Oleh :
Defid Ubaidillah 2211121063
Bay sani Febria Salsabilah 2211121019
Muhammad Farid Y. 2211121043
Fanotiansyah Dhian M. 2211121064
Pangeralanang Zainal A. 2211121007
Bagus Abdul Muhyi 2211121062
Kelompok 7
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3
A. Pengertian penafsiran konstitusi..............................................................................3
B. Penafsiran konstitusi sebagai salah satu metode penemuan hukum........................5
C. Metode penafsiran hukum yang berhubungan dengan penafsiran Konstitusi.........9
D. Metode panafsiran Konstiitusi...............................................................................17
E. Prinsip Independensi hakim dalam menentukan metode penafsiran konstitusi.....21
BAB III PENUTUP..........................................................................................................23
A. Kesimpulan............................................................................................................23
Daftar Pustaka..................................................................................................................26
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia merupakan negara hukum. Konsep negara hukum ini
menjadikan Undang - Undang sebagai alat untuk mengatur di berbagai kehidupan
lini bernegara.1 Secara umum, Negara dan konstitusi adalah dua entitas yang tidak
dapat dipisahkan. Bahkan setelah abad pertengahan yang dicirikan oleh gagasan
demokrasi, Negara tidak mungkin terbentuk tanpa adanya konstitusi. Pendirian
suatu negara tidak dapat terlepas dari keberadaan konstitusi yang menjadi
dasarnya. Konstitusi dapat berbentuk hukum dasar tertulis yang sering disebut
sebagai Undang-Undang Dasar, atau dapat juga bersifat tidak tertulis. Konstitusi
berfungsi sebagai landasan hukum suatu negara, yang mencakup perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan pengaturan distribusi kekuasaan dalam
penyelenggaraan negara. Konstitusi sering disebut sebagai hukum pokok negara
karena ini adalah peraturan dasar yang menjadi dasar bagi pembentukan peraturan
hukum lain yang berlaku di bawahnya.
konstitusi yang diterapkan di Indonesia adalah konstitusi tertulis, yang
dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
atau yang umumnya disingkat sebagai UUD 1945. UUD 1945 resmi disahkan
sebagai konstitusi negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Pasal 3 ayat (1) dari Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
mengkonfirmasi posisi Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara. 2
Namun, dalam perjalanan penyelenggaraan negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami empat perubahan utama.
Perubahan pertama terjadi pada tahun 1999, yang diikuti oleh perubahan kedua
pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada
tahun 2002. Perubahan-perubahan ini terjadi sebagai akibat dari pergolakan
politik pada saat itu. Perubahan dalam konstitusi tidak hanya dipengaruhi oleh
aturan perubahan yang berlaku, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh kelompok
1
Undang- - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat 3.
2
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan.
1
2
elit politik yang memiliki mayoritas suara di lembaga yang memiliki kewenangan
untuk mengubah konstitusi.3
Konstitusi (tertulis), sebagai hasil karya manusia yang diciptakan dalam
suatu periode waktu tertentu, diresmikan dan dijalankan melalui proses
pengambilan keputusan politik di dalam lingkungan politik, tidak pernah
sempurna. Oleh karena itu, konstitusi tertulis memerlukan perbaikan. Terdapat
tiga metode untuk meningkatkan konstitusi tertulis ini, yaitu: (1) melakukan
perubahan dan/atau amandemen secara resmi; (2) menerapkan penafsiran atau
interpretasi oleh lembaga peradilan; dan (3) mengikuti praktik dan konvensi yang
telah terbentuk4. Oleh karena itu, penafsiran konstitusi, terutama yang dilakukan
oleh pengadilan (seperti Mahkamah Konstitusi), memiliki kekuatan hukum yang
mengikat.
B. Rumusan Masalah
Agar masalah yang diteliti terfokus pada maksud dan tujuan yang jelas,
dan dapat dipecahkan secara sistematis , serta dapat memberikan hasil yang jelas,
maka perlu difokuskan dalam suatu rumusan masalah. Selanjutnya permasalahan
yang dikemukakan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan penafsiran konstitusi ?
2. Apa saja metode penafsiran konstitusi?
3. Apakah metode penafsiran hukum berhubungan dengan penafsiran konstitusi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan penafsiran konstitusi.
2. Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam penafsiran konstitusi.
3. Untuk mengetahui hubungan penafsiran hukum dengan konstitusi.
3
Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2014, hal.49.
4
Jimly Asshidiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT
Bhuana Ilmu Populer: Jakarta, 2013 hal. 605
BAB II
PEMBAHASAN
5
Sutjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hal 95
6
Muchamad Ali Safaat dkk, “Pola Penafsiran Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Periode 2003-
2008 dan 2009-2013”, Jurnal Konstitusi (2017), hal...
3
4
nature des choices. Peraturan-peraturan yang lemah, yang tidak perlu dan
tidak adil akan menyebabkan orang tidak menghormati perundang-undangan
dan menghancurkan otoritas negara.7
9
Jimly asshidiqqie, Teori dan aliran penafsiran hukum tata negara, InHilco, Jakarta, 1998, hal...
7
10
Aharon Barak, “Judge In Democac”, Jurnal Menggagas Penerapan Judicial Restraint di
Mahkamah Konstitusi, (September2014), hal 271
9
11
Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukuim, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal, 95
12
Ibid
10
sosial yang baru. Hal ini berarti bahwa peraturan hukum yang
mungkin telah dirumuskan untuk kondisi masa lalu dapat diadaptasi
untuk mencerminkan keadaan yang lebih baru. Dengan kata lain,
prinsip-prinsip atau aturan yang terkandung dalam undang-undang
dapat diaplikasikan dengan cara yang lebih aktual atau relevan.
Pendekatan ini mengakui bahwa masyarakat dan kebutuhan
hukum dapat berubah seiring waktu, dan oleh karena itu, interpretasi
teleologis memberikan ruang untuk menyesuaikan undang-undang
dengan realitas sosial dan kebutuhan masa kini. Ini memungkinkan
pengadopsian dan penerapan hukum yang lebih kontekstual dan
responsif terhadap perkembangan masyarakat.
d. Interpretasi historis
Penjelasan yang baik mengenai dua macam interpretasi historis,
yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran
menurut sejarah hukum.
- Penafsiran Menurut Sejarah Undang-Undang:
Penafsiran ini bertujuan untuk mencari maksud atau tujuan
ketentuan dalam Undang-Undang sebagaimana yang diinginkan
atau dilihat oleh pembentuk Undang-Undang pada saat
pembentukkannya. Salah tiga karakteristik penafsiran ini ialah,
Mendasarkan diri pada kehendak atau pandangan subjektif
pembentuk Undang-Undang, Menyelidiki niat atau maksud para
pembuat undang-undang pada saat proses pembentukan, Disebut
juga sebagai interpretasi subjektif karena menempatkan penafsir
pada sudut pandang pembentuk Undang-Undang. Mencari
pemahaman lebih dalam tentang niat pembuat undang-undang dan
keinginan yang ingin dicapai saat undang-undang tersebut dibuat.
- Penafsiran Menurut Sejarah Hukum:
Metode ini bertujuan untuk memahami Undang-Undang dalam
konteks keseluruhan sejarah hukum.Memperhatikan perkembangan
hukum secara menyeluruh. Melibatkan penelitian terhadap
perkembangan hukum dan konteks lebih luas, bukan hanya sebatas
pembentukan undang-undang tertentu. Menghubungkan undang-
undang dengan perkembangan hukum dan perubahan sosial
sepanjang waktu. Memberikan gambaran yang lebih komprehensif
tentang bagaimana suatu undang-undang terintegrasi dalam sejarah
hukum, dan bagaimana perubahan dalam interpretasi hukum telah
terjadi seiring waktu.
Dengan menggunakan kedua metode ini, interpretasi historis
14
inilah terdapat nilai-nilai hukum asli dari masyarakat Indonesia dan di akui
keberlakuannya secara faktual. Kenyataan dan tantangan inilah yang harus
di jembatani oleh kegiatan penemuan hukum dengan menggunakan
penafsiran ekstensif agar hukum pidana Indonesia semakin berkembang
dan memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum di masyarakat.13
D. Metode panafsiran Konstiitusi
Bobbitt mengidentifikasi 6 (enam) macam metode penafsiran konstitusi
(constitutional interpretation) dalam bukunya yang berjudul "Constitutional Fate:
Theory of the Constitution". Keenam metode tersebut adalah:
1. Penafsiran tekstual atau harfiah
Penafsiran tekstual, juga dikenal sebagai literalisme, adalah sebuah
metode penafsiran konstitusi atau undang-undang yang menekankan pada
makna harfiah atau pemahaman terhadap kata-kata yang terdapat dalam teks
dokumen hukum, seperti konstitusi atau undang-undang. Dalam penafsiran
tekstual, fokus utamanya adalah pada arti kata-kata sebagaimana yang
biasanya dimaknai oleh kebanyakan orang.
Dalam konteks penafsiran tekstual, tujuan utama adalah mencari
pemahaman kata-kata yang digunakan dalam undang-undang atau konstitusi
tanpa menambahkan interpretasi, penafsiran, atau makna tambahan. Metode
ini mencoba untuk membatasi penafsiran hukum kepada apa yang sebenarnya
tertulis dalam teks, tanpa mengadopsi interpretasi atau konsep yang tidak
secara eksplisit terdapat dalam teks hukum itu sendiri.
Namun, penting untuk diingat bahwa penafsiran tekstual tidak selalu
bisa mengatasi semua situasi, terutama jika teks hukum tersebut ambigu atau
tidak memberikan panduan yang jelas. Oleh karena itu, dalam beberapa
kasus, pengadilan dan pakar hukum mungkin perlu mempertimbangkan
metode penafsiran lainnya, seperti penafsiran sejarah, niat pembuat hukum,
atau konteks sosial dan politik saat undang-undang atau konstitusi tersebut
2. Penafsiran historis atau penafsiran orisinal
Penafsiran historis ini disebut juga dengan penafsiran orisinal, yaitu
13
Hwian Christianto, “Penafsiran Ekstensif sebagai Upaya Penemuan Hukum”, (Tesis,
Universitas Airlangga, Surabaya, 2009), hal...
18
yang ada di Amerika Serikat dan sebagian besar negara-negara ber common
law lainnya. Dalam sistem hukum berbasis kodifikasi, metode ini mungkin
tidak begitu relevan karena hukum didasarkan pada undang-undang tertulis
yang lebih sedikit mengandalkan preseden pengadilan.
James A. Holland dan Julian S. Webb mengemukakan bahwa
common law is used to describe all those rules of law that have evolved
through court cases (as opposed to those which have emerged from
Parliament). Menurut Bobbitt, metode penafsiran doktrinal ini banyak
14
dipengaruhi oleh tradisi common law yang digunakan sebagai
pendekatannya
4. Penafsiran prudensial
Penafsiran prudensial adalah metode penafsiran hukum yang
mempertimbangkan keseimbangan antara biaya dan manfaat yang terkait
dengan penerapan suatu aturan hukum atau undang-undang tertentu. Dalam
konteks ini, "prudensial" mengacu pada pertimbangan yang bijaksana,
rasional, atau berdasarkan pertimbangan ekonomi dan praktis.
Metode penafsiran prudensial mempertimbangkan implikasi praktis
dan ekonomi dari penerapan hukum. Ini melibatkan evaluasi biaya-biaya
yang akan dikeluarkan, baik oleh individu, organisasi, atau masyarakat secara
keseluruhan, untuk mematuhi aturan hukum tertentu. Di sisi lain, juga
mempertimbangkan manfaat atau tujuan yang ingin dicapai melalui
penerapan aturan tersebut.
Dalam beberapa kasus, penafsiran prudensial dapat mengarah pada
penentuan cara yang paling ekonomis atau efisien untuk mencapai tujuan
hukum tertentu. Ini bisa berarti bahwa dalam situasi tertentu, pengadilan atau
lembaga penegak hukum dapat memilih untuk menafsirkan atau menerapkan
aturan hukum dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan praktis,
sehingga mencapai hasil yang lebih baik dalam hal keseimbangan biaya dan
manfaat. Menurut Bobbitt, prudential arguments is actuated by facts, as these
play into political and economic policies
14
Hello Jendela, “Mengenal Macam – Macam Konstitusi”, https://jendelahukum.com/mengenal-
macam-macam-penafsiran-konstitusi/#_ftn3, diakses pada tanggal 21 Oktober 2023
20
5. Penafsiran struktual
Penafsiran struktural adalah metode penafsiran hukum yang berfokus
pada hubungan antara aturan-aturan dalam undang-undang dengan konstitusi
atau Undang-Undang Dasar yang mengatur struktur-struktur ketatanegaraan.
Metode ini mencoba untuk memahami dan menginterpretasikan undang-
undang dengan mempertimbangkan bagaimana aturan tersebut berkontribusi
terhadap struktur pemerintahan, federalisme, pemisahan kekuasaan, dan isu-
isu lain yang berkaitan dengan organisasi pemerintah.
Metode penafsiran struktural mengacu pada pemahaman "makro"
hukum, yang lebih terfokus pada aspek-aspek makro atau besar-besaran
dalam hukum dan tata pemerintahan, daripada pada isu-isu hukum yang lebih
spesifik, seperti kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Dalam konteks ini,
istilah "macroscopic prudentialism" yang disebutkan oleh Bobbitt mengacu
pada pendekatan yang mencari keseimbangan antara biaya dan manfaat dalam
aspek-aspek makro dalam hukum dan pemerintahan. Ini berarti pertimbangan
praktis dan ekonomi dapat memainkan peran penting dalam penafsiran
struktural.
Penafsiran struktural juga dapat membantu pengadilan dan lembaga
penegak hukum dalam memahami bagaimana aturan-aturan tertentu
mempengaruhi struktur ketatanegaraan dan hubungan antara pemerintah
federal dan negara bagian (dalam konteks federalisme, jika berlaku). Dengan
demikian, metode penafsiran ini memiliki dampak yang signifikan pada
interpretasi hukum yang berkaitan dengan tata pemerintahan.
6. Panafsiran etikal
Prinsip moral dan etika yang terdapat dalam konstitusi atau undang-
undang dasar. Dalam metode ini, upaya dilakukan untuk mengidentifikasi dan
menerapkan prinsip-prinsip etis yang mendasari hukum tersebut. Penafsiran
etikal melibatkan pemahaman tentang bagaimana hukum tersebut
berhubungan dengan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat.
Metode penafsiran etikal seringkali mempertimbangkan prinsip-
prinsip moral dan etika yang mendasari pembentukan hukum tersebut. Ini
21
15
Sidharta, Potret Profesinalisme Hakim dalam Putusan, Komisi Yudisial Republik Indonesia,
Jakarta, 2010, hal 39
16
Ibid
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstitusi merupakan salah satu syarat terbentuknya suatu negara, tana
adanya konstitusi negara tersebut tidak mungkin terbentuk. Didalam sebuah
konstitusi memuat banyak kepentingan seputar tatanan organisasi negara, HAM,
UUD dan banyak lagi. Konstitusi juga memiiki kedudukan dan pengaruh sangat
besar bagi suatu negara karena fungsinya aam mengatur kekuasaan.
Konstitusi tidak dapat dilepaskan dari konstitusionalisme.
Konstitusionalisme adalah suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan
jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Konstitusionalisme merupakan
gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang
diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa
pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan
untuk pemerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas
untuk memerintah.
Adapun yang menjadi dasar dari konstitusionalisme adalah kesepakatan
umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai
bangunan yang di idealkan berkenaan dengan Negara. Organisasi Negara itu
diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama
dapat dilindungi atau di promosikan melalui pembentukan dan penggunaan
mekanisme yang disebut Negara. Kesepakatan (consensus), yaitu : pertama,
kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama. Kedua, kesepakatan tentang
the rule of the law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara.
Ketiga, kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-
prosedur ketatanegaraan.
Kesepakatan yang pertama berkenan dengan cita-cita bersama adalah
puncak abstraksi paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan
kepentingan diantara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus
hidup ditengah pluralism atau kemajemukan, oleh karena itu suatu masyarakat
untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan
24
membentuk norma hukum yang baru ataupun mengubah makna sebuah norma di
dalam Undang-Undang Dasar melalui putusannya.
Untuk memperoleh kepastikan hukum , seorang Hakim saat melakukan
penalaran hukum memiliki beberapa faktor sebagai pertimabangan, dimana
faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua perspektif, yaitu
perspektif internal dan perspektif eksternal. Dimana perspektif internal, menurut
Bernard Arief Sidharta, kegiatan bernalar hakim dengan beragam motivering
(pertimbangan yang bermuatan argumentasi) yang menopangnya selalu berada
dalam pusaran tarikan keanekaragaman kerangka orientasi berpikir yuridis yang
terpelihara dalam suatu sistem, sehingga dapat berkembang menurut logikanya
sendiri, dan eksis sebagai suatu model penalaran yang khas sesuai dengan tugas-
tugas profesionalnya.18 Sedangkan dari perspektif eksternal, proses pembuatan
putusan oleh hakim tidak dapat dilepaskan dari konteks kerangka teoretis,
filosofis dan paradigma yang diyakininya, yang sering sadar atau tidak, dimuati
dan tercampur oleh kepentingan-kepentingan kultural, sosilogis dan politis.19
18
Sidharta, Potret Profesinalisme Hakim dalam Putusan, Komisi Yudisial Republik Indonesia,
Jakarta, 2010, hal 39
19
Ibid
Daftar Pustaka