Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS YURIDIS RATIO DECIDENDI

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


NOMOR 46/PUU-VIII/2010

Untuk memenuhi sebagian syarat mata kuliah


“Penemuan Hukum”
Kelas A
Dosen Pengampu: Dr. Tetti Samosir, S.H.,M.H.

Nama : Ani Nurbaeti


NIM : 5621221003

MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS PANCASILA JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis

dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "ANALISIS YURIDIS RATIO

DECIDENDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-

VIII/2010" dapat selesai dengan tepat waktu.

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Penemuan

Hukum Dosen Dr. Tetti Samosir, M.H., pada Program Studi Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Pancasila Jakarta.

Dengan selesainya makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih

banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Atas segala kritik

dan masukan yang diberikan kepada penyempurnaan makalah ini, penulis akan

sangat berterimakasih.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

yang memerlukan.

Jakarta, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................

KATA PENGANTAR ...................................................................................................i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

A. Pendahuluan .................................................................................................... 1

B. Pokok Permasalahan ........................................................................................ 2

C. Pembahasan ....................................................................................................

1. Dasar Putusan Mahkamah Konstitusi........................................................... 3


a. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi ....................................... 3
b. Tinjauan Umum Tentang Ratio Decidendi ............................................... 4
2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi .............................................. 5
a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010........................... 5
b. Penafsiran Hukum Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materi
perkara Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 ............................................. 11

D. Kesimpulan ...................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 13

ii
A. Pendahuluan
Lembaga Tinggi Negara dalam sistem ketatanegraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Konstitusi
bersama-sama Mahkamah Agung. Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 24 ayat 2 menyatakan Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan Agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan itu, Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung.
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Dengan
demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan sebagai cabang
kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi
kewenangannya berdsarkan ketentuan UUD 1945.

Berdasarkan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang
perubahan atas undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
sebagai berikut:

1. Menguji Undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya


diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945;

3. Memutus pembubaran partai politik.

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Putusan Mahkamah Konstitusi yag mengabulkan uji materiil UU perkawinan


Nomor 1 tahun 1974 yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti
H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin
Moerdiono, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum
Moerdiono.


Putusan tersebut yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama
dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003


tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Republik Indonesia. Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk
mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum
(legal standing), sebagai pihak yang mengaggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

Dengan demikian para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap


UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

1. Kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51


ayat 1 UU 24/2003;

2. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh


UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-undang yang dimohonkan
pengujian terhadap UUD 1945, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Pasal 28 B ayat 1 dan 2, serta Pasal 43 ayat 1, Pasal 28 D ayat 1.

Berdasarkan uraian diatas maka menarik minat penulis untuk membahas


materi terkait “ANALISIS YURIDIS RATIO DECIDENDI PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010”.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini, sebagai berikut:

1. Apa Ratio Decidendi Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materi perkara
Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010?

2. Bagaimana penafsiran hukum yang digunakan dalam memutus uji perkara


Putusan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010?


C. Pembahasan
1. Dasar Putusan Mahkamah Konstitusi

a. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan


kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berwenang untuk:

(a) “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang


kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

(c) memutus pembubaran partai politik;

(d) memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan

(e) memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden


dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.”

Sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang diatur


dalam konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi memiliki peran dan fungsi
yang sangat penting dalam menciptakan keadilan melalui pelaksanaan
kewenangannya. Mahkamah Konstitusi menjalankan wewenang
tersebut untuk menegakkan konstitusi untuk mewujudkan negara
hukum yang demokratis, sekaligus menjalankan fungsi dari Mahkamah
Konstitusi sebagai pelindung dan pengawal konstitusi untuk
menciptakan legal juctice dan social justice.


Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian
Undangundang berdasar Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berisi ketentuan
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap UUD 1945. Namun ketentuan tersebut
dibatasi oleh ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b UU No.24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menghendaki Pemohon wajib
menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan atau
bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD
1945.

Dengan demikian, permohonan Pemohon tertuju secara konkret


kepada ayat-ayat maupun pasal-pasal tertentu dalam undang-undang
yang dimohonkan untuk diuji.1

Permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah


Konstitusi bisa dilakukan baik secara formal maupun materiil. Pada
pengujian formal, undang-undang diuji apakah telah memenuhi
prosedur pembentukan berdasarkan ketentuan UUD 1945 atau tidak.
Pengujian tersebut hakikatnya tidak terkait dengan suatu pasal dan
ayat tertentu, sehingga kerugian konstitusional yang dialami secara
individual bukan merupakan sesuatu yang esensial atau bersifat obiter
dikta, sedangkan pengujian materiil mensyaratkan Pemohon harus
dapat memperlihatkan secara langsung faktor-faktor yuridis relevan
dengan pelanggaran hak konstitusional yang dialami akibat suatu
undang-undang, yang membuat kerugian konstitusional riil yang
diderita Pemohon memiliki sifat ratio decidendi atau esensial yang
mempengaruhi putusan hakim

b. Tinjauan Umum Tentang Ratio Decidendi

Pengertian ratio decidendi atau pertimbangan hakim adalah


argument/alasan hakim yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan
hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Ratio decidendi
Hakim dapat diartikan sebagai pikiran hakim yang menentukan seorang

1
Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 275.


Hakim membuat amar putusan.2 Dalam setiap putusan hakim terdapat
alasan yang menentukan atau inti-inti yang menentukan dalam
pembuatan putusan. Dalam ratio decidendi Hakim juga
mempertimbangkan landasan filsafat yang mendasar, yang
berhubungan dengan dasar peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan pokok perkara, dan motivasi pada diri Hakim yang jelas
untuk menegakkan hukum serta memberikan keadilan bagi para pihak
yang terkait dengan pokok perkara.

Istilah-istilah lain yang sama artinya seperti ratio decidendi adalah


legal reasoning dan the ground of reason the decision yang dipakai pada
penjelasan berikutnya.

Pada umumnya, fungsi ratio decidendi atau legal reasoning, adalah


sebagai sarana mempresentasikan pokok-pokok pemikiran tentang
problematika konflik hukum antara seseorang dengan orang lainnya, atau
antara masyarakat dengan pemerintah terhadap kasus-kasus yang menjadi
kontroversi atau kontraproduktif untuk menjadi replika dan duplika
percontohan, terutama menyangkut baik dan buruknya sistem penerapan
dan penegakan hukum, sikap tindak aparatur hukum, dan lembaga
peradilan.

2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi

1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

a. Dalil Pemohon

Dalil Pemohon Pemohon pada pokoknya memohon pengujian


Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) ) Undang-Undang No.1

Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945, yang


masing-masing menyatakan:

Pasal 2 ayat (2) UUP “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut


peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

2 Yan Pramadya Puspa, dalam Mochammad Alfi Muzakki, 2011, “Ratio Decidendi Hakim Ma Dalam
Menerima Permohonan Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan Kembali Perkara Pemalsuan Surat
Analisis Terhadap Putusan MA Nomor 41 PK/PID/2009 dan Putusan MA Nomor 183 PK/Pid/2010)”, Artikel
Ilmiah, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 9.


Pasal 43 ayat (1) UUP : “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu
dan keluarga ibunya.”

Adapun pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar


pengujian adalah:

Pasal 28B Ayat (1) “setiap orang berhak membentuk keluarga


dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”

Pasal 28 B Ayat (2) “setiap anak berhak atas kelangsungan


hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”

Pasal 28 D Ayat (1) “setiap orang berhak atas pengakuan,


jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dalam hukum”.

Adapun alasan pemohon meminta permohonan tersebut,


karena pemohon dalam hal ini Machica Mochtar, yang telah
melakukan perkawinan dengan Moerdiono secara agama, dan
tidak dicatatkan, menganggap hak konstitusionalnya sebagai
warga negara yang dijamin dalam Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan. Dengan
adanya ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut, pemohon yang
melakukan perkawinan secara norma agama yang dianutnya yaitu
islam menganggap bahwa status perkawinannya menjadi tidak
jelas. Ketidakjelasannya yakni, bahwa secara agama perkawinan
tersebut sudah dilakukan sesuai dengan rukun islam akan tetapi
menjadi tidak diakui dengan adanya Pasal 2 ayat (2) UUP. Bukan
hanya ketidak jelasan terhadap status perkawinannya saja akan
tetapi juga telah mengakibatkan keberadaan anaknya di muka
hukum menjadi tidak sah. Berkaitan dengan Pasal 43 ayat (1) UUP
tersebut, para pemohon menganggap Pasal tersebut juga telah
melanggar hak konstitusionalnya. Anak yang dilahirkannya adalah
anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan secara agama.


Oleh karena itu, dalam permohonannya Machica Mochtar
menganggap , bahwa tidak tepat anaknya dijadikan sebagai anak
luar kawin, hanya dikarenakan perkawinannya yang tidak
dilakukan sesuai dengan norma hukum, seperti yang diatur dalam
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
peraturan pelaksananya. Machica Mochtar dalam permohonannya
mengungkapkan bahwa dengan adanya kedua Pasal ini mereka
mengalami ketidakpastian hukum dan merasa dirugikan. Norma
hukum yang mengharuskan sebuah perkawinan dicatat menurut
peraturan perundangundangan yang berlaku telah mengakibatkan
perkawinan yang sah dan sesuai dengan rukun nikah agama islam
(norma agama) menjadi tidak sah menurut norma hukum.
Kemudian hal ini berdampak ke status anak yang dilahirkan
Pemohon ikut menjadi tidak sah menurut hukum dalam UUP.

Bahwa telah terbukti Pemohon memiliki hubungan sebab-


akibat antara kerugian konstitusional dengan berlakunya UUP,
khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP, yaitu yang
berkaitan dengan pencatatan perkawinan dan hubungan hukum
anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Telah
terjadi pelanggaran atas hak konstitusional Pemohon sebagai
warga negara Republik Indonesia, karena Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut bertentangan dengan Pasal 28B
ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal ini
mengakibatkan pernikahan Pemohon yang telah dilakukan secara
sah sesuai dengan agama yang dianut Pemohon tidak
mendapatkan kepastian hukum sehingga mengakibatkan anak
hasil perkawinan Pemohon juga tidak mendapatkan kepastian
hukum pula. Selanjutnya masih berhubungan dengan Pasal 43
ayat (1) UUP, Pemohon mengungkapkan bahwa hak konstitusional
dari anak telah diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Kenyataannya sejak lahirnya anak Pemohon telah mendapatkan
perlakuan diskriminatif yaitu dengan dihilangkannya asal usul dari
anak Pemohon dengan hanya mencantumkan nama Pemohon
(sebagai ibu) dalam Akta Kelahirannya dan negara telah


menghilangkan hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang karena dengan hanya mempunyai hak keperdataan
dengan ibunya menyebabkan suami dari Pemohon tidak
mempunyai kewajiban hukum untuk memelihara, mengasuh dan
membiayai anak Pemohon. Tidak ada seorang anak pun yang
dilahirkan di muka bumi ini dipersalahkan dan diperlakukan
diskriminatif karena cara pernikahan yang ditempuh kedua orang
tuanya berbeda tetapi sah menurut ketentuan norma agama.
Sehingga anak tersebut merupakan anak yang sah secara hukum
dan wajib diperlakukan sama dihadapan hukum. Kenyataan
maksud dan tujuan diundangkannya UUP berkaitan pencatatan
perkawinan dan anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang
tidak dicatatkan, dianggap sebagai anak di luar perkawinan
sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Hal
ini telah memberikan ketidakpastian secara hukum dan
mengganggu perasaan keadilan yang tumbuh dan hidup di
masyarakat, sehingga merugikan Pemohon.

Hal tersebut telah melanggar hak konstitusional anak untuk


mengetahui asal-usulnya, dan juga menyebabkan beban psikis
terhadap anak dikarenakan tidak adanya pengakuan dari bapaknya
atas kelahirannya. Bahwa Pemohon secara objektif mengalami
kerugian materi atau finansial, yaitu Pemohon harus menanggung
biaya untuk kehidupan Pemohon serta untuk membiayai segala
kebutuhan anaknya. Hal ini dikarenakan adanya ketentuan dalam
UUP yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum atas
perkawinan Pemohon dan anak yang dihasilkannya. Akibatnya,
Pemohon tidak dapat menuntut hak atas kewajiban suami
memberikan nafkah lahir dan batin serta biaya untuk mengasuh
dan memelihara anaknya. Machica Mochtar dan anaknya, selaku
Pemohon, lewat kuasa hukumnya menegaskan bahwa kedua Pasal
tersebut secara nyata telah mengakibatkan kerugian baik itu
finansial maupun hak konstitusionalnya.


b. Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hukum majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam


perkara ini adalah sebagai berikut:

1. Permohonan Pemohon, dalam hal ini adalah pengujian


konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan kedudukan hukum (legal


standing) Pemohon;

3. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya;

4. Persyaratan lainnya agar seseorang atau suatu pihak dapat


diterima sebagai Pemohon dalam perkara pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945, menurut ketentuan Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;

5. Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing);

6. Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara


Indonesia yang mempunyai hak konstitusional yang diatur dalam
UUD 1945 yaitu: Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2) dan
Pasal 28D ayat (1); Hak konstitusional tersebut telah dirugikan
akibat berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) UU 1/1974;

7. Akibat yang dialami oleh para Pemohon dikaitkan dengan hak


konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah, terdapat
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian, sehingga para Pemohon memenuhi syarat kedudukan
hukum (legal standing); (8) Alat bukti dan saksi ahli yang
diajukan Pemohon;

8. Pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan


menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai
makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan.


Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4
huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip prinsip
perkawinan, yang menyatakan:

“... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana


dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-
tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian
yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu
akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.

9. Pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di


luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning)
frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh
jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula
permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil
tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik
melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain
berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan
terjadinya pembuahan.

c. Amar Putusan

Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang

10
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;

 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan
laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat
tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;

 Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan


selebihnya;

 Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara


Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

2) Penafsiran Hukum Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji


materi perkara Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010

Dalam memutus uji materi perkara Putusan


Nomor 46/PUU-VIII/2010 menggunakan penafsiran gramatikal,
sistematis, teleologis dan historis. Penafsiran atau interpretasi
gramatikal adalah interpretasi menurut bahasa; penafsiran atau

11
interpretasi sistematis yaitu menafsirkan undang-undang sebagai
bagian dari keseluruhan sistem perundang undangan dengan jalan
menghubungkannya dengan undang-undang lain. Interpretasi
teleologis atau sosiologis adalah apabila makna undang undang
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan; dan penafsiran atau
interpretasi historis dengan cara meneliti sejarah pembentukan
peraturan itu sendiri. Penafsiran ini dikenal dengan interpretasi historis.

A. Kesimpulan
1. Ratio decidendi Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materi perkara
Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 meliputi fakta-fakta materiil. Fakta fakta
tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya, serta
aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut.
Dalam perkara ini terdiri dari permohonan Pemohon, kewenangan Mahkamah
Konstitusi, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang berkaitan dengan kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi, alat bukti dan
saksi baik yang diajukan Pemohon maupun yang diajukan oleh Mahkamah
Konstitusi.

2. Penafsiran hukum yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji


materi perkara Putusan Nomor 46/PUU-VII/2010 adalah penafsiran gramatikal,
sistematis, teleologis dan historis.

12
DAFTAR PUSTAKA

Syahrizal, Ahmad. Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006.

Puspa, Pramadya dan Mochammad Alfi Muzakki. “Ratio Decidendi Hakim MA Dalam
Menerima Permohonan Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan
Kembali Perkara Pemalsuan Surat (Analisis Terhadap Putusan MA Nomor 41
PK/PID/2009 dan Putusan MA Nomor 183 PK/Pid/2010)”, Artikel Ilmiah,
Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya. Malang. 2011.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

13

Anda mungkin juga menyukai