Berastagi,


pada tanggal 28 Juli-1 Agustus 2008 diikuti oleh
mitra-mitra LGSP dari 4 provinsi: Nanggroe Aceh “ Orang yang percaya
pad a diri sendiri
Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan terbuka pad a id e-id e
bagus d ari manapun
Jawa Barat. Kedua lokakarya ini menghasilkan 34 sumbernya d an bersedia
rancangan artikel mengenai pengalaman membagikannya.
Ego mer eka tid ak
mereka
menerapkan proses partisipatif, yang ditulis oleh menuntut mer eka
para mitra itu sendiri. harus menjadi pencetus
setiap id e yang mer eka
mereka
gunakan at au dipuji
atau
untuk setiap id e yang
Tulisan-tulisan yang telah masuk itu kemudian mer eka cetuskan.
cetuskan.””
ditulis ulang. Sebagian oleh staf LGSP, sebagian lagi
J
- ack Welch-
oleh mitra LGSP. Para penulis ulang melakukan
pendalaman tulisan kepada penulis aslinya untuk
melengkapi berbagai aspek yang belum tergambar
dalam rancangan awal. Pendalaman ini dilakukan melalui berbagai cara, seperti misalnya
melalui telepon, wawancara, maupun diskusi kelompok.

Setelah pengalaman setiap orang terekam lebih komprehensif, dilakukan


pengkristalisasian. Keseluruhan tulisan dipetakan sehingga terlihat komposisi butir
butir pembelajaran yang diperoleh. Diantaranya, perubahan-perubahan yang telah
berhasil didorong, tantangan yang dihadapi serta kiat-kiat menghadapinya. Hal-hal
inilah yang dituangkan ke dalam buku dihadapan Anda ini.

Buku ini disusun dalam bentuk yang berbeda dengan kelaziman buku yang telah ada.
Sebagian besar isinya adalah pengalaman dan berbagai pembelajaran praktis yang
diangkat dari pengalaman para mitra LGSP. Karena itu, janganlah buku ini dibaca
sebagaimana layaknya buku-buku umum. Bahan-bahan yang dipaparkan bukanlah
sebuah teori untuk dipelajari, melainkan dipetik pelajaran berharganya untuk
pengembangan dan perbaikan kegiatan di masa mendatang. Meski demikian, Anda
masih bisa memetik hikmah dari kata-kata orang bijak dan dasar-dasar konsep fasilitasi
dan pelatihan yang praktis dari berbagai halaman dalam buku ini. Penataan halaman
per-halaman diharapkan membuat Anda tidak bosan membacanya dan memudahkan
untuk mengingat. Sebagai bahan pelajaran, Anda dapat memetiknya dengan cara
Anda sendiri dan sangat mungkin untuk mengembangkannya dengan potensi diri
Anda sendiri. Bagaimana buku ini bisa bermanfaat bergantung pada bagaimana Anda
sendiri memanfaatkannya.

Selamat membaca.
11
Kumpulan Pengalaman
12 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Setiap o rang
memiliki pengalaman
yang patut did engarkan”
13
Kumpulan Pengalaman
14 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Bayangkan oleh Anda sebuah rumah


yang indah. Selain arsitekturnya yang
bisa membuat Anda kagum, mungkin
juga warna yang indah. Tetapi, bukankah
yang membuat rumah itu sedemikian
kokoh adalah fondasinya? Tanpa
fondasi yang kokoh, rumah semegah
apapun, tidak bisa bertahan lama.
Demikian pula dengan seorang
fasilitator atau pelatih. Tanpa memiliki
sikap dasar yang bagus, mungkin akan
terasa sulit untuk membawanya pada
jenjang kemampuan berikutnya. Jelas
bahwa sikap dasar perlu dimiliki oleh
seorang fasilitator ataupun pelatih.

Setiap orang pasti mempunyai sikap. Karena sikap sebenarnya beranjak dari proses
berpikir dan karakter yang dimiliki. Selanjutnya diperkaya dengan bagaimana organisasi
membentuk kita serta bagaimana orang-orang di sekitar kita berpikir. Sikap dapat
terlihat dari kata-kata, suara, bahasa tubuh, raut muka dan perilaku dalam kelompok.

Sikap dasar ini diharapkan membawanya pada


beberapa kemudahan dan perubahan kreatif selama
proses fasilitasi atau pelatihan. Di antaranya adalah
kemudahan dalam penyampaian pesan, sehingga “Pad a setiap batu
“Pad
tepat sasaran bagi peserta. Artinya, secara teknis cad as selalu
materi sudah disiapkan dengan memperhatikan terkandung patung
karakteristik peserta. Selain itu, tentu saja kesiapan yang ind ah”
mental dan fisik yang mumpuni selaku fasilitator
-Michaelangelo--
atau pelatih. Terlebih lagi, kemampuan psikologis
yang dapat membawanya sebagai ‘teman diskusi’
dan bukan terjebak menjadikan dirinya sebagai
sekedar ‘penceramah’.
Sikap-sikap Dasar Fasilitator dan Pelatih 15

Minat
Coba renungkan sejenak. Bagaimana
perasaan Anda, bila Anda bercerita
dengan antusias kepada orang lain,
sementara orang tersebut tidak
mempedulikan Anda? Apa yang akan
terjadi? Anda mungkin akan malas untuk
menemuinya kembali. Demikian pula
sebaliknya, orang lain akan merasa nyaman
dan percaya diri bila Anda juga memberikan
perhatian yang sesuai. Karena itu, sangat penting bagi seorang fasilitator atau pelatih
untuk tidak hanya memberikan perhatian kepada aspek-aspek yang hanya berkaitan
dengan kepentingannya saja.

Ambillah contoh Zainal Arifin Emka. Pengalamannya sebagai redaktur senior dan
jurnalis, membantunya untuk menempatkan dirinya tidak sekedar pelatih atau
penceramah, tetapi juga kawan diskusi bagi peserta.

Minatnya pada peningkatan kapasitas jurnalis muda, ditunjukkan dengan


banyak memberikan kiat dan pengalamannya. Gaya komunikasi dengan
bahasa yang penuh filosofi, dibungkusnya dengan gurauan segar yang
tanpa sadar merupakan kritiknya pada lemahnya daya juang dan
pemahaman etika jurnalistik banyak wartawan muda di era sekarang.

Minat pada persoalan pribadi jurnalis juga ditunjukkan Zainal. Misalnya pada persoalan
larangan menerima ‘amplop’ bagi jurnalis. Persoalan ini tidak dihampirinya dengan
perspektif hitam putih, tetapi dengan mengkajinya dari berbagai sudut pandang.
Persoalan masih minimnya gaji jurnalis, target jumlah berita yang harus dihasilkan
dalam sehari dikupasnya tuntas. Tidak ketinggalan batasan definisi amplop yang masuk
kriteria sogokan, hingga perasaan ewuh pakewuh jurnalis jika menerima amplop dari
sumber berita. Semua dia jelaskan tanpa nada menceramahi, menyalahkan, atau
mengkotak-kotakkan peserta pada golongan tertentu. Tentu saja, pengalaman
empiriknya selama menjadi jurnalis dan redaktur dari sekian puluh media, ikut
mewarnai penjelasannya.
Kumpulan Pengalaman
16 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Mitra/Fasilitator LGSP yang bertindak selaku trainer, tentu


saja memiliki minat besar pada materi yang akan
“Pelatih yang bisa
“Pelatih disampaikannya. Makin mantap, bila mitra tersebut selain
meng gambarkan memahami teori juga memiliki pengalaman atas materi
permainan pad a tersebut. Pengalaman sebagai konsultan, tim perumus,
sebuah papan tulis penggagas, atau pengamat dari persoalan yang akan
amat mud ah
did apat. didesiminasikannya.
Pelatih yang berhasil
ad alah mer eka yang Hal ini akan membedakannya dengan pemateri yang hanya
masuk k ed alam
pemainnya d an memiliki pemahaman teoritis saja. Pengalamannya di
memo tivasi mer eka” ‘lapangan’ akan membantunya menemukenali dan
memberikan solusi atas persoalan yang kerap, dijumpai
-Vince Lombardi-
peserta. Suasana lokakarya atau pelatihan akan lebih
’membumi’ dengan cerita dan tips seputar pengalaman
sang pelatih maupun peserta itu sendiri.

Jadi perwujudan minat besar pelatih pada materi yang sedang digagas, akan dapat
terlihat. Pertanyaaan peserta seputar permasalahan yang dihadapinya, akan dapat
dijawab pelatih berdasarkan ‘jam terbangnya’ menggeluti permasalahan yang
ditanyakan peserta tersebut. Penguasaan substansi pembicaraan baik spesifik maupun
umum, serta referensi pengetahuan yang selalu mutakhir, juga akan memancarkan
minat besar pelatih pada persoalan yang sedang dibicarakan.

Pengalaman ini ditunjukkan oleh Haryanto. Pria yang juga dosen pada Universitas
Hasannudin, Makassar tersebut selalu mencoba meningkatkan rasa keingintahuan
peserta terhadap materi pelatihan. Hingga, fungsi narasumber pun kadangkala beralih
juga menjadi motivator. Dengan demikian peserta pelatihan akan berpartisipasi aktif
dalam pelatihan. Pengetahuan yang diangkat dari peserta lalu didiskusikan bersama.
Hasilnya, peserta akan lebih termotivasi untuk mengetahui lebih banyak materi yang
telah didapatkannya.

Mengapa pola ini yang kerap dilakukan Haryanto?

Pertama, setiap orang ingin diapresiasi. Kedua, setiap orang memiliki inner
potential dalam diri mereka masing masing. Ketiga, setiap orang memiliki
pengalaman yang patut didengarkan.
Sikap-sikap Dasar Fasilitator dan Pelatih 17

Setiap peserta pasti ingin mendapat apresiasi yang baik dari narasumber, fasilitator
maupun dari sesama peserta. Dengan memberikan apresiasi terhadap setiap pendapat
yang disampaikan peserta, maka peserta tersebut akan merasa mendapat ruang
untuk berekspresi. Dengan sendirinya, peserta itu akan terus termotivasi untuk
menyampaikan pikiran-pikirannya apakah dengan cara berbicara dalam forum atau
dengan menuliskannya lalu disampaikannya di depan forum pelatihan atau fasilitasi.

Empati
Sebagai fasilitator atau pelatih Anda
harus mampu menempatkan diri dalam
situasi yang dihadapi orang lain guna
memahami perspektif yang mereka
miliki terhadap isu-isu tertentu. Hal
inilah yang kita sebut sebagai empati.
Tantangan yang dihadapi ketika Anda
memfasitasi sebuah pertemuan
ataupun melatih adalah: Anda harus
berempati pada banyak orang secara
bersama-sama.Tetapi, bila Anda berhasil
melewatinya, Anda akan mendapatkan
lebih banyak orang yang percaya pada
Anda dan mereka akan menjadi lebih
responsif.

Salah satu cara untuk menunjukkan sikap empati bisa dengan meminta
peserta menyampaikan pengalaman, keluh kesah, atau perasaannya pada
satu persoalan tertentu.

Metode ‘memancing cerita’ dari peserta ini kerap dilakukan oleh Sugeng Wahyudi.
Baik ketika pesertanya homogen (dari profesi yang sama, misal humas atau wartawan)
maupun heterogen. Menurutnya, perlu sikap empati dan sedikit hati-hati, kalau
menghadapi peserta yang beragam. Apalagi jika ada dua pihak peserta yang
berseberangan dan potensial bisa saling menghujat sikap ‘lawannya’. Diperlukan sikap
adil untuk memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak.
Kumpulan Pengalaman
18 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Mendengar dengan Empati

Mendengar

Bertanya Parafrase

Empati

Sumber Nadine Bell, Susan Nurre; The Big Picture Creating an On Going Client
Relationship.The IAF Handbook of Group Facilitation

“Sering kalau saya memberikan kesempatan berpendapat pada seorang Humas, belum
selesai dia bicara, wartawan akan menginterupsi dan ingin memberikan klarifikasi,”
ujar laki-laki kelahiran Madiun ini. Suasana bisa menjadi panas dan mengarah pada
debat berkepanjangan jika tidak segera ‘ditengahi’.

Sugeng bercerita bila ia sering terpaksa harus mengklarifikasi tudingan miring yang
dilontarkan kedua kubu. Fungsi sebagai wasit yang bijak dan adil selalu dijalankannya.
Misalnya, dijelaskannya sistem pendistribusian kewenangan sebagai juru bicara, kerap
menjadi penyebab tidak responsifnya staf Humas memberikan informasi kepada
jurnalis. Apalagi jika di masing-masing dinas, tidak memiliki staf yang ditunjuk khusus
sebagal Humas. Maka akan tercipta ‘kemandegan’ lalu Iintas informasi di instansi
tersebut.

Pada sisi yang lain, wartawan akan menganggapnya sebagai penghambat kebutuhan
mereka mendapatkan informasi. “Atau pada kasus lain, sering saya jelaskan kepada
staf Humas, tidak bisa semua wartawan distereotipkan (dicap, pen.) selalu mau
menerima amplop yang disodorkan Humas. Masih banyak wartawan yang idealis dan
patuh pada aturan di medianya yang melarang jurnalisnya menerima amplop,” urai
Sugeng bersemangat.

Lain lagi yang ditunjukkan Srihestiningsih. Kegiatannya sebagai staf di Badan


Perencanaan dan Pembangunan Provinsi Jawa Tengah, membuatnya banyak
berkecimpung pada kegiatan pengembangan ekonomi lokal. Berbanding terbalik
dengan jabatannya, ia justru lebih banyak menempatkan dirinya sebagai peserta ketika
Sikap-sikap Dasar Fasilitator dan Pelatih 19

berlangsung pelatihan. Hal ini tak lain dilakukan agar ia mengetahui benar akan
kebutuhan peserta.

Pengalaman menarik ditunjukkannya ketika memfasilitasi pertemuan pelaku usaha


pada Sentra Knalpot di Kabupaten Purbalingga. Pelaku di sentra tersebut dikenal
sebagai orang-orang yang sulit sekali untuk diajak melakukan kegiatan bersama-sama,
sehingga dibutuhkan seorang fasilitator yang mampu memberikan motivasi. Pada saat
itu, Srihestiningsih mempersiapkan instrumen pendekatan partisipatif untuk
implementasinya. Langkah berikutnya, merancang kegiatan fasilitasi yang efektif dalam
kelompok masyarakat. Ini pengalaman yang sangat unik, karena biasanya orang
merancang kegiatan dulu, baru setelah itu menyiapkan instrumen dan alat-alat yang
diperlukan untuk memfasilitasi. Dan buktinya, Hesti berhasil membuat para pengrajin
knalpot yang susah diajak ngumpul itu betah ikut terus dalam workshopnya. Hasilnya,
benar benar menakjubkan.

Peserta sangat senang ketika diajak bermain, menyanyi, tertawa, sambil


menelan materi materi lokakarya yang sebelumnya terasa membosankan.

Empati yang dibangun Hesti adalah sebuah upaya untuk membongkar kemandegan
ide. Berbagi ide yang kita miliki selalu berangkat dari pengalaman-pengalaman yang
telah ada. Akibatnya, kita cenderung mempertahankan berbagai ide yang sudah ada.
Padahal, ide dan pendekatan yang sama belum tentu dapat menyelesaikan masalah.
Anda perlu bergerak secara ’lateral’ untuk mencoba berbagai ide dan
pendekatan yang baru.

Metode metode yang digunakan untuk keluar dari


‘zona aman’ tersebut akan sangat membantu
Mend engar d engan
peserta untuk berpikir lateral. Keluar dari persepsi Empati:
yang sudah ada untuk menemukan berbagai ide 1. Mend engarkan semua
2. Mengulang yang
baru. disampaikannya (parafrase)
3. Ber empati: mer
Berempati: efleksilan
merefleksilan
perasaannya
4. Bert anya: menanyakan
Bertanya:
lebih jauh/bagaimana
selanjutnya”
-Joe Vitale d alam
The Secret-
Kumpulan Pengalaman
20 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Berpikir Positif
Tiap individu pasti memiliki keunikan
dan potensi diri. Berpikir positif berarti
kita harus bisa menerima berbagai
keunikan dan potensi tersebut, apapun
gagasan, pendapat, pandangan, jender
maupun latar belakang seseorang.
Bukan perkara yang mudah untuk
mewujudkannya, tetapi bila tidak
dilakukan, Anda akan sulit memfasilitasi
mereka. Bukan berarti harus suka atau
setuju, melainkan menghargai dan
menghormati orang lain dan kelompok.

Selalu berpikir positif menjadi sikap yang ingin dikedepankan oleh Andi Suryaman
Mustairi. Ketika berhadapan dengan anggota DPRD yang terkesan arogan dan ‘sok
pintar’, perlu trik untuk menghadapinya, Riri berusaha untuk tidak emosional.

Sebagai narasumber ia menghargai semua pendapat yang disampaikan


peserta meskipun pendapat itu dirasanya kurang tepat. Penyampaian
materi dengan penuturan yang sopan juga seringkali menjadi kunci
luluhnya ego anggota dewan seperti ini.

“Anggota dewan itu kan biasanya butuh dihormati. Jadi ya, saya menghormati mereka.
Saya katakan bahwa saya tidak lebih pintar dari mereka karena sesungguhnya
merekalah yang mengetahui setiap Perda yang diputuskan. Jadi kehadiran saya
sesungguhnya bukanlah sebagai narasumber melainkan sebagai teman diskusi untuk
saling bertukar pendapat. Jadi saya juga hanya sebagai fasilitator, bukan narasumber
serba bisa,”jelas Riri

Lain lagi dengan pengalaman Rutiana. Ketika membahas Standar Pelayanan Minimal
(SPM) di Kabupaten Sukoharjo, ia merasa gagal dalam memfasilitasi. Bukannya pujian
yang didapatnya, melainkan pertanyaan sinis dan ketus dari peserta. Setelah hampir
tiga jam menjalankan tugasnya, peserta justru mengeluhkan tidak mendapatkan
‘sesuatu’ dari materi yang sudah ditransfer Rutiana. Hampir saja ia memutuskan
mundur sebagai mitra LGSP.
Sikap-sikap Dasar Fasilitator dan Pelatih 21

Akan tetapi setelah ia renungkan, dengan mencoba berpikir positif pada kebutuhan
peserta, ia menemukan ‘resep’ memperbaiki diri. Perubahan besar yang dilakukannya,
dalam setiap pelatihan Rutiana selalu mengawali dengan menjajaki harapan peserta
terkait dengan materi pelatihan, lalu disandingkan dengan tujuan umum dan keluaran
yang diharapkan dari setiap bagian materi utama.

“Saya minta klarifikasi dari peserta, siap dengan segala resiko, putar haluan dari
rencana “A” ke rencana “B”, jikalau peserta menghendaki, dengan tetap membantu
peserta berada dalam koridor kebutuhan utama pelatihan”, tuturnya.

Percaya pada Kekuatan Kelompok

Sebagai fasilitator Anda harus


mempercayai potensi kelompok
yang Anda fasilitasi untuk
mempunyai kemampuan dalam
menemukan jalan atau solusi atas
permasalahannya sendiri. Hal ini
berarti, bagaimanapun komposisi
kelompok itu, Anda selalu percaya
bahwa jawaban atas permasalahan
ada pada kelompok itu sendiri.
Sebagai fasilitator Anda tinggal
mendorong proses bagi kelompok
tersebut untuk menemukan
permasalahannya sendiri.

Contoh dari Pengalaman ini ditunjukkan oleh Roys Vahlevi. Direktur Yayasan
Insan Cita Madani (YICM) ini menerangkan, dalam melakukan fasilitasi, pendekatan
pembelajaran orang dewasa menjadi landasan utama bagi dirinya. Strategi dan teknik
yang mengacu kepada pendidikan orang dewasa senantiasa dilandasi oleh konsep
diri, pengalaman pribadi, serta kesiapan dan orientasi belajar dari setiap warga belajar.
Dalam hal ini, tuntutan pokok sebagai implikasi dari landasan tersebut dalam
melaksanakan proses fasilitasi bagi orang dewasa, yaitu keterlibatan atau peran serta
dari setiap warga belajar.
Kumpulan Pengalaman
22 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Menurut saya, fasilitasi adalah proses untak membuat semua hal menjadi
mudah, proses sadar dan sepenuh hati yang dapat membantu suatu
kelompok supaya sukses mencapai tujuan kelompok dengan cara taat
pada prinsip-prinsip partisipasi dimana kelompok benar-benar berfungsi
sebagai kelompok,”

ungkap Sarjana Teknik ini. Ia mengingat bahwa pengetahuan seperti itu adalah apa
yang diserapnya dari penjelasan tentang “rambu partisipasi” yang dulu diberikan
saat mendapatkan pelatihan TOP (Technologies of Participation Training) dari LGSP.
Ia camkan benar, sebagai fasilitator ia harus selalu percaya pada potensi kelompok
sekaligus “netral pada substansi” yang berarti tidak memiliki sistem nilai atau
keberpihakan.

Senada dengan Roys yang senantiasa melibatkan peranserta warga belajar dalam
lokakarya yang dipandunya, Denny Herald malah meningkatkan kemampuan dan
keinginan masyarakat yang terlibat langsung dalam menjalankan organisasi pengelolaan
sampah berbasis masyarakat.

Melalui serangkaian pelatihan dan pendampingan, Dosen Teknik Lingkungan


Universitas Negeri Padang (UNP) memahamkan masyarakat bahwa mereka
mempunyai hak untuk mengambil keputusan, terlibat dalam teknis pengelolaan
sampah, memilih teknologi pengelolaan sampah, membentuk organisasi pengelola,
menentukan struktur organisasi, membuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
organisasi, dan menentukan mekanisme anggaran. Masyarakat juga wajib
bertanggungjawab dalam mengoperasikan dan memelihara fasilitas pengelolaan
sampah.

Hal ini juga kemudian disebarluaskan melalui pelbagai cara dan media. Lewat masjid-
masjid, lapau/warung, kelompok arisan, kegiatan PKY, dan dalam pertemuan-
pertemuan di tingkat RW, RT, dan kelurahan. Hasilnya, apa yang dilakukan warga
ternyata mendapat respon dari Pemko Bukittinggi dan Pemerintah Provinsi Sumatera
Barat. Kelurahan Birugo bahkan mewakili Bukittinggi untuk Lomba Kelurahan Bersih
pada April 2007. Bersamaan dengan dibangunnya tempat pengomposan oleh warga,
Dinas Pekerjaan Umum Sumbar membelikan dua unit mesin pengolah sampah.
23
Kumpulan Pengalaman
24 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Fasilitasi
merupakan gabungan
ilmu d an seni”
25
Kumpulan Pengalaman
26 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Peran utama seorang fasilitator adalah


pemandu proses. Peran tersebut
mengandung pesan untuk selalu
mencoba proses yang terbuka, inklusif
dan adil sehingga setiap individu dapat
berperan secara seimbang. Peran
fasilitator seringkali diharapkan untuk
menolong masyarakat berkolaborasi,
berinovasi dan secara kolektif bertemu
untuk membahas berbagai persoalan
kekinian yang ada di tengah masyarakat.

Fasilitasi merupakan gabungan ilmu dan


seni. Seorang fasilitator bekerja dengan
mengaplikasikan seperangkat peralatan
dan metode kelompok, perhatian yang
cermat dan sensitivitas pada orang lain.
Dengan begitu, seorang fasilitator bisa membawa kelompok pada kinerja terbaiknya.
Keahlian fasilitasi dewasa ini telah menjadi alat komunikasi yang vital, terutama di
dalam kelompok atau tim yang memerlukan sebuah dukungan, kreativitas dan
kolaborasi. Keahlian fasilitasi juga penting untuk situasi komunikasi dari satu orang
kepada orang lain.

Secara ideal, tujuan komunikasi bisa menghasilkan


kesepakatan-kesepakatan bersama terhadap ide atau
“Tak ad a k emajuan
pesan yang disampaikan. Proses mencapai kesepakatan, tanpa perubahan.
lazimnya berlangsung secara bertahap. Tentu tidaklah Orang-o rang yang ttak
ak
mudah untuk membuat sebuah aktivitas komunikasi bisa mengubah cara
berpikirnya ttak
ak akan
berjalan dan menghasilkan kesepakatan secara utuh mengubah apapun”
sesuai tujuannya. Karena, ada seperangkat kesulitan yang
akan muncul dalam pencapaian tujuan berkomunikasi. -Joe Vitale d alam
The Secret-
Keterampilan Dasar Fasilitator dan Pelatih 27

Cara Pandang Fasilitator dan Pelatih


Salah satu kesalahan besar yang sering dilakukan seorang fasilitator adalah memaksakan
gagasannya sendiri pada kelompok yang tengah mencari jalan keluar dari suatu masalah.
Hal ini sering terjadi karena fasilitator mempunyai lebih banyak pengalaman
dibandingkan anggota kelompok. Godaan semacam ini akan selalu menghantui
seorang fasilitator, yaitu kelompok diarahkan mengikuti cara pandangnya.

Fasilitator harus menyadari bahwa dalam


banyak situasi kita seringkali bekerja dengan
banyak orang yang sudah berpengalaman,
dan karenanya sudah seharusnya kita
mengesampingkan pandangan atau cara
pandang kita sendiri dan tetap netral dalam
membantu mereka. Kiat ini juga dibutuhkan
oleh seorang pelatih yang menghadapi
beragam latar belakang peserta. Lihat saja
pengalaman Eko Budi Santoso.

Menurutnya, diperlukan teknik dan metode


tersendiri untuk mentransfer materi yang
padat, rumit, dan penuh istilah teknis
seperti halnya bidang perencanaan. Apalagi
jika alokasi waktu yang disediakan sempit.
Model klasikal dengan jumlah peserta yang banyak, tentu saja tidak akan efektif meraih
tujuan kegiatan yang dicanangkan. Eko menyadari betul hal ini. Selaku pelatih, menurut
Eko, memang pada sesi penyampaian materi yang mendasar dan normatif (Eko
mengistilahkannya sebagai materi orientasi) bisa dilakukan dengan pola tutorial dan
klasikal. Terlebih lagi jika mengingat waktu yang disediakan, harus selesai sesuai tar-
get. Tentu saja pola klasikal ini akan mengurangi kesempatan untuk berdiskusi.

Karakteristik peserta juga mempengaruhi pendekatan yang digunakan. Jika pesertanya


campuran (misalnya ada pegiat organisasi masyarakat sipil, eksekutif dan legislatif),
menurut Eko lebih sulit. Lain lagi kalau pesertanya hanya eksekutif yang berada di
tingkatan staf (unsur pelaksana). Metode klasikal bisa lebih efektif pada situasi ini,
karena pendekatannya bisa lebih bersifat instruktif. Biasanya peserta baru bertanya
ketika pemaparan pemateri selesai disampaikan.
Kumpulan Pengalaman
28 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Tapi kalau pesertanya campuran, model klasikal tidak selamanya efektif.


Menghadapi teman-teman CSO (pegiat organisasi masyarakat sipil, pen.)
pada saat itu misalnya, saya lebih sering diinterupsi. Mereka kan orang
lapangan yang kerap menemui perbedaan antara kajian teoretis dengan
implementasi di lapangan,“

ungkap Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Novem-
ber (ITS), Surabaya ini.

Pada situasi seperti itu, tercipta atmosfir diskusi diantara peserta. Akan tetapi hal ini
diakui Eko menyebabkan dirinya banyak menerima umpan balik (feedback) dan
tugasnya selaku pelatih hanya sebagai pembagi bola. Hanya saja, agar materi tetap
selesai tersampaikan dan justru tidak larut dalam diskusi panjang, Eko memiliki kiat
khusus. “Biasanya akan saya sampaikan pada peserta, lebih lanjut tentang masalah X
(masalah yang ditanyakan peserta, pen) akan kita bicarakan pada sesi berikutnya,
sekarang kita selesaikan materi pada sesi ini,” kata Eko.

Atau pengalaman Rina Sinulingga, mitra LGSP Sumatra Utara bidang Perencanaan
Partisipatif ketika menghadapi peserta dari kalangan eksekutif (SKPD) adalah para
teknokrat yang sudah terbiasa dengan kerja top-down dan mengikuti rencana kerja
yang sudah ada saja (Rina mengistilahkan dengan copy-paste). Apalagi jika alokasi
waktu kegiatan tersebut sempit dengan jumlah peserta yang banyak.

Oleh karena itu, mengingat waktu yang sempit, sementara materi yang disampaikan
banyak, maka Rina merancang acara yang memberi tekanan
pada masalah mendasar yang harus dimiliki oleh seorang
perencana. Misalnya dimulai dari pengertian rencana itu
sendiri dan perlunya rencana, profil daerah sampai ke
“Pikiran-pikiran
rencana kerjanya. Agar materi yang disampaikan bisa memancarkan sinyal
dipahami peserta, Rina menggunakan metode On the Job magnetis yang akan
Training (OJT). Harapannya, adanya selang waktu yang menarik hal serupa
k embali menuju diri
diberikan serta lebih banyak latihan, akan membuat d an pikiran and a”
pemahaman yang diberikan lebih lama mengendap di benak
peserta. -Joe Vitale d alam
The Secret-
Lain lagi dengan pengalaman Slameto ketika melakukan
monitoring implementasi otonomi khusus bidang Pendidikan
Keterampilan Dasar Fasilitator dan Pelatih 29

di Provinsi Papua. Kegundahan yang dirasakan


adalah problem budaya dan perbedaan bahasa
yang melatarbelakangi peserta diskusi
kelompok terfokus (Focus Group Discussion,
FGD) dalam metode pengumpulan data. FGD
menghendaki adanya keterbukaan bagi setiap
peserta untuk mengungkapkan ide dan pokok
pikiran atau pendapat tanpa hambatan, baik
secara budaya maupun strata sosial. Selain itu
FGD juga mensyaratkan tertangkapnya
pokok-pokok pikiran yang berkembang saat
itu juga didalami lebih lanjut dengan tema atau
pertanyaan pendalaman lebih lanjut. Bahkan
untuk itu diperlukan adanya penangkapan ide
dan data secara bebas dari setiap peserta
untuk berbicara baik sependapat/setuju atau berbeda ide/pendapat dari orang lain.

Pengalaman lain ditunjukkan oleh Krisdinar Sumadja yang biasa memfasilitasi


kelompok-kelompok marjinal dan difabel di Bandung.

Menurutnya, dalam kelompok-kelompok yang berasal dari sektor infor-


mal, penggunaan langkah demi langkah dari metode-metode pelatihan
Technologies of Participation (ToP Training) sebenarnya dapat dilakukan.

Ada langkah-langkah yang dilewati atau dimodifikasi. Penguraian konteks dan


pembuatan komitmen adalah proses yang berjalan sekaligus. Pengelompokan pendapat,
terutama pada saat konfirmasi dan paraphrasing, boleh jadi tidak menggunakan banyak
“kartu ide”. Dalam pertemuan seperti ini, “kartu ide” masih merupakan “barang
mewah” sehingga harus digunakan sehemat-hematnya.

Sesungguhnya, yang penting dalam pengumpulan pendapat bukan “kartu ide” melainkan
bagaimana fasilitator menahan diri agar sudut pandang fasilitator tidak mengganggu
proses diskusi. Fasilitator harus tetap mengutamakan fakta dan refleksi peserta dan
menjaga dirinya agar netral terhadap pendapat peserta. Kadangkala, untuk mendorong
lebih banyak partisipasi, fasilitator memberi penekanan pada pendapat yang
berlawanan dengan yang umum dianut oleh peserta lokakarya lainnya. Pendapat
yang berbeda dengan “pendapat yang biasa” dari peserta diskusi justru akan
meningkatkan dinamika sebuah diskusi maupun lokakarya.
Kumpulan Pengalaman
30 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Situasi cenderung memanas setelahnya. Sebagai fasilitator, Krisdinar biasanya


menggunakan permainan dan penyemangat untuk mengembalikan suasana kepada
posisi yang paling mendorong kelompok menuju tujuannya. Permainan pun disesuaikan
dengan “kapasitas” peserta. Peserta dengan cacat fisik tentu tak nyaman untuk diajak
bermain dengan fisik. Peserta yang tuna rungu tentu tak dapat bermain mengenali
suara.

Lain lagi dengan pengalaman Cut Aja Fauziah dalam memandu diskusi-diskusi
yang berkaitan dengan kesetaraan jender yang
merupakan bidang garapan utama lembaganya (Flower
Aceh). ”Jender masih merupakan persoalan yang
“Ukuran terpenting sensitif di Aceh. Masyarakat yang sangat kuat
d ari seberapa baiknya pemahaman agamanya cenderung menganggap bahwa
saya memainkan
sebuah permainan jender adalah produk Barat yang dipaksakan untuk
ad alah d ari seberapa diterima masyarakat Timur,” terang Cut Aja. Ia juga
baiknya saya menambahkan bahwa hampir setiap pertemuan,
membangun teman
d alam satu tim beberapa orang cenderung resisten pada tawaran
bermain
bermain”” untuk mendiskusikan persoalan pembagian peran ini.
J
- oe Vitale dalam
The Secret- Saat itulah perbincangan dan penjelasan soal
konteks masalah menjadi sangat penting. Para warga
belajar harus diberitahukan lebih dahulu tentang
konteks, sebelum mereka memulai sebuah proses diskusi. Konteks harus didekati
dengan mengetengahkan fakta lebih dahulu baru kemudian perasaan warga belajar
terhadap fakta atau peristiwa. Biasanya setelah fakta dan perasaan diungkapkan, warga
belajar akan dapat melihat konteks dari diskusi.

Bagaimanapun, sikap resistensi dari warga belajar tidak boleh dipandang sebagai
sebuah hambatan. Fasilitator harus bersikap bahwa penolakan tersebut adalah suatu
tantangan dalam memfasilitasi. Kondisi seperti inilah yang membutuhkan kemampuan
menyimak dari seorang fasilitator. ”Yang saya lakukan biasanya menggunakan
pendekatan personal di luar forum pertemuan,” imbuhnya. Pendekatan personal
yang dimaksud juga harus dilakukan dengan cara yang khusus pula. Misalnya penolakan
tersebut datang dari peserta pria maka yang melakukan pendekatan adalah juga pria,
begitu pula sebaliknya.
Keterampilan Dasar Fasilitator dan Pelatih 31

Seni Bertanya
Fasilitator tidak boleh memberikan jawaban
sendiri terhadap masalah sebuah kelompok.
Sebagai titik awal, fasilitator bisa menggunakan
beberapa pertanyaan untuk merinci lebih jauh
masalah yang sedang dibahas dan secara
perlahan mendorong kelompok untuk
menganalisis masalah tersebut. Kombinasi
pertanyaan-pertanyaan secara sekuensi seperti
metode ORIK (Objektif, Reflektif, Interaktif,
Keputusan) akan sangat membantu kita.

Pengalaman Cut Aja Fauziah, mitra LGSP


Nangroe Aceh Darussalam bidang penguatan
organisasi masyarakat sipil dalam mendesiminasikan isu-isu kesetaraan jender di
Aceh bisa dijadikan contoh. Setiap kali pertemuan diadakan, ia telah menyiapkan
pertanyaan-pertanyaan kunci yang harus diajukan kepada warga belajarnya.
Pertanyaan tersebut disusun dalam bahasa yang sederhana dan terarah. Namun ia
tak pernah menduga kalau akan lebih efektif jika disusun dengan menggunakan prinsip
kerja otak manusia: dari yang mudah ke yang sulit.

Pengalaman Sajidin, Kepala SLB PGRI Cisaat, Sukabumi saat mulai mengkampanyekan
perlunya memberi kesempatan kepada anak-anak tuna grahita untuk bersekolah
dengan teman-teman sebayanya yang bukan tuna grahita, tidak banyak yang
mendukungnya, menjadi contoh dalam konteks ini. Pernah ia harus datang dari rumah
ke rumah di desa Caringin, agar punya kesempatan mendialogkan gagasan mereka
kepada masyarakat.

“Kami membiarkan masyarakat menentukan apa yang harus mereka


lakukan setelah mengetahui fakta-fakta, mempertimbangkan perasaannya
dan menganalisa situasinya. Itulah inti dari pendekatan partisipatif ”.

“Akhirnya, masyarakat menyetujui bahwa pembauran itu penting bagi tumbuh


kembang anaknya baik untuk yang tuna grahita maupun yang bukan,” ulas Sajidin.

Masih menurutnya, dengan membiasakan diri menguraikan gagasan menurut filosofi


Kumpulan Pengalaman
32 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

metode diskusi, semua persoalan akan mudah terlihat intinya. Selanjutnya, langkah-
langkah penyelesaian akan lebih sesuai dengan pengalaman tiap individu. “Itulah
kelebihan metode ini,” papar Sajidin. Pendekatan cara otak berpikir seperti yang
digambarkan oleh “metode diskusi” pada fasilitasi efektif dipraktekkan dengan baik
saat berbicara dengan siapa saja yang harus difasilitasinya. Metode tersebut, menurut
pemahamannya, harus dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang mudah sebelum
yang susah, sehingga tidak ada siapapun akan merasa terintimidasi dengan gerakan
yang ingin dilakukannya. “Kebanyakan, kegiatan saya adalah memfasilitasi kelompok
yang terbuka,” tuturnya.

Atau pengalaman Sri Elniati ketika memfasilitasi penyusunan Ranperda


Penyelenggaraan Pendidikan di Tanah Datar. “Saya mengajukan sejumlah pertanyaan
dalam proses ini. Masalah apa yang akan ditangani? Apa penyebab munculnya masalah?
Siapa pelakunya?” kata Sri.

Sambil membuka catatannya, dia masih punya sederet pertanyaan, yang


menurutnya mampu menggugah peserta untuk mengemukakan ide segar.

Di antaranya: Apa urgensi dan tujuan Perda Pendidikan? Sasaran apa yang ingin
diwujudkan dengan adanya Perda Pendidikan? Pokok pikiran, lingkup dan obyek apa
yang akan diatur dalam Perda? Bagaimana jangkauan serta arah pengaturannya? Apa
pengaruh sosial dari Perda yang akan dibuat? Pihak-pihak mana yang terkait dengan
adanya suatu Perda? Konsep dasar/acuan apa yang diperlukan dalam penyusunan
rancangan Perda Pendidikan? Bagaimana potret kebijakan/pelaksanaan pendidikan di
kabupaten Tanah Datar yang berjalan selama ini.

Jawaban-jawaban dari sejumlah pertanyaan itu


kemudian dijadikan pokok pemikiran. Tidak mudah
“P eng
“Peng hargaan terbesar
enghargaan untuk menggerakkan partisipasi peserta dalam
yang pernah
dibayarkan k epad a mengemukakan pendapat. Kekurangan referensi,
saya ad alah k etika keterbatasan kemampuan dalam bahasa hukum,
seseo rang menanyakan
apa yang saya pikirkan, perbedaan latar belakang pendidikan dan pengalaman
lalu menyimak dari peserta, merupakan kendala utama untuk
jawaban saya”
meningkatkan partisipasi peserta dalam
-Henry David Tho reau- mengemukakan ide. Di samping itu kalangan praktisi
pendidikan, seperti guru, kepala sekolah, dan
pengawas cenderung ingin membuat aturan yang
Keterampilan Dasar Fasilitator dan Pelatih 33

bersifat menguntungkan kelompok mereka.

Tapi, keberagaman ide itu akhirnya bisa dijembatani dengan


mengelompokkan permasalahan yang muncul dan mengapresiasi semua
ide. Debat tentang bahasa hukum diminimalkan dengan sebuah
kesepakatan: yang penting adalah substansi yang dikemukakan.
“Semboyannya: semua ide bermanfaat,” katanya.

Kemampuan Non Verbal: Observing


Observing yang baik akan membantu anda untuk mendapatkan gambaran tentang
perasaan dan sikap para peserta serta memantau dinamika, proses-proses dan
partisipasi kelompok. Karena itu sangat penting bagi seorang fasilitator untuk
mengembangkan keterampilan mengamati
jenis-jenis komunikasi non verbal. Sebaiknya
Anda melakukannya dalam waktu yang singkat
tanpa diketahui oleh peserta-peserta yang
lain.
Budiyono terbiasa mengukur suasana hati
(moodline) peserta. Menurutnya, perlu dibuat
skenario yang matang dalam setiap proses
fasilitasi, dan jika fasilitasi dikerjakan secara tim
sebaiknya disepakati bersama mengenai titik-
titik kritis peserta pelatihan. Moodline yang
cenderung naik memang tidak lepas dari
desain fasilitasi terutama dikaitkan dengan
perencanaan sesinya. Hasil yang hendak
dicapai akan lebih cepat diperoleh, jikalau
moodline dari sesi per sesi semakin naik. Penting juga bagi para nara sumber
maupun fasilitator melalui moodline ini untuk mengukur posisi masing-masing peserta
dalam melibatkan dirinya sebagai bagian dari kelompok.

Penggunaan moodline yang kemudian direfleksikan setiap hari dalam sebuah pelatihan
ini dimaksudkan untuk menyempurnakan pendekatan. Mana yang memerlukan inovasi
dicarikan inovasi agar moodline peserta tetap naik. Suasana yang biasanya pada awal
pelatihan terkesan kaku dan formal dapat diperbaiki dengan suasana yang lebih cair
Kumpulan Pengalaman
34 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

dan menarik meski peserta terdiri dari berbagai unsur yang berbeda. Ketika suasana
cair serta menyenangkan, jarak antara pimpinan dan staf hilang, maka ide-ide kreatif
pun akan muncul. Merencanakan, menjaga dan mencari inovasi agar moodline peserta
selalu naik menjadi hal penting bagi fasilitator untuk mempercepat proses dalam
rangka mencapai target yang diharapkan.

Membangun Konsensus Kelompok


Pengalaman ini ditunjukkan oleh Sri Elniati ketika memfasilitasi lokakarya penyusunan
Ranperda Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Pada awal memfasilitasi, peserta masih enggan mengemukakan pendapat. Keengganan
ini bisa jadi akibat keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dalam
penyusunan regulasi. Upaya untuk menonjolkan kepentingan kelompok juga menjadi
penghambat mencairnya alur diskusi. Hal ini disebabkan masih adanya dominasi
peserta yang merasa strata atau kepangkatannya lebih 'senior'.

Untuk mencegah 'kekakuan' proses diskusi, Sri Elniati merancang alur


lokakarya agar tercapai konsensus. Semua ide yang dikemukakan peserta
diapresiasi, dikelompokkan sesuai dengan permasalahan yang mengemuka.

Sebagai fasilitator, Sri Elniati telah mencoba membangun konsensus dari beragam ide
yang sebelumnya dimunculkan peserta.

Pengalaman lain dari penggunaan Metode Membangun Konsensus ini ditunjukkan


oleh Budiyono ketika memfasilitasi “Desa Siaga” di Kabupaten Sukoharjo. Peserta
Pelatihan terdiri dari Kepala Subdinas Kesehatan beserta masing-masing Subdinas
berjumlah 5 orang perwakilan.

Metode Membangun Konsensus dipilih Budiyono untuk menyelesaikan agenda hari


pertama dengan materi utama menumbuhkan kemampuan keterampilan fasilitator
Kader Desa Siaga. Media yang dipilih adalah metaplan dan spidol warna-warni agar
lebih menarik. Masing-masing peserta diminta untuk menuliskan pendapatnya tentang
keterampilan yang harus dimiliki oleh Fasilitator Desa Siaga. Setelah ditulis, masing-masing
peserta diminta menyerahkannya pada koordinator. Situasinya cukup aktif hingga setelah
koordinator memintakan konfirmasi hasil yang telah disepakati ditempel di dinding.
Melalui koordinator kelas, para peserta diminta untuk mengelompokkan kartu metaplan
yang mempunyai pengertian sama dan melengkapinya dengan judul. Judul yang telah
disepakati diberi simbol berbagai binatang.
Keterampilan Dasar Fasilitator dan Pelatih 35

Jelas bahwa dalam setiap perencanaan


kegiatan dibutuhkan kontribusi, partisipasi
aktif dan rasa memiliki seluruh anggota
kelompok dalam mewujudkan tujuan kegiatan
tersebut. Seni bertanya dan metode
konsensus yang digabung untuk
merencanakan sebuah aksi, menjadikan semua
peserta bisa berkontribusi secara aktif.

Pada dasarnya, menurut Budiyono, metode ini


mengarahkan kelompok untuk menjawab tiga
pertanyaan: Kemana tujuan kita? Dimanakah
kita? Bagaimana kita bisa sampai ke sana?
Hasilnya, metode perencanaan aksi bersama
ini dirinci kembali meliputi judul kegiatan,
alokasi dana dan waktu serta penanggung
jawab masing-masing kegiatan. Dalam tampilan
akhir yang merupakan hasil kerja kelompok
maupun pleno memunculkan banyak ide dan partisipasi yang luar biasa dari peserta.

Coba lihat pula apa yang dilakukan Slameto ketika memfasilitasi pelaksanaan moni-
toring otonomi pendidikan di Papua. Lokakarya dihadiri oleh pejabat Dinas Pendidikan,
Bappeda, Pengawas, DPRD dan LSM. Ada beberapa langkah yang dilakukan Slameto
sebelum FGD berjalan. Diantaranya memberikan penjelasan singkat tentang latar
belakang perlunya FGD dan mekanismenya, selanjutnya masing-masing peserta
diberikan kesempatan sama dalam merespon tema atau pertanyaan yang diajukan.
Para peserta ini kemudian menulis tanggapan dan jawaban pada kertas metaplan.
“Hasil pendapat mereka saya pajang dan dikelompokkan
menjadi sub tema sesuai jawaban yang ada. Lalu dilakukan
klarifikasi dan dimintakan konfirmasi serta memberikan
“Setiap o rang kesimpulan secara bersama-sama”, ujar Slameto
melakukan visualisasi,
terlepas d ari apakah ia memperjelas.
menget ahuinya at
mengetahuinya au
atau
tid ak. V isualisasi
Visualisasi Hasil kerja mereka kemudian didokumentasikan melalui
ad alah rahasia besar
d ari k esuksesan” gambar maupun kumpulan metaplan, untuk selanjutnya
fasilitator membantu pengolahan laporannya. Dengan cara
-Genesvee Behrend, demikian ternyata data segera terkumpul dalam tulisan
The Secret-
dan gambar sehingga memudahkan dalam membuat
Kumpulan Pengalaman
36 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

rancangan laporan.

Menurut Slameto, mengawali fasilitasi dengan alat bantu metaplan, bukan hanya
sekedar membuka suasana dan mencairkan suasana saja.Tetapi langkah lain yang harus
mendapat perhatian adalah bagaimana mengelola gagasan dengan memberikan
kesempatan pada setiap peserta untuk dapat mencurahkan gagasannya secara
demokratis.

Pemetaan Pikiran
Sebagai seorang fasilitator, penggunaan
metode ini akan membantu peserta
melihat pokok bahasan yang mereka
bahas secara gamblang. Pemetaan
masalah akan bisa diurai bagaimana
alternatif cara pemecahannya.

Pengalaman penggunaan Peta Pikiran ini


ditunjukkan oleh Artiningsih, Dosen
Pengajar di Perencanaan Wilayah Kota,
Universitas Diponegoro (Undip)
Semarang. Bekal ilmu yang
didapatkannya dari LGSP diterapkan
dalam menyusun strategi pembelajaran.
Pada mata kuliah Seminar dan Kolegium
sebagai tahap persiapan mahasiswa
menyusun tugas akhir, Artiningsih
menerapkan peta pikiran (mind map, pen.) dalam mencurahkan sebuah gagasan. Metode
ini dipergunakan bagi mahasiswa yang telah lulus metode riset, sehingga diharapkan
dapat menyusun tugas ke lapangan. Caranya, para mahasiswa diminta menggambarkan
peta pikirannya atas pemahaman wilayah studi yang ada pada sesi sebelumnya.
Mahasiswa diminta untuk duduk sesuai dengan kelompok wilayah amatan, kemudian
menggambarkan secara individual ke dalam mind map selama 15 menit. “Tidak seperti
pada penugasan sebelumnya, dengan peta pikiran ini dalam waktu 10 menit mereka
sudah selesai, ” kata Artiningsih.

Bila tugas yang diberikan secara individual telah diselesaikan, kemudian mahasiswa
diminta menggeser kertas kerjanya ke kanan tiga kali, selanjutnya orang ketiga akan
Keterampilan Dasar Fasilitator dan Pelatih 37

memberikan komentar tentang apa yang bisa disempurnakan terhadap peta pikiran
dari teman lainnya. Peta pikiran digeser ke kanan dua kali lagi dan orang kelima bertugas
memberikan komentarnya, setelah itu peta pikiran tadi dikembalikan pada pemiliknya
untuk disempurnakan.

Hasil refleksi diskusi kelompok menggambarkan bahwa pemahaman


anggota kelompok terhadap amatan wilayah studinya berbeda, dan bagi
mahasiswa yang dirasa masih kurang diharapkan dapat melengkapi
kekurangannya sesuai masukan atau komentar dari teman yang lain.
Terbukti bahwa penggunaan metode pemetaan pikiran bisa membuat
penyelesaian tugas perencanaan wilayah menjadi lebih efisien.

“Round Robin”
Salah satu metode curah pendapat yang memberikan kesempatan kepada setiap
peserta atau perwakilan kelompok diskusi mengemukakan idenya sesuai gilirannya
secara teratur. Untuk menghemat waktu, bagi peserta lain yang belum memiliki ide
untuk dikemukakan, bisa dilewati. Peserta ini bisa mengucapkan 'terus' atau 'lanjut'
untuk memberi kesempatan pada peserta berikutnya yang sudah siap menyampaikan
pendapatnya.

Contoh dari pemakaian metode round robin yang


telah dimodifikasi ditunjukkan oleh Artiningsih
dalam pengajaran di kampusnya, Universitas
Diponegoro, Semarang. Salah satu penugasan
yang ia berikan adalah pemahaman wilayah studi
dengan menggambarkan peta secara kelompok,
dengan wilayah studi salah satu kota di Jawa
Tengah sebagai wilayah studi kasusnya.
Mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok
dengan wilayah amatan yang berbeda, tiap
kelompok melakukan kajian literatur dan
mengidentifikasi hal-hal unik yang ada dalam
wilayah amatan. Pemahaman kelompok
terhadap wilayah amatan tersebut kemudian
digambarkan ke dalam kertas plano sebagai me-
dia eksplorasi hasil amatan secara spasial berikut
Kumpulan Pengalaman
38 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

atribut yang ada. Indikasi potensi dan permasalahan


daerah amatan dituangkan dalam gambar, baik
menggambar sendiri maupun menggunting gambar- “Kit
“Kitaa memiliki
gambar tertentu dari majalah/koran. Jika potensi pada k emampuan mengingat
k embali berbagi visual
kawasan amatan adalah penghasil buah-buahan atau yang jelas sekit ar 90%.
sekitar
kegiatan pariwisata semuanya disampaikan dalam Ini artinya menjadikan
lingkungan kitkitaa at au pet
atau petaa
bentuk gambar. pikiran kit
kitaa kaya secara
visual memberikan 96%
k esempat an pengingat
esempatan an
pengingatan
Mahasiswa diberi kebebasan untuk menggambar di k embali info rmasi kunci”
lantai maupun di meja panjang yang telah disediakan, di
kertas plano maupun papan tulis. Selain spidol warna, -Lex Mc. Kee.
The Accelerated Trainer-
boleh juga menggunakan pensil warna atau kertas
metaplan yang berwarna-warni. Setelah 60 menit dari
alokasi waktu yang disediakan untuk mengerjakan
amatan wilayah selesai, metode yang dipergunakan adalah round robin, yaitu; tiap
kelompok diminta menunjuk perwakilannya untuk menyampaikan hasil kerja
kelompoknya pada anggota kelompok lain yang datang sebagai tamu dalam diskusi.
Masukan atau pertanyaan oleh tamu ditulis dan direkap oleh kelompok tuan rumah,
dan kemudian dimanfaatkan sebagai input untuk menyempurnakan peta hasil amatan
kelompok.

Pada akhir sesi, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil pemahaman wilayah


studinya dan penyempurnaan peta amatan yang dihasilkan dari hasil diskusi. Dengan
demikian, metode ini telah membantu masing-masing kelompok untuk membahasnya
dengan cara yang lebih mudah, efektif dan hemat waktu.

Penggunaan Media Penyampai Pesan


Dalam mengelola kegiatan interaktif dan partisipatif, selain memerlukan pemilihan
metode yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, tidak kalah pentingnya memikirkan
media penyampaian pesan yang tepat. Tepat dalam pengertian mampu mendorong
proses belajar peserta.

Berbagai media yang jamak digunakan oleh para mitra LGSP di beberapa wilayah
antara lain adalah :

• Media Visual Dua Dimensi Tidak Transparan: misalnya gambar, foto, peta,
Keterampilan Dasar Fasilitator dan Pelatih 39

grafik, flipchart, sketsa, dan sebagainya.

Media jenis ini yang paling banyak


digunakan para trainer atau fasilitator LGSP.
Misalnya pengalaman Lilik Pudji Astuti,
mitra Penguatan Legislatif LGSP EJRO
dalam menjelaskan masalah regulasi (legal
drafting, Perda, maupun perundang-
undangan) dengan menggunakan diagram
alir, gambar dan sketsa.

Atau pengalaman Harryanto, mitra untuk


bidang Keuangan dan Penganggaran LGSP
Sulawesi Selatan dalam penggunaan analogi
foto kepada peserta sebagai media untuk menyampaikan materi. Foto-foto, kata
Harry, terbukti mampu memberikan inspirasi bagi peserta pelatihan yang selama ini
ia laksanakan. Melalui foto-foto yang ditunjukkan, peserta akan mengekspresikan
pendapat mereka. Hanya saja, foto-foto itu hendaknya berhubungan dengan materi
pelatihan, misalnya akuntansi.

• Media Audio Visual, media yang dapat menampilkan gambar dan suara dalam waktu
bersamaan: seperti Compact Disc (CD), Digital Video Disc (DVD), film dan TV.

Untuk memperkuat pelatihan atau pertemuan yang partisipatif, Ibrahim Fattah,


mitra Penguatan Legislatif LGSP telah mengembangkan metode baru dalam pelatihan.
Metode tersebut adalah memutar film-film pendek yang berhubungan dengan materi
pelatihan. Pemutaran film ini sesungguhnya, jelas Fattah, adalah pengembangan dari
metode presentasi slide dengan LCD Projector. Bedanya, peserta melihat langsung
fakta-fakta empirik yang berhubungan dengan materi suatu pelatihan. “Pemutaran
film pendek terbukti mampu memberi inspirasi baru bagi peserta pelatihan untuk
lebih aktif berpartisipasi dalam menyampaikan masukan,” tandasnya.

Selain itu, apa yang dilakukan Roys Vahlevi, mitra LGSP Nanggroe Aceh Darussalam
juga menarik untuk dicermati. Dalam menjalankan proses fasilitasi, Roys terbiasa
menggunakan energizer untuk 'membangkitkan' semangat belajar peserta. Misalnya
dengan membiarkan musik mengalun saat warga belajar sedang berpikir dalam
kelompoknya.
Kumpulan Pengalaman
40 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

• Alat musik, seperti gitar, kendang, perkusi

Untuk mengurangi rasa jenuh bagi para peserta dalam sebuah pelatihan,
Srihestiningsih, mitra LGSP CJRO yang penggiat pengembangan UMKM, melakukan
pelatihan tidak hanya di dalam gedung saja. Tetapi juga mengadakan acara api unggun
pada malam hari misalnya, “Presentasinya sedikit, bila perlu diselingi tarian dan
nyanyian, maksudnya presentasi pendek tetapi membuka peluang interaksi sebanyak
mungkin”. Dalam pendekatan andragogy sebaiknya peserta tidak didikte terus dengan
materi, fasilitator dituntut untuk menciptakan sebuah suasana 'nyaman' bagi peserta.
Nyaman dalam memasuki ruang fasilitasi dan memaknai transfer pengetahuan antara
dirinya, peserta lain, dan fasilitator. Agar peserta merasa tidak digurui dan bisa
melepaskan segenap potensi dirinya, maka, alat musik bisa menjadi alternatif pilihan.

Beberapa pelatihan yang dihelat oleh LGSP telah menggunakan alat-alat musik dalam
pelaksanaannya. Kebanyakan adalah alat musik perkusi karena cukup sederhana
dalam memainkannya. Djimbe adalah salah satu alat musik yang saat ini sering dipakai.
Dengan mencoba memainkan musik dalam pelatihan, selain energizer yang efektif
buat peserta, alat musik juga sangat pas untuk melatih kecerdasan majemuk para
peserta pelatihan.

“Dukungan
tertulis d atang
atang
langsung d ari hati,
tak terputus d an
tak terhalang. Itulah
sebabnya, tulisan
itu penuh k ekuat an.”
ekuatan.”
-David Jeremiah-
41
Kumpulan Pengalaman
42 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Bagi saya, hukum itu


bisa dijelaskan d engan
gambar atau tand a”
43
Kumpulan Pengalaman
44 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Ketika berkumpul untuk berdiskusi,


kebanyakan kelompok memiliki
kecenderungan fokus pada substansi
dan hasil. Akan tetapi banyak
kelompok yang tidak peduli dan sadar
akan pentingnya proses ketika ingin
menciptakan konsensus. Hal ini
terjadi karena banyak orang yang
belum pernah terlibat dalam
memandu sebuah proses lokakarya
misalnya. Atau lebih parah lagi, tidak
berkeinginan untuk berada dalam
posisi tersebut (sebagai fasilitator
atau pelatih).

Seorang komunikator (dalam hal ini


fasilitator atau pelatih), pasti menemui
beberapa kendala ketika menjalankan fungsinya; (1) karena kendala budaya khalayak
yang dihadapinya; (2) muatan materi yang berjibun dan sudah diasumsikan sulit oleh
peserta; (3) alokasi waktu yang terlalu pendek; dan (4) kendala karakteristik peserta
yang beraneka rupa. Nah, bagaimana kiat untuk untuk 'menundukkan' kendala ini?

Muatan Materi
Pemilihan metode yang akan digunakan dalam proses fasilitasi, bukanlah perkara mudah.
Pemilihan metode ini haruslah disesuaikan dengan khalayak yang kita hadapi serta
muatan materi yang akan dibahas bersama peserta.

Diperlukan teknik dan metode tersendiri untuk mentransfer materi yang padat, rumit
dan penuh istilah teknis seperti halnya bidang keuangan dan penganggaran. Seperti
pengalaman Andi Kusumawati (biasa dipanggil Uma), mitra LGSP Sulawesi Selatan
ketika memfasilitasi keuangan dan penganggaran daerah. Menurut Uma, asumsi awal
orang ketika mendengar kata 'akuntansi' pasti mengarah ke hal-hal yang berkaitan
dengan angka-angka dan perhitungan yang rumit. Untuk menepis asumsi ini, Uma
menggunakan metode partisipatif misalnya mengabungkan participatory group discus-
sion, praktek akuntansi, effective presentation dengan LCD Projector dan permainan inovatif.

Studi kasus, praktek akuntansi dan presentasi adalah hal yang sudah biasa ia lakukan.
Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih 45

Hanya saja bedanya kalau selama ini Uma membagi ilmu dengan
pendekatan satu arah atau paling banter dua arah maka dengan pendekatan
partisipatif berbagi ilmu bisa bersumber dari multi arah. Selain itu,
paradigma pembelajaran juga berubah karena seorang narasumber bukan
lagi sebagai sumber ilmu satu-satunya namun semua orang yang terlibat
dalam pembelajaran adalah narasumber yang patut diperhitungkan.

Hal lain, jelas Uma lebih jauh, permainan inovatif benar-benar telah membuka cakrawala
berfikir para peserta pembelajaran untuk lebih mudah menyerap pengetahuan. Bahkan
materi pembelajaran seperti akuntansi yang selama ini dianggap sulit berubah menjadi
ilmu yang bisa dipelajari dengan mudah dan rileks.

Menurut Uma ada beberapa kendala yang sering ia temui ketika menyampaikan materi
pelatihan Akuntansi Keuangan Daerah. Kendala-kendala itu adalah latar belakang ilmu
setiap peserta berbeda-beda, bahkan ada yang sama sekali tidak mengerti akuntansi
sehingga sulit memberikan materi standar akuntansi. Selain itu, peserta harus mengikuti
seluruh materi sesuai tahapan-tahapan akuntansi, kenyataannya ada peserta yang
terlambat. Kendala lain, peserta memiliki asumsi awal bahwa ilmu akuntansi itu sulit
dipelajari.

Untuk mengatasi kendala yang ia hadapi Uma memiliki kiat khusus, yaitu: Pertama,
lakukan pre-test dan assessment peserta. Kedua, lakukan pembauran peserta dalam diskusi
kelompok. Dan ketiga, yakinkan peserta bahwa akuntansi bukan hal yang sulit jika
peserta mengetahui langkah-langkahnya. Jelaskan kepada peserta bahwa pelatihan yang
dilakukan itu bertujuan untuk memudahkan peserta memahami akuntansi. Jika peserta
sudah yakin, maka tidak akan ada lagi peserta yang terhambat.

Kiat lain menurut Uma, setiap narasumber yang sekaligus berfungsi sebagai
fasilitator perlu membuat kontrak belajar dengan peserta pelatihan. Hal ini
penting dilakukan agar peraturan pelatihan dapat dilaksanakan sebagai
tanggung jawab bersama. Pelibatan peserta dalam menentukan kontrak belajar
merupakan wujud partisipasi peserta dalam mensukseskan pelatihan.

Langkah strategis lainnya adalah menciptakan permainan yang berhubungan dengan


materi akuntansi. Karena spesialisasi Uma adalah akuntansi dan keuangan maka
permainan-permainan yang ia kreasi tentu berhubungan pula dengan akuntansi. Fungsi
permainan yang dibuat, urainya, adalah untuk mencairkan suasana yang mulai jenuh.
Kumpulan Pengalaman
46 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Juga sekaligus membuat suasana pelatihan kembali menjadi


segar dan semangat.
“Manusia yang
mengand alkan logika Muatan materi hukum dan regulasi (perundang-undangan,
d an filoso fi sert
sertaa Perpu, PP, Permen, atau Perda) juga dicap sebagai materi 'berat'.
ekspr esi rasional
berakhir d engan Hal ini dikarenakan materi ini selalu didominasi pengaturan
k elaparan terhad ap pasal-pasal, kental nuansa politisnya, serta butuh pemahaman
bagian terpenting serius karena sifatnya yang multitafsir. Untuk memahaminya,
d ari akal”
tentu butuh waktu dan konsentrasi penuh. Terutama kalau
-William Butler Xets- regulasi tersebut baru ditetapkan. Apalagi kalau kita diminta
menyusun suatu rancangan regulasi tersebut. Bisa dipastikan,
kita masuk ke atmosfir yang penat, penuh dengan diskusi,
perdebatan, dan 'jalan buntu' bisa saja terjadi.

Lalu bagaimana mempermudah transfer pengetahuan seputar regulasi dalam suasana


lokakarya? Peserta tentu beragam, berasal dari latar pendidikan yang tidak melulu bidang
hukum. Apalagi kalau pesertanya dicampur antara anggota legislatif, para staf eksekutif,
dan teman-teman perwakilan organisasi masyarakat sipil. Sudah bisa dibayangkan,
penuh dengan kepentingan politis dan posisi tawar yang senjang. Untuk mengatasi hal
ini, Lilik Pudji Astuti, mitra LGSP Jawa Timur bagi penguatan legislatif punya kiat
tersendiri. Ia menggunakan lebih banyak ilustrasi gambar berupa bagan kartun, diagram
alir (flow chart), matriks, skema untuk mempermudah penyampaian materi.

Apa latar belakang penggunaan kiat ini? Lilik yang juga staf pengajar Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya ini menjelaskan, materi hukum sudah penuh dengan
kata-kata. Kalau dijelaskan bagaimana norma hukum dibuat dan diberlakukan, tidak harus
dideskripsikan dengan kata-kata pula.

“Bagi saya hukum itu bisa dijelaskan dengan gambar atau tanda.
Sebelumnya ketika mengajar saya tidak pernah memakai metode ini di
kelas,” ungkap ibu dua orang putra ini. Setelah mengikuti beberapa pelatihan
fasilitasi yang diselenggarakan LGSP Jawa Timur, Lilik menyadari, perlu cara
tersendiri untuk mentransfer materi hukum kepada peserta lokakarya.

Di bangku kuliah, model ceramah sang dosen lengkap dengan slide presentasi biasa
dilakukannya. Hal ini tidak menjadi masalah bagi mahasiswa yang memang sejak awal
berniat mempelajari hukum sejak tingkat dasar (mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum).
Posisi antara dosen dengan mahasiswa juga terkadang masih terjadi kesenjangan. Dosen
Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih 47

selalu dianggap benar dan paling tahu materi


yang disampaikannya. Hal ini membuat adanya
'ketundukan' sang mahasiswa. Apalagi jika
suasana kelas tersebut sangat kaku, komunikasi
satu arah (one way communication), dan tidak
tercipta atmosfir curah pendapat.

Akan tetapi selama memfasilitasi lokakarya di


LGSP, Lilik mengaku tidak bisa lagi menerapkan
apa yang selama ini dilakukan di kelas kuliah
hukumnya. Pesertanya beragam, ada yang sudah
paham betul seluk-beluk penyusunan regulasi,
ada yang sangat awam terhadap istilah-istilah
hukum. Ada yang tidak tahu, tapi selalu sinis
terhadap sesuatu yang berbau hukum. Ada
yang merasa 'kalah sebelum berperang' karena sulitnya memahami materi hukum. Ada
pula yang menyadari semua implementasi perencanaan dan penganggaran daerah
harus memiliki payung hukum. “Golongan terakhir inilah yang ingin diciptakan selama
lokakarya yang saya jalankan sebagai pelatihnya. Untuk tercapainya tujuan ini saya gunakan
tanda atau gambar untuk mempermudah penyampaian materi saya dan metode inipun
akhirnya saya pakai juga untuk mengajar di kampus,” ujar Lilik.

Sebagai contoh, dibuatnya gambar dalam bentuk siklus untuk menggambarkan


keterkaitan antara kebijakan (regulasi), implementasi dan penegakan hukumnya. Semua
hal ini berkaitan antara satu dengan lainnya. Jika diterangkan satu persatu dengan kata-
kata dibutuhkan waktu yang panjang. Sehingga jika digambarkan dalam bentuk diagram
alir atau siklus, akan dipahami secara komprehensif oleh semua peserta (tidak sepotong-
sepotong).

“Contoh lain, penggunaan tabel untuk menggambarkan produk regulasi yang menyalahi
aturan di atasnya. Di Surabaya ada 24 Perda yang mengatur tentang ijin retribusi. Padahal
dalam UU hanya empat ijin yang boleh dikelola oleh daerah (kabupaten/kota, pen).
Dengan tabel, orang bisa memahami bagaimana kriteria atau pengawasan yang diatur
dalam Perda yang tidak menyalahi ketentuan UU,” ujar Lilik memperjelas.
Kumpulan Pengalaman
48 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Budaya Birokrasi
Terdapat beberapa tantangan yang
biasanya dihadapi dalam kegiatan
lokakarya atau pelatihan, jika pesertanya
dari kalangan eksekutif. Beberapa kasus
yang biasanya dihadapi pelatih di banyak
wilayah antara lain adalah:
• Peserta yang diundang lebih dominan
pada tingkatan staf atau bukan pada
tingkatan pimpinan (pengambil
keputusan). Dampaknya, hasil
lokakarya tidak dapat ditindaklanjuti.
Ditambah lagi pola dan mekanisme
kerja birokrasi yang topdown
(menunggu instruksi dan petunjuk
atasan), sehingga minim munculnya kreativitas dari peserta.
• Jika lokakarya ini diadakan secara berjenjang, besar kemungkinan peserta yang dikirim
oleh instansi yang bersangkutan selalu berganti-ganti.
• Peserta masih dibebani tugas kantor ketika mengikuti kegiatan lokakarya yang
diselenggarakan oleh LGSP, sehingga bisa jadi meninggalkan acara ketika masih
berlangsung. Praktek ini makin diperburuk oleh kebiasaan peserta yang hanya mengisi
daftar hadir di awal acara dan muncul kembali menjelang berakhirnya acara.
• Egoisme sektoral, artinya jika pesertanya beragam dari beberapa SKPD, maka akan
menonjolkan kepentingan lembaganya ketika berlangsung sesi pembahasan atau
diskusi dalam diskusi kelompok terfokus.
• Masih adanya hirarki (konsep senioritas) berdasarkan pangkat dan golongan di
kalangan eksekutif. Hal ini mengakibatkan perasaan enggan atau takut mengemukakan
pendapat bagi peserta yang kebetulan stratanya lebih 'rendah' dari peserta lain.

Fenomena ini dipaparkan oleh Gagaring Pagalung, mitra LGSP Sulawesi Selatan
bidang Keuangan dan Penganggaran. Menurut Gagaring, sampai saat ini, belum
semua SKPD di kabupaten/kota memiliki staf yang “melek” akuntansi keuangan daerah
sesuai regulasi yang baik. Karena itu ada beberapa poin yang ia rekomendasikan,
yaitu: pemerintah kabupaten/kota harus memiliki komitmen untuk menempatkan
alumni pelatihan pada bidang kerja akuntansi karena kapasitas mereka telah ditingkatkan.
Pemerintah kabupaten/kota perlu mengirim staf atau pejabat yang memang bertugas
untuk mengelola akuntansi keuangan daerah atau di SKPD untuk mengikuti pelatihan.
Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih 49

Pihak LGSP perlu memberikan pemahaman kepada Pemda kabupaten/kota tentang


pentingnya mengirim staf pengelola akuntansi keuangan daerah untuk pelatihan,
sehingga tidak mengirimkan staf dari bidang lain.

Selain itu, mutasi staf maupun pejabat yang membidangi akuntansi keuangan daerah
perlu diperhitungkan. Karena jika petugas tersebut terus dipindahtugaskan maka
pemerintah kabupaten/kota harus pula terus melakukan pelatihan untuk
meningkatkan kapasitas staf atau pejabat yang menangani akuntansi keuangan
daerahnya. Hal ini tentu saja mengakibatkan terjadinya pemborosan.

Pengalaman lain ditunjukkan oleh Rina Sinulingga, mitra


LGSP NSRO bidang Perencanaan Partisipatif. Sebelum
merancang materi yang akan disampaikan, Rina selalu
“Masalah ad alah
berdiskusi dengan Bappeda setempat untuk mencari tahu sebuah k esempat an
esempatan
siapa peserta yang akan hadir atau diundang. Hal ini bagi And a untuk
diperlukan supaya materi maupun contoh kasus yang mengerahkan yang
terbaik d ari diri
ditampilkan mengena di hati peserta. Kemudian dalam And a”
penyampaian materi, ia berusaha tidak terlalu menjejali
dengan teori tapi dengan poin-poin singkat lalu peserta -Duke Ellington-
diajak membentuk kelompok kecil untuk berdiskusi dan
berpraktek berdasarkan teori yang diberikan.

Dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) itu Rina mendatangi kelompok tersebut
agar semua peserta bisa berpartisipasi, dengan harapan para teknokrat ini pun nantinya
dapat menjadi fasilitator dalam acara-acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) maupun forum perencanaan lainnya. Sementara dalam mencari akar
permasalahan maupun program-program yang akan ditentukan, Rina mengajak peserta
menggunakan metaplan. Sehingga dalam proses latihan pun mereka sudah merasakan
bahwa partisipasi itu ternyata tidak membuat rumit, malah dapat memperkecil masalah
yang ada.

Budaya Lokal
Pengaruh budaya juga menjadi tantangan tersendiri bagi fasilitator ketika menjalankan
fungsinya. Apalagi konteks budaya Indonesia yang masih kental aroma paternalistik,
patriarki, dan warna feodalismenya. Tidak menjadi persoalan misalnya, jika fasilitator
atau pelatih tersebut memiliki kesamaan budaya dengan peserta. Kedekatan secara
sosiologis akan membantunya memahami bagaimana karakteristik khalayak yang
Kumpulan Pengalaman
50 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

dihadapinya. Terutama dalam penggunaan bahasa pengantar, dialek, atau lelucon


bernuansa lokal.

Pengalaman Cut Aja Fauziah, mitra LGSP NARO bidang penguatan organisasi
masyarakat sipil dalam mendesiminasikan isu-isu kesetaraan jender di Aceh bisa
dijadikan contoh.

Ia terbiasa menggunakan dialek atau lelucon dengan bahasa setempat.


Saat memfasilitasi, ungkapnya, akan jauh lebih efektif jika si fasilitator
menggunakan bahasa yang sama dengan warga belajarnya. Bukan hanya
dari jenis bahasanya, melainkan juga dari kosakatanya. Sehingga warga
belajar tidak merasa seperti sedang diintervensi oleh pihak asing.

“Saya seringkali menggunakan Bahasa Aceh saat memimpin diskusi. Humor yang
diselipkan juga dalam bahasa dan kultur Aceh,” urainya ringkas. Cut Aja menambahkan,
ia juga sering menggunakan analogi dan simulasi untuk menerangkan materi yang
berkenaan dengan jender.
Akan tetapi butuh satu keterampilan
tersendiri, jika fasilitator/ pelatih tersebut
berbeda atau belum memahami bagaimana
budaya lokal dari kelompok sasarannya.
Perlu persiapan matang tentunya, agar
fasilitator itu tidak mengalami gegar budaya
(cultural shock).

Seperti pengalaman Slameto, yang


pernah merasakan kegundahan kala
mendapat pekerjaan melakukan monitor-
ing implementasi otonomi khusus bidang
pendidikan di Provinsi Papua. Kegundahan
yang dirasakannya adalah problem budaya dan perbedaan bahasa yang
melatarbelakangi peserta diskusi kelompok terfokus (FGD) dalam metode
pengumpulan data.

FGD menghendaki adanya keterbukaan bagi setiap peserta untuk


mengungkapkan ide dan pokok pikiran atau pendapat tanpa hambatan,
baik secara budaya maupun strata sosial.
Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih 51

Selain itu, FGD juga mensyaratkan tertangkapnya pokok-


pokok pikiran yang berkembang saat itu. Hal ini didalami
lebih lanjut dengan tema atau pertanyaan pendalaman.
Bahkan untuk itu diperlukan adanya penangkapan ide “Apakah And a rusa
at aupun harimau
ataupun
dan data secara bebas dari setiap peserta. k eduanya harus
sama-sama berlari
Ketika mendapat kesempatan untuk memfasilitasi k encang agar
selamat”
tatanan masyarakat yang paternalistik di Papua misalnya,
“Jangan harap seseorang yang secara sosial budaya -Syeh Mohammad bin
Rasyid Al maktoum -
berada pada strata lebih rendah berani berbicara,
apalagi berbeda pendapat dengan peserta yang
stratanya lebih tinggi”, ungkap Slameto. Lebih lanjut Slameto menjelaskan, seorang
pimpinan suku berdarah biru yang seringkali disebut sebagai bangsawan harus berada
di posisi atas dan tidak boleh disaingi. “Demikian juga secara birokrasi, seorang yang
menduduki jabatan atau eselon lebih tinggi menjadi panutan dan semua pegawai yang
secara kepangkatan dan golongan lebih rendah pasti tidak akan berani berbicara
sebelum seniornya, lebih-lebih bila berbeda pendapat”.

Kendala lain yang sering ditemui adalah problem bahasa dalam arti dialek dan
kecepatan berbicara yang masih ditambah lagi dengan terminologi lokal yang belum
pernah kita pelajari. “Suku Papua pada umumnya berbicara cepat dan suara yang
kurang jelas, sehingga kadangkala sulit ditangkap secara jelas maksudnya”.

Penggunaan kertas metaplan dalam banyak kegiatan LGSP, telah memberikan


pengalaman baru bagi Slameto. Ia terinspirasi untuk menggunakannya dalam FGD di
Papua. Berbagai peralatan seperti isolasi kertas, metaplan, kertas plano dan flipchart
dipersiapkan sebagai modal untuk mempersiapkan dan memulai FGD yang partisipatif.

Pada awal persiapan dan pemilihan media ini, Slameto masih diliputi rasa kegalauan,
apakah media ini akan efektif pada masyarakat yang paternalistik.

Tetapi makin lama kegalauan itu semakin terkikis setelah mempersiapkan


pula topik diskusi sesuai indikator evaluasi, membaginya menjadi beberapa
pokok pikiran diskusi, dan tak kalah pentingnya adalah alat perekam
data berupa perekam suara dan gambar.

Selain alat-alat dan media di atas, Slameto juga melengkapi dengan penguasaan metode
Kumpulan Pengalaman
52 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

partisipatif dengan alat bantu media metaplan. “Fasilitator tidak hanya memiliki kualifikasi
keterampilan fasilitasi, tetapi juga memiliki skill kompetensi fasilitasi yang terus menerus
diperbarui sehigga mampu memberikan fasilitasi FGD secara optimal”, ujar Doktor
Manajemen Pendidikan Univeritas Negeri Semarang itu.

Selain itu, pemahaman terhadap budaya setempat adalah juga dalam pengertian
'kebiasaan' yang berlaku di daerah tersebut. Kebiasaan 'jam karet', misalnya. Bisa jadi
ini sudah dianggap sebagai 'budaya' yang ada di masyarakat kita. Tanpa melihat kalangan
eksekutif, legislatif, atau organisasi masyarakat sipil dan media, kebiasaan ini kerap
mereka lakukan. Akan tetapi kadang
kebiasaan ini juga hanya dilakukan oleh
kalangan tertentu saja.

Lain lagi pengalaman Zainal Arifin Emka,


mitra LGSP Jawa Timur untuk bidang
Penguatan Media. Tiap kali memfasilitasi
wartawan, sudah bisa dipastikan
pelaksanaannya akan meleset dari agenda
yang sudah dirancang. Apalagi waktu
pelaksanaan kegiatan ini harus mengambil
waktu malam hari. Hal ini dikarenakan
jurnalis di daerah masih disibukkan dengan
tugas peliputan dari pagi hingga menjelang
magrib (tenggat waktu, deadline, pen.).
Sehingga waktu kegiatan tidak bisa
dilangsungkan pada pagi hingga sore hari.

Untuk mengantisipasi kondisi ini,

Zainal merancang kegiatan pelatihan dengan pembobotan lebih banyak


pada diskusi dan praktek kerja. Hal ini mengingat jurnalis, menurut Zainal,
rata-rata merasa sudah 'menguasai' dunia tulis-menulis. Sehingga mereka
tidak bisa selalu dijejali dengan teori dan konsep dasar. Padahal apa yang
mereka hasilkan belum tentu benar dari sisi teknis peliputan maupun dalam
pemenuhan standar kode etik jurnalistik dan regulasi media. Pemampatan
materi akibat molornya waktu acara dimulai ini, membuat Zainal juga lebih
banyak menggali pengalaman dari peserta. Ungkapan dari tiap peserta ini
dicoba direfleksikan dengan mencoba masukan dan opini dari peserta lain.
Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih 53

Juga lebih banyak memberikan studi kasus dengan bantuan media potongan gambar
atau foto untuk didiskusikan dan ditindaklanjuti dengan praktek news-room
(perencanaan kegiatan peliputan mulai dari penentuan tema, latar belakang masalah,
angle (sudut pandang) obyek berita yang akan dikembangkan, sumber data primer
atau sekunder dari obyek liputan, narasumber yang akan diwawancarai, metode
penggalian fakta, serta daftar pertanyaan yang akan diajukan).

Ada juga pemahaman budaya lokal yang berkaitan dengan pengorganisasian kelompok
dalam satu komunitas tertentu. Misalnya ketika menggalang jejaring antar organisasi
masyarakat sipil (CSO) dalam mengritisi suatu isu atau kebijakan publik. Terdapat
perbedaan cara pengorganisasian antara CSO di kota besar dengan kota kecil.

Seperti pengalaman Solekhan, mitra LGSP Jawa Timur bidang Penguatan Organisasi
Masyarakat Sipil, ketika menggalang jejaring CSO di Kota Malang (mewakili kota besar)
pendekatannya lebih bersifat formal dalam pengorganisasiannya dibandingkan kota
kecil yang bisa lebih informal sifatnya (Kabupaten Probolinggo).

Menurut Solekhan, oleh karena padatnya aktivitas teman-teman CSO di


Kota Malang, mereka selalu menginginkan kejelasan agenda sebelum
mereka memutuskan terlibat di dalamnya. Jadi lebih terorganisir dan lebih
bersifat formal.

Mereka lebih menghargai waktu, sehingga maunya jelas dulu mau membahas apa
sebelum memutuskan 'oke, aku ikut'. “Bahkan, penggunaan pendekatan informal
misalnya cangkrukan di warung kopi, tidak bisa diterapkan di Malang”, terang Solekhan.
Sedangkan di Kabupaten Probolinggo, pendekatannya lebih paternalistik melalui
simpul-simpul tertentu. Jadi secara informal pun, semua anggota forum CSO bisa
dikumpulkan, asalkan tokoh yang dituakan sudah
memberikan persetujuan.
“Orang yang
Tantangan ketika berada dalam konteks budaya pr o fesional ad alah
patriarki, apalagi jika masih banyak peserta yang belum o rang yang d apat
memahami konsep kesetaraan jender, membutuhkan mengerjakan tugasnya
d engan cara terbaik
kiat fasilitator untuk mengatasinya. Terlebih lagi jika disaat dia merasa
dalam diskusi itu didominasi peserta laki-laki, yang tid ak suka”
masih kental menganut nilai jender tradisional yang
-Allstair Cooke-
bias dan stereotype sedangkan fasilitatornya
Kumpulan Pengalaman
54 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

perempuan, maka diskusi tersebut


bisa terancam 'macet'.

Selain itu, dalam banyak contoh


kasus, perempuan dicap enggan
atau takut berpendapat di ajang
rapat atau diskusi.Takut salah, takut
karena tidak percaya diri, atau
ketakutan dianggap terlalu 'berani'.
Mereka beranggapan, sudah kodrat
perempuan untuk menurut, kalem,
tidak banyak ngomong, dan pasrah pada apapun hasil keputusan rapat. Diam, bagi
perempuan peserta rapat adalah 'kebenaran' sikap yang harus ditradisikan. Kondisi
inilah, di lain pihak bisa jadi yang menyebabkan sedikit perempuan yang berani menjadi
pemimpin diskusi atau rapat.

Di level desa atau kelurahan misalnya, pada saat Musyawarah Perencanaan


Pembangunan (Musrenbang), hanya sedikit jumlah perempuan yang hadir.
Penyebabnya bisa jadi karena memang perempuan tidak diundang, lebih
memprioritaskan laki-laki sebagai peserta, atau perempuan yag diundang tidak bisa
hadir karena masih dibebani tugas domestik di rumah. “Selain itu, ya dulu kan di
dalam Musrenbang itu hanya mengisi kolom, tidak ada diskusi di dalamnya,” ungkap
Hamidah.

Pemikiran semacam inilah yang ingin diubah oleh Hamidah. Lewat Kaukus
Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kota Mojokerto yang dipimpinnya, tercetus ide
untuk mengadakan pelatihan fasilitator Musrenbangkel bagi perempuan. Gayung
bersambut, ide ini dilontarkan kepada pihak Bappeko Mojokerto dan direspon positif.
Bersama dengan LGSP Jawa Timur, sejumlah 28 tokoh perempuan di Kota Mojokerto
dilatih metode Effective Facilitation. Mereka berasal dari perwakilan kelurahan dan
Ormas (Fatayat, Muslimat, PKK). Tidak ketinggalan, pihak Bappeko Mojokerto juga
dilibatkan sebagai narasumber.

Kalau selama ini para tokoh perempuan di dalam Musrenbang hanya menjadi peserta,
maka dalam TOF (Training of Facilitator) ini mereka disiapkan untuk menjadi fasilitator.
Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih 55

“Selama mereka hanya menjadi peserta Musrenbang, potensi para


perempuan ini tidak akan pernah muncul. Tapi terbukti selama pelatihan
oleh LGSP potensi ini mereka keluarkan semua,” ungkap perempuan yang
menjadi Ketua RW di tempat tinggalnya ini.

Selepas pelatihan, para 'alumni' TOF ini langsung diterjunkan ke Musrenbang di tingkat
kelurahan. Sambutan positif diberikan oleh para lurah atas kinerja fasilitator perempuan
ini. Mereka tidak mengira sebelumnya, para perempuan ini bisa begitu cekatan, tegas,
dan lantang dalam memimpin jalannya diskusi.

Tempat Pelatihan/Fasilitasi
Tempat pelatihan/fasilitasi yang representatif
akan mempengaruhi atmosfir yang
terbangun selama proses fasilitasi itu
berlangsung. Apa jadinya jika lokasi kegiatan
itu panas, pengap, atau terlalu bising akibat
terlalu dekat dengan jalan raya? Bisa
dipastikan, fokus peserta akan terpecah
atau tidak terpusat pada jalannya proses
kegiatan.

Banyak pula contoh kasus yang


menunjukkan, ketika tempat kegiatan berada
terlalu dekat dengan lokasi kerja peserta
justru tidak efektif. Misalnya kegiatan ini
dilangsungkan di kantor pemerintah
kabupaten/kota atau hotel setempat.
Biasanya peserta akan mudah keluar-masuk arena acara, datang dan pergi atau tidak
datang ke acara meskipun diundang sebagai peserta. Beragam alasan akan dikemukakan
peserta macam ini kepada panitia kegiatan. Masih harus menyelesaikan tugas kantor,
dipanggil Kepala Dinas atau atasannya, ada janji ketemu dengan DPRD, agenda
internal meeting di SKPD-nya atau fraksi/komisi-nya, atau menemui konstituen di
daerah pilihannya bagi anggota dewan.

Hal ini dialami oleh Rusman Ahmad, mitra LGSP Sulawesi Selatan bidang Peningkatan
Pelayanan Kesehatan, ketika memfasilitasi Pelatihan Kader Kesehatan Masyarakat yang
berasal dari unsur masyarakat, petugas kesehatan, kepala Puskesmas Pembantu (Pustu)
Kumpulan Pengalaman
56 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

di Kabupaten Pinrang Sulsel. Salah satu kendala yang paling dirasakan Rusman adalah
keterlambatan peserta. Apalagi kalau pelatihan dilaksanakan di kabupaten tempat
peserta berasal. Misalnya, pelatihan dilaksanakan di Pinrang sementara pesertanya
juga berasal dari Pinrang. Biasanya peserta akan meninggalkan tempat pelatihan karena
yang bersangkutan memiliki urusan lain di luar pelatihan.

“Ini perlu diperhatikan ke depan. Jadi saya sarankan kalau mau dilakukan pelatihan
maka lakukan di luar daerah asal peserta. Karena biar bagaimana pun bagusnya metode
yang digunakan, peserta bisa saja meninggalkan pelatihan karena merasa ada urusan
yang lebih penting,” ujarnya lebih lanjut.

Nah, untuk keluar dari masalah tersebut,

Rusman menekankan pentingnya disepakati kontrak belajar sejak awal


pelatihan. Selain itu, peserta perlu diseleksi jika akan melakukan pelatihan.
Sebaiknya, peserta membuat surat pernyataan kesediaan mengikuti
pelatihan.

Dengan begitu, peserta tidak seenaknya meninggalkan pelatihan. “Jadi bagi mereka
yang memang memiliki kesibukan yang bersamaan dengan waktu pelatihan, ya tidak
usah diajak. Tidak usah dijadikan peserta. Jangan dipaksakan meskipun itu mitra lokal
LGSP sendiri, misalnya,” tegas Rusman.

Bagaimana kiat untuk mengatasi kondisi ini? Menurut Andi Kusumawati (Uma),
mitra LGSP SSRO bidang Keuangan dan Penganggaran, setiap narasumber yang
sekaligus berfungsi sebagai fasilitator perlu membuat kontrak belajar dengan peserta
pelatihan. Hal ini penting dilakukan agar peraturan pelatihan dapat dilaksanakan sebagai
tanggung jawab bersama. Pelibatan peserta dalam menentukan kontrak belajar
merupakan wujud partisipasi peserta dalam menyukseskan pelatihan.

Selain itu, Uma juga mengurai perlunya membuat ”Pohon Harapan”.

Pohon harapan mengilustrasikan bahwa buah pohon harapan adalah harapan


yang ingin dicapai yang berhubungan dengan akuntansi, sementara akarnya
adalah langkah-langkah dan strategi yang harus dilakukan untuk mencapai
buah harapan itu. Pohon harapan ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
kebutuhan peserta. Sementara akar pohon adalah strategi yang dapat dilakukan
untuk mencapai harapan itu.
Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih 57

Dalam hal ini peserta diajak untuk


mengidentifikasi kebutuhan dan
mencari jalan untuk memenuhi
kebutuhannya. Sehingga ketika ada
peserta yang tidak optimal dalam proses
fasilitasi yang diadakan, ia bisa diingatkan
akan adanya kontrak belajar dan pohon
harapan yang telah dibuatnya sendiri di
awal kegiatan.

Kondisi berbeda bisa terjadi ketika


kegiatan fasilitasi dilakukan di lokasi yang
jauh dari home base anggota komunitas
tersebut. Rasa enggan atau malas, bisa
menghinggapi dan dijadikan alasan untuk
tidak terlibat dalam kegiatan yang sudah
diagendakan tersebut.

Kiat Baidhuri Faishal (akrab dipanggil Gus Dudung), pegiat Organisasi Masyarakat
Sipil (CSO) dan aktivis Forum Reboan (FR) Kabupaten Probolinggo, mengatasi
persoalan semacam ini bisa dipetik sebagai pelajaran. Pada awal pendirian FR, banyak
CSO yang berminat untuk bergabung. Beberapa kali pertemuan yang diadakan
bergantian di rumah anggota FR selalu penuh dihadiri. Akan tetapi lambat laun, beberapa
CSO mulai menarik diri dan enggan untuk hadir dalam pertemuan rutin FR. Alasannya,
karena lokasi pertemuan jauh dari homebase CSO tersebut. Menghadapi hal ini, Gus
Dudung justru bersyukur karena bisa dilihat CSO mana yang betul-betul memegang
komitmen pada tujuan awal pendirian FR. ”Masih ada anggota FR yang rumahnya
lebih jauh dari CSO yang keluar dari FR, selalu datang dalam pertemuan di manapun
dan sejauh apapun. CSO macam ini yang kami harapkan
dan selalu ingat pada komitmen awal FR, untuk selalu
kritis dan cerdas mengawasi setiap tahapan
perencanaan dan penganggaran daerah, “kata Gus “P emimpin yang
“Pemimpin
baik membuat
Dudung. o rang merasa bahwa
mer eka berad a
di jantung
Bagaimana menjaga komitmen dan semangat para segala sesuatu,
anggota FR? Gus Dudung menjelaskan dengan selalu bukan di ping gir”
mengingatkan semua anggota FR bahwa masih -Warren Bennis-
banyak agenda yang belum terselesaikan. Beberapa
Kumpulan Pengalaman
58 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

agenda yang diciptakan ini (menjadi fasilitator Musrenbangdes, Perda Pendidikan,


Perda Kesehatan, membekali pemahaman kembali pada caleg baru) memacu FR untuk
selalu berkumpul, berpikir, dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi
pembangunan di Kabupaten Probolinggo.

“Saya selalu tekankan ke teman-teman, FR bukan ajang untuk cari


proyek. Tidak boleh mengatasnamakan Forum Reboan untuk aktivitas
pribadi atau kelompok tertentu,” tegas Gus Dudung.

Kemajemukan Peserta
Keberagaman peserta fasilitasi atau
anggota komunitas, bisa menjadi berkah
atau musibah. Berkah, jika metode yang
digunakan dalam fasilitasi atau pelatihan
itu bisa secara tepat meminimalisasi
kesenjangan antar peserta. Tidak ada
sekat yang membelenggu semua peserta
atau anggota komunitas ketika
berproses bersama. Pengalaman, ide,
atau kemampuan individual bisa dibagi
untuk dijadikan bahan pelajaran
berharga bagi yang lain.

Sebaliknya, kemajemukan peserta bisa menjadi 'musibah' jika fasilitator gegabah dalam
merencanakan alur proses kegiatan. Terutama dalam menganalisis kesenjangan
kemampuan antar peserta. Jika ini terjadi, maka akan ada dominasi individu atau
kelompok tertentu terhadap peserta lainnya selama proses pelatihan/ fasilitasi
berlangsung. Bahkan, kegiatan pelatihan atau lokakarya tidak akan mencapai tujuannya.
Hal ini sebagai akibat fasilitator/ pelatih tidak memaksimalkan potensi yang beragam
dari individu/ kelompok.

Beberapa kemajemukan peserta yang bisa diidentifikasi antara lain adalah :


• Segi kemampuan teknis atau keterampilan peserta yang tidak merata [misal, antar
staf SKPD atau anggota organisasi masyarakat sipil (CSO)].
• Antara organisasi masyarakat sipil (CSO) dengan birokrasi yang biasanya jadi segan
(ewuh pakewuh) selama proses fasilitasi berlangsung.
Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih 59

• Di antara anggota organisasi masyarakat sipil


(CSO) yang berbeda latar belakang dan
'strata'. Anggota CSO yang kebetulan kyai
karismatik, misalnya, yang lebih memiliki
kedekatan dengan birokrasi (eksekutif/
legislatif), akan membuat anggota CSO yang
baru dan muda menjadi segan berkontribusi
dalam kegiatan fasilitasi.
• Perbedaan asal partai atau fraksi di tubuh
DPRD, bisa mengarah ke egoisme kelompok
tertentu, kesenjangan kemampuan antar
anggota dewan, dan bisa membuat
peningkatan kompetensi dewan secara
kelembagaan menjadi tidak optimal.

Bagaimana kiat untuk memaksimalkan potensi


dari kemajemukan peserta ini? Pengalaman
Gagaring Pagalung, mitra LGSP SSRO
bidang Keuangan dan Penganggaran
menunjukkan, ada beberapa kendala yang sering ia temui, antara lain: latar belakang
ilmu peserta bukan ilmu akuntansi, pemahaman peserta tentang akuntansi sangat
bervariasi, bahkan ada peserta yang memang belum tahu akuntansi keuangan daerah
sama sekali, ada asumsi peserta yang sudah terbangun sejak awal bahwa akuntansi
sulit dipelajari. Selain itu, ada peserta yang merasa senior dan lebih pintar. Khusus
peserta anggota DPRD, biasanya mereka lebih senang berdebat dalam diskusi
ketimbang membahas soal-soal teknis akuntansi.

Seorang pelatih/ fasilitator harus mampu mengatasi berbagai kendala tersebut dengan
cara meramu metode yang ada.

Salah satu cara untuk mengetahui pemahaman peserta tentang akuntansi


keuangan daerah adalah dengan melakukan pre-test. Dari tes awal yang
dilakukan tersebut akan diketahui siapa peserta yang sudah memiliki
pemahaman akuntansi keuangan daerah yang baik dan siapa yang belum.

Kemampuan peserta yang bervariasi itu dapat diselesaikan dengan cara membagi
peserta menjadi kelompok-kelompok kecil. Dari hasil pre-test yang dilakukan akan
ditemukan peserta yang memiliki kemampuan akuntansi di atas rata-rata. Sehingga
Kumpulan Pengalaman
60 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

ketika pembagian kelompok, peserta yang memiliki kemampuan di atas rata-rata itu
dapat disisipkan ke dalam setiap kelompok yang telah dibentuk.

Manfaatnya, peser ta yang disisipkan tersebut akan membagi


kemampuannya dalam diskusi kelompok, sekaligus ia menjadi motivator
anggota kelompoknya untuk lebih aktif dan bergairah mengikuti proses
pelatihan. Hasilnya, peserta yang tadinya hanya acuh tak acuh akan tertarik
mengikuti pelatihan.

Dengan sendirinya, diskusi kelompok pun akan lebih partisipatif. Inilah yang Gagaring
maksud sebagai “participatory group discussion”.

Selain itu, untuk mengatasi masalah asumsi negatif tentang sulitnya akuntansi, maka
seorang fasilitator/pelatih perlu menciptakan permainan-permainan yang
berhubungan dengan akuntansi. Melalui permainan-permainan dijelaskan bahwa
sebenarnya belajar akuntansi sama saja dengan mempelajari bidang ilmu yang lain.
Belajar akuntansi juga bisa dilakukan dengan santai dan rileks.

Soal adanya peserta yang biasa merasa senior, seorang fasilitator/pelatih harus mampu
menempatkan dia sebagai senior tanpa memberikan perbedaan dan dispensasi
kepadanya. Misalnya, peserta yang merasa senior itu tidak terlalu suka dengan
permainan-permainan, maka peserta tersebut tetap harus ikut permainan tapi jangan
dijadikan motivator utama dalam permainan. Hasilnya, “sang senior” tadi tetap enjoy
dengan permainan tapi ia juga merasa tetap
dihormati.

Bagi anggota DPRD yang lebih suka


berdebat, Gagaring mengatakan bahwa
seorang fasilitator/pelatih tidak boleh
terpancing dengan perdebatan itu. Seorang
fasilitator/pelatih harus bisa meyakinkan
anggota DPRD, jika anggota DPRD tidak
memahami akuntansi, bagaimana mereka bisa
menganalisa APBD. Biasanya jika sudah
ditekankan tentang pentingnya akuntansi
bagi anggota dewan seperti ini, maka anggota
DPRD itu akan mulai tertarik berproses
dalam pelatihan.
Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih 61

Lain lagi pengalaman Haris Nabawi, anggota DPRD


Kota Madiun, Jawa Timur. Perbedaan asal partai dan “ Tid ak ad a o rang yang
melakukan k esalahan
ideologi di tubuh DPRD Kota Madiun, justru membuat lebih besar d aripad a
Haris bersemangat untuk meningkatkan kompetensi seseo rang yang tid ak
melakukan apa-
'pentolan' atau tokoh utama di masing-masing fraksi. apa,d an tid ak
Ini didasari kesenjangan pengetahuan dan kemampuan mengubah apa-apa
kar ena dialah o rang
anggota dewan dalam persoalan legislasi. yang melakukan paling
sedikit.
sedikit.””
Diceritakannya, pada satu kesempatan lokakarya IRI
-Edmund Burke-
(International Republican Institute)dengan DPRD di
Yogyakarta, Haris mengajak ketiga orang temannya yang
anggota dewan (ketua DPRD dan ketua fraksi dari partai lain), mengikuti acara
tersebut. Meskipun acara tersebut internal DPRD Yogyakarta, Haris meminta ijin
kepada IRI agar tiga temannya diperbolehkan mengikuti acara tersebut. “Barulah
teman-teman dewan yang saya ajak itu memahami pentingnya mengikuti pelatihan
semacam analisa APBD dan berjejaring dengan lembaga di luar ke-DPRD-an,” kenang
Haris. Jadi bagi seorang anggota DPRD yang berlatar belakang makelar mobil atau
kontraktor yang semula tidak mengetahui sama sekali apa yang harus dilakukannya
sebagai anggota DPRD, lambat laun bisa ditingkatkan kemampuannya.

Bagaimana Haris menggandeng dan selalu mengajak anggota DPRD yang berlainan
partai/fraksi meningkatkan kapasitas dirinya?

Menurutnya, dengan memetakan terlebih dahulu siapa yang menjadi


pentolan di fraksi tersebut. Lewat cara-cara informal, seperti cangkrukan
(nongkrong) di warung kopi, sewaktu mengikuti pelatihan bersama, berhasil
dijaring delapan motor penggerak DPRD.

Mereka inilah yang kemudian mengatur dan mendistribusikan 'giliran' anggota DPRD
mana yang perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam sebuah training atau lokakarya
tertentu.

Memasuki tahun 2006 terjalin MoU antara LGSP dengan Pemerintah Kota Madiun.
Setelah mendapatkan dampingan dari LGSP, hampir seluruh anggota DPRD Kota
Madiun merasakan manfaatnya. Sehingga apapun program capacity building yang
ditawarkan kepada mereka, pasti akan diterima dengan suka-cita.
Kumpulan Pengalaman
62 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Keterbatasan Peserta (Cacat Fisik,


Cacat Mental, Buta Huruf)
Bagaimana jika komunitas atau peserta
yang dihadapi seorang fasilitator memiliki
keterbatasan (disability)? Baik dari segi
fisik (cacat) maupun kemampuan baca-
tulis (buta huruf)? Apakah hal ini menjadi
hambatan dan kalau perlu dihindari saja?
Tentu saja tidak! Sepanjang fasilitator
tersebut memiliki 'kepiawaian' dalam
meramu metode yang dikhususkan bagi
kelompok semacam ini.

Pengalaman dari Krisdinar Sumadja


dari Bandung menarik untuk disimak.
Ketika memfasilitasi kelompok difabel dan
buta huruf berdiskusi, Krisdinar
menggunakan kiat tertentu. Menurutnya,
penguraian konteks membuat peserta menjadi lebih termotivasi untuk berpendapat
dan bekerja sama. Antusiasme tak menurun hanya karena mereka memiliki
keterbatasan untuk bisa mengungkapkan pendapatnya. Untuk mereka yang tak bisa
menulis, pendapat diberikan secara lisan, kemudian dikelompokkan; ada fasilitator
pendamping yang akan menuliskan gagasan masing-masing peserta.

Manakala peserta memiliki keterbelakangan mental, maka orang tua atau


kerabat dekat dari si peserta yang akan “menyuarakan” dan menulis
pendapat si peserta. Perlu diketahui bahwa kerabat atau orang tua adalah
yang paling bisa menerjemahkan kehendak dan bahasa si peserta sehingga
benar-benar seperti disampaikan oleh si peserta secara langsung.

Sebagai fasilitator, Krisdinar biasanya menggunakan permainan dan penyemangat untuk


mengembalikan suasana kepada posisi yang paling mendorong kelompok menuju
tujuannya. Permainan pun disesuaikan dengan kapasitas peserta. Peserta dengan cacat
fisik tentu tak nyaman untuk diajak bermain dengan fisik. Jadi sebelum kegiatan dimulai,
fasilitator harus lebih dulu menunjukkan kepada peserta bahwa mereka adalah subyek
dari pertemuan; permainan pun bukan sekehendak hati sang fasilitator.
Tantangan dan Kiat Fasilitator dan Pelatih 63

Lain lagi cerita berikut ini. Bukan peserta fasilitasinya yang


memiliki keterbatasan, melainkan isu tentang hal ini yang “Perubahan yang
“Perubahan
menginspirasi Sajidin dari Sukabumi Jawa Barat paling bermakna
menjalankan fungsinya sebagai fasilitator. Kalau dimaknai d alam hidup ad alah
perubahan sikap
sikap..
sebagai sebuah tantangan, maka bagaimana kiat Sajidin Sikap yang benar
untuk mengadvokasi isu ini menarik pula untuk disimak. akan meng hasilkan
menghasilkan
tind akan yang benar”
Kepala SLB PGRI Cisaat, Sukabumi ini mengenang, -WilliamJ.John ston-
saat memotivasi para orang tua yang memiliki anak-
anak dengan kebutuhan khusus (tuna grahita).
Menurut Sajidin, setiap anak memiliki kecerdasan sendiri. “Yang salah adalah manakala
sekolah membebankan pendidikan yang melampaui kemampuan si anak. Akibatnya
anak seolah-olah tidak memiliki kecerdasan yang bisa dibanggakan.”

Ia selalu menekankan bahwa setiap anak harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi.
Tentu saja, partisipasi si anak disesuaikan dengan keunggulan yang dimilikinya. Sebagai
fasilitator, ia sangat mengagumi metode-metode partisipatif yang pernah dilatihkan
oleh LGSP. “Metode-metode tersebut saya pergunakan tidak hanya di dalam
memfasilitasi pertemuan, tetapi juga saat mempengaruhi orang lain agar mau memberi
kesempatan kepada mereka yang berbeda kemampuan tersebut,” jelasnya.

Pendekatan cara otak berpikir seperti yang digambarkan oleh “metode


diskusi” pada fasilitasi efektif dipraktekkan dengan baik saat berbicara
dengan siapa saja yang harus difasilitasinya.

Metode tersebut, menurut pemahamannya, harus dimulai dengan pertanyaan-


pertanyaan yang mudah sebelum yang susah, sehingga tidak seorangpun merasa
terintimidasi dengan gerakan yang ingin dilakukannya.“Kebanyakan kegiatan saya adalah
memfasilitasi kelompok yang terbuka,” tuturnya.

Kelompok yang terbuka bukan berarti kelompok yang keanggotaannya tidak dibatasi.
Dalam hal ini, lulusan pasca sarjana manajemen pendidikan ini, memaknainya sebagai
kelompok yang tidak berada dalam satu ruangan, akan tetapi kelompok yang anggotanya
menyebar dimana-mana dan menerima pengaruh pengalaman dan pembelajaran dari
berbagai sumber setiap harinya. Dengan begitu, ia harus berusaha sangat keras agar
tujuan “kelompok” untuk memaksimalkan potensi anak-anak mereka yang sering
dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang tak mengerti dapat tercapai.
Kumpulan Pengalaman
64 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Dengan menerapkan metode-metode fasilitasi efektif, terutama


penghayatan atas filosofinya, sama sekali tak ada kendala yang berarti
yang mereka temui saat memfasilitasi “kelompok terbuka” tadi. Ditanya
tentang pengalaman yang paling berkesan yang mereka peroleh dari
upaya memfasilitasi “kelompok terbuka” itu, Sajidin sepakat bahwa
memfasilitasi di luar kelompok (non group facilitation) membutuhkan
kesabaran dan penguasaan metodologi yang lebih tinggi dibandingkan
jika berada di dalam kelas.

Meskipun tidak menggunakan kartu metaplan, kertas plano atau tayangan slide show,
mereka tetap dapat menggerakkan partisipasi.“Partisipasi itu ada di dalam diri sendiri.
Setiap fasilitasi harus menyebabkan tujuan kelompok secara bersama-sama lebih
mudah dicapai. Alat menjadi tak penting, selama metode yang digunakan berhasil
menuntaskan proses. Setiap metode ada filosofinya. Itu yang harus dipahami betul
sehingga ketika melaksanakannya tak akan ada kendala apa-apa,” ujar Sajidin sedikit
berteori. “Kami telah membuktikannya,” ujarnya kemudian.
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Kecermatan d an kearifan
fasilitato r akan membebaskan
ikatan-ikatan yang
menciptakan perbed aan”
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman
Kumpulan Pengalaman
68 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran,


dari semua pengalaman fasilitator/pelatih
di beberapa daerah dampingan LGSP?
Sebagai sebuah aktivitas komunikasi,
tentunya kita bisa menarik beberapa hal,
diantaranya :

1. Kuasai obyek material (pesan/


informasi) yang akan disampaikan
Kita juga memiliki simbol-simbol pesan atas
informasi tersebut sebanyak-banyaknya
sebab dengan demikian, kita bisa memilih
simbol informasi yang tepat untuk
disesuaikan dengan kondisi komunikan.

2. Kuasai sosok karakter komunikan


Sebelum komunikasi dilakukan, hendaknya
komunikator telah memiliki identitas personal orang yang akan diajak berkomunikasi.
Dengan pengenalan itu, maka kita bisa dengan gampang mencari ”ruang”
pembicaraan yang efektif.

3. Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Terutama


disesuaikan dengan konteks budaya setempat.

4. Kembangkan sentimen proximitas (kedekatan). Biasanya dalam konteks


semacam ini, orang akan gampang terbuka dan mudah menerima anjuran kita.

5. Tetap konsisten dengan pesan utama. Sekalipun wacana pembicaraan


berkembang dan berkelok, tetapi cobalah selalu menariknya ke tujuan utama.

Kemampuan berkomunikasi sendiri tidak bisa dipelajari secara tekstual saja. Karena itu
akan lebih tepat manakala disamping mempelajari secara tekstual juga
mempraktekkannya. Sebetulnya, kesulitan berkomunikasi yang paling besar berada dalam
diri kita sendiri. Memupuk rasa yakin, percaya diri, adalah sesuatu yang harus
dikembangkan dan dilatih.

Seperti apa yang telah dialami oleh Rutiana. Menumbuhkan dan memancarkan
kepercayaan diri di hadapan peserta fasilitasi, akan menciptakan semangat berproses.
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 69

Semangat dan Kesetaraan


Dalam setiap alur pelatihan pada peserta, kegagalannya di awal memfasilitasi tidak
membuatnya patah arang. Ia segera memperbaiki diri dengan mengubah pola pikir
dan mempersiapkan pelatihan sebaik mungkin. Hal ini adalah pelajaran dari konteks
berikut :

”Memperbaiki sebuah kegagalan, tidak selamanya malu atas kegagalan


itu. Kegagalan bukanlah suatu bencana, melainkan bisa dijadikan sebuah
berkah.”

Ketika kita berhadapan dengan masyarakat yang masih tersekat oleh perbedaan kasta,
status sosial, gelar kehormatan, atau kedudukan, potensi untuk mengalami
'ketertundukan' golongan tertentu (kelompok bawah) sangatlah besar. Diperlukan
kecermatan dan kearifan fasilitator untuk membebaskan ikatan yang menciptakan
perbedaan ini. Bagaimana caranya? Dengan membuat mereka larut dalam kebersamaan
dan memintanya menanggalkan baju 'status diri'. Kontrak belajar bisa kita buat di awal
proses kegiatan akan dilangsungkan. Semua diminta untuk berkomitmen atas aturan
main yang mereka sendiri buat. Miniatur demokrasi bisa kita ciptakan pada ajang ini,
”Dari, Oleh, dan Untuk Peserta”
Jadi pembelajaran yang bisa kita petik dalam hal ini adalah:

”Semua peserta memiliki kesempatan yang sama dalam mengemukakan


pendapat meskipun pada tatanan masyarakat yang menganut paternalistik
dan patriarki sekalipun.”

Seperti yang yang dilakukan Slameto ketika memfasilitasi di Papua. Metode diskusi
ORIK dan Workshop yang dijalankannya mampu menghilangkan perbedaan status
diantara peserta. Bahkan menurutnya terdapat pelajaran dari penggunaan Metode
Diskusi dan metode Membangun Konsensus Kelompok yaitu :
- Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dengan menggunakan media metaplan lebih
toleran dan mengurangi intervensi orang lain, termasuk menghadapi masyarakat
yang paternalistik,
- Pokok-pokok pikiran baru dapat dijadikan lebih kreatif,
- Metaplan sebagai alat dapat mengungkap “demokrasi dan filosofi posmo” bahwa
kebenaran tidak selalu tunggal dan tidak hanya obyektif tetapi subyektif.
- Pendapat yang ditulis adalah “anonim”, sehingga pendapat yang ada adalah milik
bersama (pleno).
Kumpulan Pengalaman
70 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Cut Aja Fauziah juga menunjukkan pada


kita, penanaman dan diseminasi nilai-nilai
kesetaraan (equal) jender yang bisa
dilakukan pada masyarakat patriarki. Nilai-
nilai ini sebelumnya dianggap dari Barat dan
ditakutkan sebagai pelajaran bagi kaum
perempuan agar berani melawan laki-laki.
Resistensi laki-laki terhadap nilai-nilai ini
bukannya dianggap halangan, melainkan
sebuah tantangan. Materi tentang gender,
tidak ia sampaikan dengan penuh teori yang
bisa membuat berkerut kening peserta.
Semua bermula dari fakta dan penjajakan
perasaan warga belajar terhadap hal ini.
Sehingga orang awam sekalipun, bisa
mengaitkan konsep gender ini sesuai dengan
konteks yang melingkupi kehidupan sehari-harinya. Inilah pelajaran yang dapat kita
petik:

”Konteks harus didekati dengan mengetengahkan fakta lebih dahulu baru


kemudian perasaan warga belajar terhadap fakta atau peristiwa. Biasanya,
setelah fakta dan perasaan diungkapkan, warga belajar akan dapat melihat
konteks dari diskusi.”

Selain itu, pelan tapi taktis, Cut Aja tidak berhenti memberikan penyadaran nilai-nilai
kesetaraan jender di ruang-ruang lokakarya atau pelatihan saja. Fasilitasi yang ia lakukan
sampai harus datang dari rumah ke rumah. Sambil minum kopi di warung atau sambil
menganyam tikar, proses diseminasi nilai-nilai kesetaraan jender ia lakukan. Hal ini
memberikan pembelajaran pada kita :

”Dalam memfasilitasi, pendekatan secara personal dan informal bisa lebih


efektif.”

Apa yang ditunjukkan oleh Hamidah, lain lagi. Perempuan bisa dibangkitkan
potensinya ketika diberikan ruang yang akomodatif. Pada masyarakat patriarki yang
masih sangsi dan sinis atas kepemimpinan dan kemampuan berorganisasi perempuan,
Hamidah memacu dan memberikan atmosfir pada perempuan untuk membalikkan
anggapan ini. Lewat Effective Facilitation Training sejumlah perempuan bisa memerankan
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 71

fungsinya selaku fasilitator di Musyawarah


Perencanaan Pembangunan Kelurahan
(Musrenbangkel). Hamidah membuktikan
perempuan sebagai fasilitator juga bisa
berkomunikasi, tegas, bijak, percaya diri, dan
mampu memimpin tentunya. Semua
kemampuan yang selama ini distereotipkan
'properti' kaum laki-laki. Jadi pelajaran bagi
kita dalam konteks ini:

”Perempuan sebagai fasilitator,


mengapa tidak?”

Sangat jamak juga ditemui, dalam setiap


proses diskusi masih ada keraguan dan
keengganan peserta untuk mengemukakan
pendapat. Terlebih lagi, jika peserta dalam kegiatan ini sangat majemuk. Bagi peserta
yang merasa lebih muda, yunior dalam pangkat, golongan, atau pengalaman, akan merasa
minder jika ditempatkan bersama-sama dengan mereka yang lebih 'senior dan
berpangkat'. Hal ini bisa berimbas pada 'semangat' mereka dalam berpartisipasi pada
setiap tahapan kegiatan. Diam bagi peserta jenis ini adalah jalan 'cari selamat'. Daripada
salah di hadapan senior atau sesama kolega, lebih baik ikut arus sampai berakhirnya
kegiatan.

Juga ketika menghadapi kelompok marjinal


yang tidak berkesempatan untuk berbicara
atau berpendapat. Bisa jadi kemiskinan,
keterbatasan fisik dan mental yang membuat “Niat ad alah
mereka malas untuk diajak diskusi. Kalaupun memberi peluang
pad a perubahan
mereka datang, kerapkali mereka lebih banyak yang And a ingin
diam. Bagaimana cara mengantisipasi fenomena per oleh”
ini? Apakah keterdiaman mereka sudah
-Susan Seabody, The Art
'kodrat' dan tidak bisa diubah? Tentu saja bisa, of Changing-
sepanjang fasilitator memegang prinsip yang
dipakai sebagai pelajaran berharga baginya:
Kumpulan Pengalaman
72 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Setiap peserta ingin diapresiasi dan didengar pengalamannya. Seorang


fasilitator harus memiliki kepekaan untuk memancing inner potential
peserta pelatihan.”

Pembelajaran di atas juga bisa


dimaknai bahwa fasilitasi yang
partisipatif dapat meminimalisasi
dominasi pelatih/fasilitator dan
menjadikan peserta sebagai subyek
pelatihan. Bukan jamannya lagi
pelatihan atau lokakarya diatur
seperti ruang perkuliahan atau
sekolah yang linier pola transfer
ilmunya. Menjadikan guru atau
dosen sebagai 'sang maha tahu',
menganggap peserta didik tidak
tahu apa-apa ibarat “gelas kosong
yang siap diisi”. Fasilitasi partisipatif
menjadikan pengalaman peserta
adalah guru terbaik. Semua ide dan
pengalaman peserta patut dicermati dan dikritisi peserta lain. Fasilitator hanyalah
pemandu yang mengalirkan ritme orkestra fasilitasi agar berjalan efisien dan efektif.

Fasilitator tidak bisa bertindak arogan dengan selalu membenarkan atau memaksakan
pendapatnya. Hal ini sebagai kompetensi dasar yang harus dimiliki fasilitator/pelatih.
Memiliki kemampuan mendengar secara aktif dan menghargai setiap ide yang
dikemukakan peserta/khalayak yang dihadapinya (open mind). Ketika fasilitator
menampilkan 'wajah' paling pintar, mensubordinasi dan memarjinalkan kemampuan
peserta, maka proses fasilitasi akan mengalami kemandegan (stagnant). Pelajaran di
bawah ini dapat kita jadikan rujukan:

“Seorang fasilitator harus memahami, sumber pelatihan bukan dirinya


seorang, tapi semua orang yang terlibat dalam pelatihan adalah narasumber.
Rendahkan diri, jangan pernah merasa pintar di depan peserta. Hendaknya
fasilitator selalu membuka diri untuk saling bertukar informasi.”
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 73

Atmosfir Keajaiban
Atmosfir yang penuh dengan semangat
diharapkan akan memicu kegairahan peserta
untuk berpartisipasi. Tetapi ada kalanya,
materi yang sudah disiapkan untuk
dipaparkan menemui 'batu sandungan' dalam
penyampaiannya. Berbagai kemungkinan bisa
menjadi penyebabnya. Misalnya materi
tersebut dirasakan terlalu teoritis dan kurang
'membumi' dengan persoalan rutin yang
dihadapi peserta pada institusinya. Pelatih
seringkali terlalu mengandalkan kemasan
materi yang ada pada tampilan file yang
mereka siapkan, sehingga kontak mata dan
bahasa tubuhnya, justru menciptakan jarak
dengan peserta. Variasi metode penyampaian
pesan yang monoton, hingga pelatih terkesan
sebagai penceramah yang linier dan hanya
berpedoman pada target materi yang harus
rampung pada satu sesi itu.

Feed back yang dihasilkan dari suasana pelatihan atau fasilitasi seperti ini, alih-alih
mendapat respon peserta yang positif dan bersemangat, besar kemungkinan peserta
justru menjadi resah, tidak fokus pada paparan materi, keluar-masuk ruangan tanpa
alasan jelas, memainkan telepon selulernya, atau bercakap dengan teman duduknya.

Pelatih dalam kondisi semacam ini sebaiknya segera putar haluan untuk kembali
'memanusiakan' peserta di hadapannya. Suasana segar perlu kembali dihidupkan di
dalam ruang pelatihan. Seperti anjuran yang disampaikan Roys Vahlevi (Aceh)
berikut ini:

“Jangan pernah biarkan suasana muram muncul dalam fasilitasi.”

Bagaimana caranya menghilangkan suasana muram yang menyergap ruang fasilitasi?


Beberapa fasilitator LGSP telah menunjukkan pada kita beragam metode yang
digunakan untuk tujuan ini. Misalnya menciptakan berbagai permainan (game), foto,
film pendek, gambar, diagram, atau grafik yang disesuaikan dengan materi yang
Kumpulan Pengalaman
74 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

disampaikan. Bermain peran (role play)


dengan melibatkan peserta yang
bersedia menjadi volunter. Bisa juga
penggunaan energizer, misalnya
menyetel musik mengalun mengiringi
peserta ketika berdiskusi kelompok,
menciptakan kata-kata mutiara sebagai
penyemangat dan penggugah emosi
peserta, bermain musik kendang,
perkusi, rebana atau gitar.

Penggunaan berbagai metode pencair


suasana ini, terutama harus diterapkan
pada saat sesi lokakarya/ pelatihan
memasuki 'jam rawan'. Yaitu setelah
rehat jam Ishoma (Istirahat, Sholat,
Makan Siang). Sudah umum dipahami
setiap peserta, memasuki sesi ini
semangat peserta menjadi mengendur.
Berbagai alasan bisa dikemukakan, karena mengantuk, kekenyangan, atau waktu
istirahat yang kurang.

Bagaimana jika terjadi di awal sesi? Bisa diatasi dengan metode menggali pengalaman
peserta. Biarkan peserta menceritakan kisah dan pengalamannya berkaitan dengan
materi pada sesi itu. Berikan peluang pada peserta lain untuk menanggapi atau
mengomentari pengalaman tersebut. Lalu bagaimana dengan penggunaan lelucon atau
kisah lucu? Sangatlah membantu jika fasilitator memiliki kemampuan 'melucu' di setiap
sesi yang ada. Materi yang berat sekalipun, akan
terasa mudah dicerna peserta jika fasilitator mampu
membawakannya dengan menggelitik dan penuh
“ Secara alami setiap keceriaan.
o rang mengalami
k ondisi hypnosis selama
7 jam perhari at au
atau Akan tetapi bagaimana jika fasilitator tersebut tidak
setiap 2500 jam memiliki kemampuan melucu, membuat gambar yang
pertahun ttanpa
pertahun anpa
disad ari oleh mer eka” menarik atau bermain musik? Tentunya fungsi
kolegialitas bisa diterapkan pada situasi ini. Sebagai
-Dr. Bruce Coldberg, sebuah tim, beberapa fasilitator bisa berbagi
New Age Hypnosis- peran. Siapa yang bertugas memainkan berbagai
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 75

permainan, siapa yang memerankan pencambuk semangat peserta dengan gurauan-


gurauan segar, melontarkan kata-kata penuh spirit, atau siapa yang membuat gambar
ilustrasi untuk memudahkan pemahaman peserta.

“Setiap pelatihan yang menggunakan pendekatan partisipatif harus


dilaksanakan dengan melibatkan tim kerja. Karena, hanya tim yang kompak
yang akan ditentukan kesuksesan sebuah pelatihan.”

Untuk mencapai tim fasilitasi ataupun tim pelatih yang solid, sudah barang tentu perlu
perencanaan yang matang. Setiap tahapan (sesi awal, tengah, hingga penutupan) harus
rinci gagasan apa materinya, metode penyampaian, energizer yang diselipkan, identifikasi
kemungkinan feed back peserta pada setiap sesinya, dan bagaimana metode alternatif
lain yang harus disiapkan jika skenario awal tidak berhasil. Untuk mencapai
perencanaan yang 'hebat' ini, pertemuan awal antar fasilitator untuk menyamakan
visi dan strategi perlu dilakukan. Langkah ini diharapkan dapat mengantisipasi dan
menindaklanjuti moodline peserta di setiap tahapan yang dilakoni dalam fasilitasi. Seperti
pembelajaran yang disampaikan oleh Budiono (Jawa Tengah) berikut ini :

“Rencanakan, jaga, cari inovasi agar moodline peserta selalu naik.”

Patut diperhatikan juga, tidak semua metode yang ada dapat digunakan pada segala
kesempatan dan peserta/khalayak yang sama. Fasilitator perlu memahami bagaimana
karakter khalayak yang dihadapinya. Apakah khalayak yang memiliki status sosial,
keterbatasan (disability) fisik, psikologis, kemampuan baca-tulis, yang kondisi berbeda
dengan khalayak pada umumnya bisa dihadapi dengan metode konvensional? Untuk
menghindari kesalahan fatal, sejak awal fasilitator perlu memikirkan apa tujuan dan
bagaimana reaksi (feed back) khalayak, jika metode tertentu dipilih dan digunakan.
Menarik pelajaran yang diberikan oleh Sajidin (Sukabumi) berikut ini :

“Pahami setiap filosofi setiap metode yang Anda gunakan.” Akhirnya:


Dunia fasilitasi itu penuh dengan keajaiban

Keajaiban yang dimaksud dalam konteks ini, pada akhirnya terjadi proses saling belajar.
Masing-masing individu mempunyai kelemahan dan kelebihan untuk dibagikan.
Fasilitator bisa belajar banyak dari peserta. Sebaliknya, peserta bisa menjadikan
fasilitator/trainer sebagai teman berdiskusi dan mempertajam pemahaman sebuah
persoalan. Banyak ide-ide besar secara spontan muncul ketika rasa percaya diri,
terutama secara tim (antara fasilitator dan peserta/ khalayak) telah terbangun.
Kumpulan Pengalaman
76 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Langkah Kecil Ciptakan Perubahan


Apa yang dilakukan fasilitator atau pelatih,
tentunya diharapkan menciptakan
perubahan. Sekecil apapun bentuknya,
perubahan itu bisa digali dari aspek
pemahaman peserta. Dari yang selalu
berasumsi sulit, menjadi merasa mudah.
Cara pandang komunitas yang semula
sulit diajak bergeser, menjadi merasakan
manfaatnya jika mereka mengubah pola
sikap dan pikirnya juga menyuarakan
kekuatan yang selama ini termarjinalkan.
Karena ketiadaan akses, atau kekuatan ini
merasa bukan bagian dari kesatuan
komunitas besar.

Atau aspek hubungan antar dua atau


lebih pihak yang selama ini 'seperti api
dalam sekam'. Semula penuh kecurigaan,
enggan berkolaborasi, menjauh dari ikatan silaturahmi, menjadi penuh kehangatan
dan seiring sejalan. Yang terpenting, semua langkah fasilitator atau trainer LGSP, harus
diakui membawa perwujudan indikator tata kepemerintahan yang baik (good gov-
ernance). Bagian berikut ini akan menjelaskan perubahan apa yang dihasilkan oleh
mitra LGSP di beberapa wilayah dampingan.

Mempermudah yang Diasumsikan Sulit

Ilmu akuntansi selama ini dipandang susah untuk dipelajari. Penuh dengan angka-
angka dan rumus matematika. Akan tetapi di tangan Gagaring Pagalung, pendekatan
partisipatif telah menepis anggapan umum peserta pelatihan bahwa akuntansi adalah
ilmu yang sangat sulit dipahami. Akuntansi yang disampaikannya pada pelatihan adalah
akuntansi keuangan daerah sesuai regulasi yang berlaku. Artinya, pengetahuan yang
ditransferkan pada pelatihan adalah pengetahuan teknis akuntansi. Karena sifatnya
pengetahuan teknis, maka diharapkan pengetahuan itu akan meningkatkan kapasitas
peserta pelatihan dalam mengimplementasikan akuntansi keuangan daerah sesuai
perangkat regulasi yang berlaku. Jadi yang peserta pelajari bukan teori-teori akuntansi,
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 77

melainkan implementasi ilmu akuntansi.

“Hasilnya cukup memuaskan. Di beberapa


daerah dimana saya sempat lakukan bimbingan
teknis, beberapa alumni pelatihan sudah
mengaplikasikan akuntansi keuangan daerah
yang baik,” ungkap anggota American
Accounting Association (AAA) ini. Salah satu
indikator keberhasilan pelatihan itu, jelas
Gagaring, “meningkatnya antusiasme peserta
pelatihan untuk terus mempelajari dan
mengaplikasikan akuntansi keuangan daerah
pasca pelatihan”.

Bahkan tidak jarang, justru banyak peserta


yang meminta agar dilakukan bimbingan teknis
(Bintek) di tempat kerja mereka. Dan terbukti,
ketika dilakukan Bintek di daerah kabupaten/kota, alumni pelatihan sudah mampu
menunjukkan cara kerja mereka sesuai akuntansi keuangan daerah yang baik. Di
Sulawesi Selatan sendiri, Gagaring mengaku telah memberikan Bintek beberapa kali
kepada pengelola keuangan daerah di kabupaten/kota.

Gagaring menilai, sampai saat ini penatakelolaan akuntansi keuangan daerah masih
jauh dari harapan. Sehingga tidak heran jika penerapan PP No. 24 Tahun 2005,
Permendagri No. 29 Tahun 2007, SE No.900/316/2007,
dan SE No.900/743/2007 masih ibarat “menggantang
asap”. Bisa diprediksi setiap tahun ada milyaran rupiah
dana APBD dari setiap kabupaten/kota yang belum
dikelola dengan baik sesuai standar regulasi akuntansi “P enanaman suges
“Penanaman ti
sugesti
positif akan
keuangan daerah. Hal ini disebabkan oleh masih memberikan d ampak
rendahnya kualitas pengelolaan akuntansi keuangan pad a seseo rang untuk
daerah. Penyebabnya antara lain, masih rendahnya tet ap berperilaku,
tetap
at au menang gapi
atau
kualitas sumber daya manusia pengelola akuntansi sesuatu secara positif-
keuangan daerah, penempatan pejabat atau pegawai walaupun kurang at au
atau
pengelola akuntansi keuangan daerah belum tid ak menyukai”
memenuhi prinsip the right man on the right job. -Joe Vitale d alam
The Secret-
Kumpulan Pengalaman
78 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya


“Sed alam apapun asumsi sebagian pengelola akuntansi keuangan daerah
s tudi yang And a bahwa akuntansi sulit dipelajari. Sehingga, para
lakukan, yang pengelola keuangan daerah terkesan mengabaikan
benar -benar harus
And a and alkan prinsip-prinsip pengelolaan akuntansi keuangan
ad alah intuisi And a daerah yang baik. Akibatnya, setiap transaksi
sendiri. And a benar - keuangan daerah tidak tercatat sebagaimana yang
ak ttahu
benar ttak ahu apa
yang akan terjadi diatur dalam regulasi. Rendahnya pemahaman
sampai And a akuntansi keuangan daerah tidak hanya terjadi pada
melakukannya” pengelolaan akuntansi keuangan daerah kabupaten/
-Konosuke Matsushita- kota, tapi anggota DPRD juga sebagian besar belum
memahami akuntansi keuangan daerah dengan baik.
Sehingga, tidak jarang APBD suatu daerah
terhambat karena terjadi silang pendapat antara
DPRD dengan eksekutif. Karena itu, peran LGSP yang selama ini memberikan pelatihan
akuntansi keuangan daerah kepada staf Pemda dan bahkan anggota DPRD, dinilainya
sebagai langkah strategis dan sangat urgent.

Senada dengan pengalaman Gagaring, pengetahuan tentang perencanaan daerah (plan-


ning) juga diasumsikan selalu penuh dengan tahapan dan berkaitan dengan regulasi
(UU, Perpu, SE Mendagri/Menkeu, Perda, Perbup dan sebagainya). Kadaryono, atau
biasa dipanggil Yoyon, menepis semua asumsi salah ini. Sebagai 'jangkar' aliansi CSO
Kota Madiun, ia merasakan apa yang
didapatkannya dari LGSP mengasah
dirinya dan teman-temannya, memahami
bagaimana memposisikan diri secara
cerdas dalam mengritisi perencanaan
daerah.

Isu sentral yang menjadi agenda mereka,


awalnya adalah penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD). Analisa kritis dan rancangan awal
temuan mereka lakukan bergiliran
berkeliling antar rumah anggota.
Pembahasan ini mereka lakukan setelah
mendapat 'bocoran' dari tiga anggota
aliansi yang masuk sebagai Kelompok
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 79

Kerja (Pokja) RPJPD. Salah satu masukan dari


hasil pertemuan aliansi misalnya, tidak
dimasukkannya isu lingkungan di dalam misi
Kota Madiun yang dibahas dalam Pokja RPJPD.
“Kami juga menyampaikan kajian sandingan
kepada DPRD. Ya meskipun pada saat itu
pengetahuan kami minim di dalam regulasi dan
tahapan di dalam perencanaan. Tetapi
semangat teman-teman aliansi itulah yang
menghilangkan kelemahan itu,” kenang Yoyon.

Rancangan RPJPD ini akhirnya berhasil


dirumuskan setelah melalui sekian kali
pembahasan. Aliansi CSO Kota Madiun
mendesak Pokja RPJPD agar dilakukan
konsultasi publik. Tujuannya untuk
mendapatkan masukan dan kritisi dari perwakilan warga kota. “Masa perencanaan
pembangunan untuk 25 tahun kok dibahas di lingkup yang kecil, makanya dialog
publik untuk mengritisi rancangan RPJPD ini kami rasakan perlu. Aliansi juga
mendesakkan hal ini lewat surat yang dikirimkan kepada walikota,“ ungkap Yoyon.
Walikota Madiun memberikan sinyal positif dengan memerintahkan Bappeko
menggelar dengar pendapat (public hearing) dengan aliansi CSO. Hasilnya, disepakati
untuk menggelar dialog publik lewat siaran RRI Madiun. Selain itu, dialog publik juga
dilakukan dengan mengundang beberapa perwakilan tokoh masyarakat, agama, dan
profesi di ruang 13 Kantor Walikota. Informasi terakhir, rancangan RPJPD hasil
godokan Aliansi CSO Kota Madiun ini, telah disahkan oleh DPRD.

Keberhasilan lain Aliansi CSO Kota Madiun mengawal perencanaan daerah antara lain
memberikan masukan terhadap Renja DPRD. “Kami ditunjukkan waktu itu adanya
empat Perda Inisiatif Dewan,Transparansi, Kesehatan, Pendidikan, dan Trafficking. Kami
lalu berinisiatif menyiapkan naskah akademik dari Perda Transparansi tersebut,”ungkap
aktivis CSO yang hampir tujuh tahun berkiprah. Dalam mempersiapkan naskah
akademik Perda Transparansi, aliansi CSO didampingi LGSP dalam peningkatan
kapasitas. Setelah rampung tiga bulan menyusun naskah akademik, mereka serahkan
naskah tersebut ke DPRD.

Pekerjaan belum selesai. Selanjutnya Yoyon mengajak teman-teman CSO membuat


Ranperda Transparansi dan Partisipasi Publik. Setelah rampung disusun, Ranperda
Kumpulan Pengalaman
80 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

itu diserahkan ke DPRD sebagai bahan masukan dan pertimbangan. Akhirnya LGSP
mempertemukan CSO dengan legislatif untuk membahas Ranperda Transparansi
tersebut. Berbekal rancangan yang dihasilkan Aliansi CSO, pertemuan selama tiga
hari itu membuahkan hasil. Untuk mengawal dan mengawasi agar Ranperda ini segera
disahkan, Aliansi CSO 'rajin' menanyakan dan menagih eksekutif maupun legislatif.
“Jadi bisa dikatakan Perda ini hasil kerja kami karena naskah akademik maupun
Ranperda-nya kami yang buat,” ujarnya memperjelas.

Ketersediaan Payung Hukum Pelayanan Publik

Pelayanan publik oleh Pemda adalah sektor yang kerap mendapatkan perhatian besar
masyarakat. Sebagai penikmat layanan, masyarakat di beberapa daerah masih belum
dilibatkan dalam mengontrol kinerja SKPD dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.
Masyarakat bahkan tidak mendapatkan saluran untuk menyuarakan keluhannya jika
pelayanan yang diterimanya tidak memadai. Melalui kerja keras Rusman Achmad
(Sulawesi Selatan), adanya payung hukum agar pelayanan publik ini menjadi tanggung
jawab semua pihak, membuahkan hasil. “Pelatihan dengan pendekatan partisipatif
sangat berguna untuk mengimplementasikan tata pemerintahan yang baik. Karena
terbukti, beberapa regulasi yang mendukung good governance seperti Peraturan
Bupati (Perbup) Kabupaten Pinrang No. 6 Tahun
2007 tentang Pos Pelayanan Publik Paripurna (P4).
Proses penyusunan Perbup ini juga telah menerapkan
pendekatan partisipatif,” ungkap dr. Rusman Ahmad, “Hanya sedikit yang
M.Kes. membed akan manusia
satu d engan lainnya,
tet api perbed aan k ecil
tetapi
Pelayanan kesehatan di Kabupaten Pinrang selama itu d apat menjadi
sekian puluh tahun dirasakan belum maksimal. Maka besar yaitu manakala
pada tahun 2004 lalu, atas inisiatif beberapa stake- ia positif atau negatif”
atau
holder bidang kesehatan, dicetuskan komitmen -Laurie Coo ts-
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Pinrang berdasarkan standar kesehatan
masyarakat yang baik. Sebagai wujud dari komitmen itu ditetapkanlah Kecamatan
Paleteang Kabupaten Pinrang sebagai wilayah percontohan (pilot project) untuk
mengimplementasikan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Setelah melalui proses yang panjang dan kerja keras tim akhirnya PHBS Kecamatan
Paleteang Kabupaten Pinrang mampu meraih juara II tingkat Provinsi Sulawesi Selatan.
Untuk memberikan pelayanan kesehatan, maka dibuka pos pelayanan dan pengaduan
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 81

masyarakat. Hasilnya, pelayanan kesehatan


semakin meningkat dan secara beriringan
meningkat pula kualitas kesehatan
masyarakat di daerah percontohan
tersebut.

Sukses yang diraih PHBS inilah akhirnya


menjadi inspirasi untuk meningkatkan
pelayanan di bidang pertanian, irigasi
bahkan sampai pada bidang kelistrikan.
Kemudian dalam perjalanannya, pada tahun
2007, kesuksesan PHBS semakin menarik
perhatian Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Pinrang. Sehingga Bupati Pinrang
menerbitkan Surat Keputusan tentang Pos
Pelayanan Publik Paripurna (Perbup No.
6 Tahun 2007 tentang P4). Artinya, Kabupaten Pinrang telah memiliki payung hukum
tentang standar pelayanan publik yang prima bagi masyarakat daerah ini. Payung
hukum ini tidak hanya meliputi bidang kesehatan saja tapi telah meliputi seluruh
aspek pemerintahan dan pelayanan publik. “Di dalam Perbup tersebut juga diatur
mekanisme pelayanan dan pengaduan masyarakat,” terang Rusman.

Untuk mengimplementasikan Perbup No. 6 Tahun 2007 tersebut, telah dibentuk


Kelompok Kerja (Pokja) yang bertugas memantau pengimplementasian regulasi ini.
Rusman sendiri termasuk di dalam tim Pokja yang membidangi kesehatan. Sejauh ini,
Pos Pelayanan Publik Paripurna (P4) telah meliputi wilayah desa/kelurahan, kecamatan
dan kabupaten. Dan saat ini P4 lebih membuka ruang bagi pengaduan masyarakat
untuk memperkuat mekanisme kontrol dalam rangka meningkatkan pelayanan publik
di daerah ini.

Ke depan, diharapkan status hukum Perbup Pinrang tentang P4 meningkat menjadi


Peraturan Daerah (Perda). Terbukti, saat ini telah disusun Rencana Peraturan Daerah
Pos Pelayanan Publik Paripurna (Ranperda P4) Kabupaten Pinrang. Bahkan naskah
Ranperda P4 telah berada dalam pembahasan Biro Hukum Pemkab Pinrang.

Hampir sama dengan pengalaman Rusman, di Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten


Boyolali Jawa Tengah, melalui fasilitasi yang dilakukan Sutopo Patria Jati membuahkan
Citizen Charter (CC) di bidang pelayanan kesehatan.
Kumpulan Pengalaman
82 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Pemilihan jenis pelayanan kesehatan yang menjadi


prioritas di dua kabupaten tersebut telah dilakukan
“Siapa yang tid ak sebelum Sutopo ditunjuk menjadi Service Providers (SP)
percaya d engan merasa
tid ak bisa, hend aknya dalam proyek LGSP USAID yaitu sekitar akhir tahun
jangan meng halangi
menghalangi 2006. Akan tetapi secara kebetulan pada dua
yang merasa bisa d an kabupaten tersebut, isu yang akhirnya dipilih adalah
mimpi” sama yaitu pelayanan promosi kesehatan. Setelah
-Muhammad Yunus- dilakukan upaya penajaman melalui lokakarya di awal
tahun 2007 yang melibatkan multistakeholders,
akhirnya disepakati bahwa jenis pelayanan promosi
kesehatan yang akan memperoleh pendampingan
lebih lanjut adalah pelayanan Poliklinik Desa dalam program Desa Siaga di Kabupaten
Sukoharjo dan Pelayanan Komunikasi dan Informasi di Kabupaten Boyolali.

Keterlibatan multistakeholders untuk penentuan fokus kegiatan/pelayanan promosi


kesehatan dimaksudkan agar setiap keputusan/kesepakatan yang dimunculkan harus
melalui pendekatan partisipatif. Disisi lain representasi/ keterwakilan dari semua unsur
juga turut menjadi pertimbangan penting lainnya, sehingga diharapkan daya dukung
dari semua stakeholders promosi kesehatan di dua daerah akan bisa berjalan lebih
efektif.

Serangkaian workshop yang difasilitasi Sutopo dalam menghasilkan Citizen Charter


(CC) pelayanan kesehatan, antara lain meliputi:
1. Pemahaman konsep dasar pembuatan CC.
2. Praktek simulasi penyusunan draf dokumen CC.
3. Penentuan fokus kegiatan/pelayanan yang akan dibuatkan CC.
4. Pembuatan draf dokumen CC kegiatan/pelayanan terpilih.
5. Pelaksanaan uji coba draf dokumen CC kegiatan/pelayanan terpilih.
6. Proses finalisasi draf dokumen CC kegiatan/pelayanan terpilih.
7. Proses diseminasi draf final dokumen CC kegiatan/pelayanan terpilih.
8. Proses pengesahan dokumen CC kegiatan/pelayanan terpilih.
9. Pengembangan alat monitoring dan evaluasi pengimplementasian CC kegiatan/
pelayanan terpilih.
10 Proses sharing experience hasil pengimplementasian CC
11. Upaya replikasi CC.
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 83

Mengubah Cara Pandang


Komunitas

Pengusik sistem sosial merupakan salah satu


fungsi keberadaan fasilitator. Ketekunan dan
sikap pantang menyerah menjadi 'peluru'
yang harus dimiliki ketika berupaya
mengubah cara pandang dan sikap komunitas
dampingan. Apalagi jika sikap salah ini, tidak
disadari sebagai praktek menjalani kehidupan
yang tidak sehat. Seperti apa yang dilakukan
oleh Denny Herald, dosen Teknik
Lingkungan Universitas Negeri Padang
(UNP) ini direkrut LGSP untuk melatih
warga Kota Bukittinggi, Sumbar, mengelola
sampah. Dia bertugas meningkatkan
kemampuan dan keinginan masyarakat yang
terlibat langsung dalam menjalankan organisasi pengelolaan sampah.

Warga sebelumnya cenderung mengganggap pelayanan persampahan merupakan


tanggung jawab penuh dari Pemkot. Partisipasi dan kesadaran warga untuk pengelolaan
sampah sangat minim. Akibatnya tebaran dan tumpukan sampah menjadi pemandangan
sehari-hari bagi kota jantung Sumatera Barat ini.

Meskipun Kota Bukittinggi telah mempunyai Perda No.01/2002 tentang Kebersihan,


Ketertiban dan Keindahan yang dengan tegas menyatakan sampah adalah masalah
bersama dan harus dikelola bersama, tapi tetap tidak ada perubahan signifkan. Perda
No.25/2004 yang menegaskan sanksi terhadap pelanggaran kebersihan, ketertiban
dan keindahan juga bernasib sama. Sampah masih menjadi masalah serius di wilayah
yang diapit Gunung Singgalang dan Merapi ini.

Persoalannya, mengubah perilaku warga bukanlah perkara mudah. Sejak Juli 2006,
saat LGSP menggelar Semiloka Kehidupan Bernagari di Kota Bukittinggi, persoalan ini
telah mengemuka. Sejak saat itu pulalah, LGSP bersama P3SD dan DKP membantu
Pemkot Bukittinggi menyelenggarakan beragam kegiatan untuk memperbaiki pelayanan
bidang persampahan. Sebagai langkah awal dimulailah dari Kelurahan Birugo (RWIV/
RT 1), Kelurahan Kubu Gulai Bancah atau KGB (RW I/RT 7), dan Kelurahan Tarok
Dipo Ber'iman (RW VI/RT 4).
Kumpulan Pengalaman
84 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Bermula dari Kelurahan Birugo. Ketika itu, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Melati,
yang terletak persis di hulu Ngarai Sianok, mengeluhkan banyaknya lalat yang
beterbangan. Hulu ngarai itu tempat pembuangan sampah terakhir dari warga
setempat. Mereka merasa tak punya pilihan, karena Tempat Penampungan Sementara
(TPS) tak disediakan oleh pemerintah. Hal itu diperburuk pula oleh lokasi tempat
tersebut yang tidak bisa dilewati oleh truk sampah.

Sebenarnya, masyarakat menyadari bahwa ngarai sebagai tempat pembuangan


berpotensi menjadi sumber pencemaran lingkungan. Selain merupakan hutan kota,
aliran air yang melalui tempat tersebut menjadi salah satu sumber air baku bagi
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bukittinggi. Kesadaran itu memunculkan
kepedulian warga terhadap masalah lingkungan. Di kelurahan inilah akhirnya dibentuk
Kelompok Birugo Berseri, kelompok yang peduli kebersihan lingkungan.

Di Kelurahan KGB, permasalahan sampah dimulai


ketika kantor pemerintahan Kota Bukittinggi yang
dulunya berada di Kelurahan Sapiran berpindah ke
KGB. Wilayah yang dulu daerah pinggiran kini menjadi “Kit
“Kitaa semuanya
terpenjara, namun
pusat pemerintahan. Melalui lokalatih Pengelolaan beberapa diant ara
diantara
Sampah Berbasis Masyarakat pada tanggal 2-3 kit
kitaa berad a d alam
Oktober 2006, keinginan anggota masyarakat untuk sel berjend ela d an
beberapa lainnya
mengelola sampah ini terealisasi dengan berdirinya d alam sel ttanpa
anpa
Kelompok Pengelola Sampah Berbasis Masyarakat jend ela”
(KPSBM) Karya Guna Bersama. Di Kelurahan Tarok
-Kahlil Gib ran-
Dipo Ber'iman juga dibentuk kelompok serupa.
Masing-masing kelompok terdiri dari sekitar 50-
60 keluarga.

Keinginan warga sudah ada, kelompok pun sudah terbentuk, meskipun masih sebatas
tiga kelurahan dan setingkat RT. Beragam diskusi dilangsungkan. Tujuannya,
penyepakatan model pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Ada pula pelatihan
pengelolaan sampah. “Masyarakat dilatih bagaimana alur pengelolaan sampah: mulai
dari pemisahan sampah rumah tangga, cara pengolahan/pemanfaatan, cara transportasi,
dan cara pembuangan di tempat pembuangan akhir, serta proses perencananaan-
penganggaran di kelurahan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah,” ujar Denny.

Target pelatihan dan pendampingan adalah supaya masyarakat memahami bahwa


mereka mempunyai hak untuk mengambil keputusan, terlibat dalam teknis pengelolaan
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 85

sampah, memilih teknologi pengelolaan


sampah, membentuk organisasi pengelola,
menentukan struktur organisasi, membuat
AD/ART organisasi, dan menentukan
mekanisme anggaran. Masyarakat juga wajib
bertanggungjawab dalam mengoperasikan
dan memelihara fasilitas pengelolaan
sampah.

Hal ini juga kemudian disebarluaskan


melalui pelbagai cara dan media. Lewat
masjid-masjid, lapau/warung, kelompok
arisan, kegiatan PKK, dan dalam pertemuan-pertemuan di tingkat RW, RT, dan
kelurahan.

Pengalaman lain, ide yang dikembangkan oleh Sajidin di Sukabumi pada awalnya membuat
banyak pihak bersikap menolak. Betapa tidak, ia ingin menyekolahkan anak-anak tuna
grahita di sekolah yang bukan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Para orang
tua, pada awalnya, beranggapan ide itu benar-benar tidak bisa ditolerir. Mereka tidak
bersedia membiarkan anak-anak mereka bergaul dengan kelompok “luar biasa” ini.
Begitu juga orang tua murid tuna grahita, mereka merasa anaknya akan jadi bahan
tertawaan rekan sebaya dan akan semakin tertinggal dari anak-anak yang “normal”
lainnya. Sementara itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi juga belum menemukan
cara untuk memperjuangkan kemandirian anak-anak yang berpredikat tuna grahita
tersebut.

Persoalan ini menurut Sajidin harus dituntaskan segera, agar pendidikan benar-benar
merupakan bagian dari kesetaraan kesempatan. Perkenalannya dengan LGSP Jawa
Barat membawa perubahan besar dalam menangani persoalan ini. LGSP membantu
dirinya memfasilitasi pertemuannya dengan dinas pendidikan. Disana ia menguraikan
idenya. “Dengan membiasakan diri menguraikan gagasan menurut filosofi metode
diskusi, semua persoalan akan mudah terlihat intinya. Selanjutnya, langkah-langkah
penyelesaian akan lebih sesuai dengan pengalaman tiap individu. Itulah kelebihan
metode ini,” paparnya bersemangat.

Ia mengenang, saat mulai mengkampanyekan perlunya memberi kesempatan kepada


anak-anak tuna grahita untuk bersekolah dengan teman-teman sebayanya yang bukan
tuna grahita, tidak banyak yang mendukung mereka. Pernah mereka harus datang
Kumpulan Pengalaman
86 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

dari satu rumah ke rumah yang lain di Desa Caringin itu agar punya kesempatan
berdialog menyampaikan gagasan mereka kepada masyarakat. “Kami membiarkan
masyarakat yang menentukan apa yang harus mereka lakukan setelah mengetahui
fakta-fakta, mempertimbangkan perasaannya dan menganalisa situasinya. Itulah inti
dari pendekatan partisipatif. Selalu pada akhirnya, masyarakat menyetujui bahwa
pembauran penting bagi tumbuh kembang anaknya baik untuk yang tuna grahita
maupun yang bukan,” ulas Sajidin.

Mencairkan Kebekuan Hubungan

Tak jarang, ditemukan di beberapa daerah hubungan yang kurang 'harmonis' antara
CSO, eksekutif dan legislatif. Penonjolan kepentingan kelompok masing-masing kerap
kali membawa kondisi status quo di wilayah tersebut. Perwujudan good governance
pada akhirnya menjadi mandeg. Saling menyalahkan, saling menunggu, bahkan bisa
jadi berusaha saling menenggelamkan potensi pihak lain. Akan tetapi ada juga mitra
LGSP di beberapa wilayah, yang telah
berupaya mencairkan kondisi 'masih ada
dusta diantara kita' ini.

Kegetolan Haris Nabawi dalam dunia ke-


CSO-an sebelum menjadi anggota DPRD
Kota Madiun, menjadikannya dekat
dengan CSO di kota pecel ini. Haris juga
aktif di Forum Masyarakat Kota Madiun
(Formad), sehingga ia diberi amanah sebagai
'jembatan' antara legislatif dengan warga
kota. Bagaimana resep menjalin hubungan
DPRD dengan CSO yang harmonis?
Menurut Haris tidak dimulai dengan
membuka agenda pemerintah (eksekutif),
melainkan mengajak mereka membahas
agenda internal legislatif. Misalnya
mengajaknya menyusun Renja DPRD di
awal tahun 2008. Mengapa baru di tahun
itu DPRD menggandeng CSO? “Karena kami belum mengetahui CSO mana yang
bisa diajak berpikir rasional, kritis, dan tidak justru memanfaatkan keterbukaan yang
kami kembangkan untuk kepentingan individu atau lembaganya. Makanya sejak tahun
2006 kami berharap LGSP mampu memetakan CSO mana yang bisa dipercaya
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 87

bekerjasama dengan DPRD,” ungkap Haris.

Bahkan, Haris juga berupaya menjelaskan teman-teman “Menyimak ad alah


CSO apa saja agenda dewan, mengapa suatu anggaran k eterampilan yang
sangat penting bagi
Kunjungan Kerja lebih besar daripada Jaring Aspirasi. pelatih, kar ena sebagian
“Kami jelaskan bahwa dewan itu dibatasi oleh Permen besar pek erjaannya
13 yang nomenklaturnya sudah jelas hanya delapan bergantung pad a
k o munikasi yang jelas
program yang bisa dianggarkan. Misalnya dalam jaring d an hubungan baik”
aspirasi, SPPD (perjalanan dinas) tidak bisa hanya mamin
(makanan-minuman, pen) yang bisa dianggarkan,” -Lisa haneberg-
ungkap Haris. Atas pemenuhan transparansi dan
akuntabilitasnya di sisi penganggaran inilah maka tidak
ditemukan persoalan dalam pemeriksaan BPK. Bahkan,
DPRD Kota Madiun kerap mengembalikan sisa anggaran yang tidak dipakainya antara
dua atau tiga milyar ke kas daerah. Pos-pos anggaran yang 'menyisakan anggaran' di
akhir kegiatan misalnya perjalanan dinas, peningkatan SDM, atau pembahasan Perda.

Kedekatannya dengan CSO ini, juga ditularkan kepada anggota dewan lainnya. Lewat
pendekatan informal, selalu siap ketika diundang diskusi di warung kopi atau di salah
satu rumah anggota CSO atau yang lain misalnya. Selalu memberikan dokumen yang
diminta CSO untuk menganalisis anggaran, adalah beberapa kiat Haris untuk menjaga
pertemanan dengan kalangan CSO. Wujud konkretnya, Haris meminta Aliansi CSO
Kota Madiun untuk mengajukan naskah akademik Ranperda Transparansi dan
Partisipasi Publik. Akhirnya Ranperda ini telah disahkan oleh DPRD Kota Madiun.

Pengalaman Guntur di Kabupaten Kediri Jawa Timur lain lagi. Justru pada awal
perjalanannya, CSO di Kabupaten Kediri bergerak sendiri-sendiri. Perbedaan bidang
garapan, semakin menambah renggangnya hubungan mereka. Tidak ada satu aktivitas
yang bisa membuat mereka saling berjumpa. Kondisi ini menyebabkan fungsi
pengontrol dan pemberi asupan kepada kebijakan eksekutif atau legislatif, tidak begitu
optimal hasilnya. Bahkan, muncul kesenjangan antara CSO yang begitu 'mesra'
hubungannya dengan eksekutif atau legislatif. Bagaimana bentuk kemesraan hubungan
ini? Mereka begitu mudah mengakses setiap proyek pemberdayaan masyarakat yang
diprogramkan Pemkab Kediri. Tetapi ada pula yang alergi untuk menjalin hubungan
dengan pengambil kebijakan. Kritik pedas selalu mereka lontarkan ke setiap program
yang dijalankan Pemkab Kediri. Situasi ini membuat eksekutif menutup pintu akses
informasi, maupun produk kebijakannya kepada CSO tipe seperti ini.
Kehadiran LGSP Jawa Timur mengubah semuanya. Serangkaian pembelajaran,
Kumpulan Pengalaman
88 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

pendampingan, dan advokasi LGSP bersama beberapa CSO, membuat mulai ada
kesatuan langkah antar CSO di kota tahu ini. Pada awalnya, mereka tidak tahu
bagaimana cara mengritisi planning dan budgeting. Melalui LGSP-lah pengetahuan dan
pemahaman mereka mulai tumbuh. Langkah CSO dari kabupaten/kota lain yang
mampu mensinergikan perbedaan diantara mereka dalam wujud forum warga, juga
menginspirasi CSO di Kabupaten Kediri. Lewat salah seorang inspiratornya, Guntur,
forum ini mereka namakan Rujak (Forum Jagongan Kadiri). Jagongan dalam bahasa
Indonesia bisa diartikan kumpul-kumpul atau kongkow-kongkow.

Rujak mulai menemukan kesamaan persepsi akan fokus aktivitas mereka. Diskusi
kecil tentang transparansi kebijakan di Kabupaten Kediri, kerap mereka lakukan sebulan
sekali. Berpindah tempat di rumah salah satu anggota Rujak, diskusi yang difasilitasi
oleh LGSP mereka adakan. Akhirnya sebagai “media belajar” mereka menetapkan
advokasi di bidang kesehatan. Jalinan kerjasama dan loby mereka lakukan ke Dinas
Kesehatan. Terbentuklah Pokja yang menangani program kesehatan ibu dan anak.

“Kami mendapatkan temuan bahwa bidang perencanaan dan penganggaran di bidang


kesehatan sangat lemah. Misalnya masih tingginya angka kematian ibu dan dan anak
serta anggaran di sektor ini masih minim hanya 8,6% dari keseluruhan anggaran di
APBD. Apalagi ini kan termasuk program wajib daerah yang terkalahkan oleh urusan
pilihan, misalnya perikanan yang besarannya mencapai 14%,” ungkap bapak dua putra
ini.

Hasil temuan ini mereka tuangkan dalam concept paper dan naskah akademik. “Kami
sandingkan hasil kami ini dengan draf SKPD dalam Sistem Kesehatan Kabupaten
(SKK) yang meskipun sudah jadi tapi masih belum sempurna. Ada kendala untuk
menjelaskan kepada SKPD apa pentingnya draf Raperda tentang SKK ini,” terang
pendiri PUSAR (Pusat Studi Advokasi Rakyat) ini.

Kendala lain yang dihadapi Rujak, memahamkan


“Banyak o rang anggota DPRD yang masih belum peduli terhadap
lebih meng harapkan
mengharapkan persoalan kesehatan. Melalui lobi dan penjelasan
And a mend engar
cerit anya d aripad a
ceritanya hasil temuan Rujak ke DPRD, mereka serahkan con-
mengabulkan cept paper, naskah akademik, dan legal drafting SKK
permint aannya”
permintaannya” ini sebagai input dan hak inisiatif dewan. “Yang
-Philip Stanhope- nampak memang terkesan Komisi D yang membuat
SKK ini, kami hanya mengkompilasi dan menganalisis
datanya menjadi naskah akademik. Bagi kami ini
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 89

bukan masalah besar,” ujar Guntur. Bisa


dikatakan, kemitraan yang sinergis
antara CSO, eksekutif, dan legislatif mulai
terjalin melalui Raperda SKK ini.

Untuk lebih menyempurnakan naskah


akademik dan legal drafting SKK ini, Rujak
mengadakan diskusi kelompok terfokus
(FGD) bersama para penerima dan
pemberi layanan kesehatan. Peserta
berasal dari perwakilan desa yang
ditetapkan sebagai Desa Siaga seperti
Kader Posyandu atau PKK. Juga
perwakilan swasta yang mendukung
pelayanan kesehatan seperti klinik atau
Ormas seperti Fatayat, Muslimat yang
sudah biasa diundang dinas kesehatan dalam setiap kegiatannya. Tujuan FGD ini tentu
saja menggali persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat di bidang kesehatan.“Bagi
kami ini merupakan sebuah kesuksesan. Tidak pernah terjadi selama ini di Kabupaten
Kediri, sebuah Perda disusun melalui tahapan yang kami lakukan seperti ini,” ungkap
laki-laki kelahiran Samarinda ini. Lewat metode ORIK, sebuah persoalan digagas dan
didiskusikan bersama tentu saja dengan prinsip base on data.

Hasil FGD akan dikompilasikan dan datanya bisa sebagai bahan FGD bersama pemberi
layanan kesehatan (provider). Meski masih terus disempurnakan, draf Raperda SKK
sudah dihasilkan atas sinergi tiga pilar good governance. Tahap selanjutnya menunggu
pembahasannya di tingkat Pansus DPRD. “Bola sekarang berada di Bupati, Raperda
sudah kami advokasi bersama dewan dan Dinkes. Komitmen Bupati yang kami tunggu,
karena pengalaman di Kabupaten Kediri ini sekitar 40 Raperda selama tahun ini belum
disahkan. Jadi kalau guyonan kami, ini bisa masuk rekor MURI,” cetus aktivis CSO
yang hampir 10 tahun beraktivitas ini.

Wujudkan Beberapa
Indikator Good Governance

Secara langsung atau tidak langsung, apa yang telah dilakukan fasilitator atau pelatih
LGSP telah menunjukkan adanya perwujudan tata kepemerintahan yang baik. Berikut
ini menunjukkan apa saja perubahan yang terjadi di beberapa wilayah dampingan LGSP.
Kumpulan Pengalaman
90 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

1. Partisipasi

Mukhlis Sufri, mitra LGSP SSRO bidang


Perencanaan Partisipatif memberi contoh, ia
telah melakukan asistensi Renja-SKPD dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Kota Palopo Sulawesi
Selatan bulan September 2008 lalu. Ketika
itu, peserta yang terlibat berasal dari berbagai
stakeholder seperti Bappeda Kota Palopo,
CSO, dan SKPD. Selain di Palopo, Mukhlis
mengaku juga telah melakukan asistensi
Renja-SKPD di Kabupaten Sorong, Papua
Barat.

Dari hasil asistensi yang dilakukan ternyata


penyusunan Renja-SKPD, RPJMD, dan RKPD di kabupaten/kota itu sudah cukup
partisipatif. Sehingga, diharapkan ke depan setiap pemerintah kabupaten/kota dapat
terus menyusun setiap program kerjanya secara partisipatif dengan melibatkan semua
stakeholders dan masyarakat. Jika Renja-SKPD, RKPD maupun RPJMD sudah
partisipatif maka secara otomotis perencanaan pembangunan, khususnya
pembangunan ekonomi lokal yang mandiri dapat diimplementasikan sepanjang pro-
gram ini sudah dimasukkan dalam Renja-SKPD, RKPD maupun RPJMD.

Meski demikian, Mukhlis mengakui bahwa belum ada penelitian mutakhir yang
dilakukan untuk mengukur sampai dimana para SKPD dan stakeholder terkait
menerapkan perencanaan pembangunan yang partisipatif itu. Sehingga, apakah rencana
pengembangan ekonomi lokal yang mandiri sudah tercantum dalam Renja-SKPD,
RKPD, maupun RPJMD belum diketahui pula. Karena itu, semua stakeholders perlu
terus melakukan evaluasi terhadap Renja-SKPD, RKPD maupun RPJMD.

Pengalaman Singo Maruto dan Gus Dudung penggagas Forum Reboan di


Kabupaten Probolinggo menunjukkan, partisipasi warga dalam perencanaan daerah
harus dimulai dari tingkatan desa/kelurahan. Caranya, dengan memperbaiki kualitas
pelaksanaan Musrenbang. Sebelumnya, tidak semua CSO memiliki akses mengikuti
pelaksanaan Musrenbang. Kalaupun mereka diundang, kehadirannya hanyalah sebagai
pengamat. Tidak ada peran aktif yang ditumpukan kepada mereka. Dengan kata lain,
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 91

mereka tidak pernah diminta untuk memandu jalannya Musrenbang tersebut. Selain
itu, kehadiran peserta sekedar formalitas untuk mengisi blangko yang sudah disiapkan
aparat kelurahan atau kecamatan. Mereka diminta mengisi kebutuhan di wilayahnya
masing-masing. Tidak ada diskusi yang membicarakan mengapa kebutuhan itu yang
diajukan, atau berapa plafon anggaran yang disediakan oleh pihak Pemkab untuk tahun
tersebut.

“Para aparat di desa sudah 'malas' melaksanakan Musrenbangdes. Sering lho mereka
ajukan usulan tahun sebelumnya ke kecamatan,” ujar Singo. Faktor yang mempengaruhi
mengapa hal ini terjadi, karena usulan dari desa sulit diimplementasikan dan didanai.
Usulan dari desa tertentu, bisa kalah dari usulan desa lain yang dititipkan ke anggota
legislatif (DPRD). Padahal usulan ini bisa jadi tidak sesuai dengan kebutuhan warga di
desa tersebut.

Pada saat Forum Reboan mengadakan pertemuan di kediaman Singo Maruto (berada
di Kecamatan Tegalsiwalan), tercetuslah ide untuk memperbaiki kualitas pelaksanaan
Musrenbang. Hal ini bisa dimulai dari kualitas pemandu atau fasilitator jalannya
Musrenbang tersebut. Beberapa aktivis CSO di
Forum Reboan, memiliki kapasitas dalam konteks
ini. Selama ini mereka telah mengikuti TOP yang
diselenggarakan oleh LGSP Jawa Timur. Jadi
peluang untuk memperbaiki kualitas pelaksanaan “Saat And a
mengeksploit asi sifat-
mengeksploitasi
Musrenbang berada ditangan mereka selaku sifat baik And a,
fasilitator. mulai meng hargai d an
menghargai
bersyukur at asnya,
atasnya,
banyak k eyakinan d an
Atas persetujuan dan hasil pembicaraan dengan pend apat negatif And a
Kepala Bappekab Probolinggo, direncanakan tent ang diri sendiri
tentang
untuk mengadakan percontohan (pilot project) akan r ontok d engan
sendirinya”
Musrenbang.Terpilihlah Kecamatan Tegalsiwalan
atas rekomendasi Bappekab Probolinggo. -Noelle C.Nelson & Jeannine
Langkah awal yang diambil Singo Maruto dan Lemare Calaba-
Gus Dudung adalah mempublikasikan adanya
Musrenbang kecamatan. Di enam titik strategis
di seputar Kecamatan Tegalsiwalan, mereka memasang spanduk berisikan ajakan bagi
warga masyarakat untuk mengikuti Musrenbangcam. Isi pesan spanduk yang berupa
diseminasi informasi ini, dikemas dalam versi bahasa Madura, bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia. “Sebelumnya tidak pernah ada pengumuman semacam ini, yang datang
Kumpulan Pengalaman
92 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

biasanya ya sebatas undangan yang ada.


Kami hanya ingin melihat sejauh mana
kesadaran masyarakat memikirkan
wilayahnya dan berpartisipasi di
Musrenbang kecamatan,” ujar Singo.

Tibalah pada hari-H pelaksanaan


Musrenbang di Kecamatan Tegalsiwalan.
Untuk mengidentifikasi persoalan dan
kebutuhan di masing-masing desa, Singo
memandu peserta untuk membuat
semacam pohon masalah. Tahapan ini
sebetulnya sudah harus diselesaikan
pada saat Musrenbang desa/kelurahan.
“Karena sewaktu menyusun
Musrenbangdes banyak desa yang asal-
asalan membuatnya dan menyerahkan sepenuhnya pada kecamatan, ya kami harus
mengulang pemetaan masalah yang ada di masing-masing desa/kelurahan,” kata Singo.
Setelah mendapatkan data dan persoalan di masing-masing desa, fasilitator membagi
kelompok peserta yang berasal dari perwakilan desa/kelurahan menjadi tiga bidang
(fisik sarana prasarana, ekonomi, dan sosial budaya).

Dari sejumlah usulan desa/kelurahan itu, diputuskan pada ketiga bidang untuk
menetapkan prioritas usulan pada program yang riil bermanfaat bagi masyarakat di
Kecamatan Tegalsiwalan. “Sebelumnya yang terjadi pada saat Musrenbang di kecamatan,
masing-masing desa menonjolkan ego desanya dan mempertahankan mati-matian
usulannya. Mereka tidak mempertimbangkan program apa yang betul-betul sesuai
kebutuhan masyarakat di kecamatan itu,” ungkap bapak berputra tiga orang ini.

Selaku fasilitator, Singo untungnya mampu 'melunakkan' sikap keras hati para wakil
desa yang sudah terbiasa muncul selama puluhan tahun pelaksanaan Musrenbang
kecamatan. “Di semua bidang pada awalnya mereka gontok-gontokan ingin usulan
program desanya yang diprioritaskan. Selaku fasilitator di bidang ekonomi pada saat
itu, saya tidak langsung mengarahkan harus begini atau harus begitu. Saya dengarkan
dulu apa dasar pemikiran masing-masing desa, ketika sudah mentok baru saya masuk
untuk memberikan pengertian,” tegas Singo.

Hasil diskusi masing-masing kelompok bidang dibahas kembali pada sidang pleno.
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 93

Proses ini tentu saja memakan waktu lebih panjang daripada pelaksanaan Musrenbang
sebelumnya. Biasanya penentuan prioritas usulan program telah dipilih oleh staf
kecamatan (dari hasil seluruh Musrenbangdes). Perwakilan desa pada saat Musrenbang
kecamatan hanya 'dimintai' persetujuan hasil ketiga kelompok bidang. Sehingga alokasi
waktu yang dibutuhkan tentu saja tidak lama. Tidak sampai makan siang, mereka
sudah membubarkan diri. Meski lebih panjang waktu pelaksanaannya, proses
Musrenbang di tangan Singo dan kawan-kawan selaku fasilitator menjadi lebih
'bermutu'. Peserta bisa merasakan proses diskusi yang sesungguhnya. Mereka diberikan
kesempatan untuk berpendapat. Mereka juga bisa berdebat 'cerdas' mengapa misalnya
usulan program non-fisik itu harus didukung. Alasan mengapa usulan itu cukup
ditangani oleh desa/kelurahan (baik secara swadaya maupun pemanfaatan Alokasi
Dana Desa). Atau berapa kemampuan anggaran di kabupaten tersebut, sehingga desa
atau kecamatan harus menetapkan prioritas usulan programnya. Pendeknya, hasil
Musrenbang kecamatan, diputuskan lewat cara yang partisipatif di tangan fasilitator
yang memahami betul bagaimana cara menerapkannya.

Keberhasilannya memfasilitasi Musrenbang kecamatan,


menginspirasi Forum Reboan untuk melakukannya di
Musrenbangdes. “Beberapa kepala desa sudah “Makin banyak cara
meminta kepada saya dan Forum Reboan untuk And a mengajari
mengelola Musrenbang di wilayahnya. Bahkan ada makin banyak o rang
yang And a jangkau”
Kades bersama BPD-nya yang berkeinginan menyusun
RPJMdes bersama kami dengan swadaya murni,” -P Collin Rose -
ungkap Singo yang sekitar sepuluh tahun ini aktif di
CSO Probolinggo.

2. Transparansi & Tegaknya Supremasi


Hukum (Rule of Law)

Contoh dari implementasi indikator ini ditunjukkan dengan niat baik (good will)
pemerintah kabupaten/kota (eksekutif) dan legislatif menetapkan Perda/Perbub/
Perwali yang memayungi partisipasi publik dan transparansi kebijakan Pemda. Tentu
saja kemunculan Perda ini difasilitasi oleh beberapa fasilitator atau trainer LGSP dalam
meningkatkan kompetensi dan kapabilitas CSO, DPRD, maupun eksekutif.

Ibrahim Fattah (Sulawesi Selatan) menilai, saat ini masih banyak keluhan masyarakat
tentang penyusunan dan penetapan APBD kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Padahal, proses penyusunan dan penetapan APBD itu telah melalui proses
Kumpulan Pengalaman
94 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Musrenbang, mulai dari tingkat desa/kelurahan sampai pada tingkat kabupaten/kota.


Namun faktanya, kepentingan masyarakat masih saja terabaikan dalam APBD.

Fakta menunjukkan, masyarakat telah mengusulkan berbagai program yang benar-


benar dibutuhkan namun setelah sampai pada pembahasan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) maka pada saat itulah segalanya bisa berubah. Sehingga, lain program
yang diusulkan masyarakat lain pula program yang diusulkan SKPD. Akibatnya,
masyarakat berpikir apriori bahwa Musrenbang hanya akal-akalan karena tidak mampu
mengakomodir kebutuhan masyarakat. Buktinya, program pemerintah daerah
kabupaten/kota tidak sinkron dengan program yang diusulkan masyarakat.

Dengan adanya masalah tersebut, jelas Ibahim, maka


di Kota Parepare Sulawesi Selatan, CSO mitra LGSP
memandang perlu untuk segera menyusun Rencana
Peraturan Daerah (Ranperda) Perencanaan dan
Penganggaran Berbasis Masyarakat (PPBM) Kota
Parepare. Gagasan tentang Ranperda PPBM ini sudah
mulai digulirkan sejak Februari 2008 dan sampai saat
ini Ranperda tersebut telah memasuki tahap
pembahasan di Bappeda. Diharapkan regulasi ini
memasuki tahap final pada Desember 2008.

Nantinya, pemerintah melalui SKPD dan masyarakat


masing-masing mendapatkan pagu indikatif anggaran.
Ada pagu indikatif berdasarkan wilayah yang
diperuntukkan program yang diusulkan masyarakat
dan ada pula pagu indikatif berdasarkan sektor sesuai
SKPD. Meskipun pagu berdasarkan wilayah yang diperuntukkan bagi masyarakat telah
disetujui nantinya, namun anggarannya tetap dititipkan pada SKPD terkait sebagai
pelaksana program. Dengan demikian hal ini akan meredam apriori masyarakat selama
ini tentang Musrenbang.

Telah disusun pula Strategi Pengurangan Kemiskinan Daerah (SPKD) Kota Parepare.
Berkorelasi integral dengan Ranperda PPBM karena itu setiap SKPD diharapkan
merujuk pada SPKD dalam menyusun Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah
(Renja-SKPD) berikutnya. Artinya, SPKD ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM). Regulasinya, RPJMD
nantinya dipayungi oleh Peraturan Daerah (Perda). Perda yang mengatur tentang
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 95

RPJMD ini memiliki sub bahasan tentang SPKD. Baik


Ranperda PPBM yang nantinya disahkan menjadi Perda
maupn SPKD memiliki posisi strategis yang penting dan
saling berkaitan untuk advokasi anggaran khususnya APBD Kunci untuk
Kota Parepare ke depan. Keberadaan Ranperda PPBM semua sis tem memo ri
sistem
ad alah:
dan Penyusunan SPKD Kota Parepare tidak terjadi begitu - Association
saja, tapi regulasi yang dinilai berpihak para masyarakat ini - Emphasis
tidak lepas dari peran aktif Ibrahim Fatta sebagai fasilitator - Or d er
- Unusual
maupun narasumber dalam setiap proses dan tahapan
regulasi tersebut. -Lex Mc kee The
Accelerated Trainer-
Contoh lain bisa kita lihat kembali dari apa yang telah
dilakukan Kadaryono bersama Aliansi CSO dalam
penyusunan Ranperda Transparansi dan Kebijakan
Publik di Kota Madiun, Singo Maruto dan Gus Dudung lewat Forum Reboan di
Kabupaten Probolinggo, dan lahirnya Perbup tentang Pelayanan Publik Paripurna di
Kabupaten Pinrang Sulsel yang diadvokasi oleh Rusman.

3. Keadilan (Equity)

Perwujudan dari penerapan indikator ini terlihat dari kebijakan pemerintah kabupaten/
kota yang :

- Memperkecil peluang kebijakan alokasi APBD yang menguntungkan kelompok


tertentu (local vested interest).
- Menetapkan program pembangunan dan memberikan akses untuk berpartisipasi
sebagai subyek pembangunan pada kelompok/komunitas yang selama ini
termarjinalkan misalnya perempuan, anak-anak, orang miskin, cacat (disable), atau
kelompok minoritas.
Pengalaman Hamidah dari Kota Mojokerto Jawa Timur kembali disajikan untuk mewakili
konteks ini. Pelatihan fasilitator Musrenbang bagi tokoh perempuan, membuktikan
perempuan bisa memimpin dan menjadi subyek perencanaan program-program
pembangunan. Selama ini perempuan tersubordinasi dan termarjinalkan dalam
pengambilan keputusan. Kebutuhan khas perempuan masih sering tidak terakomodasi
dalam APBD. Kondisi ketidakadilan ini dipicu oleh ketiadaan akses bagi perempuan
untuk datang dan menyuarakan kepentingannya. Bahkan, tidak ada peluang baginya
untuk memandu dan memimpin mekanisme perencanaan dan penganggaran.
Kumpulan Pengalaman
96 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Penyadaran terhadap kelompok termarjinalkan, juga


dilakukan oleh Krisdinar Sumadja. Sebagai pimpinan
pada Gugus Kerja Good Governance (GKGG) Laksaketi
Bandung, kegiatannya yang utama memfasilitasi
“Seperti buah apel kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan oleh
emas di ping gan
perak,begitulah kebijakan pemerintah. Kelompok-kelompok ini
perkat aan
perkataan yang didorong agar dapat menjadi subyek dari setiap
diucapkan pad a kebijakan atau peraturan. Tentu saja, ini bukanlah
situasi yang tepat”
pekerjaan mudah. Bagaimanapun juga kelompok-
-Raja Salomo -Israel- kelompok marjinal ini telah terbiasa merasa dirinya
“bukan siapa-siapa” dalam menentukan kebijakan
pemerintah. Mereka yang memiliki cacat fisik atau
mental, mereka yang bergerak dalam sektor infor-
mal dan kelompok lainnya cenderung apatis terhadap upaya pemerintah untuk
merubah nasib mereka. Peraturan atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, mereka
pandang sebagai sesuatu yang berada di luar “kapasitas” mereka untuk
mempengaruhinya.

Pandangan apatis seperti inilah yang disebut Krisdinar sebagai sikap menjadikan diri
sendiri sebagai obyek dari keputusan pemerintah. Seharusnya, setiap warga negara
tanpa terkecuali adalah merupakan subyek dari sebuah kebijakan. Maknanya, setiap
kebijakan yang diambil dalam satu sektor tertentu haruslah menjadikan semua pihak
yang berkaitan dengan sektor tersebut terdorong ke arah lebih baik, terdukung dan
disetarakan nilai tawarnya dalam kebijakan itu.

Memfasilitasi kelompok-kelompok ini menjadi semakin sulit manakala mereka


cenderung tidak mau “angkat bicara” tentang keinginan dan harapan mereka sendiri.
Belum terhitung mereka yang memang memiliki kendala untuk berpendapat: tak bisa
baca tulis, tak mudah mencerna gagasan, gangguan fisik atau mental dan masih banyak
lagi. Penguraian konteks dan penyepakatan komitmen partisipasi oleh peserta,
dilakukannya berbarengan. Hal ini membuat peserta yang semula voiceless ini, berani
mengungkapkan pendapatnya terhadap kebijakan Pemda yang tidak berkeadilan bagi
kelompok ini.

Pernah ada peraturan dari Pemerintah Kota Bandung yang tidak mempedulikan
kekurangan fisik atau mental dari kelompok tertentu. Peraturan tersebut telah pula
disahkan. Dalam sebuah FGD yang dihadiri oleh kelompok-kelompok yang
berkekurangan fisik dan atau mental, Krisdinar mengajak peserta untuk dapat melihat
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 97

konteks dari kehadiran mereka serta


menggalang komitmennya untuk
berpartisipasi.

Krisdinar menggali hingga peserta faham


bahwa peraturan telah disahkan dan mau
tak mau mereka harus mematuhinya
sebagai posisi obyek. Mereka harus
berdiskusi agar mereka tidak tergilas oleh
kehendak dari peraturan tersebut.
Mereka harus menyusun langkah dan
rencana secara matang, seksama dan
bersama-sama agar dapat menemukan
“sisi untung”dari peraturan itu. Disana,
ia mengajak pula peserta untuk
memahami bahwa jika mereka tidak
berpendapat atau bersikap atau
berencana, maka di waktu yang akan
datang, setiap kebijakan akan sama sekali
tidak memandang “keterbatasan” mereka.
Mereka akan “diseragamkan” dengan kelompok yang tak butuh “menjadi berbeda”.
Penyeragaman tentu saja membuat mereka menjadi tak setara dengan kelompok lain.

4. Daya Tanggap (Responsiveness)

Contoh dari perwujudan indikator ini ditunjukkan oleh Armyn Daulay dari Medan.
Pemerintah Kota Tebing Tinggi di Provinsi Sumatera Utara mengungkapkan dalam
visinya bahwa meningkatkan pelayanan bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sama
pentingnya dengan perbaikan terhadap layanan pendidikan dan kesehatan.
Peningkatan itu diarahkan agar layanan dapat dilakukan secara cepat dan terjangkau.
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Tebing Tinggi
dengan sigap segera membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Peningkatan Pelayanan UKM.
Tim Pokja PP UKM terdiri dari SKPD, Anggota Dewan, perwakilan UKM dan CSO.
Pokja ini dibebani tugas untuk memikirkan cara-cara mengelola pelayanan terhadap
UKM dan membantu UKM untuk mengembangkan diri mereka. Pokja merasa
pemerintah kota akan segera mendapat masalah jika bekerja tanpa mitra. Jumlah staf
yang ada di Disperindagkop tidak sebanding dengan jumlah UKM yang harus dibina
yang mencapai 3000 unit lebih.
Kumpulan Pengalaman
98 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Pokja dengan cepat berkaca pada apa yang telah


terjadi selama ini. Meskipun telah tercantum
dalam uraian visi dan misi Walikota Tebing Tinggi,
“And a d apat akselerasi yang menggerakkan unit-unit ekonomi
memper oleh segala
yang And a inginkan kerakyatan tidak pernah terlihat. Visi ”pak Wali”
d alam hidup jika seolah-olah hanya gurauan yang garing. Saat itu,
menolong o rang
rang,, Pokja pun tidak mengerti benar cara
cukup banyak o rang
mend apatkan apa memberdayakan UKM. Konsep-konsep yang
yang mer eka mereka coba telurkan bukanlah mudah untuk
inginkan”” diterapkan; dibutuhkan adanya jiwa wirausaha
-Zig Ziglar- untuk membina UKM. Ini berarti harus ada
”jembatan” untuk menghubungkan kebutuhan
usaha kecil dan menengah yang ada dengan
kebijakan pemerintah. ”Mitra” adalah satu solusi
yang muncul di benak anggota Pokja. Bagaimanapun, pembinaan terhadap UKM boleh
dilakukan oleh kelompok yang non pemerintah. Sementara itu, UKM juga terbatas
sumber dayanya untuk mengelola wadah tersebut.

Pokja kemudian bermusyawarah dengan LGSP Sumatera Utara untuk mengatasi


persoalan ini. Musyawarah tersebut menghasilkan satu kesimpulan bahwa harus ada
lembaga yang independen dan berisi orang-orang profesional untuk membantu
Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam meningkatkan layanan bagi usaha-usaha kecil
dan menengah yang sudah ada.

Ide-ide tentang bagaimana memperkuat komunitas pengusaha kecil dan menengah di


Kota Tebing Tinggi digali dengan metode lokakarya. Hasilnya sungguh luar biasa. Begitu
semua peserta menyadari bahwa usulan mereka besar nilainya, maka ada banyak
sekali gagasan yang muncul. Berdasarkan hasil pertemuan itu dan beberapa pertemuan
lanjutan untuk mengembangkan ide yang ada, dirumuskanlah langkah-langkah untuk
membantu UKM. Nama Klinik Bisnis yang disingkat jadi Klibi juga ditemukan dengan
metode Lokakarya. Visi, misi dan proses rekrutmen yang dilakukan dirumuskan
menggunakan metode lokakarya.

Telah tiga bulan klibi berjalan, sejak dilantik pada akhir Juli 2008 yang lalu. Rasa memiliki
Pemkot dan pengurus Klibi terlihat masih sangat tinggi. Segala langkah dan keputusan
di dalam Klibi diambil dengan cara partisipatif dan menyenangkan. Hal inilah yang
menurut Armyn Daulay menjadi ”nyawa” bagi Klibi. Lembaga baru ini juga
Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman 99

menyebabkan Kota Tebing Tinggi dijadikan acuan bagi model pengembangan UKM di
kabupaten lain.

Contoh senada juga ditunjukkan oleh Ma'galatung ketika memfasilitasi terbentuknya


Klinik Usaha Turatea (Klisea), di Kabupaten Jeneponto, Sulsel. Klisea adalah suatu
lembaga independen multistakeholder yang bertujuan untuk memberdayakan Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten yang berpenduduk sekitar
327.788 jiwa berdasarkan Sensus 2004 ini.

Keseriusan pemerintah serta seluruh stakeholder bidang UMKM di Jeneponto bukan


sekedar isapan jempol belaka. Terbukti, keberadaan Klisea setidaknya telah mendapat
dukungan kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Jeneponto. Hal ini ditandai dengan
terbitnya Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 15 Tahun 2007 tentang Pemberdayaan
Usaha Mikro di Kabupaten Jeneponto.

Pendek kata, urai Ma'galatung, pelatihan dengan pendekatan partisipatif terbukti efektif
dalam menggali informasi yang lebih banyak dari peserta. Sebagai faktanya, Ma'galatung
menegaskan bahwa proses terbentuknya Klinik Usaha Turatea (Klisea) di Kabupaten
Jeneponto juga telah menggunakan pelatihan yang partisipatif. “Alhamdulillah, saat ini
Klisea telah memiliki unit-unit kerja sampai pada tingkat kecamatan di Jeneponto.
Kita berharap dengan adanya Peraturan Bupati tentang UMKM di Jeneponto mampu
mengefektifkan anggaran pemberdayaan UMKM,” harap Ma'galatung.

Selain dari Pemerintah Kabupaten Jeneponto, kata Magga, sumber pendanaan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat khususnya UMKM juga diharapkan dari perbankan
dan pihak swasta. Sehingga, peningkatan kesejahteraan masyarakat di Jeneponto tidak
sekedar mimpi tapi menjadi kenyataan.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Fasilitasi d an
pelatihan partisipatif
ad alah dunia
penuh keajaiban”
Kumpulan Pengalaman
103 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Apa yang tersaji dari seluruh uraian buku


ini, minimal diharapkan dapat menginspirasi
Anda lebih matang mempersiapkan diri.
Terutama dalam merencanakan sikap dan
keterampilan dasar, yang harus
'diingatkan dan dioptimalkan' kembali.
Ingat, jika perencanaan kita sudah
mantap, lebih dari separuh
keberhasilan sudah membentang di
depan mata.

Kunci dari semua paparan buku ini adalah


PENDEKATAN PARTISIPATIF. Pendekatan
yang wajib dan telah digunakan oleh para
fasilitator atau pelatih LGSP. Pendekatan ini
diharapkan mampu memberdayakan potensi
khalayak/peserta fasilitasi, yang terbenam
atau dibenamkan oleh tembok penghalang
yang selama ini membelenggu. Lalu, bagaimana
hasilnya?

Pembaca tentunya sudah mendapatkan beberapa tips dan pembelajaran dari buku
ini. Ketika fasilitator/pelatih telah berusaha menjalankan proses-proses yang
partisipatif, terjadi perubahan pada diri peserta/khalayak. Perubahan ini beragam
tatarannya. Ada yang tergagap-gagap, menerima gaya penyampaian atau metode fasilitasi
yang menurutnya belum pernah dijumpainya. Sikap awal peserta, metode ini
membutuhkan waktu lama dan proses yang berliku. Bagi yang sebelumnya suka
mendominasi penyampaian pendapat, akan merasa terkebiri kemampuannya.

Sebaliknya, bagi peserta yang cukup terbuka dan berkomitmen berproses selama
fasilitasi akan bersikap lain. Mereka merasa tidak sedang digurui dan diceramahi. Semua
memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan gagasannya. Materi seputar
perencanaan atau penganggaran misalnya, menjadi lebih mudah dipahami. Merekalah
yang menjadi subyek dan penentu keberhasilan program peningkatan kapasitas diri
dan kelompoknya. Juga beberapa energizer dan permainan yang diterapkan fasilitator,
mampu merangsang/membangkitkan kegairahan peserta menjalani seluruh tahapan
pelatihan atau lokakarya.
Penutup 104

Indikator lain keberhasilan pendekatan partisipatif, semua pilar tata kelola


pemerintahan daerah yang baik merasa ikut terpacu mewujudkannya. Pembaca bisa
membuktikannya dari perubahan yang terjadi di beberapa daerah. Lewat
pendampingan Service Provider LGSP, proses perencanaan menjadi lebih akomodatif
menggali aspirasi masyarakat. Fasilitator perencanaan pembangunan lewat
Musrenbang semakin meningkat. Tidak sekedar secara kuantitas, tetapi juga makin
menajamkan kualitas proses Musrenbang.

Beberapa peraturan daerah (Perda) juga dihasilkan melalui serangkaian proses-proses


partisipatif. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) makin cerdas mengkritik produk
kebijakan Pemda. Lewat analisa APBD misalnya, OMS mendesakkan naskah akademik
ke eksekutif atau legislatif. Bahkan, kelompok masyarakat marjinal (miskin, cacat, buta
huruf, berkebutuhan khusus dan perempuan) ditumbuhkan kesadaran untuk
menyuarakan kebutuhannya dan berpartisipasi memajukan daerahnya.

Hasil 'sentuhan' para pelatih di bidang penganggaran, telah menempa kemampuan


teknis staf pengelola akuntansi dan keuangan pemerintah kabupaten/kota. Proses
penganggaran makin partisipatif, ketika akses publik makin terbuka. Semakin meningkat
pula kesadaran Pemda untuk mengalokasikan anggaran yang pro-poor, pro-gender, dan
pro kelestarian lingkungan.

Munculnya kesadaran untuk memayungi program pelayanan publik dengan regulasi,


juga dirumuskan dengan pendekatan partisipatif. Bahkan, orientasi pelayanan publik
yang lebih baik (better public service delivery) oleh Pemda, telah menempatkan publik
tidak hanya sebagai obyek (klien jasa pelayanan semata), tetapi juga sebagai
warganegara yang aktif (active citizen). Publik memiliki hak untuk mengetahui bagaimana
kebijakan mengenai jenis pelayanan tertentu dibuat, mendapatkan pelayanan prima,
dan berpartisipasi dalam pengawasan kinerja lembaga
penyedia layanan publik. Citizen Charter sebagai
contohnya, dirumuskan dengan melibatkan SKPD
penyedia layanan dengan perwakilan warga sebagai “Setiap pesulap
tahu, did epan
pengguna. khalayak ia ber dus
dustta,
kar ena dus
dustta itu
Pendekatan partisipatif ternyata tidak hanya dapat mengasyikkan pad a
hadirin.”
diterapkan atau berlaku pada bidang-bidang tertentu
saja. Pembaca bisa mendapatkan pembelajaran, -Goenawan Mohammad-
beberapa fasilitator atau trainer, juga telah mencoba
menerapkan pendekatan partisipatif di tempat
Kumpulan Pengalaman
105 Jejak Langkah Perubahan
Menerapkan Pendekatan Partisipatif

kerja atau komunitasnya. Proses perkuliahan menjadi menyenangkan di mata


mahasiswa. Sekolah pun bisa menyusun Renstra dan program kerjanya, melalui proses
yang lebih akomodatif dan 'penuh keceriaan'. Jadi, fasilitator pun mendapatkan banyak
pelajaran dari pendekatan partisipatif yang telah dipraktekkannya.

Singkatnya,

fasilitasi dan pelatihan partisipasif adalah dunia penuh keajaiban.

Semua tantangan dan kendala sudah barang pasti akan Anda hadapi. Kiat yang
ditunjukkan oleh fasilitator dalam menghadapi hal ini, bisa Anda adopsi.
Seperempat, setengah, bahkan bisa total seluruhnya. Akan tetapi akan lebih baik lagi,
jika Anda mampu memodifikasi dan mengembangkannya lebih lanjut lagi. Selalu
perbanyak jam terbang Anda memfasilitasi beraneka jenis karakter peserta. Keluarlah
dari 'zona nyaman' dan jangan cepat berpuas diri ketika usai memfasilitasi. Artinya,
selalu berusahalah memperbaiki kualitas proses yang telah Anda jalankan. Juga
selalu ciptakan perubahan pada komunitas yang Anda hadapi. Ingatlah :

'Ada atau Tiadanya Anda tetapi Tidak Menciptakan Perubahan, maka


Lebih Baik Anda Tidak Ada'
Kumpulan Pengalaman Menarik 105
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
106 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Rencanakan Pembangunan
dengan Partisipative Approach
Oleh: Mukhlis Sufri

Langit di atas Kota Makassar diselimuti awan tipis. Matahari tidak terlalu terik. Seorang
dosen sedang mengajar di ruangan kelas paling ujung di lantai dua gedung perkuliahan
Program Pasca Sarja Universitas Muslim Indonesia UMI Makassar. Dosen itu adalah
Dr. Mukhlis Sufri, M.Si.

Usai menyampaikan mata kuliahnya, ia menyambut penulis dengan hangat. Kami


akhirnya memilih untuk berbincang di kafe di lantai dasar gedung. Sebagai seorang
Service Provider (SP) bidang ekonomi, penyandang gelar doktor dari Universitas
Airlangga ini begitu bersemangat memberi berbagai penjelasan berkaitan dengan
ekonomi.

“Selama ini Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD) maupun Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) disusun secara top down, tidak disusun secara partisipatif.
Hal ini tentu saja menjadi masalah karena program yang top down itu belum tentu
sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” katanya.

Seharusnya, jelas Pak Mukhlis, panggilan Dr. Mukhlis Sufri, M.Si setiap program yang
dicanangkan bersifat bottom up, dari bawah ke atas. Paling tidak seperti pola
Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Hanya saja, Musrenbang juga
kadang tidak efektif karena usulan masyarakat dari tingkat desa biasanya dipotong
pada tingkat yang lebih tinggi. Hal ini menjadi indikator bahwa sebagian besar
pemerintah daerah belum menerapkan pola perencanaan pembangunan yang
partisipatif.

Karena itu, imbuh Mukhlis, kehadiran LGSP-USAID yang menekankan pentingnya


Kumpulan Pengalaman Menarik 107

penyusunan RKPD dan Renja-SKPD maupun RPJMD yang partisipatif memberi angin
segar bagi perwujudan rencana pembangunan yang partisipatif itu. Pendekatan
partisipatif atau participatory approach itu dimulai dari pelatihan yang dilaksanakan
LGSP.

Selama ini, ungkap Mukhlis, ia telah mengaplikasikan participatory approach itu kepada
peserta pelatihan Orientasi dan Penguatan Kompetensi Teknik Penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah
(Renja-SKPD) yang telah dilaksanakan di beberapa kabupaten/kota.

“Pendekatan partisipatif ini ternyata berhasil membuat peserta lebih bersemangat


dan tentu saja mengetahui bagaimana menyusun program pembangunan yang
partisipatif, khususnya bagaimana cara menyusun rencana pembangunan ekonomi
lokal yang lebih mandiri. Itu bidang spesialis saya,” tandasnya.

Dalam setiap pelatihan, Mukhlis mengaku menggabungkan beberapa metode. Misalnya,


metode presentasi melalui infocus. Setelah itu, harus dilanjutkan dengan metode diskusi
kelompok secara partipatif.

“Karena infocus hanya cocok untuk menyampaikan gagasan satu arah, sementara
diskusi partisipatif mampu memunculkan berbagai pendapat dari multi arah. Dalam
kondisi seperti ini seorang SP tinggal mencocokkan setiap gagasan yang muncul sesuai
aturan yang benar,” jelas Mukhlis.

Selain menggunakan metode presentasi dan diskusi kelompok yang partisipatif, bapak
kelahiran Kota Palopo ini juga sering melakukan assessment pendapat peserta dengan
mencatat setiap pendapat di kertas plano.

Selain melakukan assessment, Mukhlis juga menggunakan kertas plano untuk


memberikan penjelasan-penjelasan tambahan jika ada pertanyaan peserta yang
membutuhkan penjelasan. Sementara untuk menggali pemahaman peserta dilakukan
dengan cara membagikan metaplan. Selanjutya peserta akan menuliskan gagasan
mereka. Gagasan tersebut kemudian didiskusikan bersama.

“Pada jam-jam tertentu peserta mulai jenuh dan kurang bersemangat mengikuti
pelatihan, saat inilah perlu diberikan games untuk mencairkan suasana,” terang Mukhlis.

Meski demikian Mukhlis mengaku tidak terlalu piawai menggunakan game dalam
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
108 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

menyajikan materinya. Sehingga bukan dirinya yang memberikan permainan-


permainan tapi fasilitator lain yang lebih memahami bagaimana cara memberikan games
itu.

Bagi Mukhlis, diskusi kelompok yang partisipatif lebih efektif memaksimalkan gagasan-
gagasan peserta pelatihan. Namun tentu saja sebelum diskusi, peserta perlu diberikan
pemahaman dasar melalui presentasi, misalnya presentasi tentang bagaimana
merencanakan pembangunan ekonomi lokal yang mandiri.

Kekuatan diskusi partisipatif itu, nilai Mukhlis, terletak pada peran aktif setiap peserta.
karena setiap orang bebas berpendapat. Sementara jika pendapat peserta kurang
benar maka akan dibenarkan bersama oleh peserta lain. Narasumber ahli tinggal
melakukan penyesuaian sesuai teori yang benar.

“Disinilah dibutuhkan peran seorang SP atau tenaga ahli yang mengetahui persis
materi yang didiskusikan. Karena jika tidak ada sumber yang ahli, bisa saja pendapat
yang kurang benar juga menjadi acuan dalam pembuatan program. Kan, bisa rancu.
Jadi tetap dibutuhkan tenaga ahli. Hanya sifat tenaga ahli itu bukan lagi sebagai sumber
satu-satunya,” tandas Mukhlis.

Intinya, Mukhlis menyadari bahwa ia telah mendapat metode mengajaran yang baru
dalam menyampaikan materi kepada peserta maupun kepada mahasiswa. Pendekatan
partisipatif ini juga akhirnya mempengaruhi metode pengajarnnya sebagai seorang
dosen.

Apakah pendekatan partisipatif itu efektif? Mukhlis menjawab,“Ya.” Alasannya, peserta


pelatihan yang berasal dari SKPD pemerintah kabupaten/kota, legislatif dan stake-
holder lainnya terbukti mampu membahas dan memberi penyelesaian masalah yang
diberikan. Artinya, pengetahuan para peserta pelatihan tersebut telah mengalami
peningkatan kapasitas. Sehingga, ketika mereka kembali bekerja pada instansi mereka
masing-masing maka mereka telah mampu menyusun program kerja yang lebih
partisipatif.

Mukhlis memberi contoh bahwa ia telah melakukan asistensi Renja-SKPD dan


Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palopo Sulawesi
Selatan bulan September 2008. Ketika itu, peserta yang terlibat berasal dari berbagai
stakeholder seperti Bappeda Kota Palopo, CSO, dan SKPD. Selain di Palopo, Mukhlis
mengaku juga telah melakukan asistensi Renja-SKPD di Kabupaten Sorong.
Kumpulan Pengalaman Menarik 109

Dari hasil asistensi yang dilakukan ternyata penyusunan Renja-SKPD, RPJMD, dan
RKPD di kabupaten/kota itu sudah cukup partisipatif. Sehingga, diharapkan ke
depannya setiap pemerintah kabupaten/kota dapat terus menyusun setiap program
kerjanya secara partisipatif dengan melibatkan semua stakeholders dan masyarakat.

Jika Renja-SKPD, RKPD maupun RPJMD sudah partisipatif maka secara otomatis
perencanaan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi lokal yang mandiri
dapat diimplementasikan sepanjang program ini sudah dimasukkan dalam Renja-SKPD,
RKPD maupun RPJMD.

Meski demikian, Mukhlis mengakui bahwa belum ada penelitian mutakhir yang dilakukan
untuk mengukur sampai di mana para SKPD dan stakeholder terkait menerapkan
perencanaan pembangunan yang partisipatif itu. Sehingga apakah rencana
pengembangan ekonomi lokal yang mandiri sudah tercantum dalam Renja-SKPD,
RKPD, maupun RPJMD belum diketahui pula. Karena itu, semua stakeholders perlu
terus melakukan evaluasi terhadap Renja-SKPD, RKPD maupun RPJMD.

Dalam kaitannya dengan perwujudan good governance (GG), Mukhlis Sufri menekankan
perlunya setiap regulasi disusun secara partipatif. Karena program yang disusun
secara partisipatif dan melibatkan seluruh stakeholder terkait jelas akan mempercepat
perwujudan GG tersebut.

“Salah satu prinsip good governance itu, kan partisipatif. Jadi sebuah pemerintahan
harus partisipatif dalam menyusun perencanaan pembangunannya. Bahkan dalam
melakukan kontrol pun, harus dilakukan secara partisipatif juga,” tegasnya.

Selain melakukan asistensi Renja-SKPD, RKPD, maupun RPJMD di beberapa kabupaten


dan kota Mukhlis mengaku juga telah menjadi narasumber untuk penyusunan
Peraturan Daerah (Perda), seperti Perda Perencanaan Pembangunan Daerah di
Kabupaten Pinrang, Perda Perencanaan Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan, Perda
Aset-aset Daerah Sulawesi Selatan, Perda Pengembangan Kawasan Kota Makassar,
dan beberapa kegiatan lain. Pada kesempatan itu, Mukhlis mengaku tetap menggunakan
pendekatan partisipatif. (sim)
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
110 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Kisah Memfasilitasi:
Aib yang Membawa Berkah
Oleh: Rutiana

Di dalam ranah fasilitasi, jangan pernah menyerah ketika belajar, buka hati dan buka
mata dalam memberikan pelayanan optimal pada audience.

Bagi wanita yang telah dikaruniai dua anak dan pada saat ini menjadi dosen pengajar
perencanaan wilayah UNS Solo, dunia fasilitasi bukan hal yang asing lagi. Tetapi apakah
dalam perjalanan pengalamannya berjalan dengan lancar?

Ternyata tidak. Bahkan Rutiana selalu mengingat ketika pelatihan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. “ Kala itu merah muka saya
serasa tidak kunjung hilang meski berminggu-minggu telah berlalu”, tuturnya.

“Malu! Tidak becus memfasilitasi…!!,”gumamnya. Bahkan terus saja terngiang di


telinganya ketika peserta pelatihan memberikan komentar pedas pada akhir sesi.
“Sebenarnya kita itu mau diapakan di pelatihan ini? Undangannya menyusun SPM,
saya tunggu-tunggu selama tiga hari tidak muncul juga jawabannya, Bagaimana saya
bisa menyusun SPM?”

“Waktu itu respon emosional saya mau mundur saja sebagai service provider LGSP,”
kenangnya.

Setelah kejadian itu, dalam suasana hati yang tak lagi gundah, Rutiana mencoba
mengurai satu persatu peristiwa yang dirasakannya sebagai sebuah aib. “Benarkah
saya tidak mampu memfasilitasi pelatihan? Sementara penugasan LGSP selalu ada”.
Dalam hati Rutiana berjanji, bahwa dia harus melakukan perbaikan. Pengalaman di
Kabupaten Sukoharjo adalah pengalaman yang tidak dia lupakan, dan sekaligus tidak
akan diulanginya.
Kumpulan Pengalaman Menarik 111

Menurutnya, kegagalan memfasilitasi di Kabupaten Sukoharjo tentang penyusunan


SPM disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya :
• Informasi yang diperoleh bersifat sepihak (yang dianggapnya berkompeten dengan
pelatihan itu) tentang tujuan dan output pelatihan,
• Tidak melakukan konfirmasi ulang pada District Coordinator (DC) LGSP tentang
background munculnya kebutuhan dalam pelatihan itu,
• Tidak melakukan konfirmasi kepada peserta apakah rancangan pelatihan yang telah
disusun sesuai dengan kebutuhan peserta,
• Tidak mempunyai gambaran tentang background peserta,
• Tidak mempersiapkan beberapa alternatif metode apa bila skenario dipersiapkan
tidak sesuai dengan harapan para peserta,
• Kebutuhan audience tidak diperhatikan ketika menyiapkan materi, dan hanya terpaku
pada arahan teknokratis pada sumber yang dianggap tahu tentang pelatihan ini.

Dari perenungan di atas, Rutiana mengubah strategi dan cara berpikir ketika akan
melakukan fasilitasi lagi, di antaranya;
• Menguasai materi sebagai modal teknis,
• Mempersiapkan teknik fasilitasi dengan berbagai alternatif yang membuat peserta
senang,
• Mempersiapkan modul bagi peserta, termasuk bahan latih yang akan diberikan pada
peserta,
• Selalu mengembangkan inovasi fasilitasi dengan mengedepankan pendekatan
partisipatif seperti pendekatan yang digunakan oleh LGSP,
• Memberikan game pada sesi-sesi tertentu yang disesuaikan dengan alur pelatihan,
• Selalu berpenampilan menarik dan percaya diri yang berdampak pada pengembangan
pribadi yang penuh empati,
• Mencontoh pengalaman-pengalaman menarik lain dari teknik fasilitasi yang dilakukan
oleh LGSP.

Selain beberapa hal di atas, Rutiana juga memulai persiapan dengan mengumpulkan
berbagai sumber informasi dari pihak yang dianggap kompeten tentang latar
belakang munculnya kebutuhan pelatihan, arah pelatihan yang diharapkan, output yang
ditargetkan dan potret diri peserta. Pengenalan latar belakang peserta bagi Rutiana
akan sangat membantu ketika diperlukan persiapan pada titik-titik kritis yang akan
menjadi fokus pelatihan, tanpa mengurangi kerangka utuh substansi yang seharusnya
disajikan.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
112 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Dalam setiap pelatihan Rutiana selalu mengawali dengan menjajaki harapan peserta
terkait dengan materi pelatihan, lalu disandingkan dengan arah global dan output yang
diharapkan dari setiap bagian materi utama. “Saya minta klarifikasi dari peserta, siap
dengan segala resiko, putar haluan dari rencana “A” ke rencana “B”, jikalau peserta
menghendaki dengan tetap membantu peserta berada dalam koridor kebutuhan
utama pelatihan”, tuturnya. Lebih lanjut Rutiana menyampaikan bahwa dengan
mengubah cara berpikir yang sekaligus mengubah sikap percaya dirinya, maka
penguasaan materi latih dengan semua kemungkinan yang bisa saja terjadi telah
diantisipasi, tentu saja dalam keterbatasan kapasitas kompetensi yang dimilikinya.

Dengan raut wajah yang bersemangat, Rutiana menuturkan strategi di atas disajikan
pada pelatihan RPJM Desa, di kabupaten yang sama, dengan peserta sama dengan
yang hadir pada waktu pelatihan SPM. Reaksi peserta di akhir pelatihan bertolak 180
dibandingkan dengan reaksi peserta pada waktu pelatihan SPM.

“Apa yang saya rasakan? Saya lega, saya bersyukur pernah gagal, saya bersyukur pernah
malu, dan saya bersyukur dapat memperbaiki kegagalan saya. Tidak selamanya malu
dan gagal membuat dunia buntu”, tambah Rutiana, mengakhiri perbincangan.
Kumpulan Pengalaman Menarik 113

Inovasi Metode Pembelajaran


dalam Studio Proses
Perencanaan
Oleh: Artiningsih/Soetopo

Pembelajaran di perguruan tinggi selama ini masih berorientasi pada model pembelajaran
Teacher Centre Learning. Pembelajaran satu arah yang lebih banyak menyampaikan teori.
Dampaknya, mahasiswa pun menjadi pasif

Salah satu cara yang dilakukan Artiningsih, Dosen Perencanaan Wilayah Kota, Uni-
versitas Diponegoro (Undip) Semarang ini, berinovasi dalam menyusun strategi
pembelajaran, agar tercipta suasana proses pembelajaran yang lebih interaktif dan
menarik. Kompetensi mahasiswa bisa meningkat dalam mengaplikasikan dasar proses
sebuah perencanaan yang selalu kontekstual dengan perkembangan terkini.

Pada awalnya, langkah yang pernah dilakukannya dengan sesekali melakukan diskusi
kelompok. Namun upaya yang dilakukannya belum mampu menciptakan perubahan
situasi. Mahasiswa masih saja enggan untuk berpartisipasi aktif mengeksplorasikan
gagasan-gagasannya.

Artiningsih merasa beruntung pernah terlibat dalam berbagai pelatihan yang


diselenggarakan oleh LGSP, di antaranya teknik fasilitasi yang efektif. Salah satu yang
dikembangkan oleh Artiningsih adalah Metode Bertanya (ORIK) dan Metode
Lokakarya (diskusi dengan menggali gagasan, menjaring dan menyepakati gagasan).
Hal menarik lain yang dikembangkan oleh Artiningsih, menggunakan media gambar
dalam mata kuliah “Studio Perencanaan”.

Menurut Artiningsih, “Mata kuliah Studio Perencanaan ini memberikan bekal bagi
mahasiswa aplikasi instrumen perencanaan untuk mengidentifikasi potensi dan masalah
pada suatu kawasan perencanaan”. Salah satu penugasan yang diberikannya, meminta
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
114 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

mahasiswa secara berkelompok memahami wilayah studi dengan menggambarkan


peta. Tiap kelompok melakukan kajian literatur dan mengidentifikasi hal-hal unik yang
ada dalam wilayah amatan. Pemahaman kelompok terhadap wilayah amatan tersebut
kemudian digambarkan dalam kertas plano secara spasial berikut atribut yang ada.
Indikasi potensi dan permasalahan dari daerah amatan dituangkan dalam gambar, baik
menggambar sendiri maupun menggunting gambar-gambar tertentu dari majalah/koran.
Jikalau potensi pada kawasan amatan adalah penghasil buah-buahan atau kegiatan
pariwisata, semuanya disampaikan dalam bentuk gambar.

Mahasiswa juga diberi kebebasan untuk menggambar di kertas plano maupun papan
tulis. Selain spidol warna, boleh juga menggunakan pensil warna atau kertas metaplan
yang berwarna-warni. Setelah 60 menit dari alokasi waktu yang disediakan untuk
mengerjakan amatan wilayah selesai, metode yang dipergunakannya adalah “Round
Robin”. Tiap kelompok diminta menunjuk perwakilannya untuk menyampaikan hasil
kerja kelompoknya pada anggota kelompok lain yang datang sebagai tamu dalam sesi
'penyerbukan' (pemberian asupan). Asupan atau pertanyaan oleh tamu ditulis dan
direkap oleh kelompok tuan rumah. Hasil rekap ini dimanfaatkan sebagai input untuk
menyempurnakan peta hasil amatan kelompok. Pada akhir sesi, masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil pemahaman wilayah studinya dan penyempurnaan
peta amatan yang dihasilkan dari hasil penyerbukan.

Dari pengalaman inovasi metode pembelajaran yang dilakukannya, Artiningsih meyakini


pembelajaran dengan menggunakan media gambar dapat menciptakan suasana belajar-
mengajar menjadi menarik. Mahasiswa menjadi antusias, diskusi kelompok maupun
antar kelompok menjadi aktif. Terdapat pembagian peran yang jelas antar anggota
kelompok. Misalnya ada yang bertugas menggambar, memikirkan transformasi tulisan
dalam bentuk gambar yang lebih komunikatif, mengkaji literatur berupa data statistik,
profil daerah atau informasi dari peta digital.

Dengan inovasi metode pembelajaran ini, menurut Artiningsih, pada saat tertentu
dosen tidak sepenuhnya berperan sebagai nara sumber. Dosen juga berperan sebagai
fasilitator, termasuk memberikan refleksi terhadap proses pembelajaran yang dilakukan.
Bahkan mahasiswa dapat merasakan, proses pemahaman wilayah studi menjadi hal
yang menyenangkan. Proses penyerbukan dirasakan 'mengejutkan' dan sekaligus
menyenangkan, karena harus berkeliling ke kelompok lain, memberikan koreksi,
perbandingan amatan maupun komentar lain. ”Dulu dalam pengajaran satu arah hanya
dilihat pada hasil akhir (penyerapan substansi), kalau sekarang dengan metode ini
bisa langsung dilihat dari hasil eksplorasinya”, tutur Artiningsih dengan penuh semangat.
Kumpulan Pengalaman Menarik 115

Pada mata kuliah Seminar dan Kolegium sebagai tahap persiapan mahasiswa menyusun
Tugas Akhir, Artiningsih juga menerapkan peta pikiran (mind map) dalam mencurahkan
sebuah gagasan. Metode ini dipergunakan bagi mahasiswa yang telah lulus mata kuliah
Metode Riset, diharapkan dapat menyusun tugas ke lapangan. Para mahasiswa diminta
untuk menggambarkan peta pikirannya atas pemahaman wilayah studi yang ada pada
sesi sebelumnya. Mahasiswa diminta untuk duduk sesuai dengan kelompok wilayah
amatan, kemudian menggambarkan secara individual ke dalam mind map selama 15
menit. “Tidak seperti pada penugasan biasanya, dengan peta pikiran ini dalam waktu
10 menit mereka sudah selesai”, kata Artiningsih.

Tugas yang diberikan secara individual telah diselesaikan, mahasiswa diminta menggeser
kertas kerjanya ke kanan tiga kali. Selanjutnya orang ketiga akan memberikan komentar
untuk menyempurnakan peta pikiran dari teman lainnya. Peta pikiran digeser ke
kanan dua kali lagi, orang kelima bertugas memberikan komentarnya. Setelah itu peta
pikiran tadi dikembalikan pada pemiliknya untuk disempurnakan. Bagi mahasiswa
tersebut diharapkan dapat melengkapi kekurangannya sesuai masukan atau komentar
dari teman yang lain.

Menurut Artiningsih, pembelajaran dari inovasi yang dilakukannya antara lain:


1. Dengan menggunakan media gambar dan peta pikiran, hubungan antar mahasiswa
menjadi cair/santai karena tidak merasa disalah-salahkan (pendapatnya lebih
diapresiasi)
2. Metode ini dapat mempercepat proses tanpa membuat mahasiswa merasa dipaksa
3. Dengan cara pembelajaran yang interaktif ini, mahasiswa menjadi lebih serius dan
kreatif dalam mengeksplorasikan gagasannya.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
116 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Aktivitas Model
Technical Assistance (TA)
dalam Mentransfer
Materi Perencanaan
Oleh: Eko Budi Santosa

Diperlukan teknik dan metode tersendiri untuk mentransfer materi yang padat, rumit,
dan penuh istilah teknis seperti halnya di bidang perencanaan. Apalagi jika alokasi
waktu yang disediakan hanya sekitar satu atau dua hari. Model klasikal dengan jumlah
peserta yang banyak, tentu saja tidak akan efektif meraih tujuan kegiatan. Eko Budi
menyadari betul akan hal ini. Selaku fasilitator, menurut Eko Budi, memang pada sesi
penyampaian materi yang mendasar dan normatif (Eko mengistilahkannya sebagai
materi orientasi) bisa dilakukan dengan pola tutorial dan klasikal. Terlebih lagi jika
mengingat waktu yang disediakan, harus selesai sesuai target. Tentu saja pola klasikal
ini akan mengurangi kesempatan untuk berdiskusi.

Karakteristik peserta juga mempengaruhi pendekatan yang digunakan. Jika pesertanya


campuran (misalnya ada CSO, eksekutif, dan legislatif), menurut Eko lebih sulit. Lain
lagi kalau pesertanya hanya eksekutif yang berada di level staf (unsur pelaksana).
Metode klasikal bisa lebih efektif pada situasi ini, karena pendekatannya bisa lebih
bersifat instruktif. Biasanya peserta baru bertanya ketika pemaparan pemateri selesai
disampaikan. “Tapi kalau pesertanya mixed, model klasikal tidak selamanya efektif.
Menghadapi teman-teman CSO pada saat itu misalnya, saya lebih sering diinterupsi.
Mereka kan orang lapangan yang kerap menemui perbedaan antara kajian teoritis
dengan implementasi di lapangan, “ ungkap Dosen Planologi ITS ini.

Pada situasi seperti itu, tercipta atmosfer diskusi di antara peserta. Akan tetapi hal ini
diakui Eko Budi menyebabkan dirinya banyak menerima feed back dan tugasnya
selaku fasilitator hanya sebagai pembagi bola. Hanya saja, agar materi tetap selesai
tersampaikan dan justru tidak larut dalam diskusi panjang, Eko Budi memiliki kiat
khusus. “Biasanya akan saya sampaikan pada peserta, lebih lanjut tentang masalah X
Kumpulan Pengalaman Menarik 117

akan kita bicarakan pada sesi berikutnya, sekarang kita selesaikan materi pada sesi
ini,” kata laki-laki berkacamata ini.

Perbedaan karakteristik peserta juga menentukan bobot materi yang disampaikan.


Jika menghadapi peserta dari kalangan eksekutif, tidak hanya semata sebagai fungsi
orientasi (pengenalan dan pemahaman) juga untuk men-drive kemampuan (skill)
mereka agar mampu membuat perencanaan daerah. Sedangkan kalau pesertanya CSO,
maka materinya lebih bermuatan normatif. Juga dijelaskan pada titik atau bagian mana
yang perlu dikritisi dan diawasi. Sedangkan kalau legislatif bukan pada bagaimana
proses pembuatannya, tetapi lebih kepada materi tentang bagaimana mengritisi
secara normatif produk dokumen perencanaan yang dihasilkan eksekutif.

Eko Budi mengakui, karena terpaku pada target materi planning yang harus
tersampaikan, membuatnya jarang menggunakan ice breaking selama menjadi fasilitator.
Terutama kalau setting-nya dalam bentuk klasikal dan sifatnya pemberian orientasi
(sama sekali belum memiliki pemahaman terhadap materi yang akan disampaikan).
Terkecuali dalam Technical Assistance (TA) atau pendampingan teknis yang lebih
mengedepankan praktek atau analisis, maka membuatnya bisa lebih banyak
berimprovisasi. “Pada tahapan lanjut ini, sudah tidak lagi fokus men-delivery subtansi,
tetapi bisa lebih menekankan pada metode role-play atau mengritisi analisis yang peserta
hasilkan. Jadi suasananya bisa lebih cair dan ice breaking bisa digunakan,” ungkap pria
kelahiran Malang ini. Hanya saja keberhasilan TA ini tergantung pada jumlah partisipan
yang tidak terlalu besar. Jumlah ideal menurut Eko maksimum 15 orang.

Selain bisa memadukan pola penyampaian materi dengan karakteristik target khalayak
yang dihadapi, penggunaan joke juga bisa menjadi faktor kesuksesan fasilitasi. Terutama
jika tidak ada contoh kasus yang saat itu tidak bisa dipaparkan ke peserta, maka joke
bisa mengisi 'kekosongan'. Agar tidak selalu mengulang joke yang dilontarkan, Eko
selalu meng-update perbendaharaan joke-nya. Tentu saja joke ini harus disesuaikan
dengan materi perencanaan. Misalnya ketika peserta diminta untuk membuat suatu
pernyataan, maka fasilitator tidak bisa mengomentari dengan benar atau salah. “Bisa
saja komentar fasilitator disampaikan lewat joke atau plesetan misalnya,” ujar Eko.

Meskipun joke bisa saja dilontarkan secara spontanitas, bagi Eko tetap saja fasilitator
harus memiliki cukup referensi. Jika tidak memadai, maka diperlukan kombinasi atau
kolaborasi diantara fasilitator. “Saya akui, diri saya ini pembawaannya tidak bisa meledak-
ledak dan mampu membawa suasana lokakarya pada titik emosional tertentu. Jadi
biasanya dalam fasilitasi, kalau ditandemkan maka saya kebagian yang normatif,
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
118 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

sedangkan Pak Cahyo (juga mitra Planning LGSP, pen) bagian yang mengompori atau
'memprovokasi' peserta,” ungkapnya. Jadi komposisi fasilitator dalam satu lokakarya
juga akan menentukan alur dan ritme jalannya acara. Justru jika gaya dua atau tiga
orang fasilitator tersebut beragam, maka alur acara tidak akan monoton.

Eko Budi mengakui kelemahannya ketika menjadi pemateri maupun fasilitator. “Jangan
terlalu fokus pada apa yang disajikan lewat powerpoint,” demikian hasil penilaian
terhadap gaya penyampaian Eko sewaktu ToT fasilitator yang diadakan sebuah lembaga
asal Kanada. Dengan kata lain, membaca kembali dengan menarasikan semua atau
beberapa yang ditulis di powerpoint. Tidak salah memang, tetapi fokus peserta akan
selalu menatap ke depan layar. Bahkan, sebuah kemubaziran ketika mengulang kembali
secara verbal, apa yang sudah jelas dan bisa dibaca sendiri oleh peserta. Yang baik itu
sebetulnya kalau fasilitator itu bisa membuat ilustrasi atau gambar di flip chart, sehingga
perhatian peserta akan tertuju pada apa alur proses atau gambar apa yang dibuat
oleh fasilitator,” tegas Eko.

Meski hal ini diakui sebagai keterbatasannya, Eko Budi masih berusaha hingga kini
untuk memperbaikinya. Bisa jadi hal ini diakibatkan oleh karena materi planning lebih
dominan pada hal-hal normatif, regulatif, alur proses, sehingga sedikit membatasi upaya
improvisasi. Untuk mengatasi hal ini penggunaan komparasi, deskripsi dengan analogi
bisa membantu memudahkan peserta memahami kerumitan di dalam perencanaan.

Selama perjalanannya menjadi SP Planning, Eko Budi mendapati beberapa kekurangan


untuk mengubah pemahaman peserta terhadap perencanaan yang partisipatif.
kekurangan ini bisa karena faktor kesenjangan knowledge. Terutama jika pesertanya
beragam dari ketiga pilar. Jika setelah masa orientasi melalui lokakarya klasikal
berakhir, tercapailah kesamaan pengetahuan. Hal inipun menyisakan persoalan, jika
keinginan ketiga pilar ini juga berbenturan. Bisa karena faktor kemauan individu untuk
mau berubah. “Terutama kalau dia tidak mau keluar dari zona nyaman (comfort zone),
maka metode atau pendekatan baru seperti apapun yang kita berikan akan
mendapatkan perlawanan darinya yang bisa saja menganggapnya menambah beban,”
ujar Eko Budi.

Bisa pula faktor kepentingan institusi yang tentu saja mempertimbangkan keuntungan
apa yang bisa didapat lembaganya. Selanjutnya level ketiga, mempertimbangkan apa
manfaatnya bagi masyarakat dan daerahnya. Menjembatani ketiga level ini agak susah
kalau masing-masing mempertahankan pendapatnya. Pada kondisi semacam ini, Eko
Budi selaku fasilitator berusaha mem-floor-kan pada peserta untuk mendapatkan
Kumpulan Pengalaman Menarik 119

kesepahaman bersama terhadap filosofi awal perlunya perencanaan partisipatif.

Beberapa hal mendasar yang Eko temui sebagai persoalan kota/kabupaten dalam
menyusun perencanaan antara lain; Pertama, penguasaan teknik terhadap proses
perencanaan yang kerapkali tidak didukung data yang valid. Sehingga persoalan apa
yang dihadapi saat ini, akan menentukan ke depan apa yang direncanakan. “Kalau
datanya saja tidak valid, maka produk dokumen perencanaannya akan kurang
memadai,” kata Eko. Kedua, berkaitan dengan subtansi atau content yang harus ditangani
oleh orang yang memiliki kapasitas di bidang tersebut. Jadi kalau mau membahas
perencanaan bidang kesehatan misalnya, maka harus melibatkan dinas kesehatan,
CSO yang menangani di bidang kesehatan masyarakat, dan juga pakar dan ahli
kesehatan. Ketiga, persoalan mutasi yang biasa dilakukan pihak eksekutif. Pimpinan
atau staf di bidang perencanaan yang telah terlibat dalam program LGSP tak jarang
harus berganti orang di tengah jalan. “Saya selaku fasilitator terkadang kaget koq yang
dikirim lain orang. Ini kan membuat proses sharing pengetahuan perencanaan harus
dimulai dari nol lagi,” terang Eko Budi. (yss)
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
120 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Berkat ToP,
Kampus Panca Budi
Selalu Bersih
Oleh: M.Thoyib Daulay

Marahadi Toyib Daulay, yang biasa dipanggil Boboy, pernah diminta untuk memfasilitasi
Lokakarya Perencanaan Kelompok Pengurus Surau di Malaysia. Lokakarya ini bertaraf
internasional. ”Perjalanan waktu itu berkat Technologi of Participation (ToP). Pesertanya
bahkan ada juga yang dari Amerika Serikat, meskipun berbahasa melayu juga” ungkap
Boboy. Boboy diundang karena Universitas Panca Budi Medan tempatnya mengajar,
telah menerapkan metode ToP dalam berbagai kegiatan lokakarya. ”Di sana, Metode
Rencana Tindak dimodifikasi dengan memasukkan komponen 5W 1H. Sehingga
proses perencanaan kegiatan menjadi lebih jelas dan mudah bagi para nadzir surau
itu” demikian Boboy menjelaskan terobosan yang diambilnya. Apa tujuannya? Tentu
saja agar proses lokakarya memberi hasil yang memenuhi keinginan si pengundang.

Awal penerapan ToP di Universitas Panca Budi dimulai dari “gerakan kampus bersih”.
Meskipun program kebersihan kampus telah dicanangkan melalui Surat Keputusan
Yayasan tertanggal 31 Desember 2006, tidak ada yang benar-benar mematuhinya. SK
Yayasan itu seperti ”macan kertas”. Tiga bulan berlalu dan kampus Panca Budi masih
saja disesaki oleh sampah. Beruntung beberapa bulan sebelumnya, dua orang unsur
pimpinan di Universitas ini telah dilatih ToP oleh USAID-LGSP kantor Sumatera
Utara di Berastagi. Boboy adalah salah satunya.

Tradisi di kampus Boboy, mewajibkan siapapun yang dikirim mengikuti pelatihan


diminta untuk menularkan ilmu yang diperoleh kepada koleganya di kampus. Saat itu,
Boboy menyadari apa yang harus ditularkannya adalah sesuatu yang sangat teknis
dan ”berat”. Oleh karena itu, prosesnya harus dilakukan dengan penuh kegembiraan
agar materi itu lebih membekas. Ia berkeyakinan dengan memperbanyak game sebagai
alat bantu menerangkan materi, dapat membangkitkan suasana belajar yang
menyenangkan. Pelatihan untuk berbagi ilmu ToP itu berhasil baik dan menyenangkan.
Kumpulan Pengalaman Menarik 121

Selanjutnya, Boboy berupaya untuk 'membumikan' SK Yayasan tentang kampus bersih.


Pendekatan partisipatif akhirnya digunakan Boboy untuk menyelesaikan masalah ini.
Lokakarya membahas hal ini menghadirkan hampir semua unsur pimpinan kampus
dan surau di Panca Budi.

Metode ToP diterapkannya secara berkesinambungan. Penggalian ide yang


menggunakan metode diskusi (ORIK), memunculkan komitmen untuk menjalankan
gagasan. Ide-ide yang muncul merupakan ide yang terbaik bagi bersama, ”Di sanalah
muncul komitmen untuk melaksanakannya, karena ada rasa untuk berbuat demi
kepentingan bersama”, ulas Boboy. Kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan dan
pengambilan tugas secara sukarela, dilakukan dengan menggunakan metode Lokakarya
dan Rencana Tindak.

Semua kegiatan itu dijalankan dengan selalu mengatasi perbedaan yang muncul dan
mengedepankan ide untuk bersama. Tentu saja, suasana yang menyenangkan dan
melibatkan peserta secara penuh dengan metode ToP sangat berperan penting dalam
menghasilkan keputusan yang merupakan ”milik” bersama. Pada saat itu, Boboy
menyadari penanaman konteks dan penentuan tujuan bersama di awal pertemuan
sangat penting sebagai medium mendorong partisipasi. ”Peserta menjadi terlibat lebih
jauh setelah memahami konteks dan tujuan bersama dari sebuah perencanaan”,
pungkas Boboy.

Penggunaan ToP sebagai alat bantu untuk merencanakan kegiatan, menurut Boboy
sebaiknya didahului dengan pelatihan yang menekankan kerjasama tim dan ”hasil
bersama” sebuah kegiatan. Pelatihan tersebut, menurut pengalamannya, sangat
membantu dirinya dalam menggunakan ketiga metode ToP. Meskipun demikian, latar
belakang pendidikan dan budaya peserta pelatihan, terasa benar mempengaruhi hasil
dari pelatihan. Oleh karena itu, setiap kali terasa bahwa materi tidak dikuasai dengan
baik oleh peserta, Boboy mengelaborasi potensi kecerdasan majemuk dari peserta.
Di waktu-waktu berikutnya, penyajian materi kecerdasan majemuk disajikan mendalam
dan dijadikan barometer untuk mengimprovisasi cara menyampaikan materi.

Kebiasaan bekerjasama dalam sebuah tim menjadi faktor kunci untuk berkonstribusi
lebih dalam setiap lokakarya. Hal itu jadi mudah sebab semua yang menjadi peserta
berasal dari satu kelompok yang sama. ”Ada kesamaan yang mengikat peserta”
imbuhnya, ”academic atmosphere menjadi sangat kental dalam perencanaan setelah
diantarkan dengan teknik-teknik ToP”. Di Panca Budi, pelatihan kerja sama tim itu
dilakukan dalam sebuah pelatihan yang bertajuk ”Abdi Training” yang lebih
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
122 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

mengedepankan pengurangan distorsi tim dengan menyamakan persepsi.

Manfaat penularan ToP yang sedemikian dahsyat dirasakan oleh warga kampus Panca
Budi, mendorong mereka untuk menanamkan ToP lebih jauh di kampusnya. Mereka
menjadikan pelatihan ToP sebagai tradisi di sana. Empat kali setahun, pelatihan ToP
dilaksanakan di kampus ini sejak 2008. Kelak, semua dosen di Panca Budi harus bisa
menguasai ToP sebab semua perencanaan dirumuskan dengan bantuan ToP.

(Medan, Oktober 2008)


Kumpulan Pengalaman Menarik 123

Fasilitator
adalah Dunia Lain
bagi Konsultan
Oleh: Rina Sinulingga

Menjadi fasilitator di LGSP merupakan gairah baru yang mendebarkan, rasanya seperti
mendapatkan suntikan adrenalin. Karena konsultan dan fasilitator adalah dunia yang sama
bulatnya tapi beda isinya. Sama ketika kita melihatnya berdiri di depan forum untuk
mempresentasikan suatu materi pada sekelompok peserta. Begitu juga dalam penguasaan
masalah, konsultan dan fasilitator harus sama-sama menguasai masalah dan berpenampilan
menarik sehingga setidaknya pada pandangan pertama peserta sudah terpesona.
Tidak beda jauh dengan iklan Axe “kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah
Anda”.

Setelah mengetahui persamaannya, menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa


perbedaannya sehingga menjadi fasilitator di LGSP begitu menggairahkan. Wah banyak-
sekali. Pertama, sebelum penguasaan materi, kesiapan fisik fasilitator sangat diperhatikan
dengan memberikan kenyamanan pada mobilisasi maupun akomodasi. Dengan kondisi
yang dipersiapkan seperti itu, tentu raga seorang fasilitator akan lebih siap untuk 'bertarung'.

Kedua, dalam penguasaan materi, seorang fasilitator tidak boleh merasa seperti dokter
yang paling tahu obat bagi pasiennya.Tapi harus bisa menekan pengetahuannya serendah-
rendahnya, dengan air muka yang ingin tahu (seakan-akan bodoh) sehingga peserta yang
hadir tidak ragu-ragu menyampaikan pengetahuan atau pendapat yang dimilikinya. Fasilitator
harus benar-benar menguasai materi sehingga dapat menjadi penengah, atau pemberi
pandangan yang berbeda ketika diskusi begitu alot antara sesama peserta. Untuk hal ini
tim LGSP selalu membantu dengan memutakhirkan data sehingga pengetahuan seorang
fasilitator tidak mandek.

Ketiga, dalam penyampaian materi kepada peserta benar-benar berbeda dengan seorang
konsultan. Dalam penyampaian materi seringkali seorang konsultan tampil secara sepihak,
atau tanpa banyak dialog interaktif. Hal ini bisa jadi disebabkan waktu yang sempit, peserta
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
124 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

yang berlebihan, atau banyak penyebab lainnya. Terkesan seorang konsultan tidak perlu
mengenal pesertanya. Terpenting apa yang dia ketahui sudah disampaikannya. Sementara
seorang fasilitator mempunyai misi peserta harus mengerti materi yang disampaikan dan
penyampainya pun bisa dengan berbagai cara yang tidak membosankan. Poin ketiga inilah
yang paling menentukan keberhasilan seorang fasilitator.

Sayangnya pada praktek di lapangan, ketiga hal yang menggairahkan tersebut tidak
segampang menuliskanya. Poin ketiga menurut saya paling menentukan gagal atau tidaknya
seorang fasilitator, terutama bagi service provider (SP) planning. Hambatan terpenting bagi
Rina, peserta yang dihadapinya adalah teknokrat yang sudah terbiasa dengan kerja top
down dan mengikuti rencana kerja yang sudah ada saja atau istilahnya copy paste. Kendala
lain, persoalan waktu yang sempit dan peserta yang banyak. Sementara hal yang
menyenangkan yang dihadapinya adalah keingintahuan peserta yang sangat besar. Bisa
jadi hal ini disebabkan peserta yang dikirim oleh SKPD adalah orang-orang baru di
perencanaan.

Mengingat waktu yang sempit, sementara materi yang disampaikan banyak, maka Rina
merancang acara sedemikian rupa dengan memberi poin pada masalah yang sangat
mendasar yang harus dimiliki oleh seorang perencana. Dimulai dari pengertian rencana
itu sendiri dan perlunya rencana, profil daerah sampai ke rencana kerjanya. Agar materi
yang disampaikan bisa dipahami, Rina menyampaikannya dengan cara on the job training
(OJT). Harapannya adanya selang waktu yang diberikan serta banyak latihan akan membuat
pemahaman yang diberikan lebih lama mengendap di benak peserta.

Selain susunan agenda acara, Rina juga selalu berdiskusi dengan Bappeda setempat untuk
mencari tahu siapa peserta yang akan hadir atau diundang. Hal ini diperlukan, sehingga
materi maupun contoh kasus yang ditampilkan mengena di hati peserta. Kemudian dalam
penyampaian materi, Rina juga berusaha tidak terlalu menjejali dengan teori tapi dengan
pointers yang singkat. Kemudian peserta diajak membentuk kelompok kecil untuk latihan
berdasarkan teori yang diberikan. Dalam FGD (Focus Group Discussion) ini Rina mendatangi
kelompok tersebut agar semua peserta bisa berpartisipasi, dengan harapan para teknokrat
ini pun nantinya dapat menjadi fasilitator dalam acara-acara Musrenbang maupun forum
perencanaan lainnya. Sementara dalam mencari akar permasalahan maupun program-
program yang akan ditentukan, Rina mengajak peserta menggunakan metaplan. Selama
proses latihan pun mereka sudah merasakan partisipasi itu ternyata tidak merumitkan,
malah dapat memperkecil masalah.

Secara pribadi hal baru yang Rina dapatkan sebagai fasilitator adalah kemampuan
mendengar dan berempati kepada peserta. Hal ini akan membuat peserta antusias dalam
mengeluarkan pendapat sehingga partisipasi peserta terlihat aktif.
Kumpulan Pengalaman Menarik 125

Pengelolaan Sampah Berbasis


Masyarakat di Bukittinggi
Oleh: Deny Helard

Masalah apakah yang dihadapi Kota Bukittinggi sebagai tempat tujuan wisata utama di
Sumatera Barat? Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Bukittinggi dengan pasti akan
menjawab satu hal: sampah.

Hingga kini, alokasi pendanaan untuk menangani sampah tidak lebih dari lima persen
dari total APBD. Dengan dana tersebut, tingkat pelayanan pengelolaan sampah di
Bukittinggi baru mencakup sekitar 40 persen dari jumlah total penduduk. Padahal sampah
yang dihasilkan mencapai lima dumptruck sehari. Belum lagi menyangkut prosedur dan
teknologi pengelolaan sampah. ”Hanya sekedar angkat, angkut, dan buang. Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) yang kita pakai selama ini di Panorama Baru juga dioperasikan
dengan sistem open dumping,” kata Mintar Sitindao, Kepala Seksi Kebersihan dan
Pengawasan Dinas Pekerjaan Umum Kota Bukittinggi.

Di sisi lain, warga cenderung mengganggap bahwa pelayanan persampahan merupakan


tanggung jawab penuh dari Pemko. Partisipasi dan kesadaran warga untuk pengelolaan
sampah sangat minim. Akibatnya tebaran dan tumpukan sampah menjadi pemandangan
sehari-hari bagi Kota Jantung Sumatera Barat ini.

Meskipun Kota Bukittinggi telah mempunyai Perda No.01/2002 tentang Kebersihan,


Ketertiban dan Keindahan yang dengan tegas menyatakan sampah adalah masalah
bersama dan harus dikelola bersama, tapi tetap tidak ada perubahan signifikan. Perda
No.25/2004 yang menegaskan sanksi terhadap pelanggaran kebersihan, ketertiban dan
keindahan juga bernasib sama. Sampah masih menjadi masalah serius di wilayah yang
diapit Gunung Singgalang dan Merapi ini. ”Masalahnya ada pada perilaku warga. Bukan
pendanaan atau pelayanan Pemko,” lanjut Mintar.

Persoalannya, mengubah perilaku warga bukanlah perkara mudah. Sejak Juli 2006, saat
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
126 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

LGSP menggelar Semiloka Kehidupan Bernagari di Kota Bukittinggi, persoalan ini telah
mengemuka. Sejak saat itu pulalah, LGSP bersama P3SD dan DKP membantu Pemko
Bukittinggi menyelenggarakan beragam kegiatan untuk memperbaiki pelayanan bidang
persampahan. Sebagai langkah awal dimulailah dari Kelurahan Birugo (RW IV/RT 1),
Kelurahan Kubu Gulai Bancah atau KGB (RW I/RT 7), dan Kelurahan Tarok Dipo Beriman
(RW VI/RT 4).

Bermula dari Kelurahan Birugo. Ketika itu, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Melati,
yang terletak persis di hulu Ngarai Sianok, mengeluhkan banyaknya lalat yang beterbangan.
Hulu ngarai itu tempat pembuangan sampah terakhir dari warga setempat. Mereka
merasa tak punya pilihan, karena Tempat Penampungan Sementara (TPS) tak disediakan
oleh pemerintah. Hal itu diperburuk pula oleh lokasi tempat tersebut yang tidak bisa
dilewati oleh truk sampah.

Sebenarnya, masyarakat menyadari bahwa ngarai sebagai tempat pembuangan berpotensi


menjadi sumber pencemaran lingkungan. Selain merupakan hutan kota, aliran air yang
melalui tempat tersebut menjadi salah satu sumber air baku bagi Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Kota Bukittinggi. Kesadaran itu memunculkan kepedulian warga
terhadap masalah lingkungan. Di kelurahan inilah akhirnya dibentuk kelompok Birugo
Berseri, kelompok yang peduli kebersihan lingkungan.

Di Kelurahan KGB, permasalahan sampah dimulai ketika kantor Pemerintahan Kota


Bukittinggi yang dulunya di Kelurahan Sapiran berpindah ke KGB. Wilayah yang dulu
daerah pinggiran kini menjadi pusat pemerintahan. Melalui Lokalatih Pengelolaan Sampah
Berbasis Masyarakat pada 2-3 Oktober 2006, keinginan anggota masyarakat untuk
mengelola sampah ini terealisasi dengan berdirinya Kelompok Pengelola Sampah Berbasis
Masyarakat (KPSBM) Karya Guna Bersama. Di Kelurahan Tarok Dipo Ber'iman juga
dibentuk kelompok serupa. Masing-masing kelompok terdiri sekitar 50-60 keluarga.

Keinginan warga sudah ada, kelompokpun sudah terbentuk, meskipun masih sebatas
tiga kelurahan dan setingkat RT. Beragam diskusi dilangsungkan.Tujuannya, penyepakatan
model pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Ada pula pelatihan pengelolaan sampah.
“Masyarakat dilatih bagaimana alur pengelolaan sampah; mulai dari pemisahan sampah
rumah tangga, cara pengolahan/pemanfaatan, cara transportasi, dan cara pembuangan
di tempat pembuangan akhir,” kata Denny Herald. Denny adalah dosen teknik lingkungan
Universitas Negeri Padang (UNP) yang direkrut LGSP untuk melatih warga mengelola
sampah. Dia bertugas untuk meningkatkan kemampuan dan keinginan masyarakat yang
terlibat langsung dalam menjalankan organisai pengelolaan sampah.
Denny bersama P3SD, DKP, dan LGSP juga menyelenggarakan serangkaian diskusi dan
pelatihan untuk menggali pengelolaan sampah yang biasa dilakukan masyarakat; jenis
Kumpulan Pengalaman Menarik 127

sampah apa saja yang ada; kondisi dan situasi kelurahan untuk mengetahui tingkat
produksi sampah dan sebab-akibatnya; mengetahui tantangan yang ada; serta proses
perencanaan penganggaran di kelurahan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah.
Target mendorong partisipasi belum sepenuhnya berhasil. Namun masyarakat
menunjukkan antusiasmenya. Dalam lokakarya ini telah teridentifikasi kendala dan
permasalahan serta langkah perbaikan yang akan dilakukan dalam bentuk rencana tindak
lanjut di masing-masing kelurahan.

“Akhirnya, metode yang cocok adalah pengurangan volume timbunan sampah dengan
cara pengomposan. Ini dipilih setelah melihat bahwa komposisi sampah yang dihasilkan
oleh warga kebanyakan merupakan sampah organik yang dapat didekomposisi. Juga
disepakati Birugo sebagai daerah percontohan,” lanjut Denny.

Target pelatihan dan pendampingan adalah masyarakat memahami bahwa mereka


mempunyai hak untuk mengambil keputusan, terlibat dalam teknis pengelolaan sampah,
memilih teknologi pengelolaan sampah, membentuk organisasi pengelola, menentukan
struktur organisasi, membuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi,
dan menentukan mekanisme anggaran. Masyarakat juga wajib bertanggungjawab dalam
mengoperasikan dan memelihara fasilitas pengelolaan sampah.

Hal ini juga kemudian disebarluaskan melalui pelbagai cara dan media. Lewat masjid-
masjid, lapau/warung, kelompok arisan, kegiatan PKK, dan dalam pertemuan-pertemuan
di tingkat RW, RT, dan kelurahan. Pada saat bersamaan LGSP juga terus mendampingi
warga melalui beberapa kali pertemuan.

Apa yang dilakukan warga ternyata mendapat respon dari Pemko Bukittinggi dan
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Kelurahan Birugo bahkan mewakili Bukittinggi
untuk lomba kelurahan bersih pada April 2007. Bersamaan dengan dibangunnya tempat
pengomposan oleh warga, Dinas Pekerjaan Umum Sumbar membelikan dua unit mesin
pengolah sampah. Sayang, mesin itu hingga kini belum berfungsi karena kesulitan dana
operasional, pengelolaan antara Kota Bukittinggi dan Dinas PU Provinsi, serta
pengoperasiannya. “Sedikit lagi ini akan berhasil. Kami sudah membangun tempat
pengomposan, becak motor untuk mengangkut sampah, pengorganisasian warga, dan
semangat untuk hidup bersih. Tinggal soal mesin,” kata Herman, Lurah Birugo.

Bahkan kelompok ini juga sudah bekerjasama dengan kelompok tanaman hias Alamanda
Flower dalam hal pemanfaatan produk kompos. Dinas Pertanian setempat juga telah
dilibatkan dalam pemanfaatkan kompos.“Kalau warga telah melihat apa yang kita upayakan
itu memberi manfaat, tanpa disuruhpun warga akan ikut. Jadi, kita harus buktikan dulu
bahwa pengelolaan sampah berbasis warga ini berhasil,” Mintar berkomentar.***
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
128 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Menempa Fasilitator
Musrenbang
Lewat Pilot Project
Oleh: Singomaruto

Keterlibatan CSO di Kabupaten Probolinggo, diwadahi dalam Forum Reboan. Berbagai


aktivitas secara rutin mereka adakan. Pertemuan tiap hari Rabu minggu pertama, selalu
berganti topik pembahasan seputar persoalan di kabupaten penghasil mangga ini. Pernah
mereka membahas draf Raperda Pendidikan, Raperda Partisipatif, KUA PPAS, dan analisis
anggaran. Pada saat pembahasan seputar peran CSO di dalam Musrenbang selama ini,
dihasilkan beberapa temuan menarik.

Tidak semua CSO memiliki akses mengikuti pelaksanaan Musrenbang. Kalaupun mereka
diundang, kehadirannya hanyalah sebagai pengamat, tidak ada peran aktif yang
ditumpukan kepada mereka. Dengan kata lain, mereka tidak pernah diminta untuk
memandu jalannya rapat Musrenbang tersebut. Selain itu, kehadiran peserta sekedar
formalitas untuk mengisi blangko yang sudah disiapkan aparat kelurahan atau kecamatan.
Mereka diminta mengisi kebutuhan di wilayah masing-masing. Tidak ada diskusi yang
membicarakan mengapa kebutuhan itu yang diajukan, atau berapa plafon anggaran yang
disediakan oleh pihak Pemkab untuk tahun tersebut.

Beberapa temuan fakta yang terekam selama Musrenbang tahun-tahun sebelumnya,


mengusik kesadaran para aktivis CSO di Forum Reboan. Singo Maruto koordinator
Forum Reboan, menyadari betul akan kenyataan ini. “Para aparat di desa sudah malas
melaksanakan Musrenbangdes. Sering lho mereka ajukan usulan tahun sebelumnya ke
kecamatan,” ujar laki-laki 41 tahun kelahiran Lumajang ini. Hal ini disebabkan karena
usulan dari desa sulit diimplementasikan dan didanai. Usulan dari desa tertentu, bisa
kalah dari usulan desa lain yang dititipkan kepada anggota legislatif (DPRD). Padahal
usulan ini bisa jadi tidak sesuai dengan kebutuhan warga di desa tersebut.

Pada saat Forum Reboan mengadakan pertemuan di kediaman Singo Maruto (berada
di Kecamatan Tegalsiwalan), tercetuslah ide untuk memperbaiki kualitas pelaksanaan
Musrenbang. Hal ini bisa dimulai dari kualitas pemandu atau fasilitator jalannya
Kumpulan Pengalaman Menarik 129

Musrenbang tersebut. Beberapa aktivis CSO di Forum Reboan, memiliki kapasitas dalam
konteks ini. Selama ini mereka telah mengikuti ToP yang diselenggarakan oleh LGSP
Jawa Timur. Jadi peluang untuk memperbaiki kualitas pelaksanaan Musrenbang berada
di tangan mereka selaku fasilitator.

Atas persetujuan dan hasil pembicaraan dengan Kepala Bappekab Probolinggo,


direncanakan untuk mengadakan pilot project Musrenbang. Terpilihlah Kecamatan
Tegalsiwalan atas rekomendasi Bappekab Probolinggo. Salah satu pertimbangan yang
mendasari dipilihnya kecamatan ini, menurut Singo karena istri pak camat Tegalsiwalan
adalah anggota DPRD. “Kebetulan juga Bu Sumi, istri pak camat itu berasal dari Dapil di
Kecamatan Tegalsiwalan. Kalau dia ikut dalam Musrenbang di kecamatannya, dia kan bisa
cerita pada DPRD akan adanya perubahan metode di Musrenbangcam yang lebih
partisipatif,” ungkap pegiat CSO ini.

Langkah awal yang diambil Singo Maruto dan aktivis Forum Reboan adalah memasang
pengumuman adanya Musrenbang kecamatan. Di enam titik strategis di seputar
Kecamatan Tegalsiwalan, mereka pasang spanduk berisikan ajakan bagi warga masyarakat
mengikuti Musrenbangcam. Isi pesan spanduk berupa diseminasi informasi ini dikemas
dalam versi bahasa Madura, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia.“Sebelumnya tidak pernah
ada pengumuman semacam ini. Yang datang biasanya ya sebatas undangan yang ada.
Kami hanya ingin melihat sejauh mana kesadaran masyarakat memikirkan wilayahnya
dan berpartisipasi di Musrenbang kecamatan,” ujar Singo.

Tibalah pada hari-H pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan Tegalsiwalan. Untuk


mengidentifikasi persoalan dan kebutuhan di masing-masing desa, Singo memandu
peserta untuk membuat semacam pohon masalah. Tahapan ini sebetulnya sudah harus
diselesaikan pada saat Musrenbang desa/kelurahan. “Karena sewaktu menyusun
Musrenbangdes banyak desa yang asal-asalan membuatnya dan menyerahkan
sepenuhnya pada kecamatan, ya kami harus mengulang pemetaan masalah yang ada di
masing-masing desa/kelurahan,” kata Singo. Setelah didapatkan data dan persoalan di
masing-masing desa, fasilitator membagi kelompok peserta yang berasal dari perwakilan
desa/kelurahan menjadi tiga bidang (fisik sarana prasarana, ekonomi, dan sosial budaya).

Dari sejumlah usulan desa/kelurahan itu, diputuskan pada ketiga bidang untuk
menetapkan prioritas usulan pada program yang riil bermanfaat bagi masyarakat di
Kecamatan Tegalsiwalan. “Sebelumnya yang terjadi pada saat Musrenbang di kecamatan,
masing-masing desa menonjolkan ego desanya dan mempertahankan mati-matian
usulannya. Mereka tidak mempertimbangkan program apa yang betul-betul sesuai
kebutuhan masyarakat di kecamatan itu,” ungkap bapak tiga orang putra ini.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
130 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Selaku fasilitator, Singo untungnya mampu 'melunakkan' sikap keras hati para wakil desa
yang sudah terbiasa muncul selama puluhan tahun pelaksanaan Musrenbang kecamatan.
“Di semua bidang pada awalnya mereka gontok-gontokan ingin usulan program desanya
yang diprioritaskan. Selaku fasilitator di bidang ekonomi pada saat itu, saya tidak langsung
mengarahkan harus begini atau harus begitu. Saya dengarkan dulu apa dasar pemikiran
masing-masing desa, ketika sudah mentok baru saya masuk untuk memberikan
pengertian,” tegas Singo.

Penggunaan metaplan, kertas plano yang biasa digunakan dalam ToP, juga diaplikasikan
pada saat Musrenbang tersebut. Pada awalnya mereka sedikit kesulitan dengan metode
ini, karena belum terbiasa menggunakan. Akan tetapi dengan bimbingan fasilitator, para
peserta justru merasa dilibatkan dalam memberikan pendapatnya. “Untungnya di
kecamatan ini masyarakatnya sudah terbiasa menerima program-program pemberdayaan,
jadi hampir seluruh peserta Musrenbang waktu itu pinter ngomong dan tidak canggung
mengutarakan pendapatnya di forum,” ujar Singo.

Hasil diskusi di masing-masing kelompok bidang, dibahas kembali pada sidang pleno.
Proses ini tentu saja memakan waktu lebih panjang daripada pelaksanaan Musrenbang
sebelumnya. Biasanya penentuan prioritas usulan program, telah dipilih oleh staf
kecamatan (dari hasil seluruh Musrenbangdes). Perwakilan desa pada saat Musrenbang
kecamatan hanya 'diminta' persetujuannya atas hasilnya atas tiga kelompok bidang.
Sehingga alokasi waktu yang dibutuhkan tentu saja tidak lama. Sebelum makan siang
mereka sudah membubarkan diri.

Meski lebih panjang waktu pelaksanaannya, proses Musrenbang di tangan Singo cs


selaku fasilitator menjadi lebih 'bermutu'. Peserta bisa merasakan proses diskusi yang
sesungguhnya. Mereka diberikan kesempatan untuk berpendapat. Mereka juga bisa
berdebat 'cerdas'. Misalnya mengapa usulan program non-fisik itu harus didukung. Alasan
mengapa usulan itu cukup ditangani oleh desa/kelurahan (baik secara swadaya maupun
pemanfaatan Alokasi Dana Desa), atau berapa kemampuan anggaran di kabupaten
tersebut, sehingga desa atau kecamatan harus menetapkan prioritas usulan programnya.
Pendeknya, hasil Musrenbang kecamatan itu, diputuskan lewat cara yang partisipatif di
tangan fasilitator yang memahami betul bagaimana cara menerapkannya.

Keberhasilannya memfasilitasi Musrenbang kecamatan, menginspirasi Forum Reboan


untuk melakukannya di Musrenbangdes. “Beberapa kepala desa sudah meminta kepada
saya dan Forum Reboan untuk mengelola Musrenbang di wilayahnya. Bahkan ada Kades
bersama BPDnya yang berkeinginan menyusun RPJMdes bersama kami dengan swadaya
murni,” ungkap Singo yang sudah hampir sepuluh tahun terakhir ini aktif di CSO
Probolinggo. (yss)
Kumpulan Pengalaman Menarik 131

Pendekatan Partisipatif
Tingkatkan Kapasitas
Pengelola Keuangan Daerah
Oleh: Gagaring Pagalung

Mengenakan sarung, berpenampilan sederhana, wajah bersih, suara sedikit ngebas


dan senyum ramah, itulah kesan pertama ketika penulis bertemu dengan Dr. Gagaring
Pagalung, M.S.,Akt di kediamannya November 2008 lalu. Berbincang dengan Pak
Gagaring, demikian kerabat menyapanya, terasa waktu bergulir cepat, asyik.

Dalam pertemuan singkat itu, Gagaring Pagalung menyampaikan optimismenya


terhadap penerapan pendekatan partisipatif dalam pelatihan yang selama ini ia ikuti.
Meskipun bukan sebagai fasilitator, tapi sebagai narasumber ahli, ia tetap menerapkan
pendekatan partisipatif dalam menyampaikan materinya.

Menurut bapak penyandang gelar doktor akuntansi dari Universitas Gadjah Mada
ini, pendekatan partisipatif menepis anggapan umum peserta pelatihan bahwa akuntansi
adalah ilmu yang sangat sulit dipahami. Memang diakui bahwa akuntansi yang
disampaikan pada pelatihan adalah akuntansi keuangan daerah sesuai regulasi yang
berlaku. Artinya, pengetahuan yang di bagi dalam pelatihan adalah pengetahuan teknis
akuntansi. Karena sifatnya pengetahuan teknis maka diharapkan pengetahuan itu
akan meningkatkan kapasitas peserta pelatihan dalam mengimplementasikan akuntansi
keuangan daerah sesuai perangkat regulasi yang berlaku. Jadi yang peserta pelajari
bukan teori-teori akuntansi tapi implementasi ilmu akuntansi.

“Hasilnya cukup memuaskan. Di beberapa daerah di mana saya sempat lakukan


bimbingan teknis, beberapa alumni pelatihan sudah mengaplikasikan akuntansi
keuangan daerah yang baik,” ungkap anggota American Accounting Association (AAA)
ini.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
132 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Salah satu indikator keberhasilan pelatihan itu, jelas Gagaring, adalah meningkatnya
antusiasme peserta pelatihan untuk terus mempelajari dan mengaplikasikan akuntansi
keuangan daerah pasca pelatihan.

Bahkan tidak jarang, urai lelaki yang juga fasih berbahasa Inggris ini, justru banyak
peserta yang meminta agar dilakukan bimbingan teknis (Bintek) di tempat kerja mereka.
Dan terbukti, ketika dilakukan Bintek di daerah kabupaten/kota, alumni pelatihan
sudah mampu menunjukkan cara kerja mereka sesuai akuntansi keuangan daerah
yang baik. Di Sulawesi Selatan sendiri, Gagaring mengaku telah memberikan Bintek
beberapa kali kepada pengelolaan keuangan daerah di kabupaten/kota.

Pada prinsipnya, jelas Gagaring, ada beberapa hal yang berhubungan dengan
pendekatan partisipatif, antara lain; bahwa pendekatan partisipatif itu menerapkan
metode Pendidikan Orang Dewasa (POD) karena umumnya peserta pelatihan itu
adalah orang dewasa, ada participatory group discussion, multi way presentation, dan ada
cara mengkreasi game yang behubungan dengan masalah finance. Dari hal tersebut,
Gagaring kemudian mengelaborasi pendekatan partisipatif itu ke dalam metode
penyampaian materi yang ia lakukan di beberapa pelatihan. Karena pendekatan
partisipatif itu menerapkan POD maka setiap pendapat peserta pelatihan harus
diapresiasi. Hal ini, tentu saja mendorong setiap peserta untuk menyampaikan
gagasannya secara bebas.

Sejalan dengan itu, kata Gagaring, participatory group discussion akan memberikan ruang
dan kesempatan kepada peserta untuk berinteraksi satu sama lain. Metode ini juga
sekaligus menjadi arena sharing antar peserta yang memiliki pemahaman akutansi
yang “lumayan” dengan peserta yang pemahaman akuntansinya “pas-pasan”. Lebih
dari itu diskusi kelompok ini akan sangat produktif digunakan untuk mempraktekkan
langkah-langkah akuntansi. Karena peserta akan saling bertukar pikiran dalam
menyelesaikan tugas-tugas akuntansi yang diberikan.

Berkaitan dengan itu, urai Gagaring pula, multi way presentation, akan memberikan
kesempatan kepada peserta yang beragam itu untuk mempresentasikan hasil diskusi
mereka. Dengan sendirinya akan tercipta curah pendapat yang bersumber dari
berbagai arah (multi ways). Dengan demikian, akan ketahuan mana peserta yang sudah
memahami langkah-langkah akuntansi dengan benar dan mana yang belum.

“Jika sudah demikian, di sinilah peran narasumber ahli untuk memberikan masukan
sesuai standar akuntansi yang benar,” jelasnya.
Kumpulan Pengalaman Menarik 133

Hal yang tidak kalah pentingnya, jelas Gagaring antusias, adalah pemberian games
yang berhubungan dengan akuntansi. Pemberian games itu akan membantu peserta
memahami langkah-langkah akuntansi. Selain itu, games juga akan membuat suasana
pelatihan lebih rileks.

Bagaimana dengan alat-alat yang digunakan? “Ya, biasa. Alat yang kita gunakan adalah
alat-alat pelatihan yang sudah disiapkan, seperti projector, kertas plano, metaplan, alat
tulis, dan tentu materi-materi game,” jelasnya.

Alat seperti projector, terang Gagaring, digunakan untuk presentasi gagasan dalam
bentuk slide, kertas plano untuk membahas gagasan dari diskusi kelompok, metaplan
untuk menggali assessment pendapat peserta khususnya bila ingin mengetahui harapan
peserta, dan games tentu saja untuk mencairkan suasana. Pada dasarnya, tidak ada
masalah dengan penggunaan alat-alat pelatihan. Tinggal alat-alat itu digunakan sesuai
kebutuhan.

Apakah ada persiapan sebelum menyampaikan materi pelatihan? Menanggapi


pertanyaan ini, Gagaring mengaku tidak melakukan persiapan yang istimewa. Hanya
saja seorang SP, jelasnya harus menyiapkan dan menguasai materinya. Karena jika
tidak maka peserta bisa tersesat, apalagi kalau materi akuntansi, itu harus benar-
benar melalui langkah-langkah akuntansi yang tepat.

Hal lain adalah, imbuh Gagaring, seorang narasumber harus bisa menjadi fasilitator
terhadap berbagai gagasan peserta, sekaligus menjadi “guru” jika ada pendapat peserta
yang keliru dan membutuhkan penjelasan. “Prinsipnya, seorang narasumber dalam
pelatihan yang menggunakan pendekatan partisipatif itu harus mampu mengakomodir
setiap pendapat peserta,” katanya.

Bagaimana peran akuntansi dalam tata pemerintahan? Gagaring menanggapi bahwa


akuntansi keuangan daerah adalah bahasa transaksi keuangan daerah. Karena itu, jika
akuntansi keuangan suatu daerah buruk maka buruklah komunikasi transaksi
keuangan daerah itu. Dengan sendirinya, tata pemerintahan di daerah itu juga akan
buruk. Karena itu setiap pemerintah daerah harus memperhatikan akuntansi keuangan
daerahnya dengan sungguh-sungguh. Pemerintah daerah tidak boleh menempatkan
sembarang pegawai untuk menangani akuntansi keuangan daerah. Harusnya prinsip
“the right man on the right job” diterapkan untuk mengawal akuntansi keuangan daerah.
Penerapan akuntansi keuangan daerah sesuai regulasi merupakan syarat mutlak untuk
mewujudkan Good Governance (GG).
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
134 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Gagaring menilai bahwa sampai saat ini penatakelolaan akuntansi keuangan daerah
masih jauh dari harapan. Sehingga tidak heran jika penerapan PP No. 24 Tahun 2005,
Permendagri No. 29 Tahun 2007, SE No. 900/316/2007, dan SE No. 900/743/2007
masih ibarat “menggantang asap”. Bisa diprediksi bahwa setiap tahun ada milyaran
rupiah dana APBD dari setiap kabupaten/kota yang tidak dikelola dengan baik sesuai
standar regulasi akuntansi keuangan daerah. Hal ini, jelas Gagaring panjang lebar,
disebabkan oleh masih rendahnya kualitas pengelolaan akuntansi keuangan daerah.
Penyebabnya antara lain, masih rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM)
pengelola akuntansi keuangan daerah, staf pengelola akuntansi keuangan daerah belum
memahami akuntansi dengan baik, penempatan pejabat atau pegawai pengelola
akuntansi keuangan daerah belum memenuhi prinsip the right man on the right job.

Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya asumsi sebagian pengelola


akuntansi keuangan daerah bahwa akuntansi sulit dipelajari. Sehingga, para pengelola
keuangan daerah terkesan mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan akuntansi
keuangan daerah yang baik. Akibatnya, setiap transaksi keuangan daerah tidak tercatat
sebagaimana yang diatur dalam regulasi.

Rendahnya pemahaman akuntansi keuangan daerah tidak hanya terjadi pada


pengelolaan akuntansi keuangan daerah kabupaten/kota, tapi anggota DPRD juga
sebagian besar belum memahami akuntansi keuangan daerah dengan baik. Sehingga,
tidak jarang APBD suatu daerah terhambat karena terjadi silang pendapat antara
DPRD dengan eksekutif. Hal ini merupakan salah satu indikasi nyata tentang masih
rendahnya pemahaman akuntansi keuangan daerah baik oleh pengelola akuntansi
keuangan daerah maupun oleh legislatif.

Sebagai penegasan, Gagaring mengatakan, akuntansi yang kurang baik otomatis akan
menimbulkan miskomunikasi transaksi antar Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD)
secara internal bahkan juga sering terjadi miskomunikasi antar DPRD dengan
Pemerintah Daerah (Pemda).

Karena itu, peran LGSP yang selama ini memberikan pelatihan akuntansi keuangan
daerah kepada staf Pemda, dan bahkan anggota DPRD dinilai Gagaring sebagi langkah
strategis dan sangat urgen.

Meskipun menilai penerapan pendekatan partisipatif dalam pelatihan akuntansi


keuangan daerah efektif namun Gagaring mengaku tetap menemui kendala dalam
pelatihan. Menurutnya, ada beberapa kendala yang sering ia temui, antara lain; latar
Kumpulan Pengalaman Menarik 135

belakang ilmu peserta bukan ilmu akuntansi, pemahaman peserta tentang akuntansi
sangat bervariasi, bahkan ada peserta yang memang belum tahu akuntansi keuangan
daerah sama sekali, ada asumsi peserta yang sudah terbangun bahwa akuntansi sulit
dipelajari, ada peserta yang biasa merasa senior dan lebih pintar dan khusus peserta
anggota DPRD, biasanya mereka lebih senang berdebat dalam diskusi ketimbang
membahas soal-soal akuntansi.

Seorang SP harus mampu mengatasi berbagai kendala tersebut dengan cara meramu
metode yang ada. Salah satu cara untuk mengetahui pemahaman peserta tentang
akuntansi keuangan daerah adalah dengan melakukan pre-test. Dari tes awal yang
dilakukan tersebut akan diketahui siapa peserta yang sudah memiliki pemahaman
akuntansi keuangan daerah yang baik dan siapa yang belum.

Kemampuan peserta yang bervariasi itu dapat diselesaikan dengan cara membagi
peserta menjadi kelompok-kelompok kecil. Dari hasil pre-test yang dilakukan akan
ditemukan peserta yang memiliki kemampuan akuntansi di atas rata-rata. Sehingga
ketika pembagian kelompok, peserta yang memiliki kemampuan di atas rata-rata itu
dapat disisipkan ke dalam setiap kelompok yang telah dibentuk. Manfaatnya, peserta
yang disisipkan tersebut akan membagi kemampuannya dalam diskusi kelompok,
sekaligus ia menjadi motivator anggota kelompoknya untuk lebih aktif dan bergairah
mengikuti pelatihan. Hasilnya, peserta yang tadinya hanya acuh tak acuh akan tertarik
mengikuti pelatihan. Dengan sendirinya, diskusi kelompok pun akan lebih partisipatif.
Inilah yang penulis maksud dengan “participatory group discussion”.

Selain itu, untuk mengatasi masalah asumsi negatif tentang sulitnya akuntansi maka
seorang SP perlu menciptakan games yang berhubungan dengan akuntansi. Sehingga,
melalui games dijelaskan bahwa sebenarnya belajar akuntansi sama saja dengan
mempelajari bidang ilmu yang lain. Belajar akuntansi juga bisa dilakukan dengan santai
dan rileks.

Soal adanya peserta yang biasa merasa senior, seorang SP harus mampu menempatkan
dia sebagai senior tanpa memberikan perbedaan dan dispensasi kepadanya. Misalnya,
peserta yang merasa senior itu tidak terlalu suka dengan games, maka peserta tersebut
tetap harus ikut game tapi jangan dijadikan motivator utama dalam game. Hasilnya,
“sang senior” tadi tetap enjoy dengan game tapi ia juga merasa tetap dihormati.

Bagi anggota DPRD yang lebih suka berdebat, Gagaring mengatakan bahwa seorang
SP tidak boleh terpancing dengan perdebatan, tapi seorang SP harus bisa meyakinkan
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
136 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

bahwa sesungguhnya jika anggota dewan tidak memahami akuntansi bagaimana bisa
mereka menganalisis APBD. Biasanya jika sudah ditekankan tentang pentingnya
akuntansi bagi anggota dewan maka anggota dewan itu mulai tertarik.

Masih menurut Gagaring, sampai saat ini, belum semua SKPD di kabupaten/kota
memiliki staf yang “melek” akuntansi keuangan daerah sesuai regulasi yang baik. Karena
itu ada beberapa poin yang ia rekomendasikan, yaitu: Pemda/Pemkab harus memiliki
komitmen untuk menempatkan alumni pelatihan pada bidang kerja akuntansi karena
kapasitas mereka telah ditingkatkan; Pemda perlu mengirim staf atau pejabat yang
memang bertugas untuk mengelola akuntansi keuangan daerah di SKPD untuk
mengikuti pelatihan; Pihak LGSP perlu memberikan pemahaman kepada Pemda
kabupaten/kota tentang pentingnya mengirim staf pengelola akuntansi keuangan
daerah untuk pelatihan, jangan mengirim staf dari bidang lain. Selain itu, mutasi staf
maupun pejabat yang membidangi akuntansi keuangan daerah perlu diperhitungkan.
Karena jika petugas tersebut terus dipindahtugaskan maka Pemda kabupaten/kota
harus pula terus melakukan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas staf atau pejabat
yang menangani akuntansi keuangan daerahnya. Hal ini tentu saja mengakibatkan
terjadinya pemborosan.

“Apa yang dicapai LGSP dalam meningkatkan kapasitas para staf dan pejabat pengelola
keuangan daerah jelas berimplikasi positif bagi perwujudan good governance di daerah.
Karena akuntansi yang baik dengan sendirinya mewujudkan transparansi keuangan
daerah. Di mana transparansi adalah salah satu syarat tata pemerintahan yang baik
itu.” Kunci Pak Gagaring seraya bersiap-siap menuju ke kota Parepare untuk
memberikan pelatihan akuntansi bagi staf dan pengelola akuntansi keuangan daerah.
(sim)
Kumpulan Pengalaman Menarik 137

Motivasi Peserta,
Kunci Keberhasilan
Pembelajaran
Oleh: Harryanto

“Pelatihan dengan pendekatan partisipatif terbukti mampu mendorong meningkatkan


keingintahuan peserta yang lebih besar terhadap materi yang disampaikan,” demikian penilaian
Drs. Harryanto, M.Com terhadap pelatihan dengan pendekatan partisipatif yang dilaksanakan
LGSP di beberapa daerah kota dan kabupaten di Indonesia.

Dosen Universitas Hasanuddin Makassar penyandang gelar Master of Commerce in Ac-


counting ini mengatakan bahwa inti pelatihan dengan pendekatan partisipatif itu terletak
pada peningkatan motivasi keingintahuan peserta terhadap materi pelatihan. Jadi narasumber
lebih bersifat sebagai motivator. Dengan demikian peserta pelatihan akan lebih berpartisipasi
dalam pelatihan. Jadi pengetahuan yang ada diangkat dari peserta lalu didiskusikan bersama.
Hasilnya, peserta akan lebih termotivasi untuk mengetahui lebih banyak.

Hal ini berarti pula bahwa pelatihan dengan pendekatan partisipatif bukanlah akhir dari
proses pembelajaran bagi peserta pelatihan. Namun, masa pelatihan hanya sebagai pemicu
bagi peserta untuk lebih banyak mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan bidang
kerja mereka setelah mengikuti pelatihan.

Bagi Harry, demikian ia disapa, pelatihan dengan pendekatakan partipatif bukan hal baru.
Namun ia mengakui bahwa keterlibatanya dalam memberikan materi akuntansi maupun
anggaran pada berbagai pelatihan LGSP memberinya banyak inspirasi. Hal tersebut bermula
ketika ia mengikuti pelatihan ToM yang menerapkan pendekatan partisipatif.

Salah satu inspirasi baru itu adalah dengan memberikan analogi foto kepada peserta sebagai
media untuk menyampaikan materi. Foto-foto, kata Harry, terbukti mampu memberikan
inspirasi bagi peserta pelatihan yang selama ini ia laksanakan. Melalui foto-foto yang ditunjukkan,
peserta akan mengekspresikan pendapat mereka. Hanya saja, foto-foto itu hendaknya
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
138 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

berhubungan dengan materi pelatihan, misalnya akuntansi, maka foto-foto yang ditampilkan
juga harus berhubungan dengan akuntansi.

Selain foto-foto, Harry juga mengembangkan metode role play, jadi disini peserta pelatihan
melakukan praktek secara berkelompok.

“Ya, semacam simulasilah. Peserta akan saling berbagi dan berdiskusi dalam role play itu
untuk menyelesaikan setiap kasus yang mereka hadapi,” ucapnya.

Harry menyadari bahwa pelatihan ToM yang ia ikuti jelas semakin mengasah konsep
pembelajaran yang telah ia bawa dari Australia pada tahun 1992. Ketika itu, kenang lelaki
paruh baya murah senyum ini, ia baru kembali dari studi di Wollongong University, Austra-
lia. Ia mempresentasikan pembelajaran dengan pendekatan partisipatif. Pendekatan ini ia
sebut pendekatan eigitif; yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggali informasi secara
maksimal dari peserta. Informasi yang bersumber dari peserta itu kemudian didiskusikan
untuk mencari kebenaran secara bersama-sama.

Sedikitnya ada tiga keuntungan yang diperoleh dari pendekatan ini, yaitu: peserta berperan
lebih aktif; narasumber tidak kehabisan energi karena ia hanya berfungsi sebagai fasilitator;
dan peserta pembelajaran bisa memiliki motivasi keingintahuan yang lebih besar terhadap
materi yang disajikan atau didiskusikan bersama. Dengan demikian, pesertalah yang lebih
banyak aktif mencari ilmu pengetahuan. Sementara dosen atau narasumber bukan lagi sebagai
manusia super yang mengetahui segala hal. Narasumber hanya sebagai pengatur jalur lalu
lintas informasi yang beragam dari peserta.

Sayangnya, ketika itu, pembelajaran dengan pendekatan partisipatif yang Harry sampaikan
tersebut disambut dingin oleh dosen dan civitas akademika lainnya. Alasannya, karena ketika
itu, pembelajaran dengan pendekatan partisipatif itu bukanlah main stream, namun sebagai
alternative approach. Tapi walaupun tidak mendapat respon yang menggembirakan dari
rekan sejawatnya, Harry tetap menerapkan pendekatan itu kepada mahasiswanya. Dari
sinilah ia menemukan pengalaman-pengalaman baru yang bersumber dari mahasiswa.

Ketika ia diminta menjadi narasumber di beberapa pelatihan yang menggunakan pendekatan


partisipatif, Harry mengaku tidak canggung lagi. Karena pendekatan ini telah ia implementasikan
ketika memberikan mata kuliah akuntansi kepada mahasiswanya. Hanya saja, menurut
Mahasiswa Program Doktor di Negeri Jiran, Malaysia ini, motivasi belajar mahasiswa berbeda
dengan motivasi belajar peserta suatu pelatihan, misalnya pelatihan akuntansi.
Kumpulan Pengalaman Menarik 139

“Kalau mahasiswa, motivasinya memang belajar. Bahkan bisa dikatakan pengalaman mahasiswa
dalam bidang akuntansi belum terlalu banyak. Jadi mahasiswa cenderung lebih menerima
penjelasan yang disampaikan. Sementara kalau pelatihan akuntansi bagi pegawai teknis di
jajaran pemerintah daerah itu sudah memiliki pengalaman. Jadi jika kita memberikan materi
yang bertentangan dengan pengalaman mereka maka peserta pelatihan bisa protes atau
tidak serius mengikuti pelatihan,” terang Harry.

Bisa dibayangkan, lanjut Harry, jika peserta suatu pelatihan akuntansi tidak tertarik maka
bisa jadi pelatihan itu gagal. Apalagi, sudah jamak dalam asumsi orang bahwa akuntansi
adalah pengetahuan yang sulit karena berkaitan erat dengan angka-angka. Karena itu, pelatihan
akuntansi maupun pelatihan penganggaran keuangan daerah sebaiknya menggunakan
pendekatan partisipatif seperti yang selama ini ia lakukan.

Secara filosofis setidaknya ada tiga poin penting yang mendasari kenapa pendekatan
partisipatif itu perlu diterapkan dalam suatu pelatihan. Pertama, setiap orang ingin diapresiasi.
Kedua, setiap orang memiliki inner potential dalam diri mereka masing-masing. Ketiga, setiap
orang memiliki pengalaman yang patut didengarkan.

Setiap peserta perlu mendapat apresiasi yang baik dari pelatih, fasiltator, narasumber maupun
dari sesama peserta. Dengan memberikan apresiasi terhadap setiap pendapat yang
disampaikan peserta maka peserta tersebut akan merasa mendapat ruang untuk berekspresi.
Dengan sendirinya, peserta itu akan terus termotivasi untuk menyampaikan pikiran-
pikirannya, apakah dengan cara berbicara dalam forum atau dengan menuliskannya di
kertas plano lalu disampaikan di depan forum pelatihan.

Bahwa setiap orang memiliki potensi terpendam, iya. Karena itu. Jika suasana pelatihan
kondusif bagi setiap peserta untuk mengekspresikan potensi itu maka peserta akan lebih
aktif berpartisipasi. Karena itu, tugas penting seorang fasilitator adalah memancing potensi
terpendam yang ada dalam diri setiap peserta pelatihan.

Khusus peserta pelatihan yang berasal dari berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dan instansi pengelola keuangan daerah misalnya, tentunya mereka telah memiliki
pengalaman dalam mengelola keuangan maupun akuntansi keuangan daerah. Karena itu,
pengalaman mereka adalah hal penting yang patus di diskusikan. Jika setiap peserta sudah
berminat menyampaikan pengalaman mereka maka akan mempermudah nara sumber dan
peserta yang lain untuk memberikan masukan. Sehingga pengelolaan akuntansi keuangan
daerah sesuai dengan regulasi yang ada dapat diimplementasikan.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
140 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Jadi semacam studi kasus. Jika peserta menyampaikan pengalaman mereka maka kita akan
lebih mudah mengetahui di mana kelemahan yang selama ini mereka buat. Dengan sendirinya,
akan lebih mudah pula memberikan masukan kepada mereka untuk penyempurnaan
pengelolaan keuangan daerahnya,” jelas Harry.

Pada prinsipnya, jelas Harry lebih lanjut, pelatihan dengan pendekatan partisipatif itu
memotivasi peserta untuk mengetahui lebih banyak mengenai berbagai hal, khususnya hal-
hal yang berhubungan dengan bidang kerja mereka masing-masing. Contohnya, urai Harry,
pelatihan akuntansi keuangan daerah berkaitan dengan berbagai bidang lain, misalnya bidang
penganggaran dan perencanaan.

Secara internal akuntansi sendiri memiliki tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk
mewujudkan akuntansi keuangan daerah yang sesuai standar regulasi. Karena itu, adalah
mustahil jika semua peserta mampu menguasai materi akuntansi yang diberikan hanya dalam
pelatihan yang berlangsung tiga hari misalnya. Namun dengan kuatnya motivasi keingintahuan
peserta pelatihan yang terus didorong selama pelatihan maka dengan sendirinya pesertalah
yang nantinya secara sadar akan mencari tahu lebih banyak mengenai akuntansi keuangan
daerah setelah mereka selesai mengikuti pelatihan.

“Jadi intinya pelatihan itu mendorong motivasi keingintahuan peserta terhadap materi
pelatihan. Jika ini sudah tercapai, oke. Peserta akan mencari sendiri karena mereka telah
memiliki kesadaran dan keingintahuan yang kuat,” katanya.

Dalam kaitannya dengan tata pemerintahan yang bersih dan baik, Harry mengatakan bahwa
jika peserta pelatihan telah memiliki motivasi keingintahuan yang besar maka mereka dengan
sendirinya akan mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan bidang kerja mereka. Misalnya,
bagian akuntansi akan semakin giat mencari tahu dan mengimplementasikan akuntansi
keuangan daerah yang baik sesuai regulasi yang ada. Jika hal ini sudah terjadi maka akan lahir
pegawai yang memegang prinsip amanah.

“Amanah itu memiliki dua nilai besar yakni bersungguh-sungguh dalam bekerja dan kedua
bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakan. Jika semua pegawai seperti ini maka
terwujudlah tata pemerintahan yang baik dan bersih itu,” harap Harry.

Penegasan Harry terhadap efektivitas pelatihan dengan pendekatan partisipatif ini bukan
sekedar retorika seorang fasilitator, tapi ia telah mengimplementasikan pendekatan
partisipatif ini di banyak pelatihan yang ia ikuti. Pelatihan mutakhir yang ia lakukan adalah
bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan pelatihan di Jayapura selama satu
Kumpulan Pengalaman Menarik 141

bulan. Di daerah ini, pelatihan dilakukan dua kali. Jadi masing-masing pelatihan menggunakan
waktu 2 minggu.

“Bayangkan, peserta pelatihan bertahan selama dua minggu. Mereka mengikuti pelatihan
dari jam delapan pagi sampai jam lima sore. Toh mereka bertahan bahkan tetap enjoy mengikuti
pelatihan sampai selesai,” aku Harry.

Andaikan materi pelatihan, terang Harry, tidak disampaikan dengan pendekatan partisipatif
maka para peserta kemungkinan sudah pada meninggalkan tempat pelatihan sebelum waktu
pelatihan selesai.

Pendek kata, Harryanto yang telah memiliki pengalaman sebagai trainee internasional
seperti di Nagoya University, Tokyo Institute of Technology, University of Birmingham dan
lainnya ini menekankan berkali-kali tentang efektivitas pendekatan partisipatif dalam pelatihan.

Apa saja trik yang ia lakukan sebelum menyampaikan materi? Dengan gaya yang santai sembari
memperbaiki tempat duduknya di sudut sofa, di rumahnya, di kompleks dosen Universitas
Hasanuddin Makassar, Harry menyebutkan bahwa sebelum menyampaikan materi seorang
fasilitator hendaknya memahami betul materi. Kedua, seorang fasilitator harus memiliki
kepekaan untuk memancing inner potential peserta pelatihan. Ketiga, seorang fasilitator
harus bisa menghargai setiap pendapat peserta. Kempat seorang fasilitator harus memahami
bahwa sumber pelatihan bukan dirinya seorang tapi semua orang yang terlibat dalam pelatihan
adalah narasumber. Dan yang tidak kalah pentingnya, setiap pelatihan yang menggunakan
pendekatan partisipatif harus dilaksanakan dengan melibatkan tim kerja. Karena, hanya dengan
tim yang kompak yang akan menentukan kesuksesan sebuah pelatihan.

“Jadi sebelum melaksanakan tugas, setiap anggota tim sudah harus mengetahui tugas masing-
masing. Siapa yang bertugas sebagai ice breaker, siapa yang membawakan games, penyajian
materi seperti apa, dan sebagainya. Semua itu sudah harus jelas sebelum pelatihan dilaksanakan.
Ya, perlu pertemuan kecil-kecilan lah untuk membahas rencana pelatihan,” terangnya.

Sebagai catatan, imbuh Harryanto, jika menyampaikan game jangan terlalu banyak. Usahakan
pemberian game yang proporsional. Jangan sampai terlalu banyak bermain sehingga
mengaburkan substansi materi pelatihan.

“Salam, sama teman-teman di LGSP,” ucap Harryanto seraya bersiap berangkat ke Jayapura.
(sim)
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
142 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Akuntansi yang Baik


Selamatkan
Keuangan Daerah
Oleh: Dr. Andi Kusumawati, SE,M.S.,Akt.

“Akuntansi keuangan daerah yang baik akan menyelamatkan keuangan daerah.


Kuncinya ada pada transparansi. Karena itu akuntansi keuangan daerah yang baik
merupakan langkah nyata untuk mewujudkan Good Governance (GG),” demikian
respon Andi Kusumawati menanggapi pentingnya akuntansi dalam mewujudkan GG.

Karena pentingnya akuntansi keuangan daerah yang baik, Ibu Uma sapaan Andi
Kusumawati, begitu serius membagi pengetahuannya sebagai seorang ahli akuntansi
kepada staf pemerintah daerah (Pemda) yang membidangi akuntansi keuangan daerah
dan pengelola keuangan daerah. “Hal ini perlu dilakukan agar efektivitas anggaran
daerah dapat dimaksimalkan untuk menyejahterakan masyarakat,” tegasnya.

Bagaimana Uma membagi ilmunya? Penyandang gelar Magister Akuntansi dari Uni-
versitas Padjajaran ini mengatakan bahwa ia menerapkan pembelajaran dengan
pendekatan partisipatif.

Ibu murah senyum ini menjelaskan bahwa pembelajaran dengan pendekatan partisipatif
yang ia peroleh dari LGSP memberinya wawasan baru dalam membagi pengalaman
dan pengetahuan kepada orang lain.

Metode partisipatif yang acap kali Uma gunakan dalam pelatihan, baik pelatihan yang
dilaksanakan oleh LGSP maupun oleh instansi lain adalah studi kasus (participative
group discussion), praktek akuntansi, effective presentation dengan projector, dan inovative
game .
Studi kasus, praktek akuntansi, dan presentasi adalah hal yang sudah biasa ia lakukan.
Hanya saja, bedanya kalau selama ini Uma membagi ilmu dengan hanya satu arah atau
paling banter dua arah maka dengan pendekatan partisipatif, sharing ilmu bisa
Kumpulan Pengalaman Menarik 143

bersumber dari multi arah. Selain itu, paradigma pembelajaran juga berubah karena
seorang narasumber bukan lagi sebagai sumber ilmu satu-satunya namun semua
orang yang terlibat dalam pembelajaran adalah narasumber yang patut diperhitungkan.

Hal lain, jelas Uma lebih jauh, innovative game benar-benar telah membuka cakrawala
berpikir para peserta pembelajaran untuk menyerap pengetahuan lebih mudah. Bahkan
materi pembelajaran seperti akuntansi yang selama ini dianggap susah berubah menjadi
ilmu yang bisa dipelajari dengan mudah dan rileks.

Semua metode itu, kata perempuan yang malang melintang memberikan pelatihan di
berbagai daerah di belahan Indonesia ini, ia kembangkan dari model pelatihan dengan
pendekatan partisipatif yang diberikan LGSP. Secara khusus, Uma mengatakan ada
beberapa hal baru yang sering ia terapkan ketika membawakan materi pada suatu
pelatihan, antara lain: membuat kesepakatan (kontrak belajar) dengan peserta, membuat
pohon harapan, membuat game yang berhubungan dengan akuntasi, mengatur jadwal
materi dengan baik, membuat media penyajian materi yang lebih bervariasi, dan
menerapkan filing system/sistem pengarsipan yang baik.

Dari hal baru tersebut, perempuan yang berulang tahun tanggal 5 April ini kemudian
melakukan beberapa inovasi sesuai kebutuhan pelatihan. Bagi Uma hal-hal baru yang
sering ia lakukan itu kemudian berubah menjadi strategi pembelajaran yang efektif
dalam suatu pelatihan. Membuat kotrak belajar misalnya.

Menurut Uma, setiap narasumber yang sekaligus berfungsi sebagai fasilitator perlu
membuat kontrak belajar dengan peserta pelatihan. Hal ini penting dilakukan agar
peraturan pelatihan dapat dilaksanakan sebagai tanggung jawab bersama. Pelibatan
peserta dalam menentukan kontrak belajar merupakan wujud partisipasi peserta
dalam menyukseskan pelatihan.

Selain itu, urai Uma, juga perlu dibuat pohon harapan. Pohon harapan mengilustrasikan
bahwa buah pohon harapan adalah harapan yang ingin dicapai yang berhubungan
dengan akuntansi, sementara akarnya adalah langkah-langkah dan strategi yang harus
dilakukan untuk mencapi buah harapan itu. Pohon harapan ini perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi kebutuhan peserta. Sementara akar pohon adalah strategi yang dapat
dilakukan untuk mencapai harapan itu. Dalam hal ini peserta diajak untuk
mengidentifikasi kebutuhan dan mencari jalan untuk memenuhi kebutuhannya.

Langkah strategis lainnya adalah mengkreasi game yang berhubungan dengan materi
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
144 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

akuntansi. Karena spesialisasi Uma adalah akuntansi dan keuangan maka game yang ia
kreasi tentu berhubungan pula dengan akuntansi. Fungsi game yang dibuat, urainya,
adalah untuk mencairkan suasana yang mulai jenuh. Juga sekaligus membuat suasana
pelatihan kembali menjadi segar. Uma memberi contoh “game perang-perangan”.
Bagaimana melakukan game ini? Uma menjelaskan langkah-langkah game tersebut.

1. Bagi peserta menjadi beberapa kelompok menurut warna.


2. Setiap peserta terdiri atas lima orang.
3. Ketika fasilitator menyebut warna “merah”maka kelompok warna merah yang
terdiri atas lima orang akan menyebut kalimat secara berurutan:
a. Peserta pertama menyebut “ bersiap “
b. Peserta kedua menyebut “angkat senjata”
c. Peserta ketiga menyebut “ isi peluru “
d. Peserta keempat menyebut “ tembak “
e. Peserta kelima menyebut “ dor ! “

Ketika peserta kelima menyebut “dor !” maka semua peserta tiarap.Yang tidak tiarap
berarti menjadi korban tembakan. Peserta yang tidak tiarap tersebut kemudian diberi
sanksi dari peserta, misalnya menyanyi dan sebagainya. Sebagai catatan, kelompok
merah harus menyebut kata-kata dalam tanda petik (“….”) tersebut secara berurut.
Jika salah maka peserta yang salah tersebut juga akan mendapat sanksi.

Game ini menunjukkan bahwa setiap langkah dalam akuntansi harus dilakukan secara
berurut sesuai urutannya masing-masing. Jika tidak berurut maka akan terjadi kesalahan
akuntansi keuangan. Dengan demikian jelaslah bahwa game tersebut memliki korelasi
yang erat dengan akuntansi.

Lebih jauh Uma mengatakan seorang narasumber atau fasilitator perlu mengatur
jadwal atau agenda kegiatan dengan baik sesuai materi yang akan disajikan. Tentu saja
materi sedapat mungkin disajikan sesuai waktu yang tepat. Misalnya, teori atau
presentasi disampaikan pada saat peserta masih segar.

Langkah selanjutnya, pemateri atau pelatih perlu menyampaikan materi secara


bervariasi. Misalnya, setelah presentasi dilakukan diskusi kelompok atau peserta
melakukan praktek penyusunan akuntansi.

Agar peserta bisa berpartisipasi secara aktif maka nara sumber harus mampu
melibatkan peserta semaksimal mungkin dalam setiap pembahasan materi. Hal ini
Kumpulan Pengalaman Menarik 145

penting dilakukan untuk menggali lebih jauh setiap pengalaman peserta pelatihan.
Siapa tahu justru dari pesertalah lahir best practices yang lebih baik.

Ingat, seorang narasumber ataupun fasilitator perlu membuat resume pada akhir
kegiatan, termasuk membicarakan kekurangan dan kelebihan selama kegiatan. Dalam
hal ini setiap peserta dapat berpendapat secara bebas dalam memberikan masukan
yang produktif.

“Jangan lupa membuat penilaian-penilaian yang disepakati sejak awal dengan peserta
sehingga peserta merasa dihargai. Berikan hadiah bila perlu sebagai bukti apresiasi,”
tandasnya.

Poin penting berikutnya adalah seorang narasumber atau fasilitator perlu meyakinkan
peserta bahwa pelatihan yang mereka ikuti saat ini sangat berguna bagi mereka.
Sehingga peserta merasa membutuhkan setiap materi yang disajikan.

Khusus materi akuntansi keuangan daerah yang menjadi keahlian Uma, ia menekankan
perlunya filing system/sistem pengarsipan yang baik bagi seorang akuntan. Karena jika
filing system tidak baik maka administrasi keuangan jelas juga akan amburadul.

Uma, lebih jauh mengatakan bahwa strategi dengan pendekatan partisipatif yang telah
ia lakukan itu terbukti mampu mendorong peserta pelatihan memahami akuntasi
keuangan daerah sesuai regulasi yang berlaku. Setidaknya, para peserta telah memiliki
kerangka kerja akuntansi keuangan daerah yang baik. Selanjutnya, para peserta pelatihan
akan terus mengembangkan pengetahuan akuntansi mereka setelah pelatihan.

Strategi-strategi tersebut, jelas Dosen Universitas Hasanuddin ini, juga telah


meluruskan asumsi kebanyakan orang bahwa akuntansi adalah salah satu ilmu sulit
karena berhubungan dengan angka-angka. Padahal sebenarnya, akuntansi tidak sama
sulitnya dengan apa yang mereka asumsikan.

Dari rangkaian kisah yang disampaikan dengan bersemangat ini, Uma menunjukkan
satu indikator keberhasilan pendekatan partisipatif yang ia gunakan dalam pelatihan.
Ia mencontohkan pengalamannya di Kabupaten Sorong Papua awal November 2008.
Ketika itu, para peserta sangat antusias mengikuti pelatihan. Dalam kontrak belajar
yang disepakati, ditetapkan pelatihan berakhir pukul 15.00 waktu setempat. Namun
setelah tiba waktunya, ternyata para peserta lupa. Bahkan peserta meminta agar
pelatihan terus dilanjutkan. Saat itu, Sekretaris Daerah Sorong yang sempat menyaksikan
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
146 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

pelatihan merasa sangat senang.

“Ini adalah salah satu indikator bahwa pendekatan partisipatif yang diterapkan dalam
pelatihan itu efektif mendorong semangat peserta untuk terus belajar dan berdiskusi,”
jelasnya yakin.

Selain hal tersebut diatas, Uma membuka tips, ada pula beberapa strategi penting
perlu dilakukan sebelum berdiri di depan peserta pelatihan. Karena itu, Uma
mengungkapkan beberapa hal penting yang ia lakukan sebelum menyampaikan
materinya, yaitu:
1. Lakukan pendalaman materi sesuai Terms of Reference (ToR).
2. Jika kegiatan difasilitasi beberapa fasilitator, maka penting untuk dilakukan
pembahasan bersama sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
3. Seorang pelatih sudah harus memiliki gambaran tentang siapa-siapa peserta, serta
bagaimana adat istiadat di sekitar peserta. Intinya pelatih perlu mengetahui kondisi
sosial budaya peserta.
4. Perlu dibuat komitmen dengan pemerintah daerah bahwa pelatihan ini dimaksudkan
untuk membantu pengelolaan pemerintah daerahnya.

Apakah Uma tidak menemui kendala dalam menyampaikan materi pelatihan? Jawabnya
ada. Menurut Uma ada beberapa kendala yang sering ia temui ketika menyampaikan
materi pelatihan. Kendala-kendala itu adalah latar belakang ilmu setiap peserta berbeda-
beda, bahkan ada yang sama sekali tidak mengerti akuntansi sehingga akan sulit
memberikan materi standar akuntansi. Selain itu, peserta harus mengikuti seluruh
materi sesuai tahapan-tahapan akuntansi, kenyataannya ada peserta yang terlambat.
Kendala lain, peserta memiliki asumsi awal bahwa ilmu akuntansi itu sulit dipelajari.

Untuk mengatasi kendala yang ia hadapi Uma memiliki tips khusus, yaitu: Pertama,
lakukan pre-test dan assessment peserta. Kedua, lakukan pembauran peserta dalam
diskusi kelompok. Dan ketiga, yakinkan peserta bahwa akuntansi bukan hal yang sulit
jika peserta mengetahui langkah-langkahnya. Jelaskan kepada peserta bahwa pelatihan
yang dilakukan itu bertujuan untuk mempermudah peserta memahami akuntansi.
jika peserta sudah yakin maka tidak akan ada lagi peserta yang terlambat.

“Yang tidak kalah pentingnya adalah kerja tim. Setiap pelatihan perlu kerja tim yang
kompak,” ujarnya menutup perbincangan. (sim)
Kumpulan Pengalaman Menarik 147

Pendekatan Partisipatif
Dorong Lahirnya Perbup Pos
Pelayanan Publik Paripurna (P4)
di Pinrang
Oleh: dr. Rusman Ahmad, M.Kes.

“Pelatihan dengan pendekatan partisipatif sangat berguna untuk mengimplementasikan


tata pemerintahan yang baik. Karena terbukti, beberapa regulasi yang mendukung
good governance seperti Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Pinrang No. 6 Tahun
2007 tentang Pos Pelayanan Publik Paripurna (P4). Proses penyusunan Perbup ini
juga telah menerapkan pendekatan partisipatif,” demikian pernyataan Kelompok Kerja
(Pokja P4) Kabupaten Pinrang, dr. Rusman Ahmad, M.Kes ketika ditemui di ruang
kerjanya beberapa saat lalu.

Sejauhmana keterlibatan Pak Rusman panggilan dr. Rusman Ahmad, M.Kes, dalam
penyusunan dan impelementasi Perbup P4 di Kabupaten Pinrang? Menanggapi
pertanyaan ini Rusman mengatakan bahwa pelayanan kesehatan di Kabupaten Pinrang
selama sekian puluh tahun dirasakan belum maksimal. Maka pada tahun 2004 lalu,
atas inisiatif beberapa stakeholder bidang kesehatan, tercetuslah komitmen untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat Pinrang berdasarkan standar kesehatan
masyarakat yang baik. Sebagai wujud dari komitmen itu ditetapkanlah Kecamatan
Paleteang Kabupaten Pinrang sebagai wilayah pilot project untuk mengimplementasi
Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Setelah melalui proses yang panjang dan kerja keras tim akhirnya PHBS Kecamatan
Paleteang Kabupaten Pinrang mampu meraih juara II tingkat Provinsi Sulawesi Selatan.

“Artinya, tingkat kesehatan masyarakat di Paleteang berada pada posisi yang prima.
Kerja keras kita membuahkan hasil,” kenang Rusman.

Lebih jauh dokter lulusan Universitas Hasanuddin tahun 1987 ini mengatakan dalam
memberikan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan PHBS maka dibuka pos
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
148 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

pelayanan dan pengaduan masyarakat. Hasilnya, pelayanan kesehatan semakin


meningkat dan secara beriringan meningkat pula kualitas kesehatan masyarakat di
daerah percontohan tersebut.

Sukses yang diraih PHBS inilah akhirnya menjadi inspirasi untuk meningkatkan
pelayanan di bidang pertanian, irigasi bahkan sampai pada bidang kelistrikan. Kemudian,
dalam perjalanannya, pada tahun 2007, kesuksesan PHBS semakin menarik perhatian
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pinrang. Sehingga, Bupati Pinrang menerbitkan Surat
Keputusan tentang Pos Pelayanan Publik Paripurna (Perbup No. 6 Tahun 2007 tentang
P4). Artinya, Kabupaten Pinrang telah memiliki payung hukum tentang standar
pelayanan publik yang prima bagi masyarakat daerah ini. Payung hukum ini tidak
hanya meliputi bidang kesehatan saja tapi telah meliputi seluruh aspek pemerintahan
dan pelayanan publik.

“Di dalam Perbup tersebut juga diatur mekanisme pelayanan dan pengaduan
masyarakat,” terang Rusman.

Untuk mengimplementasikan Perbup No. 6 Tahun 2007 tersebut, lelaki penyandang


gelar Master Kesehatan ini menguraikan bahwa telah dibentuk Kelompok Kerja (Pokja)
yang bertugas memantau pengimplementasian regulasi ini. Di mana Rusman sendiri
adalah tim Pokja yang membidangi kesehatan.

Sejauh ini, Pos Pelayanan Publik Paripurna (P4) telah meliputi wilayah desa/kelurahan,
kecamatan dan kabupaten. Dan saat ini P4 lebih membuka ruang bagi pengaduan
masyarakat untuk memperkuat mekanisme kontrol dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik di daerah ini.

Ke depan, jelas lelaki yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Pinrang ini,
diharapkan status hukum Perbup Pinrang tentang P4 meningkat menjadi Peraturan
Daerah (Perda).

“Dan yang patut disyukuri,” kata Rusman,“langkah untuk meningkatkan legalitas


hukum tentang P4 ini mengalami kemajuan yang pesat. Terbukti, saat ini telah disusun
Rencana Peraturan Daerah Pos Pelayanan Publik Paripurna (Ranperda P4) Kabupaten
Pinrang. Bahkan naskah Ranperda P4 telah berada dalam pembahasan Biro Hukum
Pemkab Pinrang”.

Keberhasilan melahirkan regulasi tentang pelayanan publik di Kabupaten Pirang, jelas


Kumpulan Pengalaman Menarik 149

Rusman, tidak terlepas dari pelatihan dengan pendekatan partisipatif yang dilaksanakan
LGSP. LGSP sendiri telah turut memfasiltasi lahirnya Perbup No. 6 Tahun 2007 itu.

Rusman mengakui bahwa sebagai seorang service provider (SP) LGSP, ia berusaha
menerapkan pendekatan partisipatif dalam pelatihan. Dan salah satu pelatihan yang
mendukung lahirnya Perbup P4 di Pinrang adalah Pelatihan Kader Kesehatan
Masyarakat yang berasal dari unsur masyarakat, petugas kesehatan, kepala Puskesmas
Pembantu (Pustu). Dalam pelatihan ini, Rusman mengaku menggunakan metode
presentasi dan diskusi untuk pengayaan materi. Sementara media pelatihan yang sering
digunakan adalah infocus dan kertas plano.

Agar pelatihan tidak membosankan, tak jarang Rusman meminta agar fasilitator lain
menyampaikan games.“Saya sendiri belum pernah membawakan games. Saya sepertinya
belum bisa,” jelas Rusman seraya menyunggingkan senyum.

Rusman mengakui bahwa dirinya memang masih menemui kendala menggunakan


semua alat pelatihan yang disediakan LGSP, seperti metaplan dan alat peraga lainnya.
Hal ini disebabkan karena penulis merasa belum terbiasa menggunakan alat-alat peraga
tersebut. Meskipun demikian, alat-alat peraga yang disediakan biasanya digunakan
oleh tim fasilitator lain untuk membuat suasana pelatihan lebih menyenangkan.

Meski demikian Rusman juga mengakui bahwa penggunakan infocus dengan metode
presentasi dan diskusi kelompok adalah bagian dari pelatihan yang partisipatif. Dan
penggunaan metode pelatihan tersebut dinilai masih efektif untuk menyampaikan
gagasan dan sharing dengan peserta pelatihan.

“Intinya, kan peserta memahami materi yang disampaikan. Kalau ada kelemahan dalam
materi, ya kita diskusikan. Di sinilah diskusi kelompok dibutuhkan untuk memberikan
pemahaman dan persepsi yang benar terhadap suatu masalah. Jadi pada dasarnya
metode presentasi dan diskusi itu efektif,” tandas Rusman.

Rusman menegaskan bahwa efektivitas kedua metode yang sering ia gunakan dalam
pelatihan tidak dapat diragukan lagi. Alasannya? “Itu sudah ada Perbup tentang
Pelayanan Pubik Prima. Meskipun Perbup itu sendiri masih perlu ditingkatkan
statusnya menjadi Perda. Tapi ini sudah menjadi salah satu indikator keberhasilan
pelatihan yang kita laksanakan, kan?” tegas Rusman retoris.

Lebih jauh Rusman mengakui bahwa selain kesuksesan, tentu saja ada kendala-kendala
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
150 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

yang dihadapi dalam pelatihan. Salah satu kendala yang paling dirasakan Rusman adalah
keterlambatan peserta. Apalagi kalau pelatihan dilaksanakan di kabupaten tempat
peserta berasal. Misalnya, pelatihan dilaksanakan di Pinrang sementara pesertanya
juga berasal dari Pinrang. Biasa peserta akan meninggalkan tempat pelatihan karena
yang bersangkutan memiliki urusan lain di luar pelatihan.

“Ini perlu diperhatikan ke depan. Jadi saya sarankan kalau mau melakukan pelatihan,
maka, lakukan di luar daerah asal peserta. Karena biar bagaimana pun bagusnya metode
yang digunakan, peserta bisa saja meninggalkan pelatihan karena merasa ada urusannya
yang lebih penting,” ujarnya. Untuk keluar dari masalah tersebut, Rusman menekankan
pentingnya disepakati kontrak belajar sejak awal pelatihan. Selain itu, peserta perlu
diseleksi jika akan melakukan pelatihan. Sebaiknya, peserta diminta membuat surat
pernyataan kesediaan mengikuti pelatihan. Dengan begitu, peserta tidak seenaknya
meninggalkan pelatihan.

“Jadi bagi mereka yang memang memiliki kesibukan yang bersamaan dengan waktu
pelatihan, ya tidak usah diajak.Tidak usah dijadikan peserta. Jangan dipaksakan meskipun
itu mitra lokal LGSP sendiri, misalnya,” tegas Rusman.

Selain menggunakan pendekatan partisipatif di Kabupaten Pinrang, dokter yang juga


pernah bertugas di rumah sakit Kabupaten Selayar ini mengatakan bahwa dirinya
juga telah menggunakan pendekatan partisipatif ketika menjadi narasumber pada
pelatihan penentuan kriteria kemiskinan di Kabupaten Gowa dan beberapa kegiatan
di Kabupaten Takalar.

Metode yang ia gunakan tetap metode presentasi dan diskusi kelompok. Dokter
kelahiran 31 Januari ini juga menekankan perlunya membangun kerja tim yang baik
dengan fasilitator lain. Di sinilah, kata dr. Rusman, dibutuhkan kerjasama tim jika mau
melihat pelatihan berhasil. Jadi, ada fasilitator yang mempresentasikan materi, dan
fasilitator lain mungkin menyiapkan games yang lebih bervariasi.

“Jadi pada prinsipnya, lahirnya Perbup Pinrang tentang pelayanan prima itu tidak
lepas dari pelatihan yang menerapkan pendekatan partisipatif, khususnya pelatihan
terkait yang dilaksanakan LGSP,” kuncinya.

Berbincang dengan dr. Rusman ibarat berbincang dengan kawan lama yang hangat.
Ya, dr. Rusman, seorang dokter yang penuh dedikasi dalam meningkatkan pelayanan
publik di Kabupaten Pinrang. (sim)
Kumpulan Pengalaman Menarik 151

Meretas Kemiskinan
dengan Pendekatan Partisipatif
Oleh: Ma’galatung

Memasuki wilayah Kabupaten Jeneponto ibarat memasuki wilayah Texas yang memiliki
padang berbatu dan kuda-kuda liar seperti yang tampak dalam film-film cowboy. Bedanya,
di Jeneponto tak ditemukan pohon-pohon kaktus raksasa namun digantikan dengan
jajaran pohon lontar yang berdiri kokoh menantang musim panas. Di beberapa wilayah
kabupaten yang berjarak sekitar 91 km dari Kota Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi
Selatan, bahkan memiliki musim kemarau yang mencapai 8 bulan. Meski demikian, ada
pula wilayah Kabupaten Jeneponto yang lebih subur. Namun, pada umumnya,
masyarakat di Sulawesi Selatan mengenal Jeneponto sebagai daerah kering yang berbatu.

Di balik metafora, padang berbatu, kuda-kuda liar dan pohon-pohon lontar, ada berkas
sinar harapan yang terus memancar dari kabupaten penghasil garam terbesar di Sulawesi
Selatan ini.

Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan upaya memaksimalkan potensi Sumber
Daya Alam (SDA) terus digalakkan. Semua stakeholders di Jeneponto bahu membahu
membangun masyarakat Turatea (panggilan masyarakat Jeneponto) ke arah yang lebih
sejahtera. Salah satu indikator keseriusan itu adalah lahirnya Klinik Usaha Turatea (Klisea).

Klisea adalah suatu lembaga independen multistakeholders yang bertujuan untuk


memberdayakan ekonomi mikro, kecil dan menengah (UMKM) di kabupaten yang
berpenduduk sekitar 327.788 berdasarkan Sensus 2004 ini.

Keseriusan pemerintah serta seluruh stakeholder bidang UMKM di Jeneponto bukan


sekedar isapan jempol belaka. Terbukti, keberadaan Klisea setidaknya telah mendapat
dukungan kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Jeneponto. Hal ini ditandai dengan
terbitnya Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 15 Tahun 2007 tentang Pemberdayaan
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
152 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Usaha Mikro di Kabupaten Jeneponto.

Keberadaan Klisea di Jeneponto memiliki hubungan erat dengan seorang fasilitator


yang penuh semangat, Ma'galatung. Lelaki brewok dengan tubuh yang agak gempal ini
juga pernah menjadi kepala desa. Namun keinginan kuatnya untuk mengabdikan diri
kepada masyarakat yang lebih luas mengharuskan dirinya meninggalkan jabatan kepala
desa dan memikirkan masyarakat Turatea secara keseluruhan.

Ia kemudian “menceburkan diri” ke dalam aktivitas dunia Lembaga Swadaya Masyarakat


(LSM). Dan setidaknya, sejak dua tahun terakhir Local Governance Support Program
(LGSP) South Sulawesi Regional Office (SSRO) telah mempercayai Ma'galatung sebagai
seorang Service Provider (SP) bidang penguatan masyarakat. Apa yang Magga, demikian
sapaan Ma'galatung, lakukan sejak menjadi salah seorang SP LGSP?

“Melatih, mengajak masyarakat berdiskusi, sharing dengan pemerintah daerah,


merumuskan langkah strategis, lalu aksi,” tegasnya. Lelaki nyentrik dengan kalung besi
putih yang acap kali bergelayut di lehernya itu menuturkan sejak mendapat pelatihan
dengan pendekatan partisipatif oleh LGSP maka dirinya pun berupaya menerapkan
metode pembelajaran partisifatif itu ketika ia diminta menjadi fasilitator maupun
narasumber pada berbagai kegiatan, baik kegiatan yang dilaksanakan LGSP maupun
oleh lembaga lain yang membutuhkan dirinya. Bagi Magga pelatihan dengan pendekatan
partisipatif terbukti mampu menggali pemahaman peserta pelatihan secara maksimal.

“Pelatihan dengan pendekatan partisipatif jelas memiliki berbagai keunggulan, antara


lain, peserta dapat berperan lebih aktif. Jadi pesertalah yang lebih banyak memberikan
masukan terhadap apa yang mereka butuhkan. Fasilitator hanya sekedar menjembatani
setiap gagasan yang disampaikan oleh peserta,” jelas Ma'galatung.

Dengan demikian, terangnya, pelatihan yang menggunakan pendekatan partisipatif


menempatkan fasilitator sebagai pengatur jalur informasi yang beragam dari peserta.
Sehingga, jelas bahwa fasilitator tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi dalam
pelatihan namun sumber informasi bisa berasal dari siapa saja yang mengikuti pelatihan.
Magga menilai, pelatihan dengan pendekatan partisipatif seperti ini sangat sesuai dengan
metode pembelajaran orang dewasa. Karena selama ini peserta pelatihan yang ia ikuti
adalah orang dewasa yang berasal dari berbagai latar belakang pengetahuan dan profesi.

Dalam menyampaikan materi maupun ketika bertindak selaku fasilitator pelatihan,


Ma'galatung sering menggunakan game dan gambar-gambar sebagai alat peraga. Bahkan
Kumpulan Pengalaman Menarik 153

lebih dari itu, pria humoris ini mengaku telah melakukan inovasi dalam memandu suatu
pelatihan.

“Saya telah melakukan sebuah inovasi kecil dalam pelatihan yang saya lakukan selama ini.
Saya telah menggunakan film kartun atau film animasi sederhana dalam menyampaikan
gagasan kepada peserta. Film animasi tersebut tentu saja yang sesuai dengan materi
yang akan saya sampaikan,” jelasnya.

Penyampaian materi melalui film animasi, kata Magga, seperti yang sempat ia peroleh
dari pelatihan yang dilaksanakan oleh LGSP beberapa waktu lalu, telah memberinya
inspirasi. Karena itu, ia tak segan melakukan inovasi dengan menggunakan film animasi
dalam pelatihannya. Apalagi, katanya, jika peserta sudah mulai mengantuk maka
penyampaikan materi melalui game atau film animasi terbukti mampu membuat peserta
bersemangat kembali untuk berdiskusi dan sharing.

Selain film animasi dan kartun, Magga juga menyampaikan materi dengan cara menyanyi
mengikuti gerakan yang diperagakan oleh tokoh-tokoh dalam film animasi. Khusus
metode menyanyi ini biasanya ia gunakan pada sesi perkenalan dengan peserta. Hasilnya,
terbukti efektif. Karena peserta tidak merasa sedang mengikuti pelatihan yang materinya
sulit tapi peserta tak ubahnya berdiskusi dengan teman sendiri sambil bercanda.

Hanya saja, Magga mengakui bahwa metode pemutaran film animasi maupun menyanyi
dengan mengandalkan teknologi tersebut tetap memiliki kendala. Misalnya, jika listrik
padam atau pelatihan dilaksanakan di desa yang belum ada listriknya.

Jika ada kendala listrik seperti ini, Magga tidak kehabian akal. Ia malah melakukan inovasi
baru dengan menampilkan karikatur di kertas plano. Melalui gambar kartun, peserta
pelatihan akan mendapat inspirasi untuk menyampaikan gagasan mereka. Atau jika
tidak dengan karikatur, pemberian praktek kepada peserta pelatihan juga dinilai efektif
dalam memberikan pemahaman kepada peserta.

Lebih dari itu, pria yang sering mengenakan gelang besi putih di lengan kirinya ini, mengaku
bahwa ia juga sering menggunakan metode mind mapping untuk menggali potensi dan
informasi dari peserta terhadap suatu persoalan. Metode mind mapping ia nilai juga
efektif dalam memetakan gagasan peserta tentang sebuah masalah yang membutuhkan
langkah strategis.

Karena itu, Ma'galatung menyarankan agar dalam melaksanakan pelatihan, pelatih maupun
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
154 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

narasumber hendaknya mampu menggunakan beberapa metode partisipatif. Sehingga


peserta pelatihan benar-benar merasa enjoy mengikuti pelatihan.

“Metode yang digunakan pun hendaknya variatif, agar pelatihan tidak monoton,” tandas
Ma'galatung.

Pendek kata, urai Ma'galatung, pelatihan dengan pendekatan partisipatif terbukti efektif
dalam menggali informasi yang lebih banyak dari peserta. Sebagai faktanya, Ma'galatung
menegaskan bahwa proses terbentuknya Klinik Usaha Turatea (Klisea) di Kabupaten
Jeneponto juga telah menggunakan pelatihan yang partisipatif.

“Alhamdulillah, saat ini Klisea telah memiliki unit-unit kerja sampai pada tingkat
kecamatan di Jeneponto. Kita berharap dengan adanya Peraturan Bupati tentang UMKM
di Jeneponto mampu mengefektifkan anggaran pemberdayaan UMKM,” harap
Ma'galatung.

Selain dari Pemerintah Kabupaten Jeneponto, kata Magga, sumber pendanaan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat khususnya UMKM juga diharapkan dari perbankan
dan pihak swasta. Sehingga, peningkatan kesejahteraan masyarakat di Jeneponto tidak
sekedar mimpi tapi menjadi kenyataan.

Hubungan erat antara Ma'galatung dengan Klisea Jeneponto juga dapat dilihat pada
Lokakarya Nasional Inovasi Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan UMKM yang
diselenggaran tanggal 5-7 Agustus di Surabaya. Dalam event ini, Magga menyampaikan
tentang Klisea atau yang juga disebut KUT (Klinik Usaha Turatea) di depan peserta
lokakarya.

Bukan hanya Klisea dengan program pemberdayaan UMKM, bersama CSO dan stake-
holder lainnya, Ma'ggalatung juga telah menjadi fasilitator Pemetaan Desa Berbasis Swadaya
di Jeneponto. Kegiatan ini melibatkan masyarakat dan perangkat aparat desa guna
menyusun peta potensi desa. Dengan adanya informasi tentang potensi desa yang
akurat maka musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) yang dilakukan dari
tingkat desa sampai tingkat kabupaten tidak salah sasaran.

“Selama ini, Musrenbang kan sering tidak tepat sasaran. Karena lain yang diusulkan
masyarakat lain pula yang diusulkan Satuan Kerja Perangkat Daerah atau SKPD,” terang
Magga.
Kumpulan Pengalaman Menarik 155

Akibatnya, masyarakat pesimis terhadap pelaksanaan Musrenbang yang dilaksanakan


pemerintah. Nah, kata Magga, dengan adanya pemetaan potensi desa maka setiap SKPD
terkait dapat mengalokasikan sumberdaya keuangan daerah sesuai kebutuhan masyarakat
desa. Dengan demikian, keinginan masyarakat akan sejalan dengan program pembangunan
yang ditetapkan pada tingkat kabupaten. Dalam hal ini, setiap SKPD dapat melakukan
scoring untuk menentukan skala prioritas pembangunan sesuai anggaran yang ada. Dengan
demikian, anggaran yang tersedia dapat lebih efektif dan efisien.

Bukan hanya sampai di sini, Ma'galatung bersama stakeholder lainnya di Kabupaten


Jeneponto juga telah memperjuangkan lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Transparansi
di Bumi Turatea.

Sampai saat ini, info Magga, Rancangan Perda (Ranperda) Transparansi tersebut telah
berada pada Biro Hukum Pemerintah Kabupaten Jeneponto. Artinya, jelas Magga, setelah
Biro Hukum melakukan kajian dan draf Ranperda Transparansi disetujui maka tinggal
diserahkan kepada DPRD Kabupaten Jeneponto untuk disahkan.

“Memang masih harus terus dilakukan pengawalan terhadap Ranperda Transparansi


tersebut agar tidak berlarut-larut di tangan eksekutif, khususnya di Biro Hukum,” tegas
Magga. Keberadaan Perda Transparansi di Kabupaten Jeneponto, jelas Magga adalah
suatu kebutuhsan mendesak. Karena dengan adanya Perda Transparansi maka upaya
perwujudan good governance dan clean governance di Jeneponto akan semakin nyata.

Klisea yang didukung dengan Peraturan Bupati Nomor 15 Tahun 2007, Pemetaan
Potensi Desa dan Ranperda Transparansi di Kabupaten Jeneponto menjadi indikator
adanya upaya serius dalam mengimplementasikan prinsi-prinsip Good and Clean Gover-
nance di Jeneponto. Sehingga cukup beralasan jika Ma'galatung terus mendorong setiap
stakeholder terkait di Jeneponto untuk terus bergerak maju demi membangun
masyarakat Turatea lebih sejahtera.

Magga menegaskan bahwa melalui Klisea, Peta Potensi Desa dan Ranperda Transparansi
di Jeneponto semuanya telah melalui proses pelatihan yang partisipatif. Tidak berlebihan
jika Ma'galatung menilai bahwa pelatihan dengan pendekatan partisipatif terbukti efektif
dan efisien dalam melakukan perencanaan pembangunan yang partisipatif pula.

Karena itu, ia mengharapkan agar pelatihan dengan pendekatan partisipatif dapat terus
dikembangkan. Jika metode pelatihan tidak dikembangkan nantinya peserta yang sudah
sering mengikuti pelatihan juga akan bosan. Sehingga menjadi tuntutan bahwa seorang
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
156 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

fasilitator maupun narasumber pelatihan perlu terus melakukan inovasi-inovasi untuk


memperbarui metode yang biasa mereka gunakan dalam pelatihan.

“Apa yang saya lakukan belum banyak artinya. Hanya saja saya percaya bahwa hal kecil
yang kita lakukan sekarang bisa menjadi hal besar yang dapat menjadi pembelajaran
orang lain di masa depan,” kunci Ma'galatung seiring derasnya desah angin yang menerpa
padang berbatu dan kuda-kuda liar di Jeneponto. (sim)
Kumpulan Pengalaman Menarik 157

Kelebihan Fasilitasi
yang Efektif
Oleh: Sri Hestiningsih

Dunia fasilitasi bagi Sri Hestiningsih sesungguhnya bukan lagi sebagai sesuatu yang
baru. Apa lagi keaktifannya dalam (Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya)
FPESD Jawa Tengah sejak tahun 2000 dengan Forum for Economic Development and
Employment Promotion (FEDEP), memberikan peluang bagi Hesti untuk turun
memfasilitasi di kabupaten/kota se Jawa Tengah. Tetapi sebelum mengenal teknik fasilitasi
efektif bersama LGSP, Hesti tidak pernah berpikir bagaimana fasilitasi itu bisa sukses,
karena itu proses fasilitasi dijalankan hanya berdasar pada pengalaman saja.“Kita banyak
belajar dari diskusi kelompok yang tidak pernah menarik dan didominasi oleh orang-
orang tertentu saja”, kenangnya.

Pada saat-saat awal mencoba menerapkan metode fasilitasi efektif mulai dari cara
bertanya dan mengambil keputusan dalam pleno melalui pendekatan partisipatif terasa
sangat sulit sekali. “Pada waktu itu saya ragu-ragu, karena kami sudah terbiasa dengan
kebiasaan sendiri dalam memfasilitasi sebuah pertemuan dan sudah kami lakukan
bertahun-tahun”.

Kepercayaan diri Hesti dalam mempraktekkan fasilitasi efektif berawal pada Desember
2007, yaitu ketika memfasilitasi pertemuan pelaku usaha pada sentra knalpot di
Kabupaten Purbalingga. Pelaku di sentra tersebut dikenal sebagai orang-orang yang
sulit sekali untuk diajak melakukan kegiatan bersama-sama, sehingga dibutuhkan
seorang fasilitator yang mampu memberikan motivasi tersendiri untuk melakukan
kegiatan secara bersama. “Pada saat itu kami harus mempersiapkan instrumen yang
memberikan jaminan bahwa pendekatan yang kita implementasikan adalah pendekatan
partisipatif, langkah berikutnya adalah merancang kegiatan fasilitasi yang efektif dalam
proses fasilitasi kelompok masyarakat. Dan hasilnya, benar-benar menakjubkan karena
para peserta senang sekali ketika harus bermain, menyanyi, tertawa, di samping secara
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
158 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

konten mereka juga mendapatkannya. Lebih-lebih lagi, yang membuat kami surprise
adalah para peserta setelah pertemuan tersebut mempunyi komitmen yang kuat
untuk bersama-sama mengembangkan knalpot di Kabupaten Purbalingga. “Itulah
keberhasilan yang luar biasa bagi kami,” tutur Srihestinigsih.

Setelah keberhasilan pada tahap pertama, Srihestiningsih di setiap kegiatan baik bersifat
rutin maupun pelatihan-pelatihan menyelipkan praktek-praktek yang telah diajarkan
dalam metode fasilitasi yang efektif. Untuk pertemuan yang lebih dari satu hari dan
melibatkan kerjasama antar daerah, juga diperlukan strategi untuk merangkul tokoh-
tokoh yang ada di dalamnya.

Untuk mengurangi rasa jenuh para peserta dalam sebuah pelatihan, Srihestiningsih
melakukan pelatihan tidak hanya di dalam gedung saja, tetapi mengadakan api unggun
pada malam hari. “Presentasinya sedikit, bila perlu diselingi tarian dan nyanyian,
maksudnya presentasi pendek tetapi membuka peluang interaksi sebanyak mungkin”.
Dalam pendekatan andragogi sebaiknya peserta tidak didikte terus dengan materi,
fasilitator dituntut untuk menciptakan sebuah suasana dimana mereka butuh mencari
materi secara keseluruhan.

Setelah melalui tahap-tahap awal, bagi Srihestiningsih makin timbul keinginan kuat
untuk memulai mengidentifikasi dan mempersiapkan faktor-faktor apa yang
menyebabkan sebuah fasilitasi dapat memperoleh hasil yang optimal. “Fasilitator
sebaiknya menyiapkan materi dengan baik, jelas dan terukur ditunjang dengan
persiapan teknis yang memadai, mengolah apapun yang ada di tempat pelatihan dan
selalu mengandaikan saya sebagai peserta pelatihan, hal terbaik apa yang akan saya
berikan sebagai fasilitator?”

Bertolak pada pengalaman memfasilitasi melalui pendekatan andragogi, di mana orang


dewasa pada dasarnya lebih menyukai hal-hal yang menyenangkan, meriah seperti
halnya kanak kanak bermain, sehingga media yang dipilih adalah gambar-gambar dan
berbagai macam warna yang menarik, sekaligus mudah untuk diingat. “Jikalau pada
masa lalu kami tidak pernah memperhatikan teknik berkomunikasi yang baik seperti
apa, maka dalam mengembangkan teknik fasilitasi efektif kami juga mempersiapkan
membangun komunikasi efektif dengan peserta sehingga fasilitator dapat melayani ke
seluruh peserta secara adil dan partisipatif”.
Kumpulan Pengalaman Menarik 159

Dengan profesionalitas yang dimiliki sebagai fasilitator, utamanya pengembangan


ekonomi lokal di Jawa Tengah, maka fasilitasi efektif menjadikan sebuah tantangan agar
fasilitator berperan sebagai pengusik sistem sosial, yaitu mendorong dan memotivasi
orang lain untuk selalu mau belajar dan mudah dalam mengeksplorasikan
kemampuannya serta pandai menciptakan sebuah suasana kebersamaan, yaitu
membawa orang-orang yang tadinya tidak mau menjadi mau.

Selamat Mencoba !!!

Srihestiningsih adalah pegiat Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya


(FPESD) Jawa Tengah
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
160 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

KLIBI yang Bernyawakan


Partisipasi
Oleh: Armyn Daulay

Pemerintah Kota Tebing Tinggi di Provinsi Sumatera Utara mengungkapkan dalam


visinya bahwa meningkatkan pelayanan bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sama
pentingnya dengan perbaikan terhadap layanan pendidikan dan kesehatan.
Peningkatan itu diarahkan agar layanan dapat dilakukan secara cepat dan terjangkau.
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Tebing Tinggi
adalah satuan kerja pemerintah kota yang bertugas melakukan peningkatan tersebut.
Mereka dengan sigap segera membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Peningkatan
Pelayanan UKM. Tim Pokja PP UKM terdiri dari SKPD, anggota dewan, perwakilan
UKM dan OMS. Pokja ini dibebani tugas untuk memikirkan cara-cara mengelola
pelayanan terhadap UKM dan membantu UKM untuk mengembangkan diri mereka.
Pokja merasa pemerintah kota akan segera mendapat masalah jika bekerja tanpa mitra.
Jumlah staf yang ada di Disperindagkop tidak sebanding dengan jumlah UKM yang
harus dibina yang mencapai 3.000 unit lebih.

Pokja dengan cepat berkaca pada apa yang telah terjadi selama ini. Meskipun telah
tercantum dalam uraian visi dan misi Walikota Tebing Tinggi, akselerasi yang
menggerakkan unit-unit ekonomi kerakyatan tidak pernah terlihat. Visi ”Pak Wali”
seolah-olah hanya gurauan yang garing. Saat itu, Pokja pun tidak mengerti benar cara
memberdayakan UKM. Konsep-konsep yang mereka coba telurkan bukanlah mudah
untuk diterapkan; dibutuhkan adanya jiwa wirausaha untuk membina UKM. Ini berarti
harus ada ”jembatan” untuk menghubungkan kebutuhan usaha kecil dan menengah
yang ada dengan kebijakan pemerintah. ”Mitra” adalah satu solusi yang muncul di
benak anggota Pokja. Bagaimanapun, pembinaan terhadap UKM boleh dilakukan oleh
kelompok yang non pemerintah. Sementara itu, UKM juga terbatas sumber dayanya
untuk mengelola wadah tersebut.
Kumpulan Pengalaman Menarik 161

Pokja kemudian bermusyawarah dengan LGSP Sumatera Utara untuk mengatasi


persoalan ini. Musyawarah tersebut menghasilkan satu kesimpulan bahwa harus ada
lembaga yang independen dan berisi orang-orang profesional untuk membantu
Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam meningkatkan layanan bagi usaha-usaha kecil
dan menengah yang sudah ada. Pokja dan LGSP percaya bahwa CIKAL yang ada di
USU dapat membantu mewujudkan ide tersebut. Reputasi CIKAL telah diketahui
oleh pemerintah kota saat itu.

Syahdan, dimulailah proses penciptaan embrio sebuah lembaga yang akan


mengakselerasi perkembangan usaha kecil di Kota Tebing Tinggi. Armyn Daulay, yang
sehari-hari bekerja mengelola CIKAL di Universitas Sumatera Utara (USU), didapuk
untuk memfasilitasi pertemuan. Para peserta sepakat bahwa proses rekrutmen tenaga
profesional yang akan mengelola lembaga itu harus dilakukan secara transparan dan
akuntabel.

Berbagai pihak terkait pengelolaan UKM diundang untuk hadir. Semua yang hadir
memiliki latar belakang yang berbeda. Seperti umumnya sebuah pertemuan multi
pihak, suasana tidak langsung cair, inspirasi tidak tumbuh dan ego tiap individu masih
tinggi. Armyn, sebagai fasilitator, dibantu dua teman yang lain memikirkan cara untuk
mengatasi situasi tersebut.

Pertemuan diawali dengan menemukan kepercayaan bersama bahwa cara yang akan
mereka gunakan adalah cara yang tepat bagi ”orang-orang dewasa”. Orang dewasa
ditandai dengan keinginan untuk berempati kepada orang lain, membuang apriori
dan mengendalikan diri atau dengan istilah lain ”berdiri di sepatu orang lain”.
Pengertian itu disajikan melalui permainan ”rebutan sepatu”. Semua peserta harus
melepas sepatu dan mengumpulkan di tengah ruangan. Kemudian masing-masing
peserta mengambil sepatu di tengah ruangan itu tanpa boleh mengambil sepatunya
sendiri. Sepasang sepatu yang diambil tidak boleh dari satu pasang yang sama, kiri dan
kanan harus berbeda. Agar lebih terasa “kompetisinya”, permainan rebutan sepatu
itu dilakukan saat pembagian materi untuk kegiatan.

Tanpa diketahui oleh para peserta ada satu atau dua pasang sepatu yang telah
disembunyikan oleh fasilitator. Peserta yang tak mendapatkan sepatu sama sekali
diminta menyanyi atau menari, hanya sebagai pemeriah suasana.Tiap peserta kemudian
ditanyai perasaannya tentang mengenakan sepatu orang lain. Tentu saja tak ada yang
merasa sungguh-sungguh nyaman mengenakan sepatu orang lain. Penggalian perasaan
itu dilakukan dengan metode ORIK.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
162 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Dibutuhkan waktu yang lama untuk membuat setiap peserta menyadari bahwa mereka
berkumpul untuk kepentingan bersama dan harus memiliki empati kepada orang lain
sebab tidak selalu posisi orang lain itu melulu menyenangkan. ”Jangan pernah
membiarkan kekakuan kembali menguasai suasana,” itulah catatan yang selalu dianut
oleh Armyn dan kawan-kawan di setiap fasilitasi yang mereka lakukan. Metode-metode
ToP diyakini sangat tepat untuk menimbulkan suasana cair dan menyenangkan itu.
Metode tersebut terbukti dapat digunakan untuk memfasilitasi pertemuan dari
berbagai lapisan masyarakat. Begitupun, dibutuhkan lebih dari satu fasilitator untuk
membuat pelaksanaan setiap metode ToP benar-benar menyenangkan.

Suasana yang sudah cair itu terus dipertahankan hingga akhir acara. Disinilah letak
kuncinya, orang dewasa akan berpartisipasi penuh apabila merasa senang dengan
sebuah kegiatan dan mengetahui manfaatnya untuk mereka sendiri.

Ide-ide tentang bagaimana memperkuat komunitas pengusaha kecil dan menengah


di Kota Tebing Tinggi digali dengan metode lokakarya. Hasilnya sungguh luar biasa.
Begitu semua peserta menyadari bahwa usulan mereka besar nilainya, maka ada banyak
sekali gagasan yang muncul. Berdasarkan hasil pertemuan itu dan beberapa pertemuan
lanjutan untuk mengembangkan ide yang ada, dirumuskanlah langkah-langkah untuk
membantu UKM. Nama Klinik Bisnis yang disingkat jadi Klibi juga ditemukan dengan
metode Lokakarya. Visi, misi dan proses rekrutmen yang dilakukan dirumuskan
menggunakan metode Lokakarya.

Klibi berjalan sejak dilantik pada akhir Juli 2008. Rasa memiliki Pemko dan pengurus
Klibi terlihat masih sangat tinggi. Segala langkah dan keputusan di dalam Klibi diambil
dengan cara partisipatif dan menyenangkan. Hal inilah yang menurut Armyn Daulay
menjadi ”nyawa” bagi Klibi. Lembaga baru ini juga menyebabkan Kota Tebing Tinggi
dijadikan acuan bagi model pengembangan UKM di kabupaten lain.

(Medan, Oktober 2008)


Kumpulan Pengalaman Menarik 163

Sukses Awal Penggunaan


Pendekatan Partisipatif
Oleh: Guntur

Pada awal perjalanannya, CSO di Kabupaten Kediri bergerak sendiri-sendiri. Perbedaan


bidang garapan, semakin menambah renggangnya hubungan di antara mereka. Tidak
ada satu aktivitas yang bisa membuat mereka saling berjumpa. Kondisi ini menyebabkan
fungsi pengontrol dan pemberi asupan kepada kebijakan eksekutif atau legislatif, tidak
begitu optimal hasilnya. Bahkan, muncul kesenjangan antara CSO yang begitu 'mesra'
hubungannya dengan eksekutif atau legislatif. Bagaimana bentuk kemesraan hubungan
ini? Mereka begitu mudah mengakses setiap proyek pemberdayaan masyarakat yang
diprogramkan Pemkab Kediri. Tetapi ada pula yang alergi untuk menjalin hubungan
dengan pengambil kebijakan. Kritik pedas selalu mereka lontarkan ke setiap program
yang dijalankan Pemkab Kediri. Situasi ini membuat eksekutif menutup pintu akses
informasi, maupun produk kebijakannya kepada CSO tipe seperti ini.

Kehadiran LGSP Jawa Timur mengubah semuanya. Serangkaian pembelajaran,


pendampingan, dan advokasi LGSP bersama beberapa CSO, membuat mulai ada kesatuan
langkah di antara CSO di kota tahu ini. Pada awalnya, mereka tidak tahu bagaimana cara
mengkritisi planning dan budgeting. Melalui LGSP-lah pengetahuan dan pemahaman mereka
mulai tumbuh. Langkah CSO dari kabupaten/kota lain yang mampu mensinergikan
perbedaan di antara mereka dalam wujud forum warga, juga menginspirasi CSO di
Kabupaten Kediri. Lewat salah seorang inspiratornya, Guntur, forum ini mereka namakan
Rujak (Forum Jagongan Kediri). Jagongan dalam bahasa Indonesia bisa diartikan kumpul-
kumpul atau kongkow-kongkow.

Tidak mudah pada awalnya, memahamkan anggota Rujak untuk konsentrasi pada bidang
garapan planning dan budgeting (PB). Bahkan, sempat muncul kesalahpahaman di antara
anggota Rujak. “Saya sempat dituduh teman-teman sebagai agen atau mendapatkan
materi dari LGSP karena aktif di dalam setiap program LGSP. Ya saya tidak ambil peduli
dan meyakinkan teman-teman bahwa kita ini sedang belajar dan dibelajari,” ujar laki-laki
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
164 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

berkumis lebat ini. Pelan tapi pasti, tudingan miring yang dialamatkan ke Guntur mulai
sirna. Mereka sadar betul kehadiran LGSP akan dapat meningkatkan kapasitas diri mereka
di bidang PB.

Rujak mulai menemukan kesamaan persepsi akan fokus aktivitas mereka. Diskusi kecil
tentang transparansi kebijakan di Kabupaten Kediri, kerap mereka lakukan sebulan
sekali. Berpindah tempat di rumah salah satu anggota Rujak, diskusi yang difasilitasi
LGSP mereka adakan. Akhirnya sebagai “media belajar” mereka menetapkan advokasi
di bidang kesehatan. Jalinan kerjasama dan loby mereka lakukan ke Dinas Kesehatan.
Terbentuklah Pokja yang menangani program kesehatan ibu dan anak.

“Kami mendapatkan temuan bidang perencanaan dan penganggaran di bidang kesehatan


sangat lemah. Misalnya masih tingginya angka kematian ibu dan dan anak serta anggaran
di sektor ini masih minim, hanya 8,6% dari keseluruhan anggaran di APBD. Apalagi ini
kan termasuk program wajib daerah yang terkalahkan oleh urusan pilihan misalnya
perikanan yang besarannya mencapai 14%,” ungkap bapak berputra dua ini.

Hasil temuan ini mereka tuangkan dalam konsep paper dan naskah akademik. “Kami
sandingkan hasil kami ini dengan draf SKPD dalam Sistem Kesehatan Kabupaten (SKK)
yang meskipun sudah jadi tapi masih belum sempurna. Ada kendala untuk menjelaskan
kepada SKPD apa pentingnya draf Raperda tentang SKK ini,” terang pendiri PUSAR
(Pusat Studi Advokasi Rakyat) ini.

Kendala lain yang dihadapi Rujak, justru memahamkan ke anggota dewan yang masih
belum peduli pada persoalan kesehatan. Melalui loby dan penjelasan hasil temuan Rujak
ke DPRD, mereka serahkan konsep paper, naskah akademik, dan legal drafting SKK ini
sebagai input dan hak inisiatif dewan “Yang nampak memang terkesan Komisi D yang
membuat SKK ini, kami hanya mengkompilasi dan menganalisis datanya menjadi naskah
akademik. Bagi kami ini bukan masalah besar,” ujar Guntur. Bisa dikatakan, kemitraan
yang sinergis antara CSO, eksekutif dan legislatif mulai terjalin melalui Raperda SKK ini.

Untuk lebih menyempurnakan naskah akademik dan legal drafting SKK ini, Rujak
mengadakan FGD bersama para penerima dan pemberi layanan kesehatan. Peserta
berasal dari perwakilan desa yang ditetapkan sebagai Desa Siaga seperti Kader Posyandu
atau PKK. Juga perwakilan swasta yang mendukung pelayanan kesehatan seperti klinik
atau ormas seperti Fatayat, Muslimat, yang sudah biasa diundang dinas kesehatan dalam
setiap kegiatannya. Tujuan FGD ini tentu saja menggali persoalan-persoalan yang dihadapi
masyarakat di bidang kesehatan. “Bagi kami ini sebuah kesuksesan. Tidak pernah selama
Kumpulan Pengalaman Menarik 165

ini di Kabupaten Kediri, sebuah Perda disusun melalui tahapan yang kami lakukan
seperti ini,” ungkap laki-laki kelahiran Samarinda ini. Lewat metode ORIK, sebuah
persoalan digagas dan didiskusikan bersama tentu saja dengan prinsip base on data.

Atmosfer santai dan informal berusaha diciptakan dalam FGD itu. Kebetulan peserta
sejumlah tiga belas orang ini, sudah terbiasa terlibat dalam diskusi. Selain itu, peserta
tidak perlu disangsikan lagi kepeduliannya terhadap masalah kesehatan masyarakat.
Sehingga FGD bisa berjalan mengalir, tanpa debat kusir yang berkepanjangan, dan banyak
temuan yang berhasil diungkap. Misalnya, peserta jadi tahu berapa anggaran kesehatan
yang dialokasikan di APBD, informasi program kesehatan Pemkab yang banyak belum
diketahui warga, tidak memadainya infrastruktur kesehatan, atau masih tingginya angka
kematian ibu melahirkan dan anak. Bagaimana dengan metode yang dipakai untuk
mengeksplorasi hal ini? Penggunaan pohon masalah membuat peserta FGD mengetahui
pemetaan masalah kesehatan yang ada. Semua peserta berkesempatan berpendapat
atas persoalan kesehatan yang yang dihadapi di wilayahnya. Peserta juga yang menganalisis
apa penyebab persoalan yang dikemukakannya maupun oleh peserta lain. Bahkan,
alternatif solusi atas semua permasalahan kesehatan bukan Rujak yang mengajukan,
melainkan seluruh peserta FGD.

Hasil FGD akan dikompilasikan dan sebagai datanya bisa sebagai bahan FGD bersama
pemberi layanan kesehatan (provider). Meski masih terus disempurnakan, Draf Raperda
SKK sudah dihasilkan atas sinergi tiga pilar good governance. Tahap selanjutnya menunggu
pembahasannya di tingkat Pansus DPRD. “Bola sekarang berada di Bupati, Raperda
sudah kami advokasi bersama dewan dan Dinkes. Komitmen Bupati yang kami tunggu,
karena pengalaman di Kabupaten Kediri ini sekitar 40 Raperda selama tahun ini belum
disahkan. Jadi kalau guyonan kami, ini bisa masuk rekor MURI,” cetus aktivis CSO yang
hampir 10 tahun ini beraktivitas.

Jadi terdapat tiga hal pokok yang dihasilkan Rujak bersama Guntur sebagai motornya.
Pertama, fokus pada satu agenda bersama, menjadikan Rujak makin aktif dan dinamis
aktivitasnya. Meskipun dengan latar belakang anggotanya yang beragam. Kedua, mereka
memberikan pembelajaran tentang pendekatan partisipatif kepada masyarakat.
Terutama dalam penyusunan sebuah Perda, warga dilibatkan dan didengar aspirasinya.
Ketiga, menaikkan posisi tawar Rujak di mata eksekutif dan legislatif. Kemampuan Rujak
dalam menganalisis persoalan dengan berpegang pada data, menjadikannya disegani
dan dibutuhkan perannya dalam penentuan kebijakan di Kabupaten Kediri. (yss)
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
166 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Kuasai Filosofinya
Sebelum Menggunakannya
dituis oleh: Sajidin

Anda tidak akan tahu kecerdasan seorang anak, sampai anda memberi ia kesempatan.
Itu adalah kalimat kunci yang diberikan oleh Sajidin, Kepala SLB PGRI Cisaat, saat
memotivasi para orang tua yang memiliki anak-anak dengan kebutuhan khusus (tuna
grahita). Menurut Sajidin, “Setiap anak memiliki kecerdasan sendiri. Yang salah adalah
manakala sekolah membebankan pendidikan yang melampaui kemampuan si anak.
Akibatnya anak seolah-olah tidak memiliki kecerdasan yang bisa dibanggakan.”

Pemahaman itu sejalan dengan apa yang dipelajarinya pada pelatihan teknologi
partisipasi (ToP) yang diadakan oleh LGSP Jawa Barat beberapa tahun lalu. Pada
pelatihan tersebut, ia mendapat pemahaman bahwa cara memandang persoalan akan
sangat menentukan bagaimana seseorang akan menyiasatinya. Jika seseorang hanya
mampu melihat kelemahan pada orang lain maka susah baginya untuk memberi
kesempatan kepada orang itu untuk berbuat. Oleh karenanya, manakala harus berbuat
sesuatu di Desa Caringin, Kecamatan Geger Bitung, ia selalu menekankan bahwa
setiap anak harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi. Tentu saja, partisipasi si
anak disesuaikan dengan keunggulan yang dimilikinya.

Sebagai fasilitator, ia sangat mengagumi metode-metode partisipatif yang pernah


dilatihkan oleh LGSP. “Metode-metode tersebut saya pergunakan tidak hanya di
dalam memfasilitasi pertemuan, tetapi juga saat mempengaruhi orang lain agar mau
memberi kesempatan kepada mereka yang berkemampuan beda tersebut,” jelasnya.
Pendekatan cara otak berpikir seperti yang digambarkan oleh “metode diskusi” pada
fasilitasi efektif dipraktekkan dengan baik saat berbicara dengan siapa saja yang harus
difasilitasinya. Metode tersebut, menurut pemahamannya, harus dimulai dengan
pertanyaan-pertanyaan yang mudah sebelum yang susah, sehingga tidak ada siapapun
Kumpulan Pengalaman Menarik 167

akan merasa terintimidasi dengan gerakan yang ingin dilakukannya. “Kebanyakan


kegiatan saya adalah memfasilitasi kelompok yang terbuka,” tuturnya memulai kisah
tentang pengalamannya kepada penulis.

Kelompok yang terbuka bukan berarti kelompok yang keanggotaannya tidak dibatasi.
Dalam hal ini, lulusan pasca sarjana manajemen pendidikan ini, memaknainya sebagai
kelompok yang tidak berada dalam satu ruangan semata akan tetapi kelompok yang
anggotanya menyebar di mana-mana dan menerima pengaruh pengalaman dan
pembelajaran dari berbagai sumber setiap harinya. Dengan begitu, ia harus berusaha
sangat keras agar tujuan “kelompok” untuk memaksimalkan potensi anak-anak mereka
yang sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang tak mengerti dapat tercapai.

Ide yang dikembangkan oleh alumnus Uninus (Universitas Islam) Bandung ini membuat
banyak pihak bersikap menolak. Betapa tidak, ia ingin menyekolahkan anak-anak tuna
grahita di sekolah yang bukan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Para orang
tua, pada awalnya, beranggapan ide itu benar-benar tidak bisa ditolerir. Mereka tidak
bersedia membiarkan anak-anak mereka bergaul dengan kelompok “luar biasa” ini.
Begitu juga orang tua murid tuna grahita, mereka merasa anaknya akan jadi bahan
tertawaan rekan sebaya dan akan semakin tertinggal dari anak-anak yang “normal”
lainnya. Sementara itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi juga belum menemukan
cara untuk memperjuangkan kemandirian anak-anak yang berpredikat tuna grahita
tersebut.

Persoalan itu harus diberangus oleh Sajidin dengan segera agar pendidikan benar-
benar merupakan bagian dari kesetaraan kesempatan. Perkenalannya dengan LGSP
Jawa Barat membawa perubahan besar dalam menangani persoalan ini. LGSP membantu
dirinya memfasilitasi pertemuannya dengan dinas pendidikan. Di sana ia menguraikan
idenya. “Dengan membiasakan diri menguraikan gagasan menurut filosofi metode
diskusi, semua persoalan akan mudah terlihat intinya. Selanjutnya, langkah-langkah
penyelesaian akan lebih sesuai dengan pengalaman tiap individu. Itulah kelebihan
metode ini,” paparnya bersemangat. Bersama dengan mitranya, Atik Rahmatika, mereka
mencoba membuat prestasi yang berbeda di Kabupaten Sukabumi. “Saat ini, banyak
sekali kabupaten lain yang ingin agar kami membantu juga di daerah mereka. Amanat
untuk membina tuna grahita ada di semua dinas pendidikan, meskipun campur tangan
pusat masih sangat tinggi, namun banyak dinas yang belum tahu harus berbuat apa,”
lanjutnya.

Bergantian mereka bercerita bahwa dengan menerapkan metode-metode fasilitasi


Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
168 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

efektif, terutama penghayatan atas filosofinya, sama sekali tak ada kendala yang berarti
yang mereka temui saat memfasilitasi “kelompok terbuka” tadi. “Kendala itu justru
muncul sekarang,” ujar Atik Rahmatika,“saat di mana LGSP tidak lagi membantu kami.
Kami seperti kehilangan salah satu mitra penting. Ada baiknya LGSP
mempertimbangkan untuk memperpanjang kegiatannya di Sukabumi agar apa yang
kami lakukan dapat lebih luar biasa lagi.”

Ia mengenang bahwa saat mulai mengkampanyekan perlunya memberi kesempatan


kepada anak-anak tuna grahita untuk bersekolah dengan teman-teman sebayanya
yang bukan tuna grahita, tidak banyak yang mendukung mereka. Pernah mereka harus
datang dari satu rumah ke rumah yang lain di Desa Caringin itu agar punya kesempatan
mendialogkan gagasan mereka kepada masyarakat.“Kami membiarkan masyarakat yang
menentukan apa yang harus mereka lakukan setelah mengetahui fakta-fakta,
mempertimbangkan perasaannya dan menganalisis situasinya. Itulah inti dari
pendekatan partisipatif. Selalu, akhirnya, masyarakat menyetujui bahwa pembauran
itu penting bagi tumbuh kembang anaknya baik untuk yang tuna grahita maupun
yang bukan,” ulas Sajidin.

Ditanya tentang pengalaman yang paling berkesan yang mereka peroleh dari upaya
memfasilitasi “kelompok terbuka” itu, mereka berdua sepakat bahwa memfasilitasi di
luar kelompok (non group faclitation) membutuhkan kesabaran dan penguasaan
metodologi yang lebih tinggi dibandingkan jika di dalam kelas. Meskipun tidak
menggunakan kartu metaplan, kertas plano atau tayangan slideshow, mereka tetap
dapat menggerakkan partisipasi.“Partisipasi itu ada di dalam diri sendiri. Setiap fasilitasi
harus menyebabkan tujuan kelompok secara bersama-sama lebih mudah dicapai.
Alat menjadi tak penting, selama metode yang digunakan berhasil menuntaskan proses.
Setiap metode ada filosofinya. Itu yang harus dipahami betul sehingga ketika
melaksanakannya tak akan ada kendala apa-apa,” ujar Sajidin sedikit berteori. “Kami
telah membuktikannya,” kelakarnya kemudian.

Sekali lagi Sajidin menekankan, metode-metode partisipatif tidaklah melulu untuk


digunakan di dalam pelatihan atau lokakarya saja. “Sepanjang dapat digunakan untuk
membuat tujuan tercapai dengan lebih mudah dan melibatkan semua pihak, maka
metode itu dapat digunakan kapan saja. Cara dan alat bukanlah yang utama dari metode,
yang terpenting adalah prinsip-prinsip di dalam metode itu sendiri,” pungkasnya.

(Sukabumi, Oktober 2008)


Kumpulan Pengalaman Menarik 169

Perda untuk
Mutu Pendidikan
di Tanah Datar
Oleh: Sri Elniati

Suatu siang, akhir Oktober 2008. Matahari baru saja melangsir ke barat ketika
sekumpulan anak berseragam hitam-putih keluar dari pintu gerbang SMP Negeri 1
Batusangkar. Semua murid perempuan berjilbab, sedangkan yang laki-laki bercelana
panjang. Tidak jauh dari sana, murid dari MTs dan SMA Muhammadiyah juga baru saja
mengakhiri jam belajarnya. Mereka kemudian bertemu di perempatan Jalan Pramuka
dengan siswa MTs Negeri. Sebagian bersendau gurau. Sebagian lagi terburu-buru
menyusuri jalan.

“Kami khawatir tidak lulus ujian,” kata Sahrudin, salah seorang siswa kelas 3 SMP
ketika saya ajak ngobrol di bawah pohon beringin yang amat rindang di sudut jalan.
Meskipun dia bersekolah di Batusangkar, Ibukota Kabupaten Tanah Datar, yang fasilitas
dan kualitas belajar-mengajarnya biasanya lebih baik dibandingkan daerah pinggiran,
kekhawatiran itu tetap tidak bisa dia sembunyikan. Saya kira, dia mewakili kekhawatiran
ribuan murid dari 47 SMP negeri dan swasta,17 SMA dan 8 SMK di kabupaten luhak
nan tuo ini.

Data dari Dinas Pendidikan setempat juga mencemaskan. Pada tahun 2008, tingkat
ketidaklulusan siswa SMP sebesar 8,36%, sedangkan MTs mencapai 17%. Untuk SMA
jurusan IPA, angka ketidaklulusan mencapai 6,93%, sedangkan IPS 12,4%. Sekolah
SMK malah lebih tinggi lagi, yakni 18,82%. Angka ini sebenarnya sudah lebih baik
dibandingkan tahun 2007, namun masih tidak memuaskan.

”Karena itulah, kami sekarang sedang berupaya keras meningkatkan mutu pendidikan.
Pelibatan masyarakat sangat penting, karena pendidikan kan tanggung jawab bersama,”
kata Kepala Dinas Pendidikan dan Tenaga Kerja Kabupaten Tanah Datar, Suryana Sukma.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
170 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Berupaya keras dan pelibatan masyarakat, itulah kuncinya. ”Namun memulainya dari
mana?” kata Sri Elniati, dosen Universitas Negeri Padang, kepada saya. Waktu itu, di
Berastagi pada Agustus 2008, kami sedang berkumpul bersama para service provider
(SP) untuk berbagi pengalaman memfasilitasi stakeholder USAID-LGSP. Sri Elniati
adalah SP USAID-LGSP Provinsi Sumatera Barat yang khusus membantu Dinas
Pendidikan Tanah Datar untuk menginisiasi program peningkatan mutu pendidikan.
Lulusan jurusan Pendidikan Matematika, London University, Inggris, ini mulai
memfasilitasi Dinas Pendidikan setempat setelah LGSP diminta oleh Bupati Masriadi
Martunus pada akhir 2005. Bahkan ketika Masriadi digantikan Sodiq Pasadigue,
dukungan terhadap LGSP masih tetap besar.

Bersama Dinas Pendidikan, setelah melakukan analisis mendalam, akhirnya disimpulkan


bahwa penyelenggaraan pendidikan di Tanah Datar butuh landasan pokok. Maka,
dimulailah penyusunan Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang
Penyelenggaraan Pendidikan. Sejak awal, Dinas Pendidikan dan Tenaga Kerja memang
telah memiliki visi Mewujudkan Sumber Daya Manusia yang Cerdas, Produktif dan
Berakhlak Mulia. Namun, karena belum memiliki payung hukum untuk mengatur
penyelenggaraan pendidikan, maka visi itu belum bisa diwujudkan di negeri Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah tersebut. Peraturan yang dipakai selama ini
bersifat nasional, yakni Undang Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang ternyata belum bisa mengakomodasi kebutuhan peningkatan mutu
pendidikan di daerah bekas Kerajaan Pagaruyung.

Beberapa contoh masalah yang perlu pengaturan adalah: (1) aturan berbusana muslim
bagi guru, peserta didik dan tenaga administrasi pendidikan yang muslim; (2) reward
untuk guru dan peserta didik yang berprestas; (3) re-grouping sekolah; (4) rolling
teacher; (5) program layanan keunggulan; (6) partisipasi masyarakat, dunia usaha dan
industri; (7) perlindungan terhadap peserta didik, peranan lembaga pendidikan swasta;
dan (8) rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai.

Atas dasar kebutuhan inilah, LGSP memberikan bantuan teknis guna memfasilitasi
penyusunan Ranperda tentang pendidikan. Langkah ini diawali dengan melibatkan
Dinas Pendidikan sebagai leading sector, Bappeda, bagian hukum, anggota DPRD (komisi
pendidikan), Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, kepala sekolah, perwakilan guru
dan Departemen Agama, perwakilan kaum adat, kelompok alim ulama serta unsur
dari perguruan tinggi. Selain FGD (focus group discussion/diskusi kelompok terfokus),
penyusunan Ranperda ini juga melalui pra-seminar input, seminar input, workshop dan
konsultasi (uji) publik. “Memang harus banyak energi untuk melahirkan Perda yang
Kumpulan Pengalaman Menarik 171

partisipatif,” Sri seolah bergumam pada dirinya sendiri. Keterlibatan semua pihak ini
untuk mendorong partisipasi secara maksimal. Dan memang akhirnya dihasilkan variasi
input. Selain latar belakang peserta yang terlibat beragam, juga secara substansi,
Ranperda ini mampu mengakomodasi semua aspek pendidikan dalam rangka mencapai
mutu pendidikan yang lebih baik.

“Saya mengajukan sejumlah pertanyaan dalam proses ini. Masalah apa yang akan
ditangani? Apa penyebab munculnya masalah? Siapa pelakunya?” kata Sri. Sambil
membuka catatannya, dia masih punya sederet pertanyaan, yang menurutnya, mampu
menggugah peserta untuk mengemukakan ide segar. Di antaranya: apa urgensi dan
tujuan Perda Pendidikan? Sasaran apa yang ingin diwujudkan dengan adanya Perda
Pendidikan? Pokok pikiran, lingkup dan obyek apa yang akan diatur dalam Perda?
Bagaimana jangkauan serta arah pengaturannya? Apa pengaruh sosial dari Perda yang
akan dibuat? Pihak-pihak mana yang terkait dengan adanya suatu Perda? Konsep
dasar/acuan apa yang diperlukan dalam penyusunan draf Ranperda Pendidikan?
Bagaimana potret kebijakan/pelaksanaan pendidikan di Kabupaten Tanah Datar yang
berjalan selama ini.

Jawaban-jawaban dari sejumlah pertanyaan itu kemudian dijadikan pokok pemikiran.


Tidak mudah untuk menggerakkan partisipasi peserta dalam mengemukakan pendapat.
Kekurangan referensi, keterbatasan kemampuan dalam bahasa hukum, perbedaan
latar belakang pendidikan dan pengalaman dari peserta, merupakan kendala utama
untuk meningkatkan partisipasi peserta dalam mengemukakan ide. Di samping itu
kalangan praktisi pendidikan, seperti guru, kepala sekolah, dan pengawas cenderung
ingin membuat aturan yang bersifat menguntungkan kelompok mereka.

Tapi, keberagaman ide itu akhirnya bisa dijembatani dengan mengelompokkan


permasalahan yang muncul dan mengapresiasi semua ide. Debat tentang bahasa hukum
diminimalkan dengan sebuah kesepakatan: yang penting adalah substansi yang
dikemukakan. “Semboyannya: semua ide bermanfaat,” katanya.

Keterlibatan anggota DPRD pada proses penyusunan Ranperda ini juga sangat
membantu. Karena dalam pembahasan di DPRD nantinya diharapkan akan diperoleh
dukungan dalam menggolkan Ranperda ini menjadi Perda. Dalam perjalanannya draf
Ranperda telah direvisi delapan kali. Kini, Ranperda ini sedang memasuki tahapan uji
publik. Segera, setelahnya warga Tanah Datar berharap agar Ranperda ini segera dapat
disahkan dewan. Sehingga impian untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas, beriman dan bertakwa dapat diwujudkan di Tanah Datar.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
172 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

“Kamipun kini telah mendapat apresiasi dari Pemerintah Pusat dan lembaga donor,”
kata Suryana Sukma kepada saya di Tanah Datar, akhir Oktober lalu. Wilayahnya kini
menjadi pilot project bersama lima kabupaten terpilih di Indonesia dalam program
BERMUTU (Better Education Through Reformed Management Universal Teacher Up-
grading), sebuah program untuk peningkatan kualitas pendidikan kerjasama Direktorat
PMPTK, Depdiknas dan Bank Dunia. Di hari sewaktu saya di Batusangkar akhir Oktober
lalu, Suryana sedang menggelar rapat strategi implementasi program BERMUTU
bersama sejumlah kepala sekolah dan praktisi pendidikan. Sri Elniati juga hadir sebagai
fasilitator.

Selain itu, Kabupaten luhak nan tuo ini juga menjadi contoh bagi kabupaten/kota lain
di Sumatera Barat dalam penyusunan Ranperda Pendidikan secara partisipatif. “Kami
berharap kualitas pendidikan di sini terus membaik. Semua pihak bisa terlibat dan
bertanggung jawab meningkatkannya,” kata Suryana.

Dengan demikian, tentu saja, kekhawatiran Sahrudin tidak perlu berlebihan. Yang ada
hanyalah keyakinan: saya pasti lulus ujian. ***
Kumpulan Pengalaman Menarik 173

Pendekatan Partisipatif
Dorong Perda yang
Partisipatif
Oleh: Dr.Andi Suriyaman
Mustari Pide, SH,MH.

“Pelatihan yang menerapkan participatory approach (pendekatan partisipatif) sangat


membantu mendorong lahirnya Peraturan Daerah (Perda) yang partisipatif,” demikian
penilaian Dr. Andi Suryaman Mustari Pide, SH,MH dalam suatu kesempatan berbincang
di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Menurut Ibu Riri, demikian Dr. Andi Suryaman Mustari Pide, SH,MH disapa, sejak
menjadi service provider (SP) Local Governance Support Program (LGSP) Sulawesi Re-
gional Office (SSRO) 2006 lalu ia telah mengimplementasikan pendekatan partisipatif
dalam menyampaikan materinya.

Metode yang sering ia gunakan adalah metode penyajian dengan infocus, studi kasus-
kasus Perda bermasalah, dan diskusi partisipatif. Riri mengakui bahwa ia tidak
menggunakan semua metode pembelajaran partisipatif dalam menyampaikan
materinya. Namun metode lain seperti games biasanya diberikan oleh tim fasilitator
lainnya. Karena itu anggota Dewan Pakar Kaukus Perempuan Sulawesi Selatan ini
menekankan pentingnya kerja tim dalam melaksanakan pelatihan yang menggunakan
pendekatan partisipatif.

“Apalagi, materi yang sering saya sampaikan tentang analisis Perda bermasalah dan
Perda yang ideal. Tentu membutuhkan metode yang lebih dinamis agar peserta tidak
bosan mengikuti pelatihan,” jelasnya.

Menurut pengalaman, kisah ibu berputra satu ini, menghadapi para anggota DPRD
dalam pelatihan bukan hal yang mudah. Karena ada beberapa anggota DPRD yang
menjadi peserta pelatihan terkesan arogan dan merasa paling benar. Padahal setelah
dicek, ternyata Perda yang telah mereka susun memiliki berbagai masalah. Anggota
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
174 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

dewan yang merasa pintar inilah yang biasa membutuhkan pendekatan khusus untuk
bisa menerima masukan baik masukan yang diberikan oleh Ibu Riri maupun masukan
dari anggota DPRD lainnya yang juga menjadi peserta pelatihan.

Apa trik yang Ibu Riri gunakan untuk “menjinakkan” anggota dewan yang sok pintar
itu? Perempuan Bugis kelahiran 38 tahun silam ini mengatakan bahwa sebagai
narasumber ia menghargai semua pendapat yang disampaikan peserta meskipun
pendapat itu kurang tepat. Penyampaian materi dengan penuturan yang sopan
biasanya menjadi kunci luluhnya ego anggota dewan.

“Anggota dewan itu kan biasanya butuh dihormati. Jadi ya, saya menghormati mereka.
Saya katakan bahwa saya tidak lebih pintar dari mereka karena sesungguhnya
merekalah yang mengetahui setiap Perda yang diputuskan. Kehadiran saya
sesungguhnya bukanlah sebagai narasumber melainkan sebagai teman diskusi untuk
saling bertukar pendapat. Jadi saya juga hanya sebagai fasilitator, bukan nara sumber
serba bisa,” jelas Bu Riri.

Dari pengalaman menghadapi anggota DPRD dalam pelatihan inilah Riri memperoleh
inspirasi baru. Karena terbukti belum ada materi pelatihan partisipatif yang
memberikan metode bagaimana menghadapi anggota dewan dalam pelatihan
penyusunan Perda yang baik, misalnya. Karena itu, dari pengalamannya menjadi
narasumber pelatihan Riri merekomendasikan beberapa langkah yang patut
diperhatikan dalam menyampaikan materi pelatihan yang pesertanya anggota DPRD.
Beberapa langkah itu adalah: Pertama, kenali budaya setiap peserta termasuk latar
belakang sosialnya. Kedua, lakukan assessment pemahaman peserta. Ketiga, hargai setiap
pendapat peserta. Keempat, rendahkan diri, jangan pernah merasa pintar di depan
peserta. Kelima, membuka diri untuk saling bertukar informasi. Keenam, lakukan
pembauran setiap ada kesempatan diskusi di luar forum, misalnya di meja makan.
Setidaknya, keenam tips tersebut telah diterapkan Ibu Riri dalam setiap pelatihan
yang ia ikuti.

Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pendekatan partisipatif dalam pelatihan juga
mampu memberikan inspirasi baru bagi peserta, bahkan narasumber sekalipun dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran ke depan.

Selain itu, aktivis perempuan di beberapa organisasi ini, tetap menekankan perlunya
metode presentasi untuk menyampaikan tentang cara penyusunan Perda yang ideal
dan berpihak kepada rakyat. Karena, jika mereka tidak mengetahui aturan penyusunan
Kumpulan Pengalaman Menarik 175

Perda yang benar maka Perda yang mereka lahirkan nantinya bisa juga “amburadul”
dan hanya memberatkan masyarakat. Dalam penyampaian kriteria Perda yang benar
ini dibutuhkan alat seperti infocus.

Menurut Riri, penggunakan infocus sebagai projector untuk menampilkan slide memiliki
manfaat yang cukup berarti. Meskipun ia mengakui bahwa metode ini masih tergolong
biasa dan tidak istimewa tapi paling tidak, dengan infocus peserta dapat langsung melihat
kriteria Perda yang benar ditinjau dari berbagai aspek. Dengan sendirinya, jika peserta
telah memiliki pemahaman tentang kriteria Perda yang benar maka metode ini harus
dilanjutkan dengan metode lain yaitu diskusi kelompok dengan menganalisis beberapa
Perda bermasalah.

“Di sini, kita melakukan studi kasus dengan mendorong peserta untuk saling berdiskusi.
Jadi peserta akan lebih aktif,” jelasnya.

Biasanya jika sudah membahas Perda bermasalah, kisah Riri lebih lanjut, suasana
pelatihan akan semakin ramai. Apalagi kalau ada anggota DPRD yang pernah menyusun
Perda yang dinilai bermasalah juga hadir sebagai peserta maka suasana diskusi otomatis
akan semakin seru.

Dengan sendirinya, melalui diskusi kasus maka kesadaran kritis peserta pelatihan
mengenai Perda yang benar dan baik akan terbagun dengan baik. Diharapkan setelah
mengikuti pelatihan, anggota dewan melakukan kajian-kajian kembali terhadap Perda
yang telah ditetapkan, atau bisa jadi anggota dewan tersebut justru akan mengusulkan
Perda baru yang lebih baik dengan menggunakan proses penyusunan Perda yang
benar.

Riri mengakui bahwa tidak jarang ada peserta pelatihan dari beberapa kabupaten
yang meminta didampingi dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda)
yang akan mereka tetapkan. Apresiasi peserta ini jelas merupakan salah satu indikator
tercapainya tujuan pelatihan untuk memberikan pedoman penyusunan Perda yang
benar dan berpihak kepada rakyat.

Bagaimana kriteria Perda yang benar? Ketua Lembaga Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Makassar ini, mengatakan bahwa ada beberapa kriteria Perda yang benar, yaitu sebuah
Perda harus: responsif, aspiratif, akomodatif, akseptabilitas, demokratis, partisipatif,
dan konsultatif. Artinya, sebuah Perda yang benar harus mendapat respon dari
masyarakat dan seluruh stakeholder terkait. Selain itu, sebuah Perda juga haruslah
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
176 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

bersumber dari aspirasi masyarakat. Yang tidak kalah pentingnya, Perda harus bisa
mengakomodasi kepentingan masyarakat. Jika mengakomodasi kepentingan masyarakat
maka dengan sendirinya Perda itu juga akan dapat diterima oleh masyarakat. Poin
penting lainnya adalah proses penyusunan Perda haruslah demokratis.

Kunci lain agar Perda dapat diterima masyarakat adalah masyarakat sendiri perlu
berpartisipasi dalam menyusun suatu Perda. Lalu pada akhirnya, Perda tersebut harus
bersifat terbuka sehingga memungkinkan dilakukan perbaikan bila dinilai belum baik
dan tidak berpihak kepada rakyat.

Mencermati kriteria Perda yang baik dan benar tersebut maka pelatihan yang
menggunakan pendekatan partisipatif, jelas Riri, juga memungkinkan membangun
kesadaran peserta pelatihan untuk menyusun Perda yang partisipatif pula.

“Perlu diperjelas bahwa Perda yang baik belum tentu benar. Karena itu, sebuah Perda
yang baik harus memenuhi kriteria Perda yang baik lalu Perda itu juga harus memenuhi
unsur kebenaran sesuai prosedur standar penyusunan dan penetapan sebuah Perda,”
jelas Riri.

Jika ada Perda yang tidak memenuhi salah satu unsur kriteria Perda yang baik seperti
disebutkan Riri diatas, maka Perda itu bisa dipastikan akan bermasalah. Bisa jadi, jelas
Riri lebih jauh, Perda diatas yang ditetapkan itu nantinya tidak bisa diimplementasikan.
Banyak bukti mengenai Perda bermasalah yang hanya menjadi Perda “mati” pada
suatu kabupaten atau kota. Perda tersebut disebut Perda “mati” karena tidak produktif
dan sulit diimplementasikan.

Selain menerapkan metode presentasi dan studi kasus dalam setiap pelatihan yang ia
ikuti, Riri menekankan perlunya energizer dalam setiap pelatihan. Karena energizer
dipandang mampu mengembalikan semangat peserta pelatihan untuk lebih bergairah
mengikuti setiap materi. Hanya saja, energizer berupa games itu harus benar-benar
sesuai dengan materi yang diberikan. Selain itu, setiap game harus bisa diterima oleh
peserta yang rata-rata anggota DPRD, karena sebagian anggota DPRD memiliki ego
yang tinggi.

Pada intinya, Riri mengakui bahwa pendekatan partisipatif dalam pelatihan terbukti
mampu membuat peserta merasa bersemangat untuk terus mengikuti pelatihan. Meski
demikian, ia juga mengakui bahwa memang sulit memuaskan setiap peserta pelatihan
apalagi jika peserta pelatihannya anggota DPRD.
Kumpulan Pengalaman Menarik 177

Meskipun merasa belum mampu memuaskan semua peserta pelatihan, namun Riri
merasa telah berhasil mentransfer pengetahuannya kepada peserta. Karena setidaknya
sebagian besar peserta pelatihan meminta dirinya agar melakukan pendampingan
pada saat peserta pelatihan itu menyusun Perda di daerah mereka masing-masing.

“Artinya, pelatihan dengan pendekatan partisipatif terbukti efektif dalam mendorong


lahirnya Perda yang partisipatif ,” kunci Dr. Andi Suryaman Mustari Pide, SH,MH.
(sim)
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
178 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Permudah Transfer
Materi Hukum,
Lewat Ilustrasi Gambar
Oleh: Lilik Puji Astuti

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar materi seputar regulasi (produk
perundang-undangan, hukum, Perda, APBD, dsb.)? Sudah barang tentu berkaitan dengan
pasal-pasal, aturan penjelasan, dasar penetapan dan sebagainya. Untuk memahaminya,
tentu butuh waktu dan konsentrasi penuh. Terutama kalau regulasi tersebut baru
ditetapkan. Apalagi kalau kita diminta menyusun suatu draf regulasi tersebut. Bisa
dipastikan, kita masuk ke atmosfer yang penat, penuh dengan diskusi, perdebatan, dan
deadlock bisa saja terjadi.

Lalu bagaimana mempermudah transfer pengetahuan seputar regulasi dalam suasana


lokakarya? Peserta tentu beragam, berasal dari latar pendidikan tidak melulu fakultas
hukum. Apalagi kalau pesertanya dicampur antara anggota legislatif, para staf eksekutif,
dan teman-teman CSO. Sudah bisa dibayangkan, penuh dengan kepentingan politis dan
posisi tawar yang senjang. Untuk mengatasi hal ini, Lilik Pudji Astuti punya kiat tersendiri.
Digunakannya lebih banyak ilustrasi gambar berupa kartun, bagan alir (flow chart), matrik,
skema untuk mempermudah penyampaian materi.

Apa latar belakang penggunaan kiat ini? Lilik yang juga staf pengajar Fakultas Hukum
Unair Surabaya ini menjelaskan, materi hukum sudah penuh dengan kata-kata. Kalau
dijelaskan bagaimana norma hukum dibuat dan diberlakukan, tidak harus dideskripsikan
dengan kata-kata pula. “Bagi saya hukum itu bisa dijelaskan dengan gambar atau tanda.
Sebelumnya ketika mengajar saya tidak pernah memakai metode ini di kelas,” ungkap
ibu berputra dua orang ini. Setelah diminta menjadi Service Provider (SP) LGSP Jawa
Timur, Lilik menyadari perlu cara tersendiri untuk mentransfer materi hukum kepada
peserta lokakarya.

Jika di bangku kuliah, model ceramah sang dosen lengkap dengan powerpoint biasa
dilakukannya. Hal ini tidak menjadi masalah bagi mahasiswa yang memang sejak awal
Kumpulan Pengalaman Menarik 179

berniat mempelajari hukum sejak tingkat dasar (mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum).
Posisi antara dosen mahasiswa juga terkadang masih terjadi kesenjangan. Dosen selalu
dianggap benar dan paling tahu materi yang disampaikannya. Hal ini membuat adanya
'ketundukan' sang mahasiswa. Apalagi jika suasana kelas tersebut sangat kaku, komunikasi
satu arah (one way communication), dan tidak tercipta atmosfir curah pendapat.

Akan tetapi selama memfasilitasi lokakarya di LGSP, Lilik mengaku tidak bisa lagi
menerapkan apa yang selama ini dilakukannya di kelas kuliah hukumnya. Pesertanya
beragam, ada yang sudah paham betul seluk-beluk penyusunan regulasi, ada yang awam
sekali terhadap istilah-istilah hukum. Ada yang tidak tahu tapi selalu sinis terhadap
sesuatu yang berbau hukum. Ada yang merasa 'kalah sebelum berperang' karena sulitnya
memahami materi hukum. Ada pula yang menyadari semua implementasi perencanaan
dan penganggaran daerah harus memiliki payung hukum. “Golongan terakhir inilah
yang ingin diciptakan selama lokakarya yang saya jalankan sebagai fasilitatornya. Untuk
tujuan ini maka saya gunakan tanda atau gambar untuk mempermudah penyampaian
materi saya dan metode inipun akhirnya saya pakai juga untuk mengajar di kampus,”
ujar Lilik.

Sebagai contoh, dalam bentuk siklus untuk menggambarkan keterkaitan antara kebijakan
(regulasi), implementasi, dan penegakan hukumnya. Semua hal ini merupakan keterkaitan
antara satu dengan lainnya. Jika diterangkan satu persatu dengan kata-kata maka
membutuhkan waktu yang panjang. Sehingga jika di-breakdown dalam bentuk flow chart
atau siklus, maka akan dipahami secara komprehensif oleh semua peserta (tidak
sepotong-potong). “Contoh lain, penggunaan tabel untuk menggambarkan produk
regulasi yang menyalahi aturan di atasnya. Di Surabaya ini ada 24 Perda yang mengatur
tentang ijin retribusi padahal kan di UU hanya empat ijin yang boleh dikelola oleh
daerah (kota/kabupaten, pen). Dengan tabel maka orang bisa memahami bagaimana
kriteria atau pengawasan yang diatur di Perda yang tidak menyalahi ketentuan UU,”
ujar Lilik.

Atau legal drafting misalnya, dengan sebuah gambar skema maka bisa ditunjukkan dimana
posisinya dan betapa urgent-nya tahapan ini. Akan bisa diketahui peserta lokakarya,
legal drafting adalah awal keberlakuan hukum. Jika dalam penyusunan legal drafting sudah
salah, maka akan salah pula dalam pelaksanaan dan penegakan hukumnya. Akan lain jika
hal ini dijelaskan dengan kata-kata verbal. Butuh waktu, tenaga, dan bisa jadi malah akan
membuat bosan yang mendengar!

Juga penggunaan matrik untuk menggambarkan keberlakuan regulasi yang cepat berubah
digantikan regulasi yang baru. Atau regulasi yang diberlakukan di daerah, tetapi
dikeluarkan oleh dua departemen yang berbeda (misal antara Depdagri dengan
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
180 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Departemen Keuangan). Biasanya peserta banyak yang tidak memahami bahwa aturan
tersebut sudah tidak berlaku lagi atau bagaimana memilih dua regulasi yang terkadang
berbenturan pengaturannya. Bisa dijelaskan lewat matrik bagian mana yang mengalami
perubahan, bagian mana yang masih sama diatur, kapan aturan yang lama itu masih bisa
digunakan (biasanya ada masa peralihan/transisi pemberlakuan aturan baru, pen), dan
bagaimana solusinya. Juga bisa ditunjukkan, bagaimana asas hukumnya. Apakah aturan
tersebut lex spesialis sehingga harus dikedepankan. Atau apakah aturan yang baru
otomatis menggantikan yang lama.

Selain metode penggunaan ilustrasi gambar, Lilik juga terbiasa menyampaikan contoh
kasus untuk mendukung penyampaian materinya. Apalagi jika contoh kasus ini, sudah
menciptakan ketetapan penyelesaian hukumnya (jurisprudensi). Maka dilakukan pula
analisa terhadap proses penyelesaian ketetapan hukum tersebut apakah sudah sesuai
dengan tujuan dari permasalahan yang dimaksud. “Jika tidak ada contoh kasus yang
betul-betul riil terjadi, peserta bisa saja menuduh fasilitator hanya menggunakan ilustrasi
kasus yang abstrak untuk mengiringi penjelasannya,” tegas Lilik.

Bagaimana memancing partisipasi peserta agar mau berpendapat atau memberikan


masukan? Lilik biasanya menggunakan metode penggalian dari peserta tentang
persoalan atau kasus yang terjadi di daerahnya. Misalnya ke bagian hukum Pemda
atau anggota legislatif, ditanyakan berapa Perda dan bagaimana pengelompokkannya,
kisah Perda yang berhasil disusun dan dijalankan atau apa saja kendalanya pada Perda
yang tidak bisa diberlakukan, apakah kurang sosialisasi ke masyarakat, masyarakat
yang kurang paham terhadap Perda tersebut. “Ini yang saya jadikan sebagai isu legal
drafting di daerah tersebut. Dari sinilah forum diskusi menjadi terbuka dengan adanya
pendapat dari peserta lainnya. Ini yang awal saya lakukan ketika sesi penyusunan
naskah akademik,” ujar perempuan asli Surabaya ini.

Penggunaan metaplan juga tidak luput dari metode yang digunakan Lilik. Hal ini selain
meminimalisir dominasi satu dua peserta yang selalu aktif berkomentar, juga untuk
mengatasi alokasi waktu tiap sesi yang terbatas. Masing-masing peserta diminta
berpendapat dan dituliskan di kertas metaplan. Jawaban peserta akan lebih mudah
dipetakan dan dikelompokkan, sebagai isu atau solusi dari suatu persoalan khas daerah
itu. Cara ini ternyata bisa mendorong peserta lebih partisipatif dan tidak membuatnya
seperti dikuliahi.

Pendek kata, perlu kreatifitas fasilitator untuk 'menyederhanakan' materi hukum yang
padat dan penuh dengan kata dan kalimat yang membingungkan bagi sebagian orang.
(yss)
Kumpulan Pengalaman Menarik 181

Mengajak 'Pentolan' Fraksi


Kembangkan Diri
Oleh: M. Haris Nabawi

Bermula dari kesenangannya berorganisasi, membuat M. Haris Nabawi memiliki jaringan


luas. Baik sebagai aktivis kampus yang malah membuatnya terjun di partai (Partai
Keadilan (PK) lalu berubah menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera), maupun sebagai
aktivis CSO yang kerap menggarap program pemberdayaan masyarakat. Terpilihnya
Haris sebagai anggota DPRD Kota Madiun, juga makin memperluas 'jaringan
pertemanannya'. Bahkan, jaringan inilah yang digunakannya untuk membawa perubahan
di tubuh anggota DPRD Kota Madiun.

Atmosfer baru dengan minimnya pengetahuan di penganggaran, APBD, penyusunan


Perda, maupun perencanaan, membuat 'beban' di pundak anggota dewan makin berat.
Apalagi mayoritas tenaga muda DPRD di kota pensiunan ini, masuk sebagai anggota
dewan ketika publik makin cerdas dan berharap banyak akan perubahan. “Antar
fraksi pada saat itu terjadi pembicaraan dan dialog. Kebetulan kami ini sepantaran
rata-rata usia 38-39 tahun, jadinya mengalir dan enak saja kalau diskusi,” ungkap
Haris. Kebetulan pula Haris juga aktif di Forum Masyarakat Kota Madiun (Formad),
sehingga ia diamanahi sebagai 'jembatan' antara legislatif dengan warga kota.

Kebingungan anggota dewan ketika harus membahas APBD 2005, menggerakkan hati
Haris untuk mencari jalan keluar. Dijajakinya menjalin kemitraan dengan beberapa
lembaga yang bisa meningkatkan kapasitas anggota DPRD Kota Madiun. Salah satunya
Perform (Performance Oriented Regional Management) yang sudah dikenalnya. “Saya
bersama ketua dewan berniat betul sampai harus menemui Bu Dina Limanto di Hotel
Purnama Batu. Setelah kami utarakan niatan kami mewakili teman-teman anggota
dewan, sayangnya memang tidak ada MoU antara Pemkot Madiun dengan Perform
sehingga tidak mungkin bisa memenuhi niatan kami,” ujar Haris. Barulah setahun
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
182 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

berikutnya dijanjikan untuk menjalin kerjasama.

Gagal di langkah awal, Haris menjajaki kerjasama dengan IRI (International Republican
Institute). Ternyata berhasil dan mulailah anggota dewan dibimbing IRI membaca APBD
secara praktis. Kedekatan Haris dengan IRI telah terjalin sebelumnya, ketika lembaga
tersebut menjalankan program capacity building Partai Keadilan di Kota Madiun. Selama
dua tahun MoU itu dijalin dan DPRD Kota Madiun merupakan satu-satunya dewan
di tingkat kota yang menjalin MoU dengan IRI (lainnya tingkat provinsi). “Hal ini bisa
terjadi karena faktor kedekatan saya dengan teman-teman IRI dan mengingat besarnya
motivasi kami untuk meningkatkan diri, ”kenang Haris.

Kendala bukannya tidak ditemui Haris dalam mewujudkan kerjasama ini (bahkan
dengan LGSP). Masih ada sikap tidak percaya, kesangsian diantara anggota dewan
terhadap keberadaan lembaga semacam IRI atau LGSP. “Mereka menganggap lembaga
ini semacam LSM asing. Setelah saya meyakinkan teman-teman dewan yang masih
ragu ini, barulah kerjasama ini bisa terealisasi” ungkap Haris.

Sebelum MoU antara IRI dengan DPRD Kota Madiun terjalin, Haris menceritakan
pengalamannya. Pernah pada satu kesempatan lokakarya IRI dengan DPRD Daerah
Istimewa Yogyakarta, Haris mengajak tiga orang temannya anggota dewan, mengikuti
acara tersebut. Meskipun acara tersebut internal DPRD Yogyakarta, Haris meminta
ijin kepada IRI agar ketiga temannya diperbolehkan mengikuti acara tersebut. “Barulah
teman-teman dewan yang saya ajak itu memahami pentingnya mengikuti pelatihan
semacam analisis APBD dan berjejaring dengan lembaga di luar ke-DPRD-an,” kenang
Haris. Jadi seorang anggota dewan yang berlatarbelakang makelar mobil atau kontraktor,
tidak mengetahui sama sekali apa yang harus dilakukannya sebagai anggota dewan,
lambat laun bisa ditingkatkan kemampuannya.

Memasuki tahun 2006 terjalin MoU antara LGSP dengan Pemkot Madiun. Setelah
mendapatkan dampingan dari LGSP, hampir seluruh anggota dewan Kota Madiun
merasakan manfaatnya. Sehingga apapun program capacity building yang ditawarkan
kepada mereka, pasti akan diterima dengan suka cita. Terlebih lagi, ketika CSO di
Madiun juga mendapatkan program pendampingan LGSP. Haris mengakui, hal ini
membawa atmosfer yang kondusif bagi sinergitas legislatif dan CSO. “Awalnya saya
juga meminta teman-teman CSO menganalisis dan memberi asupan beberapa
kebijakan seperti Raperda Transparansi. Ternyata hasilnya sangat memuaskan dan
mendukung betul langkah kami berikutnya,” ujar Haris.
Kumpulan Pengalaman Menarik 183

Bagaimana resep menjalin hubungan DPRD dengan CSO? Menurut Haris tidak dimulai
dengan membuka agenda pemerintah (eksekutif), melainkan mengajak mereka
membahas agenda internal legislatif. Misalnya mengajaknya menyusun Renja DPRD
di awal tahun 2008. Mengapa baru di tahun itu DPRD menggandeng CSO? “Karena
kami belum mengetahui CSO mana yang bisa diajak berpikir rasional, kritis, dan tidak
justru memanfaatkan keterbukaan yang kami kembangkan untuk kepentingan individu
atau lembaganya. Makanya sejak tahun 2006 kami berharap LGSP mampu memetakan
CSO mana yang bisa dipercaya bekerjasama dengan DPRD,” ungkap Haris.

Bahkan, Haris juga berupaya memahamkan teman-teman CSO apa saja agenda dewan,
mengapa suatu anggaran Kuker (Kunjungan kerja) lebih besar daripada jaring aspirasi.
“Kami jelaskan bahwa dewan itu dibatasi oleh Permen 13 yang nomenklatur-nya
sudah jelas hanya delapan program yang bisa dianggarkan. Misalnya dalam jaring aspirasi,
SPPD (perjalanan dinas) tidak bisa dianggarkan, hanya mamin (makanan-minuman,
pen) yang bisa dianggarkan,” ungkap Haris. Atas pemenuhan transparansi dan
akuntabilitasnya di sisi penganggaran inilah, tidak ditemukan persoalan dalam
pemeriksaan BPK. Bahkan, DPRD Kota Madiun kerap mengembalikan sisa anggaran
yang tidak dipakainya antara dua atau tiga milyar ke kas daerah. Pos-pos anggaran
yang 'menyisakan anggaran' di akhir kegiatan misalnya perjalanan dinas, peningkatan
SDM, atau pembahasan Perda.

Bagaimana Haris menggandeng dan selalu mengajak anggota dewan yang berlainan
partai/fraksi meningkatkan kapasitas dirinya? Menurutnya, dengan memetakan terlebih
dahulu siapa yang menjadi pentolan di fraksi tersebut. Lewat cara-cara informal ngopi
di warung kopi, sewaktu mengikuti pelatihan bersama, berhasil dijaring delapan mo-
tor penggerak DPRD. Mereka inilah yang kemudian mengatur dan mendistribusikan
'giliran' anggota dewan mana yang perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam sebuah training
atau lokakarya tertentu.

Manfaat apa yang dirasakan Haris atas kehadiran LGSP? Diakuinya, pelatihan atau
lokakarya yang diadakan lembaga lain acapkali pendekatannya lebih normatif dan lebih
bertujuan profit-oriented. “Kalau LGSP lebih aplikatif mengajari kami detail langkah-
langkah taktis dan operasional ketika merumuskan atau menganalisis suatu kebijakan,
sehingga di lapangan akhirnya kami bisa jalan sendiri,” ujar Haris. Apalagi kedekatan
Haris dengan teman-teman CSO, membuatnya mampu mensinergikan pencapaian
program LGSP baik untuk legislatif maupun CSO.

Upaya Haris untuk selalu mengajak teman-temannya 'belajar setiap saat' membuahkan
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
184 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

hasil. Menurut pengakuannya, menjelang Pilcaleg 2009 karena sibuk mempersiapkan


program partainya, ia mencoba mengurangi porsi keterlibatannya pada setiap aktivitas
dewan. Hasilnya, teman-temannya tetap bisa menjalankan fungsinya (misalnya
pembahasan APBD, PAK, Raperda) meskipun tanpa kehadiran Haris.

Jadi kalau dirunut, terdapat beberapa kesuksesan Haris membawa perubahan di tubuh
DPRD Kota Madiun. Pertama, idenya untuk membuka kesempatan bagi CSO dalam
mengritisi Renja DPRD. Kedua, saat awal pembahasan Tatib (Tata Tertib) DPRD (tahun
2004). Ia mengusulkan di dalam Tatib DPRD tersebut dimasukkan klausul keterlibatan
partisipasi masyarakat di dalam pembahasan Perda.“Di UU pun belum mengamanatkan
klausul partisipasi masyarakat tersebut, tapi saya sudah mengusulkannya dan diterima
semua fraksi,” kenang Haris. Ide ini diinspirasi pengalamannya sebelum menjadi anggota
dewan, terutama di lembaga yang bergerak di sektor pemberdayaan masyarakat
(misalnya, Care). Ketiga, memulai kebiasaan menggandakan dengan biaya pribadi
beberapa dokumen pemerintahan (APBD) kepada aparat kelurahan dan LKMK di
Dapilnya. (yss)
Kumpulan Pengalaman Menarik 185

Menguatkan Jejaring CSO


dengan Pendekatan IT
dan Formal
Oleh: M. Solekhan

Di kalangan CSO Kota Malang, nama Solekhan cukup akrab dikenal. Laki-laki murah
senyum dan supel ini punggawa dari LPKP (Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan
Pembangunan). Aktivitasnya di lembaga ini membuatnya sering bergaul dan melakukan
perjumpaan dengan berbagai elemen CSO. Atas intensitasnya inilah yang membuatnya
berkeinginan menciptakan jejaring CSO. Hal ini bertujuan untuk menyamakan persepsi
dan visi-misi semua komponen CSO. “Tidak mungkinlah kita bisa mencapai tujuan
bersama, kalau persoalan penyamaan persepsi di antara anggota belum selesai,” ujar
Solekhan.

Pada awalnya beberapa CSO di Kota Malang memiliki garapan yang berbeda-beda. Ketika
program LGSP masuk, beberapa CSO yang berkomitmen pada persoalan perencanaan
dan penganggaran memiliki agenda bersama. Pertemuan rutin akhirnya kerap mereka
gelar. Memang di tengah jalan, ada saja anggota CSO yang 'mengundurkan diri' dari
komunitas bersama ini. Beragam latar belakangnya, ada yang merasakan tidak ada manfaat
bagi lembaga dan pribadinya, ada yang tidak telaten mendapatkan pengayaan kapasitas
yang selama itu dilakukan bersama LGSP, atau ada pula yang merasa terlalu lamanya
waktu yang diperlukan untuk mengkritik kebijakan perencanaan dan penganggaran
Pemda (karena terbiasa dengan pola-pola 'hantam kromo' terhadap apapun yang
dihasilkan oleh kebijakan eksekutif dan legislatif).

Untuk mempertahankan komitmen jejaring CSO inilah, Solekhan merasa terpanggil


untuk menggawanginya. Sinergitas yang berusaha dibangunnya ini dilakukan lewat
beragam media. Selain lewat pertemuan reguler, media internet (email) juga terbiasa
digunakan. “75% teman-teman CSO di Malang sudah internet minded. Jadi isu, diskusi
dan agenda apapun kerap kami bicarakan via media internet,” ujar laki-laki berkumis
lebat ini.

Penciptaan agenda bersama yang disepakati seluruh elemen jejaring CSO mampu
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
186 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

mengikat kebersamaan mereka. Apalagi jika agenda bersama ini merupakan pengetahuan
atau keterampilan baru yang dirasakan oleh mayoritas anggota jejaring. Dalam analisa
APBD misalnya, Solekhan mengakui, animo dari Forum CSO di Kota Malang cukup
besar. Pada saat itu kebetulan yang memiliki kapasitas dalam analisa APBD adalah
lembaga Malang Corruption Watch (MCW). Oleh karena itu, MCW-lah yang menjadi
fasilitator dalam kegiatan tersebut. “Memang kami belum berproses pada saat itu untuk
menganalisis APBD dari tahapan awal. Kami hanya mengkritik dan membahas bersama
hasil temuan teman-teman di MCW,” terang Solekhan. Hasil analisis APBD ini kemudian
direkomendasikan pada pihak eksekutif.

Untuk memelihara kebersamaan dan semangat jejaring CSO ini, diperlukan prinsip
keterbukaan dan keadilan (pemerataan). Menurut Solekhan, harus ada kesepakatan
antara anggota jejaring, siapa yang harus mengambil peran pada satu kesempatan. “Jadi
tidak akan ada yang menonjol dan mendominasi pengambilan peran pada satu isu atau
program tertentu,” kata Solekhan, yang saat ini menjadi DC(District Coordinator) LGSP
di Kabupaten Probolinggo. Selain itu juga harus responsif pada kebutuhan setiap anggota
jejaring. Juga tidak kalah pentingnya, tidak pelit dalam sharing informasi pada setiap peluang
advokasi.

Ada perbedaan pendekatan dalam membangun jejaring CSO, dilihat dari karakteristik
mayoritas CSO anggota jejaring tersebut. Solekhan membuat perbandingan antara CSO
di Kota Malang dengan Kabupaten Probolinggo. Oleh karena padatnya aktivitas teman-
teman CSO di Kota Malang, mereka selalu menginginkan kejelasan agenda sebelum
mereka memutuskan terlibat di dalamnya. “Jadi lebih terorganisir dan lebih bersifat
formal. Mereka lebih menghargai waktunya, sehingga maunya jelas dulu mau membahas
apa sebelum memutuskan oke aku ikut. Bahkan, penggunaan pendekatan informal
misalnya cangkrukan di warung kopi, tidak jalan di Malang” terang Solekhan. Sedangkan
di Kabupaten Probolinggo, pendekatannya lebih paternalistik melalui simpul-simpul
tertentu. Jadi secara informal pun, semua anggota forum CSO bisa dikumpulkan, asalkan
tokoh yang dituakan sudah memberikan persetujuan.

Metode partisipatif misalnya lewat Focus Group Disscussion (FGD), biasa Solekhan gunakan
untuk memfasilitasi pertemuan reguler jejaring CSO tersebut. Misalnya untuk menggarap
prioritas isu yang akan digarap, digunakan metode ToP dalam pelaksanaannya.Tak jarang,
karena sebelumnya sudah mendapatkan metode partisipatif dari aktivitasnya di lembaga
lain Health Services Program (HSP), Solekhan memodifikasi penerapan ToP ala LGSP
tersebut. “Jujur menurut hemat saya, ToP adalah cara yang paling mudah dan sederhana
dipahami baik peserta maupun fasilitator dalam proses memfasilitasi sebuah diskusi.
Apalagi model pendekatan ToP kan dilakukan dalam suasana santai, dialogis tetapi mampu
menggiring partisipasi aktif seluruh peserta,” aku Solekhan. (Yss)
Kumpulan Pengalaman Menarik 187

Mempertahankan
Komitmen Kebersamaan,
Tepis Ego Pribadi
Oleh: Gus Dudung

Forum Reboan (FR) sebagai wadah berkumpulnya CSO di Kabupaten Probolinggo,


kehadirannya tidak bisa dilepaskan dari sosok Gus Dudung. Di Pondok Pesantren
Genggong miliknya, awal digagas dan dideklarasikannya FR. Komitmen bersama
disepakati, untuk selalu kritis dan cerdas mengawasi setiap tahapan perencanaan dan
pengganggaran daerah. “Tentu saja hal ini juga didorong oleh LGSP yang selalu mengisi
'amunisi' kami dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam setiap pengambilan
kebijakan eksekutif maupun legislatif,” ujar Gus Dudung.

FR juga berupaya mendorong partisipasi masyarakat. Keyakinan Gus Dudung, jika


sudah ada transparansi maka mendorong partisipasi warga itu akan lebih mudah.
Makanya agar transparansi dalam perencanaan dan penganggaran berjalan baik, perlu
diawasi dan didampingi oleh 'sparing partner' yang cerdas. Tidak sekedar mencari-cari
kesalahan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Akan tetapi juga harus mampu
menyodorkan naskah akademik, policy paper, atau alternatif solusi kepada penentu
kebijakan.

“Dulunya tiga pilar jalan sendiri-sendiri, akan tetapi dengan adanya Forum Reboan,
pendekatan kelembagaan dan personal yang kami lakukan bisa mensinergikan tiga
pilar ini,” kata bapak berputra tiga orang ini. Memang hal ini tidak dicapai dengan
mudah. Bahkan, pada awal keberadaannya, FR mengalami kebingungan dan hampir
kehilangan arah. Mereka kerap berkumpul, tetapi agenda yang perlu digagas juga tidak
jelas dan acapkali monoton. “Saya waktu itu akhirnya melakukan evaluasi bersama
teman-teman, ternyata akar masalahnya ada pada masing-masing CSO yang membawa
agenda dan kepentingan lembaganya untuk dibahas di FR. Ini justru membuat kami
tidak fokus dan justru merugikan dari efisiensi waktu, tenaga, dan materi,” kata kepala
sekolah SMA Zainul Hasan (Zaha) I Genggong Probolinggo ini.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
188 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Setelah mendapatkan pencerahan dari LGSP, menurut Gus Dudung, FR diminta untuk
fokus saja pada persoalan perencanaan dan penganggaran. Akhirnya sebagai langkah
awal, kami bersepakat untuk membahas hal ini di masing-masing CSO. Pada saat
berkumpul secara rutin di FR, temuan dan analisis sederhana di masing-masing CSO
ini dibahas bersama. “Kami sempat berencana saat itu, memulai pendampingan proses
perencanaan dan penganggaran dari desa dan kecamatan sesuai dengan aturan yang
ada. Tapi kami juga sadar di kabupaten ini belum memiliki Perda yang mengatur soal
transparansi dan partisipasi, jadi percuma kalau kami mengarahkan agar proses
Musrenbangdes begini begitu tapi belum ada payung hukumnya.” kenang laki-laki
berkumis ini.

Kembali FR lebih intensif membahas agenda bersama yang lebih fokus. Mereka dengan
dukungan seorang anggota FR yang juga anggota dewan, berusaha menyiapkan draf
Raperda Transparansi dan Partisipasi. “Kebetulan Komisi C DPRD menggunakan hak
inisiatifnya jadi klop dengan niatan FR. Fokus kami jadinya mengritisi draf naskah
akademik Komisi C,” ujar Gus Dudung. Akhirnya hasil revisi versi FR ini disandingkan
dan diminta disampaikan pada rapat pleno pembahasan Raperda tersebut.

Satu pasal yang krusial dan menunjukkan pentingnya hasil Musrenbang berhasil
didesakkan FR untuk diakomodir di dalam Perda itu. Intinya pasal itu berbunyi, (usulan
program di luar hasil Musrenbang, tidak akan ditanggapi). ”Ini berdasarkan pada kondisi
faktual selama ini, banyak usulan program yang tidak melalui Musrenbang tetapi
dititipkan ke anggota dewan atau para tokoh agama yang justru disetujui,” ungkap
laki-laki berusia 43 tahun ini. Hasil sidang pleno akhirnya menyepakati draf Raperda
itu untuk di-Perdakan. Hingga kini, Perda ini masih menunggu peraturan bupati
(Perbup) dalam pelaksanaannya.

Agenda selanjutnya yang diprioritaskan dalam setiap pertemuan FR adalah analisis


APBD. Lewat Technical Assistance (TA) LGSP Jawa Timur, FR mengritisi APBD agar
memenuhi asas manfaat, dampak, berkeadilan, pro-poor, pro-gender, transparan, dan
accountable. “Tapi saya juga mengingatkan teman-teman untuk tetap mengawasi dan
mengawal pelaksanaan Perda Transparansi dan Partisipasi. Momentum menjelang
Musrenbangdes Januari tahun depan, paling tidak sudah mendapat payung hukum,”
tegas Gus Dudung. FR juga berencana agar nantinya diberikan kesempatan oleh
Bappekab Probolinggo memfasilitasi Musrenbang di sepuluh desa dan dua kecamatan
percontohan. “Tentu saja kami juga minta LGSP untuk mendukung rencana kami ini.
Prinsip kami para Kades, BPD, dan sebagian masyarakat itu dilatih dahulu (ToT)
bagaimana menyelenggarakan Musrenbang yang partisipatif,” kata Gus Dudung.
Kumpulan Pengalaman Menarik 189

FR juga telah mengembangkan tradisi transfer of knowledge. Bagi anggotanya yang


berkesempatan mengikuti training atau workshop LGSP misalnya, maka 'diwajibkan'
baginya untuk menyebarkan kepada anggota yang lain. Tak jarang, diseminasi
pengetahuan ini dilakukan di komunitas CSO tertentu. Misalnya, bagaimana menyusun
visi-misi lembaga hingga perencanaan dan penganggaran lembaga tersebut, dimintakan
untuk difasilitasi oleh FR. “Saya sendiri pernah diminta menjadi fasilitator oleh satu
SMP di Probolinggo ini ketika menyusun Renstra sekolahannya. Dengan metode ToP
ya saya pandu mereka. Akhirnya sekarang beberapa sekolah atau lembaga tertentu,
biasa meminta saya menjadi fasilitator,” ungkap Gus Dudung.

Pernah pada satu kesempatan, Gus Dudung diminta menjadi fasilitator Ikatan Alumni
Santri Madura di Probolinggo yang baru berdiri dan menetapkan programnya.
Undangan yang dia terima hanya mengalokasikan waktu baginya sekitar sekian jam.
Gus Dudung memberikan pengertian pada lembaga tersebut, dibutuhkan minimal
dua hari untuk memenuhi tujuan kegiatan itu dilakukan. Awalnya panitia tidak percaya
dan menganggap rapat macam apa sampai harus dilangsungkan selama dua hari itu.
Akhirnya tercapai kesepakatan, dan justru peserta menikmati dan berpartisipasi penuh
pada acara tersebut. “Dengan ToP yang awalnya peserta dan panitia sangsi, setelah
kami memandu acara itu justru mereka merasa kurang waktu dua hari itu”, kenang
Gus Dudung.

Bahkan, akibat keberhasilannya ini, menyebarlah dari mulut ke mulut 'reputasi' Gus
Dudung bersama FR. Pernah ada Kades yang baru terpilih, mencari orang atau lembaga
yang bisa membantunya merumuskan perencanaan desanya. Setelah bertemu dengan
Gus Dudung, diajaknya Kades baru tersebut bergabung di setiap kesempatan
pertemuan FR. Barulah Kades ini mendapatkan pemahaman bagaimana idealnya
membuat perencanaan desa. Direncanakan hingga akhir tahun ini beberapa Kades,
anggota BPD (dan perwakilan masyarakat) yang baru terbentuk, akan menjadi pilot
project pelatihan ToT penyusunan RPJMDes.

Tak jarang, untuk menambah jumlah Kades yang 'berpikiran maju', Gus Dudung
bergerilya mendatangi desa-desa. Biasanya dia menanyakan apakah di desa tersebut
sudah ada dokumen perencanaan desa. Jika belum memiliki, maka diajaknya Kades
dan anggota BPD itu untuk bergabung dalam pertemuan FR. Terbukalah mata hati
dan pemahaman para Kades tersebut, ketika membuat Laporan Pertanggungjawaban
(LPJ) mereka bisa mencocokkannya dengan dokumen perencanaan desa (RPJMdes).
Praktek yang selama ini mereka lakukan, LPJ 'dijahitkan' (dibuat) oleh aparat kecamatan.
Akibatnya, jalannya pembangunan di desa yang bersangkutan sering tanpa arah dan
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
190 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

tujuan serta hanya berdasarkan keinginan dan instruksi top down dari kecamatan.

Bagaimana menjaga komitmen dan semangat para anggota FR? Gus Dudung
menjelaskan dengan selalu mengingatkan semua anggota FR masih banyak agenda
yang belum terselesaikan. Beberapa agenda yang diciptakan ini (Perda Pendidikan,
Kesehatan, membekali kembali pemahaman pada Caleg baru) memacu FR untuk selalu
berkumpul, berpikir, dan menghasilkan 'sesuatu' yang bermanfaat bagi pembangunan
di Kabupaten Probolinggo. “Saya selalu tekankan ke teman-teman, FR bukan ajang
untuk cari proyek. Tidak boleh mengatasnamakan Forum Reboan untuk aktivitas
pribadi atau kelompok tertentu,” tegas Gus Dudung. (Yss)
Kumpulan Pengalaman Menarik 191

Roys Vahlevi:
Saya Belajar Banyak
dari Memfasilitasi
Oleh: Roys Vahlevi

Tahun 2006, LGSP-USAID di Banda Aceh menyelenggarakan pelatihan fasilitasi


partisipatif (ToP). Roys M. Vahlevi merupakan salah satu dari sekian banyak peserta
saat itu. Beberapa hari kemudian, pandangannya terhadap kegiatan memfasilitasi menjadi
lebih terbuka. Ia merasa, setelah mendapat pelatihan tersebut, dirinya menjadi sangat
ingin untuk mendalami ilmu kefasilitatoran. “Saat itu, tantangan yang diuraikan oleh
fasilitator telah memotivasi diri saya untuk terus mengikuti beberapa proses pelatihan
dan training of trainers (TOT),” ujarnya. Diakuinya bahwa pelatihan tersebut membuka
peluang besar bagi dirinya untuk menjadi fasilitator. Saat ini ia telah bergabung dalam
perkumpulan fasilitator yang ada di Kota Banda Aceh.

Melalui perkumpulan itu, Roy, demikian ia biasa disapa, diberi tugas untuk memfasilitasi
proses penguatan organisasi masyarakat sipil yang menjadi mitra perkumpulannya.
“Memfasilitasi di sini bukan berarti melulu melakukan workshop atau pelatihan
meskipun semua modul diantarkan dengan pelatihan dan lokakarya. Memang ada
jadwal yang disepakati untuk melakukan proses penguatan tersebut. Di luar itu pun,
sebagai fasilitator, saya harus mendampingi lembaga mitra agar benar-benar mapan
dalam berbagai proses pekerjaannya. Banyak fasilitator, menurut saya, yang merasa
pekerjaan memfasilitasi selesai saat pelatihan atau lokakarya usai. Bayangkan, proses
fasilitasi yang saya lakukan itu berlangsung dalam masa lebih dari satu tahun,” ulasnya
santai.

Direktur Yayasan Insan Cita Madani (YICM) ini selanjutnya menerangkan bahwa,
dalam melakukan fasilitasi, pendekatan pembelajaran orang dewasa menjadi landasan
utama bagi dirinya. Strategi dan teknik yang mengacu kepada pendidikan orang dewasa
senantiasa dilandasi oleh konsep diri, pengalaman pribadi, serta kesiapan dan orientasi
belajar dari setiap warga belajar. Dalam hal ini, ada tuntutan pokok sebagai implikasi
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
192 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

dari landasan tersebut dalam melaksanakan proses fasilitasi bagi orang dewasa, yaitu
keterlibatan atau peranserta dari setiap warga belajar.

“Menurut saya, fasilitasi adalah proses untuk membuat semua hal menjadi mudah,
proses sadar dan sepenuh hati yang dapat membantu suatu kelompok supaya sukses
mencapai tujuan kelompok dengan cara taat pada prinsip-prinsip partisipasi dimana
kelompok benar-benar berfungsi sebagai kelompok,” demikian sarjana teknik ini
menerangkan pandangannya tentang fasilitasi. Setelah mengambil nafas sejenak, ia
melanjutkan, “Maka untuk itu metode yang dilakukan haruslah berusaha untuk
membebaskan para warga belajar dari posisi atau institusinya, mendudukkan orang
sebagai 'pribadi' dengan menggunakan pola permainan, simulasi atau gambar. Mengelola
proses yang memudahkan para warga belajar untuk mencapai tujuan kelompok.”

Ia mengingat bahwa pengetahuan seperti itu adalah apa yang diserapnya dari penjelasan
tentang “rambu partisipasi” yang dulu diberikan saat mendapatkan pelatihan ToP dari
LGSP. Ia camkan benar bahwa sebagai fasilitator ia harus selalu percaya pada potensi
kelompok sekaligus “netral pada substansi” yang berarti tidak memiliki sistem nilai
atau keberpihakan.

Lalu bagaimana ia menjalankan tugas kefasilitatorannya? Dengan mudah ia menerangkan


bahwa pertama-tama sekali adalah memastikan suasana yang kondusif bagi warga
belajar untuk menyerap pengalaman barunya.“Untuk membuat suasana yang kondusif,
saya suka memberikan energizer dalam berbagai bentuk. Ada yang dengan cara
mengubah syair dalam lagu agar sesuai dengan tema acara. Peserta sendirilah yang
memikirkan syairnya. Ada juga yang dilakukan dengan memutar film pendek,
menampilkan kata kata yang mengandung motivasi dan spirit, atau pernah juga dengan
membiarkan musik mengalun saat warga belajar sedang berpikir dalam kelompoknya,”
ia menerangkan.

Pengalaman menunjukkan bahwa memperkaya pola penyampaian materi menjadi


“harga mati” agar proses yang dilakukannya tidak monoton dan membosankan. Dengan
peserta yang itu-itu saja selama beberapa pertemuan dalam tenggat setahun, tentu
akan membuat peserta pertemuan hafal dengan gaya, metode dan bahkan humornya,
jika tanpa pengayaan. “Pengayaan yang saya maksud tentu masih harus berpegangan
pada efektivitas pertemuan. Teori tentang belajar dan pemahaman saya terhadap
kecerdasan majemuk sangat membantu dalam melakukan improvisasi disini,” tandasnya.

Selama setahun lebih itu, banyak sekali kendala yang dihadapinya. Bahkan pada awalnya,
Kumpulan Pengalaman Menarik 193

warga belajar cenderung untuk resisten dengan materi yang akan disampaikan. Dari
sana ia belajar bahwa penggambaran konteks dan alur proses fasilitasi adalah “pintu
pertama” yang harus dilewati oleh seorang fasilitator agar resistensi warga belajarnya
berkurang. Ia juga belajar bahwa suasana yang menyenangkan harus terus menerus
dibangun agar proses belajar berjalan dengan lancar. Jangan pernah membiarkan
suasana “muram” muncul dalam kegiatan memfasilitasi, itulah kalimat kunci yang
dipegangnya. Kalimat itu juga berarti bahwa ia harus selalu menularkan energi positif
dan motivasi kepada warga belajar. Ia pun yakin bahwa dirinya sendiri harus selalu
memiliki energi positif sebelum ditularkan kepada warga belajarnya. Menularkan energi
itu, masih menurut pengalamannya, hanya dapat dilakukan dengan tidak menciptakan
jarak antara fasilitator dan warga belajarnya.

Ada hal lain yang tak kalah menarik dari apa yang dialaminya. Ia pernah mendapati
situasi dimana peserta mengalami kesulitan untuk menjalankan metode yang dipilihnya,
padahal saat itu metode yang lebih mudah justru terkendala peralatan untuk
dilaksanakan. Ia memutar otak, mencoba menerangkan metode dimaksud terutama
tentang intisari dari langkah-langkah yang harus dilakukan. Setelah penjelasan itu, warga
belajar dapat menjalankan metode partisipatif itu dengan baik.

Mengakhiri kisahnya, Roy menyatakan bahwa komunikasi yang intens dan terjaga
dengan warga belajar di luar forum pertemuan kelompok ternyata sangat membantu
dalam hal menutupi kekurangan fasilitator guna mempermudah pencapaian tujuan
kelompok.

(Banda Aceh, Desember 2008)


Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
194 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Cut Aja Tak Suka


yang Biasa-biasa Saja
Oleh: Cut Aja fauziah

Sejak tahun 2007, Cut Aja bergabung dengan Yayasan Flower Aceh dan ditugaskan di
Meulaboh, Aceh Barat. Itulah saat dimana ia mulai aktif menyuarakan kesetaraan
gender di Aceh. Masih di tahun yang sama, ia mendapatkan pelatihan fasilitator dari
sebuah perkumpulan fasilitator di Aceh. ”Saya tak pernah dilatih oleh LGSP, meskipun
saya telah beberapa kali ikut kegiatan LGSP. Ingin juga rasanya sekali waktu mendapatkan
pelatihan yang demikian dari LGSP agar saya mendapat pengalaman baru lagi,” jawab
Cut Aja menanggapi pertanyaan penulis.

Berbekal pengetahuan memfasilitasi seadanya, ia mulai mencoba memandu diskusi-


diskusi yang berkaitan dengan kesetaraan jender yang merupakan bidang garapan
utama lembaganya. ”Jender masih merupakan persoalan yang sensitif di Aceh.
Masyarakat yang sangat kuat pemahaman agamanya cenderung menganggap bahwa
jender adalah produk barat yang dipaksakan untuk diterima masyarakat timur,” terang
Cut Aja. Ia juga menambahkan bahwa hampir di setiap pertemuan, beberapa orang
cenderung resisten kepada tawaran untuk mendiskusikan persoalan pembagian peran
ini.

Saat itulah perbincangan dan penjelasan soal konteks masalah menjadi sangat penting.
Para warga belajar harus diberitahukan lebih dahulu tentang konteks, masih menurut
Cut Aja, sebelum mereka memulai sebuah proses diskusi. Melanjutkan uraiannya, ia
menerangkan bahwa konteks harus didekati dengan mengetengahkan fakta lebih
dahulu baru kemudian perasaan warga belajar terhadap fakta atau peristiwa. Biasanya,
setelah fakta dan perasaan diungkapkan, warga belajar akan dapat melihat konteks
dari diskusi.

Bagaimanapun, sikap resistensi dari warga belajar tidak boleh dipandang sebagai sebuah
Kumpulan Pengalaman Menarik 195

hambatan. Fasilitator harus bersikap bahwa penolakan tersebut adalah suatu tantangan
dalam memfasilitasi. ”Saya tidak pernah tahu kiat-kiat mengatasi penolakan tersebut
secara teoritik.Yang saya lakukan biasanya menggunakan pendekatan personal di luar
forum pertemuan,” imbuhnya. Pendekatan personal yang dimaksud juga harus
dilakukan dengan cara yang khusus pula. Misalnya penolakan tersebut datang dari
peserta pria maka yang melakukan pendekatan adalah juga pria, begitu pula sebaliknya.
Cut Aja menambahkan bahwa sering pula resistensi ini berasal dari kalangan yang
terpandang di masyarakat sehingga sebagian warga belajar kemudian enggan untuk
mengungkapkan pendapat yang bertentangan.

Kalau sudah begitu, sebagai fasilitator, ia dan timnya akan memilih menggunakan
”metode kertas”, yakni memanfaatkan kertas dan kartu untuk menyampaikan ide.
Ide-ide yang diperoleh kemudian dipajang dan dibacakan satu per satu. Semua ide
kemudian didiskusikan hingga diperoleh kesepakatan kelompok. “Saya tak mengerti
apakah itu yang dinamakan metode konsensus di teknologi partisipasi? Ataukah
berbeda?” tanya Cut Aja. Yang jelas, tim ini tidak melakukan penjudulan pada setiap
cluster ide yang dipajang.

Bukan tidak mungkin, kesepakatan yang diperoleh dalam diskusi terjadi karena
munculnya keengganan anggota kelompok untuk terus-menerus “bertegang urat
leher”; daripada berdebat tanpa juntrungan agaknya lebih baik berdiam diri. Hal itu
juga disadari oleh tim mereka setiap kali memfasilitasi pertemuan kelompok. Untuk
mengatasi hal itu, Cut Aja dan timnya melakukan kunjungan ke tempat tinggal anggota
kelompok yang difasilitasi dan berbincang-bincang secara non formil. “Adakalanya
kami harus ikut-ikutan ngerumpi sambil menganyam tikar,” ujarnya sambil tersenyum.

Tak ada orang lain di kantornya saat kami bertemu. Lima belas menit berlalu saat tiba-
tiba Cut Aja kembali bertanya soal apa yang dapat ia ceritakan. “Apa lagi, ya? Bingung
juga saya ketika harus bercerita soal pengalaman sendiri. Kalau memfasilitasi biasanya
saya bisa bicara dengan lancar, tapi bercerita soal diri sendiri tentu sulit dan berbeda,”
kilahnya sambil menatap ke lantai.

Saat memfasilitasi, ungkapnya, akan jauh lebih efektif jika si fasilitator menggunakan
bahasa yang sama dengan warga belajarnya. Bukan hanya dari jenis bahasanya melainkan
juga dari kosakatanya. Sehingga warga belajar tidak merasa seperti sedang diintervensi
oleh pihak asing. “Saya seringkali menggunakan bahasa Aceh saat memimpin diskusi.
Humor yang diselipkan juga dalam bahasa dan kultur Aceh,” urainya ringkas. Satu
helaan nafas sebelum ia melanjutkan,“Saya juga sering menggunakan analogi dan simulasi
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
196 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

untuk menerangkan materi yang berkenaan dengan jender.”

Setiap kali pertemuan diadakan, ia telah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan kunci


yang harus diajukan kepada warga belajarnya. Pertanyaan tersebut disusun dalam
bahasa yang sederhana dan terarah. Namun ia tak pernah menduga kalau akan lebih
efektif jika disusun dengan menggunakan prinsip kerja otak manusia: dari yang mudah
ke yang sulit. “Dimana saya bisa mengetahui tentang hal itu? Saya yakin itu akan
menghasilkan pertemuan yang lebih efektif,” rajuknya.

Ia menerangkan bahwa berdasarkan pelatihan yang telah diikutinya, ia tahu kalau


dalam belajar harus selalu berupaya untuk memfungsikan kedua belahan otak secara
berimbang, terutama merangsang daya kreatif agar hasil pertemuan tidak biasa-biasa
saja. Ia bahkan memulainya sejak sesi perkenalan. “Contohnya,” tegas Cut Aja, “Saya
meminta peserta untuk menggambar apa saja yang berkaitan dengan dirinya untuk
kemudian menjelaskannya sebagai cara untuk berkenalan. Yang penting saya
menghindari kesan formil dan kaku dalam pertemuan.” Begitupun, seringkali pertemuan
berakhir dengan hal-hal yang biasa-biasa saja yang telah diduga sebelumnya.

“Saya ingin sekali melihat cara memfasilitasi yang tidak biasa-biasa saja dan hasilnya
juga luar biasa. Saya belum pernah mendapatkan kesempatan yang demikian. Seringkali
fasilitator yang saya saksikan juga melakukan langkah-langkah dan metode-metode
yang biasa-biasa saja. Bagaimanapun saya lebih senang kepada yang tidak biasa-biasa
saja.” Ia mengakui bahwa dengan teknik yang sering dipakainya, tak banyak yang dapat
digali dan dikreasikan. Warga belajar tetap saja mengambil keputusan dalam “kotak”
yang lazim mereka gunakan. Pernah juga ada peserta yang pengetahuannya sudah
sangat mumpuni dalam masalah yang ingin disampaikan, saat itulah baru ada hasil yang
berbeda sedikit. Namun itu lebih kepada hasil dari apa yang dipahami si peserta tadi,
bukan hasil kelompok secara inklusif.

(Meulaboh, Desember 2008)


Kumpulan Pengalaman Menarik 197

Pendekatan Partisipatif
Lahirkan Regulasi Pro Rakyat
Ranperda Perencanaan dan
Pengganggaran
Berbasis Masyarakat (PPBM)
Oleh: Ibrahim Fattah

“Selama ini masyarakat kecewa dengan hasil Musyawarah Rencana Pembangunan


(Musrenbang). Pasalnya, Musrenbang dinilai tidak mampu menyalurkan aspirasi
masyarakat.Terbukti, lain yang diusulkan masyarakat dalam Musrenbang lain pula yang
tercantum pada program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hasilnya, keinginan masyarakat tidak
berhubungan dengan program yang ditetapkan dalam APBD,” demikian penilaian
Ibrahim Fattah yang ditemu di Kota Parepare beberapa waktu lalu.

Ibrahim Fattah menilai saat ini masih banyak keluhan masyarakat tentang penyusunan
dan penetapan APBD kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Padahal, proses penyusunan
dan penetapan APBD itu telah melalui proses Musrenbang, mulai dari tingkat desa/
kelurahan sampai pada tingkat kota/kabupaten. Namun faktanya, kepentingan
masyarakat masih saja terabaikan dalam APBD.

Fakta menunjukkan bahwa masyarakat telah mengusulkan berbagai program yang


benar-benar dibutuhkan namun setelah sampai pada pembahasan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) maka pada saat itulah segalanya bisa berubah. Sehingga,
lain program yang diusulkan masyarakat lain pula program yang diusulkan SKPD.
Akibatnya, masyarakat berfikir apriori bahwa Musrenbang hanya akal-akalan karena
tidak mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Buktinya, program pemerintah
daerah kabupaten/kota tidak sinkron dengan program yang diusulkan masyarakat.

Menilik pada masalah tersebut, Jelas Ibrahim, maka di Kota Parepare Sulawesi Selatan,
CSO mitra LGSP memandang perlu untuk segera menyusun Rencana Peraturan
Daerah (Ranperda) Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Masyarakat (PPBM)
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
198 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Kota Parepare. Gagasan tentang Ranperda PPBM ini sudah mulai digulirkan sejak
Februari 2008 dan sampai saat ini Ranperda tersebut telah memasuki tahap
pembahasan di Bappeda. Diharapkan regulasi ini memasuki tahap final pada Desember
2008.

Nantinya, pemerintah melalui SKPD dan masyarakat masing-masing mendapatkan


pagu indikatif anggaran. Ada pagu indikatif berdasarkan wilayah yang diperuntukkan
bagi program yang diusulkan masyarakat dan ada pula pagu indikatif berdasarkan
sektor sesuai SKPD.

Meskipun pagu berdasarkan wilayah yang diperuntukkan bagi masyarakat telah


disetujui nantinya namun anggarannya tetap dititip pada SKPD terkait sebagai
pelaksana program. Dengan demikian hal ini akan meredam apriori masyarakat selama
ini tentang Musrenbang.

Integral dengan Ranperda PPBM, juga telah disusun Strategi Pengurangan Kemiskinan
Daerah (SPKD) Kota Parepare. Karena itu setiap SKPD diharapkan merujuk pada
SPKD dalam menyusun Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD)
ke depan. Artinya, SPKD ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Regulasinya, RPJMD nantinya
dipayungi oleh Peraturan Daerah (Perda). Perda yang mengatur tentang RPJMD ini
memiliki sub bahasan tentang SPKD. Baik Ranperda PPBM yang nantinya disahkan
menjadi Perda maupn SPKD memiliki poisisi strategis yang penting dan saling berkaitan
untuk advokasi anggaran khususnya APBD Kota Parepare ke depan.

Keberadaan Ranperda PPBM dan Penyusunan SPKD Kota Parepare tidak terjadi
begitu saja, tapi regulasi yang dinilai berpihak pada masyarakat ini tidak lepas dari
peran aktif Ibrahim Fattah sebagai fasilitator maupun narasumber dalam setiap proses
dan tahapan regulasi tersebut.

Ibrahim Fattah mengakui sebagai aktivis NGO, ia telah memperoleh pengayaan dari
LGSP melalui workshop dengan pendekatan partisipatif. Dari pelatihan tersebut Fatta
semakin memahami metode pembelajaran orang dewasa (POD) yang partisipatif. Dari
workshop itu Direktur YLP2EM Parepare ini merumuskan sendiri alur pendidikan
orang dewasa sebagai berikut:

1. Berangkat dari pengalaman peserta


2. Pengalaman peserta kemudian direfleksi kembali
Kumpulan Pengalaman Menarik 199

3. Pengalaman peserta dianalisis bersama


4. Dari analisis yang dilakukan diperoleh kesimpulan bersama yang nantinya dapat
digunakan sebagai pengetahuan baru.

Alur POD inilah yang kemudian Ibrahim Fattah implementasikan dalam memfasilitasi
setiap pertemuan dan pelatihan yang ia lakukan. Hasilnya, aku Fattah sapaan Ibrahim
Fattah, terbukti efektif untuk membuat suatu pertemuan atau pelatihan menarik dan
menyenangkan.

“Dalam hal ini,” kata Fattah,“fasilitator tidak tampil menjadi penceramah yang menjadi
sumber segala informasi tapi fasilitator hanya bertindak seperti “lalu lintas ide”.
“Jadi fasilitator menampung semua aspirasi dan gagasan semua stakeholders yang
difasilitasi. Lalu fasilitator kemudian mengelaborasi semua gagasan dan aspirasi tersebut
sampai melahirkan poin-poin penting dari hasil diskusi. Hasilnya ditemukan
pengetahuan baru yang dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah,”
terangnya.

Untuk memperkuat pelatihan atau pertemuan yang partisipatif maka Ibrahim juga
telah mengembangkan metode baru dalam pelatihan. Metode tersebut adalah memutar
film-film pendek yang berhubungan dengan materi pelatihan. Pemutaran film ini,
sesungguhnya, jelas Fattah adalah pengembangan dari metode presentasi slide dengan
infocus. Bedanya, peserta melihat langsung fakta-fakta empirik yang berhubungan
dengan materi suatu pelatihan.

“Pemutaran film pendek terbukti mampu memberi aspirasi baru bagi peserta pelatihan
untuk lebih aktif berpartisipasi dalam menyampaikan masukan,” tandasnya.

Selain inovasi film pendek itu, Fattah mengaku tetap menggunakan alat-alat pelatihan
yang umum digunakan seperti metaplan, kertas plano, majalah-majalah bekas, benang,
bisa juga foto-foto.

Foto-foto dan koran bekas, urai Fattah, dapat digunakan untuk membuka ruang
pandangan peserta tentang persepsi dia terhadap suatu kebijakan. Intinya alat-alat
pelatihan tersebut dapat digunakan sesuai kebutuhan pelatihan. Karena tujuan dari
semua itu adalah membuat peserta pelatihan nyaman dan aktif sharing untuk mencapai
tujuan pelatihan.

Dan terbukti, pendekatan partisipatif dalam setiap pelatihan yang Fattah lakukan
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
200 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

mampu mencapai tujuan pelatihan yang diharapkan dengan efektif. Karena itu, dengan
tegas Fatta merekomendasikan agar setiap pelatihan yang dilakukan untuk mendorong
lahirnya suatu regulasi yang pro rakyat harus dilakukan secara partisipatif pula.

Meski demikian, Fattah, tetap memberikan catatan penting tentang hambatan-hambatan


yang bisa terjadi dalam pelatihan yang pesertanya orang dewasa. Beberapa hambatan
itu adalah: Pertama, peserta tidak mau melewati proses panjang. Maunya praktis.
Sementara metode pendidikan yang partisipatif biasanya mengandalkan dua hal; butuh
waktu dan alat bantu yang banyak. Kedua, selama ini metode pendidikan yang diketahui
masyarakat adalah pedagogi, sehingga banyak peserta yang mau memperoleh
pengetahuan instan saja. Sementara metode pendidikan partisipatif itu butuh waktu
yang lebih lama.

Namun, jelas Fattah rileks, ada cara yang efektif untuk keluar dari masalah itu, yaitu
lakukan diskusi kelompok guna memberi ruang bagi peserta untuk berbagi. Sehingga
kesannya mereka layaknya berdiskusi di warung kopi sambil kongkow-kongkow. Jangan
lupa, lanjut Fatta, games sangat berguna untuk mengembalikan semangat peserta
pelatihan yang mulai kendor. Dan berikan penugasan-penugasan berupa latihan atau
berikan kesempatan kepada peserta untuk merumuskan sendiri solusi setiap persoalan.

“Jika semua metode pendekatan partisipatif itu digunakan sesuai fungsinya masing-
masing maka yakin saja peserta akan betah mengikuti pelatihan. Bahkan kita kadang
tidak menduga kalau peserta justru mampu memberikan jalan keluar dari setiap
masalah yang ditawarkan, termasuk masalah regulasi sekalipun,” tandas Fatta.

Pendek kata, imbuhnya, pendekatan partisipatif terbukti mampu melahirkan berbagai


regulasi yang pro rakyat. “Percayalah,” tegas Fattah mengakhiri seiring mentari di ufuk
Kota Parepare yang menembaga. (sim)
Kumpulan Pengalaman Menarik 201

Konteks Selalu
Berarti Subyek
Oleh: Krisdinar Sumadja

Meskipun sejak September 2006 saya telah dilatih teknologi partisipasi (ToP) untuk
keperluan memfasilitasi secara efektif, namun tak satupun dari ketiga metode yang
terdapat di dalamnya saya gunakan secara “bulat” dan berurutan. Tak pernah sekalipun
hingga saat ini saya mempraktekkan langkah demi langkah seperti yang diminta oleh
metode diskusi, metode konsensus ataupun metode rencana tindak. Begitupun, jangan
disangka saya tak memperoleh ilmu apapun dari pelatihan itu yang berguna memperbaiki
teknik memfasilitasi yang saya lakukan.

Sebagai pimpinan pada GKGG Laksaketi Bandung, kegiatan saya yang utama adalah
memfasilitasi kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan oleh kebijakan
pemerintah. Kelompok-kelompok ini didorong agar dapat menjadi subyek dari setiap
kebijakan atau peraturan. Itu bukanlah pekerjaan mudah. Bagaimanapun kelompok-
kelompok marjinal ini telah terbiasa merasa diri mereka sebagai “bukan siapa-siapa”
dalam menentukan kebijakan pemerintah. Mereka yang memiliki cacat fisik atau mental,
mereka yang bergerak dalam sektor informal dan kelompok lainnya cenderung apatis
terhadap upaya pemerintah untuk mengubah nasib mereka. Peraturan atau kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah, mereka pandang sebagai sesuatu yang berada di luar
“kapasitas” mereka untuk mempengaruhinya.

Pandangan apatis seperti inilah yang saya sebut sebagai sikap menjadikan diri sendiri
sebagai obyek dari keputusan pemerintah. Seharusnya, setiap warga negara tanpa
terkecuali adalah merupakan subyek dari sebuah kebijakan. Maknanya, setiap kebijakan
yang diambil dalam satu sektor tertentu haruslah menjadikan semua pihak yang berkaitan
dengan sektor tersebut terdorong ke arah yang lebih baik, terdukung dan disetarakan
nilai tawarnya dalam kebijakan itu.

Memfasilitasi kelompok-kelompok ini mejadi semakin sulit manakala mereka cenderung


Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
202 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

untuk tidak mau “angkat bicara” tentang keinginan dan harapan mereka sendiri. Belum
terhitung mereka yang memang memiliki kendala untuk berpendapat: tak bisa tulis
baca, tak mudah mencerna gagasan, gangguan fisik atau mental dan masih banyak lagi.
Dalam bingkai yang demikianlah saya melihat bahwa penerapan langkah demi langkah
yang dianjurkan metode-metode ToP menjadi sulit untuk dijalankan. Apa yang saya
lakukan adalah “mencerdasi” penggunaan metode-metode tersebut.

Sebagai fasilitator, saya harus menjamin agar arus diskusi berjalan lancar dalam berbagai
situasi, baik saat ada silang pendapat maupun urun rembug saja. Apa yang saya analisis
dan simpulkan dari pengalaman mendapatkan tiga buah metode fasilitasi efektif ternyata
sangat berdaya guna. Kesimpulan saya: ketiga metode tersebut menekankan pada
pentingnya setiap pihak yang berpartisipasi untuk mengenali konteks dari partisipasinya.
Konteks bisa dalam bentuk latar belakang atau dalam bentuk lain seperti fakta dan
perasaan. Hal utamanya justru terletak pada pemahaman peserta tentang “hubungan
apa yang ada antara materi yang dibahas dengan diriku dan kehidupanku,” Aku, disini,
merujuk kepada diri masing-masing peserta.

ToP mengajari saya bahwa konteks dan komitmen peserta untuk berpartisipasi adalah
langkah awal dan penting. Dalam memfasilitasi Focus Group Discussion (FGD), saya
memberi porsi khusus bagi penguraian konteks dan komitmen ini. Sering sekali saya
harus menekankan kepada peserta pertemuan bahwa kehadiran mereka adalah untuk
menjadikan mereka sebagai subyek dari sebuah peraturan yang barangkali dirumuskan
tanpa pendapat mereka sebelumnya.

Pernah ada peraturan dari Pemerintah Kota Bandung yang tidak memperdulikan
kekurangan fisik atau mental dari kelompok tertentu. Peraturan tersebut telah pula
disahkan. Tak perlulah saya menyebutkan peraturan yang mana, di sini. Selain tak etis,
juga tak relevan. Sebab yang ingin saya sampaikan adalah pengalaman memfasilitasinya.
Dalam sebuah FGD yang dihadiri oleh kelompok-kelompok yang berkekurangan fisik
dan atau mental, saya mengajak peserta untuk dapat melihat konteks dari kehadiran
mereka serta menggalang komitmennya untuk berpartisipasi.

Saya menggali hingga peserta faham bahwa peraturan telah disahkan dan mau tak mau
mereka harus mematuhinya sebagai posisi obyek. Mereka harus berdiskusi agar mereka
tidak tergilas oleh kehendak dari peraturan tersebut. Mereka harus menyusun langkah
dan rencana secara matang, seksama dan bersama-sama agar dapat menemukan sisi
untung dari peraturan itu sebagai posisi subyek. Di sana, saya ajak pula peserta untuk
memahami bahwa jika mereka tidak berpendapat, bersikap atau berencana, maka di
waktu yang akan datang setiap kebijakan akan sama sekali tidak memandang keterbatasan
mereka. Mereka akan diseragamkan dengan kelompok yang tak butuh menjadi berbeda.
Kumpulan Pengalaman Menarik 203

Penyeragaman tentu saja membuat mereka menjadi tak setara dengan kelompok lain.

Dan terbukti, penguraian konteks membuat peserta menjadi lebih termotivasi untuk
berpendapat dan bekerja sama. Antusiasme tak menurun hanya karena mereka memiliki
keterbatasan untuk bisa mengungkapkan pendapatnya. Saat mereka tak bisa menulis,
pendapat lisan pun bisa dikelompokkan; ada fasilitator pendamping yang akan menuliskan
gagasan masing-masing peserta. Manakala peserta memiliki keterbatasan mental, maka
orang tua atau kerabat dekat dari si peserta yang akan “menyuarakan” dan menulis
pendapat si peserta. Perlu diketahui bahwa kerabat atau orang tua adalah yang paling
bisa menerjemahkan kehendak dan bahasa si peserta sehingga benar-benar seperti
disampaikan oleh si peserta secara langsung.

Dalam kelompok-kelompok yang berasal dari sektor informal, penggunaan langkah demi
langkah dari metode-metode ToP sebenarnya dapat dilakukan. Ada langkah-langkah
yang dilewati atau dimodifikasi. Penguraian konteks dan pembuatan komitmen adalah
proses yang berjalan sekaligus. Pengelompokan pendapat, terutama pada saat konfirmasi
dan paraphrasing, boleh jadi tidak menggunakan banyak “kartu ide”. Dalam pertemuan
seperti ini, “kartu ide” masih merupakan “barang mewah” sehingga harus digunakan
sehemat-hematnya.

Sesungguhnya, yang penting dalam pengumpulan pendapat bukan “kartu ide” melainkan
bagaimana fasilitator menahan diri agar sudut pandang dari fasilitator terhadap materi
diskusi tidak terungkap lalu mengganggu proses diskusi. Fasilitator harus tetap
mengutamakan fakta dan refleksi dari peserta dan menjaga dirinya agar netral terhadap
pendapat peserta. Kadangkala, untuk mendorong lebih banyak patisipasi, fasilitator
memberi penekanan pada pendapat yang berlawanan dengan yang umum dianut oleh
peserta lokakarya lainnya. Pendapat yang berbeda dengan “pendapat yang biasa” dari
peserta diskusi justru akan meningkatkan dinamika sebuah diskusi maupun lokakarya.

Situasi cenderung memanas setelahnya. Saya, sebagai fasilitator, biasanya menggunakan


permainan dan penyemangat untuk mengembalikan suasana kepada posisi yang paling
mendorong kelompok menuju tujuannya. Permainan pun disesuaikan dengan “kapasitas”
peserta. Peserta dengan cacat fisik tentu tak nyaman untuk diajak bermain dengan fisik.
Peserta yang tuna rungu tentu tak dapat bermain mengenali suara. Jadi sebelum mengajak
peserta pertemuan untuk menjadikan dirinya sebagai subyek dari kebijakan pemerintah,
fasilitator harus lebih dulu menunjukkan kepada peserta bahwa mereka adalah subyek
dari pertemuan; permainan pun bukan sekehendak si fasilitator!
(Bandung, Oktober 2008)
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
204 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Perempuan
Sebagai Fasilitator,
Mengapa Tidak?
Oleh: Hamidah

Perempuan distereotipkan enggan atau takut berpendapat di ajang rapat atau diskusi.
Takut salah, takut karena tidak percaya diri, atau ketakutan dianggap terlalu 'berani'.
Mereka beranggapan, sudah kodratnya perempuan untuk menurut, kalem, tidak banyak
ngomong, dan pasrah pada apapun hasil keputusan rapat. Diam, bagi perempuan
peserta rapat adalah 'kebenaran' sikap yang harus ditradisikan. Kondisi inilah, di lain
pihak bisa jadi yang menyebabkan perempuan sedikit yang berani menjadi pemimpin
diskusi atau rapat.

Di level desa atau kelurahan misalnya, pada saat Musyawarah Perencanaan


Pembangunan (Musrenbang), sedikit jumlah perempuan yang hadir. Penyebabnya
bisa jadi karena memang perempuan tidak diundang, lebih memprioritaskan laki-laki
sebagai peserta, atau perempuan yang diundang tidak bisa hadir karena masih dibebani
tugas domestik di rumah. “Selain itu, ya dulu kan di dalam Musrenbang itu hanya
mengisi kolom, tidak ada diskusi di dalamnya,” ungkap Hamidah.

Pemikiran semacam inilah yang ingin berusaha diubah oleh Hamidah. Lewat Kaukus
Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kota Mojokerto yang dipimpinnya, tercetus ide
untuk mengadakan pelatihan fasilitator Musrenbangkel bagi perempuan (Training of
Fasilitator atau ToF). Gayung bersambut, ide ini dilontarkan ke pihak Bappeko Mojokerto
dan direspon positif. Bersama dengan LGSP Jawa Timur, sejumlah 28 tokoh perempuan
di Kota Mojokerto, dilatih dengan metode ToP. Mereka berasal dari perwakilan
kelurahan dan Ormas (Fatayat, Muslimat, PKK). Tidak ketinggalan, pihak Bappeko
Mojokerto juga dilibatkan sebagai narasumber.

Kalau selama ini, para tokoh perempuan di dalam Musrenbang hanya menjadi peserta,
maka dalam ToF ini mereka dipersiapkan untuk menjadi fasilitator. “Selama mereka
Kumpulan Pengalaman Menarik 205

hanya menjadi peserta Musrenbang, potensi para perempuan ini tidak akan pernah
muncul. Tapi terbukti selama pelatihan oleh LGSP potensi ini mereka keluarkan
semua,” ungkap perempuan yang menjadi Ketua RW di tempat tinggalnya ini.

Selepas pelatihan, para 'alumni' ToF ini langsung diterjunkan ke Musrenbang di tingkat
kelurahan. Sambutan positif diberikan oleh para lurah atas kinerja fasilitator perempuan
ini. Mereka tidak mengira sebelumnya, para perempuan ini bisa begitu cekatan, tegas,
dan lantang dalam memimpin jalannya diskusi.

Keberhasilan sebagai fasilitator Musrenbangkel ini, berlanjut ke tingkat


Musrenbangcam. Beberapa Camat lewat KPPI berkeinginan agar para perempuan
alumni ToF menjadi fasilitator Musrenbang di wilayahnya. “Kalau sebelumnya itu,
perempuan dari kelurahan yang diundang di Musrenbang kecamatan paling hanya
satu orang (PKK, red). Tapi kemarin saya minta ke pak camatnya, agar para alumni ToF
diundang semua baik sebagai peserta atau fasilitator. Jadinya sekitar 50% peserta
Musrenbangcam kemarin adalah perempuan,” tegas Hamidah. Bagaimana tanggapan
masyarakat peserta Musrenbang, ketika fasilitatornya perempuan? Tentu saja hal ini
surprise di mata masyarakat yang sebelumnya hanya disuguhi kegiatan semacam
sosialisasi di dalam Musrenbang. Rata-rata respon masyarakat menurut Hamidah positif,
terutama masalah kerincian dan ketelitian dari fasilitator perempuan. “Misalnya selalu
ditanyakan oleh fasilitator kepada bapak-bapak apa yang dibutuhkan di depan mata.
Selalu diingatkan jangan hanya menyampaikan keinginan tetapi yang terpenting adalah
kebutuhan riil masyarakatnya,” ungkap Hamidah.

Peran KPPI di dalam konteks ini, tidak sebatas melahirkan fasilitator perempuan.
Agar keterwakilan perempuan sebagai peserta Musrenbang terpenuhi, mereka harus
'bergerilya'. Mereka telepon setiap Lurah, dan memberikan masukan siapa saja
perempuan yang bisa diundang ke Musrenbang. “Jaringan kami kan sampai ke tingkat
RT RW, jadi kami paham perempuan mana saja di tiap kelurahan yang potensial untuk
diundang,” imbuh Hamidah.

Agar peserta tidak terlalu kaget dengan perubahan yang dihadapi di dalam Musrenbang,
KPPI menggelar pra-Musrenbangkel. Inovasi baru ini sebagai upaya menciptakan
simulasi sebelum pelaksanaan Musrenbangkel yang sesungguhnya. Sebagai pilot project,
dipilihlah dua kelurahan. Peserta yang diundang dalam pra-Musrenbangkel akan sama
dengan pelaksanaan Musrenbangkel sesungguhnya. Sebagai ajang latihan, pra-
Musrenbangkel membekali peserta untuk terlibat aktif dalam diskusi yang dikelola
dengan pendekatan partisipatif. “Terbukti berbeda antara kelurahan yang sebelumnya
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
206 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

dilakukan pra-Musrenbangkel dengan yang tidak,” ungkap Hamidah.

Bagi kelurahan yang melaksanakan pra-Musrenbangkel, proses diskusi selama


Musrenbangkel akan lebih lancar dan tidak terbentur pada debat kusir. Perdebatan
hanya muncul ketika menentukan skala prioritas. Bahkan, di pra-Musrenbangkel inilah,
penjelasan mengenai program mana yang bisa diajukan ke tingkat lebih tinggi
(kecamatan atau kota) dan mana yang cukup ditangani secara swadaya, secara detil
bisa diterangkan ke peserta.

Adanya fasilitator yang memandu agar diskusi di setiap kelompok bidang (ekonomi,
sosial budaya, dan fisik prasarana) berjalan partisipatif, menyebabkan waktu pelaksanaan
Musrenbang menjadi lebih lama jika dibandingkan dengan pola Musrenbang
sebelumnya yang hanya sekedar mengisi formulir 'kebutuhan'. Tidak ada diskusi dan
debat cerdas antar peserta untuk menentukan skala prioritas kebutuhan di wilayahnya.
Hal inilah yang menyebabkan kehadiran fasilitator yang lugas, tegas, dan mampu
menciptakan atmosfer diskusi yang nyaman, serius tapi santai, dan membuat semua
peserta mau menyumbangkan pemikirannya sangatlah diperlukan.

Atas perannya yang berhasil dalam Musrenbang inilah, para fasilitator perempuan
sebagian dipercaya sebagai Tim Penyelaras Program Pemerintah Kota Mojokerto 2009
di Musrenbangkot. “Bahkan barusan saja teman-teman di KPPI menjadi bagian dari
Tim RPJP Kota Mojokerto,” tambah Hamidah.

Harus diakui, keberhasilan KPPI Mojokerto mencetak fasilitator Musrenbang


perempuan, tidak lepas dari peran Hamidah. Selain itu, peran ganda Hamidah sebagai
pegiat CSO dan anggota DPRD, memang sangat membantu 'kelancaran' penelusuran
dan collecting dokumen sebagai bahan diskusi CSO di Mojokerto.Terutama menghadapi
pejabat eksekutif yang tidak terbuka dan masih mencurigai aktivitas CSO. Tetapi itu
terjadi di era sebelum kehadiran LGSP di Mojokerto. “Sekarang ini sudah berubah
koq, tanpa harus saya yang maju ke eksekutif, dokumen apapun yang diminta teman-
teman CSO ke SKPD atau Bappeko, pasti dilayani,” ungkap Hamidah. Apalagi semenjak
KPPI diminta menangani Musrenbang di Mojokerto, lembaga ini makin mudah saja
mengakses dan mewarnai setiap tahapan penyusunan APBD. (yss)
Kumpulan Pengalaman Menarik 207

Siasat Mempersiapkan dan


Mendesiminasikan Draf RPJPD
Oleh: Kadaryono

Pada awalnya antar CSO di Kota Madiun hanya bertemu secara informal. Tidak ada
ikatan yang mampu menyatukan mereka. Selain itu, hanya beberapa CSO yang memiliki
akses ke DPRD maupun eksekutif. Kadaryono salah satu aktivis CSO pendiri LESSE
(Lembaga Studi Sosial dan Ekonomi) memiliki 'keistimewaan' itu. Ia dimasukkan sebagai
salah perwakilan CSO yang duduk sebagai anggota Pokja RPJPD.

Ketika LGSP Jawa Timur menjalin MoU dengan Pemkot Madiun, mulailah era baru
jalinan antar CSO di kota pecel ini. “Lokakarya dan asistensi yang diadakan LGSP
membuat kami sadar perlunya ikatan kebersamaan di antara kami. Akhirnya forum
informal sebagai ajang kumpul-kumpul ini kami namakan sebagai Cangkrukan CSO
Kota Madiun,” ungkap Yoyon, panggilan sehari-hari Kadaryono. Isu sentral yang menjadi
agenda mereka awalnya adalah penyusunan RPJPD. Analisis kritis dan draf awal temuan
mereka lakukan bergiliran berkeliling antar rumah anggota.

Dalam perkembangannya, agar akses mereka lebih formal dan diakui kontribusinya
baik oleh eksekutif maupun legislatif, forum ini mereka namakan “Aliansi CSO Kota
Madiun”. Aliansi ini tetap memfokuskan diri pada analisis dan penyiapan draf RPJPD.
Pembahasan ini mereka lakukan setelah mendapatkan 'bocoran' dari tiga anggota
aliansi yang masuk sebagai pokja RPJPD. Salah satu masukan dari hasil pertemuan
Aliansi misalnya, tidak dimasukkannya isu lingkungan di dalam misi Kota Madiun yang
dibahas di Pokja RPJPD. “Kami juga menyampaikan kajian sandingan kepada dewan.Ya
meskipun pada saat itu pengetahuan kami minim di dalam regulasi dan tahapan di
dalam perencanaan, tetapi semangat teman-teman aliansi itulah yang menghilangkan
kelemahan itu,” kenang Yoyon.

Jadi bisa dikatakan, pada saat itu Yoyon berada di dua posisi. Satu sisi menjadi anggota
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
208 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Pokja, yang menyampaikan hasilnya di dalam Aliansi CSO. Di sisi lain selaku narasumber
maupun fasilitator, diperankannya untuk memandu diskusi Aliansi CSO. Melalui
metode ToP yang didapatkannya di LGSP, banyak masukan dan analisis tajam yang
dihasilkan. “Saya gunakan metaplan dan kertas plano untuk memetakan persoalan di
dalam diskusi Aliansi CSO. Banyak lho yang baru mengenal penggunaan media
partisipatif ini, tapi mereka akui metode ini membuat semua orang berkesempatan
mengemukakan idenya,” ujar laki-laki tiga orang puteri ini. Bagi Yoyon, metode TOP
ini juga membuat pelontar ide berkesempatan merumuskan solusi atas persoalan
tersebut. Hasil diskusi Aliansi ini dibawanya kembali ke Pokja RPJPD. Inilah peran
keduanya selaku mediator antara CSO dan Pokja RPJPD.

Draf RPJPD ini akhirnya berhasil dirumuskan setelah melalui sekian kali pembahasan.
Aliansi CSO Kota Madiun mendesak Pokja RPJPD agar dilakukan konsultasi publik.
Tujuannya untuk mendapatkan masukan dan kritik dari perwakilan warga kota. “Masak
perencanaan pembangunan untuk masa 25 tahun koq dibahas di lingkup yang kecil,
makanya dialog publik untuk mengkritik draf RPJPD ini kami rasakan perlu. Aliansi
juga mendesakkan hal ini lewat surat yang dikirimkan ke walikota, “ ungkap Yoyon.
Walikota Madiun memberikan sinyal positif dengan memerintahkan Bappeko
menggelar hearing dengan Aliansi CSO. Hasilnya, disepakati menggelar dialog publik
lewat siaran RRI Madiun.

Aliansi CSO, sebelum siaran interaktif dilangsungkan, sadar betul kalau 'strategi' ini
hal baru untuk konteks masyarakat Madiun. Warga kota diyakini juga masih banyak
yang belum mengetahui isi dari draf RPJPD tersebut. Oleh karena itulah, dibuat skenario
agar terkesan siaran tersebut betul-betul interaktif, pertanyaan pendengar via telepon
sudah disetting sebelumnya. “Ya di antara kami anggota Aliansi CSO yang bergantian
menelpon ke RRI dan mengaku sebagai warga kota. Saya hanya berpikiran positif saja
dengan taktik kami ini, minimal warga Kota Madiun mengetahui dan memahami
beberapa hal yang diatur di dalam draf RPJPD,” ujar Yoyon.

Selain itu, dialog publik juga dilakukan dengan mengundang beberapa perwakilan tokoh
masyarakat, agama, dan profesi di ruang 13 Kantor Walikota. Sempat muncul 'suasana
panas' pada saat itu. Penyebabnya, acara yang begitu pentingnya ini tidak dihadiri dan
dipimpin langsung Kepala Bappeko Madiun. “Kami tidak mau kalau acara dari pihak
Pemkot diwakili Sekretaris Bappeko yang tidak memahami detail persoalan ini. Sempat
terjadi deadlock, tapi kami mengalah dan melanjutkan acara ini dengan menuntut
Ketua Pokja RPJPD mewakili Bappeko,” ungkap Yoyon. Apa yang dihasilkan dari acara
ini? Masukan yang berhasil dihimpun (sebagai resume acara dialog publik) maupun
Kumpulan Pengalaman Menarik 209

yang tidak tertampung pada dialog publik dan secara tertulis disampaikan peserta,
didesakkan Aliansi CSO dimasukkan sebagai lampiran tersendiri dan sebagai satu
kesatuan di dalam rancangan RPJPD.

Tahapan berikutnya, Bappeko mengagendakan Musrenbang Rankir (Rancangan Akhir)


Draf RPJPD. Permintaan Aliansi CSO kepada Bappeko, naskah draf RPJPD harus
disampaikan ke peserta tiga hari sebelum acara digelar. “Kami ingin menghapus
kebiasaan buruk eksekutif. Kami tidak mau naskah draf RPJPD yang begitu tebal itu
diberikan pas acara, sehingga tidak ada waktu untuk mempelajari,” ujar laki-laki hitam
manis ini. 'Tuntutan' CSO ini akhirnya dipenuhi Bappeko Madiun.

Selama tiga hari menjelang acara, Aliansi CSO melakukan diskusi kecil mencermati
draf RPJPD. Temuan mereka, semua masukan yang mereka sodorkan kepada Pokja
RPJPD, hasil dialog interaktif via RRI, hasil konsultasi publik di Ruang 13 Kantor
Walikota, sudah diakomodasi di dalam draf RPJPD. Pada hari-H sesaat sebelum
dimulainya acara, Aliansi CSO Madiun juga menyebarkan masukan mereka kepada
seluruh peserta dan undangan termasuk Walikota. Menurut Yoyon, respon Kokok
Raya, Walikota Madiun, sangat mengapresiasi upaya yang telah dilakukan Aliansi CSO.
“Kami hanya ingin buktikan ke semua pihak, CSO itu tidak hanya bisa ngomong tapi
juga mampu kerja secara analitis dan kritis,” tegas Yoyon. Akhirnya, setelah acara ini
berakhir bola kembali di kaki Bappeko untuk finalisasi draf Rankir (Rancangan Akhir)
RPJPD dan selanjutnya diajukan ke DPRD.

Beberapa anggota Aliansi CSO termasuk Yoyon juga pernah diminta memberikan
asupan terhadap Rencana Kerja (Renja) DPRD. Bagi Yoyon, ajakan DPRD ini
menunjukkan sikap keterbukaan DPRD untuk dikritisi melalui lingkup terbatas dan
perwakilan CSO yang diseleksinya. “Kami ditunjukkan waktu itu adanya empat Perda
Inisiatif Dewan, Transparansi, Kesehatan, Pendidikan, dan Trafficking. Kami lalu
berinisiatif menyiapkan naskah akademik dari Perda Transparansi tersebut,”ungkap
aktivis CSO yang hampir tujuh tahun berkiprah. Dalam mempersiapkan naskah
akademik Perda Transparansi, Aliansi CSO didampingi SP LGSP dalam peningkatan
kapasitas. Setelah rampung tiga bulan menyusun naskah akademik, mereka serahkan
naskah tersebut kepada DPRD. “Metode diskusi ala ORIK sering saya gunakan untuk
memandu teman-teman. Jadi setelah dapat peluru dari Bu Lilik dan Pak Himawan (SP
LGSP, pen), kami gunakan sebagai bahan ketika menyusun naskah akademik ini,” ungkap
Yoyon.

Pekerjaan belum selesai. Selanjutnya Yoyon mengajak teman-teman CSO membuat


Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
210 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Raperda Transparansi dan Partisipasi Publik. Setelah rampung disusun, Raperda itu
diserahkan ke DPRD sebagai bahan masukan dan pertimbangan.Yoyon berpikir positif
pada saat itu, DPRD juga akan membuat Raperda versi DPRD. Tapi setelah ditunggu
sekian waktu, tidak ada kajian intensif DPRD untuk menindaklanjuti Raperda
Transparansi sodoran Aliansi CSO. “Padahal anggota dewan juga sudah dilatih LGSP
dalam penyiapan dan penyusunan Raperda ini. Tapi hasil lokakarya ini tidak mereka
tindaklanjuti sehingga ya stagnan,” cetus Yoyon.

Akhirnya LGSP kembali mempertemukan CSO dengan legislatif untuk membahas


Raperda Transparansi tersebut. Berbekal rancangan yang dihasilkan Aliansi CSO,
pertemuan selama tiga hari itu membuahkan hasil. Untuk mengawal dan mengawasi
agar Raperda ini segera disahkan, Aliansi CSO 'rajin' menanyakan dan menagih ke
eksekutif maupun legislatif. Informasi terakhir, akan disahkan sebagai Perda Transparansi
pada bulan Desember 2008 ini. “Jadi bisa dikatakan Perda ini hasil kerja kami karena
naskah akademik maupun Raperdanya kami yang buat. Padahal ini kan Renja DPRD
dan sebagai penggunaan hak inisiatif dewan, tetapi malah mereka tidak melakukan
apa-apa,” terang Yoyon. Meskipun demikian, Yoyon sangat bangga dengan apa yang
sudah dihasilkan bersama rekan-rekannya.

Keberadaan Aliansi CSO mengajarkan banyak hal kepada anggotanya. Sebelumnya


mereka kerap bersuara tanpa berlandaskan olahan data. Asal beda, asal teriak, dan
jauh dari cara-cara yang cerdas. Berkat sentuhan LGSP, diakui Yoyon membuat CSO
di kota brem ini terlatih untuk berpikir analitis dan kritis berdasarkan data valid yang
dimilikinya. (yss)
Kumpulan Pengalaman Menarik 211

Memancing Kemampuan Menulis,


Lewat Potongan Kata
Oleh: Zaenal Arifin Emka

Selalu ada perasaan gamang, acapkali Zaenal Arifin Emka (ZAE) harus melatih wartawan
muda. Meski sudah malang-melintang di dunia media cetak (lebih dari tiga puluh
tahun), tetap saja perasaan itu muncul. Wartawan menurutnya kerap merasa paling
tahu atau lebih tepatnya sok tahu. Bahkan, jika yang menjadi pelatih, fasilitator atau
pembicara bukan dari praktisi media, maka habislah sudah orang ini. Mereka hanya
mau menerima ilmu praktis jurnalistik dari redaktur senior atau mantan wartawan.

Selain itu, akibat merasa sudah pintar dalam tataran teknis penulisan, mereka kerap
mengacuhkan materi yang diterimanya selama workshop. Mereka beranggapan, hal ini
adalah makanan sehari-harinya. Tanpa dilatih pun, mereka merasa sudah terasah
kemampuannya menulis akibat tugas rutinnya memang menghasilkan karya jurnalistik.
Padahal, selama bergaul dengan para jurnalis di beberapa kabupaten/kota, Zaenal
menemukan beberapa kelemahan dari tulisan jurnalis tersebut. Antara lain tulisan
yang dangkal dan kering, tanpa pendalaman, pengungkapan fakta yang sepotong-potong,
mengabaikan kelengkapan data, tidak cek dan ricek, masih mengutamakan unsur
sensasional dari fakta, atau penggunaan diksi yang monoton.

Jika dalam lokakarya jurnalistik langsung 'menelanjangi' kelemahan jurnalis, sikap mereka
akan menjadi sinis. Bisa-bisa acara tersebut jadi batal akibat ditinggalkan oleh
pesertanya. Untuk menghindari kondisi ini terjadi, ZAE di awal acara biasanya
menanyakan sudah berapa lama para peserta menjalani profesinya. Jawaban peserta
sudah tentu akan variatif. Setelah itu, disambung dengan pertanyaan
berikutnya,”Setelah bekerja selama sekian tahun sebagai wartawan, karya tulis apa
yang menurut Anda layak disebut karya monumental, setidaknya patut dikenang
untuk cerita anak-istri Anda?” tanya ZAE. Biasanya tak banyak yang bisa menjawab
pertanyaan ini. “Bisa dipahami, karena sebagian wartawan hanya mengulang-ulang
pekerjaannya membuat berita, cuma materinya saja yang berbeda,” terang mantan
redaktur pelaksana harian sore Surabaya Post ini.
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
212 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Tantangan lain ketika 'melatih' jurnalis adalah membuatnya nyaman dan betah mengikuti
hingga tuntas. Tekanan deadline untuk menghasilkan tiga hingga empat tulisan dalam
sehari, telah membuatnya tak nyaman duduk berlama-lama. Memaksanya hanya diam
untuk mendengarkan sang pemateri, dijamin tidak akan ampuh menahan keberadaan
mereka. Oleh karena itu diperlukan metode partisipatif, agar mereka lebih dilibatkan
dalam setiap pentransferan materi. “Sebelumnya saya lebih sering menjadi pembicara
di seminar atau pelatihan jurnalistik. Polanya ya lebih satu arah. Setelah saya ikut TOP
di LGSP, saya selalu berusaha memberi porsi lebih banyak pada peserta untuk lebih
aktif diskusi dan praktek menulis,” ungkap Ketua Sekolah Tinggi Komunikasi Surabaya
(STIKOSA-AWS) ini.

Salah satu contoh metode partisipatif yang diterapkan ZAE adalah merangkai
potongan kata menjadi kalimat. Setiap peserta secara acak diberikan satu potongan
kata di kertas, yang harus disusun secara berkelompok. “Di dalam game ini
mengandung pelajaran harus ada kerjasama dan diskusi antar anggota kelompok.
Mereka juga harus memahami fakta yang dihasilkan dari rangkaian kata yang mereka
hasilkan,” ungkap ZAE. Jika fakta yang digambarkan dalam kalimat itu tidak jelas karena
salah dalam penyusunan kata, fasilitator mendiskusikannya bersama peserta. ”Biasanya
saya guyoni, kalimat dari orang yang terbiasa dengan penggunaan kata saja bisa salah
karena pengertiannya menyesatkan pembacanya, padahal Anda sudah lama
berhubungan dengan bahasa Indonesia,” kata ZAE.

Sesi merangkai potongan kata ini, biasanya juga dibumbui dengan ajakan fasilitator
agar jurnalis suka membaca. Hal didasari oleh rendahnya animo jurnalis untuk membaca,
Padahal jika suka membaca karya orang lain, pilihan kata jurnalis itu akan lebih kaya
dan variatif. Sehingga perbendaharaan kata, istilah, ungkapan, atau gaya bahasanya akan
membantu melahirkan karya jurnalistik yang bernas, 'berwarna' isinya, memiliki
kedalaman makna, dan tidak monoton. “Wartawan kita kebanyakan malas untuk
membaca, akhirnya ya kemampuan berbahasa Indonesianya payah karena jarang diasah,”
kata bapak berputra tiga ini.

Metode role playing juga biasa diterapkan ZAE ketika memfasilitasi lokakarya jurnalistik.
Dalam setiap kelompok disimulasikan sedang menggarap tema liputan tertentu. Ada
yang bertindak selaku pemimpin redaksi yang memandu rapat redaksi (news room).
Anggota redaksi harus berperan aktif mengembangkan angle dari fakta yang ingin
diangkat. Rancangan tulisan (outline) lengkap dengan daftar pertanyaan dan narasumber
serta data awal yang dimiliki satu kelompok harus dipresentasikan di hadapan kelompok
lainnya. Mereka diminta memberikan asupan, kritik, dan saran terhadap outline
kelompok tertentu. Ketika sesi ini berlangsung, biasanya suasananya akan sangat
Kumpulan Pengalaman Menarik 213

semarak. Beragam komentar dan celetukan kerap muncul, bahkan ada yang berusaha
untuk menjatuhkan mental dan kekompakan kelompok yang sedang presentasi.

Fasilitator dalam metode role playing sangatlah vital perannya. Lalu-lintas diskusi dan
ajang memberikan masukan antar kelompok, akan terbangun dengan baik di tangan
fasilitator yang andal. Suasana kompetisi bisa diciptakan, agar masing-masing kelompok
berusaha menampilkan outline terbaiknya. Fasilitator juga bisa mengarahkan logika
berpikir kelompok tertentu dalam memaknai fakta yang ingin diangkat. Ia bisa
memberikan data pelengkap, mengoreksi pilihan narasumber yang kompeten,
mengkritisi pengembangan angle berita agar tidak dangkal dan monoton.

Sebagai praktisi media yang kerap menemui banyak peristiwa, ZAE berusaha berbagi
(sharing) pengalaman kepada peserta lokakarya. “Temanya bisa sama, versinya saja
yang berbeda. Apalagi wartawan kan tidak mungkin ahli dalam banyak hal, sehingga
dia perlu menyerap pengalaman temannya yang menemui persoalan yang sama,” ujar
laki-laki kelahiran Jember ini. Tentu saja pengalaman orang lain tidak bisa diterapkan
sama persis oleh wartawan, khususnya yang masih pemula. “Wartawan pemula bisa
saja pintar dalam hal teknis, tapi di lapangan kondisinya akan berbeda. Jadi biar tidak
berangkat dari nol, perlulah dia mendapatkan cerita best practice dari orang yang
lebih dahulu mempraktekkan,” ujar ZAE merendah.

Terpenting juga menurut ZAE, masalah moral perlu intensif disampaikan kepada jurnalis
peserta workshop. Terutama masalah kerendahan hati. Oleh karena dianggap selalu
pintar, wartawan biasanya enggan atau gengsi untuk bertanya. Padahal dia tidak
mengetahui bahkan memahami istilah-istilah yang disampaikan oleh narasumber. “Kalau
wartawan itu rendah hati, pasti dia tidak akan malu bertanya” tegas ZAE. Juga sangatlah
penting menjelaskan masalah Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Hanya saja biasanya jurnalis
paling alergi jika diminta mendengarkan 'ceramah' tentang KEJ. “Untuk mengatasi
agar penyampaian materi KEJ tidak dalam bentuk ceramah, saya adopsi cara berkenalan
di ToP yang masing-masing orang mengisi kolom sesuai pertanyaan yang ada dan
bertanya pada orang lain yang menjawab sama. Biasanya saya ubah dengan menanyakan
pada kolom tersebut sebutkan lima pasal dalam KEJ, apakah anda pernah membuat
kesalahan penulisan, atau pernahkah anda menerima amplop?” terang ZAE. Selaku
fasilitator, setelah sesi perkenalan biasanya akan meminta secara acak peserta untuk
menceritakan pengalamannya sesuai pertanyaan yang diajukan. Bagi peserta lain diminta
untuk menanggapi dan diskusi bisa berkembang lebih seru.Tanpa sadar peserta tengah
memperbincangkan masalah kode etik, tanpa harus merasa dikotbahi atau dinasihati
untuk mematuhinya.(yss)
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
214 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Menumbuhkan Empati
Diantara Dua Kubu
yang 'Berseteru'
Oleh: Sugeng wahyudi

Media relations (hubungan dengan media) merupakan fungsi utama seorang Public
Relations Officer (PRO). Terutama bagi petugas Humas di instansi pemerintahan, akan
kerap menjalin relasi dengan media. Sudah menjadi kebiasaan, staf Humas pemerintahan
sering mengalami pergantian (rolling). Terkadang, pegawai yang sebelumnya tidak
mengenal sama sekali kehumasan harus langsung berhadapan dengan wartawan.
Pencari berita ini sudah tentu dengan latar belakang, motif, sikap, dan gaya yang beragam.
Untuk menghadapinya diperlukan kiat dan teknik tersendiri tentunya. Jika salah dalam
bersikap, Humas sebagai corong informasi Pemkab/Pemkot, akan menuai kritik dan
hujatan dari jurnalis.

Apa saja pengalaman dan pendapat Humas pemerintahan ketika 'melayani' wartawan?
'Mereka sudah seperti jaksa kalau bertanya', 'ujung-ujungnya menunggu amplop kalau
habis wawancara', 'kalau ada pejabat punya masalah, pasti diperasnya', 'penampilannya
terkadang tidak sopan kalau mau menemui Kepala Dinas'. Catatan ini merupakan
sebagian penggalan cerita yang didapatkan Sugeng Wahyudi selaku SP LGSP ketika
Lokakarya Diseminasi UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Selanjutnya hal ini ditanyakan balik oleh Sugeng kepada jurnalis bagaimana tanggapan
mereka atas 'tudingan' miring ini? Mereka justru mengeluhkan sikap Humas Pemkot/
Pemkab yang suka menutup-nutupi informasi. Biasanya Humas pemerintah berdalih
tidak berani menyampaikan pernyataan sebelum mendapat ijin pimpinannya. Mereka
juga tidak setuju jika semua wartawan dianggap selalu mau menerima amplop. “Malah
wartawan dalam lokakarya itu terlihat menahan amarah ketika menceritakan perilaku
oknum yang mengaku-ngaku sebagai wartawan, keluar masuk beberapa kantor dinas.
Hal ini membuat wartawan yang asli itu dicurigai juga sebagai WTS (Wartawan Tanpa
Surat Kabar),” ujar dosen komunikasi ini.
Kumpulan Pengalaman Menarik 215

Metode 'memancing cerita' dari peserta ini kerap diterapkan Sugeng di awal lokakarya.
Baik ketika pesertanya homogen (dari profesi yang sama, misal Humas atau wartawan)
maupun heterogen. Menurutnya, perlu sikap empati dan sedikit hati-hati, bila
menghadapi peserta yang beragam. Apalagi jika ada dua pihak peserta yang
berseberangan, dan potensial bisa saling menghujat sikap 'lawannya'. Diperlukan sikap
adil untuk memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak. “Sering
kalau saya memberikan kesempatan berpendapat pada seorang Humas, belum selesai
dia bicara, wartawan akan menginterupsi dan ingin memberikan klarifikasi,” ujar laki-
laki kelahiran Madiun ini. Suasana bisa menjadi panas dan mengarah pada debat
berkepanjangan, jika tidak segera 'ditengahi'.

Sugeng bercerita sering harus mengklarifikasi tudingan miring yang dilontarkan kedua
kubu. Fungsi sebagai wasit yang bijak dan adil harus dijalankannya. Misalnya
dijelaskannya sistem pendistribusian kewenangan sebagai juru bicara, kerap menjadi
penyebab tidak responsifnya staf Humas memberikan informasi kepada jurnalis.
Apalagi jika di masing-masing dinas, tidak memiliki staf yang ditunjuk khusus sebagai
Humas. Maka akan tercipta 'kemandegan' lalu-lintas informasi di instansi tersebut.
Wartawan akan menganggap telah dihambat kebutuhannya dalam mendapatkan
informasi. “Atau pada kasus lain, sering saya jelaskan kepada staf Humas, tidak bisa
semua wartawan distereotipkan selalu mau menerima amplop yang disodorkan Humas.
Masih banyak wartawan yang idealis dan patuh pada aturan di medianya yang melarang
jurnalis menerima amplop,” ujar Sugeng.

Selain meminta peserta lebih sering menceritakan pengalamannya, Sugeng juga lebih
suka memberikan contoh/studi kasus. Tujuannya memperjelas pemahaman peserta
terhadap materi yang sudah dijelaskannya. Biasanya hal ini diterapkannya jika menginjak
materi tentang strategi Humas ketika menghadapi krisis komunikasi. Misalnya peran
Humas ketika terjadi kasus bencana alam, kekacauan proses seleksi CPNS, krisis
pangan dan kekeringan, atau alokasi APBD yang tidak pro-poor, pro-gender, atau tidak
sensitif pada golongan marginal. Studi kasus biasanya diambilnya dari literatur atau
pengalaman para Humas yang tergabung dalam Bakohumas (Badan Koordinasi
Hubungan Masyarakat) di kota atau departemen tertentu. Untuk menggali pendapat
tiap kelompok, dimintanya mereka mendiskusikan studi kasus tersebut. Bagaimana
pendapat mereka, solusi apa yang ditawarkan untuk mengatasi kasus itu, dan media
apa yang digunakan untuk mengatasi krisis komunikasi tersebut? Beberapa poin ini
harus disiapkan dan dipresentasikan tiap kelompok. Penggunaan metaplan, kertas
plano, bisa mereka gunakan. Jika diperlukan, tiap kelompok bisa bermain peran (role-
play) ketika mempresentasikan di hadapan peserta lain. “Suasana ger-geran dan lucu
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
216 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

biasanya muncul kalau ada yang bermain peran. Setelah itu mereka akan menjelaskan
apa makna dan maksud dari permainan yang telah mereka jalankan,” terang bapak
dua orang putra ini.

Sebagai fasilitator, Sugeng mengakui kerap harus menjembatani kebutuhan Humas


atau jurnalis. Misalnya ketika menjelaskan bagaimana seharusnya pemahaman Humas
tentang regulasi media. Tujuannya, agar Humas segera bersikap ketika terjadi kesalahan
pemberitaan berkaitan dengan kebijakan Pemkab/Pemkot. Atau pemberitaan yang
potensial bisa menjadi delik pers (pencemaran nama baik, berita bohong, penghinaan,
atau kesalahan akurasi). Mengapa pengetahuan tentang regulasi media ini perlu? “Untuk
membuat Humas paham terhadap regulasi media yang mengikat dan sebagai panduan
jurnalis dalam bekerja. Sehingga kalau terjadi kesalahan pemberitaan Humas tahu
bagaimana menggunakan haknya sebagai sumber yang diberitakan,” ujar Sugeng.

Untuk itulah dalam menjelaskan masalah regulasi yang penuh dengan pasal-pasal dan
bahasa hukum, Sugeng perlu 'membahasakan-nya' dengan mudah dan sederhana.
Regulasi media ini misalnya UU Pers, UU Penyiaran, Kode Etik Jurnalistik, Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS), beberapa pasal delik
pers di dalam KUHP, UU Kebebasan Informasi Publik, maupun UU Perlindungan
Konsumen. Tidak semua ayat dalam pasal beserta penjelasannya, akan disampaikan
kepada peserta. Dipilihnya secara selektif yang berdekatan dengan persoalan yang
sering dijumpai para staf Humas. Kembali penggunaan contoh kasus, mengiringi
penjelasan materi regulasi ini. “Tidak bisa mereka hanya diminta untuk menghapal
sejumlah pasal itu, tapi biar mereka tahu langkah apa yang harus dilakukan setelah
mereka memahami adanya regulasi yang telah dilanggar oleh media,” ungkap Sugeng.

Bagi Sugeng, fasilitator bukanlah sekedar transformator. Aspek terpenting menurutnya


adalah keterampilan komunikasi, yang peka pada kebutuhan peserta. Fasilitator juga
harus mampu menginterupsi dari kemungkinan hal-hal yang menyimpang dari tujuan
fasilitasi. Biasanya Sugeng menggunakan gurauan/ lelucon, ketika ada peserta yang
mengungkapkan persoalan yang 'melenceng' dari fokus lokakarya. Kebetulan sebagai
pribadi yang suka bergurau, penggunaan lelucon bukanlah persoalan sulit bagi Sugeng.
“Saya akan potong peserta itu dengan guyonan kalau sudah melenceng, agar dia tidak
tersinggung atau merasa dipermalukan di depan peserta lain. Tapi inipun juga harus
hati-hati dalam penyampaiannya agar suasana lokakarya tidak larut dalam guyonan
saja,” ungkap Sugeng.
Kumpulan Pengalaman Menarik 217

Fasilitator juga diharapkan menjadi motivator. Sugeng mencontohkan ketika memotivasi


staf Humas mengelola media internal. Bagi suatu dinas atau badan yang sudah memiliki
media internal, maka dimintanya untuk menceritakan pengalamannya mengelola me-
dia internal tersebut. “Kalau mereka tidak membawa contoh media milik kantornya,
maka bisa saya minta dia untuk mengambilnya. Ini dimaksudkan agar peserta yang lain
juga bisa mengritisi isi media tersebut,” ujar Sugeng. Menjadi kebiasaan Sugeng, dalam
lokakarya selalu dibawanya banyak contoh majalah internal untuk dibaca dan dikritisi.

Bagi yang belum membuat atau memiliki media internal, maka pengetahuan praktis
perlu lebih banyak diberikan. Misalnya pengetahuan tentang nilai berita, teknik
wawancara, mekanisme perencanaan dan penentuan topik media (news room), lay-out
atau perwajahan media, dan manajemen media internal. Bagaimana peserta diminta
praktek membuat media? Sugeng meminta tiap kelompok mengadakan sidang redaksi
dan menentukan materi apa saja untuk medianya. Diberikannya majalah bekas kepada
tiap kelompok, untuk dipotong-potong dan ditempel di kertas plano.“Ibaratnya kertas
plano itulah majalah internal mereka.Tiap kelompok boleh menuliskan beritanya atau
artikelnya dengan tulisan tangan atau diketik untuk ditempelkan di kertas plano
tersebut. Gambar di majalah bekas bisa mereka gunakan sebagai foto ilustrasi sebagai
pelengkap berita yang ditulisnya,” jelas Sugeng. Suasana kompetitif biasa Sugeng ciptakan,
untuk memotivasi peserta serius membuat majalah internal yang terbaik. Beberapa
buku sudah disiapkannya, sebagai award bagi pemenangnya. (yss)
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
218 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Pemakaian Metaplan
untuk FGD Penelitian
Oleh: Slameto

Kuasailah metode yang sangat Anda sukai. Niscaya Anda akan mendapatkan dua hal
kegembiraan. Kegembiraan karena Anda sangat menyukainya, dan kegembiraan karena
Anda menjalankan metode fasilitasi dengan suka cita.

Jangan bicara lancar atau tidak saat pertama kali mulai menggunakan metode dalam
fasilitasi yang dianggap baru. Yang harus Anda timbang-timbang, apakah Anda menguasai
metode, media yang akan Anda pergunakan dengan penuh suka cita. Jika Anda
menyukainya, Anda pasti akan bekerja keras bagaimana mempersiapkan metode berikut
media pendukungnya sebaik mungkin, dan Anda tidak akan pernah tampak kelelahan
karena anda sangat menyukainya. Anda tidak akan tampak seperti bekerja, karena
itulah hobi Anda.

Kutipan di atas adalah sepenggal intisari wawancara dengan Slameto, ayah dua anak
yang pada tanggal 29 Nopember 2008 telah dikukuhkan sebagai Guru Besar di Uni-
versitas Kristen Satyawacana Salatiga, yang kini menggeluti dunia fasilitasi dengan
menggunakan metaplan sebagai media mengeksplorasi gagasan secara partisipatif.
Slameto, demikian ia akrab dipanggil, pernah merasakan kegundahan kala mendapat
pekerjaan melakukan monitoring implementasi otonomi khusus bidang pendidikan
di Provinsi Papua. Kegundahan yang dirasakan adalah problem budaya dan perbedaan
bahasa yang melatarbelakangi peserta Focus Group Discussion (FGD) dalam metode
pengumpulan data. FGD menghendaki adanya keterbukaan bagi setiap peserta untuk
mengungkapkan ide dan pokok pikiran atau pendapat tanpa hambatan, baik secara
budaya maupun strata sosial. Selain itu FGD juga mensyaratkan tertangkapnya pokok-
pokok pikiran yang berkembang saat itu dan didalami lebih lanjut dengan tema atau
pertanyaan pendalaman. Bahkan untuk itu diperlukan adanya penangkapan ide dan
data secara bebas dari setiap peserta untuk berbicara baik sependapat atau berbeda
ide/pendapat orang lain.
Kumpulan Pengalaman Menarik 219

Budaya Paternalistik
Ketika kita mendapat kesempatan untuk memfasilitasi pada tatanan masyarakat yang
paternalistik, di Papua misalnya, “Jangan harap seseorang yang secara sosial budaya
berada pada strata lebih rendah berani berbicara, apalagi berpendapat yang berbeda
dengan peserta yang stratanya lebih tinggi,” kata Slameto. Lebih lanjut Slameto
menjelaskan bahwa seorang pimpinan suku berdarah biru yang seringkali kita sebut
sebagai bangsawan harus berada di posisi atas dan tidak boleh disaingi. “Demikian
juga secara birokrasi, seorang yang menduduki jabatan atau eselon lebih tinggi menjadi
panutan dan semua pegawai yang secara kepangkatan dan golongan lebih rendah
pasti tidak akan berani berbicara sebelum seniornya, lebih-lebih berbeda pendapat”.

Kendala lain yang sering ditemui adalah problem bahasa dalam arti dialek dan
kecepatan berbicara yang masih ditambah lagi dengan terminologi lokal yang belum
pernah kita pelajari. “Suku Papua pada umumnya berbicara cepat dan suara yang
kurang jelas sehingga sulit ditangkap secara logika dan telinga orang Jawa”.

Berdasarkan keadaan di atas, maka pengalaman Slameto mendampingi Technical Assis-


tance (TA) bersama LGSP yang antara lain dengan menggunakan metaplan, dapat
memberikan inspirasi untuk menggunakannya dalam FGD di Papua. Berbagai peralatan
seperti isolatip kertas, metaplan, kertas plano dan flipchart dipersiapkan sebagai modal
untuk mempersiapkan dan memulai FGD yang partisipatif. Pada langkah awal persiapan
dan pemilihan media ini masih diliputi rasa kegalauan, apakah media ini akan efektif
pada masyarakat yang paternalistik? Tetapi makin lama kegalauan itu semakin terkikis
setelah mempersiapkan pula topik diskusi sesuai indikator evaluasi, menguraikannya
menjadi beberapa pokok diskusi, dan tak kalah pentingnya adalah alat perekam data
berupa perekam suara dan gambar.

Selain alat-alat dan media di atas, Slameto juga melengkapi dengan penguasaan metode
partisipatif dengan alat bantu media metaplan yang mumpuni. “Fasilitator tidak hanya
memiliki kualifikasi keterampilan fasilitasi, tetapi juga memiliki skill kompetensi fasilitasi
yang terus menerus di update sehigga mampu memberikan fasilitasi FGD secara op-
timal”, ujar Doktor Manajemen Pendidikan, UNES Semarang.

Berjalan Efektif
Apakah Anda membayangkan bahwa penggunaan media metaplan dalam FGD di tanah
Papua dapat berjalan lancar? Pasti dapat berjalan lancar sepanjang Anda dapat
mengelolanya secara optimal. Setidaknya hal itulah yang dilakukan Slameto. Dengan
berbekal perlengkapan baik software maupun hardwarenya, pada hari yang sudah
ditentukan, di forum FGD yang dihadiri oleh pejabat Dinas Pendidikan, Bappeda,
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
220 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

Pengawas, DPRD dan LSM, Slameto memimpin FGD dengan alat bantu metaplan.

Mengawali fasilitasi dengan alat bantu metaplan bukan sekedar membuka suasana
dan mencairkan suasana saja, tetapi langkah lain yang harus mendapat perhatian adalah
bagaimana mengelola gagasan dengan memberikan kesempatan pada setiap peserta
untuk dapat mencurahkan gagasannya secara demokratis.

Ada beberapa langkah yang dilakukan Slameto sebelum FGD berjalan. Di antaranya
memberikan penjelasan singkat tentang latar belakang perlunya FGD dan
mekanismenya. Masing-masing peserta diberikan kesempatan sama dalam merespon
tema atau pertanyaan yang diajukan, dan mereka menulis tanggapan dan jawabannya
di kertas metaplan. “Hasil pendapat mereka saya pajang dan dikelompokkan menjadi
sub tema sesuai jawaban yang ada, dilakukan klarifikasi dan dimintakan konfirmasi
serta memberikan kesimpulan secara bersama-sama”. Hasil kerja mereka kami
dokumentasikan melalui gambar, maupun mengamankan hasil kerja dalam kumpulan
metaplan, untuk selanjutnya kami bantu pengolahan laporannya. Dengan cara demikian
ternyata data segera terkumpul dalam tulisan dan gambar sehingga memudahkan
kami dalam membuat draf laporan.

Dengan menggunakan media ini setidaknya Slameto dapat menarik beberapa hikmah,
di antaranya;
- FGD dengan menggunakan media metaplan lebih toleran dan mengurangi intervensi
orang lain, termasuk menghadapi masyarakat yang paternalistik,
- Pokok-pokok pikiran baru lebih kreatif,
- Metaplan sebagai alat dapat mengungkap “demokrasi dan filosofi posmo” bahwa
kebenaran tidak selalu tunggal dan tidak hanya obyektif tetapi subyektif,
- Pemakaian Metaplan untuk FGD dalam Penelitian oleh Slameto pendapat yang
ditulis adalah “anonim”, sehingga pendapat yang ada adalah milik bersama (pleno).

Saya telah belajar satu jurus jitu dari TA LGSP untuk penelitian evaluasi budaya yang
berbeda dengan budaya saya.Ternyata jurus tersebut sangat tepat dan berhasil dengan
tetap mempertahankan kaidah metodologi penelitian. Secara tidak langsung kami telah
sama-sama melakukan metode pembelajaran dalam kultur yang berbeda dengan
menggunakan media metaplan.

Langkah Pak Slameto memang layak diacungi jempol. Suasana senang senantiasa, hobi
tersalur, dan proses fasilitasi pun meluncur.
Kumpulan Pengalaman Menarik 221

“Fasilitasi” Sebuah Dunia


Penuh Keajaiban
Oleh: Samsulhuda

Memilih dan menjalankan fungsi sebagai fasilitator dalam sebuah kegiatan bukan hanya
sekedar pilihan tanpa persiapan, tetapi membutuhkan kesiapan dan persiapan luar
biasa. Pengalaman awal memfasilitasi untuk orang lain bagi Samsulhuda, Dosen FKM-
Undip Semarang juga mempunyai tanggung jawab mengubah pranata untuk menjadi
lebih baik. Menurut Samsulhuda, ”Masyarakat atau instansi yang tadinya tidak tahu
menjadi tahu, bahkan bisa mengubah keadaan dengan cara yang lebih sistematis”

Langkah lain yang perlu dipersiapkan menurut Samsulhuda adalah seorang fasilitator
yang memiliki tanggung jawab mulai dari merancang, mencari data, mendesain materi
bahkan konsep hingga transfer ide kepada peserta. “Saat yang paling melelahkan
biasanya pada saat merencanakan, yakni saat tim fasilitator berdiskusi untuk
menentukan bagaimana teknik memfasilitasinya, dan siapa yang berani memberikan
jaminan bahwa ide yang telah dirancang dapat diterima serta dilaksanakan oleh
peserta”, ujarnya.

Lebih jauh Samsulhuda menceritakan pada saat-saat awal bergabung dengan LGSP-
USAID, memperoleh tugas untuk mengawal ide tentang promosi kesehatan di
Kabupaten Boyolali dan Sukoharjo, Jawa Tengah. Hal yang selalu diingat adalah pesan
Pak Sentot selaku Local Government Management System Specialist LGSP Jawa Tengah
menekankan, “Pentingnya mengemas ide, disampaikan pada peserta dan peserta
merasakan kalau ide yang dikemas itu penting untuk dilaksanakan oleh peserta”,
kenangnya. Bagi Samsulhuda pesan Pak Sentot itu merupakan sesuatu yang mudah
disampaikan, akan tetapi menjadi sebuah tantangan yang serius untuk dilaksanakan.

Sebagai langkah awal, Samsulhuda dengan tim membutuhkan waktu tiga hari untuk
mempersiapkan. Pertama, bagaimana teknik menggali ide yang partisipatif, menyaring
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
222 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

ide dan kemudian memberikan kesepakatan yang kesemuanya menggunakan


pendekatan yang partisipatif. Kedua, dapat mencairkan sebuah keadaan bagi para
peserta yang sebelumnya keadaannya cukup bervariasi. Ketiga, membangun rasa
percaya diri karena rata-rata yang akan difasilitasi adalah orang-orang yang telah
berpengalaman pada bidangnya.

Apa yang dirasakan oleh Samsulhuda sebelum dan pada saat memfasilitasi justru
bertolak belakang. Berbagai kekhawatiran yang sempat berkecamuk di dadanya ternyata
tidak terbukti. Justru di sinilah Samsulhuda memandang bahwa dunia fasilitasi itu
penuh dengan keajaiban. Keajaiban yang dimaksud oleh Samsulhuda bahwa pada
akhirnya terjadi proses saling belajar, masing-masing individu mempunyai kelemahan
dan kelebihan untuk dibagi. Banyak ide-ide besar secara spontan muncul ketika rasa
percaya diri, terutama secara tim telah terbangun.

Bagi Samsulhuda yang pada saat ini telah mendampingi beberapa kabupaten di Jawa
Tengah tentang Promosi Kesehatan, ada beberapa pembelajaran yang dapat dipetik
hikmahnya dari kegiatan spontan memfasilitasi yaitu:
- Perlunya membangun rasa percaya diri dengan cara mempersiapkan diri sebaik
mungkin,
- Selalu mengikuti perkembangan masyarakat, utamanya tentang perkembangan teknik
fasilitasi,
- Fasilitator mempunyai tugas untuk selalu membangkitkan semangat peserta tanpa
harus mempengaruhi motivasi kerja mereka,
- Melakukan pengembangan inovasi dan kreasi, khususnya pada saat-saat kritis,
- Membangun motivasi belajar dari kekurangannya sendiri,
- Mempersiapkan kegiatan fasilitasi dengan teknik sebaik mungkin.
Kumpulan Pengalaman Menarik 223

Moodline yang Selalu Naik


Oleh: Budiyono

Pada tanggal 15-17 April 2008, Budiyono SKM. M.Kes, yang sejak tahun 1999 menjadi
dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang,
melakukan fasilitasi “Desa Siaga” di Kabupaten Sukoharjo. Peserta Pelatihan terdiri
dari Kepala Sub Dinas Kesehatan beserta stafnya dari masing-masing Subdin berjumlah
lima orang perwakilan.

Metode brainstorming dipilih oleh Budiyono untuk menyelesaikan agenda hari pertama
dengan materi utama menumbuhkan kemampuan ketrampilan fasilitator Kader Desa
Siaga. Dalam brainstorming ini, media yang dipilih adalah metaplan dan spidol warna-
warni agar lebih menarik. Masing-masing peserta diminta untuk menuliskan
pendapatnya tentang ketrampilan yang harus dimiliki oleh fasilitator Desa Siaga, dan
setelah ditulis, dimintanya masing-masing peserta menyerahkannya pada koordinator.
Situasinya cukup aktif dan koordinator memintakan konfirmasi hasil yang telah
disepakati ditempel di tembok. Melalui koordinator kelas, para peserta diminta untuk
mengelompokkan khususnya pada kartu metaplan yang mempunyai pengertian sama
dan melengkapi dengan judul. Judul yang telah disepakati diberi simbol binatang dengan
berbagai warna, agar lebih menarik.

Metode yang sama juga dipergunakan pada hari kedua pelatihan, dengan agenda
membuat action plan, yang merupakan breakdown dari judul kegiatan, alokasi dana
dan waktu serta penanggungjawab dari masing-masing kegiatan. Dalam tampilan akhir
yang merupakan hasil kerja kelompok maupun pleno, muncul banyak ide dan
partisipasi yang luar biasa dari peserta. Sebelum akhir sesi, para peserta diminta untuk
menentukan grafik moodline dari setiap kegiatan dengan cara brainstorming. Pada bar
grafik awal pelatihan peserta memberikan poin di bawah garis tengah, kemudian pada
grafik kedua para peserta memberikan pada garis tengah, dan pada bar grafik 4 dan 5
Jejak Langkah Perubahan Kumpulan Pengalaman
224 Menerapkan Pendekatan Partisipatif

para peserta memberikan poin di atas garis tengah dan menunjukkan arah/tren ke
atas. Dari pengalaman ini menunjukkan, bahwa selama kegiatan fasilitasi dilakukan,
para peserta tetap termotivasi dan berpartisipasi penuh. Jika dibandingkan dengan
teori moodline pada umumnya yang berawal dari rendah, naik lalu turun pada akhir
sesi menjadi tidak terbukti.

Hal apa yang dirasakan menarik oleh Budiyono melalui pengukuran moodline partisipasi
peserta ini? Lebih lanjut Budiyono mengatakan “Perlu dibuat skenario yang matang
dalam setiap proses fasilitasi, dan jikalau fasilitasi dikerjakan secara tim sebaiknya
disepakati bersama mengenai titik-titik kritis peserta pelatihan”. Moodline yang
cenderung naik, memang tidak lepas dari desain fasilitasi terutama terkait dengan
perencanaan sesinya. Hasil yang hendak dicapai akan lebih cepat diperoleh jikalau
moodline peserta dari sesi per sesi semakin naik. Penting juga bagi para nara sumber
maupun fasilitator melalui moodline ini untuk mengukur posisi dari masing-masing
peserta dalam melibatkan dirinya yang merupakan bagian kelompok peserta.

Berdasarkan pengalaman Budiyono sejak pertama kali menerapkan pemilihan bar


grafik moodline di Kabupaten Sukoharjo, untuk kegiatan fasilitasi maupun pelatihan
dalam tahap-tahap selanjutnya selalu menggunakan bar moodline. Hal ini kemudian
direfleksikan setiap hari dalam sebuah pelatihan untuk menyempurnakan pendekatan
apa yang mesti dilakukan inovasi agar moodline peserta tetap naik. Suasana yang biasanya
pada awal pelatihan terkesan kaku dan formal, dapat diperbaiki ke dalam suasana
yang lebih cair dan menarik meski peserta terdiri dari berbagai unsur yang berbeda.
Dan ketika suasana telah cair serta menyenangkan, jarak antara pimpinan dengan staf
tidak ada, maka ide-ide kreatif pun bermunculan. Merencanakan, menjaga dan mencari
inovasi agar moodline peserta selalu naik, menjadi hal penting bagi fasilitator untuk
mempercepat proses dalam rangka mencapai target yang diharapkan.

Tantangan lain setelah menggunakan moodline sebagai salah satu alat bantu dalam
melihat situasi peserta adalah membutuhkan waktu, pikiran dan tenaga. Juga perlu
menyediakan dana untuk melengkapi alat kelengkapan tambahan, seperti kertas
berbagai warna, balon, macam-macam hadiah, dan kelengkapan lain yang bisa
dioptimalkan dari ketersediaan alat bantu yang ada.

Anda mungkin juga menyukai