Anda di halaman 1dari 7

CEGAH RESESI DENGAN PECEL

Karya : Naura Citra Sasongko

Masyarakat Indonesia dengan hal yang berbau kuliner, pasti sangat antusias.
Apa lagi dengan salah satu kuliner khas Indonesia yang satu ini, sangat disuka baik dari
kalangan orang tua hingga remaja yaitu pecal atau pecel. Siapa coba masyarakat
Indonesia yang tidak mengenal makanan tersebut, pecel merupakan jajanan pasar
khas Jawa yang sampai saat ini masih digandrungi oleh masyarakat kita (Indonesia).
Identik dengan bumbu kuah kacangnya yang kental, penuh rempah, dan sayur mayur
yang segar. Tentu sangat menggoda lidah masyarakat Indonesia.

Tidak lama ini di dunia perpecelan mengalami banyak perubahan. Selain terjadi
perubahan arah penyajian, Pecel juga mengalami perubahan harga. yang sekiranya
pada tahun 2019 harganya masih Rp3.000,00 sekarang di tahun 2023 menjadi
Rp10.000,00.. Namun, di sini peran pecel sangatlah penting, dalam rangka mengurangi
dampak resesi ekonomi. CARI TAU HARGA SESUNGGUHNYA DI TAHUN
TERSEBUT

Bicara pasal resesi ekonomi, “Lantas apa peranan pecel itu sendiri?”

Sebelum kita ulas lebih dalam peranan pecel terhadap resesi ekonomi, kita
pahami dahulu apa itu pecel di sini. Pecel yang dimaksud dalam pembahasan kali ini
bukanlah jajanan pasar melainkan Pelajar Cerdas Literasi. Peran pelajar terhadap
permasalahan resesi ekonomi dengan paham literasi sangatlah penting.

Sebelum itu, kita bahas terlebih dahulu apa itu resesi?

Tahun 2023 ini merupakan resesi ekonomi sebagai tuan rumah. Resesi yaitu
sebuah kondisi di mana perekonomian negara memburuk yang dapat dilihat dari
merosotnya PDB (Produk Domestik Bruto). Terjadi kelangkaan barang menjadikan
harga melonjak tinggi. Namun, pendapatan tidak bertambah menyebabkan daya beli
kurang. Dampak resesi ekonomi sangat terasa oleh masyarakat luas. Dalam kondisi
seperti ini tidak hanya berdampak buruk bagi negara, masyarakat dari kalangan
menengah ke bawah sampai kalangan atas atau elit bahkan global akan merasakan
dampaknya.

Tidak heran banyak yang PHK (pemutusan hubungan kerja) dan resign (keluar
perusahaan) dari perusahaan. Sama halnya dengan pelajar. Mereka terdampak oleh
resesi ekonomi. Sebagian besar pelajar mengalami pengurangan uang saku. Tidak
jarang pelajar pun ingin membeli segala macam kebutuhannya. Namun, apalah daya
penghasilan orang tuanya, bukannya meningkat malah menurun.

Sebagai seorang pelajar dengan adanya dampak yang diterimanya, tentunya juga
ingin menghasilkan. Tapi terkadang rebah-rebahan menjadi utama, gawai pun tidak
dapat lepas dari genggaman, barang-barang flash sale menjadi sebuah incaran di
hadapanya. Namun, sekalinya ada uang, langsung dihamburkan. Budaya inilah yang
sangat lekat di negara kita utamanya para pelajar. Sampai-sampai, Indonesia termasuk
negara konsumtif kedua di dunia setelah Singapura. Fantastis bukan?

Budaya konsumtif yang sudah mendarah daging ini bisa menjadi salah satu faktor
terbesar Indonesia terus menjadi negara berkembang. Dengan SDM (sumber daya
manusia) daya beli yang tinggi di tengah-tengah tren kenaikan inflasi global. Upaya
maju harus dilakukan agar ada perubahan menjadi lebih baik ke depannya, salah satu
caranya adalah penerapan cerdas literasi finansial. Dengan Paham literasi finansial
inilah yang dapat merubah mindset atau pola pikir masyarakat utamanya pelajar di
Indonesia. Pemahaman literasi finansial ini pula, para pelajar dan yang lainnya mampu
mengurangi dampak resesi ekonomi dengan berwirausaha atau dengan yang lainya,

“Bagaimana bisa? Mari kita kupas lebih dalam”.

Kita terlebih dahulu pahami, literasi finansial adalah sebuah pemahaman yang
mampu mengasah kemampuan, keterampilan, melatih pola pikir khususnya dalam
lingkup keuangan agar mampu mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Maksudnya,
bahwa literasi finansial bukan hanya sekedar pemahaman tentang keuangan yang
mungkin bagi sebagian orang adalah hal tabu, melainkan ini adalah upaya untuk
menjadikan negara kita lebih maju dengan adanya cerdas literasi.
Masalah resesi ekonomi dapat kita rampungkan. Dibutuhkan paham cerdas
literasi dalam pribadi masing-masing. Tentunya menjadi sebuah tantangan utamanya
bagi para pelajar supaya dapat mengasah kemampuan, baik keterampilan cakap dan
pola pikir pengaplikasian finansial dalam kehidupan sehari-hari. mereka untuk
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari yang menghasilkan sesuatu. Dengan adanya
pelajar cerdas literasi ini mampu membawa kita menuju arah perubahan.

Namun, Data yang cukup menyenangkan sekaligus mencengangkan pada tahun


2019. Betapa tidak, bahwasanya indeks literasi dan inklusi keuangan di Indonesia
meningkat. Tetapi, hasil dari peningkatan itu yang dapat merasakan sebagian besar
dari strata wilayah kota. Mari kita lihat, survei strata wilayah untuk perkotaan, indeks
literasi keuangan mencapai 41,42% dan inklusi keuangan masyarakat kota sebesar
83,60%. Sedangkan survei strata wilayah pedesaan, literasi keuangan hanya 34,53%
dan inklusi keuangan masyarakat desa sebesar 68,49% berikut yang diungkapkan OJK
(Otoritas Jasa Keuangan) CARI OJK YANG TAHUN 2023

Sangat miris melihat keadaan literasi yang ada di Indonesia. Sebut saja di
daerah Desa….., Kecamatan Purwareja Klampok, Kabupaten Banjarnegara yang turut
merasakan betapa kurangnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya literasi
finansial. Percaya atau tidak, kalau masyarakat di desa ini khususnya pelajar 90% tidak
mengetahui apa itu literasi finansial. Bahkan, Tidak sedikit dari pelajar yang
menganggap bahwa berliterasi merupakan suatu kegiatan yang monoton dan
membosankan. Tentunya sangat kurangnya motivasi, daya dukung lingkungan serta
dukungan dari keluarga tentang pentingnya berliterasi finansial.

Keinginan maju tinggi, tapi lingkungan menjadi penghalang?

Berbicara soal lingkungan, memang sangat menjadi pengaruh kita dalam


berproses. Lingkungan itu sendiri ada tiga macam. Lingkungan keluarga paling utama,
lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Semuanya memiliki peran masing-
masing untuk kita berprose dan semua harus selaras. Bayangkan, jika di rumah dan di
sekolah sudah sangat getol diajarkan literasi finansial tapi di lingkungan bermain
(masyarakat) malah bertolak belakang. Ini yang menimbulkan dilema dan sikap labil
pada anak.

Pertama, kita lihat dari lingkungan keluarga. Terdapat beberapa faktor yang
sangat dominan dilakukan orang tua yang menyebabkan terhambatna belajar literasi
finansial yaitu, orang tua selalu memanjakan anak dengan menuruti keinginannya,
orang tua selalu memberikan reward setiap hari berupa barang yang tidak fungsional,
dan orang tua tidak pernah mengikutsertakan anak tentang paham finansial. Dari
beberapa faktor tersebut, mungkin bagi sebagian besar orang tua menganggap ini
adalah hal yang wajar dilakukan dan sebagai bentuk sayang kepada anaknya. Tetapi
sebenarnya, hal ini justru yang membuat anak tidak berkembang, tidak mampu
memanajemen keuangan dan tidak bisa mengambil keputusan khususnya tentang
keuangan dengan baik.

Seperti halnya contoh di atas sikap orang tua yang selalu menuruti keinginan
anaknya, pasti langsung membelikan dengan alasan agar tidak menangis. Seorang
anak jika kurang diajarkan untuk membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan.
Dari kebiasaan dimanjakan inilah yang nantinya membuat anak tidak mandiri dan
muncul budaya konsumtif. Hal yang sekiranya sepele ini justru berdampak sangat buruk
untuk anak ke depannya.

Kedua, lingkungan sekolah. Ya! Memang lingkungan sekolah sudah memberikan


materi terkait literasi finansial. Tapi, tidak banyak juga pelajar yang merasa kurangnya
dorongan serta motivasi untuk belajar literasi finansial. Seperti halnya kurangnya
kegiatan berwirausaha serta kurangnya fasilitas atau tempat berwirausaha. Terutama
pada jenjang SMA (Sekolah Menengan Atas) yang mungkin jarang diajarkan
ketrampilan.

Kenapa kurangnya berwirausaha di sekolahan menjadi faktor penghambat


belajar paham literasi finansial terutama pelajar SMA? Karena, selain pelajaran pokok
yang ada, pelajar juga butuh motivasi lain di luar materi pokok khususnya tentang
berwirausaha. Dorongan dan motivasi dari sekolah ini yang membuat pelajar semangat
berwirausaha, siap menghadapi gempuran ekonomi di luar, bahkan diharapkan mampu
menciptakan lapangan kerja di kemudian hari.

Sekarang faktor yang ketiga yang sangat krusial yaitu lingkungan masyarakat.
Sama pentingnya dengan lingkungan keluarga dan sekolah karena ini menyangkut
tentang pergaulan. Malah lingkungan masyarakat ini yang sangat krusial. Karena
lingkungan ini yang sangat mempengaruhi pelajar kita. Tingkat pergaulan yang salah
akan meruntuhkan pondasi-pondasi yang telah di bangun dari lingkungan keluarga dan
sekolah.

Faktor penghambat anak tidak ingin tau literasi finansial yaitu, pertama
Kebiasaan masyarakat terutama pelajar yang konsumtif dan tidak produktif. Budaya
foya-foya di lingkungan pelajar tidak lagi sebagai hal yang tabu. Kelabilan pelajar
dengan lingkungan pergaulan yang tidak mendukung, akan mudah mempengaruhi
pelajar yang baru akan beranjak berliterasi.

Lalu bagaimana upaya yang dilakukan untuk pelajar meningkatkan pemahaman


finansial untuk menghadapi resesi ekonomi ini?

Di masa resesi ekonomi, akan lebih bagi pelajar untuk dapat mengembangkan
dirinya sekaligus mendapatkan penghasilan sendiri dari paham literasi finansial.

Pertama, dengan kegiatan pembiasaan menabung, sedikit demi sedikit


mengubah pola hidup kita menjadi hemat, juga cermat dalam mengelola keuangan.
Menabung juga kita dapat meringankan beban orang tua di masa resesi ekonomi ini.
Sebenarnya menabung itu tidak sulit kok. Degan menyisihkan sedikit uang saku kita,
katakanlah 1000 rupiah perhari. Jangan pernah ada hal yang menghentikan kosistensi
menabung kita. Paksakan diri kita untuk menabung lama-kelamaan terbiasa.

Kedua, mengikuti kegitan seminar atau sosialisasi tetang keuangan serta


perekonomian negara. Kegiatan ini juga sangat membantu kita para pelajar untuk
membuka pikiran tentang pentingnya paham literasi finansial. Jangan takut terkait
informasi resesi ekonomo ini. Kenapa? Karena kita sudah dapat pemahaman ekonomi
dan keuangan itu mengubah pola pikir kita dan apa yang akan kita lakukan untuk
menangkal resesi tersebut.

Ketiga, melibatkan diri dalam diskusi keuangan keluarga. Nah, kegiatan ini
adalah yang utama. Kenapa? Karena anak-anak utamanya pelajar, belajar lebih banyak
tentang keuangan dari orang tuanya dari pada sumber lain. Dapat disimpulkan, bahwa
keluarga adalah salah satu faktor terpenting yang memberikan pemahaman finansial
pada anak. Percaya atau tidak, 90% pelajar yang sulit mengambil keputusan adalah
anak yang tidak terbiasa terlibatkan dalam musyawarah keluarga mengenai keuangan.
Untuk itu, mulailah membiasakan diri berdiskusi keuangan keluarga agar mampu
mengambil keputusan yang bijak utamanya di masa resesi ini.

Keempat, selain lingkungan keluarga dan masyarakat, lingkungan sekolah juga


sangat berperan. Dengan adanya wawasan kewirausahaan, menjadikan kita lebih
paham tentang keuangan dan cara mengelolanya. Bukan hanya itu, kewirausahaan
juga mengajarkan kita bagaimana caranya mendapatkan penghasilan sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Melalui paham digitalisasi kita dapat berjualan online
menggunakan gadget misalnya. Siapa yang tak punya gadget di zaman sekarang?
Untuk itu, kita bisa memanfaatkan gadget kita menjadi peluang untuk menambah pundi-
pundi rupiah. Sangat fantastis bukan?

Dari adanya digitalisasi ini dapat memberikan solusi atau jalan pintas bagi pelajar
untuk menerapkan literasi finansial. Ini akan sangat penting bagi mereka yang bisa
pahami dan mengerti. “Minim modal banyak cuan”, seperti itu lah kira-kira semboyan
bagi yang paham. Tidak hanya dijadikan sumber informasi selama belajar, namun bisa
menghasilkan cuan. Dengan kita paham digitalisasi kita dapat membuat produk yang
kratif dan inovatif. Seperti menjual jasa editing logo melalui aplikasi canva. Selain jasa
edit logo, pelajar pun dengan gadgetnya dapat membuat editing foto (vektor), editing
video, dan masih banyak lagi. Sesederhana itu bisa menjadi uang? Tentu bisa, karena
ide serta kreatifitas memiliki nilai mahal tersendiri yang tidak semua orang memilikinya.
Dengan modal yang sedikit kita dapat penghasilan yang fantastis.
Sepenting itukah literasi keuangan atau finansial bagi pelajar?

Pastinya sangatlah penting paham literasi keuangan bagi pelajar. Bagaimana


tidak, dari paham literasi ini terbentuklah karakteristik dan kebiasaan diri dalam
mengelola keuangan menjadi budaya yang aktif dan produktif. Dari menabung, bergaul
di lingkungan yang posif, komunikasi keluarga serta pengetahuan dan pengalaman di
sekolah. Sederhananya, kita mendapatkan bekal dasar dan bisa meminimalisir sebuah
dampak resesi dengan paham finansial. Jika literasi finansial tidak tertanam ke dalam
diri para pelajar, bisa-bisa finansial keluarga semakin buntung.

Lalu bagaimana jika semua faktor telah dipahami, dan berbagai upaya telah
dilaksanakan tetapi masih gagal?

Pada dasarnya, semuanya itu diawali dari diri kita sendiri. Bukan dari temanmu,
tetanggamu, kakak iparmu, bahkan tokoh masyarakat sekalipun. kalau kamu tidak mau
berubah menjadi lebih baik, ya tidak akan bisa berubah. Maka dari itu, ayo rubah pola
pikir kita menjadi insan yang peduli keadaan sekitar, peduli tentang finansial untuk
lawan resesi baik hari ini atau pun hari esok.

Dari pembahasan tadi terkuak bahwasannya kalau kita ingin mecegah atau
melawan sebuah resesi harus paham adanya literasi finansial. Literasi finansial ini juga
memiliki jangka panjang dan literasi finansial bukan hanya sebagai transformasi individu
semata melainkan juga transformasi sosial bahkan transformasi global.

Harapan untuk ke depannya, dalam penulisan ini semoga bisa bermanfaat dan
mampu menambah wawasan masyarakat Indonesia dan semakin terbuka
pandangannya tentang kondisi Indonesia saat ini khususnya kondisi keuangan (resesi
ekonomi). Untuk penulisan selanjutnya, diharapkan lebih baik, lebih mendalam
pembahasannya dan lebih lengkap.

"Bersama kita menjadi pelajar cerdas literasi finansial, bersama cegah resesi ekonomi,
bersama kita bisa membangun negara maju, bersama kita ubah dunia”, tuturan Naura
Citra Sasongko.

Anda mungkin juga menyukai