Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PEMBETUKAN KARAKTER

TANTANGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

NAMA PENYUSUN : LISA


DOSEN : ASNAWI

STAI DARUL ULUM KANDANGAN


Kata Pengantar

Puji syukur senantiasa kita panjatkan atas nikmat yang telah dikaruniakan
Allah SWT. Yang senantiasa tak pernah melupakan hambanya. Shalawat
serta salam juga senantiasa kita haturkan kepada sang suri tauladan sejati
Rasulullah Muhammad SAW. yang telah membawa agama yang dicintai Allah
yakni islam sehingga hingga saat ini kita masih termasuk umat yang
terlindungi oleh cahaya ilahi.
Pada makalah kali ini kita akan membahas sebuah topik yang menarik
terkait pada mata kuliah PEMBETUKAN KARAKTER, dengan judul makalah
“TANTANGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA”
Makalah ini kami buat berdasarkan pada tugas yang diberikan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini, sehingga kami dapat
menyelesaikan tepat pada waktu yang telah diberikan kepada kami. Semoga
dengan adanya makalah ini dapat menjadi bahan diskusi yang baik dan
dapat membuka paradigm berpikir kita bersama.
Penyusun juga memohon maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahan
dalam makalah kami baik masalah penulisan, isi serta hal lainnya karena
kami hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Kami dari pihak
penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran bilamana terdapat hal yang
perlu diperbaiki pada makalah ini.
DAFAR ISI
KATA PENGANTAR !
DATAR ISI !!
ISI !!!

KESIMPULAN !V
PENUTUP
PENDAHULUAN

Tulisan ini hendak membahas bagaimana aktor-aktor yang beragam seperti negara, masyarakat
sipil dan kepentingan bisnis memiliki kepentingan masing-masing yang saling tarik menarik di
Indonesia. Disadari atau tidak, tarik menarik kepentingan inilah yang menentukan karakter
manusia Indonesia yang terbentuk. Apakah untuk kepentingan negara, kepentingan bisnis atau
untuk memperkuat masyarakat. Tantangan pada arena tarik menarik ini semakin besar di era
globalisasi saat ini yang didorong oleh perkembangan teknologi. Era globalisasi ini telah
mendorong banyak perubahan di negara-negara dunia termasuk dalam ranah pendidikan
negara tersebut.
Pendidikan memegang peranan penting bagi semua aktor (negara, masyarakat sipil, kelompok
bisnis) dan memegang peranan penting pada segala jaman. Persoalannya adalah, pendidikan
saat ini didesain untuk kepentingan siapa? Apakah aktor-aktor yang memiliki kepentingan dan
logika sendiri-sendiri ini saling mengunci/non-kolaboratif atau bersifat kolaboratif? Inilah salah
satu pertanyaan dan tantangan besar bagi pendidikan di Indonesia.

Ranah pendidikan selama ini banyak berfokus pada kapabilitas negara untuk menyelenggarakan
pendidikan. Padahal disisi lain, kapabilitas negara tidak begitu kuat dalam menyelenggarakan
pendidikan. Kita dapat melihat bagaimana masih banyaknya sekolah rusak (infrastruktur),
masih banyaknya anak muda yang tidak sekolah hingga kapasitas guru yang tidak memadai5.

Disisi lain, dunia bisnis semakin kuat menjadikan anak muda sebagai bagian dari kelas konsumsi
mereka, apabila anak muda cukup cerdas maka dia akan ditarik untuk memperkuat bangun
kepentingan bisnis. Organisasi masyarakat sipil tidak tinggal diam dengan tetap
menyelenggarakan pendidikan melalui dunia pesantren, seminari, hingga pendidikan alternatif.
Namun sayangnya organisasi masyarakat sipil ini sedikit mendapatkan perhatian dari
pemerintah.
Paradigma pendidikan yang state-centric justru sangat berbahaya dalam agenda membangun
pendidikan di Indonesia. Seperti penjelasan diatas, bahwa kapabilitas negara terbatas dan
peran dari kelompok bisnis serta masyarakat sipil menjadi dominan didalam dunia pendidikan.
Melihat banyaknya aktor, kontestasi paradigmatik dan kepentingan tidak dapat lagi
dihindarkan.
Oleh karena itu paper ini hendak memberikan deskripsi dari tantangan eksternal maupun
internal dalam membentuk karakter manusia Indonesia serta ancaman pendidikan di Indonesia
di era globalisasi. Kepentingan aktor dan kuasa paradigmatik menjadi kata kunci untuk melihat
bagaimana karakter manusia Indonesia yang terbentuk serta untuk melihat masa depan
pendidikan di Indonesia itu sendiri.
BAB I

A. Tantangan Internal PEMBENTUKAN BANGSA


Disadari atau tidak, peran menjalankan pendidikan yang gagal dijalankan oleh Negara
telah disubstitusi oleh Organisasi Sosial Masyarakat. Kita mengenal ada Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama (NU) yang aktif memperkuat modal sosial masyarakat dan menjalankan fungsi
pendidikan. Apabila kita sudah membicarakan bahwa dari “atas” terdapat negara dan
kepentingan bisnis yang menjalankan fungsi pendidikan. Pada bagian ini kita akan
membicarakan bagaimana pendidikan di dorong dari “bawah”.

Tanpa disadari, sebenarnya terdapat benturan yang sangat kuat antara tradisi dan modernitas
dalam dunia pendidikan. Untuk pembahasan dalam paper ini, kita dapat menyebut terdapat
benturan negara dan masyarakat. Barangkali untuk Muhammadiyah tidak ada persoalan antara
desain pemerintah dan model sekolah yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Namun bagi
NU dengan pondok pesantren-nya, barangkali ada persoalan pelik terkait dengan desain
pendidikan oleh pemerintah. Pondok pesantren suka tidak suka harus menyesuaikan dengan
format negara. Disadari atau tidak, dinamika negara-masyarakat yang cukup kuat ini
memudahkan kepentingan bisnis untuk menguasai dunia pendidikan.
Terdapat perbedaan desain pendidikan di pesantren dan sekolah formal. Pada sekolah formal,
pendidikan mengedepankan aspek pengembangan kognisi siswa didik, sedangkan penekanan
pengembangan pendidikan di pondok pesantren mengedepankan aspek ilmu dan perilaku/ilmu
dan amal. Artinya pengembangan ilmu harus memiliki kegunaan kepada masyarkat.
Purwo Santoso (2012) mengutip perkataan Yudian Wahyudi yang mengatakan bahwa terdapat
krisis Kyai dikarenakan banyak anak pondok Pesantren yang takut tidak mendapatkan
pekerjaan apabila menjadi Kyai. Akibatnya banyak santri yang memilih untuk mengambil
pendidikan formal di universitas.14 Standarisasi yang dilakukan oleh pemerintah memaksa
pondok pesantren untuk melakukan penyesuaian dengan merubah kurrikulum dan membentuk
lembaga pendidikan yang setara dengan pendidikan formal negara.
Desain pendidikan dari negara yang mengedepankan aspek kognisi tanpa mengidahkan nilai-
nilai yang hidup di masyarakat berpotensi menimbulkan gesekan sosial. Tarikan antara negara
dan masyarakat menjadi tarikan antara modern dan tradisional. Pengaruh dari globalisme
muncul ketika nilai-nilai lokal masyarkat tidak terakomodasi dalam desain pendidikan.
Pendidikan lebih mengedepankan aspek kognisi dari peserta didik, sedangkan nilai-nilai lokal
sebagai dasar moralitas tidak mendapatkan perhatian.
Desain pendidikan yang dibangun menempatkan masyarakat kita pada kerentanan sosial yang
tinggi, ditambah lagi dengan tantangan global dengan pengaruh Ideo-Escape dan Media-
Escape. Sebagai contoh fundamentalisme Islam dapat masuk melewati batas negara, ini
menjadi potensi konflik horizontal apabila tidak segera diantisipasi karena dapat berbenturan
dengan masyarakat tradisi. Media-Escape dapat berpengaruh terhadap kerentanan sosial
masyarakat (risk society) disebabkan masyarakat mendapatkan banyak informasi dari banyak
sumber (menjadi manusia multidimensional). Masyarakat dalam era global berada pada
kerentanan konflik sosial
B. Tantangan Eksternal PEMBENTUKAN BANGSA
Globalisasi7 tidak dapat dihindari seiring dengan menguatnya dominasi pasar bebas
yang didorong pula dengan terbentuknya regionalisme ekonomi maupun regionalisme politik8
serta munculnya aktor intergovermental organization seperti Internatioanl Monetary Funds
(IMF), International Bank for Reconstruction and Develompment (IBRD/’World Bank’) dan
World Trade Organization (WTO).9 Waters (1996:3) dalam Rod Hague, et,al (1998:39)
mendefinisikan globalisasi sebagai ‘a process in which constraints of geography on social and
cultural arrangements recede and in which people become increasingly aware that they are
receding’. Secara sederhana definisi Waters menunjukkan bahwa batas dunia telah menghilang
(deteritorialisasi) dan masyarakat semakin didorong untuk menjadi satu komunitas global.
Globalisasi dalam ranah ekonomi ini semakin kuat didukung oleh inter- governmental
organization dan perangkat-perangkat perdagangan bebas lainnya. Semua menjadi bisnis,
termasuk ranah pendidikan yang menjadi ranah krusial pembangunan manusia.
Globalisasi tidak hanya ditandai dengan pasar bebas, namun ada pula gejala gejala yang lain.
Muslim Abdurrahman (2012) menyebut 4 fenomena globalisasi yakni, Etno-Escape, Capital-
Escape, Ideo-Escape dan Media-Escape.10 Dari empat fenomena globalisasi tersebut, Capital-
Escape, Ideo-Escape dan Media-Escape memiliki pengaruh besar bagi dunia pendidikan kita.
Capital-Escape menekankan pada perputaran uang untuk menjamin kelangsungan sistem
global, oleh karenanya peran negara diminimalisir (Stateless). Negara hadir hanya dalam
keperluan memberikan regulasi dan nampaknya semangat itu yang hadir dalam RUU Perguruan
Tinggi yang saat ini sedang dibahas di legislatif.11
Struktur perdagangan dunia membuat negara lemah dalam memberikan fungsi
pendidikan/pendidikan menjadi komoditas. Akibatnya pendidikan hanya teruntuk bagi mereka
yang memiliki daya beli, ini bertentangan dengan tujuan negara yang tercantum dalam
preambule UUD 1945 yang mengatakan bahwa salah satu fungsi negara adalah “ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Perubahan ini sangat berbahaya karena mengubah
pendidikan yang semula menjadi hak warga negara (Citizenship) menjadi pilihan bagi mereka
yang memiliki daya beli (Costumer). Jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih 230 juta
jiwa adalah lahan menguntungkan bagi industri pendidikan.
Peran negara yang minim untuk mengakomodasi kepentingan bisnis, mendapatkan tantangan
dari efek globalisasi yang lain, yakni Media-Escape. Anak muda dilihat sebagai market yang
sangat potensial bagi kepentingan bisnis, oleh karenanya media menjadi alat untuk memacu
daya konsumtif masyarakat agar modal tetap dapat berputar.12
Secara tidak langsung, logika kompetisi (logika pasar) menjadi dasar pengelolaan pendidikan
kita sekarang ini.13 Logika ini didukung dengan logika standarisasi global yang lahir melalui
globalisme. Hal ini bertentangan dengan nilai- nilai yang ada di masyarakat, terutama nilai nilai
Pancasila. Kita dapat melihat proses pendidikan yang menyamakan kemampuan anak ini
dengan menggunakan alat penilaian (assesment)/standar yang sama, yakni Ujian Nasional (UN).
Visi dan kepentingan negara dalam dunia pendidikan menjadi tidak perlu dikarenakan hal yang
terpenting adalah bagaimana agar modal tetap dapat berputar di Indonesia.

C. Mencari Jalan Keluar


Generasi muda secara tidak sadar terhimpit oleh banyak kepentingan didalam dunia
pendidikan. Sayangnya mereka hanya menjadi obyek desain pendidikan yang ada sekarang ini.
Dominasi kepentingan bisnis didalam pengelolaan pendidikan telah masuk pada ranah negara
dan masyarakat sipil melalui standarisasi yang menjadi nafas globalisme. Akibatnya karakter
manusia Indonesia yang terbentuk adalah market minded. Karakter yang terbentuk ini tidak
sesuai dengan agenda bangsa/nasional karena tidak ada keterikatan dengan masyarkat dan
cenderung profit oriented.15
Kita harus mengembalikan pendidikan kedalam kerangka nasional/negara.16 Hubungan yang
harus dibangun adalah hubungan antara negara dan warga negara. Logika dan kekuasaan
kepentingan bisnis saat ini sangat berbahaya disebabkan oleh karakter dari kekuatan modal
yang tidak mengenal batas teritorial negara. Akibatnya kepentingan bisnis tidak memiliki
tanggung jawab moral apapun terhadap negara dan masyarakat. Sifat modal yang berpindah-
pindah harus kita waspadai dan sudah saatnya kita kembali mengatakan dan berikhtiar bahwa
pendidikan bukan sektor yang diperjual belikan dan menjadi salah satu amanah berdirinya
Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam preambule.
Konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai Tri Pusat17 pendidikan sangat bagus namun ada
tantangan serius terhadap konsep Ki Hadjar Dewantara tersebut, yakni perkembangan
teknologi dan arus informasi yang cukup pesat. Perkembangan teknologi informasi ini telah
masuk ke ranah domestik/keluarga hingga individu. Situasi ini berbeda dengan pada masa Ki
Hadjar Dewantara dahulu.

Saat ini masyarakat dan keluarga tidak lagi menjadi institusi yang kuat, padahal melalui keluarga
dan masyarakat inilah landasan moral diletakkan. Hal ini seiring juga dengan melemahnya
peranan ibu dalam mendidik meski secara insting, seorang ibu memiliki naluri mendidik
anaknya. Tidak jarang peran ibu yang mendidik dan meletakkan fondasi moral digantikan oleh
pembantu rumah tangga dalam keluarga modern (Wuryadi:2012).

Untuk keluar dari jerat industrialisasi pendidikan, maka diperlukan sinergi antara negara dan
masyarakat sipil. Sinergi strategis ini menekankan bahwa persoalan pendidikan bukan hanya
ada pada ranah negara yang juga pada saat ini terbatas kemampuannya. Akan tetapi ranah
pendidikan juga merupakan wilayah dari masyarakat sipil yang menghadapi problema
kehidupan sehari-hari. Kolaborasi keduanya akan menjadi counter terhadap penguasaan
pendidikan oleh kepentingan bisnis.
Hal yang tidak kalah penting dari sinergi negara-masyarakat dalam membangun pendidikan
adalah pembangunan strategi pendidikan dan strategi kebudayaan. Tidak ada bentuk
perkembangan pendidikan yang keluar dari akar budaya peradabannya, oleh karena itu budaya
merupakan bagian yang melekat dengan pendidikan itu sendiri (Wuryadi:2012).

Strategi Pendidikan
Menggunakan fram sinergi dari negara-masyarakat ini, kita perlu menyusun pendidikan dan
terutama sekali materi pendidikan yang terkait dengan kepentingan nasional. Kita harus
mengubah kurrikulum pembelajaran disamping memperkuat kapabilitas aktor pelaksana
pendidikan seperti guru. Untuk itu kita perlu menyadari terlebih dahulu bahwa pengembangan
ilmu pengetahuan tidak lepas dari kekuasaan (Samuel:2010, Santoso: 2011, Nugroho:2012).
Ilmu pengetahuan seharusnya dikembangkan dalam desain kepentingan dan dalam hal ini
kepentingan bangsa dan negara.
Studi yang dilakukan oleh Hanneman Samuel (2010) menunjukkan bahwa ilmu lekat dengan
kekuasaan dan digunakan untuk menguasai dari jaman kolonialisme

hingga masa orde lama.18 Ilmu tidak hanya dikembangkan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan saja, namun juga harus dikembangkan untuk kepentingan bangsa dan negara
(Sukarno:1951). Pendidikan yang ada sekarang mendidik siswa didik menjadi “kuli” dengan
menimpor dan meniru-niru pengetahuan tanpa ada proses refleksi (Santoso:2012). Sinergi
antara negara-masyarakat menjadi krusial disini, dimana negara melalui sekolah turut serta
dalam mengakomodasi nilai-nilai luhur (local wisdom) yang ada didalam masyarakat sebagai
desain dari pendidikan itu sendiri.
Desain pembelajaran yang dikembangkan masuk dalam kerangka bangsa dan negara dan
ditujukan untuk mengatasi persoalan yang ada di masyarakat. Jika pengeloaan dan
pengembangan pendidikan dengan cara ini tidak segera dilakukan, maka kita akan terus
menerus berada pada kondisi ketergantungan dengan negara lain. Contoh kongkritnya, kita
harus dapat mengembangkan industri nasional dan menciptakan teknologi yang dapat
menopang kemajuan bangsa Indonesia. Jika tidak, kita akan dalam lingkaran ketergantungan
(dalam hal ini teknologi) secara terus menerus. Titik terang ini sebenarnya sudah ada dengan
produk mobil SMK yang cukup menghebohkan beberapa waktu yang lalu.

Strategi Kebudayaan
Pada dasarnya kebudayaan seharusnya tumbuh secara natural. Namun sejarah Indonesia
mencatat bahwa pembangunan peradaban di Indonesia tidak pernah tuntas (Wuryadi:2012).
Pembangunan kebudayaan dapat dilakukan dengan memperkuat ketahanan masyarakat19 dan
membuka ruang bagi ekspresi-ekspresi budaya dalam interaksi sosial masyarakat. Untuk
membangun ini, maka logika industri pendidikan harus dihilangkan karena hal ini mengasingkan
manusia dari kebudayaan itu sendiri.
Kebudayaan menjadi pionir dari pembentukan peradaban yang kemudian menjadi dasar dari
moralitas. Oleh karena itu perlu untuk dibangun ruang-ruang sosial untuk pengembangan
budaya. Dengan kata lain, pembangunan sudah seharusnya tidak terpaku pada pembangunan
ekonomi an sich tapi juga mengembangkan pembangunan menggunakan pendekatan budaya
(Joesoef:2012). Barangkali pendekatan budaya ini dapat memberikan ruang bagi pembangunan
perabadan Indonesia melalui terbukanya ruang interaksi sosial. Mengingat tantangan
globalisasi akan budaya sangat nyata, yakni mensubsitusi budaya lokal dengan budaya global
sehingga masyarakat menjadi masyarakat global/beridentitas global (Abdurrahman:2012,
Tilaar, 2009:4).
Kembali ke penjabaran awal dalam paper ini, dominasi dari kepentingan bisnis dalam dunia
pendidikan telah melahirkan keterjarakan antara siswa didik dengan realitas masyarakatnya.
Hal ini disebabkan pendidikan mendesain siswa didik menjadi market minded. Sekolah menjadi
tempat pendidikan yang mudah dikuasai karena memiliki dasar pengaturan (Wuryadi:2012),
karakter yang dibangunpun adalah karakter cari untung karena pendidikan didesain untuk
membangun kompetensi mencari uang (Santoso:2012).
Oleh karena itu, modal sosial (social capital) masyarakat menjadi kata kunci untuk memperkuat
kebudayaan. Masyarakat harus dijamin penghidupannya termasuk dalam ranah pendidikan.
Apabila landasan moral yang diletakkan melalui kebudayaan ini gagal, tidak heran banyak sekali
orang cerdas di negeri ini yang perilakunya negatif seperti melakukan korupsi.
KESIMPULAN dan PENUTUP
Sinergi negara dan masyarakat perlu dikedepankan untuk mengatasi
industrialisasi pendidikan di Indonesia. Karakter manusia Indonesia yang
terbentuk berorientasi pada kepentingan bisnis (market oriented) yang
disebabkan oleh dominasi kepentingan bisnis dalam pengelolaan pendidikan di
Indonesia. Akibatnya, manusia yang terbentuk dari pola didik ini tercerabut dari
akar sosial masyarkatnya sendiri.
Negara harus kembali kuat didalam pengelolaan pendidikan dengan sinergi
dengan masyarakat sipil agar manusia Indonesia yang dihasilkan benar-benar
mengatasi

masalah di masyarakatnya. Pendidikan harus dilepaskan dari jerat industri dan


kembali kedalam bingkai kepentingan bangsa dan negara. Pendidikan harus
kembali menjadi sektor yang tidak diperjualbelikan karena fungsi pendidikan
merupakan salah satu amanat berdirinya Republik Indonesia, yakni “ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Untuk itu sekali lagi, sinergi antara negara dan masyarakat harus kokoh. Terutama
kontrol masyarakat kepada pemerintah untuk mendorong de-industrialisasi
pendidikan. Masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan20 dan negara
yang memiliki kesadaran untuk mengembalikan pendidikan dalam bingkai
kepentingan bangsa dan negara sangat diperlukan untuk pendidikan kita. Agenda
yang tidak kalah penting adalah pembahasan bersama strategi pendidikan dan
strategi kebudayaan sebagai desain besar pendidikan di Indonesia.
Karakter manusia Indonesia yang berorientasi pada bisnis terjadi disebabkan oleh
kekuatan bisnis yang cukup besar. Argumentasi dalam paper ini hendak
mengatakan bahwa dominasi dari kekuatan bisnis harus segera dihentikan
dengan menjadikan sektor pendidikan sebagai sektor yang tidak diperjualbelikan
karena menjadi amanah berdirinya Republik Indonesia, perlunya sinergi antara
negara- masyarakat untuk mendukung pengembangan pendidikan dan
kebudayaan, perlunya pengembangan keilmuan21 yang menjawab persoalan riil
di masyarakat dan perlunya kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan
di Indonesia. Sinergi dan kontrol dari masyarakat ini menjadi penting karena
selama ini masyarakat hanya dijadikan obyek dari pendidikan.
Tulisan ini hanya berhenti pada tahap deskripsi permasalahan yang ditemui
didalam dunia pendidikan di Indonesia pada masa globalisasi sekarang ini. Tulisan
ini masih jauh dari sempurna dan kita masih perlu untuk mendiskusikan lebih
lanjut terkait pendidikan di Indonesia. Terutama terkait dengan strategi
pendidikan dan strategi kebudayaan yang membutuhkan elaborasi dan kajian
lebih dalam lagi. Semua untuk kemajuan dan kebangkitan pendidikan yang
berkarakter Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai