Anda di halaman 1dari 75

KUMPULAN KAJIAN STRATEGIS

Disusun oleh : Kementerian Koordiantor Pergerakan Universitas Brawijaya dan Aliansi Badan Eksekutif
Mahasiswa Seluruh Indonesia
Polemik tenaga kerja asing dan peluang kerja kaum disabillitas

Oleh : KORWIL JATIM

Latar belakang

Masuknya tenaga kerja asing terutama yang berasal dari Tiongkok menjadi bahan perbincangan yang cukup
serius. Arus pekerja dari luar negeri ini mulai gencar sejak pemerintah Presiden Joko Widodo
memprioritaskan proyek infrastruktur dan energi. Tenaga kerja asing ini oleh beberapa pihak dianggap
sebagai masalah. Indonesia saat ini terdapat tingkat pengangguran terbuka (data BPS Februari 2016)
mencapai 7,02 juta orang atau 5,5%. Masuknya tenaga kerja asing tentu menjadi kontradiktif dengan
program mengurangi angka pengangguran yang masih cukup tinggi. Ancaman terkait keberadaan orang
asing yang semakin banyak terhadap eksistensi bangsa perlu diperhitungkan. Kekhawatiran pengaruh asing
terhadap ideologi dan budaya bangsa tentu cukup beralasan untuk disikapi.

Beberapa kasus terkait tenaga kerja asing yang terjadi akhir-akhir ini seperti penangkapan 26 tenaga asing
ilegal asal China di Sukabumi karena kedapatan menggunakan visa kunjungan untuk bekerja sebagai buruh
di PT Shanghai Electric Group. Kasus lain yang sempat heboh adalah saat tenaga kerja asing tertangkap
mengebor di area Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Di Kalimantan Barat delapan warga
negara asing (WNA) asal Tiongkok yang bekerja di perusahaan kayu CV Sari Pasifik, Kubu Raya,
diamankan oleh petugas Imigrasi. Mereka ditangkap dalam razia terkait kasus pelanggaran keimigrasian
karena tak memiliki izin resmi bekerja, Kamis (21/4). Kasus pelanggaran tenaga kerja asing juga terjadi di
Kalimantan Tengah. Pada bulan April 2016 sebanyak empat orang warga negara asing asal Tiongkok yang
masuk ke Kalimantan Tengah dan bekerja di lokasi Wilayah Pertambangan Rakyat ( WPR) Kabupaten
Murungraya, diamankan dan dideportasi oleh Pihak Imigrasi Palangkaraya. Di Maluku Utara, tenaga kerja
asing ikut mewarnai pemberitaan. Jumlah tenaga kerja asing yang tercatat di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker)
Provinsi Maluku Utara mencapai pada September 2016 935 orang.

Data-data di atas tentu hanya sebagian kecil dari catatan keberadaan tenaga kerja asing di Indonesia. Saat
ini sudah menjadi pengetahuan umum bahwa proyek-proyek seperti PLTU banyak menyerap tenaga kerja
asing terutama dari Tiongkok. Tenaga kerja asing di Indonesia sesuai regulasi harus memiliki sertifikat
kompetensi atau memiliki pengalam kerja sesuai dengan jabatan yang akan diduduki oleh TKA paling
kurang lima (5) tahun. Selain itu tentu tenaga kerja asing harus memenuhi syarat-syarat keimigrasian dan
ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia
Dilihat dari beberapa kasus tenaga kerja asing ilegal di Indonesia tentu menjadi wajar jika keberadaan
tenaga kerja asing menjadi ancaman serius. Ancaman pertama adalah berkurangnya kesempatan warga
negara Indonesia untuk memperoleh pekerjaan di negaranya sendiri. Kecemburuan sosial akan muncul jika
suatu proyek dikerjakan oleh tenaga kerja asing sementara warga negara Indonesia menjadi pengangguran.
Kecemburuan akan semakin menguat jika ternyata pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja
asing tersebut tidak mempunyai keahlian khusus, yang bisa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.

Ancaman lain adalag terkait dengan kedaulatan negara. Hal ini bukan hanya sekedar dugaan saja.Kasus
pengibaran bendera Republik Rakyat China (RRC) dengan bendera Merah Putih saat peletakan batu
pertama pembangunan smelter PT Wanatiara Persada di Maluku Utara beberapa hari yang lalu merupakan
gejala awal keberadaan tenaga kerja asing mengancam kedaulatan negara. Pemerintah Provinsi Maluku
Utara menyatakan bahwa insiden inisemata-mata karena kesalahan komunikasi, namun tentu saja tidak bisa
dianggap sesederhana itu. Keberadaan tenaga kerja dari RRC di Maluku Utara dalam konteks bisnis tentu
berbeda dengan acara-acara protokoler hubungan antar negara yang wajar jika benderanya dikibarkana
mendampingi bendera merah putih.

Tenaga kerja lokal

Jumlah angkatan kerja pada Februari 2018 sebanyak 133,94 juta orang, naik 2,39 juta orang dibanding
Februari 2017. Sejalan dengan itu, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 69,20 persen,
meningkat 0,18 persen poin. Dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 140 ribu orang, sejalan
dengan TPT yang turun menjadi 5,13 persen pada Februari 2018. Dilihat dari tingkat pendidikan, TPT
untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tertinggi diantara tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 8,92
persen.

Penduduk yang bekerja sebanyak 127,07 juta orang, bertambah 2,53 juta orang dibanding Februari 2017.
Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase penduduk yang bekerja terutama pada
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (0,68 persen poin), Jasa Lainnya (0,40 persen poin), dan
Industri Pengolahan (0,39 persen poin). Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan adalah
Pertanian (1,41 persen poin), Konstruksi (0,20 persen poin), dan Jasa Pendidikan (0,16 persen poin).
Sebanyak 73,98 juta orang (58,22 persen) penduduk bekerja di kegiatan informal, akan tetapi persentasenya
menurun sebesar 0,13 persen poin dibanding Februari 2017. Dari 127,07 juta orang yang bekerja,sebesar
7,64 persen masuk kategori setengah menganggur dan 23,83 persen pekerja paruh waktu. Dalam setahun
terakhir, setengah penganggur dan pekerja paruh waktu naik masing-masing sebesar 0,02 persen poin dan
1,31 persen poin.
Peluang kerja saudara disabilitas yang rendah

Problem ketenagakerjaan di Indonesia saat ini adalah tingginya tingkat pengangguran, Pencari kerja yang
memenuhi standar kesehatan fisik masih mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, Bagi pencari kerja
dari kaum rentan yaitu disabilitas juga masih mengalami problem yang lebih serius dalam mengakses
kesempatan kerja. Peluang yang dapat diisi oleh kaum disabilitas dalam dunia kerja sebetulnya telah
diamanatkan dalam perUndangUndangan kita. Perundang-Undangan di tingkat nasional hingga daerah
telah memberikan ruang bagi disabilitas agar terpenuhi hak-hak mereka.

Hal-hal tersebut merupakan bukti komitmen dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk
menjamin hak seluruh warganya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Undang-Undang tertinggi yaitu
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 I ayat (2) menyebutkan bahwa
setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Peraturan di bawahnya terdapat Undang-
Undang N0 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskrimansi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan. Pasal 5 UU No 13 Tahun
2003 mengamanatkan perihal kesempatan bagi disabilitas, bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan
yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.

Selanjutnya dalam pasal 19 disebutkan mengenai pelatihan kerja yang dikhususkan bagi disabilitas. Pasal
tersebut berisi perintah mengenai penyediaan pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat
dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan dan kemampuan tenaga kerja penyandang
cacat yang bersangkutan. Pasal 67 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga mengatur
hingga masalah perlindungan bagi disabilitas, pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang
cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Proses rekrutmen
hingga on the job training dan perlindungan tenaga kerja bagi disabilitas yang telah diatur dalam sebuah
perUndang-Undangan tersebut menjadi peluang bagi disabilitas dalam mengisi ruang-ruang kosong formasi
kebutuhan tenaga kerja baik dalam lingkup pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) dan swasta.

Undang-Undang memperkuat posisi kaum rentan khususnya disabilitas agar terpenuhi hak mereka,
pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat. Regulasi tersebut mengatur khusus perihal kaum rentan yang mengalami kecacatan baik cacat fisik,
mental serta cacat mental dan fisik. Salah satu pasal mengatur perihal pemenuhan hak disabilitas dalam
pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan
kemampuannya yang mana hal ini terdapat dalam pasal 6 poin 2. Penyediaan pekerjaan berdampak pada
pemenuhan hak kaum disabilitas akan aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya yang tertuang pada pasal
6 poin 4. Spirit Publik Volume.

Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 14, mengamanatkan bahwa
perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat
dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan,
pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau
kualifikasi perusahaan. Penjelasan pasal 14 UU Penyandang Cacat adalah setiap perusahaan harus
mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan
kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus) orang karyawan. Perusahaan yang
menggunakan teknologi tinggi harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat
yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan walaupun jumlah karyawannya
kurang dari 100 (seratus) orang.

Dalam konteks Indonesia, Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI pada
tahun 2012 mengeluarkan Data. Rekapitulasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang
menunjukkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 1.250.780 orang, terdiri atas tuna daksa,
tunanetra, Tuli, penyandang disabilitas mental, serta kronis. Sedangkan data Kementerian Kesehatan tahun
2010 mencatat jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 6,7 juta orang. Sementara jika merujuk
pada konteks ketenagakerjaan, data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi RI menyatakan jumlah
penyandang disabilitas tahun 2010 sebanyak 7.126.409 jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas tunanetra sebanyak
2.137.923 jiwa, tunadaksa sebanyak 1.852.866 jiwa, Tuli 1.567.810 jiwa, penyandang disabilitas mental
712.641 jiwa dan penyandang disabilitas kronis sebanyak 855.169 jiwa.

Kesempatan penyandang disabilitas untuk mendapat pekerjaan sangat rendah dibandingkan dengan
masyarakat umumnya. Menurut Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) pada tahun 2014
terdapat 1,5 juta penganguran merupakan penyandang disabilitas. Sedang data lain hasil pendataan yang
telah dilakukan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Departemen Sosial RI pada tahun 2008 tercatat sebesar
74,4% penyandang disabilitas adalah pengangguran/tidak bekerja, dan sebesar 25,6% penyandang
disabilitas memiliki pekerjaan. Jenis pekerjaan penyandang disabilitas berdasarkan besaran persentase
adalah sebagai petani (39,9%), buruh (32,1%) dan jasa (15,1%), seperti digambarkan pada grafik berikut:
Perlindungan terhadap hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi penyandang disabilitas di
Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang No 8 tahun 2016. Meskipun demikian,
kenyataannya, akses terhadap pilihan pekerjaan bagi penyandang disabilitas masih sangat terbatas. Hingga
saat ini belum ada sanksi yang jelas yang dikeluarkan oleh pengadilan ataupun sanksi administratif yang
diterapkan oleh Kementrian Tenaga Kerja sehubungan dengan perusahaan yang tidak memperkenankan
penyandang disabilitas untuk bekerja.

Pekerjaan yang produktif dan layak memungkinkan para penyandang disabilitas mewujudkan aspirasi
mereka, meningkatkan kondisi kehidupan mereka dan berpartisipasi secara lebih aktif dalam masyarakat.
Memastikan perspektif disabilitas dalam semua aspek kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan, penerapan
dan penegakan peraturan perundangan dan kebijakan disabilitas yang efektif serta memberikan peluang
kerja dan pelatihan yang sama merupakan, di antaranya, faktor-faktor yang berkontribusi pada pengurangan
kemiskinan dan pada inklusi penyandang disabilitas secara sosial dan ekonomi di Indonesia.

Pendidikan dan Hak-hak Penyandang Disabilitas

Pendahuluan Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa,
berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin. Tercapainya tujuan pembangunan tersebut
memerlukan dukungan segenap masyarakat dan pemerintah. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak
dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Selain pembangunan nasional Indonesia,
mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan bagian dari salah satu tujuan Negara Republik Indonesia yang
harus tetap dipertahankan sampai kapan pun, hal ini sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Berbicara mengenai kecerdasan erat kaitannya dengan pendidikan, karena pendidikan merupakan salah satu
hak asasi setiap warga Negara Indonesia. Hak memperoleh pendidikan secara khusus diamanatkan dalam
Pasal 28C Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan
bahwa:

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Diperkuat oleh Pasal 13 Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan
umat manusia”. 1 Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum
dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 253. Disamping Hak Asasi Manusia warga Negara
Indonesia, pemenuhan hak-hak pendidikan juga merupakan kewajiban bagi pemerintah.

Pemenuhan pendidikan tidak dapat dipandang sebelah mata, karena pendidikan adalah hal yang
pokok dalam masyarakat saat ini. Fakta sejarah, sejak Perang Dunia II yang telah merobek peradaban
manusia, agenda utama yang mengisi lembaran-lembaran sejarah kita, adalah soal hak asasi manusia.
Agenda ini kian menguat setelah berakhirnya perang dingin.2 Hak Asasi Manusia yang diantaranya adalah
hak untuk mendapatkan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah saat ini, terlebih pasca
reformasi.3 Terkait tanggung jawab Negara pada pendidikan, kita dapat menyoroti hal yang lebih kecil
khususnya berada disekitar kita. Universitas Brawijaya Malang sebagai lembaga pendidikan tinggi negeri
merupakan lembaga yang berada langsung di bawah pemerintah yang dalam hal ini juga sebagai pelaksana
dari amanat konstitusi dalam ruang lingkup bertanggung jawab pada mahasiswanya sendiri.
Bertanggungjawab disini dapat diartikan sebagai pemenuhan hak-hak dasar mahasiswanya tanpa
memandang suku, ras, agama, serta fisiknya. Pemenuhan hak dasar yang mendasar adalah sarana atau
aksesibilitas yang diberikan UB apakah sudah mencakup semua peserta didiknya. Penyandang
cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat
terdiri dari tiga kelompok, yaitu: Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, dan cacat ganda (cacat
fisik dan cacat mental). Jumlah penyandang cacat di seluruh Indonesia menurut SUSENAS tahun 2000
sebanyak 1.548.005 jiwa, dan pada tahun 2002 jumlah ini meningkat 6.97% menjadi 1.655.912 jiwa.5 2
Hamid Awaludin, HAM Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional, Buku Kompas, Jakarta, 2012,
hlm. 7. 3 Perkembangan Hak Asasi Manusia pasca Reformasi ditandai dengan adanya amandemen
UndangUndang Dasar 1945 khususnya pada amandemen kedua dimasukkannya Hak Asasi Manusia dalam
Bab XA. Selanjutnya dalam skripsi ini disebut UB 5 Muladi, Op.Cit, hlm. 254. Indonesia mengambil
langkah cermat dengan meratifikasi UN CRPD (United Nations Convention on the Rights of Persons with
Disabilities) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada bulan November 2011
menjadi Undang-undang Nomor 19 tahun 2011 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
107 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Disabilitas sebagai upaya pemajuan,
penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak kaum disabilitas di seluruh Indonesia, dalam
memperkuat komitmen untuk memajukan hak asasi bagi disabilitas. Ini menjadi perbincangan awal yang
positif terhadap pandangan kaum penyandang cacat (Penyandang Disabilitas/Difabel)6 dewasa ini.
Aksi dan kebijakan tersebut sampai sekarang belum mampu melindungi dan memberikan jaminan
terhadap perwujudan hak-hak penyandang disabilitas, dan ini terlihat dari apa yang diberikan UB kepada
mahasiswanya dalam Akses terhadap pendidikan, fasilitas yang masih terhalang dengan adanya
diskriminasi. Bahkan, partisipasi dalam pembangunan dan akses terhadap hukum yang berkeadilan masih
sangat jarang dirasakan bagi kaum penyandang disabilitas. Istilah derajat atau pagar pembeda yang selama
ini disebut dengan kecacatan, ideologi kenormalan serta persyaratan sehat jasmani dan rohani telah
mengucilkan kreativitas, semangat, harapan dan cita-cita penyandang disabilitas, bahkan telah
menghilangkan semangat inklusif di UB. Seperti yang kita ketahui, manusia sejatinya pantas dipersamakan
dan harus diperlakukan dengan sama, tanpa memandang dari fisiknya.

Memanusiakan manusia merupakan tindakan yang harus dilakukan oleh seluruh umat manusia
didunia ini dan saat ini juga. Berbanding terbalik dengan yang kita bayangkan. Banyak orang didunia
mengesampingkan orang lain yang mereka anggap tidak sempurna (cacat) secara fisik manusia. Bahkan
pemerintah sendiri pun belum bisa menghargai manusia yang mengalami cacat atau kelainan fisik.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 menyebutnya dengan Penyandang Cacat, sedangkan


Undangundang Nomor 19 Tahun 2011 menyebutnya dengan Penyandang Disabilitas, namun di Indonesia
ada juga yang menyebutnya dengan Kaum Difabel. Difabel atau dalam penulisan ini disebut disabilitas7
merupakan kaum minoritas yang terpinggirkan. Jumlahnya di Indonesia yang mencapai 15% dari jumlah
seluruh penduduk Indonesia saat ini masih jauh dari harapan persamaan seperti yang tertuang dalam
Pancasila.

Aksesibilitas merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan. Jaminan atas aksesibilitas
bagi penyandang cacat tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, antara lain dalam Pasal 41, 42 dan 54. Pengaturan yang jelas dan tegas dalam peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan di atas dalam pemberian aksesibilitas terhadap penyandang
disabilitas di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Hal ini terlihat pada masih banyaknya
infrastruktur di Indonesia yang tidak bisa digunakan oleh orang yang mengalami kelainan fisik, misalnya
trotoar yang hanya bisa digunakan oleh orang yang memiliki dua kaki, bahkan di Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya saja belum memiliki infrastruktur yang bisa digunakan oleh penyandang disabilitas.
Bagaimana seorang yang memiliki kelainan dalam fisiknya bisa mengenyam pendidikan jika tidak ada
fasilitas pendukung untuk dirinya. Jika kita lebih memahami lagi tidak ada yang membedakan antara
manusia yang satu dengan yang lainnya, walaupun dirinya mengalami kelainan dengan fisiknya.
Di dunia pendidikan, kaum disabilitas sendiri sering dikucilkan, terlihat dari pemisahan sekolah-
sekolah yang ada. Misal adanya sekolah luar biasa bagi penyandang disabilitas. Bagaimana penyandang
disabilitas dapat merasakan pendidikan yang sama dari orang-orang pada umumnya, sedangkan dirinya saja
selalu tersudutkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini. Padahal sebenarnya yang dibutuhkan
kaum disabilitas adalah adanya penyesuain kurikulum pendidikan bagi dirinya, dan bukan pembedaan
sekolah. Karena ini akan membuat mereka 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011
menyebut penyandang cacat sebagai kaum disabilitas. 8 Ali Salmande, 2011,

Pengaturan Hak-Hak Dasar Bagi Penyandang Disabilitas Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With
Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)

Jaminan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Upaya
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang
cacat, di samping dengan Undang-Undang tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui
berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain peraturan yang mengatur masalah ketenagakerjaan,
pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas, dan angkutan jalan, perkeretaapian,
pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan.

Peraturan tersebut memberikan jaminan kesamaan kesempatan terhadap penyandang cacat pada
bidang-bidang yang menjadi cakupannya, dan dalam rangka memberikan jaminan tersebut kepada
penyandang cacat diberikan kemudahan-kemudahan (aksesibilitas). Berbagai peraturan perundang-
undangan yang memberikan jaminan aksesibilitas bagi penyandang cacat, sebagai berikut:

1) Amandemen II UUD 1945 Pasal 28 H ayat (2), disebutkan:

2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kesejahteraan Sosial;

3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, dalam Pasal 35;

4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam Pasal 49;

5) Pasal 42 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan; 10 Muladi, Op.Cit, hlm. 255. 10
6) Dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;

7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;

9) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

10) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 27;

11) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

12) Pasal 5 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:

13) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah; 14) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; 15) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Perkembangan Kependudukan.

Jaminan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat Dalam UndangUndang No. 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai HakHak
Penyandang Disabilitas) sebagai produk hukum hasil ratifikasi Convention on the Rights of Persons with
Disabilities.

Pasal 9 yang berbicara mengenai aksesibilitas bagi penyandang disabilitas yang menyebutkan bahwa:

(1.)Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam semua
aspek kehidupan, Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan yang sesuai untuk menjamin akses bagi
penyandang disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi,
informasi, dan komunikasi, termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi, serta terhadap
fasilitas dan layanan lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik, 11 baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan. Kebijakankebijakan ini, yang harus meliputi identifikasi dan penghapusan kendala serta halangan
terhadap aksesibilitas, harus diterapkan pada, antara lain: a. Gedung, jalan, sarana transportasi, dan fasilitas
dalam dan luar ruang lainnya, termasuk sekolah, perumahan, fasilitas medis, dan tempat kerja; b. Informasi,
komunikasi, dan layanan lainnya, termasuk layanan elektronik dan layanan gawat darurat.

(2.)Negara-Negara Pihak harus juga mengambil kebijakankebijakan yang tepat untuk:


a. Mengembangkan, menyebarluaskan, dan memantau pelaksanaan standar minimum dan panduan untuk
aksesibilitas terhadap fasilitas dan layanan yang terbuka atau tersedia untuk publik;

b. Menjamin bahwa sektor swasta yang menawarkan fasilitas dan layanan yang terbuka atau tersedia untuk
publik mempertimbangkan seluruh aspek aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;

c. Menyelenggarakan pelatihan bagi pemangku kepentingan tentang masalah aksesibilitas yang dihadapi
oleh penyandang disabilitas;

d. Menyediakan di dalam gedung dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik, tanda-tanda dalam huruf
Braille dan dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami;

e. Menyediakan bentuk-bentuk bantuan langsung dan perantara, termasuk pemandu, pembaca, dan
penerjemah bahasa isyarat profesional, untuk memfasilitasi aksesibilitas terhadap gedung dan fasilitas lain
yang terbuka untuk publik;

f. Meningkatkan bentuk bantuan dan dukungan lain yang sesuai bagi penyandang disabilitas untuk
menjamin akses mereka terhadap informasi;

g. Meningkatkan akses bagi penyandang disabilitas terhadap sistem serta teknologi informasi dan
komunikasi yang baru, termasuk internet;

h. Memajukan sejak tahap awal desain, pengembangan, produksi, dan distribusi teknologi dan sistem
informasi dan komunikasi yang dapat diakses, sehingga teknologi dan sistem ini dapat diakses dengan biaya
yang minimum. Pasal tersebut menunjukkan bahwa langkah-langkah yang wajib dilakukan adalah
mengidentifikasi dan penghapusan kendala serta halangan terhadap aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas, meliputi gedung-gedung, jalan-jalan, sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan luar ruangan
lainnya. Termasuk juga sekolah, perumahan, fasilitas medis dan tempat kerja.

Khusus juga pada angka 2 huruf d dan e bahkan menegaskan Negara-negara pihak wajib juga
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk: menyediakan di dalam bangunan dan fasilitas lain yang
terbuka untuk publik, tanda-tanda dalam huruf Braille dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami;
menyediakan bentuk-bentuk bantuan dan perantara langsung, termasuk pemandu, pembaca, dan
penerjemah bahasa isyarat professional untuk memfasilitasi aksesibilitas terhadap bangunan dan fasilitas
lain yang terbuka untuk publik.
Disisi lain, pengaturan yang paling fundamental di Undangundang Nomor 19 Tahun 2011 selain
pada Pasal 9, ada di dalam pembukaan Undang-undang tersebut yang telah mencakup Hak-hak Penyandang
Disabilitas. Diantaranya Mengingat kembali prinsipprinsip yang diproklamasikan dalam piagam
Perserikatan BangsaBangsa (PBB) yang mengakui martabat dan nilai yang melekat serta Hak-hak yang
setara dan tidak terpisahkan bagi seluruh anggota keluarga manusia sebagai dasar dari kebebasan, keadilan,
dan perdamaian di dunia.

Pelaksanaan Hak-Hak Dasar Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Sarana Pendidikan
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas) Di Universitas Brawijaya Malang Universitas Brawijaya yang terletak di Kota Malang
merupakan tempat yang penulis jadikan sebagai penelitian, dimana penulis berpendapat bahwa UB
bertanggungjawab khususnya terkait aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Terutama setelah Indonesia
meratifikasi konvensi hak-hak penyandang disabilitas atau Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011, ini
menjadi pengakuan Indonesia dan dunia Internasional bahwa negara peserta konvensi bertanggungjawab
pada warganya yang memiliki kebutuhan khusus terhadap aksesibiltas bagi penyandang disabilitas di UB.

Universitas Brawijaya merupakan salah satu Universitas di Indonesia yang memiliki mahasiswa
terbanyak Data terakhir yang diperoleh menunjukkan bahwa Mahasiswa Angkatan Baru tahun 2012-2013
berjumlah 15.419 orang. Begitu banyaknya mahasiswa yang berada di UB dan dengan adanya tuntutan dari
tanggungjawab terhadap para mahasiswanya yang berkebutuhan khusus, maka UB pada 2012 mendirikan
Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD). Keberpihakan UB terhadap penyandang disabilitas dapat
dilihat dari visi dan misi yang dimiliki PSLD yaitu: Visi: Membangun lingkungan Universitas Brawijaya
yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Misi:

1.) Menyediakan akomodasi bagi penyandang disabilitas,

2.) Melakukan penelitian tentang isu-isu disabilitas, dan

3.) Meningkatkan sensitivitas civitas akademika Universitas Brawijaya terhadap isu-isu disabilitas dan
penyandang disabilitas 3. Kendala Yang Dihadapi Oleh Universitas Brawijaya Dalam Pemenuhan Hak-
Hak Dasar Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Sarana Pendidikan Agar Sesuai Dengan Pasal 9 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of
Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
Terkait program-program yang telah dilakukan oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD)
untuk menunjang pemenuhan hak-hak dasar (aksesibiltas) penyandang disabilitas bidang sarana
pendidikan, pada kenyataannya Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) memilki beberapa kendala
yang menyebabkan terhambatnya dan/atau tidak tercapainya (kurang maksimal) dalam pelaksanaan
pemenuhan aksesibilitas sebagai hak-hak dasar penyandang disabilitas bidang sarana pendidikan di
Universitas Brawijaya.

Berikut merupakan kendala-kendala yang dihadapi oleh Universitas Brawijaya dalam rangka
mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas bidang sarana pendidikan di Universitas
Brawijaya agar sesuai dengan Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas), yaitu:

1. Di dalam menciptakan lingkungan yang ramah di Universitas Brawijaya, PSLD terus memberikan saran
kepada rektorat misalnya dengan disediakannya rem disemua gedung-gedung disetiap fakultas, trotoar,
menuju toilet, dan taman atau tempat belajar terbuka (gazebo). PSLD menganggap prosedur di rektorat
cukup berbelit-belit, walau sebenarnya rektorat sendiri memiliki birokrasi yang telah diatur. Rem yang
rencananya akan disediakan disemua tempat tidak segampang itu membangunnya, apalagi sistem tender
yang digunakan rektorat cukup memakan waktu lama, mulai waktu tender, Pemenangan tender,
perencanaan pembangunan, perencanaan anggaran dan sebagainya. Terlebih antara rektorat dan fakultas
tidak memiliki niat atau misi yang sama didalam pembangunan yang ramah bagi penyandang disabilitas.
Terlihat dari telah banyak gedung-gedung yang dibangun di setiap fakultas tidak memiliki rem. Selain itu
kurangnya kesadaran dari mahasiswa di UB juga menjadi kendala yang cukup berpengaruh. Misalnya
dengan parkir sembarangan membuat rem terhalang, sehingga pengguna kursi roda sudah tentu tidak dapat
menggunakan rem tersebut, ini juga ditopang dengan kurangnya fasilitas parkir di UB yang membuat
parkiran menjadi semrawut.

2. Volunter sebagai akomodasi yang disediakan PSLD bagi teman-teman disabilitas juga terhalang kendala.
Volunter yang keseluruhannya merupakan mahasiswa di UB sendiri juga memiliki jadwal kuliah sendiri,
apalagi saat-saat tertentu antara volunteer dan teman-teman disabilitas memiliki jadwal kuliah yang sama.
Sudah barang tentu 12 Hasil wawancara dari Ulfah Fatmala Rizky, S.AP selaku koordinator pendampingan
Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya 15 terkadang teman-teman volunteer tidak bisa
selalu mendampingi teman-teman disabilitas, hal inilah yang mengakibatkan terkadang teman-teman
disabilitas tidak dapat didampingi secara optimal. Terlebih para volunteer ini tidak mendapatkan cukup
dana dari kegiatannya selama ini, padahal ini sebagai penunjangnya didalam pendampingan. Misalnya ada
beberapa teman-teman disabilitas yang harus dijemput dari rumahnya dan diantar ke kampus.

3. Kurangnya keikutsertaan mahasiswa dan civitas akademik UB terhadap pengembangan kemampuan


dasar yang dimiliki mahasiswa dan dosen (seminar dan pelatihan bahasa isyarat dan metode pengajaran
bagi disabilitas) membuat kurangnya sensitivitas terhadap isu-isu disabilitas dan penyandang disabilitas.
Karena dengan keikutsertaan mereka merupakan pertanda bahwa mereka paham dan peduli terhadap
penyandang disabilitas yang jelas-jelas berada tepat disekitar mereka. Apalagi kurangnya mahasiswa dan
civitas akademika dalam mengajak dan/atau membaur bersama menjadi satu, hal ini dimaksud agar tidak
adanya lagi dinding pembatas.

4. Solusi Yang Dilakukan Oleh Universitas Brawijaya Dalam Pemenuhan Hak-Hak Dasar Penyandang
Disabilitas Dalam Bidang Sarana Pendidikan Agar Sesuai Dengan Pasal 9 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With
Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Alternavtive Action13 untuk
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi penyandang
cacat, termasuk di dalamnya pelaksanaan pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas bidang sarana
pendidikan di Universitas Brawijaya. Penyandang cacat berhak mendapatkan perlakuan khusus. Aksi ini
mengarah pada penyadaran publik akan hak-hak penyandang cacat dan kewajiban mereka untuk berperan
aktif dalam berinteraksi sosial yang sehat dan wajar.

Selain Alternative Action diatas, berikut merupakan solusi lain yang dapat dilakukan oleh
Universitas Brawijaya untuk mengatasi kendala-kendala seperti yang telah diuraikan di atas, yaitu: Rektorat
selaku pelaksana harus memberikan aturan yang jelas terhadap aksesibilitas di UB. Misalnya dengan
mewajibkan setiap fakultas di UB membangun rem yang kemudian diikuti dengan tulisan/rambu-rambu
yang melarang pengendara atau apapun menghalangi rem tersebut; Rektorat melalui PSLD harus
menambah jumlah volunteer terutama yang bukan berasal dari mahasiswa, ini dimaksud agar mahasiswa
lain tidak terganggu dengan kegiatan pendampingan ini, namun tetap menyediakan volunteer dari
mahasiswa sebagai pembelajaran. Selain itu juga didukung dengan adanya dana khusus terhadap
aksesibiltas dan akomodasi bagi penyandang disabilitas di UB; dan Rektorat selaku Induk dari Universitas
Brawijaya harus lebih sering mengadakan kegiatan-kegiatan tentang disabilitas yang dimana pesertanya
tidak hanya dari teman-teman penyandang disabilitas tetapi mahasiswa lain juga wajib berperan, hal ini
dimaksud agar tidak adanya sekat sosial antara mahasiswa di UB.

EVALUASI PROGRAM UPSUS PAJALE

Oleh : Koordinator Isu BEM SI

Pendahuluan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan mengatakan bahwa, “Pangan
sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus
senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh
daya beli masyarakat”. Merujuk kepada pernyataan tersebut dengan kata lain ketersediaan pangan menjadi
sebuah kewajiban untuk dipenuhi. Namun, kebutuhan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan
bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat konsumsi yang tinggi1. Jika mengandalkan pangan impor
dinilai kurang aman karena dikhawatirkan akan mempengaruhi kestabilan sosial, ekonomi, dan politik.
Sebagian besar kebutuhan bahan pangan utama (beras, jagung, dan kedelai) di Indonesia dihasilkan oleh
petani usaha kecil hanya kurang dari 0.5 hektrare (Swastika 2011). Sehingga jumlah stok pangan hasil
petani lokal belum memenuhi kebutuhan dan menyebabkan pengambilan stok pangan dari luar. Hal tersebut
menjadi landasan perlunya strategi khusus untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan
menciptakan swasembada pangan.

Latar Belakang Upsus Pajale

Cita-cita Presiden Jokowi untuk terwujudnya kedaulatan pangan yang ingin dicapai pada tahun 2017
merupakan awal mula tercetusnya Program Upaya Khusus Padi Jagung Kedelai. Program ini dilaksanakan
mulai dari tahun 2015 silam di beberapa provinsi di Indonesia. Pada perencanaannya program ini akan
dilakukan segala strategi dan upaya untuk meningkatkan luas tanam dan produktivitas di daerah-daerah
sentra produksi pangan. Berbagai cara ditempuh untuk menyukseskan program ini dengan beberapa cara,
seperti penyediaan dana, pengerahan tenaga, perbaikan jaringan irigasi yang rusak, bantuan pupuk,
ketersediaan benih unggul yang tepat (jenis/varietas, jumlah, waktu, tempat, mutu , harga), bantuan alsintan
(alat mesin pertanian) yang mendukung proses produksi dari masa persiapan hingga pasca panen termasuk
kepastian pemasarannya. Bahkan, untuk mendukung program ini, pemerintah telah berencana
mengalokasikan anggaran untuk Kementrian Pertanian sebesar Rp 32,7 triliun, dimana setengah dari
anggarannya bersumber dari pemangkasan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dana tersebut difokuskan
untuk rehabilitasi jaringan irigasi, bantuan benih, bantuan pupuk, dan bantuan alat mesin pertanian. Adanya
penandatanganan MOU antara Menteri Pertanian RI dengan

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menjadi bukti adanya sokongan dari TNI-AD untuk melancarkan
program upsus pajale. Tujuan adanya MOU ini adalah agar Babinsa dapat membantu para petani agar
swasembada pangan dapat terwujud di tahun 2017.

Evaluasi Program Upsus Pajale


Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, permasalahan substansial dalam perjalanan program upsus
pajale terdiri dari:

1. Laju alih fungsi lahan pertanian.

2. Kondisi infrastruktur pertanian yang tidak memadai

3. Kelangkaan tenaga kerja yang tidak diimbangi dengan penerapan mekanisasi pertanian

4. Kesenjangan harga komoditas pangan

5. Lemahnya sistem usaha tani

Berikut adalah kondisi daerah hasil dari program upsus pajale yang terangkum di beberapa provinsi:

Tabel 1. Kondisi Program Upsus Pajale

Provinsi Kondisi Daerah Upsus Pajale


Nanggroe Aceh Darussalam Produksi padi tahun 2013, yaitu mencapai 1.7 juta
ton, 2014 mengalami peningkatan menjadi 1.8 juta
ton, sementara 2015 mencapai 2.3 juta ton dan pada
tahun 2016 mengalami sedikit penurunan yaitu 2.2
juta ton 2 . Kontribusi masing-masing
kabupaten/kota, sumbangan terbesar untuk luas
panen pada tahun 2015 berasal dari Kabupaten
Aceh Utara yaitu sebesar 70.781 hektar (14.94%)
kemudian diikuti Kabupaten Aceh Timur sebesar
50.478 hektar ( 8.61%). Dari 23 kabupaten/kota di
Provinsi Aceh pada tahun 2015, produksi padi
terbesar disumbang oleh Kabupaten Aceh Utara
yaitu sebesar 348.225 ton atau sekitar 14.94 % dari
total produksi padi di Provinsi Aceh3.
Pada tahun 2015 produksi jagung Aceh mencapai
2.3 juta ton, meningkat dari 1.8 juta ton (2014).
Pada tahun 2016, Aceh Tenggara menjadi sentra
produksi jagung nasional hal ini dikarenakan setiap
hari 75 hektare lahan panen dengan total panen 7.2
ton per hektare dari total luas lahan jagung sebesar
30.000 hektare4. Produktivitas jagung di Aceh
Tenggara mencapai 9 ton per hektare. Upsus pajale
mengambil peran dengan memberi bantuan berupa
benih jagung, alat panen jagung, corn seller dan
vertical dryer4. Pada tahun 2015 seluas 25.000
hektare lahan siap ditanam kedelai. Produktivitas
kedelai jika menggunakan teknologi mencapai 2.5
ton/hektare, 1.2 ton/hectare. Kabupaten Aceh
Timur memiliki produksi kedelai terbesar pada
tahun 2015
Sumatera Utara Produksi Padi meningkat 5 tahun belakangan,
diantaranya dari 52,87 kw/ha (2015), menjadi
53,05 kw/ha, produksi jagung menurun 2 tahun
belakangan dari 62,33 kw/ha (2015) menjadi 61,63
kw/ha, produksi kedelai meningkat dari 12,35
kw/ha (2015) menjadi 12,80 kw/ha5.
Permasalahan lahan tidur yang masih tinggi,
contohnya, di Desa Remban, kini terdapat sekitar
375 hektare lahan persawahan. Dari luas lahan
persawahan itu, pengelolaan baru mencapai 180
hektare. Berarti, terdapat sekitar 195 hektare lahan
belum diolah karena berbagai permasalahan seperti
pendangkalan sungai, kebanjiran hingga gagal
panen. Sumut masih kekurangan benih padi.
Pemerintah hanya memberikan bantuan sebesar 10
persen dari kebutuhan. Pada 2016 luas tanam padi
mencapai 830.000 hektar dengan kebutuhan benih
mencapai 20.750.000 kilogram atau 20 ribu ton
lebih. Sementara bantuan pemerintah hanya sekitar
2.000 ton benih6. Diperkirakan seluas 460 ha areal
persawahan di beberapa desa di Kabupaten
Labuhan Batu tidak dialiri irigasi, diduga akibat
tidak didukung jaringan irigasi secara maksimal.
Hal tersebut menyebabkan adanya laih fungsi lahan
pertanian menuju perkebunan.
Sumatera Selatan Produksi komoditas padi terus mengalami
peningkatan pada setiap tahunya. Komoditas padi
pada tahun 2015 mampu menembus angka
4.247.922 ton GKG (Gabah Kering Giling) atau
setara dengan 2.684.687 ton beras. Dengan jumlah
penduduk Sumatera Selatan pada saat itu sebanyak
8.052.315 jiwa9 dan asumsi konsumsi beras 102 kg
per kapita atau total kebutuhan konsumsi 821.337
ton beras, maka Sumatera Selatan dapat dikatakan
mengalami surplus beras sebanyak 1.863.350 ton.
Pada tahun 2016 produksi padi Sumatera Selatan
juga mengalami peningkatan secara signifikan
menjadi 5.074.613 kg GKG atau setara dengan
2.374.402 ton beras. Dengan jumlah penduduk
Sumatera Selatan pada tahun 2016 sebanyak
8.164.242 jiwa, dan total kebutuhan konsumsi
beras sebanyak 832.752 ton. Angka tersebut
menyebabkan pasokan beras di Sumatera Selatan
mengalami surplus. Produksi beras tersebut
meningkat menjadi 2.374.402 ton (27,43%) dari
tahun sebelumnya. Keberhasilan tersebut
menyebabkan provinsi Sumatera Selatan menjadi
pemasok beras setiap tahunnya ke provinsi
tetangga, antara lain Bangka Belitung, Jambi,
Bengkulu dan juga Lampung. Selain melalui
percepatan tanam serempak, upaya peningkatan
komoditas pertanian di Sumatera Selatan juga
didukung oleh supporting modern technology,
peningkatan sarana dan prasarana meliputi
peningkatan luas jangkauan ketersediaan air
pembangunan atau rehab irigasi dan irigasi tersier,
pembangunan embung, dam, parit, long storage,
bantuan pompa dan pipa irigasi. Keberhasilan
upsus pajale juga disertai dengan penyediaan
bantuan alsintan, Varietas Unggul Baru (VUB),
serta pendampingan penerapan inovasi dan
teknologi di tingkat petani. Keberhasilan program
ini di Sumatera Selatan dapat dilihat dari adanya
peningkatan realisasi tanam 2017
menjadi sekitar 1.100.000 ha, dari 2015 yang
hanya sekitar 891.435 ha.
Lampung Pada tahun 2015, melalui program upsus pajale
Kementrian Pertanian meningkatan target produksi
padi di Provinsi Lampung padatahun 2014 sebesar
3.3 juta ton menjadi 4.3 juta ton pada tahun 2017.
Dalam rangka mencapai target tersebut,
peningkatan produksi padi dari lahan sawah irigasi
menjadi andalan utama. Rata-rata produktivitas
padi sawah di Lampung 5,28 ton/ha dengan total
produksi 3,17 juta ton dari luas panen sekitar
600.750 ha10.
Menurut Dinas Pertanian TPH Provinsi Lampung
(2014), percepatan peningkatan produksi padi
melalui kegiatan upsus diprediksi hanya mampu
meningkatkan produksi padi sekitar 700 ribu ton
dalam rentang waktu 3 tahun. Artinya target
peningkatan produksi padi satu juta ton pada tahun
2017 tidak tercapai.Tidak tercapainya target di
Lampung dilandasi oleh salah satu penyebab utama
yakni, sulitnya meningkatkan produktivitas padi
pada musim gadu (musim tanam II) disebabkan
oleh kurang tersedianya air sehingga 38% dari
lahan sawah irigasi tidak mendapat air irigasi.
Pada tanggal 12 April 2017 bantuan benih dari
pemerintah pusat melalui Kementan mulai
digulirkan kepada petani di Lampung. Bantuan
yang diberikan kepada petani yakni berupa bantuan
bibit jagung 15 kg per hektar dan pupuk urea
sebanyak 1 kuwintal per hektar. Di Kabupaten
Lampung Tengah bulan Oktober 2017
menargetkan luas tambah padi seluas 6.674 hektar,
sampai dengan tanggal 11 Oktober sudah
terealisasi seluas 3000 hektar. Tanam bersama pada
lahan seluas 266 ha tersebut merupakan bagian dari
upaya percepatan tanam padi pada musim tanam
Oktober-Maret 2017/2018. Perluasan areal
tanam, peningkatan intensifikasi budidaya tanaman
dalam skala luas seperti tanaman padi, jagung, dan
kedelai di Provinsi Lampung dapat memunculkan
permasalahan lain yaitu gangguan hama. Di lain
pihak, budidaya tanaman intensif kerap
menggunakan pestisida kimiawi yang dapat
membunuh musuh alami hama, akibatnya musuh
alami yang semestinya berperan mengendalikan
populasi hama secara alami tidak ada Kondisi
semacam ini yang memicu munculnya masalah
hama dan penyakit tanaman, termasuk pada
tanaman jagung di Lampung.
Hama yang menyerang pertanaman padi sebagian
besar dari golongan serangga, diantaranya: lalat
bibit, ulat grayak, penggerek batang, pengisap
bulir, dan wereng batang dan wereng daun. Selain
kelompok serangga hama tikus dan keong emas
menjadi masalah serius pada budidaya padi. Hama
yang menyerang pertanaman jagung sebagian besar
dari golongan serangga, diantaranya: lalat bibit,
ulat tanah, ulat grayak, uret, penggerek batang, dan
wereng batang. Selain kelompok serangga, tikus
dan burung kerap menjadi hama pada pertanaman
jagung.

Banten Pada tahun 2014, Banten mampu menghasilkan


sebanyak 2.045.883 ton dan kemudian pada tahun
2016, produksi padi di Banten sebesar 2.300.595
ton untuk padi sawah. Sementara itu, produksi
jagung berada pada angka 10.514 ton pada tahun
2014 dua tahun beriutnya mengalami peningkatan
hingga 19.882 ton jagung. Untuk kedelai pada
tahun 2014 berhasil menghasilkan 6.384 ton tetapi
mengalami penurunan hingga pada tahun 2016
menghasilkan sebanyak 4.020 ton kedelai7.
Daerah Serang sempat mengalami keringan air
irigasi yang disebabkan adanya perbaikan jaringan
irigasi 8 . Namun, lambatmya sosialisasi dari
pemerintah membuat praktek pertanian terhambat.
Banten memiliki tempat penangkaran benih di
Kabupaten Serang, milik Asosiasi Perbenihan
Banten (Asbenten)9. Jadi pasokan benih untuk
wilayah Banten cukup aman.
Jawa Timur Di Jawa Timur, Kementrian PUPR membangun
saluran irigasi lahan persawahan yang mencakup
irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi tambak, dan
irigasi air tanah. Namun, masih ada permasalahan
yang belum terselesaikan yakni, kerusakan di 470
bendungan irigasi, pengelolaan irigasi yang belum
terpadu, sawah irigasi yang gagal panen akibat
banjir, dan menurunnya kinerja jaringan irigasi
tingkat primer, sekunder, dan tersier akibat umur
bangunan dan fungsi layanan yang menurun10.
Pupuk bersubsidi di Jawa Timur diberikan jika
petani tergabung dalam kelompok tani. Wijaya
Laksana selaku Kepala Corporate Communication
PT Pupuk Indonesia (Persero) mengungkapkan
bahwa stok pupuk bersubsidi sudah mencapai dua
kali lipat dari ketentuan Pemerintah, atau cukup
untuk memenuhi kebutuhan11. Namun satu bulan
kemudian, Aji Muhamad Mirza Wardana sebagai
wakil Ketua Komite II DPR RI mengatakan dalam
Kunjungan Kerja ke Petrokimia Gresik bahwa
terdapat masalah dalam distribusi pupuk bersubsidi
dan menduga terdapat para mafia pupuk yang
berperan dalam tingkat harga yang melampaui12.
Lahan di Jatim susut sekitar 1100 Ha per tahun, hal
itu disebabkan adanya alih fungsi lahan untuk
pembangunan jalan tol, perumahan, dan kawasan
industri. Target realisasi tanam yang dibebankan
pemerintah pusat sebesar 2,9 juta hektar pada tahun
2017, jawa Tiimur hanya mampu mencapai 2,4 juta
hektar13.
Sistem pertanaman yang diterapkan pada upsus
memungkinkan permasalahan hama terjadi.
Terbukti dengan adanya serangan wereng batang
coklat yang menurunkan hasil produksi padi di
jawa timur. Hal tersebut karena disebabkan
penanaman secara terusmenerus sehingga sumber
wereng untuk berkembang terus tersedia.

Jawa Tengah Memasuki musim kemarau, cadangan air irigasi di


wilayah Brebes, Jawa Tengah mulai menipis. Agar
tanamannya tetap hidup, petani harus
menggunakan mesin pompa untuk mengambil air
dari dalam tanah. Bahkan mereka juga
memanfaatkan air limbah selokan untuk irigasi.
Mengatasi masalah irigasi di wilayah tersebut,
Dinas Pengairan dan Sumber Daya Air Kabupaten
Brebes, menerapkan sistem gilir irigasi. Air dari
dua sumber yakni Waduk Malahayu dan Kali
Pemali didistribusikan secara bergantian melalui
sejumlah embung yang tersebar di berbagai daerah.
Untuk wilayah Pantura yang sebagian besar
lahannya tadah hujan, pemerintah menerapkan pola
tanam palawija–padi–palawija, yang dimulai setiap
bulan September. Namun, pada kenyataannya
mereka tidak mengindahkan pola tanam tersebut.
Petani tidak sedikit melanggar pola tanam sehingga
mengalami gagal panen14. Kecamatan Margorejo,
Pati, juga kesulitan memperoleh air. Sumber
pengairan mengandalkan aliran Sungai Silugonggo
di Juwana. Saat sungai mengering, petani
menyedot air limbah pabrik. Pengairan ke sawah
dilakukan petani secara bergantian, tergantung
ketersediaan air limbah di parit. Rata-rata, petani
mengairi sawah dua kali dalam satu minggu dari
pagi hingga siang. Uang sewa pompa Rp 60.000
sekali pakai, belum termasuk solar15.
Di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, air sejumlah
waduk menyusut. Di Waduk Saradan dan Waduk
Dawuhan, misalnya, airnya tinggal 30 persen.
Masyarakat memanfaatkan sebagian dasar waduk
untuk menanam tanaman pangan dan hortikultura.
Berkurangnya volume air di waduk itu berdampak
pada pertanian di Madiun. Di Desa Sidomulyo,
Kecamatan Wonoasri, yang berjarak sekitar 5
kilometer dari Waduk Dawuhan, sebagian petani
memanfaatkan air tanah atau sumur untuk mengairi
sawah.
Alokasi pupuk bersubsidi pada 2018 untuk
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, meningkat
dari tahun sebelumnya meski tidak sebesar usul
yang diajukan. Volume pupuk urea bersubsidi yang
diajukan ialah yang terbesar. Yang terkecil ialah
pupuk organik, dari usul 25.206 ton disetujui 1.700
ton (6,7%). Tidak hanya itu, beberapa petani
mengaku bahawa tidak mendapatkan pupuk
bersubsidi. Hal ini dikarenakan pupuk subsidi
sudah dijatah sesuai kebutuhan petani yang
pengajuannya melalui RDKK oleh kelompok tani
setempat ditambah pembelian pupuk bersubsidi ini
diatur oleh Kartu Tani. Hal tersebut salah satu
upaya pencegahaan terhadap pupuk illegal
Kalimantan Selatan Kegiatan-kegiatan teknis yang dilakukan di
Provinsi Kalsel diantaranya seperti percepatan
tanam dan perbaikan jaringan irigasi. Namun
demikian, umumnya terget luas tanam belum
tercapai. Pada tahun 2016, sisa target untuk
realisasi tanam sebesar 1.135 hektare17. Beberapa
daerah terdapat kendala dalam proses pencetakan
sawah karena banyaknya susupan gunung di lahan-
lahan pertanian. Balai Penyuluh Pertanian
Kecamatan Sungai Pandan mengatakan bahwa,
menurut petani lebih banyak biaya membuka lahan
dibanding hasil panen, dan perlu adanya perhatian
dari Dinas Pertanian disana18.
Daerah yang masih mengandalkan aliran sungai
hanya mampu panen satu kali dalam setahun,
sedangkan daerah yang sudah memiliki jaringan
irigasi mengalami kemajuan. Secara umum dari
aspek produksi, program ini telah sukses karena
telah terjadi peningkatan, meski tahun 2015 terjadi
deraan alam seperti banjir dan kekeringan.
Realisasi tanam padi pada musim tanam (MT)
2015/2016 mencapai 382.576 ha meningkat
signifikan sebesar 22,86% atau seluas 71.189 ha
dibanding periode yang sama MT 2014/2015 yang
hanya 311.387 ha. Demikian juga realisasi tanam
jagung dan kedelai yang naik lebih fantastis
masing-masing 134,92% dan 459,94%. Meski dari
sisi produktivitas hanya terjadi sedikit kenaikan19.
Kalimantan Barat Kalbar mendapat kendala untuk mencapai target
produksi yang telah ditetapkan pemerintah.
Beberapa kabupaten di Kalbar mendapat nilai
merah dalam evaluasi program Upsus Pajale karena
gagal mencapai target produksi. Luas panen padi
di Kalbar selalu mengalami fluktuasi, dari 444.353
ha pada 2011, turun menjadi 427.798 ha pada 2012,
naik di 2013 menjadi 464.898 ha, dan kembali
turun menjadi 450.720 di tahun 2014.
Permasalahan pertanian yang terjadi di Kalbar
adalah irigasi yang masih kurang dari 100.000 ha
dan sebagian besar persawahan di Kalbar
menggunakan system tadah hujan sebagai sumber
pengairannya 20 . Atas dasar ini pula, Kepala
Badan Penyuluh dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pertanian Kementrian Pertanian, Momon
Rusmono, menegaskan dalam pidatonya bahwa
Kalbar akan mengupayakan segala cara agar tidak
mendapat raport merah lagi di evaluasi yang akan
datang. Rusmono pun mengkhawatirkan
kabupaten yang mendapat nilai nol saat evaluasi
tidak diberikan anggaran bantuan lagi dari
pemerintah22. Sebagai salah satu upaya untuk
mencapai target tersebut, Kabupaten Sanggau yang
semula ditargetkan 1.629 ha untuk
dilaksanakannya LTT (Luas Tambah Tanam),
berdasarkan hasil kesepakatan di Pontianak
menjadi 3.000 ha LTT
Nusa Tenggara Barat Masalah yang dihadapi pada tahun 2016 adalah
peningkatan LTT belum diikuti oleh peningkatan
produktivitas. Produktivitas padi NTB mengalami
penurunan dari 5.2 ton/ha pada tahun 2015 menjadi
4.7 ton/ha pada tahun 2016. Padahal berbagai
bantuan yang diberikan seperti benih, alsin, pupuk
terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh kondisi
iklim, karena adanya kekeringan dan/atau curah
hujan tinggi22.
Dalam pembagian bibit jagung yang dilakukan oleh
Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Bima
terindikasi adanya bibit yang tidak memenuhi
standar. Menurut keterangan yang disampaikan
oleh salah satu orator aktivis AMPEKA, Salahudin
Syaichona, bibit jagung tersebut pun busuk di
dalam bungkusan23.
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebutkan
program upaya khusus Pajale berhasil
meningkatkan luas tambah tanam padi untuk
Oktober 2016-Maret 2017 seluas 341.407 hektare,
luas tambah tanam jagung pada Oktober
2016Maret 2017 seluas 191.140 hektare dari target
400.000 hektare. Sementara luas tambah tanam
kedelai mencapai 15.786 hektare dari target tanam
yang diberikan Kementerian Pertanian kepada
NTB seluas 91.000 hektare
Bali Provinsi Bali memiliki nilai kearifan lokal yang
berkaitan dengan pengelolaan air, dikenal dengan
sebutan subak. Subak merupakan suatu system
yang mengatur air irigasi sehingga para petani
mendapatkan air secara merata, cukup, dan adil.
Bahkan, system subak ini diatur dalam Peraturan
Daerah No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi
Daerah Provinsi Bali. Pada tahun 2014, lahan
pertanian di Bali mencapai 354.406 hektar yang
terdiri dari lahan sawah seluas 80.542 hektar dan
lahan bukan sawah seluas 273.864 hektar.
Sedangkan lahan bukan pertanian mencapai
209.260 hektar. Pada tahun 2016, lahan pertanian
di Bali mencapai 353.491 hektar yang terdiri dari
lahan sawah seluas 79.526 hektar dan lahan bukan
sawah seluas 273.965 hektar. Sedangkan lahan
bukan pertanian mencapai 210.175 hektar. Dapat
dikatakan, bahwa lahan pertanian selama dua tahun
menglamai penurunan. Kondisi saat ini
menggambarkan bahwa lahan sawah dan subak
mengalami penurunan akibat alih fungsi lahan.
Berdasarkan Angka Tetap (ATAP) BPS Provinsi
Bali, produksi padi pada tahun 201424 tercatat
857.944 ton Gabah Kering Giling (GKG)
sedangkan pada tahun 201525 tercatat 853.710 ton
GKG, dapat dikatakan dalam kurun waktu satu
tahun produksi padi di Provinsi Bali mengalami
penurunan. Produktivitas padi pada tahun 2015
mengalami peningkatan 3.32 persen yakni dari 6.02
ton/hektar di tahun 2014 menjadi 6,22 ton/hektar di
tahun 2015. Sedangkan produksi produksi jagung
selama tahun 2015 hanya 40.603 ton pipilan kering
atau menurun 10 ton pipilan kering (0,02%) dari
tahun sebelumnya. Selama tahun 2015 mengalami
penurunan 928ton dari 8.187 ton menjadi 7.259
ton.
Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tengah masih banyak
mengalami kendala dalam menyukseskan program
upsus pajale diantaranya adalah jadwal tanam yang
tidak serentak dan juga menanam varietas diluar
dari varietas yang dianjukan sehingga tanaman
terserang OPT, kendala lain yaitu belum
terpenuhinya jumlah pupuk yang dibutuhkan
sehingga pemupukan belum optimal26.
Di Palu, saluran irigasi yang berfungsi hanya ada
dua dari sebelas saluran yang ada. Hal ini
diakibatkan adanya sedimen yang menumpuk pada
saluran akibat banjir luapan sungai. Tidak hanya
itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan
pemukiman terjadi beberapa tahun terakhir Dalam
proses memeuhi kebutuhan benih dan pupuk,
pemerintah daerah langsung menunjuk mitra untuk
diajak bekerjasama dalam penyediaan pupuk dan
benih27.
Adapun luas panen tanaman jagung pad atahun
2015 yakni 32.502 hektare dengan produksi
sebesar 131.123 ton, dan produktivitas sebesar
40.34 kw/ha. Sedangkan untuk kedelai luas
panennya sebesar 7.094 hektare, dengan prouksi
sebesar 13.270 ton dan produktivitas sebesar 18.71
kw/ha
Sulawesi Selatan Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan mencatat
produksi padi di Sulsel meningkat pada tahun 2015
sebesar 5.47 juta ton, sedangkan tahun 2014 yang
sebesar 5,42 juta ton. Hal ini disebabkan adanya
peningkatan luas panen sebesar 4 ribu hektar atau
naik 0.39 persen dan juga meningkatnya
produktivitas sebesar 0.24 kuintal per hectare atau
naik sebesar 0.45 persen28.
Sulsel mendapatkan bantuan alsintan berupa
traktor roda dua juga roda empat, combine
harvester kecil, sedang dan besar yang jumlahnya
berbeda-beda
Dalam pernyataan Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang dilaporkan oleh wartawan Berita Satu,
Rabu 27 Mei 2015, menyebutkan bahwa pemerintahan Jokowi-JK bertekad mewujudkan kedaulatan
pangan nasional dalam tiga tahun, yakni pada 2017. Oleh sebab itu, kementerian pelaksana dalam
menunjang kedaulatan pangan melalui Kementerian Pertanian menghadirkan program Upaya Khusus
dengan fokus tiga komoditas yakni padi, jagung, kedelai atau lebih dikenal dengan Program Upsus Pajale.
Tak tanggung-tanggung, alokasi anggaran cukup fantastis sebesar Rp 32,7 triliun. Adapun Rp 16,9 triliun
berasal dari dana yang dihemat dari pemangkasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) 30 . Kementerian
Pertanian juga berkomitmen untuk meningkat produktivitas daerah sentra-sentra pangan, selain melakukan
program peningkatan luas tanam atau lebih dikenal dengan Luas Tambah Tanam (LTT).

Kementrian Pertanian menargetkan produksi padi tahun 2015 mencapai 73,4 juta ton gabah kering
giling (GKG), jagung sebanyak 20,33 juta ton, dan kedelai 1,27 juta ton. Program Upsus Pajale ini
diimplementasikan di beberapa daerah diantaranya Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jambi, Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kementerian Pertanian
juga telah mengidentifikasi permasalahan substantif yang dihadapi dalam upaya pencapaian swasembada
pangan antara lain: 1) alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian; 2) rusaknya infrastruktur/jaringan irigasi;
3) semakin berkurangnya peralatan mekanisasi pertanian; 4) masih tingginya susut hasil (losses); 5) belum
terpenuhinya kebutuhan pupuk dan benih sesuai rekomendasi spesifiklokasi serta belum memenuhi enam
tepat; 6) lemahnya permodalan petani; 7) harga komoditas pangan jatuh dan sulit memasarkan hasil pada
saat panen raya.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan beberapa permasalahan yang terjadi selama
program upsus pajale berjalan, diantaranya:

1. Pengelolaan, pembangunan, dan perbaikan jaringan irigasi belum terlaksana dengan baik

2. Kurang optimalnya fungsi pendampingan

3. Adanya organisme pengganggu tanaman utamanya serangan hama akibat tidak terputusnya siklus hidup
hama

4. Sistem subsidi pupuk

5. Penggunaan jenis benih

6. Penyaluran alat mesin pertanian belum merata Permasalahan pembagian air, sulitnya penyaluran air dari
sumber air ke lahan, dan kekeringan sering terjadi dalam praktek pertanian. Namun, dalam program upsus
pajale ini dikatakan jaringan irigasi menjadi fokus utama untuk mewujudkan swasembada pangan.
Nyatanya di lapangan, pembagunan jaringan irigasi ataupun penanganan terhadap pengelolaan air untuk
lahan pertanian masih belum optimal. Pasalnya, di beberapa daerah petani masih harus mengeluarkan
ongkos yang besar untuk memompa air dari sumber air terdekat ke lahan pertaniannya. Mahalnya biaya
bahan bakar dan penyewaan alat masih menjadihal yang sering dikelhkan oleh petani.

Pada Bab V Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No.14 tahun 2015 mengenai pengawalan dan
pendampingan program Upsus Pajale memerlukan proses pemberdayaan dalam bentuk pengawalan dan
pendampingan oleh Penyuluh Pertanian dengan memerhatikan aspek teknis, sosial, budaya, ekonomi, dan
lingkungan. Di tingkat desa, ada istilah Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) dan Pengawas Organisme
Pengganggu Tanaman (POPT). Tugas dari PPL ini sendiri dalam peraturan tersebut diantaranya adalah 1)
mengecek ulang persyaratan kelompok penerima manfaat; 2) melakukan pengawalan dan pendampingan
pemberkasan administrasi bantuan di tingkat kelompok (RUKK). Penyusunan RUKK dilaksanakan dengan
musyawarah Poktan dengan bimbingan Tim Teknis atau koordinator lapangan. RUKK yang telah disusun
harus disetujui oleh Tim Teknis/koordinator lapangan dan diketahui oleh KPA/PPK; 3) melakukan
pengawalan pelaksanaan kegiatan penyaluran saprodi (benih, pupuk, dan alsintan); 4) melakukan
pengawalan dan pendampingan pelaksanaan kegiatan penerapan teknologi sesuai rekomendasi Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian; 5) menyusun dan menyampaikan laporan kepada Pimpinan Balai
Penyuluhan tingkat Kecamatan.

Ruang lingkup kerja Penyuluh Pertanian Lapangan hasil temuan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata
(KKN) Upsus Pajale bisa mencapai 100 Ha dari beberapa desa ataupun gapoktan. Jumlah PPL dan POPT
yang menangani di tingkat desa hanya 2 (dua) orang untuk wilayah sekitar 100 Ha tersebut32. Menurut
mahasiswa KKN Upsus Pajale dengan jumlah tenaga penyuluh kurang mencukupi dengan ruang lingkup
mencapai 100 Ha dari beberapa desa ataupun gapoktan. Di Desa Ciawi Kecamatan Wanayasa Kabupaten
Purwakarta, hanya terdapat 1 (satu) yang berstatus PNS baik PPL ataupun POPT3338. Hal ini dianggap
miris karena dalam segi kebutuhan untuk ruang lingkup kerja PPL dan POPT yang cukup luas. Jaminan
pendapatan PPL dan POPT tidak terjamin karena masih didominasi dengan status honor. Fasilitas yang
didapatkan oleh PPL dan POPT juga minim terutama dalam segi biaya ketika harus berkeliling ke ruang
lingkup kerja sehingga diidentifikasi memengaruhi kinerja PPL dan POPT34.

Saat ini pun jumlah penyuluh pertanian sebanyak 12.007 PNS untuk melayani 71.479 desa atau
kelurahan potensi pertanian. Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian menyatakan
bahwa masih dibutuhkan sebanyak 59.472 orang penyuluh. Kemudian Kementerian Pertanian telah
mengusulkan formasi Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu (THL-TB) penyuluh pertanian sebanyak 7.684
orang yang berumur maksimal 35 tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil43. Hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia kekurangan penyuluh pertanian 47.465 belum dihitung dengan usulan THL-TB oleh
Kementerian Pertanian. Dalam UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
serta Permentan Nomor 72 tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Penyuluh
Pertanian menyatakan bahwa penyuluh pertanian minimal berjumlah 1 (satu) penyuluh untuk 1 (satu) desa
potensi pertanian.

Kehadiran pendamping upsus (Pingsus) ternyata juga belum sepenuhnya dirasakan disetiap daerah
upsus. Kurang optimalnya pendampingan berpengaruh terhadap motivasi dan kinerja petani dalam
menggarap lahannya. Hal-hal yang ingin ditanyakan bahkan dikeluhkan untuk dicarikan solusi bersama
belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Utamanya ketika ada perasalahan terkait organisme pengganggu
tanaman (OPT), petani membutuhkan kehadiran Pingsus untuk diajak berdiskusi dan mencari cara
penyelesaiannya. Akibat system penanaman tiga kali tanam dalam satu tahun, menyebabkan siklus hidup
hama tidak terputus. Akibat hal ini, sempat terjadi gagal panen di beberapa daerah. Akibat kurangnya
informasi terkait cara penanganan, terkadang petani menggunakan cara yang salah untuk membasmi hama
ataupun penyakit pada tanamannya.

Komoditas padi dan jagung dominan diserang oleh Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Hal
ini berkaitan dengan peningkatan indeks pertanman sebesar 0,5. Hal ini diatur dalam lampiran Peraturan
Menteri No. 134 tahun 2014 tentang Pedoman Percepatan Optimasi Lahan dengan Indeks Pertanaman (IP)
minimum yaitu 0,5 dan peningkatan produksi minimum 0,3 ton/ha GKP4041. Penambahan IP yang tadinya
IP 0,2 dan IP 0,3 atau tiga kali tanam menjadi

0,5 dengan target 10 juta ton gabah kering giling (GKG). Peningkatan IP didukung oleh
pembangunan embung dan saluran irigasi lain45. Namun, menurut mahasiswa KKN Upsus Pajale di Desa
Ciawi Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta, peningkatan IP mengundang peningkatan hama juga.
Peningkatan IP berarti atau indeks banyaknya proses penanaman kembali setelah panen membuat hama
selalu ada dikarenakan adanya makanan bagi hama46.

Peningkatan Indeks Pertanaman juga berarti peningkatan penggunaan tanah untuk terus ditanami
oleh komoditas padi ataupun jagung. Peningkatan penggunaan tanah untuk keberlangsungan komoditas
sehingga penggunaan pupuk akan meningkat. Penggunaan pupuk dan tanah berlebihan dalam waktu yang
sama akan memengaruhi tingkat kesuburan tanah dikarenakan tingkat kejenuhan tanah9. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi Penyuluh Pertanian dalam mengimplemetasikan tekonologi pertanian tepat guna
baik dalam mengolah tanah maupun penggunaan pupuk yang baik. Kualitas dan pengetahuan Penyuluh
Pertanian dipertaruhkan dalam program ini sehingga bukan menjadi kendala bagi petani dalam proses
peningkatan IP tersebut47.
Tidak kalah pentingnya terkait penggunaan benih. Beberapa petani tidak mengetahui terkait label
benih dan masih menggunakan benih hasil dari panen. Kurang terjaminnya kualitas benih ini dikhawatirkan
mempengaruhi produktivitas dari tanaman. Beberapa kasus di lapangan juga, ada benih yang tidak toleran
untuk ditanam di lahan milik petani. Seringnya terjadi kelangkaan pupuk atau mahalnya harga pupuk
menjadi hal yang dikeluhkan oleh petani. Penerapan Kartu Tani yang diterapkan oleh pemerintah kepada
petani untuk mendapatkan sejumlah subsidi pupuk untuk lahan pertaniannya pun masih belum sepenuhnya
dimengerti oleh petani dan belum tersosialisasikan dengan baik. Penggunaan pupuk oleh petani pun
terkadang masih belum sesuai dengan aturan pemakaiannya.

Kementerian Pertanian juga menggalakkan bantuan alsintan atau alat mesin pertanian meliputi
traktor roda 2, rice transplanter, pompa air, dan cultivator bagi tiap kelompok tani khususnya beras.
Pemberian alsintan diprioritaskan pada daerah sentra padi, sentra hortikulura, dan sentra peternakan. Lokasi
pemberian bantuan alsintan secara spesifik memenuhi operasional alat dan mesin pertanian itu pula35.
Namun penemuan mahasiswa KKN di Desa Ciawi Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta,
pemberian bantuan alsintan tidak meliat kondisi topografis, misalnya pemberian traktor di daerah
persawahan yang berbukit atau punduk-berundak sehingga minim penggunaan alsintan. Hal ini membuat
pemberian bantuan alsintan tidak berdampak secara signifikan di daerah tersebut36. Minimnya teknologi
yang dimiliki oleh petani untuk melakukan produksi, baik sebelum penanaman, saat penanaman, dan pasca
panen membuat petani kesusahan dalam beberapa kondisi. Karena, bantuan alat dan mesin pertanian
(alsintan) dan satuan produksi (saprodi) ini diharapkan dapat meningkatkan produksi, dan meningkatkan
efisiensi usaha tani. Dalam implementasinya, program Upsus dalam penyaluran bantuan alsintan dan
satuan produksi (saprodi) masih berpusat pada golongan yang secara financial sudah dapat dikatakan petani
maju. meningkatkan produksi, dan meningkatkan efisiensi usaha tani, namun dampak itu hanya terjadi pada
elit kelompok dan petani yang secara finansial sudah tergolong petani maju.

Alternatif Solusi 1. Jaringan Irigasi Adapun alternatif strategi yang bisa dilakukan adalah
pemilihan varietas dan metode pengelolaan air dengan metode macak-macak, intermittent atau berselang,
dan alternasi pengairan basah kering (PBK). Dengan cara ini areal sawah yang dapat diairi pada musim
kemarau menjadi 2 kali lebih luas. Prinsip teknologi hemat air adalah mengurangi aliran yang tidak
produktif seperti rembesan, perkolasi, dan evaporasi, serta memelihara aliran transpirasi. Hal tersebut bisa
dilaksanakan mulai saat persiapan lahan, tanam, dan selama pertumbuhan tanaman. Disamping hal itu,
umur varietas padi sawah berpengaruh terhadap tingkat konsumsi air. Makin pendek atau genjah (90-100
hari) umur tanaman padi, makin sedikit total konsumsi air bila dibanding dengan varietas padi sawah
berumur lebih panjang (>125 hari). Ciri varietas padi sawah yang relatif toleran terhadap kekurangan air
adalah bisa ditanam pada lahan sawah dan kering.
2. Pendampingan Pelaksanaan program memerlukan dukungan dari pasrtisipasi masyarakat.
Keberlangsungan program upsus pajale sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor pendampingn yang
dilakukan oleh mahasiswa, penyuluh, dan babinsa. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat partisipasi petani
yang mendapat pendampingan lebih besar dibanding petani yang tidak mendapatkan pendampingan.
Urgensi pendampingan petani dalam menjalankan program sangat penting karena pendamping harus
berperan aktif dan merangkap beberapa fungsi, yakni sebagai komunikator, fasilitator, advisor, motivator,
educator, organisator, dan dinamisator (Wahyudi 2015). Para pendamping juga perlu diberikan bimbingan
teknis atau forum diskusi sekaligus evaluasi secara periodik. Harapanya pemerintah daerah dapat
menyediakan pusat layanan informasi terkini seputar pertanian. Informasi tersebut berisi tentang gagasan-
gagasan baru dan perkembangan pertanian saat ini (Dewi et.al. 2016).

3. Distribusi Benih, Pupuk, dan Alat Mesin Pertanian Salah satu solusi untuk penyediaan benih
padi unggul yang baik dan bermutu adalah dengan adanya penangkaran benih sendiri atau bermitra dengan
pihak tertentu. Menurut

Yustiarni (2011) Penangkaran benih merupakan upaya untuk menghasilkan benih unggul sebagai
benih sumber maupun benih sebar yang akan digunakan untuk menghasilkan tanaman varietas unggul. Pada
penangkaran benih, benih sumber yang digunakan untuk penanaman produksi benih haruslah satu kelas
lebih tinggi dari kelas benih yang akan diproduksi.

Distribusi pupuk dipermudah dengan adanya sistem Kartu Tani bagi petani. Namun, sosialisasi
belum sepenuhnya tersampaikan kepada petani. Jika sosialisasi dan fungsi pendampingan berjalan dengan
lancar, sistem kartu tani akan berjalan dengan baik. Pasalnya, untuk mendapatkan subsidi perlu rapihnya
administrasi agar dapat diajukan kepada pemerintah. Perlu adanya perangkat desa yang fokus membantu
terkait administrasi pengajuan subsidi pupuk tersebut.

Minimnya alat mesin pertanian disetiap daerah diperlukan adanya strategi khusus agar setiap petani
bisa merasakan menggunakan alsintan. Jika setiap desa atau dusun memiliki koperasi unit desa untuk
mengelola alat mesin pertanian. Biaya penyewaan bisa lebih murah dan biaya tersebut dapat digunakan
untuk perawatan alat mesin pertanian.

4. Serangan Organisme Pengganggu Tanaman Salah satu masalah penting dalam pertanian adalah
organism pengganggu tanaman (OPT). Jenis OPT yang paling sering mengganggu di Indonesia adalah
hama. Hal tersebut disebabkan oleh iklim di Indonesia yang memungkinkan serangga untuk tumbuh dan
memenuhi siklus hidupnya tanpa ada gangguan yang berarti. Sistem pertanaman yang diaplikasikan juga
berpengaruh besar terhadap siklus hidup suatu serangga. Sistem penanaman secara terus-menerus untuk
memenuhi target hasil yang maksimal tanpa ada fase istirahat lahan atau bera, sangat memungkinkan
terjadinya ledakan hama. Siklus hidup hama tanaman perlu diputus dengan menerapkan system bera. Lahan
tidak ditanami apapun selama satu masa tanam. Selain memutus siklus hidup hama, pemberaan juga
berguna untuk mengembalikan hara tanah dan mikroorganisme yang penting bagi tanaman.Selain dengan
system padi-padibera, pemutusan siklus hidup serangga hama dapat dilakukan dengan pergantian
komoditas dengan padi-palawija, padi-padi-palawija, dan padi-padi-sayuran (Andayani 2007).

Daftar Pustaka

Andayani, A. 2007. Analisis peramalan kebutuhan dan distribusi pupuk pada setiap kecamatan di
Kabupaten Karawang. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Dewi RY, Wibowo A, dan Ihsaniyati H. 2016. Kebutuhan dan perilaku pencarian informasi pendamping
program upaya khusus peningkatan padi, jagung, kedelai (Upsus Pajale) di Kabupaten Sragen. Agrista (IV)
No. 3: halaman 216-229

Swatika, DKS. 2011. Membangun kemandirian dan kedaultan pangan untuk mengentaskan petani dari
kemiskinan. Pengembangan Inoovasi Pertanian (II) No.4: halaman 103117

Wahyudi, Dedi. 2015.Urgensi Pendampingan terhadap tingkat partisipasi petani dalam

pelaksanaan program swasembada dan swasembada berkelanjutan di Kota

Padangsidempuan. Agrica Ekstensia (X) No. 1: halaman 57-63

KAJIAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH


PENDAHULUAN

Oleh : Koordinator wilayah BSJB

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional). Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tertulis bahwa
Pendidikan adalah Hak Segala Bangsa. Begitulah yang kita tahu definisi pendidikan juga hakikat
pendidikan itu sendiri.

Pendidikan telah diamanatkan dengan jelas di Pembukaan UUD 1945 & pasal 31 UUD1945 beserta
perundang-undangan lainnya yang merupakan turunan dari UUD 1945. Namun pada prakteknya berbagai
macam perundang-undangan dan kebijakan dibuat tidak sebagaimana mestinya, salah satu yang masih
hangat adalah kurang meratanya pendidikan akibat APBD 20% yang seharusnya dialokasikan untuk sector
pendidikan di daerah masingmasing banyak yang belom terpenuh serta banyaknya sekolah yang belum siap
melaksanakan kurikulum 2013 .

Nawacita tinggal nawacita. Hal-hal tersebut rasanya sangat sulit dilakukan oleh pemerintah (re: Jokowi
dan Kemendikbud). Program Wajib belajar 12 tahun hanyalah tinggal nama. Kenyataannya data yang
diambil Ikhtisar Data Pendidikan tahun 2016/2017 Angka Partisipasi Kasar Sekolah menengah hanya
mencapai 81,95% yang menandakan bahwa masih ada 18.05% yang tidak melanjutkan sekolah di rentang
usia itu. Padahal ketika kita melihat Program Wajar 12 tahun seharusnya angka partisipasi kasar bisa
mencapai 100% bahkan lebih.

Pendidikan mendapatkan 20% dari APBN Indonesia atau sekitar 444,131 triliun rupiah. Namun, seperti
yang bapak Wakil Presiden kita katakan dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan bahwa
anggaran pendidikan terus naik namun tidak terlihat dampak yang signifikan. Lantas, kita bisa saja berfikir
anggaran sebesar itu dibawa kemana? Maka dari itu, hari ini sebagai mahasiswa yang berasal dari Kampus
LPTK apa yang bisa kita lakukan untuk Pendidikan Indonesia?

Wajib Belajar 12 Tahun, semanis janjimu Tuan!!!


Oleh : BEM Fakultas Teknik UNJ

KORWIL BSJB

Pendidikan itu bukan sekedar hak, tetapi juga merupakan kewajiban warga negara. Sebagai hak, pasal 28C
ayat 1 UUD 1945 dan dipertegas lagi dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengatakan, bahwa: “setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan”. Kemudian, terkait pendidikan sebagai kewajiban, pasal 31
ayat 2 UUD 1945 menegaskan, bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”.

Melihat Nawacita yang dilontarkan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia kita yakni janji Wajar 12 tahun
ini dalam dokumen nawacita dan bagaimana dengan realitas saat ini, 4 tahun berjalannya pemerintahan
yang menjanjikan hal tersebut. Tiga dari tujuh misi misi Jokowi-JK dalam Nawacita, yakni berbicara
mengenai pendidikan, yakni:

Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. (Butir 4)

Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing. (Butir 5) Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam
kebudayaan.(Butir 7) Selanjutnya, apabila kita melihat lagi hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan
dalam 9 agenda prioritas (Nawa Cita) yang merupakan hasil perasan dari 31 agenda strategis Jokowi-JK,
maka kita akan menemukan 1 butir dalam 9 butir Nawa Cita yang memuat berkaitan dengan Wajar 12
tahun, yakni: Butir 5:

“Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan
dengan program „Indonesia Pintar‟ dengan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan”.

Penjabaran lebih lengkap dari agenda kebijakan pendidikan Jokowi-JK terdapat dalam rincian 31 agenda
strategis yang juga termuat dalam Dokumen Visi-Misi. Penjabaran ini khusus, terdapat pada butir 1 bagian
“Berdikari dalam Bidang Ekonomi” dan “Berkepribadian dalam Bidang Kebudayaan”. Pada butir 1 bagian
“Berdikari dalam Bidang Ekonomi” memuat bahwa: “Kami akan mendedikasikan pembangunan kualitas
sumber daya manusia melalui: Penerbitan UU wajib belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya

pendidikan dan segala pungutan baik di sekolah negeri maupun swasta tampak adalah salah satu dari agenda
aksi yang perlu dilakukan”.

Sedangkan pada butir 1 dari bagian “Berkepribadian dalam Bidang Kebudayaan” juga memuat 10 prioritas
terkait pendidikan. Ada satu butir yang secara eksplisist menegaskan terkait Wajar 12 tahun, yakni butir 9,
yaitu: “Memperjuangkan UU Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dan
menghapus segala pungutan.” Uraian ini kembali mempertegas, bahwa Wajar 12 tahun itu merupakan janji
manis dari Jokowi-JK dalam Nawacita. Namun bagaimana dengan realitas saat ini di 4 tahun berjalannya
pemerintahan? Yang pasti hari belum terwujud wajib belajar 12 tahun itu. Alasan paling pokok adalah
anggaran pendidikan. Di satu sisi belum ada aturan berbentuk UU yang mengatur terkait Wajar 12 tahun
yang berkali-kali dijanjikan ini.

Paripurna Pendidikan Oleh : BEM Se-Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ


KORWIL BSJB

Pendidikan adalah hal pokok yang akan menopang kemajuan suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa dapat
diukur dari kualitas dan sistem pendidikan yang ada. Tanpa pendidikan, suatu negara akan jauh tertinggal
dari negara lain. Pendidikan merupakan sebuah keharusan bagi bangsa Indonesia demi perkembangan
pembangunan, sebab dasar pembangunan yang strategis adalah pendidikan. Pendidikan haruslah digunakan
untuk mendidik segenap rakyat, bukan hanya untuk beberapa golongan tertentu saja. Oleh karena itu tugas
negaralah yang harus mengatur hal tersebut untuk proses pencerdasan bangsa. Dalam Visi Nawacita atau 9
Agenda Prioritas Pembangunan Nasional, Pemerintahan Jokowi-JK memiliki fokus kerja untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. Rumusan implementasi dari visi tersebut,
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dimana
Pembangunan Pendidikan Indonesia dalam periode tersebut ditujukan untuk peningkatan daya saing global.

Dalam Survei Programme International Student Assessment (PISA) yang dirilis terakhir tahun 2015,
Pendidikan Indonesia mengalami peningkatan enam peringkat, yaitu dari 71 ke 64 dibandingkan tahun
2012. Dua tahun sebelumnya (PISA 2013), Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah atau
peringkat 71. Survei ini dilakukan di 72 negara Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD), yang melihat kemampuan membaca, sains, dan matematika pada anak yang berusia 15 tahun
dengan dipilih secara acak. PISA membuat peringkat tersebut dengan cara menguji pelajar usia 15 tahun
untuk mengetahui apakah mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan alam,
membaca, dan matematika yang diperlukan agar bisa berpartisipasi penuh dalam masyarakat modern. PISA
berlandaskan asumsi bahwa seseorang bisa sukses di ekonomi modern bukan karena apa yang mereka tahu,
tetapi apa yang bisa mereka lakukan dengan apa yang mereka tahu.

Bagaimana sistem pendidikan di Indonesia?

Sebenarnya, Indonesia menginvestasikan banyak sumber daya di bidang pendidikan peringkat keempat
dari 69 negara yang diurutkan oleh PISA. Pendidikan mendominasi pengeluaran sosial Indonesia dan 20
persen anggaran Indonesia dialokasikan di bidang pendidikan. Namun, ini

bukan berarti semua sekolah di Indonesia memiliki semua yang mereka butuhkan karena sekolah di
beberapa daerah masih belum difasilitasi dengan memadai. Pada Agustus 2015, di Konferensi Internasional
tentang Praktik Pengembangan dan Kebijakan Terbaik yang diselenggarakan Kementerian Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia, ahli perkembangan sosial World Bank Michael Woolcock
menyatakan Indonesia telah membangun sekolah, membuat kebijakan dan peraturan utama, merekrut
banyak guru serta mengumpulkan dan menganalisis data. Namun, Indonesia belum memiliki cetak biru
atau solusi kunci atas permasalahan-permasalahan ini.

A. Pembahasan dan Analisis Kajian

Permasalah-permasalahan tersebut dikerucutkan menjadi 5 poin utama yang dapat dikaji dalam pendidikan
di Indonesia saat ini, yaitu : Kurikulum 2013, Pemerataan Pendidikan, Wajib Belajar 12 tahun, Keadilan
Dalam Pendidikan, Menolak Kekerasan Dalam Pendidikan. Dari ke 5 permasalahan tersebut, BEM FIP
UNJ 2018 sudah melakukan pembagian diskusi dan kajian online yang dilaksanakan oleh 7 prodi (program
studi) yang ada di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.

1. Kurikulum 2013 Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni berkembang secara dinamis. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pengembangan kurikulum harus dilakukan karena adanya tantangan yang harus dihadapi, baik tantangan
internal maupun eksternal. Seperti saat ini Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006
dikembangkan menjadi Kurikulum 2013. Kurikulum bagaimanapun baiknya tentu masih sangat tergantung
kepada para guru. Oleh karena itu perubahan mindset para guru tentu menjadi sangat penting sebagai
prasyarat keberhasilan implementasi kurikulum. Dengan demikian, keberhasilan penerapan kurikulum
2013 juga sangat tergantung kepada perubahan mindset para guru di dalam mendidik para siswa. Guru
dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 berpedoman kepada Lampiran IV Permendikbud No. 81. A
Tahun 2013, dimana Kurikulum 2013 mengacu kepada 8 standar pendidikan yang mengalami perubahan
hanya terjadi pada 4 standar saja yaitu standar isi, standar proses, standar penilaian dan standar Kompetensi
lulusan. Perubahannya jika KTSP Standar Nasional Pendidikan (SNP) berdasarkan PP No 19 tahun 2005,
sebagai acuan minimal penyelenggaraan pendidikan untuk seluruh lembaga pendikan dasar dan menengah
di seluruh wilayah hukum Indonesia. SNP ini memiliki 8 standar, perbedaannya jika pada kurikulum 2006
semua standar dilakukan oleh sekolah sebagai KTSP dengan pemerintah memberikan kebebasan pada
sekolah untuk menentukan silabus sendiri, akan tetapi realitasnya implementasi kurikulum 2006 di temukan
hampir tidak ada sekolah yang mampu membuat sendiri silabus. Kurikulum 2013 dengan konsep yang
sangat bagus dan penekanan pada pendidikan karakter membuat kurikulum ini unggul dari kurikulum
terdahulunya namun pelaksanaannya justru membawa bencana, banyak guru yang belum paham sistem
pelaksanaan kurtilas bahkan sistem penilaian yang juga rumit. Lebih berbahaya lagi jika implementasi
kurikulum dilaksanakan ketika guru belum siap, sehingga berpengaruh buruk terhadap proses belajar dan
masa depan anak-anak. Minimnya pedoman yang disiapkan, menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi
pemerintah. Pemerintah harus segera menyiapkan kekurangan tersebut. Masalah ketidaksesuaian buku juga
harus segera ditindaklanjuti, guru harus ikut aktif dalam menyaring substansi yang ada dalam buku terutama
yang diberikan kepada siswa sehingga tidak ada kesalahan pemahaman siswa terhadap materi yang
disampaikan. Namun apalah daya dari kebingungan yang terlanjur basah menghapiri, pemerintah
memutuskan untuk mengembalikan kurikulum 2006 bagi sekolah yang belum siap melaksanakan kurtilas.
Terjadi dualisme kurikulum dalam 1 sekolah, membuat sistem dalam satu sekolah tidak serempak. Kini
hadir isu bahwa kurtilas yang dipending karana kurang matang kini hadir dengan tampilan baru dan isi yang
lebih matang dan akan terlaksana di tahun 2018 secara serentak dan kurikulum itu bernama Kurikulum
Nasional.

2. Pemerataan Pendidikan Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negaranegara berkembang.
Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran
berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all. Umar Tirtarahardja dan S.
L. La Sulo, dalam bukunya Pengantar Pendidikan “Masalah Pemeratan Pendidikan” menyatakan tentang
dua masalah pokok pemerataan pendidikan yaitu: • Bagaimana semua warga negara dapat menikmati
kesempatan pendidikan. • Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan
kerja yang mantap untuk dapat terjun ke dalam kancah kehidupan bermasyarakat. Dalam UUD 1945
mengamanatkan bahwa tiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Ujung tombak
pelaksanaan UUD 1945 tersebut ialah di daerah. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 23
Ta hun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pendidikan dasar dan menengah telah diserahkan ke daerah.
Pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah yang bebas untuk semua orang merupakan perwujudan dari
deklarasi hak-hak asasi manusia PBB pada tahun 1948. Hak asasi untuk memperoleh pendidikan ini
kemudian diperkuat dengan Keputusan Konferensi UNESCO di Yom Tjien (Thailand) pada tahun 1990
dan Konferensi Dakkar. Perluasan dan pemerataan pendidikan merupakan suatu padanan kata yang
memiliki makna yang hampir sama. Perluasan pendidikan lebih menekankan bagaimana upaya pemerintah
untuk mengadakan sarana dan prasaran pendidikan, kemudian penyediaan sarana dan prasaran tersebut
mencapai seluruh pelosok nusantara atau daerah-daerah terpencil. Pemerataan pendidikan memiliki arti
yang lebih menekankan bagaimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah agar seluruh masyarakat dapat
memperoleh hak yang sama di dalam mengakses pendidikan. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara
si miskin dan si kaya, demikian juga tidak terdapat perbedaan antara masyarakat

kota dan masyarakat desa. Secara nasional, pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam rangka
menciptakan pemerataan pendidikan di Indonesia. Diantaranya dengan mengalokasikan anggaran
pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), membebaskan biaya bagi
sekolah dasar (SD), membuat program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), hingga bagi Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) mendapatkan bantuan bagi siswa-siswi
yang kurang mampu. Pada sisi lain, harus diakui upaya-upaya pemerintah tersebut belumlah berjalan secara
maksimal. Hal ini ditandai dengan masih tingginya angka putus sekolah yang terjadi di tengah masyarakat,
khususnya dari SMP menuju tingkat SMU, dan tidak menutup kemungkinan pula terjadi angka putus ekolah
dari tingkat SD menuju tingkat SMP. Padahal pemerintah telah mencanangkan Wajib Belajar Dua Belas
Tahun (WAJAR 12 Tahun) yang sebelumnya adalah Wajib Belajar Sembilan Tahun. 3. Wajib Belajar 12
Tahun Sebagai keberlanjutan dari program Wajib Belajar 9 Tahun, pada tahun 2012 ini Pemerintah Pusat
mencanangkan program Wajib Belajar 12 Tahun atau yang lebih dikenal dengan nama Pendidikan
Menengah Universal (PMU). Adapun payung hukum untuk program PMU ini yaitu Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No.80 Tahun 2013. Program ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan
keberhasilan pelaksanaan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sekaligus menyiapkan
generasi emas Indonesia 2045. Pemerintah Indonesia sejak tahun 2013 merintis program pendidikan
menengah universal atau pendidikan 12 tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2025 dan untuk
mendukung program ini, pemerintah membutuhkan anggaran Rp 25 triliun agar program wajib belajar ini
bisa dilaksanakan secara gratis ( M.Yunus, Tempo 2012 ). Meski telah ada berbagai program pemerintah
yang telah dilaksanakan seperti wajib belajar 12 tahun, akan tetapi masih ada saja warga atau masyarakat
yang tidak mendapatkan akses atau pelayanan pendidikan yang seharusnya dan juga beberapa daerah yang
masih belum memberlakukan wajib belajar 12 tahun. Jaringan Pemantau pendidikan Indonesia (JPPI)
melakukan penelitian pendidikan tentang orientasi anggaran pendidikan yang berkeadilan pada program
wajib belajar 12 tahun. Hasil penelitian menyatakan pemerintah belum memprioritaskan program yang
telah dicanangkan oleh pemerintah ini. Dari 20 Kabupaten atau kota, tidak ada satupun yang

mengalokasikan dana APBD untuk menjalankan program wajib belajar 12 tahun”. Kata Koordinator
Nasional JPPI, Ubaid Matraji saat ditemui. Apabila kita lihat presentase anggaran urusan pendidikan dalam
APBD yang tertulis didalam Biro PKLN 2016 hanya DKI Jakarta yang mengalokasikan dana pendidikan
sebanyak 20%, yang seharusnya dimana tertulis dalam Pasal 31 ayat 4 UUD 1945, UU Sisdiknas nomor 20
tahun 2003 (pasca putusan MK nomor 24/PPU-V/2007) didalam APBD wajib 20% nya dialokasikan untuk
pendidikan apabila hal itu tidak dijalankan dengan baik, kemungkinan program wajib belajar 12 tahun tidak
dapat berjalan maksimal bahkan tidak dapat terwujud secara signifikan, kemungkinan terbesar mereka yang
telah menyalahgunakan dana APBD untuk program wajib belajar 12 tahun masih merasa tenang sebab
masih belum terlihat sanksi yang telah diberlakukan apabila menyalahgunakan keuangan dana APBD untuk
pendidikan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara di berbagai tingkatan / jenjang pendidikan yaitu SD
yang berusia enam sampai dua belas tahun ( 6 – 12 ), SMP dua belas sampai lima belas tahun ( 12 – 15 ),
dan yang terahkir jenjang SMA / SMK lima belas sampai delapan belas tahun ( 15 – 18 ). Untuk memenuhi
hak warga negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

4. Keadilan Dalam Pendidikan Pada pasal 49 ayat 1 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) secara tegas mengatur bahwa: “Dana pendidikan selain gaji
pendidikan dan biaya pendidikan kedinasan, minimal wajib dialokasikan sebesar 20 persen dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Derah (APBD).” Lalu bagaimana
dengan realisasinya? Realisasi Anggaran Dana Pendidikan dalam APBD, provinsi DKI Jakarta APBD
untuk pendidikan 22 Persen, Kalimantan Selatan 9,8 Persen, Jawa Timur kurang dari 2 Persen, papua paling
kecil ujar Muhadjir. Lima daerah dengan alokasi dana pendidikan tertinggi di Indonesia yakni DKI Jakarta
22,3, Kalimantan Selatan 9,8

Persen, Yogyakarta 9,7 Persen, Kepulauan Riau 9,6 Persen, dan Maluku Utara 9,2 Persen. Sementara
alokasi dana terendah ada pada Jawa Timur 1,7 persen dan Papua1,4 Persen. Hampir seluruh daerah belum
terpenuhi APBD nya kecuali Jakarta. Ternyata pendidikan di Indonesia belum merata. Nawacita yang
digadang-gadang oleh pemerintahan Jokowi-JK yaitu “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia
melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan ‘Indonesia Pintar’ dengan wajib belajar 12 tahun
bebas pungutan.”

Berdasarkan Pasal 5 Ayat 2 UU No. 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa “Warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.” Pada
ayat 4 juga menjamin bahwa “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.” Selain itu, anak berkebutuhan khusus juga dapat memperoleh pendidikan
inklusi di sekolah umum. Dipertegas dengan Permendiknas nomor 70 tahun 2009 pasal 1 yaitu “sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya.” Pendidikan adalah ujuang tombak dari suatu peradaban. Melalui pendidikan, kita dapat
mengubah suatu bangsa ini menjadi lebih baik lagi. Para pendahulu kita telah merumuskan ini sejak 72
tahun silam, bahkan lebih dari itu mengenai pendidikan. Pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia
masih belum merata. Itu bisa dilihat dari: Anggaran APBD yang belum merata, kecuali di daerah Jakarta.

• Pendidikan bagi ABK yang belum merata. Masih banyak ABK yang belum memperoleh haknya. •
Fasilitas kebutuhan sekolah umum maupun khusus yang belum terpenuhi. Jika keadilan terhadap
pendidikan masih belum, maka kita sebagai kaum terdidik sudah seharusnya mengingatkan pemerintah agar
tidak main-main dalam mengambil kebijakan. Maka dari itu, mari kita perjuangkan bersama apa yang telah
dicita-citakan oleh para pendahulu yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan Nasional adalah
suatu proses penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan mengacu pada Pancasila dan UUD 1945 dan
ketika membicarakan mengenai masalah keadilan pendidikan di Indonesia maka kata keadilan pendidikan
tersebut dibagi dalam makro, messo, dan mikro. Pada tingkat mikro, kita akan membicarakan pada tingkat
sekolah, keadilan dalam pendidikan di kelas. Dimana tidak adanya perbedaan atau pengelompokkan
kelompok belajar, tidak adanya siswa yang pintar dipisah dengan yang tidak pintar, misalnya anak pintar
duduk di depan, anak yang tidak pintar duduk di belakang. Pada tingkat messo, contohnya terdapat pada
suatu wilayah yaitu Pemda, waktu itu sekolah SBI, RSBI, bertebaran dimana-mana. Pada suatu tingkatan
sistem pendidikan sebenarnya tidak sesuai, karena menimbulkan kesenjangan antara sekolah orang kaya,
sekolah pinggiran, atau sekolah biasa karena itu semua menimbulkan ketidakadilan, adil bukan berarti sama
rata. Kemudian pada tingkat makro berarti pada tingkatan suatu negara, dalam tahap ini diarahkan pada
Kemendikbud atau Kemristekdikti, penyelenggaran pendidikan yang seadil-adilnya. Keadilan pendidikan
dari mikro, messo, dan makro dilihat dari berbagai sudut pandang, dapat dilihat dari psikologis, sosiologis,
geografis, atau antropologis. Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak anak, dalam konteks
hukum internasional menegaskan kewenangan atributif negara untuk mengambil tindakan khusus
sementara (affirmative action) bagi sekelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai kelompok rentan
(vurnerable groups). Anak-anak termasuk ke dalam kelompok ini, menurut Human Rights Reference,
kelompok masyarakat yang tergolong rentan adalah: pengungsi (refugess), pengungsi dalam negeri
(internally displaced persons/IDP’s), kelompok minoritas (national minorities), pekerja migrant (migrant
workers), penduduk asli pedalaman (indigenous peoples), anak-anak (children), dan perempuan (women).
Artinya negara seharusnya melakukan intervensi secara aktif untuk menjamin hak-hak anak melalui upaya-
upaya yang secara khusus ditujukan

kepada kelompok ini sebagai penerima manfaat. Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberi
layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa
diskriminasi. Justru karena itulah pemerintah pusat dan daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Itulah sebabnya pemerintah pusat/daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pendidikan
dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 5. Menolak Kekerasan Dalam Pendidikan Fenomena
kekerasan di lingkungan sekolah akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Kekerasan yang
menimpa peserta didik di lingkungan sekolah menjadi topik hangat pemberitaan di media massa. Kasus
kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan, mengindikasikan bahwa mainstream kekerasan masih
digunakan dalam pola pembelajaran di dunia pendidikan. Kekerasan kerap kali dilakukan terhadap siswa
di sekolah dengan dalih menumbuhkan kedisiplinan. Ada beberapa bentuk kekerasan yang umumnya
dialami siswa, antara lain kekerasan fisik, yaitu bentuk kekerasan yang mengakibatkan luka pada siswa,
seperti dipukul dan dianiaya. Selain itu juga kekerasan psikis, yaitu kekerasan secara emosional yang
dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti
perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah,
jelek, tidak berguna dan tidak berdaya. Setiap bulannya terdapat 30 kasus kekerasan yang diadukan kepada
lembaga konseling Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sebanyak 60% merupakan korban kekerasan
ringan, berupa kekerasan verbal atau cacimaki, sedangkan 40% sisanya mengalami kekerasan fisik hingga
seksual. Tindakan-tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap
anak-anak (Solihin, 2004:2013). O'Sullivan (Urban Economics: 2000) membuat analisis menarik tentang
faktor dan indikator yang membuat anak-anak sering terlibat dengan praktik kekerasan, baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Dalam pandangannya, kekerasan yang dilakukan seorang siswa sesungguhnya
merupakan dampak langsung dari kebijakan tentang ukuran ruang kelas (class size), sumber pembiayaan
sekolah (school financial resources), kurikulum (the curriculum), efek pergaulan sejawat (peer effects), dan
latar belakang orangtua

(parents' background). Pertanyaannya ialah, mana di antara faktor dan indikator itu yang paling determinan
dan dominan dalam kasus dan praktik kekerasan para siswa kita. Keikutsertaan Indonesia dalam
penandatanganan Konvensi PBB untuk Hak-hak Anak, pada artikel ke-37, jelas dinyatakan bahwa negara
menjamin tidak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau tindakan kekejaman, tindakan tidak
manusiawi maupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman. Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO
ke 182 dan telah dikuatkan kembali dengan adanya Undangundang Nomor 1 Tahun 2000 tentang
pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Akan tetapi,
sampai saat kini implikasi terhadap pelindungan terhadap anak jalanan masih kurang terlalu mendapatkan
perhatian yang serius. Belum lagi faktor latar belakang orangtua yang juga menyumbang signifikan
terhadap munculnya perilaku kekerasan siswa. Jika ditambah faktor kurikulum dan cara sekolah mengelola
dan membuat perencanaan anggaran pembiayaan sekolah, bukan tidak mungkin faktor itu juga ikut
menyuplai praktik kekerasan terhadap siswa. Secara sistemik, kurikulum pendidikan kita seperti abai
dengan upaya penumbuhan perilaku anak yang damai dan prososial. Proses pembelajaran dilakukan dengan
cara yang rigid dan miskin kreativitas sehingga siswa kita seperti tak berdaya ketika menghadapi hadangan
budaya dan gaya hidup hedonis yang semakin kompleks. Selain itu, berdasarkan riset di beberapa kali
pelatihan tentang efektivitas pembiayaan sekolah berbasis kebutuhan siswa, skema pembiayaan sekolah di
dalam RAPBS sangat miskin ide yang mampu menggiring siswa untuk berperilaku positif. Kasarnya, cara
sekolah menyusun RAPBS jangan-jangan merupakan faktor pemicu munculnya budaya kekerasan di
kalangan siswa karena indikasi korupsinya sangat kuat. Di Indonesia ada lembaga yang memang memberi
perhatian lebih kepada perlindungan anak yaitu KPAI. Data dari KPAI, menemukan 218 kasus kekerasan
seksual anak pada 2015 kemudian menurun menjadi 120 kasus pada 2016. Sementara pada 2017 tercatat
116 kasus. Ini akan terus terjadi jika tidak ditanggulangi dengan baik. Kesepakatan tentang penanganan
konflik di sekolah bukan saja penting untuk dimasukkan ke struktur kurikulum secara formal, melainkan
juga bisa masuk ke statuta sekolah yang mengatur segala urusan konflik secara jelas berdasarkan struktur
sekolah yang efisien dan permanen. Membangun komitmen pendidikan damai, dengan demikian, ialah kata
kunci yang harus dilakukan komunitas sekolah dalam rangka merancang bangunan resolusi konflik yang
memadai di lingkungan sekolah agar

anakanak kita terhindar dari semua perilaku kasar dan keras di kemudian hari seperti yang kita lihat hari-
hari terakhir ini. Secara integratif, pendekatan terstruktur di dalam sekolah merupakan sebuah keniscayaan
karena ini berarti sekolah sedang secara serius memikirkan mekanisme konflik dan penanganan kekerasan
secara integratif.

B. Kesimpulan

Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensipotensi pembawaan
baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.
Pendidikan baik untuk kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak, yang harus dipenuhi
sepanjang hayat, tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang
sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup
mereka. Secara umum pendidikan adalah pengaruh, bantuan atau tuntutan yang diberikan oleh orang yang
bertanggungjawab kepada anak didik Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan anak di Indonesia
senantiasa dilakukan dengan mengutamakan pendidikan sebagai program kerja utama pemerintah di
samping program-program lainnya. Mengingat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
ditegaskan tujuan dari bangsa Indonesia adalah: “…mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman. Dewasa ini pendidikan nasional telah merupakan subordinasi dari
kekuatankekuatan politik praktis. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan
yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Hal ini berarti pendidikan
telah dimasukkan di dalam kancah perebutan kekuasaan oleh partai-partai politik. Pendidikan bukan lagi
bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, tetapi untuk membangung kekuatan dari politik
praktis tertentu untuk kepentingan golongan atau pun kelompoknya sendiri. Didalam pandangan ini politik
ditentukan oleh dua paradigma, yaitu paradigma teknologi dan paradigma ekonomi. Proses pendidikan pada
hakikatnya merupakan suatu proses pemberdayaan, yaitu suatu proses untuk mengungkapkan potensi yang
ada pada manusia sebagai individu yang selanjutnya dapat memberikan sumbangan kepada pemberdayaan
masyarakat dan bangsanya.

KAJIAN KARTU INDONESIA PINTAR (KIP)

Oleh : BEM UNJ

KORWIL BSJB

Pasal 31 ayat 1 “ Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”,

Kartu Indonesia Pintar merupakan program perdana pemerintah Jokowi yang sebagai bagian dari Kartu
Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Program Indonesia Pintar bertujuan untuk
meningkatkan akses anak usia sekolah dari keluarga miskin untuk bersekolah. KIP merupakan kartu yang
ditujukan bagi keluarga miskin dan rentan miskin yang ingin menyekolahkan anaknya (usia 7-18 tahun)
secara gratis. Penerima KIP diberikan dana tunai dari pemerintah secara reguler yang tersimpan dalam
fungsi kartu KIP untuk bersekolah secara gratis, baik yang telah terdaftar maupun yang belum terdaftar di
sekolah maupun madrasah agar angka putus sekolah bisa turun drastis. Sehingga program KIP (Kartu
Indonesia pintar sudah menjalankan amanat konstitusi Pasal 31 ayat 1 “ Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan”, diikuti ayat 2,3,4 sebagai kesatuan utuhnya. Program KIP pun Seperti yang tertera
di UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Namun dalam pelakasanaannya ternyata masih terdapat beberapa masalah yang bisa dirasakan dampaknya
saat ini. Dalam temuan ICW (Indonesia Corruption Watch) yang dilakukan di 4 daerah yaitu : kabupaten
kupang, kabupaten blitar , kota yogyakarta dan medan didapatkan empat permasalahan yang menyebabkan
tidak berjalan totalnya program KIP. Masalah tidak terdaftarnya masyarakat miskin ke dalam program KIP
mencapai 41,9 persen. Hal ini disebabkan kurang akuratnya data yang digunakan pemerintah.
Kemendikbud melakukan kebijakan pemangkasan dana dari 10,3 T dengan jumlah sasaran 17,9 anak pada
tahun 2016 menjadi 8,6 T dengan jumlah sasaran 6.5 juta anak pada tahun 2017. Pak Muhadjir menjelaskan,
penyesuaian atau pengurangan sasaran penerima KIP tahun 2017 dilakukan berdasarkan perhitungan
terdapat siswa usia 20-21 tahun yang di tahun mendatang tidak lagi berada di tingkat sekolah dasar dan
menengah. Padahal menurut data yang ditemukan ICW masih terdapat 41,9 persen warga miskin di daerah
kabupaten kupang, kabupaten blitar, kota Yogyakarta dan medan yang belom terdaftar ke dalam program
KIP. Apabila dana KIP dipangkas lantas

bagaimana untuk memberikan biaya pendidikan kepada warga miskin di daerah kabupaten kupang,
kabupaten blitar, kota Yogyakarta dan medan ?

Belum selesai masalah tersebut, dalam pelaksanaannya distribusi kartu dan pencairannya juga mengalami
permasalahan. Dalam rapat dengar pendapat bertemakan “membangun kualitas sumber daya manusia
melalui program Indonesia pintar” dikatakan masih banyak ketidaktahuan orangtua tidak mengetahui
bahwa peserta didik memperoleh bantuan KIP. Hal tersebut menyebabkan dana yang disubsidikan
terhambat di Bank yang ditunjuk mendikbud untuk menyalurkan dana subsidi KIP. Hal ini membuktikan
bahwa masih lemahnya sosialisasi secara massif dari peran-peran lembaga terkait kepada para sasaran
penerima KIP. Permasalahan terjadi pula pada lembaga Bank sebagai penyalur dana susidi kepada penerima
di daerah Solo. Pada tahun 2017 terdapat subsidi dana sebanyak 2 miliar 90 juta yang disubsidi pemerintah
ke daerah solo untuk 41 SMK dengan jumlah penerima 2.750 siswa kelas X, XI, dan XII. Bantuan tersebut
bisa dicairkan siswa dan orang tua di bank yang telah ditunjuk Kemendikbud. Namun dana subsidi tersebut
tertahan di Bank penyalur subsidi dana akibat penggelapan dana yang dilakukan salah satu oknum teller
bank. Kerugian dari penggelapan dana tersebut mencapai 725.500.000 sehingga mengakibatkan , sebanyak
1.039 siswa dari 32 SMK tidak menerima bantuan. Sementara sisanya sebanyak 1.711 siswa sudah terima
bantuan dengan nilai sebesarr Rp 1.364.500.000. Permasalahan lain pun terdapat pada tidak terkontrolnya
dana yang telah diterima oleh masarakat. Menurut laporan bank penyalur dana, banyak dana bantuan yang
digunakan untuk halhal yang di luar pendidikan. Sehingga perlu diadakannya sosialisasi secara intensif
terhadap masyarakat penerimaa bantuan serta sistem formula baru yang memungkinkan bank dapat
langsung mentransfer dana pendidikan murid ke rekening sekolah. Dari banyaknya berbagai permasalahan
diatas maka perlu dilakukan evaluasi oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan berupa keakuratan data
penerima bantuan KIP dengan jumlah kemiskinan di Indonesia. Selain itu perlu juga dilakukan monitoring
terhadap pendistribusian dana bantuan KIP oleh kementrian terkait yakni mendikbud terhadap pihak
penyalur dan penerima dana bantuan KIP. Terakhir, perlu juga presiden untuk menanyakan progress dan
memantau lebih dekat terkait pelaksaaan KIP oleh mendikbud, bank penyalur hingga masyarakat yang
menerima bantuan dana

KAJIAN PENDIDIKAN TINGGI

HADIAH KEMENRISTEKDIKTI : PERGURUAN TINGGI ASING BEREPUTASI MASUK KE


INDONESIA

Oleh : BEM UNJ


Civitas akademika Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia dikejutkan oleh pernyataan yang dibuat oleh
Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristekdikti) Mohamad Nasir. Isi dari pernyataan tersebut
adalah bahwa Indonesia sudah mengizinkan untuk Perguruan Tinggi Asing (PTA) didirikan. Hal ini
didasari oleh UU No.12 tahun 2012 dalam BAB VI pasal 90 mengenai Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
oleh Lembaga Negara lain yang berbunyi :

(1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perguruan
Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di
negaranya. (3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan
Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Perguruan Tinggi lembaga
negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. memperoleh izin Pemerintah; b. berprinsip
nirlaba; c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan d. mengutamakan
Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia. (5) Perguruan Tinggi lembaga negara lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung kepentingan nasional.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.37

Namun beredarnya isu ini membuat pro kontra di masyarakat lingkungan kampus itu sendiri. dilansir dari
media dalam jaringan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko
menegaskan bahwa mereka menolak PTA berdiri di Indonesia38. Penolakan ini terjadi karena nantinya
PTA yang akan didirikan di Indonesia harus bermitra dengan PTS yang ada di Indonesia.

Hal ini tidak sejalan dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi yang di tahun 2016 hanya
mencapai 28.1%39. Walaupun meningkat dari tahun sebelumnya namun pendirian PTA bukanlah solusi
untuk meningkatkan APK-PT.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) telah menyebarkan angket tertutup
kepada seluruh mahasiswa UNJ. Didapatkan data bahwa 74.1% tidak setuju dengan adanya pendirian PTA
di Indonesia. Kabarnya, jumlah kuota perguruan tinggi asing yang akan ke Indonesia menurut menteri
pendidikan hanya 5 sampai dengan 10 perguruan tinggi saja40. Sejauh ini program studi yang akan dibuka
adalah menyangkut STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Masih banyak
pertanyaan yang muncul ketika program ini dinyatakan oleh Menteri Ristekdikti. Pemerintah pun belum
bisa memastikan implementasi dan pemetaan dari pendirian PTA ini beberapa pertanyaan yang haru
dijawab oleh Kemenristekdikti adalah
1. Jika UU Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 90 menyebutkan bahwa lebih mengutamakan dosen dan
tenaga kependidikan warga negara Indonesia, lantas apakah sama kualitas mahasiswa perguruan
tinggi asing di Indonesia dengan perguruan tinggi luar negeri? Karena mahasiswa yang kuliah di
Luar Negeri bukan hanya untuk mendapatkan title saja tetapi juga untuk dapat pengalaman hidup
disana
2. Apakah PTA ini akan memakai biaya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau tidak?

Maka dari itu, beberapa solusi yang kami tawarkan adalah

Mengapa Indonesia tidak membangun kualitas dosen atau memperbanyak dosen? Dengan begitu,
mutu dan kualitas perguruan tinggi maupun mahasiswanya semakin membaik.

Mengapa pemerintah tidak menambah anggaran untuk perguruan tinggi yang ada di Indonesia agar
dapat menambah dosen yang berkualitas? Dosen yang kurang berkualitas pun dapat disekolahkan lagi
agar mampu mencapai kompetensi profesional. Lebih memperbaiki sistem lama daripada sistem baru
yang masih belum jelas. Hal yang ditakutkan adalah ketika membuat suatu sistem baru, sistem ini malah
disalahgunakan. Misalnya membuat ijazah palsu dan sebagainya.

KREDIT (A.K.A HUTANG) PENDIDIKAN (STUDENT LOAN) : PENUNTAS MIMPI, KULIAH


DI PERGURUAN TINGGI

Oleh : BEM UNJ

KORWIL BSJB
Kementrian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi kembali memberikan hadiah oleh Pemerintah
Indonesia setelah hadiah pertama yaitu akan didirikannya Perguruan Tinggi Asing (PTA)41. Hadiah
ini cukup menggiurkan kalangan masyarakat alasannya sebagai penuntas mimpi masyarakat untuk
kuliah di perguruan tinggi. Dilansir dari berita dalam jaringan, 23 Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
digandeng oleh salah satu Bank Badan Usaha Milik Negara yaitu PT. Bank Tabungan Negara (BTN)
untuk kerjasama mengenai student loan ini42. Salah satu PTN yang digandeng adalah tempat kita
belajar dan berkembang saat ini yaitu Universitas Negeri Jakarta. Pelaksana Harian (PLH) Rektor UNJ
Prof. Intan Ahmad hadir dan ikut menandatangani kerjasama ketika Peluncuruan Kredit Pendidikan
BTN di Gedung D Kemenristekdikti.

UU nomor 12 tahun 2012 rupanya telah mengatur mengenai kredit pendidikan ini dalam pasal 76 yang
berbunyi :

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak
Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan
peraturan akademik. (2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara memberikan: a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi; b. bantuan atau membebaskan
biaya Pendidikan; dan/atau c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau
memperoleh pekerjaan. (3) Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima
pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan
kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.43

Jika kita lihat ayat 2 butir c menjelaskan bahwa mahasiswa dapat mendapatkan pinjaman dana tanpa
bunga yang harus dilunasi ketika lulus nanti. Tetapi, hal ini tidak sejalan dengan kredit pendidikan yang
telah dikeluarkan oleh salah satu bank tadi yang memberikan kredit pendidikan dengan bunga 6.5%
selama 5 tahun44. Juga kredit ini tidak diberikan secara cumacuma untuk calon mahasiswa yang kurang
mampu tapi calon mahasiswa yang ingin meminjam dilihat kondisinya, jikalau memang ada
kemungkinan tidak bisa membayarnya maka bank tidak akan memberikan pinjaman tersebut.
Berbagai pro dan kontra telah dikemukakan oleh beberapa mahasiswa. Mahasiswa yang pro terhadap
kebijakan ini mengatakan bahwa ini merupakan salah satu upaya pemerintah agar banyak yang bisa
menduduki masa Peruruan Tinggi. Namun, beberapa mahasiswa yang kontra mengatakan bahwa ini
merupakan suatu langkah yang tidak baik karena nanti orientasi ketika sudah lulus adalah mencari
pekerjaan bukan untuk memajukan bangsa atau sebagainya, akan tetapi mencari pekerjaan untuk
melunasi hutang-hutangnya selama kuliah di perguruan tinggi. Belum lagi jika kita kaji secara
perspektif syariah Islam maka akan timbuo masalah baru. Amerika merupakan negara yang sudah
menerapkan student loan ini. Sejak tahun 1990 Amerika sudah menerapkan kebijakan ini. Dikutip dari
salah satu paper yang dibuat oleh mahasiswa John Hopkins University mengatakan bahwa “Student
loans pose a systemic threat to the economy, and their proliferation threatens to slow the growth of the
broader economy”. Jika kita terjemahkan kedalam Bahasa Indonesia yaitu “ Pinjaman mahasiswa
(kredit pendidikan) menimbulkan ancaman sistemik terhadap ekonomi, dan proliferasi mereka
mengancam perlambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih luas”.45 Jadi, dari sudut pandang ekonomi
pun akan memberikan dampak kedepannya. Lantas, apakah kita hanya diam dalam menanggapi isu ini?

Mengenai student loan ini, ia sudah menjadi isu sendiri di kalangan mahasiswa. Iaselalu didiskusikan
di tengah obrolan-obrolan receh aktivis mahasiswa bahkan sampai mahasiswa biasa. Ia menjadi suatu
momok tersendiri untuk kalangannya.

Sebenarnya apa itu Student Loan? Student Loan adalah suatu kebijakan yang berrsifat opsional, dimana
kebijakan itu mengenai pemberian dana pinjaman pendidikan kepada calon penerima dana. Student
Loan ini sebenarnya menguntungkan, bagi orang-orang yang memiliki manajemen waktu yang baik.
Student loan ini dapat dilakukan dalam tingkat S1, S2, dan S3

Untuk Pelaksanannya, Student Loan ini sudah lebih dulu diterapkan pada tahun 1968 di Eropa. Negara-
negara yg telah melakukan Student Loan ini, selain Amerika adalah Iggris, Jerman, Finlandia, Belanda.
Sedangkan di Indonesia ini sudah diterapkan pada tahun 1980an. Dan menurut penelitian Alon bright
dan ... mengenai bahwa negara berkembang ini belumlah cukup mampu dalam melaksanakannya
student loan ini dikarenakan masih rendahnya pendapatan kapitaknya masih rendah. Walaupun
demekian, pada nyatanya di tahun 1980 penerapan student loan di indoensia ini bisa dikatakan berhasil
karna banyaknya mahasiswa yg mampu untuk membayarkannya dan membuat rugi bank.

Kemudian dikarenakannya Student Loan yg bersifat opsional ini,tidak wajib diambil, maka sebenarnya
yg menjadi masalah adalah orang-orang yg mengambilnya sbg suatu pilihan. Kenapa?? Karna bisa jadi
ia tergoda dengan pinjaman, dan tidak tahu dampak apa yg akan ia rasakan nantinya. Makanya ketika
sebelum memilihnya, diperlukan berfikir panjang. Maju satu langkah, namun memikirikan 5 langkah
yg sesudahnya.

Dampak dari student loan ini apa? ia menimbulkan suatu kesenangan yg tertunda kesakitannya.
Dimana si pengambil dana pinjaman ini hauslah diperingati bahwa ia menanggung hutang pendidikan
yg harus dibayarkan selepas ia selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan.Sebenarnya ia bisa saja
melakukan cicilan terhadap hutang pendidikannya itu bahkan sebelum selesaiya ia kuliah, namun lagi,
orang2 yg bisa melakukannya adalah orang2 yg tahu dan dapat mempertanggungjawabkannya karna ia
memiliki manajeman yg baik. Namun bagaimana dengan yg tidak memiliki manajemen yg baik? maka
sebaikya disarankan untuk tidak mengambilnya. karna kembali lagi student loan ini bersifat opsional,
tidak wajib.

Yang menjadi masalah selanjutnya adalah bunga yg cukup besar dalam studnet loan ini,

yaitu 6,5% per tahunnya. Berikut rinciannya dengan contoh ukt satu tahun adalah 12 juta untuk

jenjang S1 tahun pertama: 12 juta x 6,5% = 780.000 + 12 juta= 19,8 juta tahun kedua 19,8 juta

x 6,5%= 1.287.000 + 19.800.000=21.087.000 tahun ketiga 21.087.000 x 6,5 % = 1.370.655 +

21. 087.000= 22.457.655 tahun keempat 22.457.655 x 6,5% = 1.459.800 + 22.457.655

=23.917.500

Total dana pendidikan yg harus dibayarkan dengan memakai student loan sebesar 87.262.155
Sedangkan total biaya yg dikeluarkan oleh mahasiswa dengan jumlah ukt sama namun tidak memakai
student loan adalah 12 juta x 4 tahun = 48 juta. Maka pemakaian student loan ini hampir dua kali lipat
dari total dana pendidikan yg harus dikeluarkan selama ia masa studi S1.

Kemudian dampak lain dari student loan ini adalah (kekhawatiran) pengurangan alokasi dana beasiswa
kepada mahasiswa kurang mampu sebab adanya student loan ini, selanjutnya secara tidak sadar student
loan ini menaikan rasa individualis masing-masing mahasiswa, sehingga secara tidak sadar Pemerintah
berusaha menekan kekritisan mahasiswa dalam mengkritik pemerintah karena terbayang atas hutang
dana pendidikan yg harus ia emban.

Sebenarnya untuk penerapannya student loan ini yang harus diperhatikan adalah UU Sisdiknas no. 12
tahun 2012 yg salah satunya mengatur kredit pendidikan, kemudian juga harus dilihat adalah UU
perbankan tahun 1998. Dimana dalam UU Sisdiknas no. 12 tahun 2012 ini dalam pasal 76 ayat 2 yg
berisi

a. beasiswa kepada mahasiswa berprestasi b. bantuan atau membebaskan biaya pendidikan c. pinjaman
dana tanpa bunga yg wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan
Jika dilihat dari UU Sisdiknas di atas, maka seharusnya pinjaman dana itu haruslah tanpa bunga. Maka
menjadi suatu kontradiksi dengan student loan yang berbunga 6,5 per tahun sampai selesai masa
studinya.

Maka dapat disimpulkan bahwa Student Loan ini bersifat opasional, berbunga, diberikan pinjaman oleh
bank, bank mengincar keuntungan di bidang pendidikan, melalui student loan pemerintah berusaha
menekan kritik-kritik mahasiswa dengan dibayang-bayangi oleh hutang dana pendidikan.Student loan
pun tetaplah menguntungkan dan tak bisa dihindari lagi, hanya yang perlu diperhtaikan lebih dalam
lagi adalah penyelengaraan dan pengawasan kebijakan student loan ke depannya, dimana berusaha
meminimalisir penyalahgunaan dana tersebut oleh berbagai pihak. Karena sejatinya kebijakan student
loan ini tetap sangat merugikan calon mahasiswa.

KAJIAN UANG KULIAH TUNGGAL

Oleh :BEM UNJ

KORWIL

Uang Kuliah Tunggal atau lazim disebut UKT merupakan suatu sistem pembayaran uang kuliah pada
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pengganti dari sistem pembayaran dengan uang pangkal. Dimana
penerapan uang pangkal pada setiap fakultas dan universitas berbedabeda, perbedaaan signifikan terjadi
antara mahasiswa regular dengan yang non regular. Pengalokasian dana dari uang pangkal yang tidak
jelas juga menjadi alasan penghapusan uang pangkal.

UKT adalah suatu sistem pembayaran uang kuliah yang dibebankan kepada mahasiswa untuk diringkas
menjadi satu kali pembayaran tiap semester hingga lulus, tanpa ada pungutan lain selain pembayaran
tertentu seperti pembayaran Kuliah Kerja Nyata (KKN), uang praktikum dan lain sebagainya. Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) menjadi acuan pemerintah untuk
menerapkan sistem pembayaran UKT. Berdasarkan ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Menteri berwenang menetapkan standar satuan biaya
operasional Pendidikan Tinggi yang menjadi dasar perguruan tinggi negeri dalam menetapkan biaya
yang ditanggung oleh mahasiswa. Sesuai dengan ketentuan ayat (4) Pasal 88 tersebut, bahwa biaya
yang ditanggung oleh mahasiswa harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang
tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Dengan alasan meringankan beban mahasiswa terhadap pembiayaan pendidikan, Pemerintah melalui
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh pada 23 Mei 2013 telah
mengeluarkan ketetapan mengenai besarnya Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal
(UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud).46 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun
2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri di
Lingkungan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, menjadi produk hukum pertama dari
Kemendikbud yang mengatur permasalahan UKT. Dimana UKT ini merupakan sebagian dari Biaya
Kuliah Tunggal (BKT) yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Pada
awal diberlakukannya kebijakan ini, sudah muncul pro dan kontra. Sekilas memang sistem pembayaran
ini lebih ringan dibandingkan pembayaran uang pangkal yang terkesan lebih memberatkan di awal
perkuliahan. Mahasiswa kurang mampu pun dapat tertolong karena tidak harus membayar uang
pangkal yang tidak sesuai dengan keadaan ekonomi mereka Namun beberapa mahasiswa justru merasa
sistem ini lebih memberatkan, karena dengan adanya UKT maka besaran uang kuliah per semester
bertambah besar di mana biasanya hal ini hanya mereka alami di awal perkuliahan. Jika pada saat
pembayaran dengan sistem uang pangkal mahasiswa membayar dengan jumlah besar di awal
perkuliahan (dalam hitungan jutaan), kemudian per semester mereka tinggal membayar ratusan ribu
atau paling tidak membayar dalam jumlah kecil.47
Lebih jelasnya dalam Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 tersebut, menjelaskan mengenai apa itu
BKT & UKT. Tertuang dalam Pasal 1, ada empat (4) penjelasan mengenai UKT yaitu: (1) Biaya kuliah
tunggal merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi
di perguruan tinggi negeri. (2) Biaya kuliah tunggal digunakan sebagai dasar penetapan biaya
yang dibebankan kepada mahasiswa masyarakat dan Pemerintah. (3) Uang kuliah tunggal merupakan
sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan
ekonominya. (4) Uang kuliah tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan
biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah

Dalam pelaksanaannya UKT dihitung berdasarkan BKT. BKT adalah Biaya Kuliah Tunggal yang
berarti biaya yang diperlukan setiap mahasiswa dalam pelaksanaan pendidikan di setiap semesternya.
Berdasarkan Permendikbud no. 55 tahun 2013 pada pasal 1 ayat 3 disebutkan juga bahwa UKT adalah
sebagian dari BKT yang ditanggung mahasiswa berdasakan kemampuan ekonominya dan disampaikan
pula di ayat lain bahwa UKT ditetapkan berdasarkan BKT dikurangi BOPTN, dengan BOPTN adalah
biaya yang ditanggung pemerintah. Pengertian lain dari UKT adalah besarnya biaya kuliah yang
ditanggung oleh setiap mahasiswa berdasarkan pada tingkat kemampuan ekonomi orang tuanya. Hal
ini menyebabkan adanya sistem penggolongan UKT di mana ada pengelompokan besaran UKT sesuai
dengan pengahasilan masing-masing orang tua.48

Dalam penerapan Uang Kuliah Tunggal sebagaimana dimaksud ditentukan berdasarkan kelompok
kemampuan ekonomi masyarakat yang dibagi dalam 5 (lima) kelompok dari yang terendah hingga yang
tertinggi, yaitu Kelompok I, II, III, IV, dan V. Berikut penggolongan/pengelompokan UKT berdasarkan
pendapatan : Kelompok I : Penghasilan ≤ 500.000 Kelompok II : 500.000 < Penghasilan ≤ 2.000.000
Kelompok III : 2.000.000 < Penghasilan ≤ 3.500.000 Kelompok IV : 3.500.000 < Penghasilan ≤
5.000.000 Kelompok V : Penghasilan > 5.000.000 Golongan UKT per semester tersebut memiliki
besaran yang berbeda-beda tergantung pada tiap-tiap fakultas.49 Kemungkinan drop out juga semakin
lebar ketika mahasiswa tidak dapat membayar UKT di semester tersebut. Mahasiswa yang cuti dan
tingkat atas juga tetap membayar UKT meskipun tidak mengambil mata kuliah. Untuk mahasiswa cuti
membayar kisaran 25% sedangkan mahsiswa tingkat atas yang tinggal menunggu sidang misalnya
harus membayar penuh UKT semester berikutnya.

Tujuan pemerintah memberlakukan sistem ini memang untuk meringankan beban mahasiswa. Hal ini
dilatarbelakangi dengan besaran uang pangkal yang sangat berbeda di setiap perguruan tinggi dan
BOPTN yang diterima pun berbeda-beda ditambah lagi dengan berubahnya status beberapa perguruan
tinggi menjadi PTN-BH. Perubahan status ini membuat perguruan tinggi yang bersangkutan memiliki
kebebasan dan wewenang untuk mengelola keuangannya sendiri termasuk menarik uang pangkal sesuai
ketentuan mereka. Wewenang ini dimanfaatkan oleh pihak universitas untuk menarik uang dari
mahasiswa sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan perguruan tinggi.

Pegantian tahun membuat perlu adanya perubahan ketentuan-ketentuan dalam pasalpasal di


Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 tersebut, Kemendikbud akhirnya mengundangkan peraturan
menteri baru guna mengaturan permasalahan tersebut. Adalah Permendikbud Nomor 73 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013 tentang
Biaya Kuliah Tunggal Dan Uang Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Perubahan dalam pasal-pasal tersebut diantaranya
membahas mengenai: • Pengaturan mengenai beberapa perubahan ketentuan; • Penambahan BKT dan
UKT untuk tahun angkatan 2014/15; • Penambahan ketentuan mengenai BKT dan UKT bagi PTNBH
pada tahun 2014/15; dan • Penambahan golongan dari V golongan menjadi VIII penggolongan. Dalam
perkembangannya, Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semula diatur dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) pada masa kabinet Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, berubah pada tahun 2015 pada masa Kabinet Kerja (Kabinet Pemerintahan Presiden
Jokowi), kedudukan, tugas dan fungsi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai Pendidikan
Tinggi dicabut dan dialihkan ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Kemenristekdikti). Oleh karena hal tersebut, maka Kemenristekdikti mempunyai tugas dan wewenang
untuk mengatur segala hal tentang Pendidikan Tinggi, tak terkecuali mengenai UKT.

Pada 4 (empat) Agustus 2015, diundangkanlah Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah.
Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015 tersebut merupakan satu-satunya pengaturan mengenai BKT
dan UKT pada PTN.

Biaya Kuliah Tunggal (BKT) adalah keseluruhan biaya operasional mahasiswa per semester pada
program studi di PTN. BKT digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada
masyarakat dan Pemerintah. Penetapan UKT dengan memperhatikan Biaya Kuliah Tunggal, UKT
tersebut terdiri atas beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa,
orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat
(1) Permen tersebut. Pengaturan kelompok/golongan dalam UKT diatur lebih jelas dalam
Permenristekdikti ini, yaitu diatur dalam Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi, “Pengelompokan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh PTN kepada Menteri untuk ditetapkan.” Sebelumnya dalam
pengaturan UKT yang diatur dalam Permendikbud tidak mencantumkan perihal tersebut. Pada tahun
ketiga penerapan UKT bagi PTN di lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi
ini penggolongan UKT masih seperti penggolongan UKT pada Permendikbud Nomor 73 Tahun 2014,
yaitu sebanyak VIII golongan.

Terjadi perubahan ketentuan mengenai pembagian golongan I dan II yang termuat dalam Pasal 5 ayat
(1) dan (2) yang berbunyi: (1) UKT kelompok I sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, Lampiran
II, dan Lampiran III diterapkan kepada paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah mahasiswa yang
diterima di setiap Program Studi pada setiap PTN. (2) UKT kelompok II sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III diterapkan kepada paling sedikit 5% (lima persen) dari
jumlah mahasiswa yang diterima di setiap Program Studi pada setiap PTN.

Berbeda dengan pengaturan dalam peraturan-peraturan sebelumnya, dalam Permenristekdikti Nomor


22 Tahun 2015 ini mengubah ketentuan mengenai kelompok I dan II yang semula diterapkan paling
sedikit 5 (lima) persen dari jumlah mahasiswa yang diterima di setiap perguruan tinggi negeri (baik
dalam Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 maupun Permendikbud Nomor 73 Tahun 2014) menjadi
paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah mahasiswa yang diterima di setiap Program Studi pada
setiap PTN. Namun kenyataannya saat ini PTN-PTN tidak terdapat kejelasan mengenai kuota 5% (lima
persen) tersebut.

Mengenai terdapatnya kesalahan dalam pemberlakuan UKT, maka pemimpin masingmasing PTN
dapat melakukan penatapan ulang terhadap kesalahan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6
ayat (1) Pemimpin PTN dapat melakukan penetapan ulang pemberlakuan UKT terhadap mahasiswa
apabila terdapat: a. ketidaksesuaian kemampuan ekonomi mahasiswa yang diajukan oleh mahasiswa,
orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya; dan/atau b. pemutakhiran data kemampuan
ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Berbicara mengenai sistem keringanan UKT, sekarang hanya diatur menurut ketentuan dalam peraturan
masing-masing PTN karena perbedaan dalam sistem tata kelola dan otonomi pada tiap-tiap PTN.
Perbedaan penerapan BOPTN tiap PTN satuan kerja, PTN badan layanan umum (PTN BLU), dan PTN
Badan Hukum (PTNBH) juga menjadi permasalahan dalam penerapan UKT yang berdampak juga
dalam sistem keringanan UKT. Sistem keringanan UKT yang tidak jelas menyebabkan orang tua
mahasiswa mengalami banyak kesulitan dalam

membiayai biaya kuliah anaknya. Oleh karena itu perlu kiranya Kemenristekdikti membuat suatu
ketentuan secara umum tentang bagaimanakah pengaturan keringanan UKT pada masingmasing PTN.
Sehingga apabila ada mahasiswa yang sebelumnya mampu, namun dalam keberlangsungan
perkuliahannya mengalami suatu masalah yang menyebabkannya kesulitan untuk membayar biaya
perkuliahan bisa menjamin kepastian hukumnya. Seperti pertimbangan kemenristekdikti dalam
membuat Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015 poin c, yang menginginkan adanya kepastian
hukum dalam penetapan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa.50

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015 PTN dilarang memungut uang
pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru Program Sarjana dan Program
Diplom. Namun PTN menurut Pasal 9, diberi kewenangan untuk dapat memungut uang pangkal
dan/atau pungutan lain selain UKT, dari mahasiswa baru Program Sarjana dan Program Diploma yang
terdiri atas: a. mahasiswa asing; b. mahasiswa kelas internasional; c. mahasiswa yang melalui jalur
kerja sama; dan/atau d. mahasiswa yang melalui seleksi jalur mandiri.

Dalam hal Uang Pangkal atau SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi) ini, PTN masih dilarang
memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru Program Sarjana dan
Program Diploma dari jalur undangan, SNMPTN dan SBMPTN. Namun PTN diberi wewenang oleh
perundang-undangan untuk dapat memungut uang pangkal dari mahasiswa-mahasiswa baru program
sarjana dan program diploma selain mahasiswa yang disebutkan dalam kalimat sebelumnya. PTN dapat
memungut uang pangkal tersebut kepada mahasiswa-mahasiswa asing, kelas internasional, mahasiswa
jalur kerja sama (pertukaran mahasiswa), dan mahasiswa seleksi jalur mandiri.

Pemberlakuan uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT bagi mahasiswa baru

dari seleksi jalur mandiri sepertinya perlu dikaji ulang. Pasalnya tidak semua mahasiswa baru

dari seleksi jalur mandiri mampu secara ekonomi. Tidak sedikit para mahasiswa seleksi jalur mandiri
merupakan mahasiswa-mahasiswa yang kurang beruntung dalam seleksi masuk

lainnya, seperti SNMPTN, SBMPTN, bahkan ada yang kurang beruntung dalam seleksi

bidikmisi. Tidak semua penanggung beban biaya perkuliahan mahasiswa seleksi jalur mandiri

dari kalangan pengusaha sukses, pejabat, dan lain sebagainya. Orang tua mahasiswa atau

penanggung beban biaya perkuliahan mahasiswa ada yang bekerja sebagai petani. Seperti yang

diketahui juga bahwa nilai tukar petani secara nasional pada Maret 2016 mengalami penurunan
dibandingkan periode sebelumnya sebesar 101,32. Hal ini menunjukkan bahwa

kemampuan/daya beli petani khususnya di perdesaan semakin menurun.51

Oleh karena itu sudah sepatutnya kemenristekdikti mengkaji ulang ketentuan tentang pemungutan uang
pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT bagi mahasiswa baru dari seleksi jalur mandiri, melihat
tengah lesunya perekonomian di Indonesia sendiri.

Sanksi akan diberikan apabila PTN melanggar ketentuan tersebut, pejabat yang bertanggung jawab di
PTN tersebut akan dikenakan hukuman disiplin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Pengaturan mengenai BKT dan UKT bagi PTN Badan Hukum diatur dengan Peraturan
Menteri.

Namun tetap saja masih terdapat kelemahan walaupun sudah berganti 3 (tiga) kali dalam kurun waktu
3 tahun pemberlakuan sistem UKT ini, masih belum adanya transparansi dalam UKT dan belum diatur
secara jelasnya pengaturan mengenai keringanan dalam UKT menjadi permasalahan yang belum
selesai sampai saat ini.

Namun dalam keberjalanannya pelaksanaan UKT di berbagai perguruan tinggi menimbulkan masalah
dari tahun ke tahun. Permasalahan yang disoroti adalah

Sistem penggolongan UKT yang dirasa belum tepat dan adil, transparansi anggaran yang sangat
kurang, variabel penggolongan UKT yang kurang jelas, tingginya UKT dan kenaikan UKT dari tahun
ke tahun yang sampai saat ini belum mendapat solusinya.

Sejak diberlakukannya sistem ini pada tahun 2013 banyak mahasiswa berpendapat bahwa pelaksanaan
UKT belum tepat seperti besaran UKT yang ternyata tidak sesuai dengan kemampuan mereka dan
cenderung tidak adil antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lain. Hal ini disebabkan mekanisme
UKT pada awal pelaksanaannya hanya menjadikan gaji kotor sebagai indikator utama penentuan UKT.
Padahal terdapat faktor-faktor lain yang mesti dipertimbangkan, misalkan anggota keluarga yang
mengalami sakit keras, kondisi keluarga yang mengalami musibah/bencana, kondisi keluarga yang
tidak harmonis (broken home), dipecatnya orang tua dari pekerjaan (dinamika ekonomi), dan persoalan-
persoalan lain yang tidak tercatat dalam struk gaji.52

Faktor-faktor inilah yang hendaknya menjadi pertimbangan universitas untuk pemberlakuan sistem
dispensasi dan banding yang benar-benar bisa memperhatikan kondisi mahasiswa per semester.
Beberapa universitas yang telah menerapkan sistem ini masih belum berjalan maksimal. Secara garis
besar, evaluasi perumusan UKT dari berbagai PTN adalah grading yang dirasa masih menimbulkan
kesenjangan. Masih banyak penepatan angka UKT di berbagai PTN yang tidak sesuai dan naik drastis
dari satu tingkat angka ke tingkat lainnya.53

Berbicara mengenai isu tentang kenaikan UKT pada tahun 2016, yang didasarkan pada Surat Edaran
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Nomor 800/A.A1/KU/2016 tanggal 26 Februari
2016 yang didalamnya terdapat himbauan dari Dikti agar Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia
menaikan dan menambahkan level UKT bagi mahasiswa tahun 2016, mendapat banyak protes dari para
mahasiswa di seluruh Indonesia.

Lagi-lagi berbicara mengenai kekuatan hukum Surat Edaran, dulu pernah hangat isu tentang adanya
Surat Edaran Menristekdikti Nomor 01/M/SE/V/2015 yang salah satu isinya menunda implementasi
Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 mengenai permasalahan masa kuliah 5 tahun yang akhirnya
Menristekdikti membuat peraturan baru tentang masa kuliah yang tertuang dalam Permenristekdikti
Nomor 44 Tahun 2015.

Perlu diketahui bahwa Surat Edaran tidak memiliki kekuatan hukum mengikat seperti hal nya Undang-
Undang maupun Peraturan Menteri. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak ada bunyi atau ketentuan Surat Edaran secara
eksplisit. Surat Edaran memang bukan peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula
keputusan tata usaha negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan, masuk dalam
peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundangundangan semu (pseudo wetgeving).
Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 43 Permendagri Nomor 55 Tahun 2010 jo. Permendagri Nomor 42
Tahun 2011 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dijelaskan, Surat
Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara
melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.

Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahun, maka dengan sendirinya materi muatannya
tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh
karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir Peraturan Menteri, apalagi
Perpres atau Peraturan Pemerintah (PP) tetapi sematamata hanya untuk memperjelas makna dari
peraturan yang ingin diberitahukan. Berikutnya adanya wacana PTN-PTN menaikan UKT yang
nominalnya mencapai Rp 1.000.000,- (Satu juta rupiah). Kenaikan UKT ini akan semakin membuat
sengsara orang tua mahasiswa. Selain harus membiayai kuliah anaknya, mereka juga harus
memperhatikan biaya hidupnya sehari-hari. Ditengah belum menentunya perekonomian di Indonesia
dan banyaknya pekerja yang di PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, yang kemungkinan pekerja
tersebut adalah orang tua mahasiswa, seharusnya menjadi perhatian menteri terkait dan PTN untuk
menaikkan UKT. Masih tingginya inflasi dan kenaikan harga komoditas bahan-bahan pokok seperti
bawang merah yang disebabkan gagalnya panen petani. Permasalahan ekonomi tersebut juga bisa
menjadi salah satu pertimbangan UKT tidak dinaikkan. Selain permasalahan kenaikan UKT ada satu
lagi permasalahan klasik dalam UKT, yaitu keberadaan transparansi dalam penerapan UKT maupun
pada sistem penggolongannya di

PTN. Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah.54 Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu
kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan
sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas
sehingga bias memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya.55 Keterbukaan
data dan informasi dalam UKT sangat berguna untuk mencegah terjadinya tindakan malapraktik dalam
penarikan UKT di berbagai PTN.

Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam meningkatkan dukungan orang tua, masyarakat dan
pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Transparansi ditujukkan
untuk membangun suatu kepercayaan dan keyakinan kepada pihak PTN bahwa PTN adalah suatu
organisasi pelayanan pendidikan yang bersih dan berwibawa, bersih artinya tidak terdapat praktik
korupsi, kolusi, maupun nepotisme (KKN) dan berwibawa artinya profesional. Transparansi bertujuan
untuk menciptakan kepercayaan timbal balik antara pihak PTN dengan publik melalui informasi yang
memadai dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat.

Dengan adanya pengelolaan dana yang transparan akan membuat orang tua mahasiswa, masyarakat,
dan pemerintah dapat mengetahui untuk apa saja dana tersebut itu digunakan. Terdapat indikatar
pengukur adanya prinsip transparansi menurut Surya Darma, yaitu: 1) mekanisme yang menjamin
sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses pelayanan publik; 2) Mekanisme yang
memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun
proses-proses didalam sektor publik; 3) mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran
informasi dan penyimpanan tindakan aparat publik di dalam kegiatan melayani.

Tranparansi ini didukung oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP) telah diterbitkan pada tanggal 30 April 2008. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan,
disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan
penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik
lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan
publik.63 Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.56

Jika dikaitkan dengan UKT, maka transparansi UKT merupakan suatu informasi yang berguna bagi
kepentingan publik dalam hal ini mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan pihak lain yang berkepentingan.
PTN merupakan suatu badan publik karena juga mendapat dana dari APBN dan/atau APBD,
sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Terdapat beberapa asas dalam UU KIP yang tersemat dalam Pasal 2 diantaranya, yaitu: (1) setiap
informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik, kecuali
informasi publik yang bersifat ketat dan terbatas. (2) informasi publik yang dikecualikan bersifat
rahasia sesuai dengan undangundang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian
tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah
dipertimbangkan dengan seksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan
yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

Artinya apabila kepentingan yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang ini informasinya dibuka.
Maka suatu informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup tersebut harus didasarkan pada
kepentingan publik. Jika kepentingan publik yang lebih besar dapat dilindungi dengan menutup suatu
informasi, informasi tersebut harus dirahasiakan atau ditutup dan/atau sebaliknya.

Salah satu kegunaan keterbukaan informasi publik adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan negara
yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan lain sebagainya.
Menurut ketentuan Pasal 4 UU KIP, bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi publik sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Dalam Pasal 4 ayat (2) mengatur ketentuan mengenai hak setiap
orang untuk memperoleh informasi publik, bahwa setiap orang berhak untuk: a. melihat dan
mengetahui informasi publik; b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk
memperoleh informasi publik; c. mendapatkan salinan informasi publik melalui permohonan sesuai
dengan undang-undang ini; dan/atau d. menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan
perundang- undangan.
Dari ketentuan Pasal tersebut jelas bahwa mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan para pihak yang
berkepentingan berhak memperoleh kejelasan mengenai biaya UKT yang dibebankan kepada mereka
oleh PTN, digunakan untuk apa UKT tersebut, dan lain sebagainya.

Pada akhirnya, alangkah baiknya PTN memberikan keterbukaan data dan informasi ke publik dalam
hal ini mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan pihak yang berkepentingan, guna mengetahui uang yang
mereka bayarkan ke PTN dalam bentuk UKT tersebut digunakan untuk keperluan apa saja.

Dari hal-hal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Uang Kuliah Tunggal merupakan sistem yang
diberlakukan pemerintah agar pendidikan merata di Indonesia. Namun masih banyak kekurangan dalam
pelaksanaannya. Ketika mahasiswa mengeluhkan UKT yang terlampau besar dan tidak sesuai dengan
keadaan ekonomi mereka, pihak universitas tak mampu mengupayakan keringanan dengan maksimal,
justru menjadikan UKT sebagai sumber dana kampus.

Ketika dana dari pemerintah tidak diberikan semestinya, mahasiswa lah yang harus menutupi
kebutuhan kampus yang harusnya bersumber dari BOPTN. Besaran UKT sendiri didapatkan dari BKT
dikurangi BOPTN, jika BOPTN berkurang sedangkan kebutuhan kampus terus bertambah, mahasiswa
lah yag menjadi korbannya Perbedaan anggaran BOPTN untuk masing-masing kampus yang
menunjukkan kesenjangan antara universitas memiliki nama besar dan universitas kecil.

Hendaknya anggaran yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan universitas agar dapat
mengembangakan potensi sebaik mungkin dan tidak merugikan mahasiswa.Jika kita melihat beberapa
berita dan pernyataan pihak kampus di atas dengan mudah mereka mengatakan kenaikan UKT itu biasa
dan digunakan untuk mendukung perwujudan cita-cita Universitas menjadi World Class University.

Pernyataan bahwa uang pangkal tidak akan berlaku untuk mahasiswa semester atas dan hanya untuk
mahasiwa jalur mandiri mengisyaratkan adanya diskriminasi. Bahkan anak bangsa sendiri
‘diperlakukan’ sama dengan mahasiswa asing. Bagaimana pun juga mahasiswa jalur mandiri
merupakan tanggung jawab pemerintah meskipun secara administrasi mereka tidak mendapat subsidi.
Namun mereka tetaplah generasi muda yang wajib dijamin pendidikannya oleh negara.

Mengenai status PTN BH yang menjadi salah satu ‘sebab’ universitas dengan mudah menarik uang
dari mahasiswa rasanya sangat janggal. Status PTN BH seharusnya menjadikan universitas lebih
leluasa untuk mencari dana melalui berbagai kegiatan usaha bukan lebih leluasa “memanfaatkan” uang
mahasiswa.
Dan yang terakhir mengenai cita-cita World Class University memang sangat baik, namun jika cita-
cita tersebut tidak memperhatikan kondisi mahasiswa sebagai objek utama sebuah Universitas, label
tersebut tak akan menjadi apa-apa. Saat ini banyak sekali universitas yang mengincar label tersebut,
namun tidak memperhatikan hal-hal kecil yang harusnya menjadi tanggung jawab utama mereka.

Tugas utama instansi pendidikan bukanlah membuat instansi tersebut berlabel internasional dan terlihat
bagus di masyarakat, namun tugas yang sebenarnya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran
yang terbaik sehingga prestasi dan label itu akan mengikuti. Dengan memberikan kesempatan bagi anak
bangsa menempuh pendidikan setinggitingginya dan tidak membebani mereka dengan biaya yang
tinggi adalah salah satu upaya mewujudkan keadilan dalam pendidikan di Indonesia.

KAJIAN BANTUAN OPERASIONAL PERGURUAN TINGGI NEGERI

Setiap universitas yang ada di Indonesia pasti akan melakukan berbagai macam cara dalam
mengembangkan, merawat dan menjaga kelangsungan proses belajar mengajar. Tentu dalam
pengupayaan berbagai hal itu diperlukan dana yang besar pula. Dana yang besar ini berdampak pada
mahasiswa, pasalnya mahasiswa diberatkan pada tanggungan biaya kuliahnya, terlebih pada golongan
menengah kebawah. Salah satu upaya pemerintah dalam mengantisipasi mahalnya biaya pendidikan
perguruan tinggi adalah menetapkan tidak adanya kenaikan uang kuliah (SPP) dan menggunakan Uang
Kuliah Tunggal (UKT) pada perguruan tinggi negeri yang mulai berlaku mulai tahun akademik
2012/2013.

Selain itu pemerintah juga memberikan dana bantuan operasional kepada setiap universitas yang biasa
disebut dengan BOPTN. BOPTN atau Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri merupakan
bantuan biaya kuliah yang diberikan oleh Pemerintah kepada perguruan-perguruan tinggi negeri di
Indonesia yang digunakan untuk membiayai kekurangan biaya operasional yang sesuai dengan standar
pelayanan minimum.

BOPTN merupakan bantuan pemerintah yang digunakan untuk membantu biaya pengeluaran
Perguruan Tinggi yang memiliki dasar hukum, yaitu :

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2. Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. 4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun
2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor
47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. 5. Peraturan Presiden
Nomor 24 tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor
24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi,
Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. 6. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009
tentang Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor
61/P Tahun 2011. 7. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 58 Tahun 2012 tentang Bantuan
Operasional Perguruan Tinggi Yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah. 8. Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 108 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 58 Tahun 2012 tentang Bantuan Operasional Perguruan Tinggi
Yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah. 9. Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdikbud RI
Nomor 15/DIKTI/Kep/2013 tentang Pengelolaan Bantuan Operasional PTN untuk Penelitian. 10.
Pasal 2 permenristekdikti no.6 tahun 2016
Berdasarkan kepada pasal 2 permenristekdikti no.6 tahun 2016 disebutkan bahwa BOPTN digunakan
untuk : a. Pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, dimana diharapkan dengan
diberikannya dana BOPTN ini akan memicu semangat para dosen untuk semakin

memperbanyak penelitian yang bermutu sesuai kompetensi sehingga akan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. b. Biaya pemeliharaan pengadaan, termasuk
pemeliharaan gedung, bangunan, lingkungan dan prasarana lain yang akan menunjang terjadinya proses
belajar mengajar yang kondusif. c. Penambahan bahan praktikum/kuliah, dimana mencakup bahan
habis pakai seperti di laboratorium, kelas, administrasi pendidikan, kegiatan akademik dan non
akademik. d. Bahan pustaka, seperti memperbanyak buku-buku ilmiah dan jurnal-jurnal, pembelian
CD ROM, langganan jurnal, dan sebagainya untuk semakin mempermudah dalam mencari referensi
dan tambahan ilmu. e. Penjaminan mutu, dimana bertujuan untuk mencapai akreditasi A (Nasional)
dan akreditasi Internasional, termasuk untuk biaya penyusunan dokumen, konsultan ISO dan sertifikasi
ISO ke lembaga Sertifikasi. Bagi Perguruan tinggi yang terdapat program studi vokasi atau diploma,
perlu melakukan sertifikasi kompetensi mahasiswa. f. Pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan, banyak
kegiatan mahasiswa baik yang berhubungan dengan kepemimpinan maupun yang berhubungan dengan
olah raga membutuhkan dana yang mencukupi jalannya kegiatan kemahasiswaan tersebut. kegiatan
kemahasiswaan yang termasuk kewirausahaan bagi mahasiswa juga perlu untuk didukung dan didanai.
g. Pembiayaan langganan daya dan jasa, seperti langganan listrik dan langganan internet. h.
Pelaksanaan kegiatan penunjang, seperti pengembangan kurikulum, pengembangan SDM,
pengembangan metode belajar, seminar, lokakarya, dan lain-lain memainkan peranan sangat penting
bagi keberhasilan perguruan tinggi dalam memberikan layanan pendidikan tinggi yang memuaskan. i.
Pengembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran, digunakan untuk
pemeliharaan hardware, pengembangan software dan sistem jaringan, materi pembelajaran (handout,
modul, animasi, audio visual) dan perangkat evaluasi (kuis, soal ujian, tugas mandiri, teleconference)
j. Honor dosen dan tenaga kependidikan non pegawai negeri sipil, k. Pengadaan dosen tamu l.
Pengadaan sarana dan prasarana sederhana, Belanja ini digunakan untuk pengadaan sarana dan
prasarana dengan kriteria:

1. Melanjutkan atau menyelesaikan pembangunan gedung penunjang kegiatan tridharma perguruan


tinggi dengan nilai maksimum Rp5.000.000.000,- per unit, maksimum 2 unit 2. Rehabilitasi atau
pemeliharaan gedung dengan nilai maksimum Rp 5.000.000.000,- per paket, maksimum 2 paket 3.
Perbaikan atau pembenahan tata ruang/halaman/taman dengan total nilai keseluruhan paket maksimum
Rp 5.000.000.000,- 4. Pembelian peralatan laboratorium dengan total nilai keseluruan paket
maksimum Rp 2.500.000.000,- 5. Untuk PTN dengan alokasi BOPTN sampai dengan Rp
50.000.000.000,- maka Total Nilai Sarpras Sederhana maksimum 20% dari Total Nilai BOPTN 6.
Untuk PTN dengan alokasi BOPTN lebih besar Rp 50.000.000.000,-, tetapi lebih kecil Rp
100.000.000.000,-, maka Total Nilai Sarpras Sederhana maksimum 15 % dari Total Nilai BOPTN 7.
Untuk PTN dengan alokasi BOPTN lebih besar Rp 100.000.000.000,- , maka Total Nilai Sarpras
Sederhana maksimum 10% dari Total Nilai BOPTN m. Satuan pengawas internal n. Pembiayaan
rumah sakit perguruan tinggi negeri, dimana untuk menunjang proses belajar mengajar yang berkaitan
dengan kedokteran, maka dana BOPTN dapat digunakan untuk membayar biaya rumah sakit miliki
perguruan tinggi. o. Kegiatan lain yang merupakan prioritas dalam rencana strategis perguruan tinggi
masing-masing

Berdasarkan pasal 3 Permenristekdikti no.6 tahun 2016perana BOPTN ini Tidak Boleh digunakan
untuk :

a. Belanja modal dalam bentuk investasi fisik berupa gedung baru dan peralatan skala besar, b.
Tambahan insentif mengajar untuk pegawai negeri sipil c. Tambahan insentif dan honor untuk
pejabat administrasi, pejabat fungsional, dan pejabat pimpinan tinggi yang berstatus pegawai
negeri sipil d. Kebutuhan operasional untuk manajemen.

Pemerintah memiliki dasar yang digunakan untuk mengalokasikan besaran BOPTN yang akan
diberikan kepada setiap perguruan tinggi, yaitu :

a. PNBP per mahasiswa (S1 dan Diploma)

b. Proporsi Bidik Misi terhadap jumlah mahasiswa, sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah,
maka setiap universitas wajib menyediakan kuota 20% dari total mahasiswa perguruan tinggi tersebut,
maka pemberian besaran BOPTN juga didasarkan dari banyaknya jumlah mahasiswa suatu perguruan
tinggi yang memperoleh bidik misi. c. Proporsi PNBP non tuition, besarnya PNBP menunjukkan
kemampuan perguruan tinggi untuk mengelola dan menyediakan layanan pendidikan tinggi bagi
stakeholder, maka besaran BOPTN juga didasarkan pada presentase tertentu besaran PNBP. d. Indeks
terhadap Jenis/Karakteristik Prodi, kebutuhan biaya setiap program studi berbeda-beda sehingga untuk
mempermudah pendekatan tersebut maka program studi telah dikelompokkan sebagai berikut, 1. Prodi
dengan metode pembelajaran berbasis klinik seperti kedokteran, farmasi, dll. 2. Prodi dengan metode
pembelajaran berbasis laboratorium seperti teknik, sains, kedokteran pre-klinik. 3. Prodi dengan
metode pembelajaran berbasis laboratorium seperti studio, kuliah lapangan misalnya arsitektur, desain,
dll. e. Akreditasi Program Studi,
Berdasarkan pasal 4 permenristekdikti nomor 6 tahun 2016, menetapkan BOPTN diberikan kepada
perguruan tinggi negeri dengan mempertimbangkan kriteria:

a. biaya pendidikan yang dibutuhkan untuk mahasiswa program diploma dan program sarjana b.
jumlah penerimaan negara bukan pajak yang bersumber dari mahasiswa program diploma dan
program sarjana c. kinerja perguruan tinggi d. jumlah mahasiswa program diploma dan program
sarjana.

Dari penjelasan yang telah disebutkan, terdapat perbedaan pengalokasian dana BOPTN di setiap
perguruan tinggi di Indonesia. Walaupun terdapat beberapa alasan mengapa alokasi dana BOPTN
berbeda-beda, namun status perguruan tinggi negeri juga mempengaruhi. Seperti yang diketahui, di
Indonesia telah diterapkan system status perguruan tinggi negeri yang terbagi menjadi 3 yaitu Badan
Layanan Umum (BLU), Satuan Kerja (SATKER), dan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum
(PTNBH). BLU menurut Peraturan Pemerintah

nomor 23 tahun 2005 Pasal 1 adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas. Kemudian SATKER, memiliki pengertian bahwa Kuasa Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Barang yang merupakan bagian dari suatu unit organisasi pada
Kementerian Negara/Lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.
Lalu status yag terakhir yakni PTN BH, yakni perguruan tinggi negeri yang berstatus badan hukum
memiliki hak dan kekuasaan untuk menentukan arah penyelenggaraan pendidikan tinggi serta
mempunyai kewenangan untuk mengelola keungannya secara otonom (mandiri) tanpa ada campur
tangan pihak lain.

Dana BOPTN ini pun juga akan terproporsi sesuai dengan masing-masing status perguruan tinggi
tersebut. Proporsi tersebut mencangkup kebutuhan masing-masing kampus, pencapaian mutu,
akreditasi, jumlah mahasiswa dan indeks kemahalan wilayah kampus. Selain itu, ada juga beberapa
universitas yang digadang untuk masuk dalam prestasi dunia (World Class University), sehingga
kucuran dana yang diterima akan lebih besar untuk mencapai target tersebut.

Dibawah ini akan dipaparkan beberapa perbandingan jumlah dana BOPTN yang diberikan kepada
setiap perguruan tinggi dari masing-masing status ini, seperti berikut:
No Nama Universitas Status Jumlah BOPTN
1. Universitas Negeri Badan Layanan 2014 = 33 Milliar
Jakarta Umum (BLU) 2015 = 34,6 Milliar
2. Universitas Sebelas Badan Layanan 2012 = 26 Milliar
Maret Surakarta Umum (BLU) 2013 = 43 Milliar
2015 = 50,1 Milliar
2016 = 41,3 Milliar
3. Universitas Andalas Badan Layanan 2015 = 71 Milliar
Padang Umum (BLU) 2016 = 59 Milliar

4. Institut Teknologi PTNBH 2013 = 176,8 Milliar


Bandung (ITB) 2014 = 165 Milliar
2015 = 233 Milliar
2016 = 217 Milliar
5. Universitas Indonesia PTNBH 2013 = 220 Milliar
2014 = 226,7 Milliar
2015 = 220 Milliar
2016 = 245 Milliar

Anggaran BOPTN setiap tahun selalu mengalami perubahan. Pada tahun 2013, besaran BOPTN yang
diberikan sejumlah 1,5 Triliun Rupiah, tahun 2014 sebesar 3 Triliun, tahun 2015 sebesar 4,5 Triliun.
Sementara pada tahun 2016 sebesar 40,63 Triliun. Sedangkan untuk tahun ini, pemerintah mengusulkan
akan memberikan dana BOPTN sebesar 39 Trilliun.

Hal ini disebabkan oleh janji pemerintahan Jokowi-JK yang lebih mementingkan sektor infrastruktur
seperti tol laut, pelabuhan baru, bandara, jaringan kereta api dan lain sebagainnya, sehingga
menyebabkan banyaknya pengalihan alokasi anggaran kepada sektor infrastruktur salah satunya adalah
anggaran pendidikan tinggi.

Rencana anggaran BOPTN pada tahun 2016 jika turun, dimana pada 3 tahun sebelumnya mengalami
kenaikan akan mengakibatkan banyak dampak pada operasional Pendidikan Tinggi salah satunya
adalah naiknya uang kuliah tunggal yang harus dibayarkan oleh mahasiswa. Rencana pemotongan
sebesar 800 Miliar ini tentu akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap jumlah BOPTN
yang diperoleh oleh masing-masing perguruan tinggi. Pemotongan jumlah BOPTN akan berdampak
pada pemotongan anggaran di setiap perguruan tinggi yang akan berpengaruh negatif terhadap
kurangnya biaya diberbagai sektor. Beberapa alasan mengapa BOPTN tidak boleh turun yaitu :

1. Bila BOPTN turun, secara otomatis perguruan tinggi harus mencari biaya tambahan sendiri. Cara
yang paling mudah bagi perguruan tinggi adalah dengan menaikkan uang kuliah tunggal mahasiswa
dimana nilai UKT dapat naik drastis, padahal tidak semua mahasiswa mampu untuk membayar
peningkatan tagihan bayaran ini, terutama untuk kalangan menengah ke bawah.

2. Perguruan tinggi akan mengomersialkan pendidikan dengan mengutamakan mahasiswa mampu. Hal
ini semata-mata dalam rangka menutupi biaya operasional yang begitu minim dianggarkan oleh
pemerintah pusat. Dengan demikian, akses bagi penduduk Indonesia, khususnya untuk kaum ekonomi
lemah untuk bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi akan semakin sempit. Padahal sesuai
dengan amanat Pembukaan UUD 1945 beserta UUD 1945 pasal 31, semua warga yang ada di Indonesia
berhak untuk mengenyam pendidikan, karena pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah.

3. BOPTN tak boleh turun terkait dengan 36 fasilitas perguruan tinggi baru yang akan dibangun
pemerintah yang meliputi univeritas, institut, dan politeknik yang tersebar di seluruh Indonesia.
Fasilitas pendidikan yang baru berdiri tentu membutuhkan bantuan dana untuk operasional dan riset.
4. Proses dan kebutuhan dalam keberlangsungan belajar mengajar akan terganggu, pasalnya dana yang
berjalan akan dibatasi dalam penggunaannya, sehingga sarana prasarana akan serba terbatas. Hal ini
akan berdampak pada kualitas pendidikan yang ada di perguruan tinggi, maka keinginan pemerintah
agar ada universitas di Indonesia yang masuk dalam prestasi dunia akan terhambat.

Melihat dampak yang akan ditimbulkan dari adanya pengurangan BOPTN ini, maka sudah selayaknya
pemerintah menaikkan dana BOPTN pada setiap tahunnya atau disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing universitas agar tercapainya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

KESIMPULAN DAN TUNTUTAN

A. Simpulan

Pendidikan tinggi di Indonesia saat ini memiliki beragam macam permasalahan utama dan krusial. Isu-
isu seperti tuunnyaa jumlah BOPTN padahal jumlah perguruan tinggi negeri bertambah, naiknya UKT
tiap tahun ditambah tidak adanya transparansi UKT beserta adanya pungutan lain selain UKT yang
dilegalkan oleh peraturan menteri.

Berbagai macam permasalahan pendidikan tinggi tersebut telah menimbulkan keresahan dikalangan
pendidikan tinggi. Oleh karena itu berbagai macam permasalahan tersebut sudah seharusnya
diselesaikan dengan segera oleh stakeholder terkait dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi selaku pihak eksekutif yang paling bertanggung
jawab dalam mengurus pendidikan tinggi di Indonesia.

Selain itu permasalahan dikdaskmen pun menjadi permasalahan yang paling krusial terutama sebagai
jenjang pendidikan paling lama oleh manusia lalui. Kurangnya perhatian kemendikbud dalam
pemenuhan dana subsidi pendidikan daerah sebanyak 20% dari APBD, masih banyaknya wrga negara
yang belum merasakan kebijakan KIP, wajib belajar 12 tahun serta kurtilas yang belum dapat
diaplikasikan oleh sekolah-sekolah di daerah.

B. Tuntutan Berdasarkan kajian yang telah di paparkan diatas, maka Alianasi Badan Eksekutif
Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyampaikan somasi terhadap pemerintah dalam hal ini
Kemenristekdikti dan Kemendikbud, yaitu : Wujudkan Pendidikan Nasional yang Terjangkau dan
Berkualistas :

Pendidikan Tinggi :

1. Menuntut agar kemenristekdikti untuk serius mengurus pendidikan tinggi di Indonesia serta
membuat kebijakan yang pro terhadap mahasiswa agar setiap anak bangsa dapat mengakses pendidikan
tinggi di Indonesia.

2. Menuntut pemerintah dalam hal ini kemenristekdikti untuk mengajukan usulan anggaran pendidikan
tinggi dan BOPTN yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan tinggi di Indonesia serta tidak
mengajukan usulan anggaran dibawah jumlah anggaran tahun sebelumnya.

3. Menetapkan peraturan mengenai transparansi UKT dan sistem keringanan yang diatur secara umum
oleh Kemenristekdikti dalam perundang-undangan guna menjamin kepastian hukum bagi mahasiswa,
orang tua mahasiswa, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.

4. Menolak kenaikan UKT dengan mempertimbangkan perekonomian didalam negeri yang tengah lesu
dan menuntut penghapusan terhadap pasal 9 permenristekdikti no.22 tahun 2015 mengenai penarikan
sumbangan lain oleh institusi/perguruan tinggi terhadap mahasiswa seleksi jalur mandiri. 5. Menolak
segala bentuk usaha komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi dalam bentuk Perguruan Tinggi
Negeri Berbadan Hukum dengan dalih menuju World Class University.

6. Menyelesaikan segala bentuk permasalahan pendidikan tinggi dalam tempo sesingkat-singkatnya.


7. Jika Kemenristekdikti tidak mampu menyelesaikan segala permasalahan di Pendidikan tinggi, maka
kami menuntut Menristekdikti yaitu Bp. M.Natsir untuk mundur dari jabatannya saat ini.
Dikdasmen :

1. Menekan kemenristek dikti untuk bertindak tegas setiap pemerintah daerah agar mewujudkan
pengalokasian dana 20% dari APBD untuk dana pendidikan 2. Meminta kemenristek dikti untuk
mengevaluasi pelaksanaan program waji belajar 12 tahun terkait keakuratan data penerima KIP, Bank-
bank pendistibusi dana subsidi dan sosialisasi kepada masyarakat penerima subsidi.

Sumber

https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/05/07/1484/februari-2018--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--
sebesar-5-13-persen--rata-rata-upah-buruh-per-bulan-sebesar-2-65-juta-rupiah.html

http://www.neraca.co.id/article/78831/ancaman-tenaga-kerja-asing-di-indonesia.

www.ilo.org

Jazuli,Ahmad, 2018,EXTENSI TENAGA KERJA ASING DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM


KEMIGRASIAN. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI. Vol. 12 No.1 Maret 2018 : 89 – 105
POERWANTI, SARI DEWI,.2017. PENGELOLAAN TENAGA KERJA DIFABEL UNTUK
MEWUJUDKANWORKPLACE INCLUSION. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Vol. 4, No. 1, Januari-
Juni 2017, h. 1-24

Anda mungkin juga menyukai