Anda di halaman 1dari 19

Teori Hukum di Indonesia

Disusun Guna Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Teori Sejarah Hukum

Dosen Pengajar Prof. Dr. H. Edi Setiadi, SH., MH.

Disusun Oleh:

Muhammad Irham Yusuf (20040023402)

Kelas A

FAKULTAS MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM


BANDUNG

2024
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, yang maha Pengasih lagi
maha Penyayang yang telah memberikan rahmat-Nya, sholawat serta salam dipanjatkan kepada
nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Berkat ridhonya dan
ikhtiar yang tiada putusnya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul: “Teori

Hukum di Indonesia”

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas ujian tengah semester mata kuliah Teori
Sejarah Hukum pada Program Studi Magister Universitas Islam Bandung (UNISBA). Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H.,
M.H sebagai Dosen Pengajar mata kuliah Teori Sejarah Hukum yang telah meluangkan waktu,
memberikan ilmu, masukan dan bantuan dalam peningkatan kualitas materi makalah ini.

Dengan diterbitkannya makalah ini diharapkan dapat dijadikan pedoman oleh para dosen
dan mahasiswa untuk melakukan proses pembelajaran secara efektif dan efisien. Penulis juga
menyadari dalam modul ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, dan insya Allah akan
senantiasa diperbaharui seperlunya.

Tanjung Enim, 22 Januari 2024

Muhammad Irham Yusuf


Daftar Isi
BAB I......................................................................................................................................4
PENDAHULUAN....................................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................7
PEMBAHASAN......................................................................................................................7
BAB III..................................................................................................................................18
KESIMPULAN......................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................19
Teori Hukum Konstitusi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan konstisusi negara indonesia terjadi beberapa kali mulai dari orde lama ke orde
baru dan masa reformasi dimana Gerakan reformasi tahun 1998 telah membawa bangsa
Indonesia menuju suatu sistem pemerintahan yang jauh berbeda dengan sistem pemerintahan
sebelum nya yaitu orde lama dan orde baru yang kita ketahui bersama-sama bahwa kedua
orde tersebut sama-sama berlindung di balik konsitusi. Dan gerakan reformasi ini juga
menginginkan sebuah reformasi di bidang konstitusi.
Terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945
yang dilakukan oleh MPR hasil pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-
2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu
menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif
diperkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih
diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat. Amandemen
UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil
presiden secara langsung
Berkaitan dengan dasar filsafat pancasila, kita ketahui bersama merupakan sumber dari
segala sumber hukum di indonesia dan merupakan dasar negara, pancasila telah dapat
berdiri kokoh sampai sekarang, karena pancasila dapat menyelesaikan segala permasalahan
yang di hadapi bangsa indonesia. Dan bentuk dari negara hukum harus secara tegas di
sebutkan dalam UUD 1945, yang penulis ketahui bahwa, indonesia ialah negara hukum,
merupakan adopsi dari konsep Anglo Saxon (the rule of law) yang berbeda konsep dengan
bangsa indonesia. Negara hukum yang benar-benar mencerminkan budaya bangsa indonesia
yang gotong royong dan kekeluargaan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah merupakan dasar
Negara Indonesia. Seperti yang termuat dalah pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Peraturan Perundang-Undangan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menduduki urutan tertinggi dalam hierarki perundang-undangan di
Indonesia. Hal demikian membawa konsekuensi hukum terhadap peraturan perundang-
undangan di Indonesia, yaitu bahwa peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak boleh bertentangan isinya
(materiil) maupun mekanisme pembuatannya (formil) dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar Negara
Indonesia telah mengalami amandemen sebanyak empat kali. Amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah suatu wujud reformasi hukum yang
dilakukan di Indonesia. Salah satu substansi penting dari perubahan itu tepatnya dalam
amandemen yang keempat, ialah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara
baru yang berdiri sendiri dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Dalam pasal 24 ayat (2) UUDN RI Tahun
1945, disebutkan tentang keberadaan Mahkamah Konstitusi yang kemudian secara lebih
rinci kewenangannya disebutkan dalam pasal 24 C ayat (1) dan (2) UUDN RI Tahun 1945.
Sebagai institusi baru yang bebas dari kekuasaan Mahkamah Agung ataupun campur tangan
pemerintah, Mahkamah Konstitusi bisa tumbuh secara sehat dan mampu memainkan tugas
dan fungsinya dengan baik. Meskipun demikian, kelemahan Mahkamah Konstitusi hanya
berwenang menguji keabsahan materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, dan
Mahkamah Konstitusi juga tidak bisa menguji pelaksanaan ataupun penerapan Undang-
Undang.
Menurut Dr. Mohammad Mahfud MD, beberapa kewenangan yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi adalah adalah uji material Undang-Undang (UU) terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDN RI) 1945, memutus sengketa
kewenangan lembaga Negara, memutus pembubaran partai politik serta memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memeriksa masalah konstitusional
(constitutional question) dan bukan kasus konstitusional (constitutional case). Mahkamah
Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara yang menyangkut
pelanggaran hak-hak kosntitusional individual melalui mekanisme yang dikenal sebagai
komplain konstitusional (complain constitutional).
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyebutkan bahwa. “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Sebagai sebuah Negara
hukum, Negara mempunyai suatu kewajiban untuk menegakkan hukum dan menciptakan
suasana bernegara yang aman, tertib, serta berkeadilan. Pada dasarnya, Negara mempunyai
tanggung jawab untuk menciptakan rasa adil bagi setiap warga Negara Indonesia.
Di Negara Indonesia, hakim adalah seorang yang berhak dalam memutus suatu
permasalahan hukum. Hakim akan menilai suatu permasalahan hukum dan mempelajarinya
dengan seksama sebelum membuat suatu keputusan. Oleh karena itu, sudah seharusnya
hakim berusaha agar dapat memutuskan suatu perkara seobyektif mungkin secara
berkeadilan.

B. Rumusan Masalah
Rumusan-Rumusan masalah adalah
a. Apa Pengertian Hukum dan Konstitusi?
b. Apa Nilai-Nilai konstitusi?
c. Bagaimana Sejarah Konstitusi RI?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum dan Konstitusi


Konstitusi berasal dari kata constitution (Bhs. Inggris) – constitutie (Bhs. Belanda) –
constituer (Bhs. Perancis), yang berarti membentuk, menyusun, menyatakan. Dalam bahasa
Indonesia, konstitusi diterjemahkan atau disamakan artinya dengan UUD. Konstitusi
menurut makna katanya berarti dasar susunan suatu badan politik yang disebut negara.
Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa
kumpulan peraturan untuk membentuk, mengatur, atau memerintah negara. Peraturan-
peraturan tersebut ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, dan ada yang
tidak tertulis berupa konvensi.
Dalam perkembangannya, istilah konstitusi mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Dalam pengertian luas (dikemukakan oleh Bolingbroke), konstitusi berarti keseluruhan
dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar. Seperti halnya hukum pada
umumnya, hukum dasar tidak selalu merupakan dokumen tertulis atau tidak tertulis atau
dapat pula campuran dari dua unsur tersebut.
2. Dalam arti sempit (dikemukakan oleh Lord Bryce), konstitusi berarti piagam dasar atau
UUD, yaitu suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara.
Contohnya adalah UUD 1945.
Menurut Herman Heller, konstitusi mencakup tiga pengertian, yaitu:
1. Die politische verfassung als gesselchaffliche wirklichkeit, yaitu konstitusi yang
mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kewajiban.
2. Die verselbstandigte rechtverfassung, yaitu mencari unsur-unsur hukum dari konstitusi
yang hidup dalam masyarakat tersebut untuk dihadirkan sebagai suatu kaidah hukum.
3. Die geschriebene verfassung, yaitu menuliskan konstitusi dalam suatu naskah sebagai
peraturan perundangan yang tertinggi derajatnya dan berlaku dalam suatu negara.
Menurut pendapat L.J. Apeldorn dan Herman Heller., konstitusi tidaklah sama dengan
UUD. Undang-Undang Dasar hanyalah sebatas hukum yang tertulis, sedangkan konstitusi di
samping memuat hukum dasar yang tertulis juga mencakup hukum dasar yang tidak tertulis.
Hukum adalah peraturan atau norma yaitu petunjuk atau pedoman hidup yang wajib ditaati
oleh manusia. Hukum diadakan dengan tujuan agar menimbulkan tata atau damai dan yang
lebih dalam lagi yaitu keadilan di dalam masyarakat mendapatkan bagian yang sama, dan
akhirnya dapat terwujud atau terlaksana adanya cuum ciuquo tribuere (kepada masing-
masing anggota masyarakat mendapat bagian yang sama).
Hukum terdapat dimanapun terdapat manusia disitu pasti terdapat hukum, disamping itu
hukum juga memiliki fungsi dan tujuan adapun fungsi hukum adalah sebagai berikut:
1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat.
2. Hukum juga member petunjuk kepada manusia untuk dapat memilih mana yang harus
diperbuat dan mana yang tidak perlu diperbuat hal ini dikarenakan hukum memiliki
karakter untuk mengatur karakter dan mengatur tingkah laku masyarakat.
3. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin.
4. Hukum mempunyai ciri memerintah, melarang mempunyai sifat memaksa, mempunyai
daya yang mengikat fisik dan psikologis. Karena hukum memiliki ciri, sifat dan daya
mengikat tersebut, maka hukum dapat memberikan keadilan dapat menetukan siapa
yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah. Hukum dapat memaksa agar peraturan
ditaati dan yang melanggar akan diberi sanksi.
5. Sebagai penggerak Pembangunan
6. Daya mengikat dan memaksa hukum dapat digunakan atau didaya gunakan untuk
menggerakkan pembangunan kea rah yang lebih baik. Dalam hal ini sering timbul
kritik, bahwa hukum hanya melaksanakan dan mendesak masyarakat sedangkan
aparatur otoritas lepas dari kontrol hukum.
7. Fungsi kritis hukum.
Kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada apartur pengawasan dan
aparatur pemerintah saja, melainkan Hubungan antara hukum dan konstitusi sangat erat
karena konstitusi merupakan dasar atau landasan hukum utama suatu negara. Konstitusi
adalah perangkat hukum tertinggi yang menetapkan struktur pemerintahan, hak-hak warga
negara, dan prinsip-prinsip dasar yang mengatur kehidupan suatu negara.
Berikut adalah beberapa aspek hubungan antara hukum dan konstitusi:

1. Konstitusi sebagai Hukum Dasar:


a) Konstitusi menjadi hukum dasar yang menentukan struktur dan fungsi
pemerintahan.
b) Semua hukum lainnya harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
konstitusi.
2. Perlindungan Hak Asasi Manusia:
a) Konstitusi sering kali mencantumkan hak-hak dasar warga negara, dan hukum
harus sesuai dengan hak-hak tersebut.
b) Hukum yang bertentangan dengan hak-hak konstitusional dapat dianggap tidak sah
atau tidak konstitusional.
3. Pembentukan dan Pembatalan Hukum:
a) Konstitusi memberikan kerangka kerja untuk pembentukan dan pembatalan hukum.
b) Proses legislasi harus sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam konstitusi.
4. Ketentuan tentang Kekuasaan dan Pembagian Wewenang:
a) Konstitusi menetapkan pembagian kekuasaan antara cabang-cabang pemerintahan,
seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
b) Hukum-hukum yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ini harus sesuai dengan
kewenangan yang diberikan oleh konstitusi.
5. Ketentuan tentang Negara Hukum:
a) Konstitusi sering menegaskan prinsip negara hukum, yang berarti bahwa negara
harus tunduk pada hukum dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang.
6. Penafsiran dan Putusan Mahkamah Konstitusi:
a) Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting dalam menafsirkan konstitusi dan
menguji kesesuaian suatu hukum dengan konstitusi.
b) Putusan Mahkamah Konstitusi dapat memengaruhi interpretasi dan penerapan
hukum di negara tersebut.
Dengan demikian, konstitusi adalah dasar yang menentukan struktur dan prinsip-prinsip
dasar hukum dalam suatu negara, dan hukum harus selaras dengan konstitusi untuk dianggap
sah. Hubungan yang erat antara hukum dan konstitusi menciptakan kerangka kerja hukum
yang kokoh dan memberikan dasar bagi kestabilan dan keadilan dalam suatu negara.

B. Nilai-Nilai konstitusi
Nilai-nilai konstitusi merujuk pada prinsip-prinsip atau standar-nilai yang mendasari
suatu konstitusi suatu negara. Nilai-nilai ini mencerminkan pandangan masyarakat dan
pemerintah tentang hak-hak individu, kewajiban, pembagian kekuasaan, dan prinsip-prinsip
dasar lainnya yang mengatur organisasi dan fungsi pemerintahan.
Berikut adalah beberapa nilai konstitusi umum yang sering ditemui:
1. Keadilan: Konstitusi sering kali menekankan pentingnya keadilan dalam perlakuan
terhadap semua warga negara. Prinsip ini menjamin hak-hak setiap individu dan
menghindari diskriminasi.
2. Kebebasan dan Hak Asasi Manusia: Konstitusi biasanya mengakui dan melindungi hak-
hak asasi manusia, seperti kebebasan berbicara, kebebasan beragama, hak untuk hidup,
dan hak-hak lainnya.
3. Demokrasi: Banyak konstitusi mencerminkan prinsip demokrasi, yang mencakup
pemilihan umum, kebebasan berpendapat, dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat.
4. Pembagian Kekuasaan: Prinsip ini menetapkan pembagian kekuasaan antara lembaga-
lembaga pemerintahan, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif, untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan.
5. Negara Hukum: Konstitusi sering menetapkan prinsip negara hukum, yang berarti bahwa
hukum di atas segalanya. Semua tindakan pemerintah dan individu harus sesuai dengan
hukum.
6. Keragaman dan Pluralisme: Beberapa konstitusi mencerminkan nilai-nilai keragaman dan
pluralisme, mengakui hak setiap kelompok etnis, agama, atau budaya.
7. Kesejahteraan Masyarakat: Konstitusi mungkin menetapkan tanggung jawab pemerintah
untuk menciptakan kondisi yang mendukung kesejahteraan masyarakat, seperti
pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
8. Ketertiban dan Keamanan: Prinsip ini menekankan pentingnya menjaga ketertiban dan
keamanan dalam suatu negara untuk melindungi hak-hak warganya.
9. Hak Atas Kepemilikan: Beberapa konstitusi melindungi hak individu untuk memiliki
properti dan menjamin perlindungan hukum terhadap hak-hak kepemilikan tersebut.
Nilai-nilai konstitusi ini bisa bervariasi antara negara satu dengan yang lainnya,
tergantung pada sejarah, budaya, dan nilai-nilai masyarakat setempat. Nilai-nilai ini
membentuk dasar hukum dan norma-norma yang mengatur kehidupan masyarakat dalam
suatu negara.
1. Nilai Normatif. Bagi suatu Bangsa konstitusi itu bukan saja berlaku dalam arti hukum,
tetapi juga merupakan suatu kenyataan (Reality). Dalam arti sepenuhnya diperlukan dan
efektif. Contoh negara yang menganutnya yaitu negara Amerika Serikat.
2. Nilai Nominal. Dalam hal ini konstitusi menurut hukum memang berlaku tetapi
kenyataanya tidak sempurna. Ketidak sempurnaan berlakunya suatu konstitusi ini
jangan dikacaukan bahwa sering kali suatu konstitusi yang tertulis berbeda dari
konstitusi yang dipraktekan oleh Negara Indonesia.
3. Nilai Semantik. Konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya
hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk
melaksanakan kekuasaan politik contoh negara Indonesia pada masa Orde Lama.

C. Fungsi Konstitusi
Konstitusi adalah hukum tertinggi suatu negara yang menetapkan dasar-dasar organisasi
pemerintahan, hak-hak dan kewajiban warga negara, serta hubungan antara pemerintah dan
warga negara. Fungsi konstitusi sangat penting dalam menjaga stabilitas, keadilan, dan tata
kelola pemerintahan yang baik. Beberapa fungsi utama konstitusi meliputi:
1. Menetapkan Kedaulatan Hukum: Konstitusi menetapkan bahwa hukum adalah otoritas
tertinggi dalam suatu negara. Ini berarti bahwa semua pihak, termasuk pemerintah,
harus tunduk pada hukum yang berlaku.
2. Mengatur Pembagian Kekuasaan: Konstitusi menetapkan pembagian kekuasaan antara
berbagai lembaga pemerintahan, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembagian
ini bertujuan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan menghindari
penyalahgunaan kekuasaan.
3. Melindungi Hak Asasi Manusia: Konstitusi umumnya mengandung deklarasi atau
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Ini melibatkan hak-hak dasar seperti
kebebasan berbicara, kebebasan beragama, hak atas pendidikan, dan lain sebagainya.
4. Menetapkan Sistem Pemerintahan: Konstitusi menentukan struktur dan fungsi dari
berbagai lembaga pemerintahan, seperti presiden, parlemen, dan sistem peradilan. Hal
ini membantu dalam pembentukan pemerintahan yang efisien dan efektif.

5. Menjaga Keseimbangan dan Kontrol: Konstitusi membantu menjaga keseimbangan


antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, konstitusi juga
menyediakan mekanisme kontrol dan keseimbangan, seperti pemilihan umum dan
pengawasan publik.
6. Menetapkan Tata Cara Perubahan: Konstitusi biasanya menyediakan tata cara atau
mekanisme untuk mengubahnya. Hal ini dapat melibatkan proses amandemen atau
revisi konstitusi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
7. Mengatur Hubungan Antarwilayah: Dalam negara yang memiliki beragam kelompok
etnis, agama, atau budaya, konstitusi dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mengatur
hubungan antarwilayah dan memastikan pemberian hak yang adil kepada semua
kelompok.
8. Mengatur Hubungan Internasional: Konstitusi juga dapat mencakup ketentuan mengenai
hubungan suatu negara dengan negara-negara lain, termasuk hak dan kewajiban dalam
hukum internasional.
Penting untuk diingat bahwa fungsi konstitusi dapat bervariasi antara negara-negara
yang berbeda, tergantung pada sejarah, budaya, dan kebutuhan masyarakat setempat.
D. Sifat Konstitusi
Sifat konstitusi mencerminkan karakteristik atau atribut tertentu yang melekat pada
dokumen tersebut. Berikut adalah beberapa sifat konstitusi yang umumnya diakui:
1. Ketertulisannya: Konstitusi dapat bersifat tertulis atau tidak tertulis. Konstitusi tertulis
dituangkan dalam satu dokumen atau serangkaian dokumen tertulis, sedangkan
konstitusi tidak tertulis mungkin mengacu pada kebiasaan, prinsip-prinsip yang diakui,
dan hukum tidak tertulis lainnya.
2. Kekakuan (Rigidity) atau Kelenturan (Flexibility): Konstitusi dapat bersifat kaku atau
lentur. Konstitusi yang kaku memerlukan prosedur amandemen yang sulit dan tegas,
sedangkan konstitusi yang lentur dapat diubah lebih mudah, misalnya, melalui
keputusan legislasi biasa.
3. Lengkap atau Tidak Lengkap: Konstitusi dapat mencakup semua aspek pemerintahan
dan hak-hak warga negara secara rinci (konstitusi lengkap) atau hanya memberikan
kerangka dasar yang memberikan kebebasan interpretasi (konstitusi tidak lengkap).
4. Keteguhan (Permanence) atau Revisibilitas (Revisability): Konstitusi dapat bersifat
tetap dan sulit diubah (keteguhan) atau dapat direvisi lebih fleksibel sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat (revisibilitas).
5. Fleksibilitas Interpretasi: Beberapa konstitusi memberikan ruang interpretasi yang lebih
luas, sementara yang lain mungkin lebih kaku dalam menentukan arti dan implementasi
hukumnya.
6. Keteguhan Nilai (Stability of Principles): Konstitusi sering mencerminkan nilai-nilai
fundamental dan prinsip-prinsip hukum yang stabil. Meskipun dapat mengalami
amandemen, nilai-nilai ini biasanya tidak berubah secara drastis.
7. Demokratis atau Otoriter: Konstitusi dapat mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi,
memberikan hak-hak dan kebebasan kepada warga negara, atau sebaliknya,
mencerminkan prinsip-prinsip otoriter atau represif.
8. Keberlakuan Langsung atau Tidak Langsung: Beberapa konstitusi memberikan hak-hak
langsung kepada warga negara, sementara yang lain mengharuskan
pengimplementasiannya melalui undang-undang atau peraturan lainnya.
E. Perubahan Konstitusi
Setiap konstitusi yang tertulis mencantumkan pasalnya tentang perubahan. Hal ini
disebabkan karena suatu Konstitusi, walaupun ia dirancangkan untuk jangka waktu yang
lama, selalu akan tertinggal dari perkembangan masyarakat, sehingga pada suatu saat
kemungkinan perkembangan itu terjadi, maka konstitusi itu perlu dirubah. Suatu konstitusi
pada hakekatnya adalah suatu hukum dasar yang merupakan dasar bagi peraturan
perundangan lainnya. Karena tingkatannya yang lebih tinggi, dan juga yang menjadi dasar
bagi peraturan hukum lainnya, maka pembuat konstitusi menetapkan cara perubahan yang
tidak mudah, dengan maksud agar tidak mudah pula orang merubah hukum dasarnya. Kalau
memang suatu perubahan diperlukan, maka perubahan itu haruslah benar-benar dianggap
perlu oleh rakyat banyak. Tetapi sebaliknya ada pula Konstitusi yang mensyaratkan
perubahan tidak seberat cara diatas, dengan pertimbangan bahwa perkembangan tidak perlu
mempersulit perubahan konstitusi.
Lazimnya, yang menyusun konstitusi adalah konstituante. Konstituante ini adalah suatu
badan yang dibentuk berdasarkan pilihan rakyat, seperti Konstituante hasil pemilu 1955
yang bertugas menyusun UUD pengganti UUDS 1950. Tapi mungkin pula konstitusi
disusun oleh badan yang sejenis dengan konstituante, walaupun mungkin bukan hasil
pemilihan umum, umpamanya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menyusun
UUD 1945.
Ketidaksempurnaan suatu konstitusi mungkin disebabkan oleh dua hal, pertama
konstitusi adalah hasil karya yang bersifat kompromi dan kedua kemampuan para
penyusunnya itu sendiri terbatas. Karena konstituante itu terdiri dari sekelompok manusia
yang tidak mungkin mempunyai pandangan politik yang sama, dan sering pula
kepentingannya berbeda-beda, maka hasil karya mereka pun yaitu konstitusi merupakan
kompromi dari berbagai aliran dan kepentingan.
Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu
hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara
yang diatur dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi
rakyat. Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai
perubahan konstitusi itu sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa
sehingga perubahan yang terjadi adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan
keinginan semena-mena dan bersifat sementara atau pun keinginan dari sekelompok orang
belaka.
Pada dasarnya ada dua macam sistem yang lazim digunakan dalam praktek
ketatanegaraan di dunia dalam hal perubahan konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa
apabila suatu konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku
secara keseluruhan (penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di
dunia. Sistem yang kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi yang
asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari
konstitusi yang asli tadi. Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau
menjadi bagian dari konstitusinya. Sistem ini dianut oleh Amerika Serikat.
Menurut C.F Strong ada empat macam prosedur perubahan kosntitusi:
1. Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetap
yang dilaksanakan menurut pembatasan-pembatasan tertentu. Perubahan ini terjadi
melalui tiga macam kemungkinan.
a) Pertama, untuk mengubah konstitusi, sidang pemegang kekuasaan legislatif harus
dihadiri oleh sekurang-kurangnya sejumlah anggota tertentu (kuorum) yang
ditentukan secara pasti
b) Kedua, untuk mengubah konstitusi maka lembaga perwakilan rakyat harus
dibubarkan terlebih dahulu dan kemudian diselenggarakan pemilihan umum.
Lembaga perwakilan rakyat harus diperbaharui inilah yang kemudian melaksanakan
wewenangnya untuk mengubah konstitusi.
c) Ketiga, adalah cara yang terjadi dan berlaku dalam sistem majelis dua kamar. Untuk
mengubah konstitusi, kedua kamar lembaga perwakilan rakyat harus mengadakan
sidang gabungan. Sidang gabungan inilah, dengan syarat-syarat seperti dalam cara
pertama, yang berwenang mengubah kosntitusi.
2. Perubahan konstitusi yang dilakukan rakyat melalui suatu referendum. Apabila ada
kehendak untuk mengubah kosntitusi maka lembaga negara yang diberi wewenang
untuk itu mengajukan usul perubahan kepada rakyat melalui suatu referendum atau
plebisit. Usul perubahan konstitusi yang dimaksud disiapkan lebih dulu oleh badan
yang diberi wewenang untuk itu. Dalam referendum atau plebisit ini rakyat
menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan yang
telah disampaikan kepada mereka. Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul
perubahan diatur dalam konstitusi.
3. Perubahan konstitusi yang berlaku pada negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah
negara bagian. Perubahan konstitusi pada negara serikat harus dilakukan dengan
persetujuan sebagian terbesar negara-negara tersebut. Hal ini dilakukan karena
konstitusi dalam negara serikat dianggap sebagai perjanjian antara negara-negara
bagian. Usul perubahan konstitusi mungkin diajukan oleh negara serikat, dalam hal ini
adalah lembaga perwakilannya, akan tetapi kata akhir berada pada negara-negara
bagian. Disamping itu, usul perubahan dapat pula berasal dari negara-negara bagian.
4. Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu
lemabag negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan. Cara ini dapat
dijalankan baik pada Negara kesatuan ataupun negara serikat. Apabila ada kehendak
untuk mengubah konstitusi, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dibentuklah
suatu lembaga negara khusus yang tugas serta wewenangnya hanya mengubah
konstitusi. Usul perubahan dapat berasal dari pemegang kekuasaan perundang-
undangan dan dapat pula berasal dari pemegang kekuasaan perundang-undangan dan
dapat pula berasal dari lembaga negara khusus tersebut. Apabila lembaga negara khusus
dimaksud telah melaksanakan tugas serta wewenang sampai selesai,dengan sendirinya
lembaga itu bubar.

Hans Kelsen mengatakan bahwa kosntitusi asli dari suatu negara adalah karya pendiri
negara tersebut. Dan ada beberapa cara perubahan konstitusi menurut Kelsen yaitu :
1. Perubahan yang dilakukan diluar kompetensi organ legislatif biasa yang dilembagakan
oleh konstitusi tersebut, dan dilimpahkan kepada sebuah konstituante, yaitu suatu organ
khusus yang hanya kompeten untuk mengadakan perubahan-perubahan konstitusi
2. Dalam sebuah negara federal, suatu perubahan konstitusi bisa jadi harus disetujui oleh
dewan perwakilan rakyat dari sejumlah negara anggota tertentu.
Miriam Budiarjo mengemukakan adanya empat macam prosedur perubahan konstitusi, yaitu
1. Sidang badan legislatif ditambah beberapa syarat misalnya ketentuan kuorum dan
jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerima perubahan.
2. Referendum atau plebisit, contoh : Swiss dan Australia
3. Negara-negara bagian dalam suatu negara federal harus menyetujui, Contoh : Amerika
Serikat
4. Musyawarah khusus (special convention), contoh : beberapa negara Amerika Latin
Dengan demikian apa yang dikemukakan Miriam Budiarjo pada dasarnya sama dengan
yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.
Di Indonesia, perubahan konstitusi telah terjadi beberapa kali dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sejak
Proklamasi hingga sekarang telah berlaku tiga macam Undang-undang Dasar dalam delapan
periode yaitu :
1. Periode 18 Agustus 1945 – 27 desember 1949
2. Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
3. Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
4. Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober
5. Periode 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000
6. Periode 18 Agustus 2000 – 9 November 2001
7. Periode 9 November 2001 – 10 Agustus 2002
8. Periode 10 Agustus 2002 – sampai sekarang
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditetapkan dan disahkan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945
terdiri dari :
1. Pembukaan (4 alinea) yang pada alinea ke-4 tercantum dasar negara yaitu Pancasila;
2. Batang Tubuh (isi) yang meliputi :
3. 16 Bab;
4. 37 Pasal
5. 4 aturan peralihan;
6. 2 Aturan Tambahan.
BAB III

KESIMPULAN

Konstitusi sebagai hukum dasar berisi aturan-aturan dasar atau pokok-pokok


penyelenggaraan Negara. Aturan-aturan itu masih bersifat umum. Aturan pokoknya perlu
dijabarkan lebih lanjut dalam norma hukum di bawahnya, seperti:
 Ketetapan MPR,
 Undang-Undang,
 Perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang),
 Peraturan Pemerintah,
 Keputusan Presiden,
 Peraturan Daerah.
Kita sebagai Mahasiswa dan juga sebagai penerus bangsa merupakan hal yang sangat
penting uantuk mengetahui konstitusi-konstitusi Negara, khususnya Negara kita Indonesia
ini, lebih-lebih konstitusi di yang dipakai diera reformasi ini.
DAFTAR PUSTAKA

Sulaeman, Asep. 2012. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Bandung: Asman Press
Budiarjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gamedia
Gatara, A.A. Sahid. 2008. Civic Education: Pendidikan Politik, Nasionalisme Dan
Demokrasi. Bandung: Q-Vision,
Priyanto, A. T Sugeng, dkk. 2008. Contextual Teaching and Learning: Pendidikan
Kewarganegaraan. Jakarta: PT Gramedia
http://id.wikipedia.org/wiki/
Mahfud MD, Amandemen Konstitusi menuju Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta,
1999, hal 54
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008, hal 134
Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, Penerbit In-TRANS,
Malang, 2003, hal 41
Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, Penerbit
Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1995, hal 21
Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan
Berkumpul Dalam pasal 28 UUD 1945, yang di Kutip Oleh Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori
Konstitusi, ToTal Media, Yogyakarta, januari, 2007. Hal 20-21
Wirjono Prodjokoro, Azas-azas Hukum Tata Negara Indonesia, Ibid. Hal 21
Sri Soemantri, UUD 1945 Kedudukan dan Artinya Dalam Kehidupan Bernegara, Ibid.
Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Ibid. Hal 22
E.C.S. Wade & G. Godfray Philips, Constitutional Law, Ibid. Hal 33
Eric Barendt, Introduction ...., Ibid. Hal 33
Bryan A. Garner, Black Law Dictionary, Ibid. Hal 35
Hans Kalsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerbit Nusamedia &
Penerbit Nuansa, Cetakan Ketiga, September, 2007, hal 244-245
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-asas Hukum Tata Negara, yang dikutip oleh H.
Dahlan Thaib et.al, Teori dan Hukum Konsitusi, Cetakan Keempat (PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004), hal 10

Anda mungkin juga menyukai