Anda di halaman 1dari 141

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN

MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL


Tantangan dan Strateginya

i
ii
- Dr. Muhammad Lukman Hakim, SIP. M.Si -

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN
MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL
Tantangan dan Strateginya

Pusat Pengkajian Kebijakan Sosial


BPPM FISIP UB
Lembaga Kajian Kebijakan Strategis
(eLkiS) Malang

Intelegensia Media
2020

iii
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL
Tantangan dan Strateginya

Penulis:
Dr. Muhammad Lukman Hakim, S.IP., M.Si
Editor:
Fathur Rahman, S.IP. MA

ISBN: 978-623-7374-64-0

Copyright © Maret, 2020


Ukuran : 15,5 cm x 23 cm ; Hal: xviii + 122

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak dalam bentuk apapun


tanpa ijin tertulis dari pihak penerbit.

Cover : Rahardian Tegar Lay Out: Nur Saadah

Edisi I, 2020

Diterbitkan pertama kali oleh Inteligensia Media


Jl. Joyosuko Metro IV/No 42 B, Malang, Indonesia
Telp./Fax. 0341-588010
Email: inteligensiamedia@gmail.com

Anggota IKAPI No. 196/JTI/2018

Dicetak oleh PT. Cita Intrans Selaras


Wisma Kalimetro, Jl. Joyosuko Metro 42 Malang
Telp. 0341-573650
Email: intrans_malang@yahoo.com

iv
Prakata Editor

Fathur Rahman, S.IP. MA


Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya
Email: fathur_rahman@ub.ac.id

Buku ini merupakan hasil riset yang otentik dimana memotret


secara komprehensif tentang masalah-masalah sosial di daerah.
Latar belakang ditulisnya tentang tema ini karena rendahnya kesa-
daran para sarjana dalam mengkaji masalah-masalah sosial seperti
kemiskinan, penyimpangan perilaku, korban bencana, dan tidak
kekerasan yang bersifat primer maupun dampak non sosial lainnya
yang kadang terpikir dalam proses pembangunan sosial.
Masalah-masalah sosial yang terjadi di pemerintahan daerah
sebenaranya memiliki keterikatan yang kompleks dengan sektor-
sektor yang lain, sehingga mulai cara memandang masalah,
menganalisis dalam mencari solusi pun harus komprehensif. Selain
itu, hal yang sangat harus menjadi perhatian berbagai pihak baik
apakah pemerintah, masyarakat, sektor privat yaitu masalah-
masalah sosial yang melibatkan anak-anak dan perempuan karena
sering menjadi korban.

v
Kajian tentang masalah-masalah sosial sama dengan
kesejahteraan sosial. Hal ini untuk menjawab akar dari masalah-
masalah sosial yang muncul di publik, apakah karena faktor-faktor
dari individu sendiri (intrinsik) maupun dari luar individu
(ekstrinsik). Bahkan menurut Gillin and Gillin dalam buku
(Simanjuntak, 1985) disebutkan ada indeks patologi sosial dalam
membahas masalah-masalah sosial.
Buku ini juga secara utuh menjelaskan indicator kinerja
pembangunan kesejahteraan sosial sebagaimana yang telah dimuat
dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 111
Tahun 2009. Ketiga indikator ini telah disajikan dengan lengkap
dengan bukti, contoh nyata masalah-masalah sosial di Kota Blitar,
Kota Surabaya, Kota Pasuruan. Melalui penelitian dan analisis yang
mendalam di beberapa kota tersebut, buku ini telah menggaris-
bawahi urgensi dalam penanganan masalah-masalah sosial secara
serius, terutama oleh pemerintah daerah.
Besar harapan kami, buku ini dapat memberikan kontribusi
praktis dan akademis untuk menangani masalah-masalah sosial
sehingga bermanfaat bagi khalayak di tingkat lokal, dan global.
Semoga kehadiran buku ini dapat membuka cara pandang, wawasan
dan pemahaman baru mengenai masalah-masalah sosial dalam
menentukan arah kebijakan sosial di Indonesia. Selamat membaca.

vi
Pengantar Penulis

Dr. Muhammad Lukman Hakim, SIP M.Si


Ketua Badan Penelitian Fisip UB dan Dosen Ilmu Pemerintah Fisip UB
em.lukman79@ub.ac.id atau em.lukman79@gmail.com

Perjalanan berangkat kerja dari rumah ke kampus selalu melewati


sejumlah tantangan di lampu merah Jembatan Suekarno Hatta Kota
Malang, yaitu wajah kusam, kusut, dan, mata sayu, perempuan
muda sambil menggendong balita yang tertidur lelap. Dalam hati
berkata, kasian sekali balita itu, bagaimana masa depannya kelak.
Ingin rasanya mengambilnya dan membawanya pulang.
Seperti pengemudi yang lain akhirnya yang bisa saya lakukan
hanyalah membuka kaca mobil dan meletakkan beberapa lembar
uang ribuan di tempat palstik yang dibawa sang Ibu.
Kesan kesediahan itu mendadak berubah ketika kali pertama
saya melakukan riset Sistem Penanggulangan penyangdang Masalah
Kesejahteraan Sosial di Kabupaten Blitar pada tahun 2016, sejumlah
data terpampang dan begitu mengejutkan. Seperti Nenek Pengemis
yang memiliki tiga Rumah Mewah di Jombang, hal serupa juga
terjadi di Kabupaten Blitar. Bahkan ada seoarang ibu yang biasa

vii
menyewakan anak balitannya untuk diajak mengemis. Agar tertidur
pulas, sang anak biasanya di beri obat tidur.
“astaga, ini kejahatan” teriak seorang teman saat mendengar
komentar narasumber yang menjelaskan tentang sewa menyewa
balita tersebut. Memang Indonesia telah meratifikasi kovenan tentang
Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebuah konvensi
internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial,
dan kultural anak anak. Negara-negara yang meratifikasi konvensi
internasional ini terikat untuk menjalankannya sesuai dengan
hukum internasional. Pelaksanaan konvensi ini diawasi oleh Komite
Hak hak Anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa yang anggota-anggota-
nya terdiri dari berbagai negara di seluruh dunia.
Di Negara kita, kovenan tersebut di ratifikasi melalui UU No 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 202 Tentang
Perlindungan anak. Semua hak anak anak bangsa telah dilindungi
dan diatur dengan cukup detail di dalam undang undnag tersebut.
Atas nama UU ini harusnya tidak ada lagi sewa menyewa balita
sebagaimana di atas.
Cerita lain, lebih mengenaskan, hal itu terjadi saat akan
dilakukan penilaian Adipura disuatu daerah. Para gelandangan
psikotik yang berkeliaran di jalan jalan kota akan diciduk, dibawa
mobil Satpol PP dan dibuang ke Pinggiran Kota atau Kabupaten
sekitar. Istilah “orang Gila Kiriman” sudah menjadi rahasia umum
di kalangan Satpol PP daerah.
“sebenarnya kami juga tidak tega mas, tapi gimana lagi, disini
tidak ada rumah penampungan” ungkap salah seoarang Satpol PP
yang menjadi naras umber kami.
Memang dari hasil penelusuran kami, hanya Kota Surabaya
yang memiliki tempat penampungan (Rumah Singgah) bagi para
penyandang Masalah Kesejahteraan social. Ketiadaan tempat ini
menjadikan penanggulangan PMKS di hampir semua kabupaten
Kota di Jawa Timur tidak dapat dilakukan dengan maksimal.
Anak jalanan, anggota Punk, pengemis, gelandangan, gelan-
dangan psikotik yang diciduk dari jalan jalan kota akan dilepas
kembali tanpa pembinaan. Akibatnya proses penanggulangan
menjadi tidak maksimal.

viii
Untuk itu dari hasil riset Panjang antara tahun 2016-2020 buku
ini menyajikan data data akurat seputar penangulangan PMKS di
Kabupaten Blitar, Kota Pasuruan, dan Kota Surabaya. Kelemahan
dan upaya strategis yang sedianya dilakukan pemerintah daerah
dalam upaya penanggulangan PMKS secara maksimal.
Atas terbitnya buku ini penulis mengucapkan terimakasih sebesar
besarnya kepada Tim lapangan yang selama ini menggali data secara
maksimal di tiga daerah tersebut yang dikoordinir oleh: Kabupaten
Blitar (Edy Suprianto, SIP. M.Sos) Kota Pasuruan (Mayuko Galuh
Mahardika, SIP. MIP), dan Kota Surabaya (Yustika Citra Mahendra,
SIP. MA)
Dan kepada Istriku tercinta Dr. Indah Dwi Qurbani SH, MH.
Dan anak anakku tersayang Silmi Laura Hakim dan Emily Indira
Hakim terimakasih telah memberi kesempatan pada Papa untuk
menyelesaiakan buku ini.
Kepada Para Narasumber Utama diantaranya para penyandang
PMKS, Bappeda, Dinas Sosial, Satpol PP di Kabupaten Blitar, Kota
Pasuruan, dan Kota Surabaya saya ucapkan terimakasih yang sebesar
besarnya atas komentar dan data yang telah diberikan.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, semoga buku ini
menjadi bagian dari proses perbaikan masalah kesejahteraan sosial
di daerah daerah.

Untuk Em ku yang sedang Ultah !


Malang, 2 Mei 2020

ix
Pengantar Penerbit

Modernisasi yang ditopang oleh industrialisasi, kecanggihan


teknologi, dan kapitalisme hingga globalisasi abad ini telah menye-
babkan ketertinggalan bagi sebagian besar lapisan masyarakat. Ia
memaksa semua orang menyesuaikan diri dengannya. Anthony
Giddens dalam The Conceguenses of Modernity menyebut moderninasi
layaknya “juggernaut”, sebuah mesin raksasa yang menindas siapa
saja tidak mampu menyesuaikan dengan dirinya dan melibas siapa
saja yang berusaha melawannya.
Fenomena gelandangan, anak-anak dan orang-orang lanjut usia
terlentar, tuna susila, pengemis, pemulung, dan penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya tidak bisa dilepaskan dari
konsekuensi modernitas. Mereka adalah produk struktural dari janji-
janji modernitas. Situasi ini tidak hanya terjadi di negara kapitalis
maju. Tetapi juga di kapitalis pinggiran, tak terkecuali di sebuah Negara
yang konon disebut-sebut sebagai negara gotong royong, Indonesia.
Di sisi lain, penanganan PMKS sudah seharusnya menjadi
kewajiban pemerintah. Dalam Permensos No 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, disebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga

x
negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Faktanya, masih
banyak masyarakat di Indonesia yang belum mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya, sehingga untuk mencapai hidup layak sangat
susah.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini pada awalnya merupa-
kan hasil riset panjangan terkait penanggulangan PMKS disejumlah
daerah. Penulisnya mengevaluasi kelebihan dan kekurangan dalam
pengananan PMKS, serta merumuskan proyeksi-proyeksi yang
seharusnya dijalankan pemerintah dalam memutus masalah
kesejahteraan sosial dan mengoptimalkan penanganan PMKS.
Selamat membaca!
Rebut perubahan dengan membaca!

xi
Glosarium

Anak Balita Terlantar adalah anak yang berusia 0-4 tahun karena
sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajiban-
nya (karena beberapa kemungkinan: miskin, tidak mampu, salah
seorang sakit, salah seorang atau kedua-duanya meninggal, anak
balita sakit) sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbu-
han dan perkembangan baik secara jasmani, rohani dan sosial.
Anak Terlantar adalah anak yang berusia 5-18 tahun karena sebab
tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajibannya
(karena beberapa kemungkinan: miskin, tidak mampu, salah
seorang sakit, salah seorang atau kedua-duanya meninggal,
keluarga tidak harmonis, tidak ada pengasuh atau pengampu)
sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan baik secara jasmani, rohani dan sosial.
Anak Nakal adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang berperilaku
menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat, lingkungannya sehingga merugikan dirinya,
keluarganya dan orang lain, serta mengganggu ketertiban umum,
akan tetapi karena usia maka belum dapat dituntut secara hukum.
Anak Jalanan adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang meng-
habiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah dan
berkeliaran di jalanan maupun tempat umum.

xii
Bekas Warga Binaan Lembaga Kemasyarakatan (BWBLK) adalah
seseorang yang telah selesai atau dalam 3 bulan segera mengakhiri
masa hukuman atau masa pidananya sesuai dengan keputusan
pengadilan dan mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri
kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapat kesulitan
untuk mendapatkan pekerjaan atau melaksanakan kehidupan-
nya secara normal.
Dunia Usaha yang melakukan UKS adalah organisasi komersial
seluruh lingkungan industri dan produksi barang/jasa termasuk
BUMN dan BUMD serta kewirasusahaan berserta jaringannya
yang dapat melakukan tanggung jawab sosialnya.
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak
sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat
setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal
yang tetap serta mengambara di tempat umum.
Indikator kinerja pembangunan kesejahteraan sosial adalah suatu
ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan
tingkat usaha, pencapaian sasaran, dan tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial.
Korban Tindak Kekerasan adalah seseorang yang terancam secara
fisik maupun non fisik (psikologis) karena tindak kekerasan,
diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan
keluarga atau lingkungan sosial terdakwa. Dalam hal ini termasuk
anak, wanita, dan lanjut usia korban tindak kekerasan.
Korban Penyalahgunaan Napza adalah seseorang yang mengguna-
kan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk
minuman keras di luar tujuan pengobatan atau tanpa sepenge-
tahuan dokter yang berwenang.
Keluarga Fakir Miskin adalah seseorang atau lepala keluarga yang
sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau
tidak mempunyai kemampuan pokok atau orang yang mempunyai
sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi
kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan.
Keluarga Berumah Tak Layak Huni adalah keluarga yang kondisi
perumahan lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang

xiii
layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun
sosial.
Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis adalah keluarga yang
hubungan antar keluarganya terutama antara suami-isteri
kurang serasi, sehingga tugas-tugas dan fungsi keluarga tidak
dapat berjalan dengan wajar.
Komunitas Adat terpencil adalah kelompok orang atau masyarakat
yang hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial kecil yang bersifat
lokal dan terpencil, dan masih sangat terikat pada sumber daya
alam dan habitatnya secara sosial budaya terasing dan terbelakang
dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya,
sehingga memerlukan pemberdayaan dalam menghadapi
perubahan lingkungan dalam arti luas.
Korban Bencana Alam adalah perorangan, keluarga atau kelompok
masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun
sosial ekonomi sebagai akibat dari terjadinya bencana alam yang
menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan
tugas-tugas kewajibannya. Termasuk dalam korban bencana
alam adalah korban bencana gempa bumi bumi tektonik, letusan
gunung berapi, tanah longsor, banjir, gelombang pasang atau
tsunami, angin kencang, kekeringan, dan kebakaran hutan atau
lahan, kebakaran pemukiman, kecelakaan pesawat terbang,
kereta api, perahu dan musibah industri (kecelakaan kerja).
Keluarga Rentan adalah keluarga muda yang baru menikah (sampai
dengan 5 tahun usia pernikahan) yang mengalami masalah sosial
dan ekonomi (berpenghasilan sekitar 10% di atas garis kemiskinan)
sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
Korban Bencana Sosial atau Pengungsi adalah perorangan, keluarga
atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik,
mental maupun sosial ekonomi sebagai akibat dari terjadinya
bencana sosial kerusuhan yang menyebabkan mereka mengalami
hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya.
Keperintisan dan Kepahlawanan. Perintis Kemerdekaan adalah
mereka yang telah berjuang mengantarkan Bangsa Indonesia
ke depan pintu gerbang kemerdekaan, diakui, dan disyahkan
sebagai Perintis Kemerdekaan. Janda/Duda perintis kemerdekaan

xiv
adalah isteri/suami yang ditinggal (meninggal dunia) oleh
perintis kemerdekaan dan telah disahkan sebagai janda, duda
perintis kemerdekaan. Keluarga Pahlawan adalah suami/isteri
(warakawuri) pahlawan, anak kandung, anak angkat yang diangkat
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pahla-
wan yang bersangkutan belum/tidak berkeluarga maka yang
menjadi keluarga adalah orang tuan
Lanjut Usia Terlantar adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau
lebih, karena faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah seseorang yang dengan
rekomendasi profesional(dokter) atau petugas laboratorium
terbukti tertular virus HIV sehingga mengalami sindrom
penurunan daya tahan tubuh(AIDS) dan hidup terlantar.
Organisasi Sosial adalah suatu perkumpulan sosial yang dibentuk
oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi
masyarakat dalam melaksanakan usaha kesejahteraan sosial.
PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) adalah seseorang,
keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hamba-
tan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi
sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya
(jasmani, rohani, dan sosial) secara memadai dan wajar. Hambatan,
kesulitan dan gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan,
keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan,
keterasingan dan perubahan lingkungan (secara mendadak)
yang kurang mendukung, seperti terjadinya bencana.
Penyandang Cacat adalah seseorang yang mempunyai kelainan fisik
maupun mental yang dapat mengganggu atau merupakan rin-
tangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi jasmani,
rohani maupun sosialnya secara layak, yang terdiri dari
penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental. Dalam hal
ini termasuk anak cacat, penyandang cacat eks penyakit kronis.
Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan meminta-
minta di tempat umum dengan berbagai cara, dengan alasan
untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.

xv
Pekerja Migran Bermasalah Sosial adalah seseorang yang bekerja
di luar tempat asalnya dan menetap sementara di tempat tersebut
mengalami permasalahan sosial sehingga menjadi terlantar.
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) adalah potensi
dan sumber yang ada pada manusia, alam dan institusi sosial
yang dapat digunakan untuk usaha kesejahteraan sosial.
Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) adalah warga masyarakat yang
atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial serta didorong
oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial
secara sukarela mengabdi di bidang kesejahteraan sosial.
Tuna Susila adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual
dengan sesama atau lawan jenis secara berulang-ulang dan
bergantian di luar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapat-
kan imbalan uang, materi atau jasa.
Wanita Rawan Sosial Ekonomi adalah seorang wanita dewasa
berusia 19-59 tahun belum menikah atau janda tidak mempunyai
penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari.
Wahana Kesejahteraan adalah sistem kerjasama antar keperangkatan
pelayanan sosial di akar rumput yang terdiri atas usaha
kelompok, lembaga maupun jaringan pendukungnya. Wahana
ini berupa jejaring kerja daripada kelembagaan sosial komunitas
lokal, baik yang tumbuh melalui proses alamiah dan tradisional
maupun lembaga yang sengaja dibentuk dan dikembangkan oleh
masyarakat pada tingkat lokal, sehingga dapat menumbuh-
kembangkan sinergi lokal dalam pelaksanaan tugas di bidang
usaha kesejahteraan sosial

xvi
Daftar Isi

Prakata Editor ... v


Pengantar Penulis ... vii
Pengantar Penerbit ... x
Glosarium ... xii
Daftar Isi ... xvii

Bab 1: Pendahuluan ... 1


A. Dinamika Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial ... 1
B. Metode Buku Ini ... 6

Bab 2: Konsep Dasar PMKS ... 11


A. Pengertian dan Macam-macam PMKS ... 13
B. Indikator Kinerja Pembangunan Kesejahteraan Sosial ... 17
C. Studi-studi tentang PMKS ... 20

Bab 3: PMKS di Tiga Kota ... 24


A. Kondisi PMKS di Kabupaten Blitar ... 24
B. Kondisi PMKS di Kota Surabaya ... 32
C. Kondisi PMKS di Kota Pasuruan ... 39
D. Aktor-Aktor Penyelenggara Kesejahteraan Sosial ... 43

Bab 4: Penanganan PMKS di Blitar ... 47

Bab 5: Penangan PMKS di Kota Pasuruan ... 64

xvii
Bab 6: Penanganan PMKS di Kota Surabaya ... 74

Bab 7: Kendala dan Proyeksi Penanganan PMKS ... 87


A. Kendala-kendala Penanganan PMKS ... 88
B. Proyeksi Penanganan PMKS ... 94
C. Penanggulangan PMKS Jenis PSK ... 98

Bab 8: Penutup ... 109

Index ... 113


Daftar Pustaka ... 116
Tentang Penulis ... 121

xviii
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Pendahuluan 1

A. Dinamika Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan


Sosial
Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya
kebutuhan hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu
mengembangkan diri dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang
dapat dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Hal
ini merupakan ruh dari UU No 11 Tahun 2009 Pasal 1 dan 2.
Pembangunan kesejahteraan sosial ini menjadi bagian tak
terpisahkan dari pembangunan nasional dimana pembangunan
kesejahteraan sosial berperan aktif dalam meningkatkan kualitas hidup
bangsa Indonesia. Karena itu, penulisan daerah yang berfokus pada
penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan.
Hal ini karena pada prinsipnya konstruksi pembangunan kesejah-
teraan sosial terdiri atas serangkaian aktivitas yang direncanakan untuk
memajukan kondisi kehidupan manusia melalui koordinasi dan
keterpaduan antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam mengatasi
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menjadi kerangka

1
Tantangan dan Strateginya

kegiatan yang utuh, menyeluruh, berkelanjutan dan bersinergi, sehingga


kesejahteraan sosial masyarakat lambat laun dapat meningkat.
Analogi ini menyiratkan bahwa karya terstruktur yang dilakukan
melalui pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan selama ini
ternyata telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki era-baru
dengan berbagai konsekuensinya. Pembangunan kesejahteraan sosial
sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional juga
mengambil peran aktif dalam meningkatkan kualitas hidup bangsa
Indonesia. Terdapat indikasi bahwa belakangan ini, Indonesia ternyata
berhasil menata dan meningkatkan kualitas hidup rakyat setahap lebih
maju dari tatanan kehidupan yang diwarisi menjelang era sebelumnya.
Seiring dengan kemajuan bidang kesejahteraan sosial yang dicapai
selama ini, disadari pula bahwa keberhasilan bangsa Indonesia ternyata
masih diwarnai permasalahan sosial yang belum terselesaikan.
Memasuki tahun 2010, bangsa Indonesia masih tetap dihadapkan
pada permasalahan kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketuna
sosial dan penyimpangan perilaku, keterpencilan, korban bencana
dan tindak kekerasan, baik masalah yang bersifat primer maupun
akibat/dampak nonsosial, yang belum sepenuhnya terjangkau oleh
proses pembangunan kesejahteraan sosial.
Tantangan pembangunan kesejahteraan sosial yang dihadapi
tercermin dari masih rendahnya daya dorong perekonomian, serta
populasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang
masih menjadi beban sosial, baik bobot maupun kompleksitasnya.
Penyandang Masalah kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah
seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu
hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi
sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani,
rohani, dan sosial) secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan dan
gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlantaran,
kecacatan, ketuna sosial, keterbelakangan, keterasingan dan per-
ubahan lingkungan (secara mendadak) yang kurang mendukung,
seperti terjadinya bencana.
Kegagalan pembangunan dan proses marginalisasi yang terjadi
di wilayah pedesaan, bukan saja telah terbukti menimbulkan
derasnya migrasi penduduk yang berlebihan di wilayah kota, tetapi

2
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

juga setumpuk masalah sosial yang menyertainya. Seperti bisa kita


lihat dalam lima tahun terakhir, kota-kota di Provinsi Jawa Timur,
bukan saja diserbu arus migrasi yang terus meningkat dari waktu
ke waktu, tetapi di saat yang sama juga memicu munculnya berbagai
permasalahan kota, seperti PKL, permukiman kumuh, gelandangan,
pengemis, tuna wisma, anak jalanan, PSK, dan lain-lain sebagainya.
Yang namanya PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial),
alih-alih jumlahnya makin menurun, di lapangan yang terjadi justru
perkembangannya tampak makin mencemaskan. Misalnya, anak
balita terlantar, anak terlantar, anak cacat, wanita rawan sosial
ekonomi, lanjut usia terlantar, dan penyandang cacat jumlahnya
masih ribuan orang.
Sebetulnya, sepanjang pemerintah kota mampu memenuhi kebutu-
han pelayanan publik bagi penduduk di kawasannya, barangkali
sepesat apapun perkembangan yang terjadi tidak akan menjadi masalah.
Tetapi, lain soal ketika kemampuan pemerintah untuk menyediakan
fasilitas publik dan melayani kebutuhan warganya yang senantiasa
bertambah dengan pesat relatif tak berimbang.
Di sejumlah wilayah di Indonesia, ketika dirasa arus pendatang
yang masuk makin banyak, sementara kemampuan pemerintah
daerah sendiri relatif terbatas, maka gejala-gejala kejenuhan kota-
kota ini pada akhirnya sempat menimbulkan gagasan dari sebagian
ahli dan penata kota untuk membendung arus urbanisasi itu, atau
setidaknya mengurangi, dan kalau perlu menutup kota tersebut
dari para pendatang baru (Ahmad, 2002: 60).
Sekali pun banyak upaya dan peraturan telah dicoba diusahakan
untuk menutup kota dari serbuan para pendatang tersebut. Tetapi
rupanya gejala urbanisasi itu sedemikian kuatnya sehingga setiap
usaha pengontrolan pada para pendatang maupun usaha penutupan
kota akan sulit berhasil. Selama faktor-faktor pendorong dan penarik
masih ada, dan selama tingkat kehidupan di kota masih sangat
mencolok dibandingkan di desa, maka gejala perpindahan penduduk
dari desa ke kota atau dari daerah-daerah minus ke daerah-daerah
surplus, akan mengakibatkan ketidakseimbangan distribusi penduduk
yang mengakibatkan konsentrasi-konsentrasi penduduk yang
tinggi di daerah daerah tertentu.

3
Tantangan dan Strateginya

Kalau berbicara payung hukum dan komitmen, berbagai


kabupaten/kota dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebetulnya
telah memiliki MoU untuk penanganan bersama masalah PMKS. Nota
kesepakatan tentang penanganan PMKS ini telah ditandatangani
bersama oleh masing-masing Bupati/Walikota se-Jawa Timur dengan
Gubernur Jawa Timur bertempat di Gedung Bank Jatim Jalan Basuki
Rachmad Nomor 98–104 Surabaya pada tanggal 27 April 2004 pukul
13.00 WIB, disaksikan oleh Ketua DPRD Kabupaten/Kota se-Jawa
Timur dan sejumlah pejabat di Provinsi Jawa Timur.
Secara rinci, kesepakatan yang telah dicapai dan dituangkan
dalam bentuk MOU yang ditandatangani Gubernur Provinsi Jawa
Timur dan Walikota-Kabupaten se-Jawa Timur adalah: Pertama, Peme-
rintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota telah sepakat
untuk mengadakan kerjasama penanganan Penyandang Masalah
Penanganan Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya Anak Jalanan,
Wanita Tuna Susila (WTS), Gelandangan, Gelandangan Psikhotik
dan Pengemis, yang dituangkan dalam keputusan bersama antara
Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah kabupaten/Kota.
Kedua, penanganan Penyandang Masalah Penanganan
Kesejahteraan Sosial (PMKS) untuk jangka pendek difokuskan pada 5
jenis PMKS, yaitu: Anak Jalanan, Wanita Tuna Susila (WTS), Gelan-
dangan, Gelandangan Psikotik dan Pengemis meliputi aspek perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi.
Ketiga, memahami sepenuhnya bahwa pembiayaan yang mem-
bebani masyarakat dan atau daerah pelaksanaannya harus mendapatkan
persetujuan dari DPRD Provinsi Jawa Timur dan DPRD Kabupaten/Kota.
Keempat, pembiayaan yang dibebankan pada APBD Provinsi Jawa
Timur merupakan tanggung jawab Bupati/Walikota sesuai dengan
aktivitas dan atau kontribusi masing-masing.
Kelima, kesepakatan bersama ini berlaku untuk jangka waktu 5
(lima) tahun sejak penandatanganan dan dapat diperpanjang atas
kesepakatan kedua belah pihak, yaitu Pemerintah Provinsi dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota.
Tidak hanya di Jawa Timur, secara nasional berbagai permasalahan
kesejahteraan sosial yang muncul pada masyarakat Indonesia saat
ini, meliputi: menurunnya tingkat ekonomi, penyimpangan norma

4
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

dan perilaku, meningkatnya masalah sosial, menurunnya kualitas


kesehatan, dan meningkatnya kriminalitas. Permasalahan kesejahte-
raan sosial tersebut dilatarbelakangi adanya perubahan dalam kehidu-
pan masyarakat di era globalisasi saat ini, yang dibarengi dengan
meningkatnya kebutuhan hidup, persaingan hidup yang semakin
ketat, ketidakmampuan dan keterbatasan masyarakat untuk beradaptasi.
Kota Surabaya, Kota Pasuruan, dan Kabupten Blitar merupakan Kota-
kota di Jawa Timur yang juga menghadapi masalah serupa.
Persoalan terkait PMKS yang dihadapi biasanya saling berkelindan
antara masalah yang satu dengan yang lain. Misalnya keadaan fakir
miskin yang dapat berpengaruh terhadap keadaan psikologis, keadaan
sosial, dan berbagai permasalahan lainnya, baik pada masyarakat yang
secara langsung merasakan hal tersebut, maupun masyarakat secara
luas. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi masyarakat di lokasi
penulisan saat ini sangat perlu perhatian, terutama terhadap anak-
anak dan wanita dengan keterbatasan diri yang dimilikinya, sehingga
sering menjadi korban utama masalah sosial dalam lingkungan.
Karenanya upaya pemenuhan kesejahteraan sosial telah menjadi
perhatian Nasional. Diasumsikan bahwa kemajuan bangsa ataupun
keberhasilan pemerintah tidak lagi dilihat dari sekedar meningkatnya
angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari keberhasilan dari
pembangunan nasional. Kegiatan pembangunan telah dilakukan oleh
beberapa pemimpin pemerintahan sejak pasca kemerdekaan tahun
1945. Namun demikian, harus diakui setelah beberapa kali pemerinta-
han berganti, taraf kesejahteraan rakyat Indonesia masih belum maksimal.
Pemenuhan taraf kesejahteraan sosial perlu terus diupayakan
mengingat sebagian besar rakyat Indonesia masih belum mencapai
taraf kesejahteraan sosial yang diinginkannya.
Kemampuan penanganan terhadap para penyandang masalah
kesejahteraan sosial pun menjadi salah satu indikator keberhasilan
pembangunan. Seperti penanganan masalah kemiskinan, kecacatan,
keterlantaran, ketunaan sosial maupun korban bencana alam dan
sosial. Kemajuan pembangunan ekonomi tidak akan ada artinya jika
kelompok rentan penyandang masalah sosial di atas, tidak dapat
terlayani dengan baik.
Untuk itu, diperlukan sistem penanganan yang integratif
sehingga masalah PMKS di Kota Surabaya, Kota Pasuruan, dan

5
Tantangan dan Strateginya

Kabupten Blitar dapat teratasi, khususnya 5 Jenis PMKS yang menjadi


fokus penanganan bersama antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, yakni: Anak Jalanan, Wanita Tuna
Susila (WTS), Gelandangan, Gelandangan Psikotik dan Pengemis
Untuk mengidentifikasi permasalahan tersebut secara detail,
Peraturan Menteri Sosial No.111 Tahun 2009 tentang Indokator Kinerja
Pembangunan Kesejahteraan Sosial sesungguhnya telah menawar-
kan formula yang bisa terus dikembangkan (sesuai dengan kondisi
lokal) untuk merumuskan formulasi kebijakan penanganan PMKS
di Kota Surabaya, Kota Pasuruan, dan Kabupten Blitar.
Berdasarkan problem di atas, buku ini ditujukan untuk menggam-
barkan kondisi penyandang masalah kesejahteraan sosial di Kota
Surabaya, Kota Pasuruan, dan Kabupten Blitar; mengidentifikasi
pelaksanaan penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial
di Kota Surabaya, Kota Pasuruan, dan Kabupten Blitar; merumuskan
model pemberdayaan masyarakat 5 jenis penyandang masalah
kesejahteraan sosial.
Studi ini diharap dapat menggambarkan kondisi penyandang
masalah kesejahteraan sosial di Kota Surabaya, Kota Pasuruan, dan
Kabupten Blitar; mengidentifikasi proses penangan penyandang
masalah kesejahteraan sosial di Kota Surabaya, Kota Pasuruan, dan
Kabupten Blitar.; dan menyediakan model pemberdayaan masyarakat
khususnya terkait dengan 5 PMKS di Kota Surabaya, Kota Pasuruan,
dan Kabupten Blitar1.

B. Metode Buku Ini


Karena buku ini merupakan publikasi hasil riset panjang di-
sejumlah daerah, buku ini kaya akan data yang disajikan secara
deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang bertujuan melukiskan
atau menggambarkan fenomena yang terjadi secara kualitatif
(Ruswanto dkk,1995: 87). Melalui tipologi ini diharapkan dapat
membuka potensi interpretasi-interpretasi subyektif penulis (Agus
Sudibyo, 2001: 18) sehingga mampu menggambarkan secara menye-
luruh suatu fakta sosial melalui pertimbangan-pertimbangan

1
Hal ini sesuai dengan sasaran dan indikator dalam topik riset “Pemberdayaan
Masyarakat untuk meningkatkan pendapat keluarga rentan miskin.” Lihat: Agenda Riset
Daerah Jawa Timur 2014—2019 hal 25.

6
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

kontekstual, dan multi level analisis yang dapat dicapai dengan


sejauhmana eksplorasi konteks historis, sosial, budaya, ekonomi dan
politik, dapat teraktualisasikan.
Meskipun terdapat subyektivitas penulis, namun akan diupayakan
pencapaian tingkat obyektivitas, sebagaimana ditegaskan Silverman,
“Seeing throuth the eyes of taking the subject’s prespective…undesrtanding action
and meaning in their social context”2 sehingga apa yang dilakukan penulis
bagaimanapun tidak mungkin melepaskan diri dari realitas data.
Penulisan ini berfokus mengidentifikasi PMKS disejumlah daerah
di Jawa Timur, sebagaimana nota kesepakatan tentang penanganan
PMKS yang telah ditandatangani bersama oleh masing-masing Bupati/
Walikota se Jawa Timur dengan Gubernur Jawa Timur bertempat di
Gedung Bank Jatim Jalan Basuki Rachmad Nomor 98–104 Surabaya
pada tanggal 27 April 2004 pukul 13.00 WIB, disaksikan oleh Ketua
DPRD Kabupaten/Kota se-Jawa Timur dan sejumlah pejabat di
Provinsi Jawa Timur.
Nota kesepahaman tersebut menekankan pada penangan bersama
5 (lima) jenis PMKS yakni:
1. Anak Jalanan
2. Wanita Tuna Susila (WTS)
3. Gelandangan
4. Gelandangan Psikotik
5. dan Pengemis
Buku ini juga difokuskan pada identifikasi atas 5 jenis PMKS
tersebut untuk kemudian merumuskan formulasi sistem penangan-
nya. Melalui upoaya ini diharapkan akan semakin fokus dan upaya
upaya untuk memformulasikan kebijakan penanggulangan PMKS
tersebut akan semakin maksimal.
Terkait dengan sumber data, penulisan ini akan menggunakan:
(1) Informan yang dipilih secara sengaja (purposive); (2) Peristiwa,
situasi, atau fenomena yang terjadi dan relevan dengan fokus
penulisan; (3) Dokumen yang relevan dengan fokus penulisan. (4)
dan buku-buku kepustakaan.

2
Miles, M.B. and A.M. Huberman.1992, Analisis Data Kualitatf, Tjetjep Rohendi
Rohidi (Penterjemah), Qualitative Data Analysis, UI Press. Jakarta.

7
Tantangan dan Strateginya

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan ini


digunakan teknik Wawancara mendalam, Observasi, FGD, Dokumen-
tasi, dan Triangulasi. Catherine Marshall, Gretchen B. Rossman,
menyatakan bahwa, the fundamental metodes relied on by qualitative re-
searchers for gathering information are, participation in the setting, direct
observation, in depth interviewing, document review:
1. Wawancara mendalam (indepth interview) dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara langsung kepada informan melalui
tekhnik wawancara tidak berstrukur (Unstructured or focused inter-
view) sifatnya lebih terbuka (open–ended character) sedangkan
wawancara kelompok (group interview) merupakan alat investigasi
yang berharga dengan focus disekiktar masalah yang ingin
diketahui.
2. Observasi dengan pengamatan langsung/ Observasi terfokus,
pada tahap ini penulis sudah melakukan mini tour observation, yaitu
suatu observasi yang telah dipersempit untuk difokuskan pada
aspek tertentu. Observas ini dinamakan observasi terfokus, karena
pada tahap ini penulis melakukan analisis taksonomi sehingga
dapat menemukan fokus (Marshall, 1995: 114).
3. Diskusi Kelompok terfokus (Focus Group Discussion), untuk
mendapatkan informasi mendetail tentang fokus penulisan.
4. Dokumentasi, dengan memanfaatkan sumber-sumber berupa
data-data dan catatan catatan yang terkait dengan penulisan
sebagai pelengkap data primer yang tidak ditemukan di lapangan.
5. Triangulasi, yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan
sumber data yang telah ada. Dengan kata lain mengumpulkan
data yang sekaligus menguji krediblitas data, yaitu mengecek
kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data ber-
bagai sumber.
Analisis data pada dasarnya merupakan proses pengorganisasian
dan mengurutan data ke dalam kategori dan satuan uraian dasar
sehingga dapat ditemukan pola, tema yang dapat dirumuskan sebagai
hipotesa kerja. Bogdan menyatakan, analyis is the process of systematically
serching and arranging the interview trancripts, fieldnote, and other mataerial
that you accumulate to increase your own understanding of them and to enable

8
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

you to present what you have discovered to others. Analisa data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga mudah
dipahami, dan temuannya dapat diinfrormasikan kepada orang lain.
Karenanya Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan
buku ini adalah analisis dengan menggunakan metode interaktif
(Miles, M.B. and A.M. Huberman, 1992: 78). untuk mengetahui lebih
detail lihat bagan berikut
Bagan 1. Analisis Data

Sumber: Miles,M.B. and A.M. Huberman 1992


Bagan di atas menjelaskan tiga kompenen analisis yang meliputi;
pemampatan, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Pemampatan
data diartikan sebagai proses pemilahan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
Untuk memastikan bahwa data hasil penulisan telah sesuai
sebagaimana yang diinformasikan oleh informan dalam wawancara,
saat observasi, maupun pada saat FGD, maka dilakukan triangulasi.
Dimana triangulasi perlu dilakukan untuk menguji keabsahan data
dengan memanfaatkan sumber data, metode, penyelidik, dan teori
yang digunakan.
9
Tantangan dan Strateginya

Menurut Moeleong (1996)3 dan Sugiono (2003)4 untuk menetapkan


keabsahan data digunakan teknik pemeriksaan yang terdiri atas :
a. derajad kepercayaan (credibility), untuk melihat derajad keperca-
yaan terhadap data hasil penulisan kualitatif salah satunya
dilakukan dengan triangulasi, sebagaimana yang dilakukan
dalam penulisan ini.
b. Keteralihan (transferability),
c. Ketergantungan (dependability).
d. Kepastian (confirmability).
Dalam penulisan ini triangulasi dilakukan terhadap sumber data
(informan) dan metode pengumpulan data dengan menggunakan
langkah-langkah:
Pertama, hasil wawancara dan observasi ditringulasi dengan FGD
untuk menguji kebenaran hasil wawancara dan observasi. Kedua,
Hasil wawancara dan observasi yang sudah di FGD kemudian
ditunjukkan pada beberapa peserta FGD yang dianggap menguasai
masalah penulisan ini untuk diminta mengkritisi dan mengoreksi
Ketiga, hasil penulisan secara keseluruhan diseminarkan dalam tim
kecil yang terdiri dari para ahli pemerintahan, kebijakan, dan sosial.
Melalui langkah langkah sebagaiumana metode di atas diharapkan
akan dapat memaksimalkan upaya penggalian data dan identifikasi
persoalan dilapangan, sehingga semakin memudahkan usaha usaha
untuk memformulasikan kebiajkan penanggulangan masalah
kesejahteraan sosial secara tepat.

3
Moleong, Lexy, J, 1989, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Karya, Bandung.
4
Sugiono, 2003. Metode Penelitian Administrasi, Alfa beta, Bandung

10
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Konsep Dasar PMKS 2

Masalah kesejahteraan sosial pada dasarnya tidak berbeda


dengan masalah sosial. Pandangan tradisional tentang timbulnya
masalah tersebut berpangkal pada sebab-sebab dari individu sendiri
(intrinsik) dan dari luar individu (ekstrinsik). Masalah yang mula-
mula menggambarkan masalah individu (kondisi individu), kemudian
menjadi masalah yang menjelaskan kondisi dari sistem dimana
masyarakat hidup.
Sebab-sebab ekstrinsik berasal dari lingkungan fisik dan ling-
kungan sosial. Ernest Burgess (lihat Sumarnonugroho,1987), menya-
takan bahwa teori tentang masalah sosial dapat dikelompokkan
menjadi lima, yaitu:
1. Masalah sosial sebagai patologi organik individu
2. Masalah sosial sebagai patologi sosial
3. Masalah sosial sebagai disorganisasi personal dan sosial
4. Masalah sosial sebagai konflik-konflik nilai
5. Masalah sosial sebagai proses
Masyarakat memiliki beberapa unsur yaitu: moral, politik ekonomi,
pendidikan, hukum agama, kebudayaan dan sebagainya. Unsur ini
biasanya disebut institusi sosial. Institusi ini bekerja dalam suatu

11
Tantangan dan Strateginya

sistem. Dalam perubahan sosial yang lambat institusi ini berubah


dalam keadaan saling menyesuaikan agar keadaan serasi-seimbang.
Dalam kondisi seimbang tersebut individu mudah menyesuaikan
diri dalam berbagai institusi, tetapi tidak selamanya kondisi institusi
itu berjalan selaras. Dalam perubahan sosial yang cepat tiap institusi
berjalan saling tidak serasi, saling tidak menyesuaikan diri. Ketidak-
sesuaian ini menimbulkan ketegangan sehingga individu mengalami
kesulitan mengadakan penyesuaian diri dalam hubungan sosial.
Dengan demikian, masyarakat berkondisi sakit atau abnormal atau
disebut telah terjadi disorganisasi sosial atau maladjustment.
Gillin and Gillin (Simandjuntak, 1985) merumuskan patologi
sosial ialah terjadinya maladjustment yang serius diantara berbagai
unsur dalam keseluruhan konfigurasi kebudayaan sedemikian rupa
sehingga membahayakan kelangsungan hidup sesuatu kelompok
sosial atau secara serius menghambat pemuasan kebutuhan asasi
anggota kelompok yang mengakibatkan hancurnya ikatan sosial
mereka.
Ada beberapa cara menentukan indeks patologi sosial
(Simandjuntak, 1985), yaitu:
a. terdapat konflik kebudayaan, khusus konflik norma sehingga
kehidupan individu terlepas dari ikatan kehidupan masyarakat;
b. kenakalan-kejahatan yang tinggi ditandai mobilitas sosial yang
tinggi;
c. adanya dependensi yang banyak;
d. perpisahan suami istri tanpa prosedur formal;
e. orang terlantar dalam masyarakat yang berpendapatan rendah;
f. adanya komposisi penduduk yang menyimpang;
g. adanya distansi sosial—ialah orang yang merasa lain satu sama
lain;
h. bunuh diri;
i. distribusi kekayaan yang tidak merata;
j. partisipasi sosial yang minim.
Joe R. Hoffer (lihat Sumarnonugroho,1987) mengemukakan ada
lima jenis hambatan yang merupakan dasar daripada masalah
kesejahteraan sosial, yaitu:

12
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

1. Ketergantungan ekonomi
2. Ketidakmampuan menyesuaikan diri
3. Kesehatan yang buruk
4. Kurang atau tidak adanya pengisian waktu senggang dan sarana
rekreasi
5. Kondisi sosial, penyediaan dan pengelolaan pelayanan sosial
yang kurang atau tidak baik.

A. Pengertian dan Macam-macam PMKS


Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah per-
seorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena
suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan
fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya
baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar.
Saat ini, terdapat 26 jenis PMKS sebagai berikut:
1. Anak balita telantar adalah seorang anak berusia 5 (lima) tahun
ke bawah yang ditelantarkan orang tuanya dan/atau berada di
dalam keluarga tidak mampu oleh orang tua/keluarga yang tidak
memberikan pengasuhan, perawatan, pembinaan dan perlin-
dungan bagi anak sehingga hak-hak dasarnya semakin tidak
terpenuhi serta anak dieksploitasi untuk tujuan tertentu.
2. Anak terlantar adalah seorang anak berusia 6 (enam) tahun
sampai dengan 18 (delapan belas) tahun, meliputi anak yang
mengalami perlakuan salah dan ditelantarkan oleh orang tua/
keluarga atau anak kehilangan hak asuh dari orang tua/keluarga.
3. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah orang yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun, meliputi anak yang disangka, didakwa,
atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana dan anak
yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau
mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
4. Anak jalanan adalah anak yang rentan bekerja di jalanan, anak
yang bekerja di jalanan, dan/atau anak yang bekerja dan hidup
di jalanan yang menghasilkan sebagian besar waktunya untuk
melakukan kegiatan hidup sehari-hari

13
Tantangan dan Strateginya

2. Anak dengan Kedisabilitasan (ADK) adalah seseorang yang belum


berusia 18 (delapan belas) tahun yang mempunyai kelainan fisik
atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi
jasmani, rohani maupun sosialnya secara layak, yang terdiri
dari anak dengan disabilitas fisik, anak dengan disabilitas men-
tal dan anak dengan disabilitas fisik dan mental.
3. Anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan
salah adalah anak yang terancam secara fisik dan nonfisik karena
tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya
dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya,
sehingga tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar
baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
4. Anak yang memerlukan perlindungan khusus adalah anak yang
berusia 6 (enam) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun
dalam situasi darurat, dari kelompok minoritas dan terisolasi,
dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, diperdagangkan,
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya (napza), korban penculikan, penjualan,
perdagangan, korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, yang
menyandang disabilitas, dan korban perlakuan salah dan
penelantaran
5. Lanjut usia telantar adalah seseorang yang berusia 60 (enam
puluh) tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya.
6. Penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama
dimana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan hal ini
dapat mengalami partisipasi penuh dan efektif mereka dalam
masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
7. 10 Tuna Susila adalah seseorang yang melakukan hubungan
seksual dengan sesama atau lawan jenis secara berulang-ulang
dan bergantian diluar perkawinan yang sah dengan tujuan
mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
8. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan
yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam

14
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan


tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.
9. Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan
meminta-minta ditempat umum dengan berbagai cara dan alasan
untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.
10. Pemulung adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan
dengan cara memungut dan mengumpulkan barang-barang
bekas yang berada di berbagai tempat pemukiman pendudukan,
pertokoan dan/atau pasar-pasar yang bermaksud untuk didaur
ulang atau dijual kembali, sehingga memiliki nilai ekonomis.
11. Kelompok Minoritas adalah kelompok yang mengalami gangguan
keberfungsian sosialnya akibat diskriminasi dan marginalisasi
yang diterimanya sehingga karena keterbatasannya menyebab-
kan dirinya rentan mengalami masalah sosial, seperti gay, waria,
dan lesbian
12. Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) adalah
seseorang yang telah selesai menjalani masa pidananya sesuai
dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk
menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat,
sehingga mendapat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan
atau melaksanakan kehidupannya secara normal.
13. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah seseorang yang telah
dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS dan membutuhkan pelayanan
sosial, perawatan kesehatan, dukungan dan pengobatan untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal.
14. Korban Penyalahgunaan NAPZA adalah seseorang yang
menggunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
luar pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang
berwenang.
15. Korban trafficking adalah seseorang yang mengalami penderitaan
psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan/atau sosial yang
diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
16. Korban tindak kekerasan adalah orang baik individu, keluarga,
kelompok maupun kesatuan masyarakat tertentu yang mengalami
tindak kekerasan, baik sebagai akibat perlakuan salah, eksploitasi,
diskriminasi, bentuk-bentuk kekerasan lainnya ataupun dengan

15
Tantangan dan Strateginya

membiarkan orang berada dalam situasi berbahaya sehingga


menyebabkan fungsi sosialnya terganggu.
17. Pekerja Migran Bermasalah Sosial (PMBS) adalah pekerja migran
internal dan lintas negara yang mengalami masalah sosial, baik
dalam bentuk tindak kekerasan, penelantaran, mengalami musibah
(faktor alam dan sosial) maupun mengalami disharmoni sosial
karena ketidakmampuan menyesuaikan diri di negara tempat
bekerja sehingga mengakibatkan fungsi sosialnya terganggu.
18. Korban bencana alam adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor terganggu
fungsi sosialnya.
19. Korban bencana sosial adalah orang atau sekelompok orang
yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar
kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
20. Perempuan rawan sosial ekonomi adalah seorang perempuan
dewasa menikah, belum menikah atau janda dan tidak mem-
punyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari.
21. Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata
pencarian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau
keluarganya.
22. Keluarga bermasalah sosial psikologis adalah keluarga yang
hubungan antar anggota keluarganya terutama antara suami-
istri, orang tua dengan anak kurang serasi, sehingga tugas-tugas
dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar.
23. Komunitas Adat Terpencil adalah kelompok sosial budaya yang
bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam
jaringan dan pelayanan baik sosial ekonomi, maupun politik.

16
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

B. Indikator Kinerja Pembangunan Kesejahteraan Sosial


Dalam studi ini, akan digunakan sejumlah indikator kinerja
pembangunan kesejahteraan sosial sebagaimana dimanatkan
Peraturan Menteri Sosial No 111 Tahun 2009. Yang meliputi sejumlah
indikator
Pertama, indikator dampak meliputi: a. rata-rata persentase
penurunan PMKS per tahun; b. persentase PMKS per tahun yang
ditangani dapat memenuhi kebutuhan dasarnya; c. persentase PSKS
per tahun yang meningkat perannya dalam usaha kesejahteraan sosial.
Kedua, indikator manfaat (outcome): 1) Keberfungsian Sosial: a.
rata-rata persentase PMKS per tahun yang ditangani mampu
mengurus diri sendiri; b. rata-ratapersentase PMKS per tahun yang
ditangani mampu menjalin relasi sosial yang harmonis; c. rata-rata
persentase PMKS per tahun yang ditangani merniliki kemandirian
ekonomi; d. rata-rata persentase PMKS per tahun yang ditangani
mampu melaksanakan pgranan sosial; e. rata-tata persentase PMKS
per tahun dengan kecacatan yang ditangani berfungsi secara fisik;
f. rata-rata persentase PMKS per tahun yang ditangani mampu
menghadapi situasi kritis; g. rata-rata persentase PMKS per tahun
yang ditangani mampu berintegrasi sosial.
2) Peran Kelembagaan Kesejahteraan Sosial: a. persentase Karang
Taruna yang termasuk kategori Maju; b. persentase Karang Lansia
atau lembaga sejenis yang termasuk kategori Maju; c. persentase
Taman Penitipan Anak Kelompok Bermain yang termasuk kategori
Maju; d. persentase Organisasi Sosial yang termasuk kategori Tipe A;
e. persentase Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat yang memiliki
kompetensi dalam Usaha Kesejahteraan Sosial;
3) Peran Lingkungan Sosial: a. persentase keluarga yang berperan
aktif menangani PMKS; b. persentase lembaga sosial kemasyarakatan
yang aktif menangani PMKS; c. persentase dunia usaha yang
melaksanakan program community development/usaha kesejahteraan
sosial untuk PMKS; d. persentase kelompok-kelompok masyarakat
yang melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial; e. persentase warga
masyarakat yang menjadi tenaga kesejahteraan sosial masyarakat
yang berperan dalam pembangunan bidang kesejahteraan sosial.

17
Tantangan dan Strateginya

Ketiga, indikator keluaran (output): 1) Akses Pelayanan Kesejahte-


raan Sosial a. persentase PMKS yang memperoleh penyuluhan/bimbingan
sosial/ konseling/informasi kesejahteraan sosial; b. persentase PMKS yang
memperoleh bantuan sosial untuk pemenuhan kebutuhan dasar; c.
persentase korban bencana yang menerima bantuan sosial selama masa
tanggap darurat; d. persentase korban bencana yang dievakuasi dengan
menggunakan sarana prasarana tanggap darurat; e. persentase PMKS
yang tinggal di daerah krisis pangan yang memperoleh bantuan
makanan/ jaminan hidup; f. persentase PMKS yang menjadi peserta
jaminan kesejahteraan sosial; g. persentase penyandang cacat fisik dan
mental, serta lanjut usia tidak potensial yang telah menerima jaminan
sosial (bantuan sosial berkelanjutan); h. persentase PMKS yang
menerima program pemberdayaan sosial melalui KUBE ataLt kelompok
sosial ekonomi sejenis lainnya; i. persentasi PMKS yang mendapat
akses terhadap perlindungan sosial.
2) Mutu Pelayanan Kesejahteraan Sosial: a. persentase panti sosial
yang melaksanakan standar operasional pelayanan kesejahteraan sosial;
b. persentase panti sosial yang menggunakan tenaga pekerja sosial
profesional; c. persentase panti sosial yang menyediakan sarana prasarana
pelayanan kesejahteraan sosial yang memadai; d. persentase panti sosial
yang mengelola administrasi pelayanan secara memadai; e. persentase panti
sosial yang mampu menyediakan dana secara mandiri; f. persentase
wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat yang menyediakan
sarana prasarana pelayanan kesejahteraan sosial; g. persentase Orsos/
Yayasan/LSM yang menyediakan sarana prasarana pelayanan
kesejahteraan sosial luar panti; h. persentase pegawai yang memiliki
kompetensi pekerjaan sosial; i. rata-rata persentase penurunan tingkat
penyimpangan yang berindikasi kerugian negara; j. persentase jumlah
temuan hasil pemeriksaan yang dapat ditindaklanjuti; k. persentase
mitra kerja yang menyatakan puas atas kinerja pembangunan
kesejahteraan sosial; L persentase PMKS yang menerima manfaat
perlindungan sosial.
3) Kontribusi Sektor Terkait: a. persentase PMKS yang memiliki
akses terhadap air bersih dan sarana MCK; b. persentase PMKS yang
memiliki akses pelayanan kesehatan dasar/jaminan kesehatan
Askeskin; c. persentase PMKS yang memperoleh bantuan pangan/
RASKIN; d. persentase PMKS usia sekolah yang memiliki akses

18
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun; persentase PMKS yang memiliki


rumah layak huni; persentase PMKS potensial usia produktif yang
memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap; persentase PMKS yang
memperoleh pelatihan keterampilan di bidang usaha ekonomi
produktif; persentase PMKS yang memperoleh bantuan modal usaha
LKM/ Koperasi, modal bergulir atau bantuan sarana prasarana usaha
ekonomi produktif; persentase PMKS usia produktif yang mengalami
kecacatan yang memperoleh pekerjaan di pemerintah dan swasta.
4) Indikator masukan (input sumberdaya kesejahteraan sosial:
Ketersediaan SDM: a. ruta-rata rasio pekerja sosial per 1.000 kelompok
PMKS; b. rata-rata rasio Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat per
1.000 kelompok PMKS; c. rata-rata rasio pekerja sosial per 100 klien
di panti sosial; d. rata-rata rasio tenaga pekerja sosial profesional per
100 pegawai yang bertugas langsung di lapangan/ pendamping sosial,
termasuk yang bekerja menangani klien di panti; e. persentase
kabupaten/kota yang memiliki tenaga pekerjaan sosial/kesejahteraan
sosial di kecamatan; f. rata-rata rasio tenaga penyuluh sosial
fungsional per 1.000 kelompok PMKS.
Ketersediaan Sarana Prasarana: a. persentase kabupaten/kota yang
memiliki sarana prasarana tanggap darurat bencana; b.’ persentase
kecamatan yang memiliki Pusat Pelayanan Kesejahteraan Sosial/Com-
munity Centre atau sejenisnya; c. persentase kabupaten/kota yang
memiliki Dinas/Instansi Sosial mandiri; d. persentasi sarana prasarana
perkantoran yang berkualitas. E. persentase desa/ kelurahan yang
telah memiliki wahana kesejahteraan sosial berbasisn masyarakat; f.
persentase kecamatan yang telah memiliki lembaga pelayanan
kesejahteraan sosial; g. persentase hasil penelitian yang digunakan
untuk perumusan kebijakan dan program kesejahteraan sosial; h.
persentase pembangunan kesejahteraan sosial yang dipublikasikan.
Ketersediaan dan Pemanfaatan Anggaran: a. ruta-rata persentase
anggaran kesejahteraan sosial per tahun dalam APBD kabupaten/
kota; b. persentase kabupaten/kota yang memiliki instansi sosial. c.
rata-rata persentase realisasi anggaran per tahun.
Ketersediaan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria: a. persentase
kabupaten/kota yang memiliki pedoman operasional lengkap untuk
usaha kesejahteraan sosial; b. persentase kabupaten/kota yang
memiliki rencana strategis pembangunan bidang kesejahteraan

19
Tantangan dan Strateginya

sosial; c. persentase kabupaten yang memiliki “contingency plan” untuk


masalah kesejahteraan sosial akibat bencana; d. persentase kabupaten/
kota yang memiliki sistem pendataan dan pemutakhiran PMKS dan
PSKS; e. persentase kabupaten/kota yang memiliki profil pembangunan
bidang kesejahteraan sosial; f. persentase produk hukum bidang
kesejahteraan sosial.

C. Studi-studi tentang PMKS


Ada beberapa studi tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial yang sebelumnya sudah pernah dilakukan dan berkaitan
dengan judul penelitian ini: Pertama, studi Linda Amalia Sari Gumelar
(2010) yang berjudul “Identifikasi Problematika Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial: Stdi di DIY” menemukan bahwa pada tahun
2010 tercatat sebanyak 131.437 penduduk DIY yang dikategorikan
memiliki masalah sosial. Sebagian besar 26,58 % fakir miskin, 24,9 %
anak terlantar, 22,67 % keluarga dengan rumah tidak layak huni,
10,35% wanita rentan masalah sosial dan sisanya 15,5 % gelandangan/
pengemis anak nakal, anak jalanan, anak balita terlantar,
gelandangan, wanita tuna susila, korban narkoba dan eks napi.
Berbagai permasalahan kesejahteraan sosial tersebut merupakan
satu keterkaitan permasalahan yang masing-masing memiliki timbal
balik negatif. Misalnya keadaan fakir miskin yang dapat berpengaruh
terhadap keadaan psikologis, keadaan sosial, dan berbagai permasala-
han lainnya, baik pada masyarakat yang secara langsung merasakan
hal tersebut, maupun masyarakat secara luas. Hal ini menggambarkan
bahwa kondisi masyarakat DIY saat ini sangat perlu perhatian,
terutama terhadap anak-anak dan wanita dengan keterbatasan diri
yang dimilikinya, sehingga sering menjadi korban utama masalah
sosial dalam lingkungan.
Selain permasalahan gangguan fungsional dalam kehidupan sosial
dan atau ekonomi, wanita sering kali menjadi korban tindak kekerasan.
Dari 347 kasus kekerasan pada wanita di DIY yang menjadi catatan
sepanjang tahun 2011, kasus kekerasan pada istri menempati urutan
pertama dengan 291 kasus. Di peringkat kedua kekerasan dalam pacaran
dengan 41 kasus, 39 kasus perkosaan, 39 kasus pelecehan seksual, 8
kasus kekerasan dalam keluarga dan 1 kasus perdagangan manusia
(Lembaga Pemerhati Perempuan Rifka Anisa dalam Ernyta, Andri

20
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

dan Riza, 2007). Peningkatan kasus kekerasan terhadap wanita yang


ada saat ini dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain: kemiskinan
yang menjadikan tingkat stres masyarakat tinggi, pengangguran,
banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), dan kurangnya
pendidikan wanita
Kedua, studi yang dilakukan Sudarso (2012) yang berjudul
“Identifikasi dan Strategi Penangan PMKS: Studi Kasus di Kabupaten
Pasuruan”. Studi ini berfokus pada tiga hal: Jenis Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) apa saja yang ada di Kabupaten Pasuruan,
dan bagaimana persebarannya di wilayah tersebut; Apa saja kebutuhan
yang dihadapi oleh para PMKS di kabupaten Pasuruan; Bagaimana
strategi yang perlu diterapkan untuk memberdayakan keberadaan
PMKS di Kabupaten Pasuruan.
Studi PMKS yang dilakukan Sudarso tersebut diawali dengan
melakukan pengamatan awal tentang PMKS. Kegiatan ini meliputi
mencoba memahami fenomena PMKS secara menyeluruh dari
berbagai reverensi akademik, baik dari sisi teoritik hingga fenomena-
fenomena empirik yang terjadi. Beberapa studi terdahulu sejenis
tentang penanggulangan PMKS cukup membantu memberikan
memahami PMKS sebagai objek penelitian.
Dilanjutkan dengan proses pencarian dan pengolahan data. Pada
tahapan ini, data yang telah diperoleh merupakan hasil observasi
lapangan di 24 Kecamatan Kabupaten Pasuruan baik data sekunder
maupun data primer. Pencarian data menggunakan alat kuisioner
dan pedoman wawancara (in depth interview) menjadikan sampel PMKS
dengan kuisioner akan dilakukan pendalaman menggunakan
wawancara mendalam dengan penyandang PMKS.
Data-data observasi kemudian diklasifikasikan berdasar persoalan-
persoalan penelitian yang hendak dijawab. Diharapkan dengan
pengklasifikasian ini data akan terkorelasi dan focus pada persolan
yang akan dihadapi. Yaitu menyangkut identivikasi kebutuhan,
identivikasi prioritas, dan penyusunan kerangka strategi penaggulangan.
Dari hasil analisa Sudarso menyimpulkan bahwa dari 28 jenis PMKS
yang ada, hanya dua jenis PMKS yang tidak muncul, yaitu migran
terlantar dan penderita HIV/AIDS. Dari data PMKS tersebut, juga
diperoleh informasi bahwa PMKS yang berkait dengan kemiskinan

21
Tantangan dan Strateginya

masih menjadi primadona, seperti fakir miskin, rumah yang tidak


layak huni, dan keluarga rentan.
Sementara itu data PMKS Kabupaten Pasuruan, apabila dipilah
berdasarkan jumlah PMKS-nya yang berjumlah diatas 1000 orang
(diasumsikan masuk dalam kategori PMKS yang berjumlah besar)
dan dengan mempertimbangkan jumlah PMKS berdasarkan
Kecamatan, maka muncullah 12 jenis PMKS yang kategori teratas
berdasarkan jumlahnya.
Jika ditelusuri lebih dalam 12 jenis PMKS tersebut, sebagian besar
akar permasalahan dimulai dari fenomena kemiskinan yang terjadi
dalam masyarakat. Munculnya jenis PMKS rumah tidak layak huni,
keluarga rentan, wanita rawan sosial-ekonomi, anak/balita terlantar
dan manula terlantar, kalau dicari sumbernya adalah kemiskinan.
Chambers (1986) pernah mengungkapkan bahwa kemiskinan itu
terjalin erat dengan keadaan kerentanan, ketidakberdayaan, tingkat
kesehatan, dan keadaan isolasi. Hal ini berarti menunjukkan bahwa
prioritas penanganan PMKS ini, akan selalu berkait dengan
kemiskinan.
Dalam penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) memang tidak mudah dilakukan, perlu beberapa pertimbangan
dan kondisi-kondisi tertentu. Dalam rangka membuat program
penanganan PMKS berikut ini akan dijelaskan tentang Potensi, Kendala,
Peluang serta Ancaman yang muncul dalam penanganan PMKS
Ketiga, studi yang dilakukan oleh Mahatma WR (2013) yang
berjudul “Problematika Penangan Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial di Kabupaten Bojonegoro” menemukan sejumlah hambatan
dalam proses penangan PMKS meliputi: Pertama, alokasi dana untuk
penanganan PMKS tidak sebanding dengan besaran masalah sosial
yang dihadapi. Dengan dukungan dana yang sangat terbatas dan
jauh dari layak ini, sudah barang tentu sulit bagi Pemerintah Daerah
Kabupaten Bojonegoro untuk melakukan program pembangunan
kesejahteraan sosial yang benar-benar efektif dan berskala luas.
Kedua, upaya penanganan terhadap PMKS seringkali hanya
berhenti pada pendekatan punitif-represif—sekadar melakukan razia
untuk menangkap PMKS—, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan
upaya pembinaan yang efektif karena kurang memadainya tempat

22
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

penampungan dan pelatihan bagi mereka yang terkena razia. Per-


soalan gelandangan psikotik, misalnya, seringkali tidak bisa tertangani
dengan tuntas karena belum tersedianya fasilitas rehabilitasi medik
yang memadai untuk para gelandangan psikotik.
Ketiga, program pembangunan kesejahteraan sosial yang
dikembangkan selama ini umumnya tidak berjalan efektif atau tidak
maksimal, karena cenderung hanya menyentuh masalah di hilir,
sementara akar masalah di tingkat hulu tidak banyak ditangani.
Keempat, masalah sosial, di mata sebagian pihak seringkali masih
dianggap sebagai isu sekunder yang secara langsung maupun tidak
langsung akan dapat terselesaikan dengan sendirinya tatkala persoalan
pembangunan ekonomi telah tertangani dengan baik. Bahkan, ada
kesan program kesejahteraan sosial acapkali dipandang pemerintah di
berbagai daerah, termasuk kalangan legislatif sebagai program yang
marginal atau mengalami proses marginalisasi karena dinilai tidak
mendatangkan keuntungan atau PAD bagi kota-kabupaten yang ada.
Berbeda dengan program pembangunan ekonomi yang dianggap
dapat segera mendatangkan keuntungan balik, program pembangunan
kesejahteraan sosial umumnya belum banyak dipahami sebagai bentuk
investasi sosial yang penting bagi masa depan warga masyarakat.
Kelima, masih lemahnya pembagian kerja dan perencanaan program
pembangunan bidang kesejahteraan sosial yang sifatnya terpadu antar
dinas, sehingga hasil yang diperoleh masing-masing wilayah rata-rata
hanya bersifat segmenter, parsial dan semu: sekadar memindah masalah
dari tempat satu ke tempat yang lain. Dalam upaya penanganan PSK,
misalnya, sering terjadi praktek prostitusi yang dikekang dan dilarang
di satu tempat, ternyata mereka kemudian hanya berpindah ke
daerah yang lain dalam jumlah yang sama, atau bahkan lebih besar.

23
Tantangan dan Strateginya

PMKS di Tiga Kota 3

Di bagian ini, penulis akan menguraikan kondisi PMKS di tiga


kota, yakni Kota Surabaya, Kota pasuruan, dan Kabupaten Blitar.
Melalui penggambaran atas kondisi PMKS di tiga tempat ini
diharapkan dapat merefleksikan apa yang terjadi di tiga puluh lima
Kabupaten Kota yang lain di Jawa Timur.

A. Kondisi PMKS di Kota Surabaya


Kota Surabaya adalah contoh kemajuan yang seringkali menjadi
acuan pembangunan berbagai daerah. Tetapi ironisnya di saat yang
sama Surabaya seringkali juga menjadi daerah tujuan utama kaum
migran yang ingin mengubah nasib. Sebagai sebuah metropolitan,
akselerasi perkembangan kota Surabaya yang terlalu cepat harus diakui
acapkali justru melahirkan distorsi. Di bawah bayang-bayang model
pembangunan yang hiper-pragmatis dan hanya mengedepankan
pertumbuhan ekonomi serta kalkulasi efisiensi, ternyata terbukti gagal
dan malah hanya melahirkan sejumlah kesenjangan—termasuk
kesenjangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan
(Chaniago, 2001). Sekali pun benar bahwa di era millenium urban ini
banyak kemajuan telah berhasil dicapai kota-kota besar dan pusat-
pusat pertumbuhan seperti Surabaya. Tetapi, dampak-dampak dari
perubahannya tetap berawal dan berakhir di kota besar. Perubahan

24
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

ini mempengaruhi struktur lapangan kerja, demografi, kualitas


hidup, pengertian tentang bekerja, serta bersatunya persoalan-
persoalan lokal, regional dan bahkan internasional.
Di berbagai kota besar, harus diakui bahwa perkembangan pesat
pola kehidupan perkotaan acapkali tidak diimbangi dengan
perkembangan kemampuan kota yang berarti. Bahkan beberapa di
antaranya justru menurun, baik kualitas maupun kapasitasnya.
Sebagai contoh, semakin besarnya derajat penderitaan kaum miskin
di perkotaan karena mengalami margi nalitas ekonomi, sosial maupun
akses budaya. Menajamnya masalah-masalah sosial perkotaan seperti
konflik sosial, karakter kejahatan, prostitusi, anak jalanan dan
endemiknya amuk massa yang menyerang rasa tertib umum. Perubahan
struktur demografi penduduk kota dengan meningkatnya warga lanjut
usia. Relatif menurunnya usia produktif serta kelangkaan penyediaan
lapangan kerja menimbulkan persoalan-persoalan baru dalam
pengelolaan kebijakan publik (Ahmad, 2002: 4). Kegagalan
pembangunan dan proses marginalisasi yang terjadi di wilayah
pedesaan, bukan saja telah terbukti menimbulkan derasnya migrasi
penduduk yang berlebihan di wilayah kota besar, tetapi juga setumpuk
masalah sosial yang menyertainya. Seperti bisa kita lihat dalam lima
tahun terakhir, kota-kota besar di Propinsi Jawa Timur—khususnya
Surabaya—bukan saja diserbu arus migrasi yang terus meningkat dari
waktu ke waktu, tetapi di saat yang sama juga memicu munculnya
berbagai permasalahan kota, seperti PKL, permukiman kumuh,
gelandangan, pengemis, tuna wisma, anak jalanan, PSK, dan lain-lain
sebagainya. Yang namanya PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial), alih-alih jumlahnya makin menurun, di lapangan yang terjadi
justru perkembangan mereka tampak makin mencemaskan.
Perkembangan anak jalanan yang ada di Surabaya, misalnya,
menurut prediksi Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Kota
Surabaya, pada masa pasca krisis diperkirakan jumlahnya justru
meningkat sekitar 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Jika
pada tahun 2015, jumlah anak jalanan tercatat hanya 1.297 orang,
maka pada tahun 20017 jumlah tersebut sudah melonjak dua kali
lipat lebih menjadi 2.926 orang.
Penanggulangan Wanita Tuna Susila melalui upaya penutupan
lokalisasi Dolly ternyata tidak menyurutkan PSK dan pelanggan untuk

25
Tantangan dan Strateginya

tetap beroperasi. Transaksi PSK dan pelanggan telah berpindah ke kawasan


Kembang Kuning yang masih satu kecamatan dengan Dolly-Jarak,
yakni Kecamatan Sawahan. Kembang Kuning merupakan area pemaka-
man yang dikenal dengan nama Cemoro Sewu dengan lahan yang
sangat luas. Lokasinya tidak jauh dari Gang Dolly dan Jalan Jarak.
Minimnya penerangan membuat area tersebut berpotensi sebagai
sarang kriminalitas, pesta minuman keras hingga transaksi seks.
Cemoro Sewu sering dipakai para waria menjajakan tubuhnya, yang
mana eksekusi biasanya dilakukan di sekitar batu nisan ataupun
makam yang sebagian besar berkeramik. Mereka beroperasi mulai
malam hingga menjelang subuh.1
Sementara itu Kota Surabaya memiliki masalah serius terhadap
penyakit menular seks ”Human Immunodeficiency Virus / Acquired
Immunodeficiency Syndrome” (HIV/AIDS), sebab data Dinas Kesehatan
Kota Surabaya mencatat angka pengidap HIV/AIDS di kota pahlawan
pada tahun 2012 mencapai angka fantastis yaitu 5.155 orang. Angka ter-
sebut sangat dimungkinkan akan terus bertambah dikarenakan kurang
sadarnya masyarakat untuk memeriksakan dirinya, khususnya para
PSK dan para tamu PSK yang sering datang ke lokalisasi PSK, walau-
pun penularan HIV/AIDS tidak hanya melalui hubungan seksual. Kota
Surabaya menduduki peringkat pertama penderita HIV/AIDS dan
berada diatas dari dua kota lainnya yaitu Malang dan Banyuwangi.
Dinas Kesehatan telah melakukan banyak cara guna menang-
gulangi masalah HIV/AIDS di Surabaya, salah satunya dengan
menyiagakan beberapa pukesmas dengan kemampuan melakukan
pemeriksaaan terhadap penderita HIV/AIDS di wilayah yang
ditengarai memiliki faktor risiko tinggi penyebaran HIV/AIDS seperti
kawasan lokalisasi PSK di Surabaya.
Sebagai contoh, data yang terekam di Puskesmas Putat Jaya
Kecamatan Sawahan mulai Januari 2013 sampai dengan Juni 2013
dari para PSK yang bersedia memeriksakan dirinya saja sudah tercatat
86 PSK yang terjangkiti virus HIV/AIDS di lokalisasi PSK Dolly dan
Jarak. Itupun baru dari 2 (dua) lokalisasi PSK, belum di tempat lokalisasi

1
Setelah Ditutup, Bisnis Seks Dolly Pindah ke Kembang Kuning, 17/09/2014 6:15
WIB, http://www.harianaceh.co.id/nasional/2014/09/17/31697/06/15/56/setelah-ditutup-
bisnis-seks-dolly-pindah-ke-kembang-kuning/, 13.14, 25 10 2014, ipuL Hayat

26
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

PSK yang lain di Surabaya. Sedangkan pada tahun 2012 tercatat 118
PSK yang positif HIV/AIDS.
Sedangkan untuk penyebaran HIV/AIDS melalui jarum suntik,
dari hasil pemetaan yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Surabaya,
terbanyak berada di Jagir dan Tenggilis. Penyebaran melalui jarum
suntik ini didominasi oleh para kaum muda yang masih rentan terhadap
pemakaian narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama.
Selain melakukan penanggulangan Dinas Kesehatan Kota
Surabaya juga terus menggalakan sosialisasi khusunya untuk
kalangan pelajar. Dinas Kesehatan Kota Surabaya juga melakukan
kerja sama dengan berbagai rumah sakit di Surabaya, seperti RSUD
dr Soewandhie, RSUD Bhakti Darma Husada (BDH), RSUD dr.
Soetomo, RS Jiwa Menur, RSAL dr. Ramelan, RS Karang Tembok
dan RS Byahangkara. Untuk pengobatan dan perawatan hanya di
RSUD dr. Soetomo, yang lain hanya melakukan pemeriksaan saja.
Terkait dengan tingkat kepadatan kota memang masih jauh
dibanding Jakarta. Tetapi, tanda-tanda bahwa pada tahun-tahun
mendatang Surabaya akan berkembang seperti Jakarta bukanlah
sesuatu yang mustahil. Di Jakarta pada tahun 2017, penduduk kota
mencapai 21,2 juta jiwa—di bawah Tokyo (28,7 juta), Bombay (27,4
juta), Lagos (24,4 juta), dan Shanghai (23,4 juta), maka tidak mustahil
jumlah penduduk kota Surabaya akan terus melonjak. Menurut T.G.
McGee—seorang pakar perkotaan dari Universitas British Colombia—
bersama-sama dengan Jakarta-Bandung dan dan Yogyakarta-Semarang,
Surabaya-Malang akan berkembang menjadi kawasan mega-urban
atau Extended Metropolitan Region, yakni sebuah kawasan perkotaan
yang amat luas dengan jumlah penduduk besar, melebihi ukuran
metropolitan. Ini berarti beban yang mesti ditanggung kota Surabaya
bukan saja masalah-masalah internal akibat tekanan pertumbuhan
penduduk asli atau persoalan pengaturan tata ruang dan penyediaan
permukiman serta fasilitas publik bagi penduduk kota Surabaya sendiri,
melainkan juga beban eksternal yang muncul akibat masuknya arus
migran dari kota-kota menengah di sekitarnya, seperti Malang, Sidoarjo,
Gresik, Lamongan, Mojokerto, Pasuruan, Bangkalan, Jombang, dan
bahkan daerah lain yang agak jauh seperti Bojonegoro, Lumajang,
Madiun, dan sebagainya.

27
Tantangan dan Strateginya

Menurut data BPS Tahun 2017, saat ini penduduk Surabaya


hanya sekitar 2,599.796 juta. Tetapi, sebagai kawasan mega-urban,
yang namanya jumlah penduduk riil dan berbagai masalah sosial
yang ditimbulkannya sesungguhnya telah keluar dari batas-batas
administratif wilayah kota. Penduduk di sekitar kawasan Surabaya—
khususnya wilayah Gerbangkertasusila—yang secara administratif
bukan termasuk penduduk Surabaya, jangan heran bila mereka
sebagian bekerja, membelanjakan uang, dan hidup sebagai warga kota
Surabaya. Bahkan, yang memprihatinkan, tidak sedikit pula mereka
yang kemudian mengadu nasib menjadi migran liar dan masuk ke sektor
informal, baik yang legal, informal, non-legal maupun yang ilegal.
Sebetulnya, sepanjang pemerintah kota Surabaya mampu memenuhi
kebutuhan pelayanan publik bagi penduduk di kawasan mega-ur-
ban ini, barangkali sepesat apapun perkembangan kota dihela tidak
akan menjadi masalah. Tetapi, lain soal ketika kemampuan pemerintah
kota untuk menyediakan fasilitas publik dan melayani kebutuhan warga-
nya yang senantiasa bertambah dengan pesat relatif tak berimbang.
Di sejumlah kota besar di Indonesia, ketika dirasa arus pendatang
yang masuk makin banyak, sementara kemampuan Pemerintah Kota
sendiri relatif terbatas, maka gejala-gejala kejenuhan kota-kota ini
pada akhirnya sempat menimbulkan gagasan dari sebagian ahli dan
penata kota untuk membendung arus urbanisasi itu, atau setidaknya
mengurangi, dan kalau perlu menutup kota tersebut dari para
pendatang baru.
Di Jakarta, misalnya, salah satu gagasan yang dilaksanakan dalam
rangka membatasi arus migrasi adalah dengan cara mengontrol dan
memperketat persyaratan bagi penduduk pendatang. Pemberian kartu
penduduk yang dibatasi dengan hanya pada para pendatang yang
mempunyai kerja tetap dan tempat tinggal, maupun pengawasan
para tamu yang menginap dengan kewajiban melapor pada Ketua R
T maupun RW, memang sempat mengurangi bertambahnya kartu
penduduk baru di Jakarta. Namun dalam kenyataannya, hal ini sering
tidak diiringi berkurangnya pada pendatang. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya pendatang yang datang tanpa meminta bukti identitas
diri di tempat yang baru itu (Ahmad, 2002: 60). Sekali pun banyak
upaya dan peraturan telah dicoba diusahakan untuk menutup kota
dari serbuan para pendatang tersebut. Tetapi rupanya gejala

28
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

urbanisasi itu sedemikian kuatnya sehingga setiap usaha pengontro-


lan pada para pendatang maupun usaha penutupan kota akan sulit
berhasil. Selama faktor-faktor pendorong dan penarik masih ada, dan
selama tingkat kehidupan di kota masih sangat mencolok dibanding-
kan di desa, maka gejala perpindahan penduduk dari desa ke kota atau
dari daerah-daerah minus ke daerah-daerah surplus, akan mengakibat-
kan ketidakseimbangan distribusi penduduk yang mengakibatkan
konsentrasi-konsentrasi penduduk yang tinggi di daerah daerah
tertentu atau lebih-lebih di kota-kota tertentu.
Belajar dari pengalaman dan sejarah perkembangan kota-kota
besar di berbagai belahan dunia, untuk menyongsong masa depan
yang lebih baik, kota-kota besar seperti Surabaya tak pelak membutuh-
kan pendekatan yang lebih visioner serta melibatkan aliansi strategis
dan kemitraan yang konstruktif dalam pola win-win solution dengan
berbagai pihak. Tanpa adanya kerjasama yang adil, ruang partisipasi
yang lebih luas serta demokrasi ekonomi yang berkelanjutan; kota
kemenangan akan sulit terwujud. Perubahan tatanan ekonomi dan
politik global serta akutnya persoalan megapolis di dunia ketiga,
membutuhkan pendekatan yang baru, tata pemerintahah baru,
semangat kerja baru dan etika yang baru pula.

1. Jenis PMKS dan Potensi Kota


Dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sesungguh-
nya bukan hanya memberi kesempatan kepada pemerintah daerah,
termasuk Pemerintah Kota Surabaya untuk membangun wilayah dan
masyarakatnya secara mandiri dari segi finansial dan politik. Tetapi, yang
tak kalah penting adalah bagaimana menumbuhkan kepekaan elit politik,
para perencana pembangunan, dan dinas yang ada agar makin sensitif
terhadap permasalahan sosial di tingkat lokal, dan kemudian segera
menanganinya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial
masyarakat, khususnya warga masyarakat yang termasuk dalam
kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Jenis PMKS( Kalau dirinci satu per satu, yang termasuk
kelompok PMKS sesungguhnya sangat luas dan kompleks. Secara
tipologis paling-tidak ada 21 masalah sosial yang mesti ditangani
Pemerintah Kota Surabaya. Berbagai masalah sosial, seperti anak

29
Tantangan dan Strateginya

jalanan, fakir miskin, WTS, gelandangan, pengemis, lansia, perempuan


korban tindak kekerasan, dan sebagainya—semua membutuhkan per-
hatian yang intensif dan segera agar tidak berkembang makin mence-
maskan. Sebagai kota terbesar nomor dua di Indonesia dan merupakan
salah satu kota tujuan migran, bisa dipahami jika berbagai persoalan PMKS
seolah-olah makin menumpuk dan membutuhkan penanganan yang
sifatnya segera. Secara rinci, masalah sosial apa saja yang menjadi
tanggung jawab Pemerintah Kota Surabaya, apa batasannya, dan
bagaimana pula ciri-cirinya bisa disimak pada tabel di bawah ini:
Sementara itu terkait dengan potensi yang dimiliki, keberhasilan
penanganan persoalan PMKS di Kota Surabaya pada dasarnya bukan
hanya menjadi tanggung pemerintah daerah saja, tetapi juga menjadi
tanggung jawab seluruh komponen dalam masyarakat (stakeholder)—
yang keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh kemampuan sumber
daya aparatur dan sumber daya masyarakat. Surabaya saat ini
sekurang-kurang memiliki empat potensi dan kondisi dinamis yang
fungsional dalam mendukung pelaksanaan program pembangunan
kesejahteraan sosial, yaitu: pekerja sosial masyarakat, organisasi
sosial, karang taruna, dan wanita pemimpin kegiatan sosial
Ada sebagian pandangan memang berasumsi bahwa yang nama-
nya persoalan PMKS akan dapat selesai dengan sendirinya tatkala
masyarakat makin sejahtera dan diberi keleluasaaan untuk mengatur
dirinya sendiri. Tetapi, agar program pembangunan kesejahteraan
sosial dapat memberikan hasil yang lebih cepat dan tepat sasaran, maka
selain men aruh harapan pada peran aktif berbagai lembaga dan potensi
swakarsa masyarakat, yang tak kalah penting adalah kemampuan dari
leading sector di masing-masing dinas dan instansi terkait untuk
melakukan langkah-langkah koordinasi, bersikap proaktif, dan
melakukan revitalisasi terhadap berbagai program pembangunan
kesejahteraan sosial yang selama ini sudah tidak lagi kontekstual
dan sesuai dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.

2. Faktor Penyebab
Meluasnya perkembangan jumlah PMKS di Kota Surabaya selain
karena tekanan kemiskinan dan urbanisasi berlebih, sebenarnya juga
berkaitan dengan banyak faktor. Analisis penulis menemukan faktor
penyebab di balik meluasnya PMKS di Kota Surabaya adalah:

30
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Pertama, daya tarik Kota Surabaya sebagai pusat pertumbuhan


ekonomi di kawasan Indonesia Timur. Sebagai pusat pertumbuhan
pembangunan untuk wilayah Indonesia Timur, akselerasi
perkembangan kota Surabaya —terutama—jelas jauh lebih cepat dari
wilayah hinterland di sekitarnya, sehingga pada perkembangannya
kemudian memicu terjadinya arus urbanisasi berlebih (over urbaniza-
tion). Setiap tahun, boleh dikata arus balik yang terjadi pasca Lebaran
atau Hari Raya senantiasa meningkat, sehingga di satu sisi desa
kehilangan tenaga kerja produktif, sementara kota-kota besar makin
padat karena arus kedatangan migran, baik permanen, semi permanen,
maupun sirkuler.
Kedua, kemampuan kota Surabaya untuk menyediakan fasilitas
publik dan lapangan pekerjaan relatif terbatas, sehingga akibat yang
terjadi kemudian kaum migran cenderung mengembangkan kegiatan
produktif di sektor non-formal, sektor informal, dan bahkan sektor
informal yang ilegal (shadow economy), serta mencari tempat tinggal
di zone-zone yang sebetulnya melanggar hukum, seperti wilayah stren
kali, di kolong jembatan, permukiman liar, dan sejenisnya. Tidak jarang
pula terjadi, bagi kaum migran yang tidak mampu mengembangkan
pekerjaan produktif yang layak, mereka pada akhirnya terpaksa
masuk pada jenis pekerjaan yang termasuk kategori PMKS, seperti
menjadi anak jalanan, WTS, pengemis atau gelandangan.
Ketiga, tekanan kemiskinan di pedesaan yang dialami keluarga-
keluarga miskin menyebabkan mereka tidak memiliki peluang untuk
tetap bekerja di desa, sementara di saat yang sama mereka tidak memiliki
alternatif ketrampilan yang dapat dijadian bekal untuk menyabung
hidup di kota besar. Akibat yang terjadi kemudian, kelompok penduduk
desa miskin seperti ini, sangat potensial terjerumus dalam kehidupan
kota yang keras: bekerja di jalanan, menjadi WTS, pengemis atau
bahkan terpaksa menggelandang tanpa tempat tinggal yang pasti.
Keempat, berkurangnya kesempatan kerja di wilayah pedesaan
akibat proses komersialisasi dan modernisasi pertanian. Banyak bukti
menunjukkan bahwa ketika teknologi mulai memasuki wilayah
pedesaan —khususnya sektor pertanian—dan pola hubungan
masyarakat desa pelan-pelan mulai berubah makin kontraktual, maka
akibat yang tidak terelakkan adalah mulai memudarkan kemampuan
involutif sektor pertanian untuk menampung tenaga kerja yang

31
Tantangan dan Strateginya

ada, sehingga jalan keluar yang dipilih kemudian adalah mereka men-
coba mencari pekerjaan di tempat lain dengan cara berusaha mengadu
nasib ke kota-kota besar yang dinilai lebih membuka peluang untuk
hidup. Dalam hal ini, perbedaan besar upah antara desa dengan kota
adalah faktor tambahan yang menyebabkan kenapa arus migrasi atau
urbanisasi ke kota senantiasa mengalir dari waktu ke waktu.

B. Kondisi PMKS di Kota Pasuruan


Menurut Data BPS Tahun 2017, jumlah penduduk Kota
Pasuruan tahun 2017 sebesar 194.815 jiwa dengan jumlah rumah
tangga sebesar 48.848 rumah tangga, sehingga rata-rata banyaknya
penduduk per rumah tangga adalah 3,99 atau rata-rata 3-4 orang
per rumah tangga. Jumlah penduduk ini terdiri dari 96.598 jiwa laki-
laki dan 98.217 perempuan. Dibanding tahun 2016, jumlah penduduk
Kota Pasuruan mengalami peningkatan sebesar 1486 jiwa.
Sementara itu, terkait dengan persebaran penduduk antar
kecamatan di Kota Pasuruan masih tidak merata. Keadaan ini
sebenarnya terjadi hampir di semua daerah yang tentunya dapat
mencerminkan tingkat pembangunan atau urbanisasi di suatu
daerah. Tidak merata atau timpangnya sebaran penduduk, tampak
lebih jelas jika dikaitkan dengan besarnya variasi luas antar daerah.
Untuk melihat tingkat sebaran penduduk dapat dinyatakan dengan
ukuran kepadatan penduduk.
Kota Pasuruan mempunyai luas wilayah sebesar 35,29 km². Pada
tahun 2017 kepadatan penduduknya sudah mencapai 5.520 jiwa per
km². Kecamatan yang paling luas wilayahnya, yaitu Kecamatan
Bugulkidul sebesar 11,11 km² dengan kepadatan penduduknya hanya
mencapai 2.787 jiwa per km². Kondisi ini sangat kontras dengan
kecamatan yang luas wilayahnya paling sempit yaitu Kecamatan
Panggungrejo dengan kepadatan penduduk mencapai 8.193 jiwa
per km². Kecamatan Panggungrejo merupakan kecamatan dengan
kepadatan paling tinggi.
Penanganan masalah kependudukan dengan memperhatikan
secara seksama karakteristik menurut struktur umur diharapkan
bisa memberikan input analisa optimal. Dari struktur umur pen-
duduk dapat diketahui apakah penduduk termasuk dalam struktur
“muda atau tua”. Struktur penduduk dikatakan muda apabila

32
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

proporsi penduduk usia 0–14 tahun sekitar 40 persen dan dikatakan


tua bila proporsi penduduk usia 65 tahun ke atas mencapai 10 persen
atau lebih.
Data penduduk tahun 2017 memperlihatkan penduduk Kota
Pasuruan kategori umur 0-14 tahun sebesar 26,24 persen; umur 15-
64 tahun sebesar 69,04 persen dan penduduk usia 65 tahun ke atas
sebesar 4,72 persen. Bila dilihat dari struktur umur tersebut maka
penduduk Kota Pasuruan tidak tergolong sebagai penduduk struktur
umur muda. Namun dengan jumlah 26,24 persen ini sudah lebih
dari separuh batasan kreteria umur muda. Hal ini memberikan
implikasi bahwa kelompok umur muda (0-14) tahun perlu
mendapatkan perhatian dan pengembangan sehingga mampu
menghasilkan tenaga-tenaga terampil dan mandiri untuk mengisi
pembangunan di masa yang akan datang.
Besarnya jumlah penduduk usia muda ini juga mengakibatkan
beban tanggungan penduduk usia produktif juga semakin besar.
Secara kasar angka ini dapat digunakan sebagai indikator pengukur
kemajuan ekonomi dari suatu daerah. Rasio ini menyatakan
perbandingan penduduk berusia di bawah 15 tahun dan diatas 65
tahun yang dianggap tidak produktif secara ekonomi dengan jumlah
penduduk berusia 15 sampai 64 tahun yang dianggap produktif secara
ekonomi. Makin tinggi rasio beban tanggungan berarti semakin kecil
jumlah penduduk produktif dan semakin banyak sumber daya yang
harus dibagikan kepada kelompok tidak produktif.
Tahun 2017 rasio beban tanggungan anak di Kota Pasuruan
sebesar 38,01 dan beban tanggungan usia lanjut sebesar 6,84. Angka
beban tanggungan ini berarti bahwa setiap 100 orang penduduk usia
produktif menanggung sekitar 38 orang anak dan 6-7 orang usia
lanjut. Rasio beban tanggungan di Kota Pasuruan pada Tahun 2017
mencapai 44,85 yang berarti bahwa setiap 100 penduduk usia produktif
menangung 44 sampai 45 orang tidak produktif (usia 0-14 dan 65
tahun keatas).
Angka beban tanggungan ini mengalami sedikit penurunan
dibandingkan tahun sebelumnya dimana 100 penduduk usia
produktif di tahun 2016, harus menanggung sebanyak 46 sampai
47 orang penduduk usia 0-14 tahun dan 65 tahun keatas.

33
Tantangan dan Strateginya

Kondisi Kesehatan
Kesehatan adalah hak dasar manusia dan merupakan salah satu
aspek kualitas sumber daya manusia yang penting untuk dicermati.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang sehat secara fisik diharapkan
menjadi manusia berkualitas sehingga dapat ikut berperan dalam
pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Melalui
pembangunan bidang kesehatan diharapkan pelayanan kesehatan
yang memadai dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat dilaksanakan
dengan tindakan nyata misalnya melalui penyediaan berbagai fasilitas
dan sarana kesehatan dilengkapi dengan peralatan medis yang
memadai beserta tenaga medis berkualitas. Selain itu juga upaya
meningkatkan kesadaran masyarakat agar berperilaku sehat.
Mengingat pentingnya peran kesehatan dalam investasi sumber
daya manusia, maka upaya kesehatan perlu dilakukan sejak dini dan
berkesinambungan, yaitu sejak bayi masih dalam kandungan, saat
kelahiran, masa balita, sampai dewasa dan tua. Oleh karena itu, sejak
dini pula harus diperhatikan kondisi lingkungan, status gizi, dan
bagaimana berperilaku hidup sehat.
Pembangunan di bidang kesehatan juga bertujuan agar semua
lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara
mudah, murah dan merata serta untuk meningkatkan derajat keseha-
tan dengan memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan dan standar
pelayanan yang baku dengan didukung oleh tenaga medis yang
memadai, disertai dengan peningkatan kepedulian masyarakat
untuk berprilaku sehat dalam lingkungan yang sehat pula. Dengan
adanya upaya tersebut diharapkan akan tercapai derajat kesehatan
masyarakat yang lebih baik. Tingkat derajat kesehatan menunjukkan
keberhasilan pembangunan suatu bangsa, semakin tinggi tingkat
derajat kesehatan menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan
suatu bangsa semakin baik.
Upaya perbaikan kesehatan masyarakat dikembangkan melalui
Sistem Kesehatan Nasional. Pelaksanaannya diusahakan dengan
meningkatkan partisipasi aktif masyarakat yang diarahkan terutama
kepada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Selain
itu, upaya pencegahan dan penyembuhan penyakit serta peningkatan
pembangunan pusat-pusat kesehatan masyarakat serta sarana

34
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

penunjangnya terus dilakukan oleh pemerintah, seperti puskesmas,


posyandu, pos obat desa, pondok bersalin desa serta penyediaan
fasilitas air bersih. Oleh karena itu, pembangunan yang sedang
digiatkan pemerintah diharapkan dapat berakselerasi positif.
Salah satu faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masya-
rakat adalah keadaan lingkungan, budaya/adat istiadat, konsumsi
makanan bergizi dan pelayanan kesehatan termasuk pengobatan,
teknologi dan aksesbilitas pelayanan kesehatan. Tetapi faktor
terpenting dalam upaya peningkatan kesehatan ada pada manusianya
sebagai subyek dan sekaligus obyek dari upaya tersebut. Upaya
perbaikan kesehatan masyarakat dilakukan dengan peningkatan
partisipasi masyarakat, terutama golongan masyarakat yang ber-
penghasilan rendah. Selain itu upaya pembangunan sarana kese-
hatan juga lebih ditingkatkan seperti Puskesmas, Posyandu dan
sarana penunjang lainnya dalam upaya mencegah dan menyem-
buhkan penyakit.
Pada tahun 2017, jumlah sarana dan prasarana kesehatan di
Kota Pasuruan sudah cukup memadai. Tinggal bagaimana respon
masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas yang sudah disediakan
oleh pemerintah daerah tersebut.

Kondisi Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu aspek untuk meningkatkan
kualitas SDM. Melalui pendidikan, keterampilan dan kemampuan
berpikir seseorang akan bertambah, dan pada akhirnya dapat
dijadikan bekal dalam memasuki dunia kerja. Dengan demikian,
pendidikan dapat dimasukkan sebagai investasi pembangunan yang
hasilnya dapat dinikmati kemudian hari. Dan sebagaimana
pembangunan di bidang lain, pendidikan menjadi salah satu bidang
utama di samping kesehatan dan ekonomi. Pembangunan di bidang
pendidikan baik secara formal maupun non formal mempunyai andil
besar terhadap kemajuan sosial ekonomi masyarakat dan wilayah.
Ukuran dasar tingkat pendidikan adalah kemampuan penduduk 10
tahun ke atas untuk baca-tulis huruf latin atau huruf lainnya (melek
huruf). Kemampuan baca-tulis merupakan kemampuan intelektual
minimum karena sebagian besar informasi dan ilmu pengetahuan
diperoleh melalui membaca.

35
Tantangan dan Strateginya

Angka buta huruf merupakan salah satu indikator yang diguna-


kan untuk membandingkan tingkat kesejahteraan antar wilayah,
mengingat buta huruf selalu identik dengan keterbelakangan serta
ketidakberdayaan yang umumnya menjadi ciri masyarakat marginal.
Disamping itu, pendidikan merupakan proses pemberdayaan
peserta didik sebagai subyek sekaligus obyek dalam membangun
kehidupan yang lebih baik. Mengingat pendidikan sangat berperan
sebagai faktor kunci dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, maka pembangunan di bidang pendidikan meliputi pem-
bangunan pendidikan secara formal maupun non formal. Pem-
bangunan di bidang pendidikan memerlukan peran serta yang aktif
tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat.
Titik berat pendidikan formal adalah peningkatan mutu pendidi-
kan dan perluasan pendidikan dasar. Selain itu, ditingkatkan pula
kesempatan belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Untuk mencapai sasaran tersebut, berbagai upaya dilakukan peme-
rintah, misalnya dengan meningkatkan sarana dan prasarana pen-
didikan, perbaikan kurikulum, bahkan semenjak tahun 1994 peme-
rintah juga telah melaksanakan program wajib belajar 9 tahun dan
sampai saat ini masih terus melanjutkan program wajib belajar 6
tahun. Dengan semakin lamanya usia wajib belajar ini diharapkan
tingkat pendidikan anak semakin membaik, dan tentunya akan
berpengaruh pada tingkat kesejahteraan penduduk.
Pendidikan juga sangat berperan sebagai faktor kunci dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan di
bidang pendidikan meliputi pembangunan pendidikan secara for-
mal maupun non formal. Meskipun pendidikan dapat dilaksanakan
melalui berbagai jalur, namun pendidikan formal tetap diakui sebagai
indikator utama dalam mengukur tingkat pendidikan penduduk
suatu daerah.
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidu-
pan masyarakat yang berperan meningkatkan kualitas hidup. Semakin
tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, semakin baik kualitas
sumber dayanya. Dalam pengertian sehari-hari pendidikan adalah
upaya sadar seseorang untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan
serta memperluas wawasan. Pada dasarnya, pendidikan yang diupaya-
kan bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga masya-

36
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

rakat dan keluarga. Pemerataan kesempatan pendidikan diupayakan


melalui penyediaan sarana dan prasarana belajar seperti gedung
sekolah baru dan penambahan tenaga pengajar mulai dari pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi. Kualitas pendidikan yang lebih baik
akan menghasilkan manusia terdidik yang bermutu dan handal
sesuai dengan tuntutan zaman.
Ukuran yang mendasar di tingkat pendidikan pada tingkat makro
adalah kemampuan baca tulis (melek huruf) penduduk dewasa.
Kemampuan baca tulis merupakan prasyarat untuk penguasaan
pengetahuan dan ketrampilan. Seseorang disebut sebagai mampu
untuk membaca dan menulis apabila orang tersebut dapat membaca
dan menulis kata-kata atau kalimat sederhana dalam aksara tertentu.
Disamping itu, kemampuan membaca dan menulis merupakan
kemapuan intelektual paling mendasar yang harus dikuasai
penduduk, mengingat sebagaian besar informasi dan ilmu pengeta-
huan disajikan melalui media tulisan. Kemampuan membaca dan
menulis tidak terbatas pada huruf latin saja tetapi termasuk juga huruf
lainnya. Kemampuan membaca dan menulis tercermin pada Angka
Melek Huruf (AMH) yaitu persentase penduduk usia 10 tahun keatas
yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya.
Pada Tahun 2017, persentase penduduk Kota Pasuruan yang
berumur 10 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis dengan
huruf latin maupun huruf lainnya (melek huruf) mengalami sedikit
penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Tercatat persentase
melek huruf di tahun 2014 sebesar 98,52 persen dan menurun sedikit
menjadi 97,03 persen di tahun 2017.
Apabila dilihat menurut jenis kelamin, persentase melek huruf
laki-laki lebih besar daripada perempuan. Walaupun begitu,
perbedaan keduanya tidak terlalu mencolok. Persentase melek huruf
laki-laki pada tahun 2017 sebesar 98,50 persen sedangkan perempuan
sebesar 95,64 persen. Kondisi yang mulai berimbang antara laki-
laki dan perempuan ini menunjukkan bahwa partisipasi sekolah
baik laki-laki maupun perempuan sudah tidak diskriminatif gender
lagi. Artinya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang
sama dalam hal pendidikan.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) adalah perbandingan antara
jumlah penduduk usia sekolah tertentu yang sedang sekolah dengan
37
Tantangan dan Strateginya

seluruh penduduk menurut kelompok usia yang sama dikalikan


seratus. Pada penghitungan APS tidak memperhatikan jenjang
pendidikan yang sedang dijalani, karena perhatian utamanya adalah
penduduk usia sekolah yang seharusnya sekolah.
APS dikatakan baik apabila mendekati atau bahkan mencapai
angka seratus, yang berarti setiap anak usia sekolah sedang ber-
sekolah. Angka Partisipasi Sekolah (APS) juga dapat menunjukkan
seberapa banyak penduduk usia sekolah yang memanfaatkan
fasilitas pendidikan yang ada, yaitu dilihat dari penduduk yang
masih sekolah pada umur tertentu. Meningkatnya APS berarti
menunjukkan adanya keberhasilan dibidang pendidikan, utamanya
berkaitan dengan upaya memperluas jangkauan pelayanan pendidikan.
Pada tahun 2017, secara umum persentase penduduk laki-laki
yang berada pada usia sekolah menurut kelompok umur lebih besar
daripada persentase penduduk perempuannya. Akan tetapi khusus
pada kelompok umur 16-18 tahun, persentase penduduk perempuan
justru lebih banyak daripada laki-laki. Walaupun demikian,
perbedaan persentase tersebut tidak terlalu mencolok.
Partisipasi sekolah penduduk umur 7-12 tahun Kota Pasuruan
sudah menunjukkan angka 100 persen baik dari jenis kelamin laki-
laki maupun perempuan. Kondisi ini mengalami peningkatan bila
dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai 99.53 persen.
Partisipasi sekolah umur 13-15 tahun juga mengalami pening-
katan dari 98.18 persen di tahun 2016 meningkat menjadi 98.29
persen di tahun 2017. Partisipasi sekolah untuk perempuan juga
mengalami kenaikan dari 98.88 persen menjadi 98.14 persen.
Berbanding terbalik dengan perempuan, partisipasi sekolah laki-
laki justru sedikit menurun pada tahun 2017. Tercatat partisipasi di
tahun 2016 sebesar 100 persen dan menurun sedikit hingga mencapai
angka 98.40 persen.
Partisipasi sekolah penduduk usia 16-18 tahun di tahun 2017
mencapai 83.12 persen. Angka ini meningkat dibanding tahun
sebelumnya yang hanya mencapai 80.28 persen. Kondisi yang sama
terjadi pula pada baik partisipasi sekolah pada laki-laki maupun
perempuan. Tercatat partisipasi sekolah laki-laki di kelompok umur
ini sebesar 80.22 persen sedangkan perempuan sebesar 85.59 persen.

38
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Pada penduduk kelompok umur 19-24 tahun, partisipasi sekolah


di kelompok umur ini justru mengalami penurunan dari 30.25 persen
di tahun 2016 menjadi 26.85 persen di tahun 2017. Partisipasi sekolah
untuk laki-laki juga mengalami penurunan yang cukup banyak,
sedangkan perempuan justru mengalami kenaikan. Tercatat
partisipasi sekolah kelompok umur 19-24 tahun laki-laki sebesar
32.84 persen dan perempuan sebesar 22.06 persen.

C. Kondisi PMKS Kabupaten Blitar


Pelaksanaan program-program dan anggaran pada Dinas Sosial
Pemerintah Kabupaten Blitar sebagian besar digunakan untuk
memberikan bantuan dalam bentuk hibah (bantuan barang ataupun
uang) dan pembinaan kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) yang terdiri darianak jalanan, eks psikotik, perintis
dan janda perintis, panti asuhan, korban bencana alam, lansia, dan
penyandang cacat dan eks trauma, dll. Dari hasil pelaksanaan program-
program tersebut selama tahun 2011 – 2015 dicapai hasil sebagai
berikut:
Tabel 3.1 Capaian Kinerja Urusan Sosial 2011 - 2015

39
Tantangan dan Strateginya

40
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Sumber: Dinas Sosial, 2015


Ket : *) Sampai dengan semester 1
Jumlah PMKS Kabupaten Blitar dalam periode 2011-2015
meningkat dari tahun ke tahun, bahkan pada tahun 2014 meningkat
sebesar 36,39%. Hal ini disebabkan oleh munculnya PMKS-PMKS
baru yang jumlahnya lebih banyak daripada yang tertangani, seperti
misalnya meningkatnya jumlah eks psikotik dari 19 orang pada
tahun 2013 menjadi 99 orang pada tahun 2014. Jumlah eks psikotik

41
Tantangan dan Strateginya

di Kabupaten Blitar meningkat karena maraknya penggunaan


narkoba di kalangan siswa usia SD, SMP, dan SMA. Hal ini dapat
dilihat dari peserta rehabilitasi yang masih berusia remaja. Juga
meningkatnya jumlah masyarakat miskin sebesar 46,37% yang
menerima bantuan pangan (terdaftar) yang artinya jumlah PMKS
yang ditangani menjadi semakin banyak. Ditambah lagi dengan
jumlah Wanita Rawan Sosial Ekonomi yang terdiri dari eks WTS
baik dari lokalisasi lokal yang telah dibubarkan maupun yang
dipulangkan dari lokalisasi di luar daerah, wanita yang ditinggal
meninggal suami sehingga menjadi miskin, dll. Pemerintah melalui
dana APBD Provinsi memberikan bantuan peralatan sebagai modal
mereka untuk berusaha.
Kabupaten Blitar karena kondisi geografisnya maka rawan
terjadi bencana tsunami, gunung meletus, angin putting beliung,
dll. Bencana yang paling sering terjadi adalah banjir di Kecamatan
Sutojayan dan angin putting beliung di Kecamatan Wonodadi.
Bencana terbesar yang terjadi dalam kurun 2011-2015 adalah letusan
Gunung Kelud pada tahun 2014. Bantuan terbesar bagi korban
erupsi Kelud berasal dari Kementrian Sosial yang mencakup 46 orang
korban bencana, sehingga untuk dana APBD hanya memberikan
bantuan untuk empat orang korban bencana.
Jumlah perintis dan janda perintis dari tahun ke tahun menurun
karena meninggal dunia. Setiap tahun perintis dan janda perintis
mendapat bantuan kecuali pada tahun 2014 karena adanya aturan
penerimaan hibah bahwa setelah menerima dua kali periode maka
harus berhenti menerima satu periode sebelum dapat menerima lagi
pada periode berikutnya.
Dinas Sosial juga menaungi beberapa lembaga sosial yaitu
Lembaga Kosultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) dan Wahana
Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM). LK3 merupakan
lembaga yang memberikan konseling bagi rumah tangga-rumah
tangga yang memiliki permasalahan, yang menangani permasalahan
keluarga berdasarkan aduan dari rumah tangga yang sedang ber-
masalah. Jumlah pasien yang meningkat dari tahun ke tahun
menunjukkan bahwa lembaga ini telah dikenal masyarakat dan semakin
dipercaya oleh masyarakat untuk menangani permasalahannya.

42
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

WKSBM merupakan lembaga yang disediakan untuk kegiatan-


kegiatan kesejahteraan sosialyang melaksanakan melaksanakan kegiatan
menyangkut urusan sosial di desa yang tidak tertangani oleh
Pemerintah Desa, misalnya perawatan jenazah, senam lansia, dll.
Namun pada tahun 2012 hingga 2014 kegiatan WKSBM ditiadakan
karena dana dialihkan untuk kegiatan dan penyuluhan tentang
PMKS karena dipandang lebih perlu untuk dilakukan, mengingat
meningkatnya jumlah PMKS di Kabupaten Blitar.
Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) sukarelawan kesejahteraan
sosial desa termasuk karang taruna desa adalah kader PSM dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) tenaga kontrak kementrian
bertugas pendampingan kegiatan-kegiatan dinas sosial di Kecamatan,
pendataan, verifikasi, validasi data PMKS.

D. Aktor-Aktor Penyelenggara Kesejahteraan Sosial


Dalam menciptakan kesejahteraan sosial di daerah tentu ada aktor-
aktor yang berperan di dalamnya agar dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Selain pemerintah kota khususnya Dinas sosial, SATPOL
PP, ada LSM, komunitas, dan masyarakat sipil (civil society).
1. Dinas Sosial
Dinas Sosial merupakan Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
sebagai unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dinas
Sosial mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan sebagian
urusan rumah tangga daerah di bidang sosial. Dinas Sosial bertugas
sebagai pelaksana dalam kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh
Pemerintah Kota, salah satu pelaksanaan kebijakan yang menjadi
tanggung jawab Dinas Sosial adalah kebijakan yang menyangkut
permasalahan sosial, termasuk mengenai kebijakan penanganan
PMKS.
Mengacu pada Keputusan Walikota anak jalanan dimasukkan
sebagai salah satu kategori dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS). Keputusan Walikota ini menyatakan bahwa untuk
melakukan penanganan terhadap PMKS perlu dilakukan dengan
upaya koordinasi secara terpadu dengan mengikutsertakan seluruh
komponen, baik dari pihak pemerintah maupun non pemerintah,
juga peran serta masyarakat luas dalam pelaksanaan kebijakan ini.

43
Tantangan dan Strateginya

Untuk mempermudah dalam pelaksanaan kebijakan tersebut,


dibentuk suatu Komite Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
di bawah pengarahan dari Walikota dan dibawah tanggungjawab
dari Sekretaris Daerah serta Asisten Administrasi Daerah.
Untuk dapat mewujudkan penyelenggaraan otonomi daerah
yang benar-benar sehat atau untuk mewujudkan kesesuaian antara
prinsip dan praktek penyelenggaraan Otonomi Daerah, maka Peme-
rintah Kota dengan Dinas sosial sendiri mempunyai tugas dan fungsi
yang cukup spesifik, yakni mengurusi masalah sosial yang ada.
Kewenangannya berupa meningkatkan kesejahteraan sosial. Hal
ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial yang sejahtera. adanya Dinas Sosial diharap
dapat menciptakan kesejahteraan sosial dan kualitas hidup sesorang
pun akan lebih baik jika kondisi permasalahan kesejahteraan sosial
dapat teratasi.

Bidang Rehabilitasi Sosial


Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan
mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi
sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar, secara
persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun
panti sosial dalam bentuk motivasi dan diagnosis psikososial, pelati-
han vokasional, dan pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental
spiritual, fisik, sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesbi-
litas, bantuan dan asistensi sosial, bimbingan dan resosialisasi,
bimbingan lanjutan dan rujukan.

Bidang Pemberdayaan Sosial


Pemberdayaan sosial dimaksudkan untuk memberdayakan
Penyandang Maslah Kesejahteraan Sosial (PMKS) agar mampu
memenuhi kebutuhan secara mandiri. Selain itu juga untuk mening-
katkan peran serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai Potensi
dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial. Pemberdayaan Sosial dilakukan melalui: pening-
katan kemauan dan kemampuan, penggalian nilai-nilai dasar, potensi
dan sumber daya, pemberian akses, dan pemberian bantuan usaha.

44
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Bidang Perlindungan Sosial


Perlindungan sosial dimaksudkan agar seseorang, keluarga,
kelompok atau masyarakat yang mengalami guncangan dan keren-
tanan sosial dapat tetap hidup secara wajar, baik bersifat sementara
dan berkelanjutan dalam bentuk: bantuan langsung, penyediaan
aksesbilitas, atau penguatan lembaga. Penyelenggaraan kesejahteraan
sosial di prioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang
tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial.
2. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpoll-PP)
Keberadaan Polisi Pamong Praja pada era kolonial sejak VOC
tahun 1860 menduduki Batavia dibawah pimpinan Gubernur Jenderal
Pieter Both, bahwa kebutuhan untuk memelihara ketentraman dan
ketertiban penduduk diperlukan, karena pada waktu itu kota Batavia
sedang mendapat serangan secara sporadis dari pasukan lokal dan
tentara Inggris serta meningkatnya gangguan penduduk yang
berupa pencurian, perampokan dan perkelahian. Untuk menyikapi
hal itu, VOC membentuk BAILLUW, semacam Polisi yang merangkap
Jaksa dan Hakim yang bertugas menangani perselisihan hukum yang
timbul antara VOC dan warga serta menjaga Ketertiban dan
Ketenteraman warga.
Pada masa pasca Gubernur Jenderal Raffles, BAILLUW dikem-
bangkan dengan dibentuk satuan yang lainnya yang disebut Bestuurs
Politie atau Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu Pemerintah
di tingkat kawedanan untuk tugas ketertiban dan ketenteraman,
keamanan. Selanjutnya menjelang akhir era kolonial, dalam hal ini
pada masa penjajahan Jepang, organisasi kepolisian mengalami
perubahan besar dan dalam prakteknya menjadi tidak jelas. Dimana
secara struktural Satuan Kepolisian, Polisi Pamong Praja bencampur
baur fungsi dengan kemiliteran. Pada masa kemerdekaan yang
tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945, Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian Organisasi Kepolisian
karena belum ada secara definitif mengalami beberapa pergantian
nama namun tugas dan fungsinya sama.
Pada tahun 1950 secara konstitusional ditetapkan dengan Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Up. 32/2/21 tanggal 3 Maret
1950 secara resmi dengan sebutan “Satuan Polisi Pamong Praja”

45
Tantangan dan Strateginya

Undang-undang No. 22 Tahun 1999, Satuan Polisi Pamong Praja


sebagai Aparat Pemerintah Daerah (Desentralisasi). Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 tentang
Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja.

46
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Penanganan PMKS 4
di Kota Surabaya

Kondisi PMKS di Surabaya, tetap banyak meski telah dilakukan


sweeping secara berkala, khususnya anak jalanan dan pengemis.
Hampir sebagian besar hasil dari sweeping di Kota Surabaya, anak
jalanan maupun pengemis bukan berasal dari kota Surabaya. Hal
ini setidaknya disampaikan oleh Narko, Kasi Rehabilitasi Sosial,
dan Tuna Sosial, Bidang Rehabilitasi Sosial. Karena itu, Dinsos
Surabaya berupaya secara terus menurus untuk melakukan proses
penanganan PMKS secara intensif.
Menurut Annisa, pegawai di Seksi Rehabilitasi dan Tuna Sosial
Dinsos Kota Surabaya, penanganan PMKS dimulai dari adanya
laporan dari masyarakat yang kemudian kita tindak lanjuti dengan
proses eksekusi (penjemputan dan rehabilitasi). Hampir setiap setiap
hari kami keluar untuk melakukan kegiatan tersebut, meski ada
jadwal khusus tiap minggunya untuk keliling kota Surabaya.
Di bidang yang kami tangani (rehabilitasi), kegiatan utama kami
adalah pendataan dan proses rehabilitasi. Dalam beberapa kegiatan
kami melibatkan Satpol PP Kota Surabaya, seperti sweeping anak
jalanan dan pengemis. Untuk kasus WTS agenda yang sedang kita
lakukan adalah pendampingan dan pembinaan melalui pembekalan
keterampilan kepada WTS1.
1
Wawancara Dengan Nisa Dan Narko Bidang Rehabilitasi Dinsos Kota Surabaya
Pada Juli 2017

47
Tantangan dan Strateginya

Perda No 2 Tahun 2014 tentang Ketenteraman dan Ketertiban


Umum sebagai dasar penertiban PMKS yang berada di Kota
Surabaya. Melalui perda tersebut setiap kegiatan penanganan PMKS
dilakukan. Kebijakan teknis yang dilakukan adalah pemantauan
berkala terhadap PMKS yang sedang dalam proses rehabilitasi baik
yang berada di rumah maupun di tempat rehabilitiasi.
Melalui Pelaksanaan Perda tersebut proses penangganan PMKS
yang dilakukan Kota Surabaya cukup serius dan tegas. Baru-baru
ini,, pemerintah Kota menegaskan penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS), termasuk pengemis, tidak boleh beroperasi di jalanan
Kota Pahlawan. Hal ini disampaikan langsung oleh Walikota
Surabaya, Tri Rismaharini. Ia mengancam akan memproses hukum
pengemis bandel, terutama yang sudah berulang kali terjaring razia.
Penegasan ini disampaikan Risma ketika hendak memulangkan 54
orang PMKS ke daerah asalnya di beberapa kota di Jawa Timur.
Mereka terjaring saat beroperasi di Surabaya selama Ramadan lalu.
Risma menerangkan Pemkot Surabaya memiliki peraturan
daerah (Perda) yang mengatur larangan PMKS beroperasi di
Surabaya, yakni Perda Nomor 2 Tahun 20142 tentang Ketenteraman
dan Ketertiban Umum. Dari studi dokumen yang dilakukan oleh
peneliti terlihat dalam Pasal 36 dinyatakan, setiap orang dilarang
beraktivitas sebagai pengemis, mengkoordinir untuk menjadi
pengemis, mengeksploitasi anak atau bayi untuk menjadi pengemis,
serta memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis.
Menurut Dinas social Kota Surabaya memiliki data lengkap
terkait hal ini, “Kami punya datanya. Jadi kalau sampai kembali
lagi dan tertangkap lagi, kami tahu dan kami tidak segan akan
memproses melalui jalan hukum. Karena di Surabaya ada Perda
yang melarang,”.
Melalui langkah tegas sebagaimana disampaikan Walikota, maka
kini Kota Surabaya menjelma menjadi Kota Metropolitin yang zero
pengemis. Padahal sebagai kota besar, Surabaya ada ladang yang
empuk bagi para pengemis mengais rezeki. Tetapi Pemerintah Kota
(Pemkot) Surabaya bersikap tegas. Pengemis, gelandangan, anak jalanan

2
Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan
Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat

48
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

(anjal), orang gila (psikotik) hingga pengamen akan ‘disapu’. Tim


Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) secara rutin melakukan razia.
“Mereka dirazia dan dibawa ke Liponsos untuk dirawat hingga
sembuh bagi yang psikotik. Bagi anjal akan dibawa ke kampung
anak negeri untuk dibekali keterampilan,” kata Kepala Satpol PP
Kota Surabaya Irvan Widyanto
Untuk menertibkan Kota Surabaya dari pengemis hingga anjal,
Satpol PP membentuk sejumlah tim khusus agar bisa maksimal dan
fokus melaksanakan tugasnya.
Salah satu tim yang bertugas untuk menertibkan pengemis dan
anjal dari jalanan, adalah Tim Kaypang. Tim yang terdiri dari pria
dan wanita juga tidak libur bergentayangan mencari pengemis yang
memanfaatkan momentum ramadan hingga lebaran. Alhasil, 38
Pengemis diamankan selama ramadan hingga H1 Lebaran.
Tim Kaypang, dibentuk3 Irvan bertugas secara senyap dan tepat,
tanpa menimbulkan kegaduhan saat penyergapan di lapangan.
Sebab, kata Irvan, tim khusus ini sudah dibekali jurus alias prosedur
tetap yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kita juga selalu berkoordinasi dengan kepolisian dan Gartap
III agar tidak terjadi kesalahpahaman saat penyergapan di lapangan,”
kata Irvan yang juga Plt Kepala Badan Penaggulangan Bencana dan
Linmas Kota Surabaya ini.
Keseriusan Kota Surabaya dalam menanggulangi masalah
gelandangan pengemis, dan anak jalanan serta PMKS yang lain juga
terlihat saat Benjamin, bule pengemis asal Jerman yang diamankan
anggota Satpol PP Kota Surabaya akan dipulangkan ke negara
asalnya. Pemulangan dilakukan setelah dilakukan penyelidikan oleh
petugas imigrasi.

3
Tim Kaypang Dibentuk Pada Tahun 2013. Saat Itu Sebanyak 15 Anggota Satpol
Yang Terdiri 6 Perempuan Dan Sisanya Laki-Laki Yang Terpilih Menjadi Bagian Dari Tim
Khusus Pembersihan Gelandangan, Pengemis, Anak Jalanan, Pengamen Hingga Orang
Gila. Anggota Yang Terpilih Dalam Tim Kaypang, Mendapatkan Pelatihan Tentang Cara
Menangani Penertiban Sasaran. Tim Kaypang Pun Dibagi Dalam Tiga Regu. Masing-
Masing Regu Berisikan 5 Petugas. Tim Ini Merupakan Tim Gerak Cepat Untuk Operasi
Senyap. Menurut Satpol Pp Terdapat Sejumlah Tim Yang Telah Dibentuk, Yakni Tim
Odong-Odong, Undur-Undur, Kung Fu Panda Hingga Tim Asuhan Rembulan, Pinky
Trail. Nama Nama Tim Khusus Satpol Pp Surabaya Ini Memang Membuat Tersenyum
Yang Mendengarnya.

49
Tantangan dan Strateginya

Seperti diketahui, Benjamin ditangkap aparat Satpol PP Kota


Surabaya, karena mengemis di perempatan Jalan Kayoon Surabaya.
Informasi penangkapan itu langsung mendapat respon petugas
imigrasi. Tampak, sejumlah petugas Kantor Imigrasi Kelas I Surabaya
mendatangi lingkungan Pondok Sosial atau Liponsos Keputih
Surabaya untuk menemui langsung Benjamin.
Proses penanggulangan PMKS tidak hanya dilakukan dengan
cara penertiban dan penindakan tetapi juga pencegahan, beberapa
kebijakan telah dilakukan dalam upaya untuk melakukan langkah
langkah preventif di antaranya program penanganan anak putus
sekolah berasal dari keluarga PMKS. Anak putus sekolah diakibat-
kan karena kurangnya perhatian orang tua dan pengaruh negatif
dari lingkungan. Secara sosial, anak mempunyai perilaku selalu ingin
tahu. Maka itu, perlu adanya perhatian khusus dari orang tua untuk
bisa mengontrol tingkah laku yang dilakukan anak di luar rumah.
Anak yang kurang perhatian akan menjadi anak rentan
bermasalah sosial seperti terancam putus sekolah. Guna menanggu-
langi permasalahan sosial tersebut, Dinsos meluncurkan program
Campus Connecting People. Program ini bertujuan untuk mem-
berikan role model bagi anak-anak sebagai pengganti orang tua atau
keluarga. Mampu menangani persoalan sosial anak, tidak ada anak
usia sekolah yang putus sekolah dengan alasan apapun, tidak adanya
anak jalanan dan anak rentan yang berpotensi menjadi anak jalanan.
Terakhir supaya terbentuk kepedulian sosial antar warga Surabaya.
Program ini nantinya akan dilakukan bekerja sama dengan
Perguruan Tinggi yang ada di Surabaya. Dinsos akan melibatkan
mahasiswa untuk melakukan pendampingan bagi anak PMKS.
Sehingga, nantinya tidak ada lagi anak Surabaya yang putus sekolah
maupun tidak sekolah. Satu mahasiswa akan mendampingi satu
anak, disesuaikan dengan jenis kelamin dan agama. Mereka juga
diberikan buku panduan ketika melakukan pendampingan,” jelasnya.
Tak hanya itu, program akademi wirausaha yang pesertanya
dikhususkan bagi anak-anak jalanan. Di akademi wirausaha ini,
mereka diberikan pelatihan kerja maupun usaha sesuai dengan
kemampuan mereka.
PSK yang sudah berhenti telah diajak untuk masuk akademi
usaha, supaya pasca mereka tidak lagi bekerja sebagai PSK sudah
50
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

memiliki usaha yang halal. Bagi yang ingin bekerja di perusahaan


akan selalurkan, sedangkan yang murni ingin berwirausaha akan
dibantu permodalan usaha.
Dari analisis data yang peneliti lakukan program ini sesungguh-
nya merupakan pengejewantahan dari Intruksi Walikota Surabaya
nomor 2 tahun 2017 tentang pemuktahiran data PMKS dan potensi
sumber kesejahteraan sosial PSKS tahun 2017.
Langkah yang dilakukan Walikota Surabaya dengan menin-
truksikan seluruh OPD untuk mendata ulang kembali PMKS di
Surabaya. Langkah yang dilakukan Walikota patut diberi apresiasi
karena data merupakan salah satu kunci keberhasilan intervensi
yang akan dilakukan Dinsos.
Beberapa intervensi yang perlu dilakukan bagi PMKS di
Surabaya. Yang akan dilakukan Dinsos masuk pada kategori pemberda-
yaan sosial dengan melakukan pemberdayaan terhadap anak untuk
lebih cepat maju. Pemerintah Kota Surabaya yakin melalui program
akademi wirausaha dan campus connecting people ini bisa menyelesai-
kan persoalan sosial di Surabaya terutama permasalahan anak putus
sekolah.
Upya Preventif lainya dilakuakn oleh pemerintah Kota Surabaya
melalui pemberdayaan di Liponsos yang ada. Pemberdayaan gelan-
dangan dan pengemis yang dilakukan oleh pihak dinas sosial bersifat
kompleks, artinya bahwa sebelum diadakannya pelatihan para gepeng
terlebih dahulu diberikan bimbingan-bimbingan, serta pelatihan
keterampilan yang prosesnya adalah sebagai berikut:
1. Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas
sosial kepada para PMKS yang berada di tempat penampungan
Liponsos. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna
menumbuhkan rasa percaya diri serta spiritualitas para gelandangan
dan pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan
rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya.
Selain itu, mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar, hanya
saja belum memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam
memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Penuturan dari Doni (31
tahun) sejak kepindahannya ke Surabaya, dia mengaku kesulitan

51
Tantangan dan Strateginya

mencari lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kapasitasnya yang


hanya lulusan SD. Hingga diapun terpaksa mengemis di jalanan
demi sesuap nasi.
Bimbingan mental ini dilakukan olah Dinas sosial dengan
mendatangkan psikolog dari RSJ Lawang dan RSJ Menur. Mereka
melakukan therapy setiap 2 minggu sekali, metode therapy yang
mereka pakai adalah therapy individu dan therapy kelompok. Therapy
ini dilakukan di sebuah ruangan yang biasa mereka pakai sebagai
ruang pertemuan. Therapy individu ini mencoba mengorek tentang
awal mula serta motif mereka hidup bergelandang dan mengemis,
setelah itu mereka diberikan penyadaran serta pencerahan dalam
therapy kelompok.
Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis (gepeng)
yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan,
ada yang memasang muka memelas ada juga yang dengan santainya
mengikuti semua proses dalam therapy ini, dalam therapy individu
dilakukan pengecekan terhadap semua gelandangan dan pengemis
(gepeng) satu persatu secara psikis, ada yang kelihatan sangat
ketakutan pada saat para psikolog dari RSJ Lawang dan RSJ Menur
memberi pertanyaan kepada mereka, ada juga yang sangat berani
dan bahkan membantah perkataan para psikolog. Reaksi mereka
bermacam-macam ada yang pasrah dam nurut, ada yang menolak
karena takut dan ada juga yang acuh tak acuh terhadap proses therapy
ini. satu atau dua kali therapy belum ada perubahan apapun yang
terjadi pada mereka. Baru setelah beberapa kali therapy ada beberapa
gelandangan dan pengemis (gepeng) yang menunjukkan perubahan
menjadi lebih baik, hal ini ditunjukkan pada sikap dan tingkah
laku mereka. Selebihnya tidak ada perubahan apapun.
Menurut dr. Budiono (45 th) salah satu Dokter dari RSJ Lawang
pada umumnya gelandangan dan pengemis (gepeng) yang terjaring
berasal dari luar kota, motif mereka bermacam-macam ada yang
memang tidak mempunyai keluarga, ada yang memang asli berprofesi
sebagai pengemis, ada juga yang terpaksa menggelandang dan
mengemis karena tuntutan hidup di kota yang sangat keras dan serba
sulit. Tapi pada dasarnya, para gelandangan dan pengemis (gepeng)
sehat secara mental. Kecuali para gelandangan psykotik yang memang
sudah sakit jiwa saat mereka turun di jalanan. Golongan ini adalah

52
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

golongan yang paling parah yang memerlukan penanganan


psikologis secara intensif.
Sedangkan menurut penuturan salah satu gelandangan dan
pengemis (gepeng) yang bernama Tarno (47 th) dia hidup meng-
gelandang karena dia tidak punya rumah dan sudah tidak mempunyai
keluarga, dia lebih senang hidup dijalanan dari pada di Liponsos
karena di tempat ini mereka selalu diatur dan disuruh-suruh, dia
tidak bisa melakukan sesuatu sesuka hatinya, dan itu yang membuat
dia ingin keluar, “tempat ini sudah mirip penjara” begitu ujarnya.
2. Bimbingan Kesehatan
Bimbingan kesehatan dari Dinas Kesehatan kota Surabaya
dilakukan 1 bulan sekali, hal ini bertujuan untuk memberikan
penyadaran kepada mereka tentang pentingnya kesehatan, baik
kesehatan tubuh maupun lingkungan. Mereka juga diberikan
penyuluhan tentang bahaya AIDS serta bagaimana proses berkem-
bangnya penyakit tersebut.
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan,
terlebih dahulu para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)
diberikan fasilitas penanganan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan
bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan
kesehatan dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan
badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya mandi,
gosok gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan
di jalanan yang sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan
dan pengemis (gepeng) tentu masih merasa kesulitan untuk
menerapkan gaya hidup sehat sehingga apa yang diperoleh dalam
bimbingan kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan
mereka di Liponsos, ini juga terlihat pada lingkungan Liponsos yang
sangat kotor dan kumuh, mereka sama sekali tidak peduli akan hal
itu dan terkesan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar, bahkan
para wanita tuna susila (WTS) yang tertampung di Liponsos juga
masih belum memahami betul tentang bahaya seks bebas yang
merupakan pemicu penyakit AIDS. Dalam hal ini, peneliti pernah
mencoba mewawancarai seorang WTS yang tertampung di Liponsos
bernama Meli (35 th) dia mengaku belum faham tentang bahaya
penyakit AIDS karena belum pernah terjangkit penyakit berbahaya

53
Tantangan dan Strateginya

tersebut, bahkan Meli masih belum meresa jera dengan profesinya


karena menurutnya itu adalah satu-satunya sumber penghasilan.
Ini merupakan indikasi bahwa para penyandang masalah kesejah-
teraan sosial (PMKS) yang ada di Liponsos masih belum paham
tentang pentingnya kesehatan. Meskipun seperti itu keadaannya,
tapi pihak dinas kesehatan beserta dinas sosial selalu berusaha untuk
tetap menyadarkan mereka tentang pentingnya kesehatan. Usaha-
usaha tambahan pun mereka lakukan diantaranya adalah mengada-
kan olah raga setiap pagi seperti senam dan lari pagi, kegiatan ini
dimulai pada pukul 06.00 wib dipimpin oleh pegawai dinas sosial
secara bergantian. Dan ternyata, usaha ini lebih berhasil dibanding-
kan dengan memberikan ceramah-ceramah dalam bimbingan kesehatan.
Akan tetapi, menurut penuturan salah satu pegawai Liponsos
yang menangani para gelandangan dan pengemis (gepeng) Yusron
(57 th) setelah mendapatkan bimbingan kesehatan sebagian dari
para gelandangan dan pengemis (gepeng) mulai rajin membersihkan
diri, yang dulunya kalau mandi harus dipaksa dan dimandikan,
sekarang mereka sudah mau mandi sendiri, dan setiap ada kerja
bakti membersihkan Liponsos mereka banyak yang ikut tapi lama
kelamaan mereka bermalas-malasan lagi.
3. Bimbingan Ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1
bulan sekali, dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata
tertib lalu lintas, serta peraturan di jalan raya, sehingga para gelan-
dangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran di jalan raya, karena
keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu keamanan serta
ketertiban lalu lintas.
Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas
sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak
kepolisian setempat. Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama
mengikuti wejangan dari pak polisi para gelandangan dan pengemis
(gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka takut berhadapan
dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis
(gepeng) di jalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut
ditangkap dan kemudian dipenjarakan. Itu merupakan trauma
tersendiri bagi mereka, hal ini juga disampaikan oleh Joyo (36 th)
salah satu pengemis yang mengikuti bimbingan ketertiban. Dia
54
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

selalu mengikuti bimbingan ketertiban karena dia takut dimarahi


oleh polisi-polisi itu.
Menurut Sugianto (47 th), salah satu staff Dinas Sosial Keputih
Surabaya, meskipun para gelandangan dan pengemis (gepeng) sudah
diberikan bimbingan ketertiban setiap 1 bulan sekali mereka masih
tetap saja melanggar, buktinya banyak diantara para gelandangan
dan pengemis (gepeng) yang keluar masuk Liponsos, artinya setelah
mereka terjaring razia dan kemudian dikeluarkan ternyata setelah
diadakan razia lagi, mereka terjaring lagi. Hal ini sudah terjadi
berulang-ulang kali.
4. Bimbingan Keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak
dinas sosial, guna untuk menguatkan kembali spiritualitas para
gelandangan dan pengemis. Bagi gepeng muslim, mereka dibina oleh
oleh Bapak. Hisyam salah satu staff dinas sosial dan Hj. Toyyibah.
Kegiatan mereka antara lain adalah yasinan setiap hari Kamis malam
Jum’at, ngaji rutin setiap hari Rabu dan Kamis untuk gepeng laki-
laki. Untuk gepeng perempuan setiap hari Jum’at dan Sabtu. Setiap
kegiatan tersebut diselingi dengan siraman rohani.
Sedangkan untuk gepeng Kristen, mereka diberikan pembinaan
setiap hari Selasa oleh gereja Betani dan Gereja persatuan masyarakat
kota. Menurut Bapak Hisyam (55 th) dalam menangani para gelan-
dangan dan pengemis (gepeng), diperlukan kesabaran ekstra karena
mereka terbiasa hidup keras dijalanan sehingga pembawaan mereka-
pun kasar, saat disuruh ikut kegiatan mengaji atau yasinan ada
sebagian gelandangan dan pengemis (gepeng) yang menolak untuk
ikut, justru kebanyakan yang aktif mengikuti adalah para gelandangan
psykotik konon katanya para gelandangan psykotik kebanyakan
berasal dari pesantren, mereka banyak yang hafal Al-qur’an. Dalam
kegiatan ini, tidak ada unsur paksaan, bagi yang ingin mengikuti
mereka dipersilahkan dan bagi yang tidak ingin ikut mereka
diperbolekan tetap diam diruangan.
Setelah peneliti mengamati kegiatan keagamaan tersebut,
ternyata memang sedikit sekali yang antusias mengikutinya, bahkan
para pegawai Liponsos harus bekerja keras untuk ngobraki mereka
supaya mengikuti kegiatan tersebut. Tapi, ada juga sebagian

55
Tantangan dan Strateginya

gelandangan dan pengemis (gepeng) yang rajin mengikuti bimbingan


keagamaan hampir semua kegiatan mereka ikuti tanpa terkecuali.
Dari analisis data yang penulis lakukan, ditemukan sejumlah
faktor penghambat dan faktor pendukung dari pemberdayaan yang
dilakukan di Liponsos, yakni, faktor pendukung terdiri atas:
- Mendapatkan dukungan dari banyak pihak, terutama masyara-
kat. Seluruh bentuk penanganan yang dilakukan oleh dinas
sosial terhadap para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang
tertampung di Liponsos keputih ini cukup menarik simpati dan
dukungan dari banyak pihak, baik dari departemen pemerintahan
seperti dinas kesehatan, dinas pertanian dan dinas perikanan
maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ada di Surabaya
yang selalu memberikan dukungan moral maupun material
terhadap para gelandangan dan pengemis yang tertampung.
- Mempunyai pelatih yang sesuai dengan bidangnya. Dalam upaya
penanganan gelandangan dan pengemis di Liponsos, pihak dinas
sosial telah mendatangkan nara sumber serta pelatih yang sesuai
dan berkompeten di bidangnya. Seperti mendatangkan psikolog
dari RSJ Lawang dan RSJ Menur untuk bimbingan mental,
mendatangkan pihak dinas kesehatan untuk bimbingan
kesehatan, mendatangkan ustadz untuk bimbingan keagamaan,
mendatangkan pihak kepolisian untuk bimbingan ketertiban
dan mendatangkan pengusaha kayu untuk pelatihan keteram-
pilan pertukangan kayu.
- Mempunyai ruangan tersendiri untuk melakukan setiap kegiatan.
Meskipun ruangan untuk menampung para penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS) sangat terbatas. Akan tetapi,
Liponsos memiliki sebuah ruangan untuk melakukan kegiatan-
kegiatan yang telah diagendakan oleh pihak dinas sosial.
Sedangkan faktor penghambat proses penanganan gelandangan
dan pengemis (gepeng) antara lain adalah sebagai berikut:
- Terbatasnya jumlah pegawai Dinas Sosial. Dengan jumlah
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang mem-
bludak di Liponsos, yaitu lebih dari 600 orang, pegawai dinas
sosial yang jumlahnya terbatas jelas merasa kesulitan dan

56
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

kualahan dalam menanganinya, sehingga hal ini menjadi faktor


penghambat yang paling besar pengaruhnya.
- Minimnya dana dari pemerintah. Untuk menangani gelandangan
dan pengemis yang jumlahnya sangat banyak tersebut diperlu-
kan biaya yang cukup besar. Akan tetapi, menurut Sujiati, dana
yang turun dari pemerintah sangat terbatas, sehingga penanga-
nan yang dilakukan oleh pihak dinas sosialpun kurang begitu
maksimal
- Keadaan Liponsos4 yang kurang mendukung. Keadaan ling-
kungan pondok sosial (Liponsos) yang kumuh dan kotor tersebut
membuat banyak pihak enggan untuk sekedar berkunjung ke
sana, sehingga lingkungan tidak kondusif dan membuat para
penghuni Liponsos semakin bermalas-malasan dan terbiasa
hidup kotor.
Kebijakan selanjutnya yang dilakukan oleh Dinsos Kota Surabaya
adalah program Campus Social Responsibility. Program ini adalah
salah satu langkah Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Sosial
Kota Surabaya untuk mengatasi permasalahan anak Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Program Campus Social
Responsibility adalah program kerjasama yang dilakukan antara
Dinas Sosial Kota Surabaya dengan Universitas di Surabaya guna
melakukan pendampingan terhdap anak PMKS dengan menerjunkan
sukarelawan dari universitas dalam hal ini adalah para mahasiswa/
mahasiswi.
Program Campus Social Responsibility tidak dapat muncul secara
tiba-tiba tanpa ada landasan hukum yang mendasarinya, program
ini didasari oleh Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, tepatnya pada
pasal 10 bagian 1 dan 2 yang menyebutkan:( Pasal 10 bagian 1:
Penyelenggaraan Kesejateraan Sosial ditujukan kepada PMKS
baik secara perorangan, keluarga, kelompok sosial, maupun masya-

4
Menurut Data Yang Ada Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Di Kota Surabaya,
Jawa Timur, Kelebihan Kapasitas. Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(Pmks) Di Wilayah Ini Mencapai 1.549 Orang. Sementara Kapasitas Gedungnya, Hanya
Berdaya Tampung 1.000 Orang. ýDari 1.549 jiwa di Liponsos itu, didominasi penderita
psikotik (keterbelakangan mental), yaitu 1.316 orang. Disusul gelandang pengemis
sejumlah 211 orang, WTS (Wanita Tuna Susila) ada 12 orang, anAk Jalanan Ada Delapan
Orang Dan Waria Ada Dua Orang.

57
Tantangan dan Strateginya

rakat.( Pasal 10 bagian 2:( PMKS sebagaimana dimaksud pada ayat


1 adalah mereka yang tergolong pada salah satu atau lebih kategori
permasalahan kesejahteraan sosial sebagai berikut:
1. Kemiskinan;
2. Keterlantaran;
3. Kecacatan;
4. Ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;
5. Korban bencana;
6. Korban tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi Pada
pasal 10 bagian 2, penyelenggaraan pendidikan masuk pada
bagian kemiskinan dan keterlantaran dimana peningkatan
derajat dan pemberian pelayanan pendidikan.
Dari analisis yang peneliti lakukan, terlihat bahwa Komunikasi
antarorganisasi dimulai dari pihak Dinas Sosial sebagai pembuat
program dengan melakukan komunikasi berupa kerja sama dengan
pihak perguruan tinggi, TKSK, yaitu RT/RW hingga Pemerintah
Daerah Kota Surabaya. Hal ini ditujukan agar dalam perumusan awal
program dapat sesuai dengan kondisi di lapangan sehingga program
yang telah dibentuk dapat berjalan dan tepat sasaran.
Jika komunikasi yang dilakukan kurang oleh pihak-pihak
terkait, maka dimunginkan koordinasi yang dilakukan tidak
berjalan dengan baik, Karena banyak muncul misskomunikasi antar
instansi pelaksana tersebut. Dalam program CSR ini pihak yang
terkait pelaksanaan adalah Perguruan tinggi, TKSK yaitu perwakilan
dari kecamatan, OPD dan Dinas Sosial jika muncul permasalahan
dan mencari solusinya.
Berdarkan hasil pemaparan dari implementor melalui wawancara
oleh peneliti menunjukkan komunikasi yang dilakukan oleh tiap-
tiap instansi berjalan dengan baik, jadi ada komunikasi dalam bentuk
laporan yang dibuat oleh kakak pendamping yang dilaporkan ke
TKSK, dan TKSK akan melaporkan ke Dinas Sosial. Akan tetapi,
peneliti beranggapan bahwa komunikasi yang dijalin masih kurang
maksimal terbukti ketika ada pendamping yang tidak melakukan
pendampingan, pihak Dinas Sosial membiarkan dan tidak mencoba
untuk menghubungi kakak pendampingnya tidak melakukan
pendampingan tersebut.
58
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Dalam hal ini, secara keseluruhan yang diteliti adalah pelaksanaan


program CSR Dinas Sosial. Sehingga banyak faktor yang mempenga-
ruhi bagaimana program ini berjalan. Program ini diterbitkan didasari
atas banyaknya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
yang ada sehingga program ini dibuat.
Pokok pembahasan adalah pelaksanaan program CSR dimana
program CSR adalah program yang diperuntukkan bagi PMKS
Khususnya anak putus sekolah dan rentan putus sekolah yang
tinggal di kota Surabaya. Berdasarkan hasil penilitian, program ini
sudah terlaksana dengan baik, jumlah anak putus sekolah pada
tahun 2014 sebelum ada program CSR mencapai 162 adik asuh dan
setelah ada program CSR jumlah anak putus sekolah tinggal 72 adik
asuh, dengan begitu yang sudah kembali melanjutkan sekolah
sebanyak( 90 adik asuh dan untuk anak rentan putus sekolah yang
sebelumnya berjumlah 53 adik asuh dan setelah ada program CSR
berkurang 53 adik asuh atau dapat dikatakan adik asuh rentan putus
sekolah sepenuhnya sudah kembali melanjutkan sekolahnya. Namun
jika dilihat dari sistem pendampingan satu adik asuh didampingi
dengan satu kakak pendamping dengan begitu dapat dikatakan
masih kurang maksimal karena masih ada yang belum teratasi.
Dilihat dari tujuan Program CSR ini, memang pemerintah ingin
memberikan yang terbaik bagi Kota Surabaya terkait penanganan
PMKS, khususnya anak putus sekolah. Dengan begitu, Surabaya
terbebas dari anak putus sekolah. Secara keseluruhan, ukuran dan
tujuan program CSR Dinas Sosial sudah tercapai dan terlaksana
dengan baik.
Sumberdaya yang tersedia untuk melaksanakan program Cam-
pus Social Responsibility antara lain adalah sumberdaya manusia,
sumberdaya finansial, dan sumberdaya waktu. Berdasarkan sistem
pelaksanaan program CSR, pelaksana dari perguruan tinggi, yaitu
mahasiswa yang menjadi pendamping adik asuh. Kakak pendamping
melalukan pendampingan dengan 1 adik asuh, jadi 1 kakak pendamping
yang mendampingi satu adik asuh. Selain kakak pendamping, terdapat
tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang merupakan
perwakilan dari kecamatan yang juga mendampingi kakak pendamping
dan adik asuh. Tiap-tiap kecamatan memberikan 1 perwakilan TKSK.

59
Tantangan dan Strateginya

SDM dari perguruan tinggi, yaitu mahasiswa, mengalami


kekurangan. Kekurangan ini terlihat ketika kakak pendamping tidak
datang untuk melakukan pendampingan, adik asuh tidak mendapat-
kan pendampingan. Sedangkan dari Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK) tidak mengalami kekurangan.
Sumberdaya Finansial( Sumberdaya finansial untuk program
CSR Dinas sosial dari pemerintah Kota Surabaya tidak dianggarkan,
dapat disebut juga program sukarela. Dalam pelaksanaan program
CSR terdapat bantuan- bantuan yang diberikan oleh pihak perguruan
tinggi dan dari pihak personal Dinas sosial dimana bentuk bantuan
tersebut berupa biaya sekolah dan peralatan sekolah yang
diperuntukkan bagi adik asuh yang melanjutkan sekolah.
Sumberdaya Waktu( Sumberdaya waktu yaitu waktu pendam-
pingan adik asuh secara fleksibel, maksud dari fleksibel yaitu lama
durasi waktu pendampingan tidak pasti. Pendampingan dilakukan
ketika adik asuh memiki waktu luang, karena adik asuh terkadang
sedang membantu orang tuanya. Namun diusahakan tiap seminggu
dilakukan pendampingan sekali.
Agen pelaksana dari program CSR adalah Dinas sosial Kota
Surabaya. Program ini juga termasuk dalam tanggung jawab Dinas
Sosial Kota Surabaya. Untuk pelaksanaannya lebih banyak dilaksa-
nakan oleh perguruan tinggi tepatnya adalah mahasiswa dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK).
Berdasarkan hasil penelitian, pihak dinas sosial mengajak
kerjasama dengan perguruan tinggi tepatnya mahasiswa untuk
menjadi pendamping adik asuh dalam pelaksanaannya dan hasilnya
terdapat 19 perguruan tinggi yang mau untuk bekerja sama.
Pada pelaksanaannya kakak pendamping melakukan pendam-
pingan dengan mendatangi rumah adik asuh dan melakukan
pendampingan di rumahnya. Selain itu, pendampingan juga dapat
dilakukan di rumah Ketue RT setempat atau Balai RW. Kakak
pendamping dibantu oleh TKSK. Kakak pendamping dan TKSK
melakukan koordinasi untuk membahas bimbingan selanjutnya.
Jika terjadi masalah, pihak TKSK akan mencari solusi dengan cara
merundingkan masalah tersebut dengan SKPD dan Dinas Sosial.

60
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Kakak pendamping juga membuat laporan rutin tiap 2 minggu


sebagai laporan perkembangan adik asuh, dimana laporan tersebut
diserahkan ke TKSK dan pihak TKSK akan memberikan laporan
tersebut ke Dinas Sosial sebagai bentuk pertanggungjawaban program
tersebut OPD terkait memberikan solusi terkait dengan permasalan
yang muncul, Kak Seto Homeschooling memberikan bimbingan teknis
dasar kepada kakak pendamping sebelum melakukan pendampingan
dan media massa Jawa Pos melakukan peliputan terkait program CSR.
Melihat agen pelaksana melakukan tugas sesuai dengan
bagiannya, hal ini menunjukkan bahwa agen pelaksana sepenuhnya
mendukung adanya program CSR karena, meskipun tidak ada
anggarannya, agen pelaksana tetap melaksanakan program tersebut
dan juga melihat dari hasilnya yang sudah ada kembali ke sekolah.
Para pelaksana program CSR ini meliputi mahasiswa sebagai
kakak pendamping dan TKSK sebagai perwakilan dari kecamatan.
Sikap dari pelaksana maksudnya adalah bagaimana sikap seorang
implementor menanggapi adanya program CSR Dinas Sosial apakah
merespon dengan baik dengan cara melaksanakan perda tersebut
sesuai dengan isinya ataupun sebaliknya.
Dinas Sosial menyatakan bahwa terdapat beberapa mahasiswa
yang bersedia menjadi kakak pendamping ternyata pada pelaksa-
naannya tidak ada, jadi dapat dikatakan ada juga yang kurang
mendukung adanya program ini. Begitu juga dengan adik asuh
yang tidak mau didampingi karena menganggap program ini kurang
bermanfaat karena dampak yang muncul tidak langsung terasa,
namun dampaknya terasa pada waktu yang akan datang.
Berikut adalah tugas dan fungsi dari struktur organisasi dalam
program CSR Dinas Sosial Tupoksi Direktur Program:
- Mengkoordinir segala tugas terkait kegiatan CSR
- Membuat perencanaan kegiatan
- Mengkoordinasikan segala SDM yang ada dalam Kegiatan CSR
- Memonitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan
- Melaporkan perkembangan kegiatan kepada penanggungjawab
- Koordinasi dengan Bidang Rehabsos terkait kegiatan CSR
- Koordinasi dengan Perguruan Tinggi terkait kegiatan CSR

61
Tantangan dan Strateginya

Tupoksi Koordinator:
- Memasangkan adik asuh dan kakak pendamping sesuai data
dampingan
- Melakukan update data sesuai data dampingan
- Mengkoordinasikan segala kegiatan CSR dengan menyampaikan
informasi dari atas ke bawah
- Memfasilitasi/mengkoordinasikan kebutuhan dan temuan
Satgas & kakak pendamping kepada Direktur Program
- Merekap laporan kegiatan kakak pendamping dari Satgas
- Melaporkan update data kepada Bidang Rehabsos dan Direktur
Program
- Memonitoring kegiatan kakak pendamping melalui Satgas dan
Pokja Kampus
Tupoksi Satgas dan TKSK:
- Fasilitator pelaksanaan program pendampingan di wilayah
dampingan.
- Memonitoring kegiatan pendampingan yang dilakukan kakak
pendamping setiap melakukan kunjungan.
- Membantu penyelenggaraan kegiatan pendampingan dengan
memberikan penyuluhan dan bimbingan terhadap permasala-
han yang diketemukan kakak pendamping.
- Melakukan koordinasi dengan PSKS lainnya terkait penyele-
saian permasalahan kesejahteraan sosial (pendampingan CSR).
- Membantu mengembangkan partisipasi sosial masyarakat dan
jejaring kerja dengan pihak lain dalam penyelenggaraan kesejah-
teraan sosial (pendampingan CSR).
- Melaporkan pelaksanaan hasil kegiatan pendampingan berupa
rekap laporan dari seluruh kakak pendamping di wilayahnya
setiap bulan.
Tupoksi Pokja Kota:
- Mengkoordinir seluruh mahasiswa pendamping dalam pelaksa-
naan kegiatan CSR.
- Membuat program kerja dalam menunjang kegiatan CSR.

62
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

- Memonitoring keaktifan pendampingan.


- Mengkoordinasikan segala informasi dari Dinas Sosial kepada
seluruh mahasisiwa pendamping.
- Memetakan temuan masalah dan mencarikan solusi dari
permasalahan dengan berkoordinasi dengan Dinas Sosial.
Tupoksi Pokja kampus: 1. Mengkoordinir
- Seluruh( pendamping dalam pelaksanaan kegiatan CSR
- Memonitoringkeaktifanpendampingan
- Mengkoordinasikan segala informasi dari Koordinator dan
Pokja Kota kepada seluruh mahasisiwa pendamping se Wilayah
Koordinasi
- Memetakan temuan masalah dan mencarikan solusi dari
permasalahan dengan berkoordinasi dengan Satgas, TKSK dan
Pokja Kota Struktur organisasi pada program CSR dapat dinilai
sudah sangat baik karena tiap-tiap elemen yang terkait dalam
program CSR ini memliki fungsi dan tugas pokok masing-masing
dan menurut temuan peneliti di lapangan semua elemen tersebut
telah melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing,
hanya saja memang terdapat beberapa permasalahan yang
berakibat bahwa program CSR ini tidak dapat berjalan sesuai
target dan tujuannya.

63
Tantangan dan Strateginya

Penanganan PMKS 5
di Kota Pasuruan

Seperti halnya di kota kota lain, penanganan PMKS yang ada


di Kota Pasuruan juga tidak hanya dilakukan oleh Dinsos, akan
tetapi juga dilakukan oleh Dinas atau Instansi lain yang memang
berhubungan dengan masalah PMKS yang ada di Kota Pasuruan.
Dinas lainnya yang juga berperan dalam proses penanganan di Kota
Pasuruan, yaitu Dinas Kesehatan selaku yang menjamin kesehatan
para PMKS. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, kemudian ada juga peran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) selalu pelaku penertiban terhadap PMKS. Untuk mengetahui
lebih detail pecan dari masing masing OPD berikut peneliti sajikan
dalam pembahasan sub berikut.

1. Peran Dinsos dalam Penanganan PMKS


Dalam menangani PMKS, Dinsos Kota Pasuruan menetapkan
visi untuk menentukan arah kebijakan, dan misi yang dilakukan
untuk mewujudkan visi yang sudah ditetapkan yaitu “Peningkatan
Taraf Kesejaahteraan Sosial Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
Melalui Usaha Kesejahteraan Sosial Antara Masyarakat dan Pemerintah”.
Secara terperinci visi tersebut dijabarkan sebagai berikut: Pertama,
Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) adalah seseorang,
keluarga, atau sekelompok masyarakat yang karena suttu hambatan,

64
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

kesulitan atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya,


sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani,
rohani dan sosial secara memadai dan walar serta kurang beruntung
dan mengalami ketunaan serta keterlantaran sehingga mereka tidak
dapat mengakses fasilitas pelayanan publik. Kedua, Usaha Kesejahte-
raan Sosial sebagai bagian dari upaya investasi sosial dan modal
menuju keadilan sosial.
Sedangkan misi Dinsos pada hakikatnya merupakan perwujudan
visi yang telah ditetapkan dalam bentuk usaha kesejahteraan sosial
yang strategis. Visi tersebut dirumuskan dalam bentuk peningkatan
sumber daya pelaku usaha kesejahteraan sosial, mempersempit kesen-
jangan sosial dengan memberikan perhatian kepada masyarakat
rentan dan kurang beruntung, mencegah dan mengendalikan serta
mengatasi permasalahan sosial, memperkuat stabilitas sosial dan
integrasi sosial dengan penguatan semangat kesetiakawanan sosial,
serta mengusahakan pembangunan kesejahteraan sosial sebagai
investasi modal sosial yang memberikan manfaat.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa jumlah total


PMKS yang ditangani pemerintah Kota Pasuruan pada tahun 2017
sebanyak 75 orang. Menurut Dinsos, jumlah anak jalanan relatif
akan bertambah pada waktu musim liburan sekolah.
“bahkan jumlah anak jalanan ini fluktuatif yang paling banyak
ada pada saat musim hujan. mereka berasal dari sekitar
pelabuhan. mereka ke kota pasuruan memang sengaja untuk
mencari nafkah. jadi memang mereka bekerja”

65
Tantangan dan Strateginya

Apa yang disampaikan Dedy Dinsos merupakan gambaran


maraknya penangguran di daerah pesisir. Sulit dan minimnya
lapangan pekerjaan menurut Dedy menjadi awal dari munculnya
anak jalan di Kota Pasuruan. Untuk itu dalam melakukan penanganan
PMKS, pemerintah Kota Pasuruan perlu melakukan perombakan
langkah, dari hanya menyerahkan pada Provinsi menjadi ditangani
secara mandiri.
Oleh karenanya, dalam melakukan penanganan anak jalanan
secara maksimal maka Dinsos perlu mengembangkan tiga model,
yaitu penanganan rehabilitasi, pemberdayaan, dan jaminan hidup.
Menurut Fitri Kasubag Rehabilitas Sosial Dinsos Kota Pasuruan,
penanganan anak jalanan selama ini tidak ada landasan hukumnya
kecuali Permensos No 111 Tahun 2009 tenting Penanggulangan
PMKS. Ketidaaan aturan ini membuat Dinsos tidak dapat berjalan
secara leluasa.
Karena itu, saat Satpol PP menanyakan dan diberikan pada kami,
kami tidak bisa menerima. Kiriman tidak adanya landasan itu tådi.
Karena tidak ada landasan hukum, maka secara otomatis tidak ada
kewenangan. Karena tidak ada kewenagan maka tidak ada anggaran
yang specifik untuk menangani masalah anjal1.
Apa yang disampaikan Fitri merupakan persoalan yang selama
ini menjadi kendala dalam penanganan PMKS. Untuk itu, ke depan
Pemerintah Kota Pasuruan perlu melakukan penanganan secara
komprehensif, meliputi: Pertama, penanganan rehabilitasi. Penanganan
rehabilitasi dilakukan terhadap jenis PMKS yang sedang direhab,
termasuk dalam hal ini anak jalan baik itu yang direhab di panti
asuhan, rumah sakit, dan rumah sakit jiwa.
Kedua, penanganan pemberdayaan. Penanganan pemberdayaan
ini dilakukan ketika PMKS yang bersangkutan sudah direhabilitasi.
Kemudian setelah itu harus ditingkatkan ekonominya dan diberda-
yakan melalui pelatihan-pelatihan.
Ketiga, penanganan jaminan hidup. Penangan PMKS yang
mendapatkan jaminan hidup ini adalah jenis PMKS yang tidak
memiliki apa-apa. Misalnya adalah PMKS jenis wanita lanjut usia

1
Pernyataan Dinsos

66
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

(lansia) yang terlantar dan dalam kondisi sakit. Mereka ini mendapatkan
jaminan baik berupa uang dari APBN, dimana satu bulan diberikan
dua ratus ribu rupiah untuk lansia terlantar tersebut. Kemudian untuk
jenis PMKS penyandang disabilitas (cacat berat) dan sudah mendekati
kematian ini mendapatkan bantuan uang satu bulan tiga ratus ribu
rupiah sebagai jaminan hidup. Pemberdayaan ini dilakukan sesuai
dengan pengelompokan dari jenis PMKS itu sendiri.

2. Peran Satpol PP dalam Penanganan PMKS


Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mempunyai tugas
membantu kepala daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah
yang tentram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggara­an roda
pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat
melakukan kegiatannya dengan aman. Oleh karena itu, di sam-
ping menegakan Perda, Satpol PP juga dituntut untuk menegakkan
kebijakan pemerintah daerah lainnya yaitu peraturan kepala daerah.
Untuk mengoptimalkan kinerja Satpol PP perlu dibangun
kelembagaan Satpol PP yang mampu mendukung terwujudnya
kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur. Dasar hukum
tentang tugas dan tanggung jawab Satpol PP adalah Peraturan
Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong
Praja yang ditetapkan pada tanggal 6 Januari 2010.
Dalam PP Nomor 6 tahun 2010 tentang Satpol PP2, pada pasal
3 dijelaskan bahwa Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah
di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat. Kemudian Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala
satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
kepala daerah melalui sekretaris daerah. Tugas Satpol PP sendiri yang
di jelaskan dalam Pasal 4 sesuai PP No. 6 Tahun 2010, yaitu menegak-
kan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat serta perlindungan masyarakat.
Hal ini sesuai Undang­Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan ketertiban umum
dan ketenteraman masyarakat merupakan urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah termasuk penyelenggaraan
perlindungan masyarakat. Sedangkan fungsi Satpol PP di antaranya
2
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja

67
Tantangan dan Strateginya

juga terkait penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda,


penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
serta perlindungan masyarakat.
Kemudian dalam pasal 6 PP Nomor 6 tahun 2010, wewenang Satpol
PP sendiri di antaranya adalah melakukan tindakan penertiban non
yustisia terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum
yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala
daerah. Tindakan penertiban nonyustisia adalah tindakan yang dilaku-
kan oleh Polisi Pamong Praja dalam rangka menjaga dan/atau memu-
lihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap
pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah dengan cara
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
tidak sampai proses peradilan. Wewenang Satpol PP lainnya adalah
menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Yang
dimaksud dengan “menindak” adalah melakukan tindakan hukum
terhadap pelanggaran Perda untuk diproses melalui peradilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
atas dasar hukum di atas, penanganan Anak Jalanan di Kota Pasuruan
yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja selama ini masih
bersifat razia secara persuasif.
Penanganan PMKS jenis anak jalanan yang dilakukan oleh
Satpol PP Kota Pasuruan kebanyakan yang sering berkumpul di
tenggah-tenggah perempatan lampu merah. Peran satpol PP dalam
menangani masalah PMKS ini dengan melakukan razia langsung
dan melakukan pembinaan, kemudian setelah itu dilepas. Berikut
adalah kutipan wawancara dengen pihak Satpol PP Kota Pasuruan:3
“...Setelah melaksanakan razia langsung kemudian dilakukan pembinaan
setelah itu dilepas. Para anak jalanan ini sering berkumpul di tenggah-
tenggah perempatan.”
Ketika peneliti bertanya terkait jumlah anak jalanan yang ada di
Kota Pasuruan, pihak Satpol PP menegaskan tidak ada data yang
pasti. namun demikian dari hasil operasi selama Bulan Ramadan
tahun ini diketahui sejumlah lokasi menjadi tempat mangkalnya anak
jalanan.
Apa yang dikatakan terkait peran pihak Satpol PP dalam
menertibkan anak jalanan juga senada dengan yang dikatakan oleh

68
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

salah satu anak jalanan yang ada di Kota Pasuruan. Berikut adalah
kutipan wawancaranya dengan Amin salah satu anjal yang mangkal
di perempatan Kebon Agung:4

“...kadang-kadang saya juga pernah terkena razia. Ketika sudah


dibawa satpol PP saya dan teman-teman cuma didata selan-
jutnya kami disuruh untuk berhenti dan dikasih sosialisasi
untuk pulang atau kembali kepada keluarga kami masing-
masing dan berubah, setelah itu kita semua dikasih makan
dan dikembalikan lagi.”
Dari penjelasan informan di atas, diketahui bahwa ketika sudah
dibaca satpol PP, kemudian para anak jalanan ini didata dan selan-
jutnya disuruh untuk berhenti dan dikasih sosialisasi untuk pulang
atau kembali kepada keluarganya masing-masing agar bisa berubah.
Anak jalanan tersebut bisa ditanggkap oleh Satpol PP karena sering
mengamen dan ada juga yang menjadi pengatur jalanan (polisi
cepek) di perempatan atau pertigaan lampu merah. Para anak jalanan
tersebut melakukan pekerjaan seperti itu dengan tujuan biar bisa
makan dan supaya bisa mendapatkan uang.
3
Ibid
4
Wawancara dengan Amin selaku anak jalanan pada Juni 2017

69
Tantangan dan Strateginya

Kemudian lebih lanjut dalam penangan PMKS jenis anak


jalanan yang dilakukan oleh satpol PP, sebenarnya terkendala
dengan tidak adanya tempat penampungan. Menurut Agus, jika
Rumah Singgah atau Rumah Penampungan ini ada maka pihak
Satpol PP hanya butuh waktu satu minggu bisa segera membersih-
kan Anjal dari jalanan.5
Jadi satpol PP selama ini hanya melakukan tindakan sosialisasi
dan memberikan ijin untuk pulang. Pihak Satpol PP juga tidak
mempunyai data untuk anak jalanan ini, soalnya ketika dilakukan
razia mereka langsung kabur. Jadi hal ini susah untuk didata. Ketika
dimintai data, mereka tidak mempunyai KTP (Kartu Tanda Penduduk).
Oleh karena itu, pada saat ini tempat penampungan, adanya
pembinaan, dan diberikan modal sangat diperlukan dalam
menangani persoalan PMKS tersebut.
Selain terkait hal di atas, menurut Agus Dwi K ada sejumlah
kendala lain dalam penanangan anak jalanan. Koordinasi antar
lembaga dilingkungan Pemkot Pasuruan selama ini dirasa amat
kuräng. Saat Satpol PP melakukan operasi penangkapan sulit uituk
diterima pihak Dinsos. Padahal, mereka memiliki kewenangan.
Satpol PP hanya menegakkan aturan yang berlaku, selebihnya akan
diberikan pada dinas terkait6.
Sementara itu, terkait pendataan anjal di kelurahan dan kecamatan
dirasa kuräng valid. Untuk itu, menurut Agus, penanganan anak
jalanan ke depan harus berdasarakan data yang pasti dari kelurahan
dan Kecamatan sehingga akan mempercepat proses pengembalian
anak-anak pada orang tuanya.

3. Peran Dinas Kesehatan dalam Penanganan PMKS


Rencana strategis (renstra) Dinas Kesehatan Kota Pasuruan
yang ditetapkan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun merupakan
perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai. Selama
kurun waktu tersebut, renstra yang dilaksanakan Dinas Kesehatan
ini berisi visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi yang dilaksanakan
melalui kebijakan dan program Kepala Daerah. Tujuan dari renstra
ini adalah sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka
waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun. Tujuan ini ditetapkan
5
Wawancara dengan Agus Dwi K pada Juni 2017
6
Wawancara dengan Agus Dwi K Satpol PP Kota Pasuruan pada Juni 2017
70
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

dengan mengacu kepada pernyataan visi dan misi serta didasarkan


pada isu-isu analisis strategis diantaranya sebagai berikut:7
a) Untuk mewujudkan misi “Tertib program dan administrasi dalam
upaya meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan
terjangkau”, maka ditetapkan tujuan: Terwujudnya tertib
administrasi dan pelaksanaan program-program Dinas Kesehatan.
b) Untuk mewujudkan misi “Meningkatnya kualitas sumberdaya kesehatan
Kota Pasuruan”, maka ditetapkan tujuan: Terwujudnya sumber
daya kesehatan dan akses pelayanan kesehatan yang bermutu.
c) Untuk mewujudkan misi “Meningkatkan upaya pengendalian
penyakit dan penanggulangan masalah kesehatan dengan mewujudkan
mutu lingkungan yang sehat”, maka ditetapkan tujuan: Mewujud-
kan mutu lingkungan yang sehat.
d) Untuk mewujudkan misi “Meningkatkan peran serta masyarakat
dan swasta pada pembangunan bidang kesehatan melalui pemberdayaan
masyarakat dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta menjamin
ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan”, maka ditetapkan
tujuan: Meningkatnya peran serta masyarakat pada pembangunan
bidang kesehatan.
e) Untuk mewujudkan misi “Mewujudkan, memelihara dan meningkat-
kan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau”, maka
ditetapkan tujuan: Meningkatnya akses, pemerataan dan kualitas
pelayanan kesehatan Puskesmas dan jaringannya.
Untuk mewujudkan misi program upaya meningkatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau, Dinas Kesehatan
Kota Pasuruan juga tidak lupa memberikan pelayanan terhadap
masyarakat miskin atau masyarakat yang tergolong dalam penyan-
dang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Peran yang dilakukan
Dinas Kesehatan selama ini dalam penanganan masalah PMKS yang
ada di Kota Pasuruan adalah dalam hal penanganan pelayanan
kesehatan terhadap PMKS atau masyarakat misikin yang dijamin
biaya kesehatannya oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Pasuruan
dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur.
Peran Dinas Kesehatan terkait penanganan kesehatan terhadap
PMKS yang ada di Kota Pasuruan dilakukan dengan menggunakan
7
Rencana Strategis Dinas Kesehatan Kota Pasuruan

71
Tantangan dan Strateginya

dana sharing. Maksud dana sharing, yaitu adanya perjanjian kerja


sama antara gubenur dengan walikota yang setiap tahun diperbaharui,
karena yang dijamin itu berbeda-beda. Untuk tahun 2017, dalam
menangani PMKS yang ditangani adalah yang sudah memiliki kartu
jaminan kesehatan daerah ada 12.499 orang. Di luar itu, PMKS yang
namanya tidak bisa di data, siapapun itu baik gelandangan,
pengemis atau anak jalanan kalau sakit semua akan didata, kalau
dia tidak mempunyai kartu, pemerintah daerah akan menjamin
dengan menggunakan surat pernyataan sakit.
Menurut Dinas Kesehatan Kota Pasuruan proses penanganan
PMKS kalau untuk gelandangan, pengemis, anak terlantar, panti
asuhan, serta panti jompo harus dibuat rekomendasi oleh Dinsos.
Hal ini dikarenakan anggaran untuk pelayanan kesehatan itu
berasal dari Dinas Kesehatan dan melekat di program jamkesda
(Jaminan Kesehatan Daerah). Sehingga, kalau yang sakit sudah
mendapatkan rekomendasi dari Dinsos, maka dimana pun dirawat,
misalnya di rumah sakit yang bekerja sama atau di puskesmas Kota
Pasuruan yang bekerja sama melayani kesehatan PMKS tersebut.
Kemudian rumah sakit atau puskesmas itulah yang nanti akan
mengeklaim pelayanan yang dilakukan di setiap bulannya ke Dinas
Kesehatan terkait tagihannya. Dinas Kesehatan tidak bisa memilah
karena tagihan rumah sakit itu ada jamkesda bagi yang memiliki
kartu jaminan kesehatan. Namun, jamkesda ini ada beberapa jenis,
yaitu jamkesda bagi yang memiliki kartu jaminan kesehatan,
jamkesda non kartu, ada jamkesda SPM (Surat Pernyataan Miskin).
Jadi, ada beberapa masyarakat miskin yang dijamin oleh dinas
kesehatan oleh Kota Pasuruan maupun Provinsi Jawa Timur.
Untuk yang berobat di provinsi, PMKS ini nanti akan dibiayai
oleh provinsi yang diperoleh dari dana sharing, karena sudah ada
MOU antara Pemerintah Kota Pasuruan dengan pemerintah Provinsi
Jawa Timur. Jika berobatnya di rumah sakit Kota Pasuruan, yang
menjamin adalah Pemerintah Daerah Kota Pasuruan. Akan tetapi
jika berobat di rumah sakit atau di puskesmas daerah kemudian tidak
bisa menangani, maka akan dirujuk ke rumah sakit provinsi,
sehingga yang membiayai adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Adapun proses penanganan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kota Pasuruan, ketika sudah ada keterangan surat miskin yang

72
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

diajukan ke Dinas Kesehatan, maka Dinas Kesehatan menerbitkan


SPM (surat pernyataan miskin) yang ditandatangani oleh kepala
Dinas Kesehatan untuk rumah sakit atau puskesmas yang ada di
Kota Pasuruan. Namun, yang menjadi persoalan kadang data yang
ada di Dinas Kesehatan masih kurang lengkap, sehingga sulit untuk
menentukan jumlah masyarakat miskin yang ada di Kota Pasuruan.
Sementara itu dari sisi pelayanan kesehatan, PMKS jenis
gelandangan psikotik atau orang gila yang dipasung biayanya
didapat dari dana Provinsi Jawa Timur. Jadi, rekomendasi dari kepala
Dinas Kesehatan yang kemudian akan dirujuk oleh puskesmas atau
rumah sakit daerah ke rumah sakit provinsi Jawa Timur, maka asalkan
gelandangan ini termasuk masyarakat tidak mampu dan tidak
memiliki jamkesda atau KTP akan berbeda penanganannya terhadap
gelandangan yang masih mempunyai keluarga atau tercatat masih
dalam kategori orang mampu.
Perbedaan jaminan pelayanan kesehatan terhadap PMKS ini
terdiri atas jaminan kesehatan BPJS (badan penyelenggara jaminan
sosial) yaitu terkait masyarakat miskin yang dijamin oleh pemerintah
pusat dan biayanya diambil dari APBN melalui PBI (penerimaan
Bantuan Iuran). Kemudian PMKS yang ber-KTP dan memiliki SPM
(Surat Pernyataan Miskin), maka akan dijamin 100% oleh pemerintah
Kota Pasuruan.
Penanganan kesehatan terhadap PMKS yang sudah dilakukan
oleh Dinas Kesehatan di Kota Pasuruan juga masih mengalami kendala.
Kendala yang dihadapi saat ini oleh Dinas Kesehatan sendiri adalah
adanya basic data dari dinsos terkait berapa jumlah anak jalanan,
kemudian data masyarakat miskin yang ber-KTP juga masih kurang.8
Bagi masyarakat miskin atau PMKS yang belum mempunyai kartu
jaminan kesehatan, semuanya datanya juga belum ada. Sehingga
harapannya masyarakat miskin atau PMKS yang belum punya jaminan
nantinya akan digabung semua menjadi peserta JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional), sehingga kalau sudah terdaftar dan ada Surat Keputusan
(SK) dari Walikota, maka akan didaftarkan ke KEMENSOS dan bisa
dijamin oleh APBN ataupun bisa dijamin oleh Jamkesda dari APBD,
apabila didaftarkan dan diintergrasikan secara bertahap.

8
Ibid

73
Tantangan dan Strateginya

Penanganan PMKS 6
di Kabupaten Blitar

Sebagaimana Kabupaten dan kota yang lain, Pemerintah


Kabupaten Blitar juga berupaya melakukan penanganan secara
serius terhadap 26 jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.
Dinas Sosial Kabupaten Blitar merilis daftar PMKS yang ditangani
sebagai berikut:
Tabel 6.1 Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
Kabupaten Blitar Tahun 2015

74
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Sumber: Data jumlah PMKS yang ditangani Dinas Sosial Kabupaten Blitar
Tahun 2015
Dari data di atas, bisa dilihat bahwa seperti yang sudah disinggung
sebelumnya bahwa jumlah total PMKS yang ditangani pemerintah
Kabupaten Blitar pada tahun 2015 adalah sejumlah 26 jenis dengan
75
Tantangan dan Strateginya

jumlah 80.748 orang. Jumlah PMKS tertinggi yaitu adalah PMKS


jenis fakir miskin, dimana jumlah total laki-laki dan peremuan, yaitu
sejumlah 68.935 orang. Sedangkan jumlah PMKS terkecil adalah
PMKS jenis masyarakat daerah tertinggal dan terpencil, dimana
jumlah laki-laki dan perempuannya sejumlah 4 orang.

6.1.1. Kondisi Gelandangan dan Gelandangan Psikotik


Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) jenis
gelandangan merupakan seseorang yang hidup dalam keadaan tidak
sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat dan
perlu mendapat bantuan untuk hidup dan bekerja secara layak dan
mandiri. PMKS jenis gelandangan di Kabupaten Blitar yang
ditemukan kebanyakan adalah gelandangan psikotik. Gelandangan
psikotik (orang gila) ini datangnya musiman dikota Blitar mereka
biasanya beroperasi di traffic light dan pertokoan. Berikut adalah
kutipan wawancara dengan pejabat Satpol PP Kabupaten Blitar:1
“… Tidak pernah dijumpai gelandangan di kabupaten Blitar, tetapi
gelandangan psikotis (orang gila) sangat banyak. Mereka ini datangnya
musiman. Didaerah Nglegok saya pernah menemui gelandangan yang
dijemput pakai mobil dugaan saya ini adalah salah satu keluarganya. Di
Kabupaten Blitar ini soal penanganannya masih kurang optimal.
Kebanyakan glandangan psikotik ini kondisinya lumpuh. Mungkin
gelandangan psikotik (orang gila) dikirim, tapi kami dari pihak satpol pp
juga masih belum memastikan orang gila ini kiriman dari daerah mana.
Dari pihak dinas sosial ini juga tidak ada koordinasi mengenai gelandangan
psikotik ini.”
Dari penjelasan informan di atas, dimana sudah disinggung
sebelumnya bahwa PMKS jenis gelandangan yang ada di Kabupaten
Blitar kebanyakan adalah jenis gelandangan psikotik. Gelandangan
psikotik ini memiliki keadaan yang lumpuh dan tempat keberadaan
gelandangan jenis ini sering dijumpai di depan pertokoan dan di
traffic light yang ada di Kabupaten Blitar.
Dari data Dinas Sosial tentang jumlah PMKS jenis gelandangan
dan gelandangan psikotik di Kabupaten Blitar pada tahun 2015,
bisa diketahui jumlah gelandangan dan gelandangan psikotik di
Kabupaten Blitar sejumlah 82 orang2. Jumlah gelandangan dan
1
Wawancara dengan Bapak Suyanto selaku Kabid peraturan perundang-undangan
daerah Satpol PP di Kabupaten Blitar, 24 Maret 2016 Pukul 08.18 WIB.
2
Data jumlah PMKS yang ditangani Dinas Sosial Kabupaten Blitar Tahun 2015

76
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

gelandangan psikotik tersebut terdiri atas laki-laki dan perempuan.


Untuk jumlah gelandangan dan gelandangan psikotik yang terdiri
atas jenis kelamin laki-laki, yaitu sejumlah 51 orang. Sedangkan
untuk jumlah gelandangan dan gelandangan psikotik yang terdiri
atas jenis kelamin perempuan adalah sejumlah 31 orang.
Kemudian dari data Dinas Sosial Kabupaten Blitar tahun 2016,
diketahui bahwa jumlah warga yang mengalami gangguan jiwa
sejumlah 7 orang. Para warga yang mengalami gangguan jiwa tersebut
ada yang dipasung dan ada juga yang dikurung dalam kamar. Untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6.2 Jumlah warga yang mengalami gangguan jiwa pada wilayah
Kecamatan Wonotirto pada tahun 2016

77
Tantangan dan Strateginya

Sumber: Data dinas sosial tentang gelandangan psikotik tahun 2016


Dari data dinas sosial di atas, penanganan PMKS jenis gelan-
dangan psikotik pada tahun 2016 yang di lakukan di Kecamatan
Wonotirto sebanyak 7 orang. Dari 7 orang ini masuk dalam rincian
di antaranya 4 orang dipasung, 2 orang gila (1 orang dikirim ke Rumah
Sakit Jiwa lawang), serta yang dikurung didalam kamar sejumlah 1
orang. Perlu di ketahui juga bahwa gelandangan psikotik adalah
seseorang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma
kehidupan yang layak dalam masyarakat, mempunyai tingkah laku
yang aneh atau menyimpang dari norma-norma yang ada atau
seseorang bekas penderita penyakit jiwa yang telah mendapatkan
pelayanan medis dan telah mendapat surat keterangan sembuh dan
tidak mempunyai keluarga/kurang mampu serta perlu mendapat
bantuan untuk hidup.

6.1.2 Kondisi Pengemis di Kabupaten Blitar


Perilaku mengemis seakan-akan sudah menjadi sebuah budaya
di sebagi sebagian masyarakat dan bahkan menjadi profesi bagi
sebagian orang, baik diperkotaan maupun pedesaan banyak dijumpai
pengemis. Karena kondisi tersebutlah, maka praktik dalam mengemis
dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang dari norma dan nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Pengemis merupakan gejala sosial
yang selalu hadir di tengah-tengah dinamika perkembangan suatu
wilayah perkotaan maupun pedesaan. Secara fisik, pengemis juga
berinteraksi dengan masyarakat disekitarnya, tetapi sesungguhnya
mereka terisolasi karena tidak bisa mencapai fasilitas yang ada.
Sebagian masyarakat biasanya menilai bahwa golongan pengemis
sebagai orang-orang yang malas dan tidak berusaha, tidak mem-
punyai motivasi, bersikap menerima nasib serta menerapkan pola
perilaku yang dianggap tidak mempunyai semangat kerja keras, tidak
mempunyai perhatian terhadap berbagai masalah yang berkaitan
dengan usaha perbaikan dan tidak mempunyai rasa harga diri dan
kehormatan.

78
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Kondisi PMKS jenis pengemis ini banyak melakukan operasional-


nya di tempat-tempat perbelanjaan/pasar. Dikabupaten blitar sendiri
untuk PMKS jenis pengemis skalanya sangat kecil. Hal ini dikarena-
kan kebanyakan dari mereka berkedok untuk meminta sumbangan
masjid atau panti asuhan. Berikut adalah kutipan wawancara
dengan pejabat Satpol PP Kabupaten Blitar:3
“…Pengemis banyak melakukan operasionalnya di wilayah kota ditempat-
tempat perbelanjaan/pasar. Proses pelaksaan satpol PP melaksanakan
rasia secara persuasif. Dikabupaten blitar skalanya sangat kecil,
kebanyakan didaerah ini meminta sumbangan untuk masjid atau panti
asuhan.”
Dari penjelasan informan di atas, pengemis yang ada di
Kabupaten Blitar banyak melakukan operasionalnya di tempat-tempat
perbelanjaan dan di pasar. Beragam cara dilakukan pengemis tersebut
untuk mendapatkan belas kasihan dari orang yang melihatnya. Salah
satu cara yang dilakukan adalah dengan berpakaian lusuh dan
compang-camping, bahkan terkadang tidak sedikit yang berpura-pura
sebagai peminta sumbangan masjid dan panti asuhan.
Data dari Dinas Sosial Kabupaten Blitar tahun 2015 menunjukan
bahwa jumlah PMKS jenis pengemis yang ada di Kabupaten Blitar
sejumlah 82 orang. Kemudian untuk jumlah pengemis yang berjenis
laki-laki sejumlah 40 orang. Sedangkan untuk jumlah pengemis yang
berjenis kelamin perempuan sejumlah 42 orang.4 Penyebab terjadinya
pengemis ini bisa berasal dari dalam diri individu atau dikenal faktor
internal yaitu berupa kemalasan, tidak mau berkerja keras, serta
cacat fisik. Penyebab lainnya karena dipengaruhi adanya faktor
eksternal, berupa faktor psikologis, budaya sosial, ekonomi, agama,
dan geografis.
6.1.3 Kondisi Anak Jalanan di Kabupaten Blitar
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) jenis anak
jalanan atau sering disebut anjal adalah sebuah istilah umum yang
mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di
jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya.
Anak jalanan di Kabupaten Blitar ini kebanyakan merupakan anak
3
Wawancara dengan Bapak Suyanto selaku Kabid peraturan perundang-undangan
daerah Satpol PP di Kabupaten Blitar, 24 Maret 2016 Pukul 08.18 WIB.
4
Data jumlah PMKS yang ditangani Dinas Sosial Kabupaten Blitar Tahun 2015

79
Tantangan dan Strateginya

punk. Hal tersebut bisa dilihat dari aksesoris gitar yang selalu dibawa
kemana-kemana, kebutuhan hidup mereka sepenuhnya dipenuhi
dengan cara mengamen. Kebanyakan anak jalanan atau anak punk ini
turun kejalanan karena kondisi lingkungan, masalah dalam keluarga
dan kebanyakan alasan mereka karena ingin bebas. Keberadaan anak
jalanan ini terkadang juga meresahkan warga bahkan pengguna
jalanan yang melintas karena didapati mereka sering mabuk. Untuk
kondisi anak jalanan di Kabupaten Blitar sendiri, bisa dilihat dari
kutipan wawancara dengan pejabat Satpol PP Kabupaten Blitar:5
“…Para anak jalanan ini sering berkumpul ditenggah-tenggah
perempatan. Anak jalanan disini kebanyakan anak Punk ini sebenarnya
sangat meresahkan warga. Ini juga akan dilakukan operasi gabungan.”
Dari penjelasan informan di atas, sama halnya dengan gelan-
dangan psikotik, anak jalanan yang ada di Kabupaten Blitar juga
sering berkumpul di perempatan lampu merah untuk mengamen.
Pihak satpol PP sebenarnya juga sudah sering melakukan operasi
gabungan untuk menertibkan para anak jalanan tersebut. Akan
tetapi, ketika ditangkap para anak jalanan tersebut hanya diberikan
sosialisasi dan kemudian dilepas lagi.
Kemudian dari hasil observasi lapangan yang dilakukan peneliti
di daerah Pasar Kanigoro, Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar
yang memang merupakan salah satu tempat para anak jalanan
tersebut mengamen. Dari hasil observasi lapangan tersebut, diketahui
bahwa kondisi anak jalanan yang sering beroperasi di pasar Kanigoro
biasanya sekitar dua puluh lima anak. Berikut adalah kutipan wawan-
cara dengan salah satu tukang ojek yang ada di Pasar Kanigoro,
Kecamata Kanigoro Kabupaten Blitar:6
“...Bahwa kondisi anak jalanan yang sering mangkal di pasar Kanigoro
biasanya sekitar dua puluh lima anak. Para anak jalanan itu ada yang
dari Kesamben, Kademangan, Tulungagung, Trenggalek dan daerah
lainnya. Anak jalanan yang sering berkumpul di pasar Kanigoro juga
terdapat anak yang sudah tamat sekolah. Hal itu terjadi karena pergaulan
anak tersebut. Jika malam hari mereka sering tidur di emperan toko-toko
pasar Kanigoro. Para anak jalanan itu juga sering berkolompok-kelompok
5
Wawancara dengan Bapak Suyanto selaku Kabid peraturan perundang-undangan
daerah Satpol PP di Kabupaten Blitar, 24 Maret 2016 Pukul 08.18 WIB.
6
Wawancara dengan Bapak Supardi selaku tukang ojek di pasar Kanigoro Kecamatan
Kanigoro, Kabupaten Blitar, 14 Juni 2016 pukul 09.59 WIB

80
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

dan kemungkinan ada ketuanya karena di wilayah Kota Madya tepatnya di


daerah Dimoro didekat pasar hewan, dimana setiap malam minggu ada
kumpulan para anak jalanan tersebut. Sayangnya disini belum ada pembinaan,
jadi ketika terkena razia itu akan percuma karena mereka sering kembali.
Cuma, para anak jalanan yang ada disini tidak ada yang menganggu warga
entah itu minum-minuman keras dan melakukan pemerasan (meminta uang
secara paksa kepada warga) , tetapi yang sering dilakukan hanya
mengamen di sekitaran perempatan lampu merah pasar Kanigoro.”
Dari penjelasan informan di atas, diketahui bahwa para anak
jalanan yang sering berkumpul di Pasar kanigoro ada yang dari
Kesamben, Kademangan, Tulungagung, Trenggalek dan daerah
lainnya. Disamping itu, anak jalanan yang berkumpul di pasar
Kanigoro juga ada yang sudah tamat sekolah. Hal itu bisa terjadi
karena pergaulan dari anak yang bersangkutan tersebut. Para anak
jalanan ini juga sering tidur di emperan toko-toko di daerah pasar
Kanigoro. Kemudian kemungkinan besar anak jalanan ini ada yang
mengetuai, karena di wilayah Kota Madya, tepatnya di daerah Dimoro
didekat pasar hewan, dimana setiap malam minggu ada kumpulan
para anak jalanan tersebut. Mengingat belum ada pembinaan dari
pemerintah Kabupaten Blitar, maka ketika anak jalanan tersebut terkena
razia, tentu ketika sudah diberi sosialisasi akan dilepas kembali. Namun,
perlu diketahui para anak jalanan yang ada di sekitaran Pasar Kanigoro
tidak ada yang menganggu warga, entah itu minum-minuman keras
dan melakukan pemerasan (meminta uang secara paksa kepada
warga), karena yang sering dilakukan hanya mengamen di sekitaran
perempatan lampu merah pasar Kanigoro.
Apa yang dikatakan oleh informan di atas, juga senada seperti
yang disampaikan oleh petugas pasar yang ada di Pasar Kanigoro.
Menurut petugas pasar yang ada di Pasar Kanigoro7 bahwa seminggu
pertama, tepatnya di hari Jumat pada saat bulan puasa ramadhan di
tahun 2016, pernah dilakukan razia anak jalanan yang dilakukan oleh
satpol PP di pasar Kanigoro tersebut. Akan tetapi, sehari setelah dirazia
mereka dilepas lagi dan kembali beropasi ketempat semula, dimana
mereka biasanya beroperasi. Dari beberapa anak jalanan yang sering
ada disitu, tidak ada diantaranya yang berasal dari daerah Kanigoro.
Hal ini dikarenakan para anak jalanan yang sering beroperasi di pasar
kanigoro ini berasal dari daerah lain.

81
Tantangan dan Strateginya

Sementara itu, hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan


salah satu anak jalanan yang ada di Kabupaten Blitar, diketahui bahwa
tujuan dari anak jalanan tersebut adalah ingin mempunyai kehidupan
yang bebas. Berikut adalah kutipan wawancaranya:8
“...Bahwa teman-teman saya yang sering kumpul di pasar Kanigoro ini
sekitar sepuluh anak. Saya sendiri berasal dari daerah Kademangan
Kabupaten Blitar. Tujuan saya hanya ingin mempunyai kehidupan yang
bebas. Banyak kegiatan yang kami lakukan di jalananan antara lain dengan
cara mengamen, ada juga yang menjadi pengatur jalanan (polisi cepek)
diperempatan atau pertigaan dan sebagainya. Kami melakukan semua itu
agar bisa makan dan dengan cara inilah kami mendapatkan uang. Disamping
itu, kadang-kadang saya juga pernah terkena razia. Ketika sudah dibawa
satpol PP saya dan teman-teman cuma didata selanjutnya kami disuruh
untuk berhenti dan dikasih sosialisasi untuk pulang atau kembali kepada
keluarga kami masing-masing dan berubah, setelah itu kita semua dikasih
makan dan dikembalikan lagi.”
Dari penjelasan informan di atas, diketahui bahwa kegiatan yang
dilakukan para anak jalanan tersebut antara lain dengan cara
mengamen, ada juga yang menjadi pengatur jalanan (polisi cepek)
diperempatan atau pertigaan lampu merah. Para anak jalanan
melakukan pekerjaan seperti itu dengan tujuan biar bisa makan dan
agar bisa mendapatkan uang. Disamping itu, terkadang para anak
jalanan ini juga pernah terkena razia. Ketika sudah dibawa oleh
satpol PP, kemudian para anak jalanan ini didata dan selanjutnya
disuruh untuk berhenti dan dikasih sosialisasi untuk pulang atau
kembali kepada keluarganya masing-masing agar bisa berubah.
Data dari Dinas Sosial tentang jumlah penanganan PMKS jenis
anak jalanan yang ditangani oleh Dinas Sosial pada tahun 2015
adalah sejumlah 33 orang.9 Dari data tersebut juga diketahui bahwa
anak jalanan yang terdiri atas jenis kelamin laki-laki sejumlah 27 orang.
Sedangkan anak jalanan yang terdiri atas jenis kelamin perempuan
adalah sejumlah 6 orang.

7
Wawancara dengan Bapak Salamun selaku penjaga pasar Kanigoro Kecamatan
Kanigoro, Kabupaten Blitar, 14 Juni 2016 pukul 10.10 WIB
8
Wawancara dengan Japri selaku anak jalanan yang sering mangkal di pasar Kanigoro
Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, 14 Juni 2016 pukul 14.10 WIB
9
Data jumlah PMKS yang ditangani Dinas Sosial Kabupaten Blitar Tahun 2015

82
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

6.1.4 Kondisi Wanita Tuna Susila di Kabupaten Blitar


Persoalan masalah PMKS yang ada di Kabupaten Blitar tidak
hanya jenis gelandangan, gelandangan psikotik, pengemis dan anak
jalanan. Akan tetapi, PMKS jenis wanita tuna susila (WTS) juga masih
menjadi masalah di Kabupaten Blitar. Tuna susila adalah seseorang
wanita, pria atau waria, terutama dari keluarga kurang mampu,
yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, dengan
tujuan untuk mendapatkan imbalan jasa. Namun, sebagian besar
mereka menjadi tuna susila bukan hanya masalah ekonomi, sebagian
besar mereka melakukan untuk mendapatkan kesenagan semata.
Tempat tuna susila ini sering beroperasi di tempat lokalisasi, di
warung atau cafe remang-remang, dan dipinggir-pinggir jalan.
Sejak tahun 2010 pemerintah kabupaten Blitar berhasil menutup
3 tempat lokalisasi seperti di tanggul pasir harjo, ngreco, selorejo,
dan poluan srengat. Namun, semua itu tidak serta merta memutus
mata rantai praktek prostitusi di kabupaten Blitar. Ini terbukti masih
maraknya ditemukan cafe atau warung remang-remang yang diduga
sebagai tempat transaksi protitusi.10 Berikut ini adalah data WTS
tahun 2014, hasil razia Satpol PP di Kabupaten Blitar:
Tabel 6.3 Jumlah Wanita Tuna Susila Kabupaten Blitar Tahun 2014

Sumber : data satpol PP tahun 2014


Dari data diatas, dapat di lihat bahwa wanita tuna susila (WTS)
yang berhasil dirazia dan didata hanya 3 orang. Kemudian dari kese-
muanya yang di data itu diantaranya adalah pendatang. Meskipun
pemerintah kota Blitar sudah menutup tempat lokalisasi pada tahun
2010, ini tentu tidak sesuai dengan apa yang ada dilapangan. Karena
pada kenyataannya para WTS ini masih sering beroperasi, walaupun
terbilang sembunyi-sembunyi. Pada tahun 2015 data WTS di
Kabupaten Blitar meningkat dari sebelumnya. Berikut ini adalah daftar
WTS yang terjaring razia satpol PP di Kabupaten Blitar pada tahun
2015:
10
Wawancara dengan Bapak Suyanto selaku Kabid peraturan perundang-undangan
daerah Satpol PP di Kabupaten Blitar, 24 Maret 2016 Pukul 08.18 WIB.

83
Tantangan dan Strateginya

Tabel 6.4 Jumlah Wanita Tuna Susila Kabupaten Blitar Tahun 2015

Sumber: data satpol PP tentang WTS tahun 2015 dikota Blitar


Dari data di atas, bisa diketahui bahwa jumlah WTS yang terjaring
razia pada tahun 2015 sejumlah 8 orang, dari wanita usia 30 sampai 50
tahun. Mereka tidak semua berasal dari wilayah Kota/Kabupaten
Blitar saja, tetapi sebagaian dari mereka adalah pendatang. Di samping
itu, pihak Satpol PP juga berhasil mengamankan pria hidung belang
atau bisa dikatakan sebagai pelanggan. Berikut ini adalah daftar
pelanggan yang terjaring razia Satpol PP pada tahun 2015:
Tabel 6.5 Daftar pelanggan Wanita Tuna Susila
di kabupaten Blitar Tahun 2015

Sumber: data satpol PP tentang pelanggan WTS pada tahun 2015


Dari data di atas, dapat dilihat bahwa pelanggan yang berhasil
terkena razia sebanyak 5 orang usia sekitar 20 tahun sampai dengan
43 tahun. Semua pelanggan berdomisili didaerah Blitar. Berarti
dengan terjaringnya para pelanggan WTS ini membuktikan bahwa
praktik prostistusi di Kabupaten Blitar masih berjalan. Hal ini
terbukti dari hasil razia yang di lakukan Satpol PP yang berhasil
mengamankan dan melakukan pendataan serta pembinaan terhadap
WTS yang tertangkap razia.

84
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Kemudian dari hasil observasi di lapangan yang dilakukan peneliti


di salah satu bekas lokalisasi di Kabupaten Blitar. Hasil wawancara
yang dilakukan penelti terhadap salah satu warga ditempat bekas
lokalisasi yang ada di Kabupaten Blitar, diketahui bahwa lokalisasi
yang masih beroperasi di Kabupaten Blitar salah satunya bisa
dijumpai di daerah Njaring. Lokalisasi yang berada di daerah Njaring
tersebut modelnya seperti warung yang agak tertutup.11
Sementara itu, hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap
mucikari yang ada di lokalisasi Njaring Kecamatan Kanigoro
Kabupaten Blitar, diketahui bahwa lokalisasi tersebut dalam
beroperasi tidak melihat situasi. Hal itu dikarenakan pada saat bulan
ramadhan, lokalisasi tersebut juga masih buka. Berikut adalah hasil
wawancara selengkapnya:12
“...Wanita tuna susila yang ada di tempat ini beroperasiya sebenarnya
tidak melihat dari situasinya. Seperti halnya sekarang ini, saat bulan
puasa tempat kami masih tetap buka meskipun hanya sampai dengan jam
empat sore. Hal ini saya lakukan untuk mengantisipasi kalau sampai terjadi
keributan, entah para tamu ini untuk membeli roti atau hanya untuk membeli
minuman keras saja dan juga untuk menjaga toleransi pada warga sekitar.
Usaha ini sebenarnya sudah turun temurun, yang pertama dari eyang,
budhe, ibu saya dan terakhir adalah saya sendiri. Jumlah wanita susila
yang ada di tempat ini hanya lima orang dan tidak pernah lebih dari itu.
Kelima orang ini tidak semua asli dari Kabupaten Blitar ada juga yang
berasal dari Palembang dan Lumajang.”
Dari penelasan informan di atas, diketahui jumlah WTS yang
beroperasi di lokalisasi tersebut sejumlah lima orang. Kelima WTS
tersebut, tidak semuanya asli dari Kabupaten Blitar, namun ada
juga yang berasal dari Palembang dan Lumajang. Ketika memasuki
bulan puasa, loakalisasi tersebut beroperasi sampai jam empat sore.
Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kalau sampai terjadi
keributan, baik itu dari para tamu yang membeli roti (jasa WTS)
serta para tamu yang hanya untuk membeli minuman keras saja.
Disamping itu, juga untuk bisa menjaga toleransi pada warga sekitar.

11
Wawancara dengan Bapak Darmaji selaku warga masyarakat yang tinggal di bekas
lokalisasi bokem di daerah Sutojayan Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar, 14 Juni
2016 pukul 13.10 WIB
12
Wawancara dengan pemilik wisma yang ada di lokalisasi Njaring Kecamatan
Kanigoro Kabupaten Blitar, 14 Juni 2016 Pukul 13.20 WIB

85
Tantangan dan Strateginya

Data dari Dinas Sosial Kabupaten Blitar, diketahui bahwa jumlah


tuna susila yang ada di Kabupaten Blitar pada tahun 2015 adalah
sejumlah 56 orang.13 Jumlah tuna susila tersebut terdiri atas jenis
kelamin peremuan sejumlah 51 orang. Kemudian jumlah tuna susila
jenis kelamin laki-laki sejumlah 4 orang. Sedangkan jumlah tuna
susila Waria, yaitu sejumlah satu orang.

13
Data jumlah PMKS yang ditangani Dinas Sosial Kabupaten Blitar Tahun 2015

86
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Hambatan dan Proyeksi 7


Penanganan PMKS

Upaya penanganan PMKS di Kota Pasuruan dilakukan oleh


Dinsos yang bekerja sama dengan beberapa dinas tekait tidak luput
dari berbagai dinamika yang harus dihadapi. Dinamika kondisi dan
situasi yang berupa perubahan terus mengiringi proses penanganan
anjal dalam upaya meminimalisir keberadaan anjal di Kota Pasuruan
untuk menuju Kota Layak Anak sesuai dengan keputusan Walikota
Pasuruan No. 188/301/423.031/2015. Dinamika tersebut dapat berupa
kendala yang memang harus dihadapi dan diselesaikan oleh
Pemerintah Kota Pasuruan dan seluruan lapisan masyarakat, karena
permasalahan sosial seperti anjal ini menjadi tanggu jawab bersama.
Berbagai kendala yang muncul tentunya secara otomatis akan menuai
respon-respon berupa strategi penyelesainya. Kedua sisi tersebut
yakni kendala dan penyelesaiannya, akan terus berjalan secara ber-
kesinambungan sejalan dengan aktivitas yang dilakukan oleh berbagai
pihak baik pemerintah, anjal sendiri dan masyarakat umum tentunya.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, peneliti menemukan
beberapa kendala yang terjadi dalam setiap proses atau program kerja
yang diperuntukkan bagi penanganan anjal. Peneliti akan mengurai-
kan berbagai kendala yang ditemukan dalam proses lapangan dalam
penelitian ini secara komperhensif dan empiris. Selain menampilkan

87
Tantangan dan Strateginya

berbagai kendala yang dirasakan oleh Pemerintah Kota Pasuruan,


peneliti juga akan memberikan beberapa altenatif pemecahan masalah
yang didasarkan atas upaya Pemerintah Kota Pasuruan saat ini
sebagai respon dari kendala tersebut. Hal ini perlu untuk mengetahui
bagaimana Pemerintah Kota Pasuruan telah berupaya dan berusaha
melakukan tindakan pemecahan masalah dari berbagai kendala yang
dihadapai guna menemukan sebuah strategi penyelesaian yang tepat
dan efektif.

A. Kendala-kendala Penanganan PMKS


Berdasarkan temuan lapangan dalam penelitian ini, kendala
yang tejadi dalam penanganan anjal di Kota Pasuruan, Kabupaten
blitar, dan Kota Surabaya, yaitu:

1. Minimnya Pendanaan/Anggaran Untuk Anjal


Kendala berupa masalah pendaaan hampir dijumpai dalam
setiap pengkajian soal aktivitas pengembangan sosial masyarakat.
Hal ini juga muncul sebagai salah satu kendala dalam penelitian
ini. Masalah pendanaan dihadapi dan dirasakan oleh Dinsos sebagai
penanggung jawab atas penangan anjal di Kota Pasuruan. Sunarno
(2017)1 dari Dinsos mengatakan bahwa permasalahan anggaran
menjadi kendala utama dalam kasus penangan anjal ini. Masalah
anggaran begitu terasa ketika harus beradaptasi dengan para anjal
yang dijaring oleh SATPOL PP dan diserahkan ke Dinsos. Pada
hakikatnya, Dinsos sendiri sebenarnya juga mencanangkan program
pemberian modal usaha bagi para anjal sehingga mereka bisa
berjualan atau membuka usaha kecil-kecilan untuk keberlang-
sungan hidup mereka.
Namun kenyataanya, anggaran yang dimiliki tidak mencukupi
untuk memberikan modal usaha kepada keseluruhan anjal yang
sudah dirazia. Hal ini memang dikarenakan anggaran yang minim
until para anjal. Meskipun demikian pada dasarnya hal yang paling
diperlukan bagi para anjal yang rata-rata memiliki usia di bawah
18 tahun ini adalah pembinaan dan pendidikan dalam rangka
meningkatkan kualitas diri atau keterampilan. Sehingga, anjal ini

1
Hal yang sama juga disampaikan oleh Dinsos Kota Surabaya Dinsos Kabupaten
blitar.

88
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

memiliki skill untuk langsung terjun ke dunia kerja dan tidak lagi
berkeliaran di jalanan dengan meminta-minta belas kasihan orang
yang lalu lalang di jalan raya.

2. Sistem Koordinasi yang Buruk


Jika tidak menginginkan permasalahan anak jalanan terus menerus
meningkat, maka dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, peran
keluarga dan lembaga-lembaga yang terkait. Sistem koordinasi dan
komunikasi yang jelas dalam setiap program yang dilakukan untuk
menangani kasus anjal menjadi kunci utama dalam keberhasilan
program ke depanya. Misalnya, usaha represif yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota Surabaya terhadap anjal adalah dengan melakukan
razia di jalan-jalan umum karena dirasa mengganggu ketetiban
publik. Namun, dari analisis data yang ada di Kota Pasuruan,
Surabaya, dan Malang selama ini masih belum ada singkronisasi
jelas antara Satpol PP dan dinsos, sehingga Satpol PP merasa setelah
dilakukannya razia tehadap anjal tidak ada tindak lanjut yang jelas
dari Dinsos. Hal ini terjadi karena tidak adanya komunikasi antar
kedua petugas yang berwenang khususnya dalam hal penjadwalan
razia oleh Satpol PP. Sinkronisasi penjadwalan razia ini penting
mengingat penangan atau tindak lanjut yang harus dilakukan oleh
Dinsos tehadap anjal-anjal yang telah di razia oleh Satpol PP.
Ketika komunikasi berjalan terus menerus, maka akan terbentuk
sebuah skema komunikasi. Skema komunikasi ini yang kemudian
nantinya akan memudahkan setiap kelompok atau lembaga baik for-
mal maupun informan mampu menyelaraskan setiap tindakan dan
menjalin kerjasama yang nyaman agar pekerjaan yang dilakukannya
efektif. Perlunya perbaikan sistem koordinasi menjadi hal yang
penting juga mengingat dalam penanganan kasus anjal ini tidak
dapat diatasi oleh satu stakholder saja, melainkan melibatkan banyak
stakholder dan masyarakat tentunya untuk mencapai ketetiban dan
kesejahteraan sosial bersama.

3. Masalah Sumber Daya Manusia


Permasalahan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi pekerjaan
rumah tersendiri bagi Pemerintah Kota Pasuruan, Kabupaten blitar,
dan Kota Surabaya. SDM yang dimaksud di sini adalah kualitas
SDM PMKS yang berada di tiga kota tersebut. Menurut Suhri (2017)

89
Tantangan dan Strateginya

dari Dinas Pendidikan Kota Pasuruan menyebutkan bahwa sebagian


besar anjal yang berada di Kota Pasuruan ini adalah mereka yang
putus sekolah saat SMP dan fenomena pernikahan dini. Kebanyakan
anjal memang mengalami kesulitan ekonomi dari keluarga mereka
sehingga menyebabkan para anjal memilih untuk membantu orang
tuanya mencari nafkah untuk hidup mereka dan keluarga. Faktor
pendidikan dan peningkatan kulaitas SDM menjadi peringkat
kesekian dalam skala prioritas kehidupan mereka.
Apa yang terjadi di Kota Pasuruan tidak berbeda jauh dengan
kondisi yang terjadi di Kota Surabaya. Sebagai daerah tujuan urban
Surabaya menjadi tempat yang nyaman bagi para PMKS, khususnya
lima jenis PMKS secara keseluruhan, memang berangkat dari
keluarga yang secara SDM tergolong rendah. Kondisi ini menjadi
persoalan tersendiri ketika Dinsos melakukan pembekalan kemampuan
yang kerap berujung pada kegagalan dikarenakan ketidakmampuan
SDM yang menyerap pembekalan tersebut.
Pemasalahan SDM ini juga yang menjadi salah satu faktor anjal
dianggap sebagai anak-anak yang urakan dan sering mengganggu
ketertiban umum. Banyaknya anak Punk yang mangkal disepanjang
jalan Suekarno Hatta di Kabupaten blitar dan di Lampu merah Dinoyo
menjadi momok tersendiri bagi warga. Walaupun secara psikologis
hal demikian pada dasarnya menjadi sebuah kewajaran, karena di
usia mereka yang masih sangat belia, emosi yang masih sangat tidak
mudah terkontrol, dan pengetahuan serta keterampilan yang tebatas
dihadapkan pada realita hidup yang tidak mudah bagi mereka. Oleh
karenanya, memberdayakan anak jalanan tersebut juga dapat
menekan tingkat bertambahnya anak jalanan. Misalkan dengan
memberi pengajaran melalui BLK (Balai Latihan Kerja), sehingga
anak jalanan dapat memiliki kemampuan baru yang nantinya
digunakan untuk bekerja.
Setelah memberikan pelatihan demi terciptanya jiwa wirausaha,
maka pemerintah wajib membantu dengan memberikan modal tanpa
bunga. Tapi dalam pengawasannya pemerintah tidak boleh lepas
tangan, jadi pemerintah terus memantau perkembangan dari anak
jalanan tersebut sampai modal yang diberikan bisa kembali dan
usahanya dianggap sudah cukup maju untuk menghidupi diri dan
keluarganya. Dengan cara ini tentu sangat berpengaruh terhadap

90
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

bertambahnya anak jalanan di Indonesia, meskipun pemerintah


harus banyak berkorban dalam hal ini. Tetapi memang seharusnya
peran pemerintah adalah melindungi segenap bangsa, yang sesuai
dengan UUD 1945.

4. Tidak Adanya Rumah Singgah bagi PMKS


Rumah singgah adalah suatu wahana yang dipersiapkan sebagai
perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan
membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses informal yang
memberikan suasana resosialisasi kepada anak jalanan terhadap
sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Rumah singgah
adalah tahapan awal bagi seorang anak untuk memperoleh pelayanan
selanjutnya, oleh karena itu penting kiranya menciptakan suasana
nyaman, tertib dan menyenangkan bagi anak jalanan. Sebenarnya
rumah singgah bagi anak jalanan sudah ada, tetapi karena kurangnya
koordinasi antara pengelola dan asak jalanan, maka rumah singgah
ini fungsinya tidak dapat dioptimalkan. Oleh sebab itu, lembaga
penampung atau rumah singgah anak jalanan juga harus memiliki
jaringan kerja, baik dengan instansi pemerintah ataupun dengan
lembaga-lembaga atau rumah singgah lainnya. Dengan adanya kerja
sama antara pemerintah dan lembaga-lembaga serta keluarga ataupun
instansi yang terkait, diharapkan rumah singgah atau lembaga
penampung anak jalanan dapat memberikan pelayanan yang
maksimal bagi anak jalanan.
Tujuan umum dari rumah singgah adalah membantu anak
jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif
untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Membentuk kembali sikap dan prilaku anak yang sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
2. Mengupayakan anak-anak kembali kerumah jika memungkin-
kan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.
3. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan
kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga
menjadi warga masyarakat yang produktif.

91
Tantangan dan Strateginya

Oleh karenanya keberadaan rumah singgah bagi PMKS ini


menjadi suatu hal yang sangat membantu dalam setiap pelaksanaan
program Pemerintah Kota Pasuruan, Malang, dan Surabaya. Rumah
singgah ini dapat mempermudah tindakan monitoring secara terus
menerus kepada PMKS di tiga Kota tersebut, yang sedang dalam
proses penanganan hingga anak tersebut dikatakan mampu berdiri
sendiri atau tidak dalam usia penanganan lagi.
Menurut Dedy. Dinsos Kota Pasuruan mengalami kendala
keterbatasan fasilitas seperti tempat, kita tidak memiliki semacam
rumah singgah.
“Keterbatasan tempat sangat menjadi kendala, misal ada
kiriman dari Satpol PP kita tidak bisa memberikan pembinaan
secara intensif misal sampai menginap karena tidak ada
tempatnya, Sehingga seringkali kita kembalikan langsung atau
kita biarkan pulang. Misal ada yang dari luar ya kita kirim ke
Provinsi. Untuk orang gila biasanya kita kirimkan ke Panti
tapi tidak semua orang gila tidak bisa diterima oleh panti. Kalau
tidak bisa jalan dan mandiri mereka tidak mau menerima.
Sebenarnya, ada Pergub yang mengatur tentang jumlah Rumah
Sakit ysng harus mau menerima orang gila, namu hanya
beberapa. Kapan hari, ada orang gila yang ngeprok atau gak
bisa apa-apa kita titipkan di RS sidoarjo akhirnya 2 minggu
meninggal.”
Kalau anak jalanan kita titipkan di BLH, Tapi kebanyakan ya
kita pulangkan karena mereka gak mau dikasih pelatihan, mereka
juga gak mau ditampung di panti. Kalau di panti kan ada aturan-
aturan yang harus dipatuhi, sedangkan mereka kan gak suka
dengan aturan. Sedangkan jika kita punya rumah singgah kita yang
berusaha membuat mereka nyaman di rumah singgah. Misal setau
saya di Surabaya kan ada rumah singgah untuk kumpulnya mereka,
ya mereka tetap beraktifitas misal sekolah ya tetap sekolah di luar,
tapi setelah sekolah mereka kembali. Jadi untuk kumpulnya saja.
Rumah singgah kan biar mereka nyaman dan mengajak teman-
teman mereka dijalanan untuk ke rumah singgah sehingga kita
bisa mudah mengontrol dan membinanya.
Di Pasuruan, yang banyak justru bapak anjal (orang jalanan
dewasa) yang jual kopi atau jual asongan. Kebanyakan dari mereka
merupakan nelayan yang tidak melaut. Kalau musim anak SD seperti
ini banyak juga anak SD yang dijalanan.
92
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Hal senada juga ditegaskan oleh Fitri Kasubag Rehabilitas Sosial


Dinsos Kota Pasuruan. Menurutnya banyak sekali kendala dalam
penanganan PMKS, tidak adanya rumah singgah juga menjadi
kendala. Misal ada orang gila, kita harus menitipkan ke panti dan
permasalahannya panti punya kriteria sendiri buat menerima or-
ang untuk di tampung. Mereka hanya mau menerima orang gila
yang mandiri. Kalo gak bisa jalan atau mandi sendiri mereka tidak
mau menerima.
Untuk anjal ya biasanya hanya kita bina beberapa jam saja, karena
kita juga tidak ada tempat untuk menampung. Apalagi anak jalanan
dan orang tuanya juga gak mau dikasih pelatihan. Harusnya kita
punya rumah singgah, sudah pernah ada usulan sejak 3 tahun yang
lalu, waktu itu yang mengusulkan bu Puspa dari BAPPEDA tapi
tidak ada hasilnya sampai sekarang. Begini mas, saya sebenarnya
punya keinginan ada suatu kawasan biar Kota Pasuruan ini ada
bukti “ini lho binaan sosial”. Saya pingin punya kawasan untuk
anak-anak yang bermasalah. Di satu kawasan itu misal ada anak
anjal yang punya service sepeda motor, anak anjal yang service hp,
tempat cuci motor. Ada juga orang cacat yang punya usaha gitu,
jadi di situ itu tempat oarang-orang yang eks masalah-masalah sosial.
Jadikan mereka itu diberi pelatihan diberi bantuan tapikan juga
perlu dibantu tentang pemasarannya. Kalau pemerintah daerah
memiliki kawasan seperti itu, mereka akan terbantu pemasarannya,
misal pak Wali menginstruksikan atau mengarahkan pegawai dan
masyarakat misal service motor di kawasan itu biar bisa bantu anak-
anak, atau dipromsikan. Jadi bisa terlihat warga binaan sosial,
nggak mari di bina ilang.
Apa yang disampaikan oleh Fitri di atas merupakan solusi jangka
panjang terkait persoalan PMKS khususnya anjal di Kota Pasuruan.
Dengan strategi demikian, diharapkan persoalan PMKS akan dapat
teratasi.
Di Kabupaten blitar, kondisinya tidak jauh berbeda. Pemerintah
Kabupaten blitar belum memiliki Rumah singgah atau Liponsos
sebagaimana Surabaya memilikinya. Akhirnya, ketiadaan Liponsos
tersebut menjadi kendala tersendiri dalam proses penanganan PMKS
di Kabupaten blitar. Hal ini setidaknya disampaikan oleh Ibu Titin
Dinas Sosial Kabupaten blitar. Menurutnya, Malang belum memiliki

93
Tantangan dan Strateginya

Liponsos. Padahal, tempat ini sangat dibutuhkan bagi percepatan


penanggulangan PMKS. Selama ini, hanya kami titipkan di selter-
selter milik Provinsi. Itupun sering penuh sehingga Dinsos
Kabupaten blitar kerap ditolak.

B. Proyeksi Penanganan PMKS


Dari pembahasan pada sub bab sebelumnya, terlihat bahwa
penanganan penyandang PMKS di Kabupaten blitar, Pasuruan dan
Surabaya secara umum masih terkesan sektoral dan belum dapat
dijalankan secara maksimal mengingat infrastruktur pendukung
yang belum tersedia. Kondisi ini menyebabkan keberadaan PMKS
khususnya terkait dengan lima jenis PMKS tersebut masih belum
tertangani secara maksimal.
Karena itu, Pemerintah Kota di Jawa Timur memerlukan Rencana
Aksi Daerah (RAD) dalam penanggulangan PMKS. Hal ini penting
untuk dapat menjamin terlaksananya penanggulangan PMKS secara
maksimal.

1. RAD Penanggulangan PMKS


RAD Penanggulangan PMKS setidaknya memuat sejumlah hal:
Pertama, kelembagaan. Keberadaan kelembagaan khusus dalam bentuk
satuan gugus tugas Penanggulangan PMKS mendesak dibentuk di
Kota dan Kabupaten di Jawa Timur untuk dapat mensinergikan
sejumlah OPD dan lembaga terkait dalam percepatan penanggu-
langan PMKS.
Satgas PMKS ini dibentuk atas dasar Surat Keputusan Walikota/
Bupati yang anggotanya setidaknya meliputi:
- Dinas Sosial,
- Dinas Kesehatan,
- Dinas Tenaga Kerja,
- Dinas Pendidikan,
- Satpol PP,
- BNN,
- Kepolisian,
- Lembaga Kesejahteraan Sosial,

94
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

- Pekerja Sosial, dan


- Tenaga Kesejahteraan Sosial.
Keberadaan Satgas PMKS ini diharapkan dapat menghilangkan
ego sektoral disetiap lembaga untuk kemudian secara bersama sama
melaksanakan percepatan penanggulangan PMKS.
Kedua, Langkah penanggulangan. Langkah penanggulangan
yang perlu diatur di dalam RAD Penanggulangan PMKS setidaknya
memuat sejumlah hal:
1. Pencegahan. Upaya pencegahan dilakukan untuk mencegah
timbulnya anak jalanan, gelandangan, orang gila dan pengemis
dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan mau-
pun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber
timbulnya anak jalanan, gelandangan, orang gila dan pengemis.
Upaya pencegahan setidaknya meliputi: a) penyuluhan dan bim-
bingan sosial; b) pembinaan sosial; c) bantuan sosial; d) perluasan
kesempatan kerja; e) dan peningkatan derajat kesehatan.
2. Penanggulangan. Upaya Penanggulangan dilakukan untuk
mengurangi dan/atau meniadakan anak jalanan, gelandangan,
orang gila dan pengemis. Upaya penanggulangan sebagaimana
dimaksud meliputi: penjangkauan2; assesment3 ; dan pemenuhan
hak-hak dasar4.
3. Rehabilitasi Sosial. Upaya rehablitasi dilakukan agar anak
jalanan, gelandangan, dan pengemis mampu melakukan kembali

2
Upaya penjangkauan dilakukan dengan mendatangi anak jalanan, gelandangan,
orang gila dan pengemis di tempat-tempat yang biasa disinggahi. Upaya penjangkauan
ini dilakukan oleh instansi dan atau lembaga yang tergabung di dalam satgas
penanggulangan PMKS.
3
Assessment bertujuan melindungi, membina serta menjamin hak asasi anak jalanan,
orang gila, gelandangan, dan pengemis sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka assessment, anak jalanan, gelandangan, dan pengemis ditempatkan pada
penampungan sementara. Assesment dimaksudkan untuk menetapkan kualifikasi anak
jalanan, gelandangan dan pengemis, sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya
yang meliputi:
- Dilepaskan dengan syarat;
- Dimasukkan dalam panti sosial/balai rehabilitasi sosial dan/atau sebutan lain;
- Dikembalikan ke dalam masyarakat, antara lain kepada orang tua/wali/keluarga, ke
tempat asal, dipekerjakan menurut bakat dan kemampuan masing-masing;
- Dan diberi hak pengasuhan untuk anak jalanan.
4
Upaya pemenuhan hak-hak dasar meliputi: a) pemenuhan hak atas identitas; b)
pemenuhan hak atas kebutuhan dasar; c) pemenuhan hak atas kesehatan; d) pemenuhan
hak atas pendidikan; e) dan pemenuhan hak atas perlindungan dan/atau bantuan hukum.

95
Tantangan dan Strateginya

fungsi sosialnya dalam tata kehidupan bermasyarakat, meliputi:


a) bimbingan mental spiritual; b) bimbingan fisik; c) bimbingan
sosial; d) dan bimbingan dan pelatihan keterampilan.
4. Reintegrasi Sosial yakni upaya yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah, Lembaga Kesejahteraan Sosial dan/atau masyarakat yang
didasarkan atas hasil penelusuran asal usul dan kondisi keluarga
atau keluarga pengganti.
Setelah upaya upaya tersebut dilakukan, maka Pemerintah daerah
masih memiliki tanggung jawab untuk melakukan bimbingan
lanjutan terhadap anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang
dilaksanakan secara terencana, terorganisir, dan berkesinambungan.
Pengawasan terhadap anak jalanan, gelandangan, dan pengemis
dilakukan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi. Program dan
kegiatan untuk pelaksanaan monitoring dan evaluasi diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Walikabupaten blitar.
Melalui sejumlah langkah di atas, diharapkan penanggulangan
lima jenis PMKS sebagaimana fokus penelitian ini dapat dilaksana-
kan dengan lebih optimal.
Ketiga, Partisipasi Masyarakat. Pemerintah Daerah juga perlu
mempertimbangkan keterlibatan masyarakat, lembaga sosial, dan
dunia usaha untuk bersama sama melaksanakan penanggulangan
terhadap PMKS. Masayarakat diberi ruang untuk turut serta dalam
melakukan pembinaan, baik yang dilakukan oleh perseroarangan,
keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan5,
lembaga swadaya masyarakat, badan usaha6, maupun lembaga
kesejahteraan sosial.
Keempat, Pendanaan. Pembiayaan atas kegiatan pembinaan
anak jalanan, WTS, gelandangan, orang gila dan pengemis oleh
Pemerintah daerah dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah dan/atau sumber lain yang sah sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

5
Organisasi sosial kemasyarakatan dapat berperan dalam pembinaan terhadap anak
jalanan, gelandangan, dan pengemis dengan mendirikan panti sosial. Dalam perjalanannya,
panti sosial ini wajib mendaftarkan diri dan memberikan laporan berkala kepada Pemerintah
Kabupaten blitar.
6
Peran badan usaha sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

96
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Maksimalisasi atas CSR perusahaan dan atau badan usaha


menjadi penting untuk dapat semakin memaksimalkan pendanaan
penanggulangan PMKS di Kabupaten blitar, Pasuruan, dan
Surabaya. Hal ini sangat memungkinkan mengingat banyaknya
perusahaan perusahaan yang ada di tiga Kota besar tersebut.

2. Peraturan Daerah Tentang Penanggulangan PMKS


Untuk dapat melaksanakan penanggulangan PMKS secara
maksimal, maka pemerintah Kabupaten blitar, Pasuruan, dan Kota
Surabaya secara sungguh sungguh perlu menjalankan Peraturan
Daerah yang sudah ada menjadi Perda yang mengatur penanggu-
langan lima jenis PMKS sebagaimana fokus penelitian ini.
Pengaturan perda lima jenis PMKS tersebut secara filosofis,
sosiologis dan juridis dilandasi oleh sejumlah hal:
- bahwa anak jalanan, gelandangan, gelanganan psikotik, WTS,
dan pengemis sebagai anggota masyarakat, mempunyai harkat
dan martabat serta hak asasi yang merupakan anugerah dari Tuhan
Yang Maha Kuasa sehingga harus dilindungi dan dipenuhi
untuk mencapai kehidupan yang layak dan bermartabat serta
dapat terpenuhi hak asasi dan kebutuhan dasarnya;
- bahwa perkembangan sosial ekonomi masyarakat seringkali
menyebabkan anak jalanan, gelandangan, gelandangan psikotik,
dan pengemis terpaksa hidup di jalan yang cenderung membahaya-
kan dirinya sendiri dan/atau orang lain serta memungkinkan
mereka menjadi sasaran eksploitasi dan tindak kekerasan;
- bahwa dalam rangka melaksanakan pembinaan anak jalanan,
gelandangan, dan pengemis sehingga dapat berjalan efektif dan
mempunyai pedoman serta dasar yuridis, maka perlu dukungan
kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat
menjamin pelaksanaannya;
Penanggulangan dan pembinaan PMKS jenis ini penting guna
mencegah dan mengantisipasi meningkatnya jumlah anak jalanan,
gelandangan, orang gila, dan pengemis sekaligus mengentaskan
mereka dari kehidupan jalanan yang berisiko.
Menjamin terpenuhinya hak-hak dasar agar anak jalanan,
gelandangan, orang gila dan pengemis dapat hidup sesuai dengan
harkat dan martabat sebagai warga Negara.
97
Tantangan dan Strateginya

Yang tidak kalah penting adalah memberikan perlindungan kepada


anak jalanan, gelandangan, orang gila dan pengemis dari diskriminasi,
kekerasan fisik atau mental termasuk kekerasan seksual, penelantaran,
eksploitasi dan perlakuan buruk; dan menciptakan ketertiban,
ketenteraman, dan kehidupan bersama yang bermartabat.
Untuk dapat melaksanakan penanggulangan dan pembinaan
terhadap lima jenis PMKS tersebut, maka pemerintah Kabupaten blitar
berwenang: a) menyusun pedoman RAD penanggulangan PMKS;
b) memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyeleng-
garaan perlindungan anak jalanan, gelandangan, orang gila dan
pengemis; c) memfasilitasi usaha-usaha penyelenggaraan pelayanan
pemenuhan hak-hak anak jalanan, gelandangan, dan pengemis; d)
melakukan koordinasi dan mengembangkan jejaring kerjasama
antar lembaga pemerintah maupun dengan masyarakat dan swasta;
e) dan melakukan pengawasan terhadap upaya pencegahan,
penanggulangan, rehabilitasi, dan reintegrasi yang dijalankan oleh
masyarakat dan swasta.

C. Penanggulangan PMKS jenis PSK


Terkait dengan Penangulangan PMKS jenis PSK memrlukan
upaya khusus mengingat dampaknya yang meluas, pasca penutupan
lokalisasi disejumlah daerah termasuk di Surabaya, Malang, dan
Pasuruan serta sejumlah Kabupaten Kota lain di Jawa Timur. Dari
hasil analisis yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa kebija-
kan penutupan lokalisasi pada kenyatanya tidak mampu menyelesai-
kan masalah prostitusi di Indonesia. Kebijakan ini terus menuai
pro kontra di tengah masyarakat. di satu sisi kebijakan ini baik
untuk masyarakat umum. Namun ada sejumlah masyarakat yang
merasa dirugikan dari kebijakan ini. Untuk itu pemerintah harus
memikirkan kebijakan yang tepat untuk meminimalisir dampak dari
kebijakan penutupan lokalisasi tersebut.
Dibawah ini ada sejumlah formulasi kebijakan untuk memini-
malisir dampak penutupan lokalisasi. Formulasi Kebijakan
Penanganan Dampak Ekonomi. Pertama, Merelokasi daerah bekas
lokalisasi. Setelah adanya kebijakan penutupan daerah lokalisasi.
Maka tugas pemerintah selanjutnya adalah merubah wajah daerah
bekas lokalisasi tersebut. Daerah bekas lokalisasi bisa dijadikan daerah

98
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

padat karya. Seperti misalnya dijadikan sebagai daerah sentral industry


yang dapat dijadikan destinasy wisata. Atau dijadikan sebagai daerah
wisata kuliner. Pemerintah harus mampu menarik para investor
untuk mau menanamkan modalnya di daerah tersebut.
Selain itu pemerintah juga bisa merubah daerah lokalisasi menjadi
sebuah taman kota yang lengkap dengan faslitas umum yang ber-
manfaat bagi masyarakat. fasilitas umum tersebut bisa berupa sarana
olahraga, perpustakaan, taman baca, taman bermain anak-anak dan
tempat rekreasi keluarga. Tentunya dengan pengelolanya melibatkan
masyarakat bekas penghuni lokalisasi.
Dengan adanya taman kota secara langsung juga akan memun-
culkan simpul-simpul ekonomi yang lain. Seperti misalnya menye-
diakan lapangan pekerjaan bagi para PKL, dan sarana hiburan yang
lain. tentunya dengan penataan yang baik agar dapat menarik
pengunjung. Keberadaan taman kota saat ini cukup banyak men-
dapatkan perhatian oleh masyarakat. masyarakat semakin merasa
butuh adanya taman kota. Terlihat saat ini semakin ramainya taman
kota dikunjungi oleh masyarakat. apalagi jika didukung dengan
fasilitas yang memadai dan pengelolaan yang baik. Maka akan
memberikan manfaat dan keuntungan besar bagi masyarakat sekitar
khususnya dan masyarakat luas.
Menurut Irwanto 1998, image buruk bekas daerah lokalisasi
harus dirubah7 sebab sebagian besar masyarakat biasanya enggan
mendekati daerah-daerah lokalisasi. Oleh karena itu harus diadakan
perubahan total untuk merubah wajah daerah lokalisasi.
Daerah lokalisasi harus benar-benar bersih dari PSK. Wisma-
wisma dan tempat karaoke yang biasanya menjadi tempat mangkalnya
para PSK harus dibongkar. Dan dirubah dengan penataan yang baru.
Bekas daerah lokalisasasi juga bisa dijadikan sebagai daerah pusat
perbelanjaan. Seperti kawasan pertokoan atau dijadikan sebagai pasar.
Dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak untuk dapat mewujudkan
tujuan tersebut. khususnya kemauan dari masyarakat sekitar untuk turut
bekerjasama dengan pemerintah merubah wajah daerah lokalisasi.

7
Irwanto, 1998. Aspek Ekonomi, Sosial dan Budaya Dalam Prostitusi Anak: Studi Kasus
di Desa Bongas, Kecamatan Indramayu. Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat
Unika Atma Jaya.

99
Tantangan dan Strateginya

Kedua, Memberikan pelatihan wirausaha kepada masyarakat.


Nasib para PSK dan pelaku ekonomi di sekitar lokalisasi menjadi
semakin kian terpuruk pasca kebijakan penutupan daerah lokalisasi.
ketrampilan yang minim dan tingkat pendidikan yang rendah mem-
buat mereka semakin sulit mencari pekerjaan pengganti. Oleh karena
itu, pemerintah mempunyai kewajiban untuk membekali mereka
dengan ketrampilan yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.
ketrampilan berwirausaha sangat penting diberikan kepada mereka.
seperti misalnya ketrampilan untuk berbisnis di bidang kuliner,
ketrampilan untuk berbisnis di bidang jasa, atau ketrampilan berbisnis
di bidang industry rumahan atau yang sering dikenal dengan istilah
home industry.
Pemerintah harus bersedia memfasitasi pelatihan untuk mereka.
menyediakan pelatihan-pelatihan yang berkelanjutan. Tidak hanya
diadakan satu atau dua kali namun harus sampai mereka menguasai
bidang keahliannya masing-masing. Pemerintah juga harus peka
terhadap bakat dan minat mereka untuk menyesuaikan jenis pelatihan
yang diberikan. Untuk itu, pemeirntah harus menyediakan beragam
bentuk pelatihan yang mampu menyerap seluruh bakat dan minat
warga sekitar lokalisasi. karena banyak dari mereka terkadang tidak
tertarik dengan tawaran dari pemerintah karena merasa tidak cocok
dengan bakat dan minat yang mereka miliki. Ketrampilan yang cocok
diberikan kepada warga bekas penghuni lokalisasi adalah ketrampian
di bidang kecantikan, memasak, dll. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh
pemerintah untuk memberikan pelatihan kecantikan dan ketrampian
di bidang fashion kepada mereka.
Tidak hanya memberikan pelatihan ketrampilan. Namun mereka
juga harus dibekali ketrampilan manajemen dalam wirausaha. Seperti
misalnya bagaimana melakukan produksi, melakukan penjualan,
dan tehnik-tehnik dalam pemasaran. Sehingga ketrampilan yang
mereka miliki akan didukung dengan kemampuan pengeloaan yang
baik. ini akan menjamin keberlangsungan usaha mereka. khususnya
dalam hal promosi, pemerintah diharpakn memberikan perhatian
yang lebih. Mengingat status mereka sebagai mantan penghuni
lokalisasi tentunya tidak mudah bagi mereka untuk melakukan
pendekatan kepada masyarakat umum.

100
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Ketiga, Menyediakan lapangan pekerjaan baru. Meningaktnya


jumlah pengangguran sudah dipastikan terjadi pasca penutupan
lokalisasi. banyak orang yang biasanya menaggntungkan hidupnya
di lokalisasi akan kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran.
Untuk mengenatisipasi hal ini, menurut Karandikar, 20088 pemerintah
harus menyediakan lapangan pekerjaan yang baru bagi mereka. Tidak
hanya bekal ketrampilan yang diberikan kepada mereka akan tetapi
lapangan pekerjaan juga haus diberikan. Sulitnya mencari pekerjaan
sudah menjadi masalah pelik di tengah masyarakat kita. Oleh karena
itu, pemerintah harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru
yang mampu menyerap tenaga kerja yang besar, khususnya bagi
mereka bekas penghuni daerah lokalisasi.
Sebagian masyarakat memberikan pandangan miring terhadap
mantan PSK, mantan mucikari, dan mantan preman-preman. Banyak
dari perusahaan-perusahaan tidak bisa menerima mereka sebagai
karyawan. Banyak persyaratan yang tidak bisa dipenuhi oleh mereka.
Seperti misalnya larangan bertato, padahal banyak mantan preman
disana yang bertato. Atau larangan bagi laki-laki untuk bertindik,
padahal sebagian dari preman-preman menindik telingannya. Peme-
rintah harus bekerjasama dengan beberapa perusahaan agar mereka
membeirkan perlakuan khusus bagi mereka dan membeirkan kesem-
patan dan hak yang sama bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan.
Keempat, Memberikan kemudahan peminjaman modal usaha.
Dorongan untuk berwirausaha harus diimbangi dengan dukungan
secara materi oleh pemerintah. Kesulitan modal menjadi salah satu
kendala mereka untuk berwirausaha. Seperti upayan yang dilaku-
kan oleh pemerintah Kota Surabaya misalnya dengan memberikan
kompensasi sebsar Rp 5 juta rupiah kepada penghuni lokalisasi.
uang tersebut bisa dijadikan modal usaha. Namun jumlah tersebut
sangat jauh dari cukup untuk mendirikan sebuah usaha. Untuk
pemerintah perlu memberikan pinjaman modal dengan bunga ringan
kepada mereka yang ingin melakukan wirausaha. Pemerintah dapat
membangun koperasi khusus di kawasan tersebut yang khusus
memberikan pinjaman kepada para warga bekas penghuni lokalisasi.

8
Karandikar, Sharvari, 2008. Need for Developing A Sound Prostitution Policy:
Recommendations for Future Action. Journal of Interdiciplinary & Multidiciplinary Re-
search, Volume 2, Issue 1.

101
Tantangan dan Strateginya

Pemberian pinjaman dengan sistem koperasi akan memudahkan


mereka karena tidak perlu adanya jaminan ketika melakukan pinjaman.
Selain itu system koperasi lebih mengedapankan asas kekeluargaan
sehingag tidak akan memberatkan mereka. Pemerintah harus berani
memberikan modal yang besar bagi koperasi di daerah lokalisasi agar
warga dapat meminjam dengan jumlah yang cukup untuk mem-
bangun sebuah usaha.
Formulasi Kebijakan Penanganan Dampak Sosial: Pertama,
Mengusahakan perdamaian antara pihak yang pro dan kontra.
Permusuhan antara pihak pro kontra harus segera diselesaiakan.
Tidak hanya antara masyarakat dengan pemerintah, namun juga
antar warga masyarakat sendiri. Harus ada pihak ketiga yang
dilibatkan sebagai mediator yang menjembatani kedua belah pihak
yang berselisih. Perbedaan pendapat dan kepentingan menjadi alasan
utama adanya perselisihan antara kedua belah pihak. Meminimalisir
kerugian di salah satu pihak harus diupayakan supaya tidak ada
lagi perselisihan.
Mediasi melalui jalan musyawarah merupakan pilihan yang
tepat untuk menghentikan perselisihan. Perang mulut yang selama
ini disampaikan melalui media dan melalui aksi demo harus dialihkan
kedalam sebuah forum musyawarah yang mengahdirkan kedua pihak.
para pemangku kepentingan juga harus dilibatkan dalam proses tersebut.
Sebagian warga sering merasa nasibnya tidak diperhatikan oleh
pemerintah sehingga pemerintah. Inilah yang kemudian semakin
memperkeruh hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.
pemerintah harus berani tampil di tengah masyarakat dan melibat-
kan mereka dalam pengambilan keputusan. Sehingga konflik akan
dapat dihindari.
Komunikasi yang baik juga perlu diperhatikan untuk meredam
konflik. Komunikasi harus dilakukan dua arah antara pihak yang
pro ataupun kontra. dengan kekuasaan yang dimiliki tidak lantas
pemerintah mengabaikan pendapat dari masyarakat. Pemerintah harus
membaur ke masyarakat dan mendengarkan aspirasi mereka. Dengan
perhatian pemerintah dan komunikasi yang baik diyakini akan
dapat meredam konflik dan mengurangi penolakan dari masyarakat.

102
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Selain itu pemerintah juga harus jeli terhadap adanya indikasi


provokasi dari pihak-pihak tertentu. terkadang ada beberapa oknum
yang tidak bertanggungjawab melakukan provokasi kepada warga
lokalisasi untuk menolak kebijakan pemerintah. Seperti misalnya
provokasi dari beberapa LSM yang selama ini mendapatkan ke-
untungan dari adanya lokalisasi. Pemerintah harus berani memberi-
kan tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang tidak bertanggung-
jawab tersebut.
Kedua, Memberikan pendekatan kepada masyarakat melalui
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Penerimaan terhadap kebijakan
penutupan lokalisasi ini memang beragam. Pro kontra datang dari
berbagai pihak. untuk itu diperlukan pendekatan yang intens dari
pemerintah melalui berbagai macam kegiatan. Pemerintah harus
memberikan perhatian lebih kepada masyarakat di daerah bekas
lokalisasi. Perhatian pemerintah ini bisa dilakukan melalui kegiatan
kemasyarakat dengan memanfaatkan event-event tertentu. seperti misal-
nya melakukan kegiatan jalan santai, melakukan kegiatan-kegiatan
perlombaan, atau kegiatan sosial yang menggandeng masyarakat.
Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan ini harus mampu menggan-
deng semua elemen masyarakat sekitar lokalisasi mulai dari anak-
anak, remaja, sampai dengan orang dewasa. Keterlibatan masyarakat
dalam kegiatan kemayarakatan akan mampu mengalihkan perhatian
mereka terhadap kegiatan-kegiatan yang negative. Selain itu kegiatan
yang harus digagas oleh pemerintah ini akan memperbaiki hubungan
antara pemerintah dengan masyarakat sekitar lokalisasi. melakukan
pendekatan terhadap masyarakat memang harus dilakukan secara
bertahap. Pendekatan dengan cara terjun langsung ke masyarakat
seperti ini akan sangat efektif dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan
yang lain.
Kegiatan sosial juga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat. Masyarakat dapat turut aktif melalui kegiatan-kegiatan
sosial bersama pemerintah. Kegiatan juga bisa dijadikan ajang
pembuktian kepada masyarakat luas bahwasannya masyarakat yang
tinggal didaerah lokalisasi juga mampu berpartisipasi aktif seperti
masyarakat yang lain. Sehingga image masyarakat sekitar lokalisasi
akan lebih baik lagi.

103
Tantangan dan Strateginya

Kegiatan-kegiatan sosial ini bisa dilakukan dengan cara kerja-


sama dengan pihak-pihak swasta sebagai penyandang dana atau
sponsor. Dengan begitu tidak aka nada kendala masalah pendanaan.
Selain itu juga perlu digandeng LSM yang akan turut membantu
masyarakat menggelar kegiatan-kegiatan sosial.
Ketiga, Memberikan sosialisasi kepada para mantan PSK, mucikari,
dan preman di daerah bekas lokalisasi. Arahan dan bimbingan
terhadap para mantan PSK, mucikari, dan preman-preman di daerah
lokalisasi adalah suatu kewajiban. Merekalah yang menerima dampak
paling besar dari kebijakan penutupan lokalisasi tersebut. sebagain
besar dari mereka juga menentang keras kebijakan penutupan
lokalisasi. karena secara materi mereka sangat dirugikan. Oleh
karena itu pemerintah harus memberikan perhatian lebih kepada
mereka. bimbingan kepada masyarakat ini dapat dilakukan melalui
kegiatan sosialisasi kepada masyarakat.
Khususnya dalam penanganan dampak sosial dari kebijakan
penutupan lokalisasi. Maka materi sosialisasi lebih menitik beratkan
pada pemantapan mental masyarakat pasca ditutupnya lokalisasi.
Mereka harus diberikan arahan bagaimana kembali membentuk
sebuah lingkungan yang baru pasca penutupan daerah lokalisasi.
merubah sebuah lingkungan yang dulunya bekas daerah lokalisasi
bukanlah hal yang mudah.
Struktur sosial masyarakat yang dulunya sudah terbentuk
dalam sebuah lingkungan sosialisasi harus dirubah secara perlahan.
Misalnya masyarakat yang dulunya saling acuh tak acuh antara
masyarakat biasa dengan penghuni lokalisasi maka hubungan
tersebut harus dirubah. Masyarakat luar harus membuka diri terhadap
masyarakat bekas lokalisasi. Supaya terjalin hubungan kemasyarakan
yang lebih baik.
Keempat, Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan
untuk meminimalisir adanya praktik prostitusi secara liar. Tutupnya
prostitusi memicu adanya prkatik prostitusi secara liar. Prostitusi
akhirnya bermunculan diwarung-warung makan, tempat-tempat
karaoke, atau bahkan di hotel-hotel kelas melati. Pemerintah akan
sangat keselutian untuk mendeketksi prostitusi liar ini karena per-
sebarannya sangat luas. Untuk itu dibutuhkan peran masyarakat

104
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

untuk mangawasi adanya prostitusi liar ini. masyarakat harus mampu


mengawasi lingkungannya supaya terhindar dari prostitusi liar.
Kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat ini akan
meringankan kerja pemerintah dalam menangani permasalahan
prostiusi liar. Kesadaran masyarakat yang tinggi akan pentingnya
melawan kegiatan prostitusi ini sangat dibutuhkan.
Kepedulian masyarakat harus semakin ditingkatkan mengingat
adanya bahaya yang besar yang bisa diakibatkan oleh prostitusi
liar ini. kesadaran masyarakat tersebut bisa dilakukan dengan segera
melaporkan kepada aparat pemerintah apabila di lingkungannya
ada prostitusi liar tersebut. Atau masyarakat juga bisa memberikan
sangsi sosial terhadap oknum-oknum dilingkungannya yang
melakukan prkatik prostitusi. Sanksi sosial bisa dilakukan dengan
cara penggrebekan dan pengusiran atau dikucilkan dari masyarakat.
Dengan begitu pemerintah daerah tidak perlu khawatir akan
menerima kedatangan PSK dari daerah lokalisasi yang ditutup jika
mereka berhasil menggandeng masyarakatnya untuk mengawasi
lingkungannya masing-masing.
Kelima, Meningkatkan pendidikan moral bagi anak dan remaja.
Anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa harus diselamtkan
dari pengaruh-pengaruh buruk lingkungan. Khususnya anak-anak
dan remaja yang pernah tinggal di daerah lokalisasi. Mereka sering
melihat praktik-praktik prostitusi, perjudian, kekerasan, atau
bahkan transaksi narkoba. Diperlukan pendidikan moral yang lebih
kepada anak-anak dan remaja di daerah lokalisasi. kebanyakan anak-
anak akan mudah mengingat kejadian-kejadian disekitarnya dan
kemudian menirunya9. Inilah yang dikahwatirkan oleh pemerintah
selama ini, hak-hak didaerah lokalisasi terabaikan. Untuk mengemba-
likannya lagi harus diberikan arahan-arahan yang mudah diterima
oleh mereka. pendidikan moral bisa dilakukan melalui kegiatan-
kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak10.

9
Irwanto, Muhammad Farid & Jeffry Anwar, 1999. Anak yang Membutuhkan
Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis Situasi. Jakarta: Kerjasama PKPM Unika Atmajaya
Jakarta, Departemen Sosia, dan UNICEF.
10
McCoy, Amalee, 2004. Blaming Children for The Their Own Exploitation: The
Situation East Asia. ECPAT 7th Report on The Implementation of the Agenda for Action
Agains the Commercial Sexual Exploitation of Children.

105
Tantangan dan Strateginya

Anak-anak dan remaja juga harus diberikan wadah sebagai


tempat pengembangan bakat dan minat11 mereka. misalnya di daerah
bekas lokalisasi mulailah dibentuk klub-klub yang manmpung bakat
dan minat anak dan remaja. Klub sepak bola atau klub kesenian
bisa dibentuk untuk menampung bakat dan minat mereka.
kesibukan tersebut akan mengalihkan mereka dari kegiatan-kegiatan
yang negative. Pemerintah harus memfasilitasi mereka untuk
mengembangkan klub-klub tersebut.
Formulasi Kebijakan Penanganan Dampak Kesehatan:
Pertama, melakukan pengecekan kesehatan bagi seluruh warga di
sekitar lokalisasi. Sebelum melakukan penutupan lokalsiasi pemerin-
tah harus melakukan pengecekan kesahatan kepada para penghuni
wisma12. Tutupnya lokalisasi akan membuat sebagian PSK dan
mucikari kembali ke daerahnya masing-masing atau berpindah ke
daerah lain. Oleh karena itu akan berdampak pada penyebaran
penyakit menular sex ke daerah lain yang dibawa oleh PSK. Penyakit
yang paling dikhawatirkan adalah penyakit HIV AIDS. Seperti
misalnya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Solo dengan mendiri-
kan klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing) atau klinik
konseling dan testing HIV secara sukarela yang terdapat di RS Dr
Moewardi dan RS Oen.perjanjian di klink adalah seluruh data pasien
dirahasiakan.13langkah ini harus diterapkan di setiap Rumah Sakit
Daerah di Indonesia. Khusus untuk warga lokalisasi diberikan
kewajiban untuk melakukan pengecekan kesehatan.
Bagi para warga lokalisasi yang positif mengidap HIV AIDS
harus dilarang untuk kembali ke daerahnya atau pergi ke daerah
lain. Ini dilakukan untuk menghindari adanya penyebaran HIV AIDS
ke daerah lain. Solusi ini sekaligus menjawab ketakutan daerah-daerah
asal PSK yang takut akan kedatangan PSK pembawa penyakit HIV
AIDS di daerahnya. Pemerintah diharapkan menyediakan tempat
khusus untuk karantina penderita HIV AIDS. Tempat khusus ini

11
Mulandar, Surya (ed.), 1996. Dehumanisasi Anak Marginal, Berbagai Pengalaman
Pemberdayaan. Bandung: AKATIGA Gugus Analisis.
12
Suyanto, Bagong dkk., 2004. Pemetaan Problema da n Penyusunan Program
Penanganan Masalah Anak-anak yang Dilacurkan di Kota Surabaya. Surabaya: Kerjasama
Lembaga Penelitian Universitas Airlangga dengan Dinas Sosial dan Pemberdayaan
Perempuan.
13
David Krniawan, “Pelacuran di Surakarta (studi kasus pasca penutupan resosilaisasi
Silir 1998-2006)”, Universitas Sebelas Maret, 2010.

106
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

disediakan untuk menghindarkan mereka dari masyarakat umum.


Selain itu akan lebih mudah untuk memberikan pengobatan bagi
mereka.
Kedua, Mengadakan kampanye anti HIV AIDS. HIV AIDS selama
ini kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat luas. Penyakit
ini selain memberikan dampak kematian juga identik dengan
perbuatan asusila, sehingga tidak banyak masyarakat yang menaruh
perhatian pada permasalahan ini. Selain penyakit ini bisa menular
dan mematikan sehingga orang enggan dekat para penderita HIV.
Pemerintah dalam hal ini harus menjadi promotor untuk mengada-
kan kampanye anti HIV AIDS. Kampanye anti HIV AIDS ini dilaku-
kan untuk menggerakkan masyarakat agar peduli terhadap para
penderita HIV AIDS dan turut serta berpartisipasi dalam menekan
angka persebaran virus ini. kampanye HIV AIDS bisa dilakukan kapan
saja oleh pemerintah dan masyarakat. kampanye bisa dilakukan dengan
terlebih dahulu melakukan segementasi masyarakat. misalnya mela-
kukan kampanye kepada paa pelajar, para PSK, dan masyakat umum.
Kampanye terhadap pelajar bisa dilakukan di sekolah-sekolah
dan kampus-kampus. Sedangkan kampanye untuk masyarakat
umum bisa dilakukan bersamaan dengan melakukan kegiatann
sosial. Seperti misalnya mengemas sebuah acara sosial anti HIV AIDS
dengan melakukan kegiatan marathon bersama atau jalan sehat pada
hari minggu. Pada acara tersebut pemerintah sekaligus memberikan
sosialisasi tentang bahaya HIV AIDS. Kegiatan ini juga bisa
dibarengi dengan kegiatan penggalangan dana untuk para penderita
HIV AIDS. Pada dasarnya mereka sangat butuh perhatian dan
dukungan dari masyarakat luas.
Formulasi Kebijakan Penanganan Dampak Religi. Pertama,
Mendirikan pusat-pusat kajian agama di daerah bekas lokalisasi.
Pendirian pusat-pusat kajian agama penting dilakukan untuk
merubah citra dan kebiasaan masyarakat daerah lokalisasi. Masyara-
kat lokalisasi sebelumnya sangat haus akan pendidikan agama.
Mereka lebih dekat dengan kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh
agama. Untuk itu pemerintah harus membangun pusat-pusat kajian
agama di daerah bekas lokalisasi untuk memberikan pendidikan
kepada masyarakat tentang pentingnya beragama dan untuk

107
Tantangan dan Strateginya

mengembalikan moralitas mereka. Pemerintah dapat membangun


tempat-tempat ibadah di sekitar daerah bekas lokalisasi.
Pendirian pusat-pusat kajian agama juga sangat penting bagi
anak-anak dan remaja. Pusat-pusat kajian agama seperti misalnya
pendirian masjid bisa dijadikan tempat anak-anak dan remaja untuk
belajar mengaji dan memperdalam ilmu agama mereka. kegiatan-
kegiatan agama selalu identik dengan kegiatan yang positif. Oleh
karena itu langkah ini harus benar-benar dijalankan oleh pemerintah.
Sejumlah kebijakan yang merupakan jawaban atas dampak
ekonomi, social, kesehatan, dan religi yang ditimbulkan implementasi
kebijakan penutupan lokalisasi sedianya dibingkai dalam Rencana
Aksi Daerah penanggulangan prostitusi yang dikoordinir oleh
Provinsi di tingkat daerah dan Kementerian Sosial di tingkat pusat.
Melalui koordinasi yang serempak dan holistic ini diharapkan PSK
tidak pindah kelokasi lain baik antar Kabupaten/Kota maupun antar
Provinsi, dan antar Pulau.

108
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Penutup 8

Permasalahan PMKS khususnya Anak Jalanan, Wanita Tuna


Susila (WTS), Gelandangan, Gelandangan Psikhotik dan Pengemis
telah dituangkan dalam keputusan bersama antara Pemerintah
Provinsi dengan Pemerintah kabupaten/Kota. Keputusan tersebut
menjadi landasan kerjasama Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/
Kota dalam menangani masalah PMKS. Penanganan lima jenis PMKS
melalui aspek perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No 111 Tahun 2009
terdapat indikator kinerja pembangunan kesejahteraan sosial yang
digunakan untuk penanganan masalah PMKS.
Indikator dampak dilakukan penanganan pembinaan dan
pelatihan bagi lima PMKS di Kabupaten blitar, Pasuruan, dan Kota
Surabaya. Upaya ini dilakukan dengan sinergitas OPD di tiga Peme-
rintahan Kota tersebut. Adanya Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kota melakukan upaya perencanaan kebijakan dalam menyusun
strategi untuk menangani masalah PMKS. Satpol PP Kabupaten
blitar, Pasuruan, dan Kota Surabaya melakukan penertiban PMKS
yang bekerjasama dengan Dinas Sosial dalam melakukan pembinaan.
OPD terkait terlibat dalam penanganan masalah PMKS.

109
Tantangan dan Strateginya

Indikator Manfaat setelah dilakukan pembinaan dan pelatihan


kepada anak jalanan memiliki manfaat kemandirian ekonomi. Dalam
penelitian, indikator manfaat tercermin mampu bekerja pada bengkel,
membuka tambal ban, membentuk group band atau penyanyi di cafe
setelah dilakukan pembinaan.
Pelaksanaan pelatihan dan pembinaan lima PMKS dilalukan
dengan berkerjasama pada LSM, UPT dan pihak yang bermitra
dengan Dinas Sosial. Kerjasama bersama sebagai bentuk tercermin-
nya indikator multi pelayanan kesejahteraan sosial dengan bersama
melakukan penanganan masalah PMKS.
Indikator ketersediaan sarana prasarana dalam penanganan
PMKS di Kabupaten blitar, Pasuruan, dan Kota Surabaya. Adanya
sumber daya manusia yang membantu Dinas Sosial dalam menangani
lima PMKS, yaitu petugas TKSK.
Penanganan masalah PMKS dilakukan secara bersama dengan
multipihak. Kerjasama antar OPD di lingkungan Pemerintah
Kabupaten blitar, Pasuruan, dan Kota Surabaya. Koordinasi dengan
pihak terkait seperti kepolisian dan TNI dalam melakukan pembinaan,
penertiban maupun penghalauan.
Dari hasil pembahasan sebagaimana bab sebelumnya dapat
ditarik kesimpulan bahwa pemerintah Kota memerlukan Rencana
Aksi Daerah (RAD) dalam penanggulangan PMKS. Hal tersebut sebagai
acuan dan pedoman kebijakan dalam melakukan penanganan
masalah PMKS. RAD PMKS setidaknya memuat kelembagaan,
langkah penanggulangan, partisipasi masyarakat, dan pendanaan.
Kelembagaan diperlukan untuk melakukan sinergi pihak-pihak
yang terkait dalam penanganan masalah PMKS. Langkah penang-
gulangan berupa pencegahan, penanggulangan, rehabilitasi sosial,
dan reintegrasi sosial. Partisipasi masyarakat dengan mnelakukan
pembinaan pada tingkat keluarga, lingkungan sekitar. Pendanaan
dalam penanganan lima jenis PMKS oleh Pemerintah Kabupaten
blitar, Pasuruan, dan Kota Surabaya dialokasikan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber lain yang sah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Maksimalisasi
atas CSR perusahaan dan atau badan usaha di ketiga kota tersebut
sangat dibutuhkan.

110
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Dari studi ini, ada beberapa hal yang perlu untuk dilakukan.
Pertama, Pemerintah melalui Dinas Sosial perlu segera merevisi
Peraturan daerah Penanggulangan anak jalanan, gelandangan, dan
pengemis untuk kemudian memasukkan dua jenis PMKS lainnya
yakni WTS dan Gelandangan Psikotik ke dalam Perda yang baru
selambat lambatnya pada tahun 2018. Kedua, Pemerintah Kota perlu
membentuk Satuan gugus tugas Penanggulangan PMKS selambat
lambatnya pada akhir tahun 2018 agar dapat mensinergikan sejumlah
OPD dan lembaga terkait dalam percepatan penanggulangan PMKS.
Satgas PMKS ini dibentuk atas dasar Surat Keputusan Walikota yang
anggotanya setidaknya meliputi: Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas
Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, Satpol PP, BNN. Lembaga Kesejahte-
raan Sosial; Pekerja Sosial; dan Tenaga Kesejahteraan Sosial.
Ketiga, Pemerintah Kota melalui Satgas Penanggulangan PMKS
perlu merevisi dokumen Rencana Aksi Daerah (RAD) penanggu-
langan PMKS untuk kemudian memasukkan dua jenis PMKS yang
belum masuk yakni gelandangan Psikotik dan WTS selambat lambat-
nya pada tahun 2018. Keempat, Pemerintah Kota perlu melakukan
upaya pencegahan timbulnya PMKS. Upaya pencegahan setidaknya
meliputi: a) penyuluhan dan bimbingan sosial; b) pembinaan sosial;
c) bantuan sosial; d) perluasan kesempatan kerja; e) dan peningkatan
derajat kesehatan. Kelima, Satgas penanggulangan PMKS perlu
melakukan langkah-langkah Penanggulangan untuk mengurangi
dan/atau meniadakan anak jalanan, gelandangan, orang gila dan
pengemis. Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud meliputi:
penjangkauan, assesment; dan pemenuhan hak-hak dasar.
Keenam, Pemerintah Kota perlu membangun rumah singgah
dan atau penampungan sosial bagi anak jalanan, gelandangan, dan
orang gila. Rumah singgah sebagaimana dimaksud selambat-
lambatnya telah dibangun pada tahun 2017. Ketujuh, Secara intensif
pemerintah Kota juga perlu melakukan upaya pembekalan bagi lima
jenis PMKS yang direhabilitasi. Kedelapan, Pemerintah Kota perlu
melakukan upaya Rehabilitasi Sosial. Upaya rehablitasi dilakukan
agar anak jalanan, gelandangan, dan pengemis mampu melakukan
kembali fungsi sosialnya dalam tata kehidupan bermasyarakat,
meliputi : a) bimbingan mental spiritual; b) bimbingan fisik; c)
bimbingan sosial; d) dan bimbingan dan pelatihan keterampilan.

111
Tantangan dan Strateginya

Kesembilan, Pemerintah Kota perlu melakukan upaya Reintegrasi


Sosial yakni upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Lembaga
Kesejahteraan Sosial dan/atau masyarakat yang didasarkan atas hasil
penelusuran asal usul dan kondisi keluarga atau keluarga pengganti
Kesepuluh, Pemerintah Kota memiliki kewajiban menjalankan
Pengawasan terhadap anak jalanan, gelandangan, dan pengemis
melalui kegiatan monitoring dan evaluasi. Program dan kegiatan
untuk pelaksanaan monitoring dan evaluasi diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Walikota. Kesebelas, Pemerintah Kota juga perlu
mempertimbangkan keterlibatan masyarakat, lembaga sosial, dan
dunia usaha untuk bersama sama melaksanakan penanggulangan
terhadap PMKS. Masyarakat diberi ruang untuk turut serta dalam
melakukan pembinaan, baik yang dilakukan oleh perseoarangan,
keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan,
lembaga swadaya masyarakat, badan usaha, maupun lembaga
kesejahteraan sosial.
Keduabelas, Pemerintah Kabupaten blitar, Kota Pasuruan, dan
Kota Surabaya secara khusus juga perlu mengalokasikan dana bagi
percepatan penanggulangan lima jenis PMKS di Kota. Pembiayaan
atas kegiatan pembinaan anak jalanan, WTS, gelandangan, orang
gila dan pengemis oleh Pemerintah Kota dialokasikan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber lain yang sah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

112
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Index

A
A.M. Huberman 7, 9
Anak jalanan 3, 20, 25, 29, 31, 39, 43, 47, 48, 49, 50, 65, 66,
68, 69, 70, 72, 73, 79, 80, 81, 82, 83, 89, 90, 91, 92, 93, 95, 96,
97, 98, 110, 111, 112
B
BAILLUW 45
Bestuurs Politie 45
Bombay 27
C
Campus Connecting People 50
campus connecting people 51
Campus Social Responsibility 57, 59
Catherine Marshall 8
Cemoro Sewu 26
Chambers 22
Chaniago 24
D
Dolly 25, 26
E
Ernest Burgess 11
G
Gelandangan Psikotik 4, 6, 7, 76, 111

113
Tantangan dan Strateginya

Gelandangan psikotik 23, 73, 76, 77, 78, 80, 83, 97


Gerbangkertasusila 28
Gillin and Gillin 12
Gretchen B. Rossman 8
J
Jamkesda 72, 73
Joe R. Hoffer 12
K
Kak Seto Homeschooling 61
keputusan Walikota Pasuruan No. 188/301/423.031/20 87
Kota Layak Anak 87
KUBE 18
L
Lagos 27
Lembaga Pemerhati Perempuan Rifka Anisa 20
Linda Amalia Sari Gumelar 20
M
Miles, M.B. 7, 9
Millenium urban 24
P
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja 46
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 tentang
Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja 46
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi
Pamong Praja 46
Perda No 2 Tahun 2014 tentang Ketenteraman dan Ketertiban
Umum 48
Pieter Both 45
R
Raffles 45

114
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

S
Shanghai 27
Silverman 7
Simandjuntak 12
Sugiono 10
Sumarnonugroho 11, 12
Sunarno 88
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Up. 32/ 45
T
T.G. McGee 27
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) 43, 60
Tim Kaypang 49
Tokyo 27
Tri Rismaharini 48
U
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 46
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerint 46
V
VOC 45
W
Wanita Tuna Susila 4, 6, 7, 25, 57, 83, 84, 109

115
Tantangan dan Strateginya

Daftar Pustaka

Bambang Rudito, Melia Famiola, Social Maping-Metode Pemetaan Sosial;


Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti, Bandung;
Rekayasa Sains, 2013
Chambers, Robert. 1983. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang.
Jakarta: LP3ES
David Krniawan, “Pelacuran di Surakarta (studi kasus pasca
penutupan resosilaisasi Silir 1998-2006)”, Universitas Sebelas
Maret, 2010.
Faisal Sanapiah, Format-format penelitian sosial, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995.
Hasbullah, Jousairi, Sosial Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia), Jakarta: MR United Press, 2006
Irwanto, 1998. Aspek Ekonomi, Sosial dan Budaya Dalam Prostitusi
Anak: Studi Kasus di Desa Bongas, Kecamatan Indramayu.
Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atma Jaya.
Irwanto, Muhammad Farid & Jeffry Anwar, 1999. Anak yang
Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis
Situasi. Jakarta: Kerjasama PKPM Unika Atmajaya Jakarta,
Departemen Sosia, dan UNICEF.
Karandikar, Sharvari, 2008. Need for Developing A Sound Prosti-
tution Policy: Recommendations for Future Action. Journal of
Interdiciplinary & Multidiciplinary Research, Volume 2, Issue 1
Johnson Paul Doyle, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: PT
Gramedia, 1986

116
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Miles,M.B. and A.M. Huberman.1992, Analisis Data Kualitatf, Tjetjep


Rohendi Rohidi (Penterjemah), Qualitative Data Analysis, UI
Press. Jakarta
Moleong, Lexy, J, 1989, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Karya,
Bandung.
Moleong J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2012.
McCoy, Amalee, 2004. Blaming Children for The Their Own Exploi-
tation: The Situation East Asia. ECPAT 7th Report on The Imple-
mentation of the Agenda for Action Agains the Commercial
Sexual Exploitation of Children.
Mulandar, Surya (ed.), 1996. Dehumanisasi Anak Marginal, Berbagai
Pengalaman Pemberdayaan. Bandung: AKATIGA Gugus
Analisis.
Mile, M.B. Dan Huberman, A.M, Analisis Data Kualitatif, Penerjemah
Tjetjep Rohendi, (Jakarta: UI Press, 1992)
Marzuki, Metodologi Riset, Yogyakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi,
1983.
Panduan Pendataan PMKS Tahun 2013: Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejah-
teraan Sosial Kementerian Sosial RI
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2009
Tentang Indikator Kinerja Pembangunan Kesejahteraan Sosial.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012
Tentang Peraturan Pedoman Pendataan Dan Pengelolaan Data
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Dan Potensi Dan
Sumber Kesejahteraan Sosia
Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi
Pamoing Praja yang ditetapkan pada tanggal 6 Januari 2010.
Pratikno, dkk, Penyusunan Konsep Perumusan Pengembangan kebijakan
Pelestarian Nilai-Nilai Kemasyarakatan (Social Capital) untuk Integrasi
Sosial, Yogyakarta FISIP UGM.
Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (Pmks)
Per Provinsi Tahun 2012

117
Tantangan dan Strateginya

Richard Osborne & Borin Van Loon. 1996. Mengenal Sosiologi For
Beginner. Bandung: Mizan.
Rofiq Aunu, Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif, Jurnal
Ilmiah Pawiyatan, Vol.20, No. 1, maret 2013.
Rusliwa Gumilar, Memahami Metode Kualitatif, Jurnal Sosial
Humaniora, Vol.58, No.2, Desember 2005.
Saiful Pupu, Penelitian Kualitatif, Equilibrium, Vol. 5, No. 9, Januari-
Juni 2009.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2010.
Supranto J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2003.
Simanjuntak. 1981. Pengantar Kriminologi dan patologi sosial. Bandung:
Tarsito
Sugiono, 2003. Metode Penelitian Administrasi, Alfa beta, BandunG
Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor,
Indonesia
Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga
Penerbit FE – UI.
Suyanto, Bagong dkk., 2004. Pemetaan Problema dan Penyusunan
Program Penanganan Masalah Anak-anak yang Dilacurkan di
Kota Surabaya. Surabaya: Kerjasama Lembaga Penelitian Uni-
versitas Airlangga dengan Dinas Sosial dan Pemberdayaan
Perempuan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor !2, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor a967);
Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Jakarta; Kencana,
2012
Winarso Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Presindo 2007.
Dokumen
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4235);

118
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan


Sosial Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 150
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4456);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan In-
ternational Convenant on Economic, Sosial and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya) (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 118 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4557);
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Inter-
national Convenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) (Lembaran
Negara Tahun 2005 Nomor 119 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4558);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 12 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4967);
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fa-
kir Miskin (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 83 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5235);
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggu-
langan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Tahun
1980 Nomor 51 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3177);
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejah-
teraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah (Lembaran
Negara Tahun 1988 Nomor 2 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3367);
Peraturan Pemerintah Nomor 79 T ahun 2005 tentang Pedoman
Pembinan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 165 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4593);
Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan Anak (Lembaran Daerah Kota
Surabaya Tahun 2011 Nomor 6 Tambahan Lembaran Daerah
Kota Surabaya Nomor 5).
Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 2 Tahun 2012 tentang Penye-
lenggaraan Kesejahteraan Sosial

119
Tantangan dan Strateginya

Kerangka Acuan Focus Group Discussion Penyusunan Rencana


Aksi Daerah Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) Kota Malang
Data Dinas Sosial Kota Malang Tahun 2015
Data Dinas Sosial Kota Malang Tahun 2016
Profil PMKS Kota Malang 2015 Dinas Sosial Kota Malang
Profil Dinas Sosial Kota Malang Tahun 2014

120
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial

Tentang Penulis

Dr. Muhammad Lukman Hakim, SIP. MSi


(ID Scopus: 57203402399), adalah dosen
Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas
Brawijaya Malang yang concern di isu
Kebijakan Sosial. Mengampuh sejumlah
mata kuliah yang berkaitan dengan isu
tersebut, di antaranya Teori Pemerinta-
han, Teori Kebijakan, dan Kebijakan
Sosial. Sejumlah amanah pernah diemban dalam berproses di Uni-
versitas Brawijaya, di antaranya Ketua Laboratorium Ilmu
Pemerintahan (2013) Ketua Jurnal Interaktif FISIP UB (2015) Ketua
Pusat Pengkajian Inovasi dan Pemerintah Daerah – PUSPIDA (2017)
hingga sekarang menjabat sebagai Ketua Badan Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (BPPM) FISIP UB dan sebagai peneliti di
Pusat Pengkajian Kebijakan Sosial FISIP UB. Sebagai Lembaga yang
bergerak dalam bidang penelitian dan pengabdian ia banyak
melakukan penelitian dan pengabdian yang terkait isu-isu Kebijakan
Sosial mulai dari kebijakan penutupan lokalisasi di Surabaya,
Lumajang, Nganjuk, dan Bojonegoro, Penanggulangan Konflik
Sosial di Kabupaten Teluk Bintuni Papua Barat, Kebijakan
penanggulangan kemiskinan di empat Kabupaten Di Madura,
Kebijakan Penanggulangan Anak Jalanan di Kota Pasuruan,
Kebijakan Penanggulangan Masalah Kesejahteraan Sosial di Malang,
Blitar, dan Surabaya. Serta sejumlah riset pemberdayaan masyarakat
lingkar tambang di Kutai Timur Kalimantan Timur, Kabupaten
Bojonegoro, dan sejumlah daerah lain, seperti Kepulauan Madura.

121
Tantangan dan Strateginya

Dari hasil riset tersebut sejumlah buku telah dihasilkan baik yang
diterbitkan sendiri maupun kelompok, di antaranya: 1) Kebijakan
Pembangunan Pemuda; 2020. 2) Perlawanan Sosial Masyarakat
Lokalisasi Atas Kebijakan Pemerintah; Intelegensia Media; 2015. 3)
Kontributor dalam buku Potret Desentralisasi di Indonesia; IPM
Press; 2014, 4) Kontributor dalam buku Anatomi Teori Sosial; Aditya
Media, 2010. 5) Kontributor dalam buku; Kebijakan Sosial, 2020.
Artikelnya juga tersebar di banyak Jurnal baik terakreditasi Shinta,
terindeks Thomson, maupun Jurnal terindeks Scopus. Penulis dapat
dihubungi di em.lukman79@ub.ac.id atau melalui 08113661195.

122
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai