Anda di halaman 1dari 12

DOKUMENTASI WAWANCARA DENGAN

PENGEMIS
05.19 |
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr Wb. puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi nikmat sehat
kepada saya sehingga makalah mata kuliah Ilmu Sosial Dasar ini dapat saya selesaikan sebagai
salah satu tugas yang diberikan dosen mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
Tugas makalah yang berjudul masalah sosial pengemis di indonesia. Sebuah makalah yang
berisi hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial pengemis di indonesia.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu, saya
mengharapkan kritik dan bimbingan dari Bapak atau Ibu dosen serta rekan-rekan sesama
mahasiswa untuk menyempurnakan makalah-makalah saya yang selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Akhir kata saya ucapkan Terima kasih.

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pengemis adalah mereka yang pekerjaannnya atau hobby-nya meminta minta. Diindonesia atau
lebih spesifiknya dijakarta, pengemis sangatlah banyak. Bukan hanya orangtua atau orang
dewasa, remaja dan bahkan anak-anak kecil pun banyak yang menjadi pengemis. Hal ini dipacu
oleh tingkat kemiskinan di indonesia yang tinggi serta kurangnya atau sempitnya lapangan
pekerjaan, sehingga banyak dari mereka yang pengangguran memilih untuk menjadi pengemis.

Namun sesuai dengan judul makalah saya kali ini, pengemis pun ada yang disebut dengan
pengemis musiman. Pengemis musiman adalah pengemis yang mengemis pada waktu-waktu
tertentu saja. Misalnya saat bulan ramadhan atau menjelang lebaran. Dapat kita temukan banyak
sekali pengemis-pengemis musiman dijalanan bahkan ada pula yang mengemis kerumah-rumah
warga.
Ini merupakan masalah sosial yang harus segera diatasi hingga tuntas. Jika saja pemerintah dapat
dengan sigap mengurangi tingkat kemiskinan diindonesia atau membuka lebih banyak lagi
lapangan pekerjaan untuk warga indonesia yang tidak menyelasaikan pendidikan tingginya,
mungkin itu dapat mengurangi dan membantu pengemis-pengemis itu untuk tidak lagi
mendapatkan uang hanya dengan mengemis atau meminta-minta uang dan belas kasihan
oranglain.
TUJUAN
1. Memenuhi tugas mata kuliah softskill ilmu sosial dasar.
2. Menambah dan memperbanyak pengetahuan tentang masalah sosial.
3. Mengetahui dan memahami tindakan yang harus dilakukan terhadap pengemis musiman.
4. Menghimbau penduduk indonesia yang pengangguran agar lebih giat mencari pekerjaan yang
lebih baik.

5. Agar pemerintah dapat membaca dan tersadar akan masalah sosial pengemis musiman ini.
6. Agar pemerintah melakukan tindakan yang berguna untuk para pengemis musiman.
7. Agar mahasiswa atau pembaca dapat memahami pentingnya belajar untuk masa depan supaya
tidak menjadi seperti para pengemis musiman.

SASARAN
Sasaran yang ingin dicapai pada pembuatan makalah ini adalah menjadikan seluruh penduduk
atau masyarakat Indonesia khususnya para generasi muda penerus bangsa untuk membantu
mengurangi tingkat kemiskinan dan menghapus atau menghilangkan pengemis musiman dengan
lebih giat lagi belajar dalam menggapai kesuksesan kelak.

PERMASALAHAN

Gelandangan di Perkotaan
Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di
banyak kota, tak terkecuali di negara maju Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya
telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun
bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota
karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah
dan kompleks dalam penanggulangannya.

Istilah Gelandangan, Pengemis dan Pemulung


Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak
pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993). Pada umumnya para gelandangan
adalah kaum urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota,
namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi
dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak tetap,
terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970)
menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang
miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif.
Dalam kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995) menyebutkan bahwa pemberian
stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.
Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya,
sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan
kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan
pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah
asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak
mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan
dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of
wedlock).

Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas,
karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan
dengan kerabatnya di desa (dehabilitation) dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa
tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak
jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial .
Selama ini sebagian besar masyarakat masih dibingungkan oleh pengertian gelandangan,
pengemis dan pemulung. PP No. 31 Tahun 1980 mendefinisikan gelandangan yaitu orang-orang
yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat
setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta hidup
mengembara ditempat umum. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali
mengemis (hidup dari belas kasihan orang lain) atau bekerja sebagai pemulung. Ali, dkk. (1990)
menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau
berkelana (lelana).

Adapun indikator gelandangan yaitu sebagai berikut : (1) Anak sampai usia dewasa; (2) Tinggal
disembarang tempat dan hidup mengembara atau mengelandang ditempat-tempat umum,
biasanya dikota-kota besar; (3) Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku
bebas/ liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat umumnya; (4) Tidak mempunyai
pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas.

Secara umum gelandangan ada 2 yaitu gelandangan psikotik dan gelandangan non-psikotik.
Gelandangan non-psikotik pun dibagi menjadi dua yaitu mereka yang menggelandang karena
malas bekerja dan mereka yang menggelandang karena desakan ekonomi. Mereka yang
menggelandang karena malas, biasanya tinggal pergi ke belakang McDonald atau KFC untuk
sekedar makan enak dengan menunggui sisa-sisa makanan yang dibuang di tempat sampah.

Mereka juga sering menjadikan panti-panti pemerintah sebagai tempat makan gratis. Bosan di
satu panti, mereka akan pindah ke panti lain. Begitu seterusnya. Jadi saya tidak setuju kalau ada
penggeneralisasian bahwa seluruh gelandangan pada dasarnya pemals. Studi yang saya lakukan
beberapa tahun yang lalu menunjukkan bagaimana sebagian dari mereka bekerja siang malam
tanpa mengenal lelah. pagi buta sudah berangkat memulung, pulang malam dan terkadang
mereka membersihkan hasil pulungannya sampai jam 12 malam di gubuk-gubuk sederhana
dimana mereka tinggal. Ada beberapa mereka yang minum arak/alkohol sambil bernyanyi-
nyanyi.

Saya melihat ada nada kesedihan dalam suara-suara mereka. Mungkin mereka frustasi dengan
hidup. Tapi dari perspektif saya mereka adalah orang-orang kuat yang mengarungi kejamnya
kehidupan di kota besar. Saya percaya bahwa fenomena gelandangan adalah fenomena gagalnya
suatu masyarakat dalam mencegah dan memproteksi warganya. Ketidakpedulian dan kurangnya
dukungan dari masyarakat secara umum berkontribusi terhadap terciptanya gelandangan-
gelandangan di kota besar. Jelas program penanganan antara mereka yang psikotik, non psikotik
karena mentalitas dan non psikotik karena kesulitan ekonomi akan berbeda. Dan tentu saja
penanganannya harus humanis dan mengedepankan hak-hak mereka.
Istilah terakhir yang sering diasosiasikan dengan gelandangan adalah pemulung. Pemulung dapat
diartikan sebagai orang yang kegiatannya mengambil dan mengumpulkan barang-barang bekas
yang masih memiliki nilai jual yang kemudian akan dijual kepada juragan barang bekas.
Pemulung juga dapat didefinisikan sebagai orang yang mempunyai pekerjaan utama sebagai
pengumpul barang-barang bekas untuk mendukung kehidupannya seharihari, yang tidak
mempunyai kewajiban formal dan tidak terdaftar di unit administrasi pemerintahan.

Data dan Fakta Seputar Gelandangan


Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial,
tercatat pada tahun 2008, jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang, jumlah pengemis
mencapai 35.057 orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang. Data jumlah orang
gelandangan sendiri meningkat hamper 2 kali lipat pada tahun 2009 dan mencapai 54.028 orang.

Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada
kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti
fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih
tinggi. Tapi untuk pegangan sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat
dipergunakan.
Angka gelandangan diperkirakan terus naik, mengingat daya tarik kota yang semakin kuat bagi
orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap
menjadi tanah impian bagi orang desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat
kecenderungan kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada gejala satu kota yaitu ibu kota
Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah Bangkok, di
Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.

Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang
masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini
sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan,
pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola
penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang
sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan. Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa
pengistilahan Jakarta di kalangan ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering
disebut Kampung Besar (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih
mencerminkan orang kampung.

Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah


mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban
umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis
dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli
pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta.
Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai
instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam
penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di
panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah gelandangan, pengemis dan anak
jalanan masih merebak di kota Jakarta dan kota-kota lainnya.
Masalah gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal, keterampilan kerja dan
kesempatan berusaha, namun juga masalah mentalitas diri. Terbukti dari tingkat kegagalan
layanan yang disediakan pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti
ataupun layanan transmigrasi, namun kembali menggelandang di kota.

Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang tanpa harus
bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun
layanan transmigrasi sebagai suatu selingan hidup dimana mereka bisa numpang makan minum
gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun
diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka
juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk
setempat.
Gelandangan, Migrasi Desa-Kota dan Gagalnya Pemerintah Kota Dalam Melakukan Antisipasi
Kaum urban yang datang ke kota-kota, karena minim pengalaman, pendidikan, keterampilan
kerja dan modal uang, akhirnya mereka mencari Bapak Pelindung (patron) dan berperan
sebagai Anak (client).Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa
survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju adalah
pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong, pinggir stasiun/rel kereta api,
maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit
digusur.

Studi yang dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan
dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang
justru melegalkan dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk
gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin
rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman
ke daerah Bekasi atau Bogor. Sebagai konsekuensinya, para pedagang yang dulu tidur di pasar
Senen dengan memeluk dagangannya akhirnya mengikuti pola yang sama yaitu mendirikan
gubuk-gubuk di sepanjang rel kereta api.

Kalau petugas PJKA bisa kenapa mereka tidak? Pada konteks ini pemerintah kota diharapkan
dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar. Persoalan
kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan,
baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang petik (jambret), tukang
todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan menjadi
mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan
terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga
rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual.

Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut.
Bahwa masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika
migrasi desa-kota dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan
dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam
mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang
dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim
keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini bisa dilakukan dengan melakukan
kegiatan survey ataupun pendataan secara langsung ke kantong-kantong pemukiman liar,
maupun dengan meminta data sekunder dari Dinas/Instansi Sosial terkait.
Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang
didukung banyaknya cerita-cerita sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya
penyuluhan dan diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya preventif dalam
menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota. Paling tidak, masyarakat di
pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota. Hal ini dikarenakan modus munculnya
gelandangan pada umumnya dimulai dari para perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa
ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun
ada pula yang dikarenakan keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).
Pengemis sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat
dan mengemis untuk hidup, dan mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini
jelas, bentuk intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan
karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis juga terkesan
setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya layanan khusus gelandangan
dan pengemis dipastikan angka urbanisasi ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah
kota cenderung lebih memilih tindak represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan beberapa
program andalan pemerintah justru tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang
dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu melibatkan para patron, pihak kepolisian,
pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal gelandangan dan pengemis.
Kapan Persoalan Gelandangan Akan Selesai?
Terkadang dalam menyikapi permasalahan sosial, kita dituntut untuk tetap optimis. Bagaimana
layanan sosial akan dilakukan dengan baik apabila orang-orang yang didalamnya justru pesimis?
Namun demikian diperlukan perencanaan sosial yang baik dengan memahami budaya dan cara
pandang mereka. Terus kapan persoalan ini akan selesai? Tidak ada magic answer untuk
pertanyaan ini.
Menurut kami, persoalan gelandangan di Indonesia dapat ditangani secara lebih baik asalkan
Pemerintah mengeluarkan kebijakan nasional semacam perlindungan sosial sehingga setiap
orang di bumi pertiwi ini bisa hidup standar dan layak, yang memungkinkan mereka dan
keluarganya dapat mengakses layanan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial dengan baik.
Hal ini dikarenakan masalah gelandangan merupakan masalah makro yang juga harus
diselesaikan dengan program dan kebijakan yang makro. Pendekatan mikro tidak akan dapat
mengatasi persoalan secara comprehensive dan holistic. Memberi rumah, modal dan pelatihan
saja tidak cukup. Butuh penyediaan lapangan pekerjaan, jaminan sosial dan kesehatan, serta
jaminan pendidikan. Gap kesenjangan ekonomi harus dipangkas.

Pajak orang kaya harus dinaikkan untuk mensubsidi mereka yang miskin. Bukan semata-mata
masalah peraturan, namun perlu ditekankan bahwa ini adalah masalah moralitas dan
kemanusiaan. Sudah waktunya orang miskin yang penghasilannya di bawah standar hidup harus
disubsidi pemerintah. Sudah waktunya mereka yang miskin dan ingin sekolah tapi tidak
mempunyai uang bisa meminjam pada pemerintah. Sudah waktunya orang miskin yang ingin
berwira usaha namun kesulitan dalam mengakses layanan modal mendapatkan kemudahan dari
pemerintah.

Sudah waktunya orang miskin yang tidak mampu berobat harus ditanggung pemerintah. Itulah
gunanya sebuah negara didirikan untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan
kesejahteraan pada rakyatnya. Jika negara mengingkari ini semua, kemudian siapa yang akan
memikirkan nasib mereka? Namun demikian perlu adanya pusat data dan administrasi publik
yang kuat untuk mendukung kebijakan nasional semacam ini. Sebagai contoh, di Australia
semua data orang miskin satu pintu di bawah centre link. Dan mereka yang tidak atau belum
terdata bisa mendaftar secara langsung ke centre link cabang terdekat di tempat tinggalnya.

Akan diadakan semacam interview dan validitas informasi oleh social workers apakah mereka
benara-benar miskin atau mengaku miskin. Hal ini untuk menghindari adanya fenomena off rider
yaitu mereka yang seharusnya tidak menerima jaminan sosial justru menerima (salah target) atau
free rider yaitu mereka yang mengaku-aku miskin. Ini berarti data orang miskin adalah data
bergerak yang dinamis serta tidak bersifat tetap misal 2 tahunan atau 5 tahunan sekali. Data itu
bisa berubah dalam ukuran detik. Jadi tidak ada istilah mereka yang tidak terdaftar oleh BPS
terus menyesali nasib dan akhirnya menyayat nadinya sendiri. Sekali lagi perencanaan sosial
harus kuat dan baik. Ingat pepatah lama Fail to plan is a plan to fail.

Sudah saatnya pula pembangunan di daerah-daerah harus digenjot pertumbuhannya untuk


menghindari terjadinya gejala satu kota. Sebagaimana di Australia, orang mau tinggal di Sydney,
Armidale, Albury, Newcastle, semua relatif sama. Semua dapat hidup di daerah-daerah tersebut
tanpa harus pergi dan tinggal di Sydney. Pengembangan daerah-daerah tersebut untuk memecah
laju ke kota besar. Jelas ini butuh kerja keras tidak hanya dari gubernur, tetapi juga
walikota/bupati untuk memajukan daerahnya. Mungkin sudah saatnya ada spesialisasi sesuatu
yang khas yang ditawarkan oleh daerah tersebut. Semisal daerah ini penghasil pertanian
semangka, apel, terasi udang, ikan panggang, dll. Tentu saja hal ini juga membutuhkan dukungan
yang luar biasa dari pemerintah pusat sehingga duit tidak hanya berputar di Jakarta saja.

Sudah saatnya kemitraan dan kolaborasi yang efektif harus ditingkatkan. Gelandangan tidak
hanya urusan pemerintah tapi juga LSM, dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Belajar
dari Amerika, persoalan gelandangan tidak hanya di tangani oleh sektor sosial saja namun juga
melibatkan departemen pertahanan dan keamanan, dimana mereka menyediakan barak-barak
tentara untuk alternative tempat tinggal gelandangan sementara sebelum diberikan solusi tempat
tinggal murah. Jadi sangat menyedihkan apabila di negara kita semua diserahkan pada sektor
sosial saja tanpa dukungan sektor lain dengan alokasi anggaran nomor kesekian belas. Ini jelas
tidak bisa mewujudkan ekspektasi masyarakat dalam penghapusan gelandangan di Indonesia.

Dan menurut saya, sudah saatnya di era otonomi daerah pelaksanaan penanganan dilakukan oleh
LSM-LSM terseleksi melalui metode lelang dan kontrak. Pemerintah harus mulai menempatkan
diri sebagai decision maker dan monitoring dan evaluasi. Kalau semua ditackle semua oleh
pemerintah, saya khawatir dengan keterbatasan dari segi jumlah dan kualitas SDM. Tugas
pemerintahlah untuk menumbuhkan kesadaran bahwa ini adalah persoalan kita semua. Tidak
semua yang berbau negara Barat dapat diterapkan di Indonesia. Perlu studi lebih lanjut untuk
mencari pola penanganan yang sesuai dengan karakteristik masalah dan budaya Indonesia.
Modus-modus pengemis, antara lain yaitu :
1. Koreng / Bekas Luka
Pengemis menggunakan terasi dan obat merah kemudian di oleskan ke kulit hingga kering.
Terasi di gunakan sebagai bahan untuk memikat lalat sehingga terlihat seperti luka membusuk,
sedangkan obat merah untuk terlihat seperti darah.
2. Pengemis Hamil
Di beberapa perempatan dan pinggiran jalan terkadang dapat di temukan pengemis perempuan
hamil padahal sebenarnya itu merupakan sebuah bantal.
3. Tangan Pura-pura Buntung
Modus ini digunakan pengemis seperti mengikat tali di tangan kebelakang sehingga terlihat
seperti buntung.
4. Manusia Gerobak
Pada bulan ramadhan ini banyak pengemis menggunakan gerobak untuk tidur dengan keluarga,
sehingga terlihat memelas dan memungkinkan pejalan maupun pengendara untuk memberikan
sedekah.
5. Pura-Pura Buta
Banyak pengemis yang pura-pura buta untuk mendapatkan berbagai macam simpati dari pejalan
kaki di beberapa daerah keramaian.
6. Orang Tua suruh Anak Mengemis
Banyak orang tua yang membawa anak maupun menyuruh anaknya untuk mengemis, biasanya
pengemis seperti ini banyak di lampu merah dan pinggiran jalan raya.
7. Mendorong Orang Sakit
Biasanya pengemis akan menggunakan orang yang sudah tua, dan di bawa keliling dengan
mendorong, sehingga terlihat seperti orang sakit yang membutuhkan bantuan dan simpati dari
masyarakat.

TAHUKAH ANDA BERAPA PENGHASILAN PENGEMIS ?


Menurut Kepala Seksi Rehabilitas Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda
mengatakan :
- Rata-rata perhari mencapai 750 - 1 juta Rupiah
ini biasanya di dapatkan oleh ibu-ibu membawa anak dan orang yang sudah tua (Kakek / Nenek)
- Pengemis tingkat standar mendapatkan penghasilan 450 - 500 ribu Rupiah.
Biasanya di dapatkan oleh Anak-anak jalanan yang menggunakan tampang memelas untuk
meminta sedekah kepada orang-orang di jalanan.

Dalam 1 bulan seorang pengemis Anak-anak bisa mendapatkan 8 - 12 juta Rupiah, sedangkan
untuk pengemis dengan penghasilan tinggi bisa mencapai Maksimal 30 juta Rupiah per-
Bulannya.
PERBANDINGAN DENGAN FRESH GRADUATE / KARYAWAN DENGAN PENGEMIS ?
Sangat ironis bahkan jika seorang sarjana muda yang menempuh kuliah selama 3,5 tahun atau di
sebut sebagai Fresh Graduate hanya bisa mendapatkan gaji sebesar 2 - 3,5 juta Rupiah per-
Bulannya. Bahkan sangat jarang yang bisa mendapatkan hingga 4 juta.

Untuk gaji seorang Manager di Jakarta, bahkan hanya mencapai 12 - 20 juta Rupiah, dimana
seorang Manajer merupakan karyawan perusahaan yang telah mengabdi selama bertahun-tahun
dan melakukan berbagai pekerjaan keras seorang karyawan untuk meraih jabatan tersebut.
Bahkan seorang Teller perbankan yang telah bekerja selama 5 tahun hanya memiliki gaji kisaran
4 juta Rupiah per-Bulannya.

CARA BERAMAL YANG BENAR ?


Jika anda ingin melakukan Amal atau sedekah di sarankan anda menggunakan badan Zakat
resmi atau menyalurkan langsung kepada yang benar-benar membutuhkannya.

KEKUATAN
1. Pendidikan
Dengan adanya pendidikan seharusnya tidak ada lagi masyarakat yang mengandalkan mengemis
menjadi mata pencarian.
2. Pemerintah
Seharusnya pemerintah bertindak dalam menangani pengemis musiman karena ini sudah menjadi
masalah sosial di indonesia.
3. Masyarakat
Agar lebih giat lagi berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik untuk menunjang kehidupan.
4. Pengemis
Dengan hanya mengemis dan meminta-minta para pengemis musiman mendapatkan uang.
KELEMAHAN
1. Banyak pengemis yang biasanya berada dilampu merah dan sangat menggangu lalu lintas.
2. Banyak pula pengemis musiman yang membawa anaknya untuk mengemis juga.
3. Keberadaan pengemis sangat mengganggu masyarakat.
4. Biasanya pengemis musiman muncul saat bulan ramadhan dan mendekati lebaran.
PELUANG
1. Para pengemis mendapat hasil yang maksimal dengan usaha yang minimal.
2. Para pengemis mendapatkan edukasi seperti rumah singgah untuk meningkatkan keterampilan
secara cuma-cuma.
3. Pada bulan ramadhan tiba biasanya pengemis memulai aksinya, karena mereka berfikir pada
bulan ramadhan orang-orang akan bersodaqoh.
4. Para pengemis musiman tidak hanya dapat menghasilkan uang melainkan mereka bisa
mendapatkan pemberian berupa makanan atau pakaian.
TANTANGAN
1. Para pengemis harus menghadapi kejaran dari petugas.
2. Menghadapi komentar-komentar buruk dari masyarakat.
3. Menghadapi tanggapan buruk atau hinaan dari pengguna jalan raya.
4. Masyarakat tidak boleh memberi sodaqoh kepada pengemis musiman karena mereka memiliki
ketua atau kepala pengemis yang memerintah-memerintah mereka.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari makalah yang saya tulis dapat disimpulkan bahwa para pengemis musiman adalah para
pengangguran yang menggunakan kesempatan untuk mengemis dan mendapatkan hasil besar
dari belas kasihan orang lain pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada waktu bulan ramadhan
atau lebaran. Para pengemis musiman adalah masyarakat yang malas atau tidak mau berusaha
keras untuk mencapai keinginan dan kesuksesannya.
SARAN
1. Agar pemerintah lebih memperhatikan kelangsungan hidup masyarakat yang tidak memiliki
pekerjaan.
2. Agar pengusaha-pengusaha membukakan lapangan kerja untuk masyarakat yang
pendidikannya kurang menunjang kelangsungan hidup mereka.
3. Agar msyarakat mau berusaha dengan lebih keras dan giat lagi.
4. Sebelum anda memberi bayangkan seorang karyawan yang bekerja keras untuk mendapatkan
pekerjaannya, di bandingkan seorang pengemis yang hanya duduk dan menanti menadahkan
tangan mendapatkan uang yang lebih besar.
"Pujilah orang yang bekerja keras untuk meraih uang yang tidak seberapa, walau hal yang di
kerjakannya mungkin tidak setimpal dengan yang diterimanya",

DOKUMENTASI SOFTSKILL

Laporan Wawancara Dengan Pengemis


Kelompok 3: Assalamualaikum. (sambil menyalami wanita yang sedang berdiri di pintu gerbang
masjid Al-Azhar)
Ibu Tini : Waalaikumsalam.
Kelompok 3 : Maaf menggangu bu, bisa minta waktunya sebentar ?
Ibu Tini : Iya. Kenapa ?
Kelompok 3 : Saya mendapat tugas wawancara dari sekolah.
Bisa saya wawancara dgn Ibu ?
Ibu Tini : Iya. Silahkan
Kelompok 3 : Pekerjaan Ibu apa ?
Ibu Tini : pekerjaan saya dulunya tukang cuci. Tapi, sejak 3 bulan lalu saya menjadi pengemis.
Kelompok 3 : Oh. Nama Ibu ?
Ibu Tini : Ibu Tima.
Kelompok 3 : Rumah Ibu dimana ?
Ibu Tini : Di Tidung Mariolo no.1
Kelompok 3 : Anak Ibu berapa ?
Ibu Tini : Tiga.
Kelompok 3 : Kalo boleh tau, mengapa ibu memilih jadi pengemis ? mengapa tidak jadi tukang
cuci
Seperti dulu ?
Ibu Tini : Karena sejak suami meninggal, saya harus cari uang. Saya berhenti jadi tukang cuci
Karena saya tenaga saya tidak sekuat dulu.
Kelompok 3 : Oh. Umur ibu berapa ?
Ibu Tini : 39 tahun.
Kelompok 3 : Dimana ibu biasa mencari uang ?
Ibu Tini : Di daerah sini (sekitar jalan Hertasning). Dan di lampu merah Hertasning juga.
Kelompok 3 : Berapa penghasilan Ibu per hari ?
Ibu Tini : Biasa paling banyak 100ribu. Paling sedkit 30ribu per hari.
Kelompok 3 : Apakah penghasilan Ibu itu cukup untuk kebutuhan ibu sehari-hari ?
Ibu Tini : Alhamdulillah, cukup.
Kelompok 3 : Jam berapa Ibu biasa memulai pekerjaan Ibu ?
Ibu Tini : Jam 8 pagi baru jam 1 pulang untuk shalat dhuhur lalu kembali lagi kesini.
Kelompok 3 : Sekarang kan ada Undang-Undang yang mengatur bahwa member uang kepada
Pengemis di jalan bisa di denda. Bagaimana menurut Ibu ? apa Ibu pernah kena razia ?
Ibu Tini : Saya tidak pernah ditangkap. Malah, polisi sering memberi saya uang.
Saya tidak setuju Undang-Undang itu.
Kelompok 3 : Apa harapan Ibu kepada Pemerintah ke depannya ?
Ibu Tini : Saya berharap bantuan kepada orang miskin seperti saya terus ada.
Kelompok 3 : Semoga harapan Ibu terkabulkan.
Terima kasih atas waktunya Bu. Assalamualaikum.
Ibu Tini : Iya, nak. Waalaikumsalam.
Referensi:
1. http://www.fimela.com/read/2013/07/29/6-masalah-sosial-yang-dihadapi-indonesia-tiap-
ramadhan/page/0/3
2. http://nasional.kompas.com/read/2013/07/25/2130407/Mensos.Pulangkan.Pengemis.Musiman.
ke.Daerah.
3. http://kafhayasos310.blogspot.com/2012/11/makalah-tentang-pengangguran-di.html
4. http://dwianggaraputra.blogspot.com/2012/06/analisis-tentang-pengemis-di-indonesia.html
5. http://yulliasurriaunnes.blogspot.com/2012/07/permasalahan-sosial-makalah-kemiskinan.html
6. http://sudarianto.wordpress.com/2008/02/08/apa-itu-pengemis/
7. http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/12214
8. http://mjeducation.co/pengemis-peluang-bersedekah-atau-sampah/
9. http://www.merdeka.com/tag/p/pengemis-kaya/
10. http://iwandahnial.wordpress.com/2008/07/09/bedanya-pengemis-eropa-dan-pengemis-
indonesia/
11.http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/11/29/sosiolog-perlu-aturan-hukum-atasi-
persoalan-pengemis/
12. http://sosbud.kompasiana.com/2013/09/02/gelandangan-di-perkotaan-dan-kompleksitas-
masalahnya-585936.html

Semoga tulisan ini bermanfaat dan menggugah kesadaran akan persoalan gelandangan di
Indonesia, siapapun kita, entah itu para pengambil kebijakan, sektor swasta, politician, LSM,
praktisi, ataupun masyarakat umum.

Anda mungkin juga menyukai