Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSTITUSI

Mata Kuliah : Hukum Konstitusi


Dosen Pengampu : Firmansyah. S,H. M,A

Penyusun :

1. Ade Villacitra ( 2202031001)


2. Nadia Mufidatul Latifa (2202030011)
3. M. Bagus Priyono (2202031013)

HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN AJARAN 2024/2025
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
panyayang karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
memenuhi tugas untuk membuat makalah ini dengan baik. Meskipun banyak kekurangan
didalamnya. kami ucapkan terima kasih banyak kepada Firmansyah. S,H. M,A, selaku Dosen
mata kuliah Hukum Konstitusi yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini bisa berguna dan bermanfaat serta menambah
pengetahuan bagi para pembaca. Namun terlepas itu kami memahami bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifatmembangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Metro, 01 Maret 2024

Kelompok 1
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah Mahkamah Konstitusi menggambarkan perkembangan sistem hukum
konstitusional dari masa ke masa, mencerminkan perjuangan untuk menegakkan
supremasi konstitusi dan menjaga keseimbangan kekuasaan antara cabang-cabang
pemerintahan.
Dalam konteks global, sejarah Mahkamah Konstitusi dapat ditemukan dalam
berbagai bentuk, tergantung pada evolusi sistem hukum, budaya, dan perubahan
politik di setiap negara. Perjalanan panjang ini mencerminkan perubahan paradigma
dalam pemahaman tentang kedaulatan hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan
pengaturan kekuasaan politik.
Penelusuran sejarah Mahkamah Konstitusi akan mengungkap titik-titik
penting dalam pembentukan dan perkembangannya, termasuk kontroversi, tantangan,
dan pencapaian yang telah membentuk perannya dalam sistem hukum suatu negara.
Sejarah ini juga memperlihatkan bagaimana Mahkamah Konstitusi beradaptasi
dengan dinamika sosial, politik, dan hukum dalam masyarakat.
Dengan memahami sejarah Mahkamah Konstitusi, kita dapat menghargai
peranannya dalam menjaga supremasi konstitusi, menegakkan prinsip-prinsip
demokrasi, dan melindungi hak-hak individu. Selain itu, analisis terhadap perjalanan
sejarahnya juga dapat memberikan wawasan tentang tantangan yang dihadapi oleh
lembaga ini dan potensi perubahan ke depannya dalam menanggapi dinamika
masyarakat modern dan tuntutan zaman. Oleh karena itu, penelitian tentang sejarah
Mahkamah Konstitusi memiliki nilai penting dalam memahami perkembangan sistem
hukum konstitusional dan peran lembaga tersebut dalam menjaga keadilan dan
keseimbangan kekuasaan dalam suatu negara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Mahkamah Konstitusi


Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian disebut dalamnya Pasal 1
Ayat (3) UUD 1945. Dari pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih,
makmur, dan berkeadilan. Yusril Ihza Mahendra berpendapat sebagai berikut:
"Prinsip utama negara hukum ialah adanya asas legislatif, peradilan yang
bebas dan perlindungan terhada hak asasi. Artinya, tindakan para penyelenggara
negara harus berdasarkan hukum. Jadi, hukum menjadi dasar kekuasaan dalam
konteks inilah, UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukannya berdasarkan kekuasaan semata
(machstaat)."
Tujuan tersebut bisa terwujud apabila adanya sebuah lembaga penyelenggara
peradilan yang secara tegas dapat melaksanakan konsep negara hukum guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini telah terjamin dalam ketentuan Pasal 24
Ayat (1) yang menyatakan, "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan."
Lebih lanjut, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 mengatakan, "Kekuasaaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi." Lebih lanjut,
dipertegas lagi oleh Ayat (2) yang menyatakan, "Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan."
Namun, dalam praktiknya cenderung menunjukkan bahwa proses peradilan
sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru, seringkali dipengaruhi
oleh kekuasaaan pemerintah bahkan akhirnya terjadi reformasi. Hartono Marjono
berpendapat:
“Reformasi yang kita perlukan bukan saja di bidang politik, tetapi juga di
bidanng hukum dan ekonomi.”
“Khusus dalam bidang hukum, banyak hal yang dapat dilihat sebagai
kelemahan yang berakibat fatal antara lain; tidak adanya Mahkam ah Konstitusi yang
berwenang menguji, menentukan, dan menyatakan apakah sesuatu undang-undang itu
melanggar UUD atau tidak. Hak menguji (toetsingsrecht judicial review) yang ada
pada Mahkam ah Agung hanya dilakukan terhadap peraturan di bawah undang-
undang pun hanya dapat dilakukan melalui proses kasasi, bukan tindakan proakif
Mahkam ah Agung ."

Dengan banyaknya kelemahan yang ditemukan di masa lampau, menyebabkan


tidak jelasnya kedudukan negara Indonesia sebagai negara hukum yang sekaligus
sebagai negara demokrasi. Karena itu, penting bagi kita melakukan reformasi yang
mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaaan
(institutional reform) ataupun yang menyangkut mekanisme aturan yang bersifat
instrumental

Namun, dalam praktiknya cenderung menunjukkan bahwa proses peradilan


sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru, seringkali dipengaruhi
oleh kekuasaaan pemerintah bahkan akhirnya terjadi reformasi. Hartono Marjono
berpendapat:
"Reformasi yang kita perlukan bukan saja di bidang politik, tetapi juga di
bidang hukum dan ekonomi."
"Khusus dalam bidang hukum, banyak hal yang dapat dilihat sebagai
kelemahan yang berakibat fatal antara lain; tidak adanya Mahkamah Konstitusi yang
berwenang menguji, menentukan, dan menyatakan apakah sesuatu undang-undang itu
melanggar UUD atau tidak. Hak menguji (toetsingsrecht judicial review) yang ada
pada Mahkamah Agung hanya dilakukan terhadap peraturan di bawah undang-undang
pun hanya dapat dilakukan m elalui proses kasasi, bukan tindakan proakif mahkam ah
agung."
Dengan banyaknya kelemahan yang ditemukan di masa lampau, menyebabkan
tidak jelasnya kedudukan negara Indonesia sebagai negara hukum yang sekaligus
sebagai negara demokrasi. Karena itu, penting bagi kita melakukan reformasi yang
mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaaan
(institutional reform) ataupun yang menyangkut mekanisme aturan yang bersifat
instrumental.
(instrumental aiau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas
dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat kita sebagai
keseluruhan (ethical dan bahkan cultural reform). Dalam upaya tegaknya prinsip
negara hukum dan sekaligus negara demokrasi serta upaya terciptanya sistem
pemerintah yang baik, sejalan dengan prinsip ketatanegaraan, maka salah satu
substansi penting dalam perubahan UUD 1945 adalah adanya suatu lembaga peradilan
baru yang dapat melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam artian yang luas, utuh,
dan merdeka, sebagai alat negara hukum. Dalam perkembangannya, selain perubahan
dan penambahan butirbutir ketentuan tersebut, perubahan UUD 1945 juga
mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga
negara, penghapusan lembaga negara tertentu, dan pembentukan lembaga-lembaga
negara baru. Perubahan memang ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan
dan kewenangan masing-masing lembaga negara. Hal tersebut memang dimaksudkan
untuk memperbaiki dan menyempurnakan penyelenggaraan negara agar lebih
demokratis, seperti disempurnakannya sistem saling mengawasi dan mengimbangi
(checks and balances).
Perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan dalam sidang tahunan MPR tahun
2001 telah mengubah susunan ketatanegaraan RI.7 Hal ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 24C UUD 1945 yang memberikan kedudukan kepada Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga negara berfungsi menangani perkara tertentu di bidang
ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Perubahan
UUD 1945 menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga negara ini diharapkan berfungsi untuk
melaksanakan kekuasaan peradilan dalam sistem konstitusi, pengawal konstitusi (the
guardians o f the constitution), dan penafsir konstitusi yang kompeten dalam
kehidupan bernegara. Di samping itu, lembaga negara ini juga lebih berperan
mendorong mekanisme checks and balances dalam penyelenggaraan negara dan
berperan pula dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan
pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di
negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju
demokrasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi diskursus penting. Krisis
konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses
perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran
terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai
semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.9
Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dilandasi upaya
serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan
semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya
segala peraturan perundangundangan yang berada di bawahnya tidak boleh
bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan
bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity o f the people) kepada negara,
melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-
haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab,
semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum
di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran
terhadap kedaulatan rakyat.
Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum dan
ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicia l
review. Walaupun terdapat ahli yang mencoba menarik sejarah judicial review hingga
masa Yunani Kuno dan pemikiran sebelum abad ke-19, tetapi momentum utama
munculnya ju d icia l review adalah pada keputusan M A Amerika Serikat dalam
kasus Marbury vs. Madison pada 1803. Dalam kasus tersebut, MA Amerika Serikat
membatalkan ketentuan dalam Judiciary Act 1789 karena dinilai bertentangan dengan
Konstitusi Amerika Serikat. Pada saat itu, tidak ada ketentuan dalam Konstitusi AS
maupun undang-undang yang memberikan wewenang ju d ic ia l review kepada MA,
namun para hakim agung M A AS yang diketuai oleh John Marshal berpendapat hal
itu adalah kewajiban konstitusional mereka yang telah bersumpah untuk menjunjung
tinggi dan menjaga konstitusi.
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya
ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001,
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B
Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November
2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum
dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Pada mulanya memang tidak
dikenal adanya Mahkamah Konstitusi, bahkan keberadaan gagasan Mahkamah
Konstitusi sendiri di dunia bisa dikatakan relatif baru. Namun, di kalangan negara-
negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami
perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan terakhir abad ke20,
ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat popular Sejarah berdirinya
lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001, sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945
hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001. Ide pembentukan MK
merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang
muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka
dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan
Mahkamah Agung menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat. DPR dan pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang
mengenai Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK pada
awalnya adalah untuk menjalankan wewenang ju d icia l review, sedangkan
munculnya judicia l review itu sendiri dapat dipahami sebagai perkembangan hukum
dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami
sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang
kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan dua
wewenang yang biasanya dim iliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji
konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dan memutus sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara.
Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan pemerintah menyetujui
secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran
Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Lembaran
perjalanan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke
Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai
beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang kekuasaan
kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003, hakim konstitusi untuk pertama
kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di
Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya
adalah pelimpahan perkara dari MA ke Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15
Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan U UD 1945.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung. Ide pembuatan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia muncul dan menguat di era reformasi pada saat
dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun demikian, pemikiran mengenai
pentingnya keberadaan Mahkamah Konstitusi dari sisi judicia l review telah muncul
sebelum Indonesia merdeka.
Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidikan Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI, Prof. Mohammad
Yamin, telah melontarkan pemikiran mengenai pentingnya lembaga yang melakukan
pengujian konstitusionalitas undang-undang, sekaligus mengusulkan agar masuk
dalam rumusan rancangan Undang-Undang Dasar yang tengah disusun. Namun, ide
ini ditolak oleh Prof. Soepomo dengan alasan lembaga negara ini tidak sesuai dengan
sistem berpikir Undang-Undang Dasar yang saat itu disusun atas dasar prinsip
supremasi parlemen dengan menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
sebagai lembaga negara tertinggi. Oleh karena itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi
yang akan mewujudkan check and balances antar lembaga negara akan bertentangan
dengan supremasi MPR tersebut. Selain itu, gagasan pengujian konstitusional undang-
undang ini merupakan salah satu ciri dari paham pemisahan kekuasaan dalam trias
politika yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Indonesia, karena konstitusi yang
tengah disusun tidak mendasarkan diri pada paham trias politika.
Pada masa berlakukan Konstitusi RIS Judicia l review pernah menjadi salah
satu wewenang Mahkamah Agung, tetapi terbatas untuk menguji undang-undang
negara bagian terhadap konstitusi. Hal ini diatur dalam Pasal 156, Pasal 157, dan
Pasal 158 Konstitusi RIS. Sedangkan, di dalam UUDS 1950, tidak ada lembaga
penguji undang-undang karena undang-undang dipandang sebagai pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah bersama DPR. Di awal Orde Baru,
pernah dibentuk Panitia Ad Hoc II MPRS (19661967) yang merekomendasikan
diberikannya hak menguji material undang-undang kepada Mahkamah Agung, namun
rekomendasi tersebut ditolak oleh pemerintah. Pemerintah menyatakan bahwa hanya
MPR lah yang dapat bertindak sebagai pengawal konstitusi. Hal itu sudah pernah
dilakukan melalui Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 jo Ketetapan MPRS
Nomor XXXIX/MPRS/1968 tentang Peninjauan Kembali Produk Hukum Legislatif di
Luar Produk Hukum MPRS yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945.1
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal secara terpisah dari
Mahkamah Agung, yang mengemban tugas khusus merupakan konsepsi yang dapat
ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang
pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma
hukum yang lebih tinggi. Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama
kewenangan Mahkamah Konstitusi di Amerika Serikat oleh Mahkamah Agung dapat
dilihat sebagai perkembangan yang berlangsung selama 250 tahun, dengan rasa
kebencian sampai dengan penerimaan yang luas.
Revolusi Prancis dan konsep separation of powers dari Rosseau dan
Montesqieu merupakan bibit pengembangan judicial review ke depan, dan
keberhasilan awal tentara Napoleon serta pengaruh yang berkelanjutan dari hukum
dan budaya Prancis, membawa sikap dan pendekatan ini menyebar ke seluruh Eropa
dengan sistem hukumnya yang berbeda. 2) Akan tetapi, pemikiran Amerika tentang
judicial review setelah kasus Marbury v. Madison (1803) dan kemudian kasus Dred
Scott yang terkenal buruknya tahun 1857, menyebabkan pembaru di benua Eropa
mulai berpikir bahwa mahkamah semacam itu mungkin berguna juga di Eropa.
Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-
20, diminta menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria yang baru muncul dari
puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen
percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum yang
superior (lebih tinggi) dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara
demikian. Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan
peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi yang demikian,
sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk
mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan
undang- undang dasar. Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang

1
“Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.pdf,” hal 1-8, diakses 1 Maret 2024,
http://repository.unpas.ac.id/56937/6/Sengketa%20Kewenangan%20Lembaga%20Negara.pdf.
mendirikan mahkamah konstitutisi berdasar model itu untuk pertama sekali adalah
Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920,
rancangan Kelsen tersebut diwujud- kan di Austria.
Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan judicial
review menyebar ke seluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara
terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Prancis mengadopsi konsepsi ini secara
berbeda dengan membentuk constitutional council (conseil constitutionel). Negara-
negara bekas jajahan Prancis mengikuti pola Prancis ini. Ketika Uni Soviet runtuh,
bekas negara-negara komunis di Eropa Timur semuanya mereformasi negerinya, dari
negara otoriter menjadi negara demokrasi konstitusional yang liberal. Konstitusi
segera direvisi dan dalam proses itu satu lembaga baru dibentuk, yaitu satu mahkamah
yang terdiri atas pejabat-pejabat kekuasaan kehakiman dengan kewenangan untuk
membatalkan undang-undang dan peraturan lain jika ternyata ditemukan bertentangan
atau tidak sesuai dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu konstitusi.
Sampai sekarang sudah 78 negara yang mengadopsi sistem Mahkamah
Konstitusi yang didirikan terpisah dari Mahkamah Agungnya dan Indonesia
merupakan negara yang ke-78, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Mahkamah Konstitusi)
pada tanggal 13 Agustus 2003, yang telah berlaku secara operasional sejak
pengucapan sumpah 9 (sembilan) hakim konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.2

B. Riwayat Terbentuknya mahkamah konstitusi


Sesungguhnya dalam rangka memberdayakan Mahkamah Agung (MA), Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI) telah lama memperjuangkan agar Mahkamah Agung diberi
kewenangan untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945, sebagai salah satu
strategi yang dicetuskan sejak tahun 1970-an untuk memberdayakan Mahkamah
Agung. Strategi yang diusulkan itu juga meliputi pembatasan upaya hukum kasasi dan
peninjauan kembali, untuk mengurangi beban tunggakan perkara yang terlalu besar,
yang kebanyakan dilihat dari sudut hukum sudah jelas terbukti dan tidak ada masalah
hukum penting yang harus diperiksa Mahkamah Agung, yang merupakan salah
penerapan maupun melampaui wewenangnya.

2
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Edisi Kedua) (Sinar Grafika, 2022),
hal 3-4.
Strategi lain adalah mewujudkan sistem satu atap, yang memberi kewenangan
pada Mahkamah Agung untuk menangani dan mengawasi juga masalah administrasi,
kewenangan, dan organisasi, sehingga dapat lebih menjamin kemandirian Mahkamah
Agung. Tuntutan tersebut tidak pernah mendapat tanggapan yang serius untuk waktu
yang lama. Hal tersebut dapat dipahami, karena suasana dan paradigma kehidupan
ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik, waktu itu tidak
memperkenankan adanya perubahan konstitusi. Bahkan UUD 1945 cenderung
disakralkan. Padahal tuntutan perubahan tersebut hanya dapat dilakukan dengan
perubahan konstitusi.
Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia dan gerakan reformasi yang
membawa kejatuhan pemerintahan Orde Baru di tahun 1998, terjadi perubahan yang
sangat drastis dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Diawali
dengan Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999, yang membatasi masa
jabatan Presiden hanya untuk dua kali masa jabatan, dan penguatan DPR yang
memegang kekuasaan membentuk undang-undang, telah disusul dengan Perubahan
Kedua yang telah mengamandir Undang-Undang Dasar 1945 lebih jauh lagi.
Perubahan kedua meliputi banyak hal, tetapi yang paling menonjol adalah
dimasukkannya Hak Asasi Manusia dalam Bab XA. Perubahan ketiga telah membawa
perubahan lebih jauh dengan diperintah kannya pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya karena diduga telah melakukan pelanggaran hukum dengan
tidak hanya melalui proses politik, tetapi harus terlebih dahulu melalui proses hukum
dalam pemeriksaan dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
kesalahannya atas pelanggaran hukum yang dituduhkan.
Jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (Presiden) pada waktu itu, yang
tidak pernah terjadi secara mulus melalui proses konstitusional yang baik, merupakan
kondisi sosial politik yang telah mendorong lahirnya Mahkamah Konstitusi di
Indonesia. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 juga mengadopsi
pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berdiri sendiri di samping
Mahkamah Agung dengan kewenangan yang diuraikan dalam Pasal 24C ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945.
Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 meme- rintahkan
dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003.
Sebelum dibentuk, segala kewenangan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
disahkan, kemudian tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik, dan
mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.3
Ide pembentukan mahkamah konstitusi merupakan ekses dari perkembangan
pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20
ini. Di Negara-negara yang tengah mengalami tahpan perubahan dari otoritarian
menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting.
Krisis
konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam
proses perubahan itulah MK dibentuk pelanggaran demi pelanggaran terhadap
konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap
prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius
memberikan perlindungan terhadap hak hak konstitusional warga Negara dan
semangat penegakkan konstitusi sebagai “grundnorm” atau “highest norm”, yang
artinya segala peraturan perundang undangan yang berada dibawahnya tidak
boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi
merupakan bentuk perlimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people)
kepada Negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan
pemberian sebagian hak haknya kepada Negara, melalui harus dikawal dan
dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan
maupun aturan hukum dibawah konstitusi, merupakan wujud nyata
pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
Ide demikian yang nurut melandasi pembentukan MK di Indonesia. Pasal
ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakn menurut UUD. Ini mengimplimentasikan agar pelaksanaan kedaulatan
rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai
masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal orde baru
telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain dominasi oleh
hegemoni eksekutif, terutama semasa orde baru menuntut keberadaan wasit
konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan tidaknya
suatu undang undang terhdap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya
memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan dibawah undang
3
Siahaan, hal 4-6.
undang pada mahkamah agung. Identifikasi kenyataan kenyataan semacam
itu kemudian mendorong panitia Ad Hoc I Badan pekerja MPR yang menyiapkan
amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati orga baru bernama MK.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan
dipengaruhi oleh kondisi factual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai
konsekuensi dari perwujudan Negara hukum yang demokratis dan Negara
demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukan bahwa suatu
keputusan yang dicapai dengan demokrasi tidak selalu sesuai dengan ketentuan
UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlakukan
lembaga yang berwenag menguji konstitusionalitas undang undang. Kedua, pasca
perubahan kedua dan perubahan ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi
kekuasaan dengan menganut system pemisahan kekuasaan (separation powers)
berdasarkan prinsip Checks and balances. Jumlah lembaga Negara dan segenap
ketentuanya yang membuat potensi besar terjdinya sengketa antarlembaga
Negara.Sementara itu, perubahan paradigm supremasi MPR ke supremasi
konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara yang berwenang
menyelsaikan sengketa antar lembaga Negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga
tersendiri untuk menyelesaikan sengketatersebut. Ketiga, kasus pemakzulan
(impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada sidang hukum
yang digunakan dalam proses pemberhentian presiden atau wakil presiden
agar tidak semata mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati
perlunya lembaga hukum yang dilakukan oleh presiden atau wakil presiden yag
dapat menyebabkan presiden dan /atau wakil presiden diberhentikan dalam
masa jabatannya.
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga
pengujian konstitusional undang undang di berbagai Negara, serta
mendengarkan lembaga mahkamah konstitusi disahkan pada sidang tahunan
MPR 2001. Hasil perubahan ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan
mengenai lembaga yang diberi nama mahkamah konstitusi dalam pasal 24
ayat (2) dan pasal24 UUD 1945.4

4
Suharso Suharso, Dyah Adriantini Sintha Dewi, dan Bambang Tjatur Iswanto, “Kekuasaan Kehakiman Pasca
Amandemen Undang- Undang Dasar 1945,” Prosiding University Research Colloquium, 12 Mei 2020, hal 98-
100.
C. Pengertian Mahkahmah konstitusi
Mahkamah konstitusi adalah sebuah lembaga Negara yang ada setelah adanya
amandemen UUD 1945. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 mengadopsi
pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berdiri sendiri di samping
Mahkamah Agung dengan kewenangangannya yang diuraikan dalam pasal 24C ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi dikatakan dalam pertimbangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003 pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa
Mahkamah Konstitusi yaitu salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berfungsi
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat dan cita-ita demokrasi. namun demikian perkembangan hukum yang begitu
pesat menghendaki lembaga Mahkamah Konstitusi untuk selalu tanggap terhadap
berbagai persoalan yang muncul yang ada hubungannya dengan konstitusional.5
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini
berarti Mahkamah konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam
menegakkan hukum dan keadilan.
Kemudian dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 disebutkan
juga bahwasanya Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Maka dari itu penulis menyimpulkan
bahwasanya mahkamah konstitusi itu adalah sebuah lembaga peradilan yang di
dalamnya mengatur sengketa tertentu yang terjadi dalam suatu ketatanegaraan demi
terciptanya keadilan bagi warga negaranya. Sebelum adanya amandemen UUD 1945
Mahkamah Konstitusi belum dikenal atau bahkan tidak ada yang namanya peradilan
Mahkamah Konstitusi. Kemudian lembaga peradilan hanya mengenal Mahkamah
Agung sebagai lembaga peradilan. Setelah adanya amandemen UUD 1945,
pemerintah menambahkan Mahkamah Konstitusi sebagai suatu kekusaan kehakiman
yang kemudian dengan adanya Mahkamah Konstitusi tersebut maka sengketa

5
Bayu Lesmana Taruna, IDE MENGAKOMODASI CONSTI TUTI ONAL COM P LAIN SEBAGAI KEWENANGAN BARU
MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA, vol. 03, t.t.
mengenai pengujian undang-undang terhadap undang-undang Dasar hanya dapat
diputuskan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi yang putusannya itu bersifat final dan
mengikat.6
Pada hakikatnya, konstitusi memiliki peran untuk mempertahankan esensi
keberadaan sebuah negara dari pengaruh berbagai perkembangan yang bergerak
dinamis. Oleh karena itu, konstitusi yang ideal adalah hasil dari penyesuaian dan
penyempurnaan untuk mengikuti segala perkembangan, khususnya yang berkaitan
dengan keinginan hati nurani rakyat. Konstitusi tentunya bukan istilah yang asing
terutama yang terkait dengan proses amandemen Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 yang beberapa waktu terakhir menjadi isu sentral dalam
ketatanegaraan Indonesia. Perkataan Konstitusi berarti membentuk pembentukan
berasal dari kata kerja coustituer (Prancis) yang berarti membentuk. Kini yang
dibentuk adalah suatu Negara, maka Konstitusi mengandung permulaan dari segala
peraturan mengenai suatu negara.
Sementara dalam bahasa Belanda mempergunakan kata Grondwet, yang
berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum,
sedangkan di Indonesia mempergunakan kata Undang-Undang Dasar sama artinya
dengan Grondwet yang digunakan dalam bahasa Belanda. Berdasarkan pengertian di
atas maka konstitusi memuat suatu peraturan pokok (fundamental) mengenai soko
guru atau sendi-sendi utama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut
sebagai Negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kuat dan tidak akan mudah runtuh,
agar bangunan Negara tetap berdiri. Oleh karena itu, peraturan yang termuat dalam
konstitusi harus tahan uji, jangan sampai sendi-sendi itu memiliki celah-celah untuk
disalahartikan atau bahkan diganti oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan
bangunan suatu negara itu kokoh. Dengan demikian maka tidak ada seorang pun yang
dengan serta-merta dapat menggantikan sendi-sendi itu dengan tiang-tiang yang lain
coraknya dan yang akan mengubah wajah negara. Mahkamah Konstitusi sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman diharapkan mampu mengembalikan citra lembaga
peradilan di Indonesia sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat
dipercaya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi
diharapkan sebagai salah satu wujud mengawal Undang-Undang Dasar tahun 1945
dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukunr dan negara demokrasi yang adil
dan makmur untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Mahkamah
6
“BAB II.pdf,” hal 24-26, diakses 2 Maret 2024, http://repository.uinbanten.ac.id/3781/4/BAB%20II.pdf.
Konstitusi sebagai lembaga yang berlrak dan berwenang dalam melakukan pengujian
undang_ undang terhadap Undang_Undang Dasar 1945 mempunyai tanggung jar.vab
besar terhadap hal ini, oleh karenanya Mahkamah Konstitusi harus tetap didorong dan
diberi semangat untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya tersebut.
Konstitusi dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum yang
merupakan hasil pembentukan pemerintahan pada suatu negara yang biasanya
dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Dalam kasus pembentukan negara,
konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini
merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip
dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur,
prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan Konstitusi umumnya merujuk pada
penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan
kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara.
Konstitusi merupakan hukum dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis. Hukum dasar yang tertulis biasanya disebut sebagai Undang-Undang Dasar,
sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis disebut konvensi, yaitu kebiasaan
ketatanegaraan atau aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan negara. Mengingat sulitnya mengubah Undang-Undang Dasar,
sementara ada kondisi yang memerlukan peraturan, maka dalam penyelenggaraan
pemerintahan biasanya digunakan konvensi. Hal ini menimbulkan gagasan-gagasan
mengenai living constitution dalam arti bahwa suatu konstitusi yang benar-benar
hidup dalam masyarakat tidak hanya terdiri dari naskah yang tertulis saja, akan tetapi
juga meliputi konvensi-konvensi. Undang-Undang Dasar 1945 menganut paham
tersebut.7

D. Materi Muatan

Menurut A.A.H. Struycken Undang-undang Dasar (grondwet) sebagai


konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang memuat antara lain:
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau
2. Tingkatan-tingkatan tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang
maupun untuk masa mendatang

7
willius Kogoya, TEORI DAN ILMU KONSTITUSI, N. Rismawati, 2015.
4. Suatu keinginan dimana perkembangan kehidupan ketatanegaraan hendak
dipimpin.
Menurut Muh. Hatta konstitusi harus memuat adanya pengakuan terhadap hak-
hak sipil secara universal. Dalam pembahasan mengenai rancangan Undang-undang
Dasar pada tanggal 15 Juli 1945, Hatta menegaskan :
Hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin,
jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita
membangun masyarakat baru yang berdasarkan kepada gotong-royong, usaha
bersama tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita
memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas
negara baru itu suatu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara,supaya tiap-
tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak
untuk berkumpul dan bersidang atau masyarakat dan lainnya.
Menurut J.G. Steenbeek, terdapat tiga muatan pokok konstitusi yaitu:
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga
bersifat fundamental.
Muatan konstitusi menurut Miriam Budiardjo lebih luas cakupannya dari pada
pendapat J.G. Steenbeek, yaitu masuknya perubahan konstitusi sebagai salah satu
muatan konstitusi. Adapun muatan konstitusi menurut M. Budiardjo sebagai berikut:
1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan
legislatif, eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedural
menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan
pemerintah dan sebagainya.
2. Hak-hak asasi manusia.
3. Prosedur perubahan Undang-undang Dasar.
4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari
Undangundang Dasar.

Dalam sejarah dunia barat, konstitusi dimaksud untuk menentukan batas


wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan.
Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu, serta dengan
kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang progresif dan militan, konstitusi
menjamin alat negara untuk konsolidasi kedudukan hukum dan politik, untuk
mengatur kehidupan yang bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk
negara. Berhubungan dengan konstitusi di zaman modern tidak hanya memuat
aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsipprinsip
hukum, haluan negara dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat
penguasa.

Muatan materi konstisusi secara luas mengatur beberapa hal yang paling
fundamental demi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak semua hal dapat
dimasukkan dalam muatan materi konstitusi, ada hal yang pokok tapi tidak penting,
pun sebaliknya. Hak asasi manusia (human right) menjadi salah satu muatan materi
penting dan pokok dalam konstitusi yang dimiliki oleh suatu negara. Namun, dewasa
ini telah terjadi perkembangan HAM yang begitu pesat di setiap negara. Meskipun
hakikat dasar HAM itu bersifat kodrati, universalitas dan abadi, namun pada
kenyataannya di setiap negara memberikan klasifikasi HAM yang berbeda-beda,
tergantung pada kondisi dan persoalan dalam negara yang bersangkutan. Dalam
tulisan ini akan dikaji mengenai bagaimana urgensi muatan materi HAM dalam
konstitusi negara hukum yang demokratis.8

Jadi, dari konstitusi atau Undang-undang Dasar suatu negara, akan diketahui
tentang negara itu, baik bentuk kedaulatan maupun sistem pemerintahannya.
Misalnya bentuk negara Indonesia adalah Republik, menganut kedaulatan rakyat,
dan sistem pemerintahan presidential. Materi muatan dalam Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 meliputi jaminan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, prinsip-
prinsip dan dasar negara, tujuan negara dan lain sebagainya.Selanjutnya dalam setiap
negara kita akan menemukan adanya lembaga-lembaga negara sebagai supra stuktur
politik.9

8
Muhammad Ridzki Kharisma, “PENGEMBANGAN MUATAN MATERI KONSTITUSI TENTANG HAK ASASI
MANUSIA: PERBANDINGAN INDONESIA, SINGAPURA DAN REPUBLIK RAKYAT CINA” 02 (Mei 2021).
9
“KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME,” 2015.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
diharapkan mampu mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia sebagai
kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat dipercaya dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi diharapkan sebagai salah satu
wujud mengawal Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam rangka mewujudkan
cita-cita negara hukunr dan negara demokrasi yang adil dan makmur untuk
memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Mahkamah Konstitusi adalah institusi baru dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Institusi ini diadakan setelah dilakukannya perubahan atau amandemen
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yakni Pasal 24 ayat (2) yang
menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
urnum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Konstitusi berarti hukum dasar baik yang tertulis maupun yang tak tertulis.
Hukum dasar tertulis biasanya disebut sebagai Undang-Undang Dasar, sedangkan
hukum dasar yang tak tertulis disebut Konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan
atau aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan negara. Muatan materi konstisusi secara luas mengatur beberapa
hal yang paling fundamental demi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak
semua hal dapat dimasukkan dalam muatan materi konstitusi, ada hal yang pokok
tapi tidak penting, pun sebaliknya. Hak asasi manusia (human right) menjadi salah
satu muatan materi penting dan pokok dalam konstitusi yang dimiliki oleh suatu
negara. Namun, dewasa ini telah terjadi perkembangan HAM yang begitu pesat di
setiap negara.

B. Saran

Alhamdulillah dengan selesainya makalah ini penulis mengharapkan seluruh


pembaca menjadi orang yang haus akan ilmu terutama untuk belajar dengan tekun
dan teliti dalam belajar. Penulis mengharapkan bagi para pembaca untuk harap
maklum apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah.

DAFTAR PUSTAKA

“BAB II.pdf.” Diakses 2 Maret 2024. http://repository.uinbanten.ac.id/3781/4/BAB


%20II.pdf.
Kogoya, willius. TEORI DAN ILMU KONSTITUSI. N. Rismawati., 2015.
“KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME,” 2015.
Lesmana Taruna, Bayu. IDE MENGAKOMODASI CONSTI TUTI ONAL COM P LAIN
SEBAGAI KEWENANGAN BARU MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA. Vol. 03,
t.t.
Ridzki Kharisma, Muhammad. “PENGEMBANGAN MUATAN MATERI KONSTITUSI
TENTANG HAK ASASI MANUSIA: PERBANDINGAN INDONESIA,
SINGAPURA DAN REPUBLIK RAKYAT CINA” 02 (Mei 2021).
“Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.pdf.” Diakses 1 Maret 2024.
http://repository.unpas.ac.id/56937/6/Sengketa%20Kewenangan%20Lembaga
%20Negara.pdf.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Edisi Kedua).
Sinar Grafika, 2022.
Suharso, Suharso, Dyah Adriantini Sintha Dewi, dan Bambang Tjatur Iswanto. “Kekuasaan
Kehakiman Pasca Amandemen Undang- Undang Dasar 1945.” Prosiding University
Research Colloquium, 12 Mei 2020, 64–104.

Anda mungkin juga menyukai