Anda di halaman 1dari 29

PENAFSIRAN KONSTITUSI DI INDONESIA

Diajukan Untuk Memenuhi


Tugas Mata Kuliah Hukum Konstitusi dan Perancangan Perundang - Undangan

Dosen Pengampu ERNAWATI HUROIROH, S.H., MH.

Oleh :
Defid Ubaidillah 2211121063
Bay sani Febria Salsabilah 2211121019
Muhammad Farid Y. 2211121043
Fanotiansyah Dhian M. 2211121064
Pangeralanang Zainal A. 2211121007
Bagus Abdul Muhyi 2211121062

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat, hidayah, serta karunia-Nya, yang telah melimpahkan kekuatan dan
kebijaksanaan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan mata kuliah Hukum
Konstitusi dan Perancangan Perundang - Undangan yang kami ikuti di bawah
bimbingan Ibu Ernawati Huroiroh, SH., MH., sebagai dosen pengampu mata
kuliah tersebut.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ibu Ernawati Huroiroh, SH., MH., yang telah memberikan bimbingan,
arahan, serta pengetahuannya yang sangat berharga dalam penyusunan makalah
ini dengan penuh kesabaran dan dedikasi. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji
Penafsiran Konstitusi Indonesia. Melalui makalah ini, kami berharap dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai masalah ini serta
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan
undang-undang tersebut.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga,
teman-teman, dan semua pihak yang telah memberikan dukungan moral dan
motivasi kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi yang
bermanfaat dan memberikan sudut pandang baru dalam pemahaman kita. Kami
menyadari bahwa makalah ini tidak sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan di masa depan.

Surabaya, 28 Oktober 2023


Penulis

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3
A. Pengertian penafsiran konstitusi..............................................................................3
B. Penafsiran konstitusi sebagai salah satu metode penemuan hukum........................5
C. Metode penafsiran hukum yang berhubungan dengan penafsiran Konstitusi.........9
D. Metode panafsiran Konstiitusi...............................................................................17
E. Prinsip Independensi hakim dalam menentukan metode penafsiran konstitusi.....21
BAB III PENUTUP..........................................................................................................23
A. Kesimpulan............................................................................................................23
Daftar Pustaka..................................................................................................................26

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia merupakan negara hukum. Konsep negara hukum ini
menjadikan Undang - Undang sebagai alat untuk mengatur di berbagai kehidupan
lini bernegara.1 Secara umum, Negara dan konstitusi adalah dua entitas yang tidak
dapat dipisahkan. Bahkan setelah abad pertengahan yang dicirikan oleh gagasan
demokrasi, Negara tidak mungkin terbentuk tanpa adanya konstitusi. Pendirian
suatu negara tidak dapat terlepas dari keberadaan konstitusi yang menjadi
dasarnya. Konstitusi dapat berbentuk hukum dasar tertulis yang sering disebut
sebagai Undang-Undang Dasar, atau dapat juga bersifat tidak tertulis. Konstitusi
berfungsi sebagai landasan hukum suatu negara, yang mencakup perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan pengaturan distribusi kekuasaan dalam
penyelenggaraan negara. Konstitusi sering disebut sebagai hukum pokok negara
karena ini adalah peraturan dasar yang menjadi dasar bagi pembentukan peraturan
hukum lain yang berlaku di bawahnya.
konstitusi yang diterapkan di Indonesia adalah konstitusi tertulis, yang
dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
atau yang umumnya disingkat sebagai UUD 1945. UUD 1945 resmi disahkan
sebagai konstitusi negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Pasal 3 ayat (1) dari Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
mengkonfirmasi posisi Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara. 2
Namun, dalam perjalanan penyelenggaraan negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami empat perubahan utama.
Perubahan pertama terjadi pada tahun 1999, yang diikuti oleh perubahan kedua
pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada
tahun 2002. Perubahan-perubahan ini terjadi sebagai akibat dari pergolakan
politik pada saat itu. Perubahan dalam konstitusi tidak hanya dipengaruhi oleh
aturan perubahan yang berlaku, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh kelompok
1
Undang- - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat 3.
2
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan.

1
2

elit politik yang memiliki mayoritas suara di lembaga yang memiliki kewenangan
untuk mengubah konstitusi.3
Konstitusi (tertulis), sebagai hasil karya manusia yang diciptakan dalam
suatu periode waktu tertentu, diresmikan dan dijalankan melalui proses
pengambilan keputusan politik di dalam lingkungan politik, tidak pernah
sempurna. Oleh karena itu, konstitusi tertulis memerlukan perbaikan. Terdapat
tiga metode untuk meningkatkan konstitusi tertulis ini, yaitu: (1) melakukan
perubahan dan/atau amandemen secara resmi; (2) menerapkan penafsiran atau
interpretasi oleh lembaga peradilan; dan (3) mengikuti praktik dan konvensi yang
telah terbentuk4. Oleh karena itu, penafsiran konstitusi, terutama yang dilakukan
oleh pengadilan (seperti Mahkamah Konstitusi), memiliki kekuatan hukum yang
mengikat.
B. Rumusan Masalah
Agar masalah yang diteliti terfokus pada maksud dan tujuan yang jelas,
dan dapat dipecahkan secara sistematis , serta dapat memberikan hasil yang jelas,
maka perlu difokuskan dalam suatu rumusan masalah. Selanjutnya permasalahan
yang dikemukakan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan penafsiran konstitusi ?
2. Apa saja metode penafsiran konstitusi?
3. Apakah metode penafsiran hukum berhubungan dengan penafsiran konstitusi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan penafsiran konstitusi.
2. Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam penafsiran konstitusi.
3. Untuk mengetahui hubungan penafsiran hukum dengan konstitusi.

3
Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2014, hal.49.
4
Jimly Asshidiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT
Bhuana Ilmu Populer: Jakarta, 2013 hal. 605
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian penafsiran konstitusi


Arti kata Konstitusi dapat diterjemahkan dalam beberapa bahasa,
Constito berasal dari bahasa Latin yang merupakan gabungan dari dua kata cume
yang berarti bersatu dengan dan statuere berasal dari kata sta yang membetuk kata
kerja pokok, stare yang berarti berdiri. Sedangkan istilah Constitution dari bahasa
Inggris merupakan kata serapan dari konstitusi. Konstitusi juga dapat dimaknai
sebagai Constituer yang berasal dari bahasa Perancis memiliki arti membentuk.
Sedangkan para ahli Hukum Tata Negara membagi definsi Konstitusi menjadi
dua, dalam arti sempit mengartikan Konstitusi sebagai UUD merujuk pada Bahasa
Belanda grondwet ,Grond memiliki arti tanah atau dasar, sedangkan Wet berarti
undang-undang. Dalam arti luas Konstitusi diartikan sebagai dokumen formal
ketatanegaraan yang mengandung ketentuan tentang tata cara pengelolaan
organisasi (sistem pemerintahan) yang hidup dalam suatu negara, baik secara
tertulis maupun tidak tertulis.
Penafsiran menurtut Fitzgerald, sebagaimana dikuti oleh Satjipto
Rahardjo. Menjelaskan bahawa penafsiaran dapat dibagi menjadi dua, yaitu
penafsiran harfiah dan penafsiran fungsional. Penafsiran harfiah merupakan
menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangan sehingga tidak
keluar dari apa yang tertulis (litera legis). Penafsiran fungsional disebut juga
dengan interpretasi bebas karena tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada bunyi
dan isi peraturan tertulis. Penafsiran fungsional berupaya memaknai suatu
peraturan dengan menggunakan sumber lain yang dianggap bisa memberikan
kejelasan yang lebih memuaskan.5
Penafsiran Konstitusi atau interprestasi konstitusi atau constitutional
interpretation merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan undang-
undang dasar. 6Penafsiran Konstitusi berlaku sama seperti halnya penafsiran

5
Sutjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hal 95
6
Muchamad Ali Safaat dkk, “Pola Penafsiran Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Periode 2003-
2008 dan 2009-2013”, Jurnal Konstitusi (2017), hal...

3
4

hukum, dimana penafsiran dilakukan dikarenakan ketentuan dasar pada umumnya


tidak memiliki penjelasan yang lengkap dan jelas, bersifat abstrak dibanding
aturan-aturan dibawahnya. Selain itu pada konstitusi muatan didalamnya
merupakakan aturan-aturan dasar yang berlaku dalam jangka waktu yang panjang.
Penafsiran Konstitusi dilakukan sebagai metode untuk menemukan hukum
(rechstvinding) berdasarkan konstitusi atau undang-undang dasar yang digunakan
dalam peradilan Mahkamah Konstitusi.
Ukuran Kejelasan dalam penemuan hukum atas peraturan perundang-
undangan (undang-undang dasar) sangat penting dalam memaknai atau membuat
peraturan baru setelahnya, karena itu Montesquieu memberikan kriteria dalam
menyusun peraturan perundang-undangan, antara lain;
1. Gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana. Ini mengandung arti
bahwa pengutaraan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan kebesaran
(grandiose) dan retorik hanyalah mubasir dan menyesatkan. Istilah-istilah
yang dipilih hendaknya sejauh mungkin bersifat mutlak dan tidak nisbi,
sehingga dengan demikian membuka sedikit kemungkinan bagi perbedaan
pendapat individual.
2. Peraturan-peraturan hendaknya membatasi dirinya pada hal-hal yang nyata
dan aktual dengan menghindari hal-hal yang bersifat merafosis dan hipotesis.
3. Peraturan-peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi, oleh karena itu
ditujukan untuk orang-orang dengan kecerdasan tengah-tengah saja; peraturan
itu bukan latihan dalam penggunaan logika, melainkan hanya penalaran
sederhana yang bisa dilakukan oleh orang biasa.
4. Janganlah masalah pokoknya dikacaukan dengan kekecualian, pembatasan
atau modifikasi, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan.
5. Peraturan tidak boleh mengandung argumentasi; adalah berbahaya untuk
memberikan alasan terperinci bagi suatu peraturan, oleh karena yang
demikian itu hanya akan membuka pintu untuk pertentangan pendapat.
6. Akhirnya, diatas itu semua, ia harus dipertimbangkan dengan penuh
kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan jangan hendaknya ia
menggunakan hal-hal yang elementer dalam penalaran dan keadilan serta la
5

nature des choices. Peraturan-peraturan yang lemah, yang tidak perlu dan
tidak adil akan menyebabkan orang tidak menghormati perundang-undangan
dan menghancurkan otoritas negara.7

Sudikno Martokusumo dan A. Pitlo mengemukakan, interpretasi atau


penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup
kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh
hakim merupakan penjelasan yang harus menuju pada pelaksanaan yang dapat
diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit.
Metode interpretasi adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-
Undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan ketentuan
yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. 8

B. Penafsiran konstitusi sebagai salah satu metode penemuan hukum


Penafsiran hukum (interpretasi) adalah sebuah pendekatan yang
dilakukan sebagai metode penemuan hukum, dimana pada prosesnya tidak semua
kejadian terdapat peraturan sebagai landasan untuk menilai norma yang mengatur
didalamnya. Dilain sisi seorang hakim tidak boleh menolak memeriksa dan
mengadili perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya. Hakim
tetap wajib memeriksa dan mengadili perkara meskipun tidak ada peraturannya,
dalam hal ini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-
undang yang harus diisi dan dilengkapi. Atas dasar tersebut penafsiran hukum
memiliki peranan penting bagi hakim untuk menemukan kepastian hukum dalam
memutus suatu perkara .
Penafsiran Konstitusi atau Undang-Undang Dasar merupakan bagian dari
penafsiran hukum (rechsvorm), dimana dalam penafsiran hukum dapat bermakna
luas, baik hukum tertulis (geschreven recht) maupun hukum tidak tertulis
(ongeschreven recht). Sedangkan dalam praktik, penafsiran Konstitusi dan
penafsiran hukum sulit dibedakan karena ketika seorang hakim menafsirkan
7
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 hal 94 - 95
8
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti,Bandung, 1993, hal 13
6

konstitusi tidak terbatas hanya menafsirkan norma-norma hukum tertulis atau


sesuai dengan rumusan teksnya saja, tetapi juga dapat mempertimbangkan norma-
norma tidak tertulisanya, seperti asas-asas hukum umum (elegemene
rechtsbeginselen) yang terdapat dibelakang rumusan norma-norma tertulisnya.
Menurut Jimly Asshiddiqie, untuk melakukan penafsiran konstitusi
diperlukan metode dan teknik tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional dan ilmiah, sehingga upaya menegakkan konstitusi sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman yang ada dan tidak bertentangan dengan semangat
rumusan konstitusi yang lazim digunakan dengan rumusan normatif (Jimly
Asshidiqqie, 1998: 16).9
Penafsiran Konstitusi merupakan salah satu metode dalam penemuan
hukum dengan obyek kajiannya adalah norma-norma konstitusi. Dimana norma-
norma tersebut akan diuji oleh hakim konstitusi yang memiliki wewenang untuk
menegakkan atau memperjelas hukum. Dalam pelaksanaannya penafsiran
konstitusi dibedakan menjadi dua jenis, antara lain;
1. Originalism
Michael J. Perry menyatakan bahwa originalism dalam menginterpretasikan
konstitusi berarti menegaskan makna originalnya sebagaimana dipahami
awalnya oleh para perumus atau pengesahnya. Teks konstitusi maupun niat
perumusnya merupakan hal yang mengikat. Keyakinan ini yang
mengakibatkan Hakim menjadi sangat konservatif, mereka cenderung menahan
diri melakukan terobosan hukum. Metode-metode penafsiran konstitusi yang
lahir dari aliran ini diantaranya metode tekstual, original meaning, original
intent dan purposive. Penafsiran originalism (original intent) dilaksanakan
dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Origalism mencegah hakim-hakim yang tidak dipilih melalui pemilu
merampas kekuasaan dari wakil rakyat yang dihasilkan melalui pemilihan
oleh rakyat;
b. Dalam jangka panjang, originalism memberikan perlindungan lebih baik
pada otoritas pengadilan;

9
Jimly asshidiqqie, Teori dan aliran penafsiran hukum tata negara, InHilco, Jakarta, 1998, hal...
7

c. Originalism memberi penghormatan yang lebih baik terhadap pengertian


konstitusi sebagai suatu kontrak yang bersifat mengikat;
d. Originalism lebih sering membuat pembentuk undang-undang terpaksa
mempertimbangkan kembali dan kemungkinan mengubah undang-undang
yang buruk buatan mereka sendiri daripada membiarkan pengadilan untuk
mencoret (membatalkan: penulis) undang-undang (I Dewa Gede Palguna,
2013: 289).
2. Non Originalism
Aliran Non Originalism memberikan jawaban arti teks dari waktu ke waktu
berdasarkan perspektif dan kepentingan saat itu. Hal ini berarti penafsiran
dilakukan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai oleh penafsir dengan
melihat kondisi faktual yang terjadi. Melihat suatu konstitusi dengan
pandangan pragmatis, mereka menilai penafsiran yang kaku tidak dapat
mengantisipasi semua kejadian yang terjadi dimasa depan. Cara pandang
berfikir ini disebut sangat terbuka, bahkan disebut cenderung liberal. Beberapa
metode yang lahir dari aliran ini adalah fundamental law (ethos), symbolis dan
prudentialis. Penafsiran non originalism (non original intent) dilaksanakan
dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Para perancang konstitusi (pada konvensi Philadelphia) mengindikasikan
bahwa mereka tidak ingin keinginan-keinginan mereka yang bersifat
spesifik nantinya akan mengontrol interpretasi;
b. Tidak ada satupun konstitusi tertulis yang mampu mengantisipasi cara-cara
yang dapat digunakan pemerintah di masa yang akan datang untuk menindas
rakyat, sehingga ada kalanya merupakan keharusan bagi hakim untuk
mengisi kekosongan itu;
c. Maksud para perancang itu bermacam-macam, terkadang bahkan sifatnya
sementara dan acapkali mustahil untuk ditentukan. Salah satu diantaranya
perancang tidak berhasil secara sempurna menjelaskan maksud tujuan
mereka dalam teks, contoh pada UUD 1945 dimana pada versi awal hanya
terdapat 37 Pasal dan dijelaskan didalamnya bahwa adanya keterbatasan
karena pembuatannya dilakukan secara tergesa-gesa;
8

d. Non originalism memungkinkan konstitusi berkembang sesuai dengan


pengertian-pengertian yang lebih mencerahkan (I Dewa Gede Palguna,
2013: 289-290).
Hakim dalam melaksanakan penafsiran konstitusi untuk penemukan
hukum memiki peranan sangat penting dalam suatu negara demokrasi. Karena
alasan tersebut menjaga integritas seorang hakim sangatlah penting mengingat
kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai “the least power” diantara cabang
kekuasaan lainnya dalam kerangka prinsip pemisahan kekuasaan (separation of
power). Salah satu yang perlu diantisipasi adalah adanya kehati-hatian seorang
hakim dan pengadilan dalam melakukan penafsiran hukum agar tidak membentuk
norma hukum yang baru ataupun mengubah makna sebuah norma di dalam
Undang-Undang Dasar melalui putusannya.
Judicial restraint menurut Aharon Barak adalah bahwa hakim harus
sedapat mungkin tidak membentuk norma hukum baru dan mengadili sebuah
hukum baru dalam mengadili sebuah perkara untuk menciptakan keseimbangan
diantara nilai-nilai sosial yang saling bertentangan. Dengan kata lain judicial
restraint menghendaki hakim untuk menafsirkan sebuah undang-undang dengan
terlebih dahulu memperhatikan politik hukum pembentuknya. 10
Judicial restraint merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam proses
penafsiran konstitusi, karena dengan juicial restraint memberikan batasan
terhadap penafsiran atas norma-norma agar tidak keluar dari wewenang hakim
konstitusi dan menggau cabang kekuasaan yang lain dalam kerangka prinsip
pemisahan kekuasaan.

10
Aharon Barak, “Judge In Democac”, Jurnal Menggagas Penerapan Judicial Restraint di
Mahkamah Konstitusi, (September2014), hal 271
9

C. Metode penafsiran hukum yang berhubungan dengan penafsiran


Konstitusi
Metode penafsiran hukum bukan merupakan ketentuan yang wajib
dilaksanakan oleh hakim dalam penemuan hukum, melainkan pendekatan yang
dilakukan terhadap putusan-putusan hakim sehingga kita dapat mengetahui
pertimbangan apa saja yang digunakan oleh hakim dalam membuat putusan.
Menurut Fitzgerald yang dikutip Sutjipto Rahardjo berpendapat bahwa
interpretasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Interfensi harfiah
Kerap pula disebut restrictive interpretation merupakan penafsiaran yang
menggunakan kalimat yang berada pada peraturan - peraturan. Dengan kata
lain, interpretasi ini tidak keluar dari peraturan (letera legis).11
2. Interfensi fungsional
Penafsiran ini dikenal sebagai penafsiran bebas dikarenakan ia tidak terikat
dalam penggunaan kalimat atau kata - kata dalam peraturan (extensive
interpretation). Dalam memahami maksud peraturan penafsiran ini
menggunakan berbagai sumber untuk mendapatkan penjelasan yang lebih
tepat terhadap suatu peraturan.12

Selain metode diatas, apabila ditinjau dari hasil penemuan hukum


(rechtsvinding) metode interpretasi juga dapat dibedakan menjadi dua, antara
lain:
1. Metode penafsiran restriktif
a. Interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa
Positief recht bestaat dus alleen maar dankzij het feit dat de
mens een taal heeft artinya hukum positif itu ada dikarenakan adanya
kenyataan bahwa manusia memiliki bahasa. Metode interpretasi
gramatikal yang disebut juga metode penafsiran obyektif adalah salah
satu cara yang digunakan untuk menentukan makna atau arti suatu
ketentuan undang-undang. Metode ini bertujuan untuk memahami

11
Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukuim, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal, 95
12
Ibid
10

undang-undang dengan menguraikannya berdasarkan bahasa, susunan


kata, atau bunyi yang terkandung dalam teks undang-undang. Dengan
demikian, metode ini merupakan pendekatan yang bersifat objektif
karena mengacu pada teks undang-undang itu sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa dalam metode interpretasi
gramatikal, hakim tidak hanya sekadar "membaca undang-undang,"
tetapi mereka menggali makna undang-undang dengan merujuk pada
bahasa sehari-hari yang umum. Ini berarti bahwa ketentuan undang-
undang harus diartikan sesuai dengan pemahaman bahasa yang biasa
digunakan oleh masyarakat umum. Namun, ini tidak berarti bahwa
hakim harus mengikuti secara ketat kata-kata dalam undang-undang,
tetapi mereka juga harus menerapkan logika untuk memahami konteks
dan tujuan undang-undang tersebut.
Dengan demikian, metode interpretasi gramatikal atau
penafsiran obyektif memberikan dasar yang kuat untuk memahami
ketentuan undang-undang, dengan mempertimbangkan bahasa,
susunan kata, dan logika, sehingga hakim dapat memberikan
keputusan yang adil dan sesuai dengan niat undang-undang.
b. Interpretasi teologis atau sosiologis
Interpretasi teleologis atau sosiologis adalah suatu metode
interpretasi hukum di mana makna undang-undang ditetapkan
berdasarkan pada tujuan kemasyarakatan atau tujuan sosial. Dalam
konteks ini, undang-undang yang masih berlaku namun mungkin
sudah usang atau tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini dapat
diinterpretasikan ulang. Metode ini memungkinkan penggunaan
undang-undang yang ada untuk diaplikasikan pada peristiwa,
hubungan, kebutuhan, dan kepentingan masa kini, tanpa memandang
apakah kondisi tersebut dikenal pada saat undang-undang tersebut
diundangkan.
Dengan menggunakan interpretasi teleologis, peraturan
perundang-undangan dapat disesuaikan dengan hubungan dan situasi
11

sosial yang baru. Hal ini berarti bahwa peraturan hukum yang
mungkin telah dirumuskan untuk kondisi masa lalu dapat diadaptasi
untuk mencerminkan keadaan yang lebih baru. Dengan kata lain,
prinsip-prinsip atau aturan yang terkandung dalam undang-undang
dapat diaplikasikan dengan cara yang lebih aktual atau relevan.
Pendekatan ini mengakui bahwa masyarakat dan kebutuhan
hukum dapat berubah seiring waktu, dan oleh karena itu, interpretasi
teleologis memberikan ruang untuk menyesuaikan undang-undang
dengan realitas sosial dan kebutuhan masa kini. Ini memungkinkan
pengadopsian dan penerapan hukum yang lebih kontekstual dan
responsif terhadap perkembangan masyarakat.

c. Interpretasi sistematis logis


Undang-Undang tidak dapat dipahami atau diinterpretasikan
secara terpisah dan terisolasi dari keseluruhan sistem perundang-
undangan. Prinsip ini mencerminkan konsep bahwa setiap Undang-
Undang berinteraksi dan saling terkait dengan peraturan perundang-
undangan lainnya, membentuk suatu kesatuan yang lebih besar. Untuk
memahami dan menafsirkan suatu Undang-Undang dengan benar,
seringkali diperlukan pendekatan yang mencakup hubungan dan
keterkaitan dengan undang-undang lain dalam sistem tersebut.
Metode interpretasi yang digunakan untuk menghubungkan
suatu Undang-Undang dengan undang-undang lain disebut sebagai
interpretasi sistematis atau interpretasi logis. Pendekatan ini
melibatkan analisis hubungan antara berbagai ketentuan hukum dalam
sistem perundang-undangan dan mempertimbangkan keseluruhan
konteks hukum.
Dengan mengadopsi interpretasi sistematis, para pengambil
keputusan hukum, seperti hakim, dapat mencari konsistensi antara
Undang-Undang yang sedang diinterpretasikan dengan Undang-
Undang lainnya. Hal ini membantu dalam mencapai keselarasan dan
keberlanjutan dalam penerapan hukum.
12

Secara umum, interpretasi sistematis merupakan suatu


pendekatan yang memandang hukum sebagai suatu kesatuan yang
terorganisir, di mana setiap elemen atau peraturan saling terhubung
dan mempengaruhi satu sama lain. Pendekatan ini memastikan bahwa
interpretasi suatu Undang-Undang tidak hanya didasarkan pada teks
secara individual, tetapi juga memperhitungkan konteks hukum secara
keseluruhan
Dalam peradilan di MK metode penafsiran ini beberapa kali
digunakan. Contoh bagaimana metode penafsiran sistematis atau logis
ini digunakan dalam praktik peradilan di MK dapat dilihat seperti
terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-
IV/2006 [dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman] sebagai berikut:

Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran


berdasarkan “original intent” perumusan ketentuan UUD 1945,
ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak
berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal
24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan mengenai
Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah
Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa
ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu
memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku
hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal
ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad
Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan
anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan
ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak
pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi
13

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945.

d. Interpretasi historis
Penjelasan yang baik mengenai dua macam interpretasi historis,
yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran
menurut sejarah hukum.
- Penafsiran Menurut Sejarah Undang-Undang:
Penafsiran ini bertujuan untuk mencari maksud atau tujuan
ketentuan dalam Undang-Undang sebagaimana yang diinginkan
atau dilihat oleh pembentuk Undang-Undang pada saat
pembentukkannya. Salah tiga karakteristik penafsiran ini ialah,
Mendasarkan diri pada kehendak atau pandangan subjektif
pembentuk Undang-Undang, Menyelidiki niat atau maksud para
pembuat undang-undang pada saat proses pembentukan, Disebut
juga sebagai interpretasi subjektif karena menempatkan penafsir
pada sudut pandang pembentuk Undang-Undang. Mencari
pemahaman lebih dalam tentang niat pembuat undang-undang dan
keinginan yang ingin dicapai saat undang-undang tersebut dibuat.
- Penafsiran Menurut Sejarah Hukum:
Metode ini bertujuan untuk memahami Undang-Undang dalam
konteks keseluruhan sejarah hukum.Memperhatikan perkembangan
hukum secara menyeluruh. Melibatkan penelitian terhadap
perkembangan hukum dan konteks lebih luas, bukan hanya sebatas
pembentukan undang-undang tertentu. Menghubungkan undang-
undang dengan perkembangan hukum dan perubahan sosial
sepanjang waktu. Memberikan gambaran yang lebih komprehensif
tentang bagaimana suatu undang-undang terintegrasi dalam sejarah
hukum, dan bagaimana perubahan dalam interpretasi hukum telah
terjadi seiring waktu.
Dengan menggunakan kedua metode ini, interpretasi historis
14

dapat memberikan pandangan yang lebih lengkap terhadap makna dan


ruang lingkup suatu undang-undang, serta membantu memahami
evolusi hukum dalam suatu masyarakat.

e. Interpretasi komparatif atau perbandingan


Interpretasi perbandingan adalah suatu metode interpretasi
hukum yang dilakukan dengan membandingkan penerapan asas-asas
hukum (rechtsbeginselen) dan aturan hukum (rechtsregel) dalam satu
peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan
lainnya. Dalam interpretasi ini, fokusnya adalah pada perbandingan
aturan-aturan hukum yang ada serta prinsip-prinsip hukum yang
mendasarinya. Metode ini dapat membantu dalam memahami
bagaimana suatu peraturan hukum tertentu harus diinterpretasikan atau
diterapkan.
- Pembandingan Asas Hukum (Rechtsbeginselen): Dalam metode
ini, penafsir akan mencari persamaan atau perbedaan antara
prinsip-prinsip hukum yang mendasari peraturan yang sedang
diinterpretasikan dengan prinsip-prinsip hukum dalam peraturan
lain. Ini dapat membantu dalam menentukan bagaimana asas-asas
hukum tertentu harus diterapkan dalam konteks tertentu.
- Pembandingan Aturan Hukum (Rechtsregel): Selain asas-asas
hukum, metode ini juga melibatkan pembandingan antara aturan-
aturan hukum (rechtsregel) dalam peraturan yang sedang
diinterpretasikan dengan aturan hukum dalam peraturan-peraturan
lain. Ini dapat membantu dalam menentukan bagaimana aturan
tertentu harus diterapkan atau dikombinasikan dengan aturan lain.
Selain membandingkan asas hukum dan aturan hukum,
interpretasi perbandingan juga dapat melibatkan penelitian tentang
latar belakang atau sejarah pembentukan hukum. Hal ini dapat
memberikan pemahaman tentang niat legislator atau pembuat undang-
undang saat merumuskan peraturan tersebut. Metode ini dapat
digunakan oleh hakim atau penegak hukum untuk memutuskan kasus
15

yang kompleks atau ambigu dengan merujuk pada peraturan hukum


dan prinsip-prinsip hukum yang ada dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Interpretasi perbandingan membantu
memastikan konsistensi dan keadilan dalam penerapan hukum dengan
mempertimbangkan pandangan yang lebih luas dan menggabungkan
berbagai aspek hukum yang relevan dalam proses pengambilan
keputusan hukum.
f. Interpretasi futuristis
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang
bersifat antisipasi adalah pendekatan dalam penafsiran hukum yang
bertujuan untuk menjelaskan ketentuan Undang-Undang yang belum
memiliki kekuatan hukum. Metode ini lebih bersifat ius
constituendum, yang berarti hukum atau Undang-Undang yang sedang
diciptakan atau yang akan datang, daripada ius constitutum, yang
merujuk pada hukum atau Undang-Undang yang sudah berlaku pada
saat sekarang. Beberapa poin penting tentang interpretasi futuristis
adalah:
- Mengantisipasi Hukum Baru: Metode ini digunakan untuk
memahami dan menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam
rancangan undang-undang atau perubahan undang-undang yang
belum berlaku. Ini dapat dilakukan untuk membantu memahami
dampak dan implikasi dari hukum yang akan datang.
- Peran Penting dalam Proses Legislasi: Interpretasi futuristis dapat
membantu para legislator, pengacara, dan pihak berkepentingan
dalam proses pembuatan hukum untuk memahami secara lebih
baik konsekuensi hukum dari rancangan undang-undang yang
diajukan.
- Menggambarkan Visi Hukum Masa Depan: Pendekatan ini
memungkinkan para ahli hukum untuk meramalkan bagaimana
suatu undang-undang yang belum berlaku akan memengaruhi
masyarakat dan hukum di masa depan. Hal ini memungkinkan
16

untuk perencanaan dan penyesuaian yang lebih baik terhadap


perubahan hukum yang akan datang.
- Aspek Perubahan dan Kemajuan: Interpretasi futuristis
mencerminkan pandangan bahwa hukum adalah instrumen yang
berkembang dan harus mampu mengakomodasi perubahan dalam
masyarakat. Hal ini juga mengakui peran hukum dalam
membentuk masa depan.
Dengan demikian, metode ini membantu dalam meramalkan
dan memahami dampak hukum yang akan datang serta mendukung
proses pembentukan hukum yang lebih efektif dan relevan dengan
tuntutan masyarakat dan perkembangan sosial

2. Metode penafsiran ekstensif


Metode penafsiran yang sangat membantu di dalam memahami
suatu aturan hukum adalah metode penafsiran hukum ekstensif yang
bersifat memperluas makna yang terdapat di dalam aturan hukum dengan
tetap mendasarkan perluasan itu pada bunyi dan maksud aturan hukum itu
sendiri. Di dalam penafsiran ekstensif sendiri berlaku satu batasan yang
jelas bagi seorang penafsir untuk memperluas makna berupa bunyi dan
maksud dari undang-undang atau aturan hukum, yang sebenarnya masih
memiliki ruang penafsiran yang begitu luas seiring dengan perkembangan
pemahaman suatu unsur. Kenyataan ini merupakan wujud dari usaha
penemuan hukum ketika menghadapi satu aturan hukum yang tidak jelas
maksud dan tujuannya atau ketika aturan hukum itu tidak mengatur sama
sekali. Pemahaman akan pentingnya penemuan hukum ini sangat penting
di pahami oleh seorang hakim di Indonesia karena ia tidak hanya berfungsi
sebagai mulut undang-undang tetapi sebagai pelaksana kekuasaan
peradilan yang mandiri sehingga harus terus menerus menggali dan
mengikuti setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Hukum pidana adat yang ada di masyarakat seringkali tidak
diperhatikan oleh hakim karena dianggap sebagai hukum tidak tertulis dan
bertentangan dengan asas legalitas. Padahal di dalam hukum pidana adat
17

inilah terdapat nilai-nilai hukum asli dari masyarakat Indonesia dan di akui
keberlakuannya secara faktual. Kenyataan dan tantangan inilah yang harus
di jembatani oleh kegiatan penemuan hukum dengan menggunakan
penafsiran ekstensif agar hukum pidana Indonesia semakin berkembang
dan memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum di masyarakat.13
D. Metode panafsiran Konstiitusi
Bobbitt mengidentifikasi 6 (enam) macam metode penafsiran konstitusi
(constitutional interpretation) dalam bukunya yang berjudul "Constitutional Fate:
Theory of the Constitution". Keenam metode tersebut adalah:
1. Penafsiran tekstual atau harfiah
Penafsiran tekstual, juga dikenal sebagai literalisme, adalah sebuah
metode penafsiran konstitusi atau undang-undang yang menekankan pada
makna harfiah atau pemahaman terhadap kata-kata yang terdapat dalam teks
dokumen hukum, seperti konstitusi atau undang-undang. Dalam penafsiran
tekstual, fokus utamanya adalah pada arti kata-kata sebagaimana yang
biasanya dimaknai oleh kebanyakan orang.
Dalam konteks penafsiran tekstual, tujuan utama adalah mencari
pemahaman kata-kata yang digunakan dalam undang-undang atau konstitusi
tanpa menambahkan interpretasi, penafsiran, atau makna tambahan. Metode
ini mencoba untuk membatasi penafsiran hukum kepada apa yang sebenarnya
tertulis dalam teks, tanpa mengadopsi interpretasi atau konsep yang tidak
secara eksplisit terdapat dalam teks hukum itu sendiri.
Namun, penting untuk diingat bahwa penafsiran tekstual tidak selalu
bisa mengatasi semua situasi, terutama jika teks hukum tersebut ambigu atau
tidak memberikan panduan yang jelas. Oleh karena itu, dalam beberapa
kasus, pengadilan dan pakar hukum mungkin perlu mempertimbangkan
metode penafsiran lainnya, seperti penafsiran sejarah, niat pembuat hukum,
atau konteks sosial dan politik saat undang-undang atau konstitusi tersebut
2. Penafsiran historis atau penafsiran orisinal
Penafsiran historis ini disebut juga dengan penafsiran orisinal, yaitu
13
Hwian Christianto, “Penafsiran Ekstensif sebagai Upaya Penemuan Hukum”, (Tesis,
Universitas Airlangga, Surabaya, 2009), hal...
18

bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang didasarkan pada sejarah


konstitusi atau undang-undang itu dibahas, dibentuk, diadopsi atau diratifikasi
oleh pembentuknya atau ditandatangani institusi yang berwenang. Pada
umumnya metode penafsiran ini menggunakan pendekatan original intent
terhadap norma-norma hukum konstitusi. Menurut Anthony Mason,
interpretasi atau penafsiran ini merupakan penafsiran yang sesuai dengan
pengertian asli dari teks atau istilah-istilah yang terdapat dalam konstitusi.
Penafsiran ini biasanya digunakan untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan
dan struktur konstitusi.
3. Penafsiran doctrinal
Penafsiran doktrinal adalah metode penafsiran hukum yang berfokus
pada pemahaman aturan undang-undang melalui referensi kepada sistem
preseden atau praktik peradilan. Dalam penafsiran doktrinal, hukum
diterjemahkan dan dipahami dengan merujuk pada putusan-putusan
pengadilan sebelumnya, doktrin hukum yang berkembang, dan interpretasi
hukum yang telah menjadi standar dalam sistem hukum tertentu.
Metode penafsiran ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang
telah diuji dan dikembangkan melalui proses pengadilan. Pengadilan
sebelumnya telah mengambil keputusan dalam kasus-kasus yang serupa dan
memutuskan bagaimana hukum harus diterapkan. Penafsiran doktrinal
melibatkan mengacu pada putusan pengadilan ini sebagai panduan untuk
memahami bagaimana hukum harus diterapkan dalam situasi yang serupa di
masa depan.
Selain mengacu pada pengadilan, penafsiran doktrinal juga bisa
mencakup penggunaan doktrin hukum dan interpretasi hukum yang telah
berkembang dalam sistem hukum tertentu. Hal ini berarti pengadilan dan ahli
hukum akan mempertimbangkan bagaimana prinsip-prinsip hukum telah
diterapkan secara konsisten dalam berbagai kasus dan bagaimana hukum
telah berkembang melalui waktu.
Metode penafisaran doktrinal ini merupakan metode umum
digunakan dalam sistem hukum berbasis common law, seperti sistem hukum
19

yang ada di Amerika Serikat dan sebagian besar negara-negara ber common
law lainnya. Dalam sistem hukum berbasis kodifikasi, metode ini mungkin
tidak begitu relevan karena hukum didasarkan pada undang-undang tertulis
yang lebih sedikit mengandalkan preseden pengadilan.
James A. Holland dan Julian S. Webb mengemukakan bahwa
common law is used to describe all those rules of law that have evolved
through court cases (as opposed to those which have emerged from
Parliament). Menurut Bobbitt, metode penafsiran doktrinal ini banyak
14
dipengaruhi oleh tradisi common law yang digunakan sebagai
pendekatannya
4. Penafsiran prudensial
Penafsiran prudensial adalah metode penafsiran hukum yang
mempertimbangkan keseimbangan antara biaya dan manfaat yang terkait
dengan penerapan suatu aturan hukum atau undang-undang tertentu. Dalam
konteks ini, "prudensial" mengacu pada pertimbangan yang bijaksana,
rasional, atau berdasarkan pertimbangan ekonomi dan praktis.
Metode penafsiran prudensial mempertimbangkan implikasi praktis
dan ekonomi dari penerapan hukum. Ini melibatkan evaluasi biaya-biaya
yang akan dikeluarkan, baik oleh individu, organisasi, atau masyarakat secara
keseluruhan, untuk mematuhi aturan hukum tertentu. Di sisi lain, juga
mempertimbangkan manfaat atau tujuan yang ingin dicapai melalui
penerapan aturan tersebut.
Dalam beberapa kasus, penafsiran prudensial dapat mengarah pada
penentuan cara yang paling ekonomis atau efisien untuk mencapai tujuan
hukum tertentu. Ini bisa berarti bahwa dalam situasi tertentu, pengadilan atau
lembaga penegak hukum dapat memilih untuk menafsirkan atau menerapkan
aturan hukum dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan praktis,
sehingga mencapai hasil yang lebih baik dalam hal keseimbangan biaya dan
manfaat. Menurut Bobbitt, prudential arguments is actuated by facts, as these
play into political and economic policies
14
Hello Jendela, “Mengenal Macam – Macam Konstitusi”, https://jendelahukum.com/mengenal-
macam-macam-penafsiran-konstitusi/#_ftn3, diakses pada tanggal 21 Oktober 2023
20

5. Penafsiran struktual
Penafsiran struktural adalah metode penafsiran hukum yang berfokus
pada hubungan antara aturan-aturan dalam undang-undang dengan konstitusi
atau Undang-Undang Dasar yang mengatur struktur-struktur ketatanegaraan.
Metode ini mencoba untuk memahami dan menginterpretasikan undang-
undang dengan mempertimbangkan bagaimana aturan tersebut berkontribusi
terhadap struktur pemerintahan, federalisme, pemisahan kekuasaan, dan isu-
isu lain yang berkaitan dengan organisasi pemerintah.
Metode penafsiran struktural mengacu pada pemahaman "makro"
hukum, yang lebih terfokus pada aspek-aspek makro atau besar-besaran
dalam hukum dan tata pemerintahan, daripada pada isu-isu hukum yang lebih
spesifik, seperti kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Dalam konteks ini,
istilah "macroscopic prudentialism" yang disebutkan oleh Bobbitt mengacu
pada pendekatan yang mencari keseimbangan antara biaya dan manfaat dalam
aspek-aspek makro dalam hukum dan pemerintahan. Ini berarti pertimbangan
praktis dan ekonomi dapat memainkan peran penting dalam penafsiran
struktural.
Penafsiran struktural juga dapat membantu pengadilan dan lembaga
penegak hukum dalam memahami bagaimana aturan-aturan tertentu
mempengaruhi struktur ketatanegaraan dan hubungan antara pemerintah
federal dan negara bagian (dalam konteks federalisme, jika berlaku). Dengan
demikian, metode penafsiran ini memiliki dampak yang signifikan pada
interpretasi hukum yang berkaitan dengan tata pemerintahan.
6. Panafsiran etikal
Prinsip moral dan etika yang terdapat dalam konstitusi atau undang-
undang dasar. Dalam metode ini, upaya dilakukan untuk mengidentifikasi dan
menerapkan prinsip-prinsip etis yang mendasari hukum tersebut. Penafsiran
etikal melibatkan pemahaman tentang bagaimana hukum tersebut
berhubungan dengan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat.
Metode penafsiran etikal seringkali mempertimbangkan prinsip-
prinsip moral dan etika yang mendasari pembentukan hukum tersebut. Ini
21

dapat mencakup prinsip-prinsip seperti keadilan, kebebasan, hak asasi


manusia, dan nilai-nilai sosial yang dianggap penting. Penafsiran etikal juga
bisa melibatkan penerapan aspirasi moral dalam interpretasi hukum, di mana
tujuan hukum bisa dilihat sebagai mencerminkan nilai-nilai yang dianggap
positif oleh masyarakat.
Penafsiran etikal sering menjadi relevan ketika teks hukum tidak
memberikan panduan yang cukup untuk menentukan bagaimana hukum harus
diterapkan dalam situasi tertentu atau ketika ada pertentangan dalam nilai-
nilai moral. Dalam kasus seperti itu, para hakim, pengacara, dan ahli hukum
dapat menggunakan prinsip-prinsip etika sebagai panduan dalam
pengambilan keputusan hukum.
Metode penafsiran etikal dapat berbeda-beda tergantung pada
budaya, sistem hukum, dan norma-nilai sosial yang berlaku di suatu negara
atau masyarakat. Beberapa negara mungkin lebih cenderung menggunakan
penafsiran etikal dalam pengambilan keputusan hukum, sementara yang lain
mungkin lebih berfokus pada aspek-aspek formal atau tekstual dalam
penafsiran hukum.

E. Prinsip Independensi hakim dalam menentukan metode penafsiran


konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan pengadilan konstitusi yang
memiliki fungsi sesuai dengan Pasal 24 C UUD 1945 terdiri dari empat
kewenangan dan satu kewajiban. Keempat kewenangan tersebut antara lain
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus
perselisihan hasil pemilihan umum, sedangkan kewajiban MK yaitu memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan
atau Wakil Presiden. Penafsiran MK bersifat final dan mengikat, MK melalui
putusaannya merupakan penafsiran akhir sehingga MK memiliki fungsi sebagai
the final interpreter of the constitution.
Apabila ditinjau dari sisi teori dan kesejarahan pelaksanaan pengadilan
konstitusi, diantara kewenangan dan kewajiban MK terdapat satu kewenangan
22

yang dominan dalam pelaksanaannya, yaitu kewenangan memutus pengujian


undang-undang terhadap UUD dimana putusan MK bersifat final dan mengikat
serta berlaku umum (erga omnes)
Seorang hakim dalam menemukan hukum memiliki kemerdekaan untuk
memilih dan menggunakan metode intepretasi memiliki otonomi dan
kemerdekaan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Kemerdekaan seorang hakim dalam
menemukan hukum juga dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 005/PUU-IV 2006 yang menjelaskan bahwa, “... Kemerdekaan dimaksud
juga diartikan bahwa hakim bebas memutus sesuai dengan nilai yang
diyakininya melalui penafsiran hukum, walaupun putusan yang didasarkan
pada penafsiran dan keyakinan demikian mungkin berlawanan dengan mereka
yang mempunyai kekuasaan politik dan administrasi.”
Untuk memperoleh kepastikan hukum, seorang Hakim saat melakukan
penalaran hukum memiliki beberapa faktor sebagai pertimabangan, dimana
faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua perspektif, yaitu
perspektif internal dan perspektif eksternal. Dimana perspektif internal, menurut
Bernard Arief Sidharta, kegiatan bernalar hakim dengan beragam motivering
(pertimbangan yang bermuatan argumentasi) yang menopangnya selalu berada
dalam pusaran tarikan keanekaragaman kerangka orientasi berpikir yuridis yang
terpelihara dalam suatu sistem, sehingga dapat berkembang menurut logikanya
sendiri, dan eksis sebagai suatu model penalaran yang khas sesuai dengan tugas-
tugas profesionalnya. 15Sedangkan dari perspektif eksternal, proses pembuatan
putusan oleh hakim tidak dapat dilepaskan dari konteks kerangka teoretis,
filosofis dan paradigma yang diyakininya, yang sering sadar atau tidak, dimuati
dan tercampur oleh kepentingan-kepentingan kultural, sosilogis dan politis.16

15
Sidharta, Potret Profesinalisme Hakim dalam Putusan, Komisi Yudisial Republik Indonesia,
Jakarta, 2010, hal 39
16
Ibid
23

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstitusi merupakan salah satu syarat terbentuknya suatu negara, tana
adanya konstitusi negara tersebut tidak mungkin terbentuk. Didalam sebuah
konstitusi memuat banyak kepentingan seputar tatanan organisasi negara, HAM,
UUD dan banyak lagi. Konstitusi juga memiiki kedudukan dan pengaruh sangat
besar bagi suatu negara karena fungsinya aam mengatur kekuasaan.
Konstitusi tidak dapat dilepaskan dari konstitusionalisme.
Konstitusionalisme adalah suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan
jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Konstitusionalisme merupakan
gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang
diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa
pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan
untuk pemerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas
untuk memerintah.
Adapun yang menjadi dasar dari konstitusionalisme adalah kesepakatan
umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai
bangunan yang di idealkan berkenaan dengan Negara. Organisasi Negara itu
diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama
dapat dilindungi atau di promosikan melalui pembentukan dan penggunaan
mekanisme yang disebut Negara. Kesepakatan (consensus), yaitu : pertama,
kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama. Kedua, kesepakatan tentang
the rule of the law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara.
Ketiga, kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-
prosedur ketatanegaraan.
Kesepakatan yang pertama berkenan dengan cita-cita bersama adalah
puncak abstraksi paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan
kepentingan diantara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus
hidup ditengah pluralism atau kemajemukan, oleh karena itu suatu masyarakat
untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan
24

perumusan tentang tujuan atau cita-cita bursama. Kesepakatan kedua adalah


kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan
konstitusi, kesepakatan kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap
negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan
dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas the rules of the
game yang ditentukan bersama. Kesepakatanyang ketiga adalah berkenaan
dengan bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur
kekuasaannya, hubungan-hubungan antara organ negara dengan warga negara.
Penafsiran Konstitusi atau interprestasi konstitusi atau constitutional
interpretation merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan undang-
undang dasar17. Penafsiran Konstitusi berlaku sama seperti halnya penafsiran
hukum, dimana penafsiran dilakukan dikarenakan ketentuan dasar pada
umumnya tidak memiliki penjelasan yang lengkap dan jelas, bersifat abstrak
dibanding aturan-aturan dibawahnya. Selain itu pada konstitusi muatan
didalamnya merupakakan aturan-aturan dasar yang berlaku dalam jangka waktu
yang panjang. Penafsiran Konstitusi dilakukan sebagai metode untuk
menemukan hukum (rechstvinding) berdasarkan konstitusi atau undang-undang
dasar yang digunakan dalam peradilan Mahkamah Konstitusi.
Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju pada
pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum
terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi adalah sarana atau alat untuk
mengetahui makna Undang-Undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan
untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan
metode itu sendiri , hakim melaksanakan penafsiran konstitusi untuk penemukan
hukum memiki peranan sangat penting dalam suatu negara demokrasi. Karena
alasan tersebut menjaga integritas seorang hakim sangatlah penting mengingat
kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai “the least power” diantara cabang
kekuasaan lainnya dalam kerangka prinsip pemisahan kekuasaan (separation of
power). Salah satu yang perlu diantisipasi adalah adanya kehati-hatian seorang
hakim dan pengadilan dalam melakukan penafsiran hukum agar tidak
17
Muchamad Ali Safaat dkk, “Pola Penafsiran Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Periode 2003-2008 dan 2009-2013”, Jurnal Konstitusi (2017), hal...
25

membentuk norma hukum yang baru ataupun mengubah makna sebuah norma di
dalam Undang-Undang Dasar melalui putusannya.
Untuk memperoleh kepastikan hukum , seorang Hakim saat melakukan
penalaran hukum memiliki beberapa faktor sebagai pertimabangan, dimana
faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua perspektif, yaitu
perspektif internal dan perspektif eksternal. Dimana perspektif internal, menurut
Bernard Arief Sidharta, kegiatan bernalar hakim dengan beragam motivering
(pertimbangan yang bermuatan argumentasi) yang menopangnya selalu berada
dalam pusaran tarikan keanekaragaman kerangka orientasi berpikir yuridis yang
terpelihara dalam suatu sistem, sehingga dapat berkembang menurut logikanya
sendiri, dan eksis sebagai suatu model penalaran yang khas sesuai dengan tugas-
tugas profesionalnya.18 Sedangkan dari perspektif eksternal, proses pembuatan
putusan oleh hakim tidak dapat dilepaskan dari konteks kerangka teoretis,
filosofis dan paradigma yang diyakininya, yang sering sadar atau tidak, dimuati
dan tercampur oleh kepentingan-kepentingan kultural, sosilogis dan politis.19

18
Sidharta, Potret Profesinalisme Hakim dalam Putusan, Komisi Yudisial Republik Indonesia,
Jakarta, 2010, hal 39
19
Ibid
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai