Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KETATANEGARAAN MODERN, ISLAM DAN

KETATANEGARAAN MODERN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Konstitusi

Dosen Pengampu : Muhammad Amiril A’la,M.H.

Disusun Oleh :

1. Reynaldi Saputra Bachtiar ( 126103211103)


2. Putri Ilma Nur Arifah (126103211104)
3. Nurul Hidayah (126103211105)
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puja dan
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karunia-nya sehingga penulis
makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa abadi tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya.

Sehubun
gan dengan selesainya penulis makalah ini maka kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag. Selaku Rektor UIN SATU Tulungagung.
2. Bapak Dr. Nur Efendi, M.Ag Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN
SATU Tulungagung.
3. Bapak Ahmad Gelora Mahardika S.I.P., M.H. Selaku Kepala Jurusan Hukum Tata
Negara UIN SATU Tulungagung.
4. Bapak Muhammad Amiril A’la, M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Konstitusi, yang
memberikan bimbingan dan arahannya selama proses pembuatan makalah.

Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Dengan
penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima oleh Allah SWT, dan tercatat sebagai amal
salih. Akhirnya, penulisan makalah ini penulis suguhkan kepada segenap pembaca, dengan
harapan adanya kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi perbaikan.

Wassala
mualaikum Wr. Wb.

Tulungagung,26 September 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........ ..........................................................................................

DAFTAR ISI ...................... ..........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .. ..........................................................................................

A. Latar Belakang ......... ..........................................................................................


B. Rumusan Masalah .... ..........................................................................................
C. Tujuan Penelitian ...... ..........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .... ..........................................................................................

A. Ketatanegaraan Modern .......................................................................................


B. Islam dan Ketatanegaraan ....................................................................................

BAB III PENUTUP ............ ..........................................................................................

A. Kesimpulan .............. ..........................................................................................


B. Saran ........................ ..........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......... ..........................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki aturan ketatanegaraan sangat kompleks.
Aturan- aturan ketatanegaraan tersebut tidak semuanya diatur berdasarkan UUD NRi
1945, karena UUD NRi 1945 sangat terbatas sebagai norma dasar ketatanegaraan.
Dengan demikian, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily ibrahim bahwa: “Dalam
Hukum Tata Negara dikenal pula apa yang disebut dengan kebiasaan ketatanegaraan
(convention). Kebiasaan ketatanegaraan ini mempunyai kekuatan yang sama dengan
undang- undang, karena diterima dan dijalankan”.1 Konvensi ketatanegaraan sebagai
konstitusi yang tidak tertulis mempunyai peranan yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan, baik konvensi yang bersifat kebiasaan ketatanegaraan
(costum) maupun konvensi yang bersifat kesepakatan (agreement).
Konvensi ketatanegaraan memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam sistem hukum
indonesia. Konvensi ketatanegaraan merupakan bagian dari norma hukum konstitusi
tidak tertulis yang berfungsi melengkapi, menyempurnakan, atau bahkan mengubah dan
me- nyatakan tidak berlaku subtansi konstitusi tertulis (UUD NRi 1945) sebagai norma
hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik indonesia (NKRi). 1

Dalam sejarah politik dan ketatanegaraan indonesia, peristiwa politik yang terjadi pada
tahun 1998 tidak hanya mengubah situasi politik dan menandai pergeseran rezim dari
Orde Baru menuju reformasi, namun fase ini juga mengakhiri masa- masa otoritarianisme
yang berlangsung cukup lama dan akhirnya mengarah pada sistem demokrasi yang lebih
terbuka dan bebas. Situasi ini memungkinkan perubahan hampir pada seluruh seluk-beluk
kehidupan bernegara di indonesia, termasuk di dalamnya ke- beradaan partai-partai yang
lebih independen dan bebas dibandingkan masa sebelumnya, proses politik yang semakin
partisipatif di level akar rumput, dan munculnya elit-elit baru yang mewakili partai-partai
politik.
Salah satu perubahan signifikan di indonesia saat itu adalah amandemen UUD 1945
hingga beberapa kali dan berimplikasi pada perubahan sistem pemerintahan dan tata
negara. Menurut Jimly Asshiddiqie, perlunya amandemen UUD 1945 berangkat dari
kelemahan- kelemahan yang ada di dalam UUD 1945 tersebut dan menyebabkan tidak
demokratisnya indonesia, yang berimplikasi pada perubahan-perubahan men- dasar pada,
antara lain: penataan sistem hukum, penataan kelembagaan hukum, pembentukan dan
pembaruan hukum, penegakan hukum dan HAM,dan pembangunan infrastruktur kode
etika positif.

1
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN UI, 1983), hlm. 50.
Dalam wilayah tata pemerintahan dan tata negara, perubahan signifikan yang sangat
tampak adalah perubahan struktur lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Merujuk
pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa: “kekuasaan
tertinggi negara masih terletak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang
memegang kekuasaan penuh atas kedaulatan rakyat.” Kewenangan tertinggi MPR ini
juga terlihat dari Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen yang menegaskan
bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.” Dari
klausul Pasal 6 di atas, sangat jelas bahwa kekuasaan Presiden berada di bawah
kekuasaan MPR, karena MPR-lah yang memiliki kewenangan untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden.
Hal ini menjadi sangat kontras ketika disandingkan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD NRi
1945 pasca amandemen yang memberikan kewenangan kepada MPR hanya melantik
Presiden dan Wakil Presiden. Kewenangan melantik tersebut berkait erat dengan Pasal
6A Ayat (1) UUD NRi 1945, yang menegaskan bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Perubahan Pasal ini
berimplikasi pada perubahan mandat yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden,
yang awalnya berada di bawah MPR, berubah menjadi langsung kepada rakyat yang
memilihnya. Untuk itu, sebagaimana lembaga yang dipilih secara langsung oleh rakyat,
menurut Pasal 19 dan 22 C UUD NRi 1945 dinyatakan: “Presiden memiliki kedudukan
yang sama dengan lembaga tertinggi negara yang lain, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR Ri) dan MPR Ri. implikasinya pula, Presiden yang dipilih oleh rakyat secara
langsung ini kemudian tidak bertanggung jawab kepada DPR.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ketatanegaraan Modern
2. Apa yang dimaksud dengan Islam dan ketatanegeraan modern
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ketatanegaraan Modern
2. Untuk mengetahui Islam dan Ketatanegaraan Modern

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ketatanegaraan Modern

Ketatanegaraani modern dimulai sejak adanya pengundangan dalam bentuk UUD yang tertulis,
yaitu UUD Amerika Serikat (1787) dan deklarasi Prancis tentang hak-hak asasi manusia dan
warga negara (1789). Kedua naskah tersebut memberikan dampak yang cukup besar terhadap
negara-negara lainnya. Diundangkannya UUD tertulis banyak memengaruhi dan memberikan
wawasan tentang perlunya UUD sebagai konstitusi yang harus dimiliki oleh setiap negara
didunia. Akan tetapi, ada sebagian kecil negara yang tidak memiliki UUD secara tertulis, seperti
Inggris. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa Inggris tidak memiliki konstitusi karena sesuai
dengan zaman modern konstitusi biasa lahir dari adanya kebiasaan yang timbul dari praktik
ketatanegaraan.

Secara luas, konstitusi berarti keseluruhan hukum dasar, baik yang tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur secara mengikat penyelenggaraan ketatanegaraan dalam suatu negara. Pada
dasarnya konstitusi modern menganut pokok-pokok berikut:

a. AJaminan hak-hak asasi manusia;

b. Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar;

c. Pembagian pada pembatasan kekuasaan. Konstitusi dibuat oleh lembaga khusus dan
tinggi kekuasaannya.
Konstitusi juga sebagai sumber hukum tertinggi sehingga dijadikan patokan untuk menentukan
undang-undang, membuat kebijakan, serta membatasi kewenangan penguasa dalam suatu negara.
Dari sifat konstitusi yang flexible dan rigid (kaku), konstitusi pada perkembangan modern dapat
menyesuaikan keadaan dalam suatu negara yang berhubungan dengan masyarakat sehingga lebih
menjamin hak-hak asasi masyarakat suatu negara. Ketatanegaraan dituangkan sebagai bentuk
kaidah hukum yang dapat digunakan untuk membatasi kekuasaan yang di dalamnya
mengandung prinsip negara hukurn, pembatasan kekuasaan, demokrasi, dan jaminan hak-hak
asasi manusia dalam bentuk konstitusi. Pembatasan kekuasaan dapat dilakukan melalui
suprastruktur politik ataupun infrastruktur politik.

Sistem ketatanegaraan modern mengisyaratkan dua model perubahan konstitusi, yaitu: renewal
(pembaruan) dan amandemen (pembaruan). Wacana perubahan UUD 1945 mulai mengemuka
seiring dengan perkembangan politik pasca Orde Baru. Sebagaian kalangan menghendaki
perubahan total terhadap UUD 1945. Ada juga yang berpendapat UUD 1945 masih relevan
dengan perkembangan politik Indonesia dan oleh karena itu harus tetap dipertahankan, hanya
saja perlu dilakukan amandemen pada pasal-pasal tertentu yang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman saat ini.

Jika UUD 1945 dirubah secara total dan digantikan dengan yang baru maka akan terjadi
perubahan konsensus politik yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa. Lebih dari sekedar
itu, perubahan total terhadap UUD 1945 akan berakibat pada pembubaran Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sejak proklamasi telah terjadi beberapa amandemen terhadap konstitusi
Indonesia sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945-17 Agustus

1950)

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus

1950)

3. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (17 Agustus 1950-

5 Juli 1959)
4. Undang-Undang Dasar 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999)

5.UUD 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999-18 Agustus 2000)

6. UUD 1945 perubahan I dan II (18 Agustus 2000-9 November 2001) 7. UUD 1945 perubahan
I, II dan III (9 November 2001-10 Agustus 2002) 8. UUD 1945 perubahan I,II,III dan IV (10
Agustus 2002-sekarang).2

Dalam teori trias politica dikenal dengan pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif).
Di Indonesia lembaga legislatif di representasikan pada tiga lembaga, yaitu MPR, DPR, DPD.
DPR adalah lembaga perwakilan rakyat yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
DPD adalah lemabga yang merupakan wakil-wakil daerah provinsi dan dipilih melalui pemilu
yang memiliki fungsi pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan
yang berkaitan dengan bidang legislasi dan pengawasan atas pelaksanaan undangundang tertentu

Kekuasaan eksekutif dimaknai sebagai kekuasaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan


negara dan pelaksanaan UU. Sebagaimana UUD 1945 kekuasaan eksekutif dilakukan oleh
presiden yang dibantu wakil presiden dalam menjalankan kewajiban negara, seperti yang
tercantum dalam pasal 1, presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

Lembaga yudikatif atau lembaga kehakiman di Indonesia terdiri dari Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Fungsi lembaga yudikatif adalah menegakkan hukum dan keadilan. MA
memiliki badan peradilan dibawahnya diantaranya Peradilan Umum, Agama, Militer dan
Pengadialan Tata Usaha Negara.. MK beranggotakan 9 orang hakim Komisi Yudisial bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Komisi Yudisial dalam
pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya
Reformasi kelembagaan negara yang terjadi di Indonesia bertujuan untuk mengembalikan
kedaulatan di tangan rakyat. Adanya pemisahan kekuasaan dan kewenangan antar lembaga
negara diharapkan terciptanya check and balances.

2
Satya Arianto, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila, Proceeding Kongres
Pancasila: Pancasila dalam Berbagai Perspektif, (Jakarta, Setjen dan
Kepaniteraan MK:2009)
B. Islam dan Ketatanegaraan Modern

Membahas mengenai kehidupan beragama dalam perspektif konstitusi dapat dijelaskan bahwa
setiap warga negara wajib untuk memeluk dan menjalankan agama, termasuk Agama Islam. Hal
ini menjadi suatu konsekuensi bagi pemeluk agama yang bersangkutan wajib menjalankan
syariat agama. Apabila seseorang beragama Islam atau menyatakan diri beragama Islam, maka
dia harus tunduk pada aturan Islam, bukan justru dia hanya mengaku beragama Islam tanpa
melaksanakan kewajibannya sebagai umat Islam dengan sungguh-sungguh. Pengertian hak
beragama hanya mengenai hak untuk menjalankan salah satu agama yang berlaku di Indonesia.
Sehingga dalam tataran implementasi mengenai kehidupan beragama perlu adanya aktualisasi
mengenai nilai-nilai kebebasan yang ada untuk memberikan pencerahan makna yang terkandung
di dalam UUD 1945. 28 (28Kaelan MS, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2008), h.
76

Penekanan kewajiban untuk menjalankan agama yang diyakini (dalam hal ini adalah Islam)
dibuktikan dengan menjalankan Rukun Islam dan Rukun Iman. Sehingga apabila prinsip
beragama dalam perspektif konstitusi diartikan secara seimbang antara hak dan kewajiban, maka
akan mudah bisa mewujudkan ketertiban hukum, kehidupan yang saling toleransi, dan
ketentraman. Selanjutnya mengenai Islam dalam perspektif konstitusi, secara yuridis
konstitusional UUD 1945 memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk
Agama Islam untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam. Eksistensi ideologi
Islam secara expressiv verbis terdapat pada Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila
yaitu, “Ketuhanan yang Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al Ikhlas pada ayat
(1) yaitu ٌ‫ ” ” لُقْ ُوھَ للاه ُ دَ َحأ‬yang berarti “katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”.

Pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai
keislaman yan tinggi yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Dalam perspektif konstitusi terdapat keseimbangan mengenai
hubungan negara, hukum, dan agama. Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi
lingkaran yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila. 3

Prinsip-prinsip Hukum Islam yang dijadikan landasan ideal fiqih yaitu:Prinsip


tauhidullah,Prinsip insaniyah,Prinsip tasamuh,Prinsip ta’awun,Prinsip silaturahim bain
annas,Prinsip keadilan, danPrinsip kemaslahatan. Menurut Muhammad Thahir Azhary29, Agama
Islam dalam sistem hukum nasional terdapat berbagai relevansi hukum, baik dalam bentuk
konsep maupun praktik hukum yang ada, yaitu sebagai berikut:

1. Prinsip permusyawaratan, di dalam Alquran terdapat dua ayat yang menggariskan prinsip
musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar nomokrasi (negara hukum) yang mempunyai
relevansi dengan hukum di Indonesia, yaitu
ayat ini .‫ُورى َوأ َ ْم ُرھُ ْم‬
َ ‫ بَ ْینَ ُھ ْم ش‬,(terdapat pada Q.S. Al Syura ayat (38 menggambarkan bahwa dalam
setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum, Nabi selaku mengambil
keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya. Selanjutnya dijelaskan pula
dalam Q.S.
yang berarti “dan “‫; ” ْم ِ َر ال ْ فِي َوشَا ِو ْرھُ ْم‬Ali Imran ayat (159), yaitu bermusyawarahlah engkau
dalam setiap setiap urusan”.Ketentuan dalan surat tersebut mempunyai relevansi dengan sila
keempat pada Pancasila yang menyangkut mengenai permusyawaratan.

2. Prinsip keadilan, prinsip keadilan merupakan prinsip ketiga dalam hukum Islam. Perkataan
adil (al ‘adl, al qisth, dan al mizan) menempati urutan ketiga yang paling banyak disebut di
dalam Alquran setelah kata “Allah” dan “ilmu pengetahuan”. Sehingga disimpulkan bahwas
Islam mengajarkan manusia di dunia untuk selalu berbuat adil dengan mengedepankan integritas
yang tinggi.

Dalam Q.S. An nisa’ ayat (135) yang berarti “Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu benar-benar menjadi penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah,
biarpun terhadap dirimu sendiri, atau ibu-bapak dan kerabatmu”. Secara konstitusional konsep
dan prinsip keadilan dapat ditemukan pada sila ke lima pada Pancasila, yang menjadi landasan

3
Zainal Arifin Housein, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade
pengujian peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
dasar dari
tujuan dan cita-cita-cita negara (staatsidee) sekaligus sebagai landasan filosofis negara
(filosofische grondslag).

3. Prinsip persamaan atau kesetaraan dan hak asasi manusia, prinsip persamaan dalam hukum
Islam mencakup persamaan dalam segala bidang termasuk di bidang politik, hukum dan sosial.
Perdamaian di bidang hukum memberikan jaminan akan perlakuan dan perlindungan hukum
yang sama terhadap semua orang tanpa memandang kedudukan asalnya (original position).
Prinsip persamaan, termasuk prinsip kebebasan yang sama tercermin dari adanya ketentuan
mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights
and fredoms of citizens). Berkaitan dengan hak kesetaraan hukum antara pria dan wanita
(gender) dapat ditemukan pada Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1) UUD 1945 Pasca amandemen.
Dalam Q.S. Al Baqarah ayat (228) disebutkan

yaitu para “‫علَ ْی ِھ هن الهذِي مِثْ ُل َولَ ُھ هن‬


َ ِ‫ بِ ْال َم ْع ُروف‬. ‫صلَ أ َ َراد ُوا إِ ْن لِكَ ذَ فِي بِ َر ِدِّھ هِن أ َ َحق َوبُعُولَت ُ ُھ هن‬
ْ ِ‫” ًحا إ‬
perempuan mempunyai hak yang setara dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.

4. Prisip peradilan yang bebas, yaitu peradilan yang berguna memberikan keadilan bagi para
pencari keadilan (justiciabelen). Justice Abu Hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman
harus kebebasan dari segala macam bentuk pressure (tekanan) dan campur tangan kekuasaan
eksekutif. Bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan
putusan pada seseorang penguasa apabila ia melaggar hak-hak rakyat. Prinsip peradilan yang
bebas dijelaskan dalam Q.S. An nisaa ayat (58) yang berbunyi

ِ ‫” ِب ْال َعدْ ِل كُ ُموا ت َ ْح أَن النه‬


yang berarti “Bila kamu menetapkan hukum “‫اس َبیْنَ َحك َْمتُم َو ِإذَا‬

di antara manusia maka hendaklah kamu tetapkan dengan adil”. Dalam bidang justisial, secara
normatif mewajibkan tercantum kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
pada setiap putusan hakim. Di samping itu, mengenai peradilan terdapat pengakuan eksistensi
terhadap Peradilan Agama sebagai peradilan yang independen. Peradilan agama merupakan
peradilan bagi orang-orang Islam dengan kewenangan memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata antara orang Islam.
5. Prinsip kesejahteraan, dalam prinsip ini ada motivasi pelaksanaan prinsip kesejahteraan
yaitu doktrin Islam “hablun min Alah wa hablun min annas”, yaitu aspek ibadah dan
aspek mu’amalah. Dengan kata lain, realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata
bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat.4

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa: 1. Ketatanegaraan Republik Indonesia pada waktu
sebelum UUD 1945 diamanden sebanyak empat kali, yang menempati posisi tertinggi
adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan UUD 1945. Kemudian yang
menempati posisi di bawahnya antara lain Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
dan Mahkamah Agung (MA). Setelah UUD 1945 diamandemen, kedudukan
lembaga-lembaga negara menjadi berubah. Perubahan tersebut antara lain yang
menempati posisi tertinggi adalah UUD 1945. Kemudian yang menempati posisi
dibawahnya antara lain Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang di dalamnya terdapat Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden dan Wakil Presiden,
Kekuasaan Kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA),
dan Komisi Yudisial (KY). Jadi di dalam ketatanegaraan Republik Indonesia hanya
UUD 1945 yang menempati posisi tertinggi bukan bersama MPR; DPA dihapus;
kekuasaan kehakiman sebelum UUD 1945 diamandemen hanya terdapat MA
sedangkan setelah UUD 1945 diamandemen, kekusaan kehakiman terdapat tiga
lembaga diantaranya MK, MA, dan KY.

4
Harun Nasution, Islam dan Sistem Pemerintahan Sebagai yang Berkembang dalam
Sejarah” dalam studia Islamika, Nomor 17 Tahun VIII, LP IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta,1985
2. Ketatanegaraan Republik Indonesia pada waktu sebelum UUD 1945 diamanden
sebanyak empat kali, MPR mempunyai fungsi untuk menetapkan UUD, menetapkan
GBHN, memilih dan mengangkat Presiden Wakil Presiden , Memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD, memilih
Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden dalam hal terjadi
kekosongan wakil Presiden, memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai berakhir
masa jabatannya, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
DPD mempunyai fungsi mengajukan, membahas dan mengawasi RUU kepada DPR
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah dan memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan
RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. DPR mempunyai fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, mempunyai hak interpelasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat mengajukan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden, persetujuan dalam menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian, pemberian pertimbangan kepada Presiden dalam
menerima penempatan duta negara lain, pemberian amnesti dan abolisi, Persetujuan
atas perpu, pembahasan dan persetujuan atas RAPBN yang diajukan oleh Presiden,
pemilihan anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD, persetujuan
calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, persetujuan pengangkatan dan
pemberhentian anggota KY, pengajuan tiga orang calon hakim konstitusi. Presiden
dan Wakil Presiden berfungsi untuk memegang kekuasaan pemerintahan menurut
UUD, berhak mengajukan RUU kepada DPR, menetapkan peraturan pemerintah,
memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-
lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa, memegang kekuasaan yang
tertinggi atas AD, AL, dan AU.
DAFTAR PUSTAKA

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara

Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN UI, 1983), hlm. 50

Arianto ,Satya, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila, Proceeding Kongres

Pancasila: Pancasila dalam Berbagai Perspektif, (Jakarta, Setjen dan

Kepaniteraan MK:2009)

Housein,Zainal Arifin , Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade

pengujian peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Nasution, Harun, Islam dan Sistem Pemerintahan Sebagai yang Berkembang dalam

Sejarah” dalam studia Islamika, Nomor 17 Tahun VIII, LP IAIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta,1985

Anda mungkin juga menyukai