Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

“URGENSI MEMPELAJARI KEWIRAUSAHAAN”

DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

KEWIRAUSAHAAN

Drs. Ghufron, M.Si.

Disusun oleh:

Susepti Eliyanti (132)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

SAMARINDA

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis  dapat menyelesaikan makalah
kewirausahaan “Urgensi Mempelajari Kewirausahaan”. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas kewirausahaan semester III

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. 

Semoga Makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan


bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.

Samarinda, 07 Desember 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................7

A. Isi Naskah.....................................................................................................................7

BAB III PENUTUP.........................................................................................................10

A. Kesimpulan.................................................................................................................10

B. Saran...........................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................11

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kualitas pendidikan dikatakan baik  jika keluaran pendidikan itu
mempunyai nilai bagi masyarakat yang memerlukan pendidikan itu (Beeby,
1996:23). Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa pendidikan di
Indonesia belum bisa memberikan nilai yang berarti bagi masyarakat jika baru
sebatas menambah jumlah pengangguran menjadi lebih banyak dan peluang
lapangan kerja semakin menyempit. Rendahnya social rate of return dari
pendidikan kita ini tentunya perlu mendapatkan perhatian cukup serius karena
jumlah dana yang dikeluarkan untuk biaya pendidikan cukup besar. Banyak
subsidi rakyat yang di gunakan untuk memberikan fasilitas lebih bagi
pendidikan. Tetapi mengapa pada saat ini belum juga menyelesaikan masalah
besar ini yang ada di Indonesia. Tentunya kita akan bertanya kepada para
lulusan dari perguruan tinggi apakah bisa memang benar-benar bisa di
andalkan atau tidak untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja di masyarakat.
Tingginya tingkat pengangguran di negeri kita juga bisa di kaitkan pada
fakta bahwa jumlah wirausahawan di Indonesia hanya sekitar 0,18% dari
jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan Singapura yang 7,2% atau
Amerika yang 11,5%. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mengagetkan karena
hanya 6% sarjana kita yang berwirausaha, selebihnya (80%) memilih menjadi
karyawan. Padahal Joseph Schumpeter, pakar pertumbuhan ekonomi
mengatakan bahwa faktor yang paling menentukan dalam pertumbuhan
ekonomi suatu negara adalah pengusaha yang mampu melakukan inovasi. Hal
yang sama dikemukakan sosiolog David McClelland, agar suatu negara
menjadi makmur diperlukan sedikitnya 2% penduduknya yang menjadi
pengusaha. Jika melihat hal ini maka pantas saja jika kemudian kemajuan
ekonomi negara kita terasa begitu lambat dan selalu ketinggalan oleh negara
lain. Banyak di negara kita yang para orang mengandalkan untuk dapat
menjadi pegawai negeri semua. Hal ini dengan alasan bahwa menjadi pegawai

4
negeri maka kehidupan di masa depan akan mudah karena penghasilannya
tetap dan sudah dijamin oleh negara. Tetapi jika seseorang menjadi wirausaha,
banyak yang takut gagal dan tidak berani mencoba lagi untuk selanjutnya. Oleh
karena itu perlu adanya pemahaman hal ini untuk para penerus bangsa yang
masih mempersiapkan untuk bekerja.
Dari pemaparan di atas maka seorang ahli mengatakan bahwa
kewirausahaan adalah suatu proses seseorang guna mengejar peluang-peluang
memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui inovasi, tanpa memperhatikan
sumber daya yang mereka kendalikan (Robin, 1996). Peluang-peluang ini yang
perlu di berikan bekal bagi orang-orang agar mau mencarinya. Peluang ada
kalau ada niat dari para pelaku yang mencarinya. Tetapi memang untuk
mencari peluang bisnis kewirausahaan akan mendatangkan sebuah hambatn
seperti :

1. Tanggung jawab sangat besar dan berat di dalam menghadapi


permasalahan bisnis
2. Bekerja keras dan waktunya sangat panjang

3. Memperoleh pendapatan yang tidak pasti dan memiliki resiko yang


sangat besar.

Untuk menghadapi tantangan tersebut perlu adanya pendidikan yang


berkelanjutan bagi para calon pelaku bisnis. Tentunya harus melibatkan
lembaga pendidikan dal hal menyelesaikan masalah ini.

Indonesia merupakan salah satu negara yang belum memasukkan


pendidikan kewirausahaan di kurikulum sekolahnya, padahal pendidikan
kewirausahaan ini sangat perlu diberikan sedini mungkin untuk menumbuhkan
sense of business dari peserta didik. Rendahnya minat sarjana kita untuk
berwirausaha salah satunya terjadi karena keterlambatan sistem pendidikan kita
membekali peserta didik dengan pendidikan kewirausahaan di samping
kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat terhadap profesi wirausahawan
akibat semangat feodal yang masih dipegang masyarakat kita. Jumlah
pengusaha di negara-negara maju yang begitu tinggi seharusnya menginspirasi

5
kita untuk concern terhadap pendidikan kewirausahaan ini. Mendesaknya
kebutuhan akan pendidikan kewirausahaan ini juga dikemukakan oleh Judith
Cone, Wakil Presiden Kauffman Foundation di Amerika dalam acara Global
Entrepreneurship Week, 17-23 November lalu yang mengatakan bahwa
pendidikan kewirausahaan sudah lama dilakukan negara-negara maju.
Pendidikan kewirausahaan ini diberikan dengan tujuan agar membuat siswa
mandiri sehingga bisa memberikan sumbangan yang berarti kepada
masyarakat. Ada beberapa harapan dan manifest yang diinginkan akan urgensi
tumbuhnya jiwa kewirausahaan dikalangan mahasiswa baik yang telah lulus
atau mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi maupun yang belum lulus
dan yang akan segera lulus dengan planing-planing yang telah disiapkan jauh-
jauh hari. Antara lain:

Ø      Memberikan penyadaran akan pentingnya kontribusi dalam


menanggulangi masalah pengangguran di Indonesia.

Ø      Menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan di dunia perguruan tinggi


sebagai pilar ekonomi nasional demi terciptanya keadaan sosial yang baik.

Ø      Menumbuhkembangkan motivasi mahasiswa dalam menciptakan


lapangan pekerjaan bagi dirinya pribadi maupun orang lain.

Ø      Membuka peluang akan kreatifitas wirausaha bagi mahasiswa.

Ø      Dapat mengimplementasikan teori ke praktek di masyarakat, dan


berkolaborasinya berbagai disiplin ilmu yang telah diperolehnya di
Peeguruan tinggi dalam berwirausaha.

Mahasiswa mempunyai semangat dan motivasi wirausaha yang tinggi sebagai


jalan alternatif menuju sukses.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Isi Naskah
Pengembangan entrepreneurship (kewirausahaan) adalah kunci kemajuan.
Mengapa? Itulah cara mengurangi jumlah pengangguran, menciptakan lapangan
kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan ekonomis.
Lebih jauh lagi dan politis, meningkatkan harkat sebagai bangsa yang mandiri dan
bermartabat. Dalam ranah pendidikan, persoalannya menyangkut bagaimana
dikembangkan praksis pendidikan yang tidak hanya menghasilkan manusia
terampil dari sisi ulah intelektual, tetapi juga praksis pendidikan yang inspiratif-
pragmatis.
Praksis pendidikan, lewat kurikulum, sistem dan penyelenggaraannya harus serba
terbuka, eksploratif, dan membebaskan. Tidak hanya praksis pendidikan yang link
and match (tanggem), yang lulusannya siap memasuki lapangan kerja, tetapi juga
siap menciptakan lapangan kerja. Panelis Agus Bastian menangkap gejala yang
berkebalikan di lingkungan terdekatnya, kota Yogyakarta. Di satu sisi
bermunculan banyak entrepreneur muda yang kreatif. Mereka jeli menangkap
peluang menjawab kebutuhan komunitas kampus. Misalnya bisnis refil tinta,
merakit komputer, jual beli buku, cuci kiloan, melukis sepatu—sebelumnya tentu
saja yang sudah lama melukis kaus—sama seperti rekan-rekan mereka di kota
lain, seperti Bandung. Sebaliknya, pada saat yang sama, rekan-rekan mereka
berebut tempat meraih kursi pegawai negeri. Ribuan anak muda terdidik
berdesakan antre mendaftar, mengikuti ujian saringan, bahkan ada yang perlu
merogoh kocek ratusan ribu untuk pelicin. Ditarik dalam konteks nasional,
pengamatan Bastian itulah miniatur kondisi ketenagakerjaan Indonesia, lebih jauh
lagi potret lemahnya jiwa kewirausahaan. Misalnya, bahkan untuk sarjana yang
relatif potensial terserap di lapangan kerja pun, sampai pertengahan tahun lalu 70
persen dari 6.000 sarjana pertanian lulusan 58 perguruan tinggi di Indonesia
menganggur. Merekalah bagian dari 9,43 juta atau 8,46 persen jumlah penduduk
pada Februari 2008. Tidak imbangnya jumlah pelamar kerja dan lowongan kerja,

7
gejalanya merata di seluruh pelosok—bahkan jumlah penganggur terdidik
semakin membesar—menunjukkan kecilnya jiwa kewirausahaan.
Para lulusan lebih tampil sebagai pencari kerja dan belum sebagai pencipta
lapangan kerja. Tidak terserapnya lulusan pendidikan ke lapangan kerja memang
tidak sepenuhnya disebabkan faktor tak adanya jiwa kewirausahaan. Banyak
faktor lain menjadi penyebab. Meskipun demikian, tampaknya faktor dan
tantangan terpenting adalah bagaimana institusi pendidikan berhasil membentuk
atau menanamkan semangat, jiwa, dan sikap kewirausahaan. Sebagai disiplin
ilmu, kewirausahaan bisa diajarkan lewat sistem terstruktur, salah satu hasil
penting dan utama praksis pendidikan.
Ketimpangan itu disebabkan kurang terselenggaranya praksis pendidikan
yang membuka ke arah kreativitas dan temuan-temuan bersama. Inisiatif pada
tahun 2010 ini Kementerian Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM)
mengalokasikan dana Rp 50 miliar untuk mencetak 10.000 sarjana wirausaha
perlu dihargai. Proyek itu menambah adrenalin Kementerian Pendidikan Nasional
yang lama terengah-engah dengan masalah-masalah teknis dan sistem. Dana
UKM itu digunakan untuk pemberdayaan sarjana di bawah usia 30 tahun yang
masih menganggur. Sejak digulirkan Desember 2009 dan telah disosialisasikan ke
sembilan provinsi, program ini diikuti 4.525 sarjana dan akan berlangsung sampai
tahun 2014 dengan target tahunan tercipta 10.000 atau seluruhnya 50.000
wirausaha baru hingga tahun 2014. Memang terlambat, sebab justru
kewirausahaan seharusnya ditanamkan sejak di jenjang pendidikan anak usia dini
dan bukan dicangkokkan setelah lulus. Namun, tak ada kata terlambat untuk suatu
perbaikan.
Program ini merupakan bagian dari upaya memperbesar jumlah wirausaha
Indonesia. Tercatat jumlah 48 juta wirausaha Indonesia, tetapi yang benar-benar
wirausahawan sejati sebenarnya hanya 0,1 persen atau sekitar 400.000 orang.
Minimal dari jumlah total penduduk, setidaknya Indonesia harus memiliki 2
persen dari jumlah itu. Upaya itu sejalan dengan ”impian” Ciputra, salah satu
entrepreneur Indonesia yang obses, bahwa pada 25 tahun lagi lahir 4 juta
entrepreneur Indonesia. Relatif barang baru Kewirausahaan memang masih

8
merupakan barang baru untuk Indonesia, sementara AS sudah mengenalnya sejak
30 tahun lalu dan Eropa 6-7 tahun lalu.
Munculnya entrepreneur sebagai hasil lembaga pendidikan dan buah learning by
doing masih ada perbedaan persepsi. Ada yang berpendapat jiwa kewirausahaan
tidak harus dihasilkan dari lembaga pendidikan, ada pendapat lain bisa dilakukan
tidak lewat proses yang direncanakan. Menurut panelis Agus Bastian,
entrepreneur dan kemudian politisi yang merasa sebagai entrepreneur lahir dari
jalanan, yakin kewirausahaan bisa dihasilkan juga dari semangat mengambil
risiko tanpa takut, bukan lewat pendidikan khusus kewirausahaan atau
manajemen. Modal utama seorang entrepreneur bukanlah uang, melainkan
kreativitas. Tanpa kreativitas, syarat utama seorang calon entrepreneur, yang ada
bukanlah entrepreneur sejati, melainkan pedagang. Keyakinan Agus didukung
panelis Agung Waluyo. Seorang entrepreneur jadi dari sosok seorang pedagang
atau juragan. Sebab, kewirausahaan menawarkan dan menciptakan nilai,
sementara jiwa dagang hanya menawarkan alternatif.
Ada contoh, seorang sarjana lulusan UGM menciptakan nilai mau
membantu yang sama-sama jadi korban gempa bulan Mei 2006. Dia buat desain
pakaian Muslim. Dia tawarkan lewat internet atas mentoring langsung Ciputra.
Usahanya berkembang, bahkan sekarang sudah merambah mancanegara di tiga
benua besar, sampai akhirnya dia merasa tak sanggup lagi melayani permintaan
pasar. Tetapi, ia sudah menciptakan nilai untuk desanya, menciptakan lapangan
kerja baru. Dengan lembaga penggiat wiraswasta seperti Ciputra Entrepreneurship
Center, Kementerian Pendidikan Nasional melakukan upaya membangun jiwa
kewirausahaan. Dilakukan dengan membenahi kurikulum berbasis komunitas,
memperbaiki praksis pendidikan di sekolah kejuruan dan tinggi, sampai pada
pengarbitan calon-calon entrepreneur yang dicangkokkan di lembaga pendidikan
tinggi. Jadi melalui belajar kewirausahaan sebenarnya anugerah alam raya
Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa untuk
dapat berwirausaha.

9
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi, Pengembangan entrepreneurship (kewirausahaan) adalah kunci
kemajuan. Mengapa? Itulah cara mengurangi jumlah pengangguran, menciptakan
lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan
ekonomis. Lebih jauh lagi dan politis, meningkatkan harkat sebagai bangsa yang
mandiri dan bermartabat. Dalam ranah pendidikan, persoalannya menyangkut
bagaimana dikembangkan praksis pendidikan yang tidak hanya menghasilkan
manusia terampil dari sisi ulah intelektual, tetapi juga praksis pendidikan yang
inspiratif-pragmatis.

B. Saran
Para pemimpin Bisnis Kecil, belajarlah lebih banyak lagi Para pemimpin
bisnis kecil, pandanglah masa depan perusahaan anda sebagai sebuah masa depan
yang terus dapat di wariskan sehingga anda dapat mengelola bisnis secara
profesional, manjauhkan diri dari kekuasan mutlak, kesewenang-wenangan.

Paculah Kinerja Karyawan anda dengan Motivasi Kelemahan mendasar pada


bisnis kecil adalah mengabaikan arti dan makna motivasi ini, pemilik biasanya
hanya memperhatikan pada tingkat kebutuhan dasar, belum lagi, pemerintah telah
mematok upah minimum regional misalnya, justru ini akan menjadi acuan untuk
menggaji karyawannya sebatas atau sebesar UMR itu sendiri. Untuk hal ini,
penulis sangat mengharapkan, para pengusaha kecil janganlah memberikan
motivasi hanya sebatas kebutuhan dasar saja, tetapi perlakukanlah karyawan anda
seperti manusia selayaknya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bambangkharisma94.blogspot.com/2015/07/urgensi-kewirausahaan.html
Rodhiah.wordpress.com/.../urgensi-kuliah-kewirausahaan-bagi-pemula.

Rahayutrisnadewi.blogspot.com/2014/01

Https://makalahsekolahan.blogspot.com/2011/03/urgensi-pendidikan-
kewirausahaan.html

11

Anda mungkin juga menyukai