Anda di halaman 1dari 4

Susah ilmu di tanah yang maju

Bodoh, kotor, tidak jelas, masa depan suram, jadi beban, rugi uang dan cemoohan buruk lainya.
Kata-kata ini menjadi cacian tertua di telinga saya, mungkin juga di semua pemuda yang putus
sekolah. Semenjak mendengar ejekan dan sindiran itu dari mulut-mulut warga di Desa, saya mulai
bertanya, yang salah siapa?. Angka pemuda putus sekolah cukup banyak di Desa saya, Para pemuda
ini seakan dikelompokkan dalam interaksi di Desa. Taraf umur juga bervariasi, ada yang berhenti
sekolah pada usia 7-9 tahun di jenjang Pendidikan Sekolah Dadar sekitar 15%, pada taraf Menengah
pertama sekitar 40%, dan taraf Menengah atas lebih mendominasi sekitar 50%. Angka-angka
tersebut di dominasi oleh anak laki-laki.

Apakah orang tua, atau lingkungan sekitar yang menjadi Problematika yang mendasar. Tentunya
Masalah ini menjadi penghambat kelangkaan sumber daya manusia, dan isu yang segar di Desa
saya; Desa Kolontobo, kecamatan Ileape, kabupaten Lembata, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dengan angka penduduk berjumlah.....

Situasi dan kondisi sosial menjadi salah satu faktor contoh, karena angka kemiskinan di NTT cukup
tinggi yang berefek pada tingginya jumlah perantau. Jumlahnya didominasi oleh ibu rumah tangga.
Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam lingkup rumah antara anak dan ayah. Tentunya psikis Ayah
akan terganggu karena perekonomian yang tidak stabil yang berimbas pada angka putus sekolah di
Desa. Semua faktor ini menjadi cermin dalam interaksi sosial mereka. Apabila lingkungan di
sekitarnya sehat secara “pendidikan ekonomi budaya dan Agama” maka karakter individu tersebut
akan terbentuk secara otomatis.

Menyikapi peristiwa intimidasi secara mental ini, saya menemukan jiwa kepahlawanan dalam diri
seorang mahasiswa di Desa yang baru saja menyelesaikan studi ILMU SOSIAL di Makassar. Seorang
pemuda yang bernama Kosmas kumi tedemaking atau lebih akrab disapa Amuba. Abnag Amuba
merangkul pemuda-pemudi di desa yang dikucilkan dan disingkirkan dari segala bentuk kegiatan
dalam kehidupan sosial. Dia mendampingi, memberi inspirasi, motivasi dan dukungan secara materi
dan tindakan. Tujuannya untuk merubah polo pikir masyarakat dan mendidik pemuda yang putus
sekolah agar menjadi pribadi yang berguna di lingkungan Desa dan kehidupan sehari-hari.

“sekolah tidak selamanya harus memiliki bangunan, sekolah yang sesungguhnya adalah kehidupan
kita sehari sari yang berlantaikan tanah, beratapkan langit, dan siap saja adalah Guru, tanpa
memandang umur dan latar belakang”

Bukan hanya beropini namun ditindaklanjuti secara nyata. Amuba mengumpulkan mereka dalam
wadah komunitas yaitu GEMPAR ( gerakan muda peduli alam raya). Komunitas ini berorientasi
dalam Lingkungan, budaya, literasi dan sosial. Namun tidak membatasi ruang untuk pelajar usia SD,
SMP, dan SMA untuk ambil bagian dalam proses belajar di komunitas, dan saya adalah salah satu
anggota dan juga mantan sekretaris umum. Mereka diberi pendamping sederhana namun aplikatif.
Hal ini tentunya tidak terlepas dari perjuangan dan pengorbanan seorang Amuba. Terkhusus dimasa
pandemi Covid 19 ini para pelajar harus menyibukkan diri dalam berbagai kegiatannya sosial, yang
produktif. Aksi nyata juga dilakukan oleh komunitas Gempar dengan menata kembali pantai yang
biasa saja namun bernilai Rupiah di mata Gempar. Kondisi pantai yang tidak terurus, disulap Gempar
menjadi objek wisata yang menarik. Dan lebih istimewanya adalah ide-ide dan gagasan itu lahir dari
pemikiran dan tangan-tangan pemuda yang tidak dipandang di kalangan masyarakat. Karya-karya
kreatif telah dilahirkan oleh Gempar, yang tidak terlepas dari arahan dan bimbingan Abang Amuba.
Objek wisata yang dikelola oleh Gempar pun m sempat menjadi sorotan warga masyarakat Lembata
yang dilihat dari angka pengunjung persetiap harinya. Sindiran dan cacian warga pun menjelma
menjadi pujian dan tepukkan tangan. Amuba memperbarui mereka dengan caranya sendiri.
Mengajarkan mereka berpikir sistematis, analitis, kritis, inovatif, dan produktif namun tetap menjaga
unsur-unsur budaya di desa. Aktif dalam kegiatan kemanusiaan, lingkungan hidup dan sosial. Kami
diberi pendampingan oleh inisiator, yang menghadirkan pemateri sukarelawan untuk bisa
memberikan materi-materi yang bernilai ekonomis dan aplikatif. Seperti contoh kerangka berpikir
ilmiah, Susunan struktur dalam organisasi yang baru-baru ini di implementasikan di musyawarah
Besar (MUBES). Dan masih banyak lagi ilmu-ilmu sosial yang kami peroleh di Gempar. Dan Amuba
berpesan,

“Apa yang teman-teman perolehan hari ini, Jagan lupa berbagi untuk sesama, supaya ada
regenerasi berikut demi sumberdaya manusia yang berkualita! Buktikan bahwa ilmu tak harus
didapat di sekolah, yang kadangkala terlalu mengikat dan mengkerdilkan daya berpikir siswa
dengan peraturan yang terlalu banyak.”

Ujar Amuba pada evaluasi ketika sepulang dari membagikan bantuan di posko di dalam desa kami.
https://ekorantt.com/2021/04/06/posko-gempar-kolontobo-salurkan-bantuan-sembako-kepada-
korban-bencana-di-ile-ape/

Melihat dari kondisi tersebut, tentunya Indonesia yang sekarang haus akan kreativitas dan nilai-nilai
kepahlawanan, terkhusus pada kamu muda yang menjadi tonggak estafet bangsa Indonesia.
Bagaimana kita sebagai masyarakat Indonesia terkhusus bagi pemuda harapan bangsa yang
menyikapi sesuai yang telah dilakukan Abang Amuba. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita
semua yang membaca tulisan ini. Siapa pun bisa menjadi apa pun. Para pelajar sekarang, banyak
yang gagal paham karena terlalu larut dalam eforia yang mereka sebut penenang (game Online.)
Salah satu faktor penghambat kemajuan pola pikir kalangan masyarakat Indonesia khususnya anak-
anak dan remaja Karen terlalu sibuk dengan maraknya kemajuan teknologi. Harapan saya kepada
semua pihak baik yang berwenang dalam hal ini bidang komunikasi dan informatika untuk
menghapus aplikasi-aplikasi yang mengkerdilkan wawasan, pola pikir dan pengetahuan. Upaya ini
tentunya akan sangat efisien karena hal ini sudah menjadi budaya dan lazim di mata masyarakat.
Anak-anak lebih memprioritaskan Game Online, tik-tok dibandingkan pengetahuan, pendidikan dan
nilai budaya yang telah di wariskan oleh leluhur Kita. Contoh sederhana sekarang etika dalam
berbicara dan relasi antara anak-anak mulai berubah, dilihat dari dialek atau logat yang meniru
Budaya orang lain. tentunya hal inilah yang membuat semangat juang yang berkurang seperti
contoh Abang Amuba dan komunitas kami.
Orang tua juga menjadi motivator dan guru utama dalam pengembangan kehidupan sehari-hari
anak. Seperti yang sudah saya katakan tadi jika, kondisi rumah “memungkinkan” makan daya
berpikir anak, sikap tingkalakku, interaksi dan relasinya akan terbentuk secara alami. Salah satu
faktor penting juga adalah sistem pendidikan yang semakin melenceng dari harapan dan perjuangan
kihajar Dewantara sebagai bapak pendidikan nasional. Tentunya daya berpikir dan Sikap anak dalam
hal ini pelajar akan baik apabila sang guru memberikan pengajaran yang sesuai dengan kemampuan
pelajar. Harus memprioritaskan bakat dan Jangan mencela kekurangan mereka. Jika sistem
pendidikan kita lebih baik maka akan menghasilkan generasi yang baik dan berkualitas demi
kemajuan Negara untuk bersaing dengan Negara lainnya. Harapan saya bagi sistem pendidikan di
Indonesia adalah, kita perlu memprioritaskan bakat dan kemampuan anak atau pelajar, berikan dia
ilmu untuk masa depannya sesuai kemampuan pelajar tersebut. Bukan menitipkan semua pelajaran
kepada mereka karena daya ingat manusia tidak bisa menampung semua itu dalam kurun waktu
yang lama. Dan juga kita bersekolah 12 tahun ini terlalu memaksa dan menyia-nyiakan karena
implementasi Dalam realitas kehidupan itu hanya ½ saja.

Faktor pendidikan ini saya temukan juga di sekolah saya yang sekarang yaitu SMA KATOLIK
BAKTYASA MAUMERE. Disekolah saya tidak ada Senioritas jadi semu pelajar Sama hebat di mata
Pengajar. Di sekolah kami sudah menerapkan Sistem KRS ( kredit semester) dengan visi
TERWUJUDNYA PRIBADI BERKUALITAS BERKARAKTER DAN BERKOMPETENSI SECARA GLOBAL YANG
BERLANDASKAN IMAN KRISTIANI. Kami diajarkan berbagai ilmu sosial dan ilmu-ilmu lainnya.
Kenyamanan merupakan aspek penting dalam terbentuknya karakter . seorang pelajar. Saya juga
menemukan pahlawan di sekolah kami yaitu Mama suster kepala sekolah. Iaa banyak mengambil
keputusan yang tepat dan sesuai dengan harapan pelajar. Salah satu program sekolah kami adalah,
membuat survei pendapat kepada orang tua dimasa pandemi covid ini. Jadi diberikan 2 pilihan
pembelajaran yaitu Kurung( tatap muka) dan daring( secara virtual atau online) tentunya kebijakan
ini sangat diterima baik oleh siswa karena banyak siswa yang memiliki kendala dalam proses
pembelajaran online seperti tidak memiliki hp, jaringan yang kurang baik, pulsa data tidak ada dan
masih banyak lainnya. Namun karena Masa pembatasan kegiatan masyarakat diperpanjang dan
baru-baru ini sekolah kami dibubarkan oleh Satpol-PP karena melanggar aturan. Namun, sekolah
kami sudah memberlakukan porkes dan juga belum menerima surat perpanjangannya. Pendidikan
sekarang semakin buruk semenjak hadirnya Corona. Dari beberapa faktor tersebut apabila
ditindaklanjuti Maka kita akan melihat perubahan di Negara kita ini, agar kader kader kedepannya
mampu bersaing dengan negara lainnya.

Jiwa pahlawan berikutnya adalah Nadiem Makarim. Masyarakat Indonesia tentu tau siap beliau, yah
Mentri pendidikan yang bayak membawa perubahan bagi pelajar dan arah bangsa ini. Bagi saya
kebijakan menghapus ujian akhir semester. Seperti yang sudah di terapkan oleh sekolah kami
tentang program mereka belajar, tentu berimbas positif bagi pelajar dan guru-guru yang mengajar.

“Keberadaan Program Guru Penggerak mampu menguatkan dan melembagakan aktivitas guru-guru
yang semula berjalan sendirian,” kebijakan yang dipilih beliau tentu Dengan pertimbangan dan
pengorbanan.

1. Program Organisasi Penggerak yang menyebabkan PGRI, NU, Muhammadiyah undur diri.

2. Merdeka Belajar yang menduplikasi hak merek dagang PT Sekolah Cikal.

3. Hilangnya pelajaran Sejarah dalam rencana penyederhanaan kurikulum.


4. Proses penyederhanaan kurikulum yang hingga kini tertutup, tidak transparan,
serta tidak melibatkan semua pemangku kepentingan. 
"Didominasi oleh lingkaran jaringan lembaga think tank Mendikbudristek," ujar
Satriwan.
5. Tidak adanya frasa Agama dalam Peta Jalan Pendidikan.
Saya melihat semangat jiwa pahlawan di era modern ini di sosok Nadiem Makarim. Lantas
bagaimana dengan para menteri menteri yang lainya. Dengan gaji sebesar Rp 5.040.000 per
bulan, dan tunjangan sebesar Rp 13.608.000 per bulan. Merupakan angka yang besar bagi
para menteri lantas perubahan sejauh mana yang mampu diciptakan di Nusantara ini.
Berangkat dari kesederhanaan Nadiem Makarim mampu menghadirkan semangat baru bagi
para pengajar dan pelajar. Terkhusus di masa pandemi ini. Salah satu kebijakannya yang
baru di cetuskan adalah menciptakan kurikulum darurat dan memberikan wewenang bagi
sekolah untuk menentukan kurikulum sesuai kondisi di wilayah dan kondisi siswa.

Tokoh pahlawan yang berikutnya adalah bapak nomor satu Indonesia, bapa Ir. H. Joko Widodo.
Sosok yang ramah yang memiliki jiwa kepemimpinan tinggi loyalitas dan dekat dengan semua kaum.
Bapak Jokowi juga sudah menciptakan perubahan besar di Indonesia seperti kembalinya PT Freeport
di Papua, mampu mengurangi angka pengangguran di Indonesia, meski belum terlalu dirasakan di
pelosok negeri ini.

Dari semua tokoh di atas saya menyimpulkan bahwa menjadi seorang pahlawan bukan berarti harus
berperang dengan senjata, melainkan berperang dengan diri sendiri kalahkan ego dan mampu
mengendalikan diri demi kepentingan semua orang. Dan pahlawan yang sesungguhnya adalah sosok
yang bisa disebut sebagai tempat sampah, supaya mampu menampung segala bentuk asumsi, kritik,
saran keluhan dari bawahannya dan mampu menetralisasikan semua demi terciptanya perubahan
yang baru.Saran saya untuk semua pemuda di Indonesia agar jangan terlalu terbelenggu dalam
realitas kita sekarang di mana teknologi menjadi pusat perhatian dan kebutuhan yang mendasar.
Mau sampai kapan kita berkembang jika kita tak belajar mandiri dan masih bergantung pada orang
lain. Saran saya Kepada seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dari pulau Miangas
sampai ke pulau Rote, untuk menumbuhkan rasa toleransi, nasional, buang rasa individualisme dan
bangkitkan semangat pluralisme dalam diri kita agar tercipta kesejahteraan bagi diri kita sendiri, diri
kita dan sesama, diri kita dengan Alam serta diri kita dengan sang pencipta.

Anda mungkin juga menyukai