Anda di halaman 1dari 9

Tantangan

Tantangan untuk Meningkatkan


Jatidiri Bangsa
YOYO MULYANA *)

Abstrak

Pendidikan selayaknya harus mampu mengembangkan values creation, recreation, dan pembiasaan
untuk berpikir, bersikap, dan bertindak menjadi anggota masyarakat yang baik, serta menjadi
warga negara yang baik. Pendidikan tujuannya adalah membangun academic and social
curiosity. Oleh karena itu diperlukan karakter yang kuat untuk mencapai tujuan pendidikan
tersebut. Pendidikan harus ditata secara sinergis antara konsep, pelaksanaan dengan kebutuhan
lapangan kerja.

Selayaknya pendidikan dilakukan dalam kerangka lifelong education for all sebagai salah satu
tujuannya. Pendidikan harus ditata secara sinergis antara konsep, pelaksanaan dengan
kebutuhan lapangan kerja. Proses dan hasil pendidikan harus mengembangkan curiousity;
creation of innovation. Cara yang tepat adalah meninjau kembali kurikulum, sehingga kita perlu
melakukan langkah reformasi pendidikan agar kita dapat membangun pendidikan yang bermakna
untuk menunjang proses membangun karakter dan jati diri bangsa yang selalu akan mendorong
bangsa Indonesia untuk berpikir dan bertindak inovatif.

Kata kunci: pendidikan, karakter, nilai, pembiasaan.

Pendahuluan

Seorang mahasiswa S2 di sebuah perguruan tinggi, yang sekaligus pula dia telah menjadi seorang
guru di sebuah SMA, pernah mempertanyakan kepada dosennya yang memberikan kesempatan
berdiskusi tentang pendidikan karakter yang akhir-akhir ini banyak menjadi berita menghiasi
media massa. Dengan lantang dia bertanya, disertai keingintahuan yang sangat jelas terlihat
tentang apa yang dimaksud oleh pemerintah, terutama Kemdiknas, dengan “pendidikan karakter”.
Dia mengungkapkan pertanyaan tentang pendidikan karakter apa lagi yang akan diajarkan oleh
pemerintah dan para guru kepada siswa, karena selama ini bukankah sudah diajarkan tentang
budi pekerti?

Yang lebih menarik lagi dari beberapa pertanyaan yang dilontarkannya ialah tentang kecurigaannya
terhadap substansi pendidikan karakter yang dikhawatirkannya justru diambil dari budaya Barat.
Kegelisahan dan pertanyaan mahasiswa S2 tersebut sebenarnya akan segera dapat terjawab
andaikata dia mengikuti kegiatan pelatihan membangun karakter dan didaktik-metodik (how to)

64 Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 3/September/2010, MULYONO


Tantangan

guru yang membimbing siswanya untuk memiliki karakter dan berkarakter melalui sebuah
kegiatan proyek percontohan Yayasan Jati Diri Bangsa yang diberi judul “Pendidikan Karakter:
Dari Gagasan ke Tindakan”. Dalam kegiatan ini dikembangkan modul-modul untuk pelatihan
membangun, menemukan, dan bertindak berkarakter dengan cara menyalakan obor sendiri dalam
kepemilikan karakter dan berkarakter sebelum menyalakan obor orang lain bagi para guru dan
kepala sekolah.

Dengan proses internalisasi tata nilai, memilih yang boleh dan tidak boleh, membentuk kebiasaan,
dan menjadi teladan, para guru menjalani proses menemukan karakter dan jati dirinya. Membangun
karakter diri adalah proses alamiah dari kegiatan inside-out dan outside-in, yaitu proses bottom-
up dan top-down tentang nilai-nilai kebajikan yang dikembangkan yang bersumber dari karakter,
budaya, dan jati diri bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Sementara untuk metode pembelajaran
karakter, yang terpenting harus dijadikan dasar adalah karakter tidak diajarkan, tetapi perlu
dibiasakan dan menjadi teladan. Karena itu perlu dikembangkan metode kokreatif dan tutwuri
handayani yang memberi kesempatan kepada peserta didik atau siapa pun untuk secara kreatif
bersama yang lain menemukan dan mengembangkan nilai-nilai yang menjadi ciri karakter dan
jati dirinya.

Kegiatan lainnya yang dapat dijadikan bahan pemikiran sebagai jawaban terhadap pertanyaan
tentang pendidikan karakter dari mahasiswa pascasarjana itu adalah substansi pidato Presiden
pada saat acara memperingati Hardiknas di Istana Negara tanggal 11 Mei 2010 yang lalu.
Presiden Republik Indonesia Dr. Susilo Bambang Yudoyono memulai pidatonya dengan
menekankan bahwa ada lima agenda penting yang harus dikerjakan oleh bangsa Indonesia yang
menyangkut dengan dunia pendidikan. Sebelum menguraikan kelima agenda dalam sektor
pendidikan itu, Presiden terlebih dahulu mendeskripsikan beberapa hal antara lain tentang
ketahanan budaya dan ekonomi yang menjadi daya dorong ketahanan bangsa Indonesia.
Timbulnya krisis di Indonesia dan dunia ini, antara lain krisis ekonomi yang telah menyebabkan
penderitaan panjang bukan hanya pada bidang ekonomi, tetapi telah merambah pula masuk
pada bidang yang lainnya. Krisis ini sangat massif, karena krisis yang terjadi pada satu negara
tertentu dapat secara cepat menulari negara lain.

Di samping berperan sebagai ancaman bagi sebuah negara, pada kenyataannya krisis ini dapat
pula berfungsi sebagai peluang. Pada momentum Hardiknas tersebut Presiden RI mengatakan
“Indonesia telah berusaha keras untuk bangkit dari krisis , dan sejauh ini kita bersama telah
mampu menanggulangi krisis . Oleh karena itu dalam acara Hardiknas ini dan selanjutnya kita
harus bertekad membangun kesadaran dan bertindak dengan dasar hanya orang dan satu bangsa
yang memiliki ilmu pengetahuan, skill, dan karakter yang kuat yang akan mampu menanggulangi
setiap hambatan dan krisis yang melanda, sehingga bangsa ini akan maju dan jaya.”

Selanjutnya, inti pidato Presiden Susilo Bambang Yudoyono ialah pendidikan bagi bangsa
Indonesia harus menjadi titik tumpu pembangunan bangsa dan Negara Indonesia, oleh karena
itu pendidikan harus bertumpu pada lima hal yang sangat mendasar dan penting, sebagai target
sasaran, yaitu:

Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 3/September/2010, MULYONO 65


Tantangan

Pendidikan harus membangun karakter dan jati diri.

Pendidikan selayaknya harus mampu mengembangkan values creation, recreation, dan pembiasaan
untuk berpikir, bersikap, dan bertindak menjadi anggota masyarakat yang baik, serta menjadi
warga negara yang baik. Pendidikan menurut Presiden tujuannya adalah membangun academic
and social curiosity. Oleh karena itu diperlukan karakter yang kuat untuk mencapai tujuan
pendidikan tersebut.

Pendidikan selayaknya untuk kehidupan.

Kurikulum harus disusun dan dirancang berdasarkan kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan
visi serta misi negara. Kurikulum yang berlaku harus berorientasi pada kebutuhan hidup individu
dan masyarakat satu Negara.

Pendidikan terarah harus memiliki hubungan dengan lapangan pekerjaan.

Pendidikan harus ditata secara sinergis antara konsep, pelaksanaan dengan kebutuhan lapangan
kerja. Selayaknya pendidikan dilakukan dalam kerangka lifelong education for all sebagai salah
satu tujuannya.

Pendidikan harus untuk membangun knowledge based society.

Presiden pada bagian ini menekankan tentang pentingnya pendidikan untuk membangun
knowledge based society. Dengan terbangunnya masyarakat yang berdasarkan ilmu pengetahuan,
bangsa Indonesia akan terbangun dari anggota masyarakat yang berpikir cerdas, objektif, dan
memiliki keingintahuan akademik yang tinggi.

Pendidikan hendaknya membangun budaya inovasi.

Presiden menginginkan proses dan hasil pendidikan mengembangkan curiousity. creation of


innovation. Cara yang tepat adalah meninjau kembali kurikulum, sehingga kita perlu melakukan
langkah reformasi pendidikan agar kita dapat membangun pendidikan yang bermakna untuk
menunjang proses membangun karakter dan jati diri bangsa yang selalu akan mendorong bangsa
Indonesia untuk berpikir dan bertindak inovatif.

Uraian tentang catatan pidato Presiden RI ini bukan hanya menjawab pertanyaan mahasiswa
pascasarjana pada awal tulisan ini, tetapi secara nasional dapat kita maknai sebagai dimulainya
gerakan pendidikan karakter bagi seluruh rakyat Indonesia yang akan meliputi pendidikan
karakter bagi diri sendiri, keluarga, sekolah, dan seluruh lapisan masyarakat secara nasional.
Gerakan pendidikan karakter ini harus menjadi kebutuhan kita secara individual maupun secara
nasional sebagai warga Negara Republik Indonesia. Mulai hari ini Indonesia membangun karakter
dan jati diri bangsa, dengan harapan Indonesia akan bangkit dan jaya, atau kalau tidak mulai
hari ini Indonesia akan kehilangan jati dirinya. Gambaran kondisi tentang tuntutan tesebut di

66 Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 3/September/2010, MULYONO


Tantangan

atas sesuai dengan pendapat Lickona (2004:xxii) yang menyatakan “We need good character
to lead purposeful, productive, and fulfilling lives. We need character to have strong and stable
families. We need character to have safe, caring, and effective schools. We need character to
build a civil, decent, and just society“.

Selanjutnya kesadaran tentang pendidikan karakter selayaknya bukan hanya menjadi perhatian
dan kebutuhan pendidik dan peserta didik, tetapi termasuk pula penggiat atau profesi yang
memegang kekuatan yang mampu mengubah penyelenggaraan Negara, sebagaimana Ryan dan
Bohlin (1999:xiii) menyatakan bahwa “Politicians on both the left and the right, spurred by a
rising drumbeat of frightening statistics about youth homicides and suicides and by soaring
numbers of teenage pregnancies, began calling teachers and administrators back to what is now
being called character education “.

Dari lima pilar yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan negara, yaitu pendidikan, politik,
birokrasi, industri, dan pasar, ternyata politiklah yang paling memiliki kekuatan untuk mengubah
kondisi suatu bangsa. Di negara Amerika Serikat para politisi sudah memiliki kepedulian terhadap
kebutuhan pendidikan karakter yang sudah semakin mendesak. Apakah di Indonesia hal tersebut
sudah menjadi kenyataan atau baru akan menjadi kenyataan?

Urgensi Pendidikan Karakter

Menengok sejarah bangsa Indonesia tentang hal yang mendorong dan menjadikan kita sebagai
bangsa Indonesia, yaitu memiliki cita-cita bersama, memelihara dan menjunjung semangat
kekitaan. Di samping itu kita juga mencatat dalam sejarah bangsa Indonesia bahwa alasan yang
mendorong bangsa Indonesia membentuk negara adalah kita menghargai kebhinekaan, kesediaan
untuk berkorban, memiliki semangat yang tinggi, optimisme, komitmen yang tinggi, dan
keberanian bertindak.

Karakter bangsa Indonesia seperti ini secara mudah kita temukan dalam kesehariaan pada awal
perjalanan sejarah bangsa Indonesia membangun negara. Namun, dimana kita sekarang setelah
65 tahun merdeka? Ternyata secara transparan dapat pula kita cermati dalam keseharian kita
hidup masa kini bahwa penyakit masyarakat sudah mewabah di tengah-tengah kita, yaitu korupsi
yang merajalela, kesenangan merusak diri sendiri, sifat hipokratif atau munafik, dan mentalitas
makan siang gratis. Malah kita dibombardir pula oleh hal yang sangat mendasar dalam membangun
negara ini, yaitu banyak dari kita yang sudah kehilangan cita-cita bersama dan kebanggaan
sebagai bangsa Indonesia. Kita sudah merasakan dampak krisis ekonomi, krisis politik, krisis
hukum, tetapi sudahkah kita berpikir bahwa sekarang kita sudah berada pada posisi krisis karakter
(akhlak), krisis nilai-nilai kejuangan yang sudah pudar, dan krisis kepercayaan diri dalam makna
krisis identitas, yang pada muaranya adalah menjadi krisis jati diri.

Adapun penyebab dari krisis karakter dan jati diri ini antara lain, 1) Tidak bisa belajar dari
pengalaman bangsa sendiri; 2) Terlena oleh sumber daya alam yang melimpah; 3) Pembangunan

Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 3/September/2010, MULYONO 67


Tantangan

ekonomi yang terlalu bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam; 4) Pembangunan terlalu
ditekankan kepada pembangunan fisik jangka pendek; dan 5) Salah duga bahwa materi akan
mampu menggantikan semangat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengacu pada kondisi bangsa Indonesia saat ini
seperti yang telah diuraikan di atas, maka urgensi pendidikan karakter saat ini sudah sangat
mendesak, karena menurut Bung Karno (Soemarno, 2009: halaman judul) “Bangsa Indonesia
harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter……,Kalau ini tidak dilakukan,
maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”. Selanjutnya parameter yang dapat kita
gunakan untuk mengukur keharusan untuk segera bertindak melakukan pendidikan karakter,
ialah ketidakhadiran karakter pada diri individu sebagai anak bangsa dan masyarakat sebagai
soko guru Negara dan bangsa Indonesia.

Lickona (2004:xxiii) menjelaskan “The premise of the character education movement is that
the disturbing behaviors that bombard us daily-violence, greed, corruption, incivility, drug
abuse, sexual immorality, and a poor work ethics-have a common core the absence of good
character”. Dalam buku yang sama Lickona (2004: 13) mengungkapkan hasil penelitiannya di
masyarakat Amerika Serikat, bahwa, 1) Kelahiran bayi dari ibu yang tidak menikah meningkat
sebesar 400 % dari tahun 1960-1991; 2) Jangka waktu menonton TV di rumah meningkat dari
selama 5 jam ke 7 jam sehari antara 1960-1992 dan kecenderungannya terus meningkat; 3)
Remaja memanfaatkan waktunya untuk menonton TV selama lebih dari 20 jam bila dibandingkan
dengan kegiatan membaca mereka yang hanya kurang dari 2 jam per minggu; 4) 3 dari 4 siswa
mengaku mencontoh pekerjaan temannya di sekolah; 5) 4 dari 10 siswa mengaku mereka telah
melakukan perbuatan mencuri di toko. Ketika telah hadir dalam diri individu atau sudah menjadi
gejala masyarakat sikap- sikap dan perilaku buruk seperi korupsi, kerakusan, perilaku seks
buruk, kekerasan, narkoba merajalela, dan etos kerja yang buruk, tawuran, dan lain-lain, maka
sebuah bangsa berada di bibir jurang, dan itu menjadi lonceng pertanda kebutuhan terhadap
pendidikan karakter telah tiba. Apabila lonceng peringatan tanda bahaya itu diabaikan, maka
bangsa tersebut akan musnah.

Konsep

Pendidikan karakter bukanlah sebuah kegiatan baru. Karena melewati perjalanan waktu, pendidikan
karakter telah dilakukan manusia dengan berbagai cara dan bentuknya. Pada dasarnya makna
pendidikan itu sendiri adalah kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai tujuan
membantu pembelajar mencapai kecerdasan dan kearifan, sehingga mereka menjadi seorang
manusia yang cerdas dan berkarakter. Dalam kaitan dengan pendidikan karakter, istilah pendidikan
itu dimaknai sebagai proses yang berakumulasi pada kepemilikan pemahaman, sikap, dan
tindakan baik atau berkarakter. Pendidikan adalah proses yang berawal dari membangun kesadaran,
menumbuhkan kepekaan, niat, wawasan, pengetahuan, keyakinan, sikap, dan pembentukan
kebiasaan baik.

68 Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 3/September/2010, MULYONO


Tantangan

Konsep yang harus diterapkan dalam pendidikan karakter ialah: 1) Karakter tidak diajarkan,
tetapi dibiasakan. Sebagai contoh, kita dapat menggunakan langkah melalui empat koridor
pendidikan karakter, yaitu menginternalisasi nilai, memilih nilai-nilai yang baik, membiasakan
diri, dan menjadi teladan; 2) Mendidik karakter harus menyertakan seluruh komponen yang
terkait dengan peserta didik secara bersama-sama; 3) Dalam proses pendidikan harus diperhatikan
suasana belajar, proses belajar, bahan ajar, dan evaluasi belajar; 4) Pendidkan karakter adalah
kegiatan never ending process.

Kurikulum

Pendidikan karakter harus meliputi ranah pendidikan formal, informal dan nonformal, demikian
pula hal yang harus kita sepakati bersama ialah pendidikan karakter adalah tanggung jawab kita
bersama. Kurikulum adalah rencana dan program yang disusun untuk menghadapi tantangan
perkembangan budaya dan teknologi pada periode tertentu sesuai dengan tantangan zamannya.
Pendidikan karakter dimaksudkan untuk membangun kualitas dan kearifan manusia untuk mampu
hidup dalam zamannya, sementara pengertian kurikulum dimaksudkan untuk menyiapkan
manusia dalam era budaya dan teknologi pada zamannya.

Dengan demikian memasukkan pendidikan karakter kedalam kurikulum pada tataran pendidikan
formal, nonformal atau mungkin dalam tataran pendidikan informal (hidden curriculum) adalah
sebuah conditio sine quanon. Tetapi dengan dimasukkannya pendidikan karakter kedalam
kurikulum, bukan berarti berakibat ada mata pelajaran baru sebagai konsekuensinya, karena
pendidikan karakter itu tidak diajarkan tetapi dibiasakan. Pendidikan karakter berdasarkan silabus
yang disusun harus dimasukkan kedalam setiap mata pelajaran, sehingga pembelajaran nilai dan
sikap berkarakter itu menyatu dalam seluruh mata pelajaran. Peserta didik tidak diajari nilai
kebajikan (virtues) tetapi diajak untuk mengalami, merasakan, memiliki, bertindak, membiasakan
bertindak, dan menjadi teladan dalam nilai karakter tertentu dan mata pelajaran yang diajarkan
guru.

Karakter dan Jati Diri Bangsa

Menyusun sebuah definisi selayaknya harus secara komprehensif bisa menggambarkan pengertian
kata itu secara utuh. Melalui proses perenungan yang panjang Soedarsono (2009: 70) menyusun
suatu definisi yang dapat kita pegang tentang karakter bangsa sebagai berikut. “Nilai-nilai moral
yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan
pengaruh lingkungan, menjadi nilai intrinsik mewujud dalam suatu sistem daya juang yang
melandasi, pemikiran, sikap dan perilaku kita”.

Sementara definisi jati diri bangsa menurut Yayasan Jati Diri Bangsa diungkapkan dengan
kalimat ini: “Jati diri adalah siapa diri kita sesungguhnya. Jati diri adalah sifat dasar manusia,

Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 3/September/2010, MULYONO 69


Tantangan

diri kita yang asli dari Tuhan, Jika kita mempersoalkan kesamaan definisi tentang keduanya,
maka perbedaan definisi itu sendiri adalah suatu hikmah bagi pendalaman tentang karakter dan
jati diri untuk kepentingan pendidikan bangsa. Langkah-langkah menuju kesamaan pemahaman
tentang keduanya akan menjadi tugas Kementerian Pendidikan Nasional dan kita semua untuk
efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pendidikan selanjutnya. Hingga saat ini pemahaman tentang
karakter, locusnya, dan cara mendidik atau mengajarkannya masih perlu disamakan atau
dikomunikasikan bersama. Demikian pula halnya tentang jati diri yang dalam posisi sebagai jati
diri bangsa, banyak orang yang masih meragukan bahwa jati diri bangsa Indonesia adalah
Pancasila.

Strategi Implementasi

Dalam mewujudkan konsep tentang karakter dan jati diri bangsa secara mendalam dan merata,
telah diyakini bahwa pendidikan merupakan lahan yang subur untuk menanamkan kesadaran,
sikap, dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur dan kebajikan bangsa Indonesia. Kita
sudah sering mendengar atau membaca bahwa Slamet Imam Santoso menyatakan bahwa
“Pembinaan watak adalah tujuan utama pendidikan”. Demikian pula Herbert Spencer menjelaskan
bahwa, ”Education has for its object, the formation of character”(Soedarsono, 2009: 40).
Persoalan yang masih tersisa ialah pertanyaan tentang “how to”-nya, atau cara mengajarkannya.

Pilot Project yang sedang dilakukan oleh YJDB telah diberi pengalaman yang berharga tentang
cara mendidik karakter di sekolah, yaitu dengan menerapkan pendekatan kokreatif yang
menawarkan proses pembelajaran yang menyenangkan peserta didik, dan hasilnya mengarah
pada kompetensi siswa meningkat, kecerdasan meningkat, sekaligus pula kepemilikan dan
tindakan berkarakter mereka makin meningkat dan membiasa. Kegiatan tersebut menyumbangkan
pula pengalaman mendidik karakter dengan cara subconscious awareness yang merupakan cara
mendidik melalui kesengajaan yang tidak disengaja. Pendekatan ini membiasakan peserta didik
melalui proses belajar yang didorong oleh kebutuhannya sendiri dalam rancangan pembelajaran
yang disengaja. Dengan cara menggabungkan ketiga pendekatan, yaitu cocreative,
subconsiousawareness, dan tutwuri handayani, sebuah proses pendidikan karakter di tingkat
pendidikan formal, nonformal, dan informal akan berlangsung secara tepat.

Indikator Keberhasilan

Berikut ini adalah contoh indikator keberhasilan sebuah proses pendidikan karakter di tataran
formal (sekolah), sedangkan untuk tataran informal dan nonformal sudah jelas indikatornya
akan berbeda.

1. Suasana umum. Suasana kehidupan sosial di sekolah akan makin gembira. Siswa akan
merasakan sekolah sebagai rumah yang kedua yang memberi mereka rasa aman dan nyaman.
Suasana belajar makin menyenangkan. Sekolah akan makin bersih, lebih asri. Siswa makin

70 Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 3/September/2010, MULYONO


Tantangan

mampu memimpin diri sendiri (datang tepat waktu, berpakaian lebih rapi, menepati janji). Para
siswa makin jujur, kebiasaan nyontek dan curang akan berkurang. Perilaku anti-sosial (agresivitas,
perkelahian, keculasan) berkurang, perilaku pro-sosial (saling menghargai, saling membantu,
solidaritas, kedermawanan) meningkat. Semua anggota komunitas sekolah bertutur kata baik.
Siswa punya daya tahan terhadap bujukan lingkungan yang negatif (bujukan pengedar narkoba
dsb). Semangat belajar makin tinggi. Prestasi siswa dan sekolah dalam segala bidang makin
baik. Semua anggota komunitas sekolah (siswa , guru dan kepala sekolah) makin kreatif. Jumlah
siswa yang mengalami masalah berkurang.

2. Berbagai indikator lain. Meningkatnya prestasi siswa dan sekolah dalam berbagai bidang.
Berkurangnya pelanggaran tata tertib sekolah. Siswa bersikap sebagai warga yang santun dan
tertib di luar sekolah. Berkurangnya siswa yang menyontek. Tingkat kehilangan benda berkurang.
Siswa makin berani berkata benar. Siswa lebih bersedia menerima pendapat orang lain. Siswa
makin berani tampil dan bertanya. Siswa makin aktif terlibat dalam proses pembelajaran (rajin
bertanya, berani memberi pendapat). Siswa terbiasa bertutur kata baik.

Jumlah sumbangan/infaq meningkat. Lingkungan sekolah makin bersih. Kesadaran untuk


menanam dan merawat tanaman dan asset sekolah yang lain makin tinggi. Karya siswa semakin
banyak yang dapat ditampilkan di majalah dinding. Siswa lebih aktif mencari alternatif baru
dalam memecahkan persoalan. Kemampuan menyanyikan lagu wajib nasional meningkat.
Komunitas sekolah mengikuti upacara bendera dengan tertib dan hikmat. Tidak ada geng atau
kelompok-kelompok. Mereka semakin bangga terhadap produk dalam negeri. Siswa mengerjakan
tugas atau PR dengan baik. Siswa memahami tugasnya sebagai piket dan bekerja dengn sungguh
sungguh. Semangat belajar meningkat. Aktivitas mencari sumber belajar di luar sekolah meningkat.
Siswa dan guru makin rajin mengunjungi perpustakaan untuk membaca dan meminjam buku.
Tingkat permasalahan siswa berkurang. Meningkatnya jumlah siswa yang berkonsultasi. Makin
banyak siswa yang melakukan eksperimen/penelitian/percobaan. Makin banyak siswa yang
terlibat dalam kegiatan kreatif. Para siswa lebih mudah bekerja sama dalam team. Siswa lebih
menghargai kebhinekaan. Kepercayaan diri siswa meningkat. Siswa dapat menyatakan cita-cita
hidup mereka. Antusiasme siswa untuk menjadi ketua OSIS/ ketua kelas meningkat. OSIS
berjalan dengan baik. Antusiasme menjadi petugas upacara meningkat. Makin sedikit siswa
yang terlambat. Makin banyak siswa yang bersedia berkontribusi untuk kegiatan amal.Kantin
kejujuran tetap berlangsung. Laporan kehilangan berkurang. Tidak ada lagi perkelahian antarsiswa.
Hilangnya kecenderungan ‘mencari kambing hitam’. Siswa makin bersedia menolong teman,
baik dalam hal belajar maupun di luar pelajaran. Makin banyak siswa yang terlibat dalam bakti
sosial. Meningkatnya minat menjadi ketua kelas. Makin banyak siswa yang mengikuti kegiatan
keagamaan. Makin meningkatnya pemahaman dan apresiasi terhadap budaya Nusantara.
Menguatnya kebanggaan sebagai putra–putri Indonesia. Berkurangnya sikap dan kelompok
yang bersifat eksklusif. Meningkatnya pemahaman terhadap sejarah Indonesia di tengah-tengah
sejarah dunia. Meningkatnya pemahaman tentang tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia
di masa depan.

Penyamaan Persepsi
Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 3/September/2010, MULYONO 71
Tantangan

Apabila ada perbedaan persepsi terhadap pendidikan karakter, selayaknya seluruh stakeholders
terdorong untuk menyamakan persepsi melalui pertemuan-pertemuan rutin, sehingga kalau ada
perkembangan mutakhir atau temuan yang berdasarkan penelitian, dapat dikembangkan bersama.
Di samping hal itu, dapat pula dilakukan kegiatan pemaparan, pelatihan, dan workshop secara
berkesinambungan untuk kepentingan membangkitkan kepemilikan karakter. Kementerian
Pendidikan Nasional memiliki fungsi strategis untuk mengembangkan dan meningkatan pendidikan
karakter individu, masyarakat dan bangsa. Sementara peranan jaringan sosial akan punya arti
strategis sebagai pemeran aktif yang bisa menjangkau pendidikan karakter pada tataran formal,
nonformal, ataupun informal.

Penutup

Sebagai penutup sebuah tulisan tentang pendidikan karakter di tengah bangsa ini, akan lebih
elok kalau diakhiri dengan serangkaian kalimat yang menunjukkan jalan kepada kita tentang
sebuah proposisi kearifan kita dalam menjalani tugas utama pendidikan karakter dan kecerdasan
pribadi dan anak bangsa. Hukum panen mengajari kita bahwa: tanamlah hati, kita akan menuai
pemikiran. Tanamlah pemikiran, kita akan menuai kata-kata. Tanamlah kata-kata, kita akan
menuai tindakan. Tanamlah tindakan, kita akan menuai kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, kita
akan menuai karakter. Tanamlah karakter, kita akan menuai masa depan kita, dan tentu bangsa
Indonesia juga akan menuainya di masa yang akan datang.**

*) Dosen di Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan Universitas Tirtayasa

Daftar Pustaka

Borba, Michele.1999. Parents Do Make a Difference. San Fransisco: Josse Bass, A Wiley Inprint.

Lickona, Thomas.2004. Character Matters. New York: Touchstone.

Ryan, Kevin and Karen E. Bohlin.1999. Building Character in Schools. Jossey Bass, A Wiley
Inprint.

Soedarsono, Soemarno.2009. Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo.

-------------------.2001. Building Moral Intelligence, San Fransisco: Josse Bas, A Wiley In Print.

72 Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 3/September/2010, MULYONO

Anda mungkin juga menyukai