Anda di halaman 1dari 6

Aku Ingin Menjadi Mahasiswa yang “Indonesia”

Ahmad Aulia Hamdan


ahmadhamdan051@gmail.com

Kata orang bijak, padi semakin berisi maka semakin merunduk, semakin banyak investasi
maka semakin merugi. Menjadi mahasiswa adalah investasi negara, yang mana hal tersebut
membuat mereka didaulat sebagai salah satu aset bangsa yang nantinya dimasa depan akan
bermanfaat untuk negara. Menurut data kemendikbud tahun 2020/2021, jumlah mahasiswa
Indonesia mencapai 2,659,176 angka yang cukup banyak mengingat perbadingan jumlah pemuda
usia 20 – 24 tahun mencapai 15.434.899 kata BPS Februari 2019. Angka – angka itu akan terus
bertambah, bahkan untuk mahasiswa mencapai 8.26 % tiap tahunnya. Sudah seharusnya angka –
angka itu memiliki pengaruh besar untuk Indonesia. Katanya mahasiswa aset negara, tapi kok
Indonesia gini – gini aja? Hadeeeh!

Kenyataannya, mayoritas orientasi mahasiswa kalau sudah lulus adalah ke perusahaan


swasta “asing tepatnya”, yang penting lulus dapat kerja dan pengen dapet uang banyak. Tapi,
ada juga sih mahasiswa yang larinya nganggur, kalau kata bang Iwan “tak berguna ijazahmu”
ha..ha..ha.. Siklus yang terjadi pada mahasiwa pelarian perusahaan swasta adalah susah saat
kuliah, susah lagi saat kerja, dan tambah susah kalau sudah berkeluarga. Loh kok bisa gitu?
Begini, ketika mereka kuliah mereka diharuskan paham materi yang disampaikan dosen dan
dituntut lulus tepat waktu (kenyataan yang hampir seluruh mahasiswa rasakan). Kemudian
setelah lulus kuliah, bekerja di perusahaan yang menuntut kejar target untuk keuntungan
perusahaan. Dalam hal ini berbeda apabila mahasiswa berhasil bekerja ke dalam lembaga negara
atau usaha sendiri, dimana keuntungan bekerja semata – mata hanya untuk negara dan
kepentingan masyarakat. Dan endingnya yang sudah berkeluarga, tuntutan dapur ngebul lah,
cicilan lah, sekolahin anak lah dan seterusnya yang membuat mereka harus kerja ekstra agar
penghasilan juga ekstra. Ketiga hal tersebutlah yang disebut investasi merugi, dimana setelah
mahasiswa bekerja di perusahaan swasta asing negara sedikit sekali untung bahkan bisa dikata
banyak ruginya. Pokoknya gitu dah!

Nah, nggak ada tuh yang nguntungin negara, yang ada gimana dapet uang buat biaya
kuliah, gimana dapet “profit” buat perusahaan, dan nyukupin kebutuhan kelurga yang mbledos.
Inilah yang membuat Indonesia merugi dan terus merugi. Begini lho, ketika mahasiswa lulus
kemudian memilih bekerja di perusahan swasta asing atau aseng, secara tidak sengaja mereka
masuk kedalam sistem yang intinya morotin negara. Logikanya, mana ada perusahaan yang
toleran terhadap rugi? Apalagi perusahaan asing. Inilah the real serigala berbulu domba, mereka
menggunakan jubah investasi dan kerja sama untuk menarik jiwa – jiwa yang lemah dengan
embel – embel memajukan ekonomi negara. Namun, pada kenyataannya mereka hanya
berambisi untuk profit dan imbasnya menyedot habis kekayaan Indonesia untuk kepentingan
sendiri.

Menurut data perizinan terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission/OSS),


Desember 2019 jumlah perusahaan asing ada 25.919 di Indonesia. Rasanya Indonesia masih ke
enakan aja, yang nyedot satu aja udah enak apalagi ribuan ahhh enaakk! Hal ini tak lepas dari
pengaruh pasar bebas yang ujungnya adalah “kapitalisme”. Begini lho gaes, mbah Karl Max
pernah berkata “kapitalisme merupakan sebuah sistem yang mana harga barang dan juga
kebijakan pasar ditentukan oleh pemilik modal”. Jadi, pemilik modal atau perusahaan asing itu
bebas untuk menentukan keuntungannya sendiri dan mereka memiliki andil besar untuk hal
tersebut, pokoknya nggak peduli deh sama urusan negara, mereka itu jelas – jelas pebisnis
bukan negarawan. Jadi beda yaa! Jika diamati, perusahaan – perusahaan asing itu memang
terlihat membantu memenuhi kebutuhan negara kita, padahal bukan seperti itu ferguso! Nggak
ada cerita “ketika domba tersesat dihutan dan kesulitan menemukan jalan keluar, tiba – tiba
datanglah serigala untuk membantunya menemukan jalan keluar hutan untuk kembali ke
gerombolannya” yang ada “tiba – tiba serigala datang, malah dicaplok sampe habis tuh!”.
Dasar aseng!

Tapi disisi lain, perlu diakui juga walaupun ada puluhan ribu perusahaan namun belum
cukup juga untuk menguras kekayaan Indonesia, ya boleh dikata wow segitu kayanya Indonesia
ini! Sayang seribu sayang, mahasiswa yang digadang – gadang akan memimpin dan mengolah
kekayaan negara untuk kemajuan negara malah ngabdi sama perusahaan asing itu. Bayangkan
jika jumlah mahasiswa yang mencapai jutaan itu yang punya perusahaan, kemudian bahu -
membahu membangun ekonomi Indonesia, wah betapa kayanya kita? Untung banyak!

Kalau aku, mending - mending jualan roti bakar, walaupun untungnya dikit tapi punya
target buka cabang, lama – lama kaya juga kan? Yang penting nggak ngerugiin negara, yoi
banget to? Ini lho, terkadang Mahasiswa tidak berpikir sepanjang itu. Mereka terlalu terpaku
pada data, yang mana data hanyalah data. Ingat, Nyari uang nggak harus ke perusahaan bro!
Negara yang maju bukan karena jumlah kekayaannya tapi kualitas SDM-nya. Ingat itu Ferguso!
Gini lho, Indonesia nggak perlu repot – repot ngundang perusahaan asing untuk jadi kaya atau
untuk memenuhi kebutuhannya, yang diperlukan ialah jadi kaya karena berdiri sendiri tanpa
harus mengorbankan kekayaannya. Nggak perlu deh ngundang pembantu untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Huh ruwet..ruwet!

Jadi mahasiswa itu orientasinya berdikari atau suatu hal yang tidak mengganggu
keseimbangan kehidupan berbangsa dan bernegara, percuma dikuliahkan kalo nggak ada
untungnya buat bangsa dan negara! Jika ditelisik kasus – kasus penggusuran lahan,
pengerusakan lingkungan, dan penindasan lain yang terjadi di Indonesia beberapa pelakunya
merupakan “bekas” mahasiswa Indonesia, yang mana mereka itu bekerja kepada perusahaan –
perusahaan swasta asing itu. Belum lagi jika kasusnya nyentuh sosial budaya, hancur dah tuh
identitas negara! Gini lho, logikanya mahasiswa yang masuk ke perusahan – perusahaan itu
secara otomatis membantu “pembantu picik” yang katanya bertujuan untuk “memenuhi”
kebutuhan negara dengan turut serta menyetujui tindakan yang bersifat merugikan masyarakat
dan negara. Ampun dah!

Sebenarnya peluang usaha bagi mahasiswa di Indonesia sangat besar, apalagi mereka
dibekali dengan ilmu dan pengetahuan yang beragam. Namun, anggapan berdagang, bertani,
apalagi yang berbau mandiri, dan pinggir jalan sudah tidak cocok lagi atau bahkan rendahan dan
disepelekan bagi mahasiswa zaman sekarang. Kenyataannya hal tersebut adalah kunci sukses
Indonesia lepas dari jerat “pembantu picik” dan menuju kemandirian yang jelas – jelas
menguntungkan. Nampak betul perbedaan melihat suatu peluang mahasiswa dibanding non-
mahasiswa, jelas banget tau! Seakan – akan analisa mahasiswa itu mampu mendobrak
keniscayaan. Tapi, mengapa eksekusinya terhambat dan sukar terlaksana? Apa mahasiswa itu
cuma pinter melihat dan membacod aja ya? Seakan tak terjadi apa – apa dan baik – baik saja,
emangnya Indonesia nggak tau gitu? Apakah kalian tidak sadar betapa kayanya Indonesia?
diporotin sejak orde lama bahkan dari zaman VOC hingga sekarang, tapi tak habis jua. Jika
kalian ingin kaya dari kekayaan Indonesia, jangan jadi penjual bro! Jadilah pengolah!
Indonesia jenuh jadi reseller, nggak untung!
Dikalangan masyarakat umum, penyandang status mahasiswa adalah orang yang
dianggap berilmu dan berpengetahuan. Memang kenyataanya ada perbedaan yang cukup
signifikan antara mahasiswa dan non mahasiswa. Eh mahasiswa aku kasih tahu ya! Dalam buku
“Islam Kosmopolitan” karya mbah Gus Dur, terdapat kutipan dari buku yang berjudul “What is
this thing called Science” karya A. F. Chalmer yang mengatakan “ilmu adalah pengarah
kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan lebih yang melayani kepentingan dan
kehendaknya”. Dari situ, tidak heran apabila masyarakat berharap banyak kepada para
mahasiswa Indonesia. mbok yo sadar to, kalian itu lho hiih!

Generasi muda yang menyandang status mahasiswa adalah harapan terbesar untuk
memimpin negara. Mereka dipercaya untuk memegang kewenangan dan mengontrol tatanan
negara, pokoknya nggak ada yang lain, apalagi si aseng itu! Perlu diketahui, dalam membangun
negara haruslah mampu untuk memelihara kekayaannya, apalagi yang berkaitan erat dengan
aspek sosio-kultural dan sosio-ekonomis. karena hanya dengan aspek itulah timbul
keseimbangan dan tidak mengancam kehidupan masyarakat itu sendiri. Pembangunan negara
haruslah ditujukan pada pelestarian dan pemanfaatan kekayaan negara tersebut. Kata Gus Dur,
“skala prioritas harapan pembangunan itu haruslah didasarkan pada asas pengembangan,
bukannya asas pertumbuhan”. Asas pengembangan berarti arah pembangunan berorientasi pada
menumbuhkan kekuatan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena jika bertumpu pada
pertumbuhan, maka akan kesulitan untuk mengejar pemenuhan kebutuhan semua warga negara.
mumet lah cok! Maka inilah mengapa sedari sekarang mahasiwa harus sadar dan tahu betul
pentingnya mereka untuk negara.

Apabila kekayaan Indonesia dipegang oleh perusahaan asing, maka yang terjadi adalah
pemorotan habis – habisan oleh mereka, toh mereka bukan warga Indonesia. Mereka tak akan
segan untuk menghabiskan kekayaan negara dan tak peduli apa yang terjadi kepada Indonesia.
pada akhirnya efek yang ditimbulkan ialah masyarakat merasa tertindas, lingkungan rusak, dan
yang paling parah tidak ada sisa kekayaan Indonesia untuk anak cucu mereka.

Wahai mahasiswa! Selagi masih momen kemerdekaan, marilah sadar dan mari bergerak
menuju kemandirian! Kata mbah Soekarno, “beri aku sepuluh pemuda maka akan ku guncang
dunia”. Kata – kata ini lho yang menjadi alasanku percaya diri dan semangat. Apa kalian nggak
perkewuh sama bapak Presiden pertama kita? Beliau saja percaya sama yang muda seperti kita,
masak kita ngecewain beliau? Kata – kata beliau juga menjadi harapan besar bagi Indonesia,
berharap 2,659,176 mahasiswa Indonesia saat ini akan membawa kemajuan pesat dan menjaga
nama besar Indonesia dikancah dunia dengan kemandirian, ketulusan, dan kesatuan.

Apa guna merdeka jika seluruh rakyat Indonesia tidak merasakan kekayaannya? menjadi
mahasiswa bukanlah perkara kerja, mencari makan, kemudian berkeluarga, namun lebih dari itu.
Besok itu yang mimpin Indonesia dari mahasiswa lho, yaa tau lah cuk! Beban yang sebenarnya
menjadi mahasiswa ialah bertanggung jawab kepada seluruh rakyat Indonesia berserta
kekayaannya. Beragam jurusan di kampus tak lain adalah cerminan kebutuhan bagi masyarakat
dan juga negara. Oleh karena itu seharusnya setelah lulus, mahasiswa dapat melengkapi beragam
kebutuhan tersebut. Gitu lho, intinya jangan egoislah jadi mahasiswa!

Mahasiswa yang budiman, berdikari adalah satu – satunya jalan kemerdekan dan
kemajuan. Masih ada harapan, terbuka lebar kesempatan. Jangan ragu untuk bersusah payah
dahulu, toh orang – orang sukses itu dulunya juga pernah merasakan sakitnya meniti karir. Oh
iya, jangan juga terlalu banyak mengkhayal, nanti malah nggak jadi jalan deh usahanya.
Pokoknya jalani dulu deh prosesnya untuk hasil pasti nggak jauh dari proses. Ingat, usaha yang
besar menjanjikan hasil yang besar pula, jangan mau deh sama usaha kecil hasilnya besar,
jatohnya MLM tuh ha..ha..ha.

Mahasiswa yang terhormat, pada dasarnya manusia memang memiliki kemerdekaan


berkehendak. Mereka memiliki akses untuk bebas berekspresi dan menentukan arah kehidupan
sendiri. Hal ini yang seharusnya membuat manusia berlaku toleran, mengasihi, dan menjunjung
tinggi arti serta nilai kehidupan. Ini lho mahasiswa! Jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai
260an juta dan mereka juga manusia yang punya kemerdekaan berkehendak. Seharusnya
semakin banyak manusia maka semakin besar pula sikap peduli sesama, ya kan?

Oleh karena itu, menjadi mahasiswa jangan berlaku egois, Indonesia juga perlu di urus!
Jangan nyewa “pembantu picik” lagi deh, masak iya 75th masih disuapin? apa nggak malu tuh?
DAFTAR PUSTAKA

BPS RI. 2020. STATISTIK INDONESIA 2020. Jakarta; Badan Pusat Statistik

Sidik, Syahrizal. 2020. https://www.cnbcindonesia.com/market/20200128103948-17-


133272/di-ri-ada-25919-perusahaan-asing-bkpm-dorong-2-untuk-ipo (diakses pada 26 Desember
2020)

Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan. Jakarta; The Wahid Institute

Anda mungkin juga menyukai