Berkaitan dengan taktik atau strategi dalam bernegosiasi ini, seorang negosiator sifatnya
wajib untuk membaca situasi, memetakan keadaan, dan mengerti culture, sehingga dia tahu
harus menempatkan posisi seperti apa. Apalagi dalam suatu negosiasi bisnis yang berada di
level internasional, seorang negosiator seharusnya cukup mumpuni untuk membaca situasi
crosscultural maupun intercultural.
Dari sini bisa dilihat bahwa kemampuan seorang negosiator untuk membaca situasi
menentukan kebehasilannya dalam melakukan negosiasi.
Kemampuan membaca budaya menjadi faktor yang cukup penting bagi seorang negosiator.
Untuk itu, dalam paparan ini kita akan melihat dahulu dan memetakan, dalam kondisi
negosiasi atau membincangkan kepentingan antara dua pihak atau lebih, situasi seperti
apakah yang akan muncul berdasarkan dimensi komunikasi yang dikemukakan oleh
Hosstede. Seperti yang dinyatakan oleh Hofstede bahwa budaya adalah daerah konsep mental
yang mempengaruhi cara berfikir dan perilaku manusia, secara kolektif konsep mental
sekelompok orang dalam suatu negara disebut dengan kebudayaan nasional.
Berdasarkan analisis faktor budaya, Hofstede (1980) secara empiris menemukan ada empat
dimensi program mental yang dikembangkan dan mempengaruhi proses terjadinya negosiasi,
yaitu:
a. Power Distance.
Merupakan dimensi budaya yang menunjukkan adanya ketidaksejajaran (inequality) dari
anggota yang tidak mempunyai kekuatan dalam suatu institusi (keluarga, sekolah, dan
masyarakat) atau organisasi (tempat bekerja).Perbedaan kekuasaan ini berbeda-beda
tergantung dari tingkatan sosial, tingkat pendidikan, dan jabatan. Misalnya politisi dapat
menyukai status dan kekuasaan, pebisnis menyukai kesejahteraan dan kekuasaan, dan
sebagainya. Ketidak sejajaran ini dapat terjadi dalam masyarakat (perbedaan dalam
karakteristik mental dan fisik, status sosial, kesejahteraan, kekuasaan, aturan, hukum, dan
hak), keluarga, sekolah, dan ditempat kerja/organisasi (nampak pada struktur organisasi dan
hubungan antara boss-subordinate).
Menurut Hofstede, power distance adalah suatu tingkat kepercayaan atau penerimaan dari
suatu power yang tidak seimbang di antara orang. Budaya di mana beberapa orang dianggap
lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur,
pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang atau faktor lainnya merupakan bentuk
power distance yang tinggi. Pada negara yang memiliki power distance yang tinggi,
masyarakat menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan patrenalistik.
Sementara itu budaya dengan power distance yang rendah cenderung untuk melihat
persamaan di antara orang dan lebih fokus kepada status yang dicapai daripada yang
disandang oleh seseorang.
b. Uncertainty Avoidance
Merupakan salah satu dimensi dari Hofstede mengenai bagaimana budaya nasional berkaitan
dengan ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian bagaimana mereka beradaptasi terhadap
perubahan. Pada negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar,
cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan, menghindari risiko dan
mengandalkan peraturan formal dan juga ritual. Kepercayaan hanyalah diberikan kepada
keluarga dan teman yang terdekat. Akan sulit bagi seorang negotiator dari luar untuk menjalin
hubungan dan memperoleh kepercayaan dari mereka. Pada negara dengan uncertainty
avoidance yang rendah, atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk ketidakpastian,
mereka cenderung lebih bisa menerima resiko, dapat memecahkan masalah, memiliki struktur
organisasi yang flat, dan memilki toleransi terhadap ambiguitas. Bagi orang dari masyarakat
luar, akan lebih mudah untuk menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan.Ketidak
pastian dalam suatu organisasi berkaitan dengan konsep dari lingkungan yang selalu
dikaitkan dengan sesuatu yang diluar kendali perusahaan.
c. Individualitas vs kolektivitas
Merupakan dimensi kebudayaan yang menunjukkan adanya sikap yang memandang
kepentingan pribadi dan keluarga sebagai kepentingan utama ataukah sebagai kepentingan
bersama di dalam suatu kelompok. Dimensi ini juga dapat terjadi di masyarakat dan
organisasi.
Dalam
organisasi
yang
masyarakatnya
mempunyai
d. Maskulinitas vs femininitas
Merupakan dimensi kebudayaan yangmenunjukkan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat
peran yangberbeda-beda tergantung jenis kelaminpara anggotanya. Padamasyarakat
maskulin, menganggap pria harus lebih berambisi,suka bersaing, dan berani menyatakan
pendapatnya,
dan
cenderung
berusaha
mencapai
keberhasilan
material.
Dalam
Power Distance
Individualism
Masculinity
Country
Index
Rank
Index
Rank
Index
Rank
Index
Rank
Spain
57
23
51
34
42
16-17
36
39-44
Sweden
31
6-7
71
43-44
29
4-5
Turkey
66
35-36
37
26
45
21-22
35
37-38
Uruguay
61
28
36
25
38
12
100
50
USA
40
16
91
53
62
39
46
11
Venezuela
81
48-49
12
73
51
76
32-33
Yugoslavia
76
42
27
19-21
21
5-6
88
46
Region
Avoidance
East Africa
64
31-33
27
19-21
41
15
52
18
West Africa
77
43-44
20
13-15
46
23-24
54
20
Arab Countries
80
47
38
27-28
53
31
68
27
Bangladesh
Poland
Semakin besar jenjang power distance antara kedua negara yang melakukan
negoasiasi, akan semakin besar pula kemungkinan kontrol yang lebih terpusat dan
pengambilan keputusan negoasiasi yang lebih terstruktur (mengandalkan leader). Biasanya
negosiasi akan diakhiri dengan ikut sertanya otoritas struktural dalam pengambilan
keputusan.
2.
Untuk negara yang memiliki nilai kolektivitas yang tinggi, negosiasi bisa dilakukan
dengan cara yang lebih akrab dan bersifat kekeluargaan. Sifat keakraban yang terjalin dalam
masyarakat kolektivis merupakan kunci keberhasilan negosiasi. Oleh karenanya, apabila
terjadi penggantian orang dalam suatu proses negosiasi, ini akan menjadi ganguan yang
menyebabkan proses harus dimulai lagi dari awal. Konflik menjadi persoalan yang tabu dan
seorang mediator memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan dari suatu
negosiasi.
3.
Dalam budaya yang maskulinitas, kekuatan menjadi titik tumpu dan etos kerja
menjadi acuan yang diandalkan. Sedangkan pada budaya feminis, nilai simpati menjadi
faktor perhatian dimana ego kadangkala ikut bermain di dalamnya. Oleh karenanya,
negosiasi antara dua budaya maskulin jauh lebih sulit dan lebih keras menemukan titik temu
karena perilaku ego-boosting di antar amereka sama-sama kuat dan sama-sama ingin
menunjukkan kekuatannya. Misalnya saja perebutan wilayah yang pernah dilakukan oleh
Argentina dan Britania Raya pada tahun 1983. Meskipun pada akhirnya menghasilkan
perjanjian damai, untuk menuju perdamaian ini dua negara ini harus melewati pertempuran
yang menumpahkan darah selama beberapa tahun sebelumnya.
4.