Anda di halaman 1dari 10

PENYELESAIAN SENGKETA,

KONFLIK DAN PERKARA


KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
TERKAIT PENERBITAN SERTIPIKAT
HAK MILIK OLEH BPN SURAKARTA

Ezdien Muhamad, Prasetyo Adi Nugroho,


Luthfi Novianto Syuhada
Luthfisyuhada@gmail.com

ABSTRAK
Tanah merupakan kebutuhan hidup
manusia yang sangat mendasar. Manusia
hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah
sehingga setiap saat manusia selalu
berhubungan dengan tanah dapat dikatakan
hampir semua kegiatan hidup manusia baik
secara langsung maupun tidak langsung
selalu memerlukan tanah. Pun pada saat
manusia meninggal dunia masih
memerlukan tanah untuk penguburannya.
Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan
manusia, maka setiap orang akan selalu
berusaha memiliki dan menguasainya.
Dengan adanya hal tersebut maka dapat
menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam
masyarakat. Sengketa tersebut timbul akibat
adanya perjanjian antara dua pihak atau
lebih yang salah satu pihak melakukan
wanprestasi. Pertanyaan-pertanyaan pun
mencuat terkait penyelesaian masalah
sengketa, perkara dan konflik pertanahan.
Apa solusi BPN untuk menyelesaikan
sengketa tanah? Apa saja tipologi kasus
pertanahan yang ditangani oleh BPN?.
Dalam kajian ini penulis
menggunakan metode analisis kualitatif
yaitu menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan dan bahan-bahan lain, sehingga
dapat dipahami dengan mudah dan
temuannya dapat dipahami dengan mudah
dan diinformasikan kepada orang lain.
Masalah pertanahan yang kerap kita
jumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti
sengketa, konflik dan perkara pertanahan
merupakan suatu hal yang tidak boleh kita
biarkan terus terjadi tanpa ada upaya-upaya
untuk pencegahan terjadinya sengketa,
perkara dan konflik pertanahan. Dalam hal
ini BPN sebagai badan yang berwenang.
Melakukan upaya-upaya dalam penyelesaian
sengketa, konflik dan perkara pertanahan
seperti melakukan mediasi atau membawa
kasus ke pengadilan.                             

A. Pendahuluan
Pertanahan memiliki peran yang
sentral dalam pembangunan suatu negara.
Tanah memiliki keterkaitan erat dengan
kebangsaan, pembangunan, kemakmuran
rakyat, identitas kebangsaan, fungsi keadilan
sosial serta tanah untuk kehidupan. Di
Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten
Bulukumba masih terdapat komunitas
masyarakat suku bangsa Kajang yang masih
berpegang teguh pada adat dan tradisi yang
menganggap tanah laksana ibu yang harus
dijaga dan dipelihara, karena telah
memberikan segala-galanya bagi kehidupan
manusia.
Tanah mempunyai peranan yang
besar dalam dinamika pembangunan, maka
didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal
33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai
tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau yang biasa kita sebut dengan
UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang
bermula dari pengaduan sesuatu pihak
(orang/badan) yang berisi keberatan-
keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik
terhadap status tanah, prioritas, maupun
kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara
administrasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pentingnya arti tanah bagi
kehidupan lambat laun menimbulkan
terjadinya permasalahan yakni sengketa,
konflik dan perkara yang akhir-akhir ini
selalu kita jumpai dalam kehidupan
bermasyarakat.
Tindak lanjut dari sengketa yang timbul dalam masyarakat tentunya ada upaya untuk
dapat diselesaikan melalui suatu wadah yang ditentukan oleh masyarakat itu senfiri yang
berawal dari kelompok yang terkecil dalam masyarakat (seperti halnya keluarga) sampai
dengan lembaga Negara

Abstrak
Pemerintahan daerah merupakan bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hal ini secara eksplisit diatur dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Namun apabila dicermati praktik penyelenggaraan
pemerintahan di daerah sejak Negara Indonesia berdiri yaitu pada tanggal 17 Agustus
1945 sampai saat ini Tahun 2015 ternyata sangat dinamis, berubah-ubah atau berbeda
dalam setiap rezim pemeritahan. Bahkan politik hukum pemerintahan daerah yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 menjadi salah satu problematika yang
digulikan sebagai tuntutan reformasi yang terjadi Tahun 1998. Setidaknya ada dua hal
yang menjadi perhatian dalam memahami politik hukum pemerintahan daerah yaitu
terkait dengan hubungan kewenangan Pusat-Daerah dan juga terkait dengan kelembagaan
pemerintahan daerah. Apabila ditinjau dari dua hal tersebut dihubungkan dengan asas-
asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, maka salah satu agenda reformasi yang
harus diwujudkan dalam politik hukum pemerintahan daerah adalah kebijakan mengenai
desentralisasi kewenangan kepada daerah sekaligus kelembagaan daerah yang mampu
menjawab kebutuhan sebagai daerah yang otonom. Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah yang keberadaannya menggantikan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 seharusnya semakin menegaskan penerapan asas desentralisasi
agar daerah memilik kemampuan dan kemandirian untuk melaksanakan pembangunan
guna mewujudkan Tujuan Nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Tulisan ini akan membahas secara
komprehensif mengenai hubungan kewenangan Pusat-Daerah, apakah lebih menguatkan
atau sebaliknya justru melemahkan aktualisasi asas desentralisasi, serta akan mengkaji
mengenai kelembagaan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014 yang apabila dicermati ada beberapa ketentuan yang justru
berpotensi menimbulkan masalah inkonsistensi dan multi intepretasi.

A. PENDAHULUAN

Pengesahan Undang-undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah yang baru yakni UU No


2 Tahun 2015 menimbulkan keresahan terutama dikalangan pemerintah daerah
Kabupaten dan Kota. UU ini merupakan revisi dari UU yang baru saja dibuat tahun
2014, yakni UU No 23 tahun 2014. Menariknya dalam beberapa bulan saja, UU yang
disetujui oleh DPR tidak lama setelah pergantian pemerintahan direvisi kembali seiring
dengan dikembalikannya proses pemilihan kepala daerah dari DPRD ke rakyat secara
langsung, seperti yang diamanahkan oleh Undang-Undang tentang Pemilukada
Perubahan dalam UU yang terbaru hanya pada fungsi DPRD yang menyesuaikan konteks
pemilihan kepala daerah yang kembali langsung oleh rakyat. Substansi yang lain pada
UU sebelumnya ( UU 23 tahun 2014) tidak banyak yang berubah. Namun jika
dibandingkan dengan UU yang telah berlaku dan dijalankan sebelumnya yakni UU No
32 tahun 2004 ada beberapa hal subsatansial yang berubah.

UU Pemerintahan daerah yang baru lahir dari adanya keresahan yang ditimbulkan UU
sebelumnya. Salah satu masalah dalam UU No 32 tahun 2004 adalah lemahnya fungsi
gubernur dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam pandangan
pemerintah lokal, Gubernur bukanlah atasan mereka, karen Walikota dan Bupati dipilih
langsung oleh rakyat. Sehingga Gubernur seolah kehilangan kekuasaan mereka terhadap
Bupati dan Walikota. Masalah-masalah pertambangan, kelautan dan kehutanan menjadi
eksplotasi utama Bupati dan Walikota untuk meningkatkan PAD dan menguntungkan diri
sendiri tanpa melihat dampak negatif dari kebijakan yang telah ia buat.

Raja-raja kecil didaerah banyak sekali bermunculan sejak rezim pilkada (pemilukada)
dimulai. Koordinasi kepada pemerintah pusat , dalam hal ini Gubernur sebagai
kepanjangan tangan Presiden menjadi sangat kacau. Otonomi daerah yang diharapkan
menjadi pemicu majunya daerah karena bisa mengelola kekayaan dan potensi alamnya
secara mandiri, berubah menjadi ajang korupsi dan memperkaya diri.

Dampak negatifnya adalah banyak kekayaan alam yang tidak dipergunakan dengan
semestinya, digadaikan kepada pihak ketiga yang memiliki modal, serta menguntungkan
elit lokal dan pejabat daerah. Dilain pihak beban anggaran pemda kabupaten/kota
bertambah dengan alasan belanja pegawai , serta pembangunan yang tidak tepat sasaran.
Sehingga pemerintah pusat mengambil alih kewenangan pemerintah daerah seperti yang
tertuang dalam UU No 23 tahun 2014. Tulisan ini mencoba menganalisa tentang
fenomena elit lokal dalam kaitannya dengan implementasi UU No 23 tahun 2014,
khususnya pada pasal 14.
B. TEORI TENTANG ELIT DALAM POLITIK LOKAL

Teori tentang elit dikembangkan oleh tiga ilmuan Italia, yaitu ; Robert Mitchels dengan
konsepnya ’hukum besi oligarkhi1’, Gaetano Mosca dengan dikotomi ’governing elite
and non governing2’, Vilfredo Pareto dengan konsep ’the ruling class dan the ruled
class’ dan ide tentang ’elite circulation3’. Mereka meletakkan fondasi yang kuat tentang
studi elit sejak tahun 1915. Basis pemikiran mereka bersumber pada pendapat Aristoteles
tentang peran yang dimainkan sejumlah minoritas yang memegang kekuasaan dalam
sejarah manusia (oligarkhi/aristokrasi). Pengertian elit mengalami transformasi menjadi
’a small and powerful group’ sejak saat itu4.

Dua perspektif utama dalam studi tentang elit yaitu pluralis ( democratic elite theory)
dan marxis (class theory5). Teori elit menyatakan bahwa ketidakseimbangan dalam
masyarakat sebagai hal yang alamiah dan faktor yang given. Dalam sebuah masyarakat
selalu ada orang-orang yang ditempatkan dalam posisi yang lebih baik dibandingkan
kelompok masyarakat lain. Teori kelas yang dipelopori oleh Karl Marx, membagi
masyarakat menjadi dua katagori berdasar kepemilikan alat-alat produksi; yang memiliki
dan menguasai alat produksi disebut the rulling class. Sedangkan kelas yang lain ;
mereka yang tidak memiliki alat produksi, mereka diatur, diekploitasi dan dimiliki oleh
kelas yang lebih berkuasa.
Dalam negara-negara dunia ketiga, terdapat beberapa elit lokal yang terbentuk. Joel S.
Migdal menyebutnya sebagai Local Strongmen6 yang merupakan refleksi kekuatan
masyarakat yang plural serta kelemahan negara (strong societies and weak states). Setiap
kelompok dalam masyarakat memiliki pemimpinnya sendiridan pemimpin ini relatif
otonom terhadap negara. Sifat otonom ini menyebabkan keberlangsungan ’lokal
strongman’ tergantung pada ’social capacity’ negara. Kemampuan negara untuk
membuat warganya mematuhi aturan permainan dalam masyarakat yang dibuat oleh
negara disebut social capacity. Termasuk kemampuan untuk menyediakan sumber daya
1
Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi, terjemahan. Mien
Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 1984
2
Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939
3
Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 1935
4
Scoot, 1990: ix
5
Etzioni-Halevy, 1993, Scott, 1991
6
Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001 : 85
untuk mencapai tujuan pokoknya serta mengatur perilaku masyarakat sehari-hari. Di
negara-negara dunia ketiga kemampuan negara tersebut lemah, sehingga menyebabkan
menjamurnya local strongman.

Lebih lanjut Migdal mengemukakan bahwa local strongmen dapat bertahan asalkan ia
berkolaborasi dengan negara dan partai politik pemerintah. Berdasarkan itu maka
terbentuklah ’triangle of accomodation’. Yang terjadi kemudian, triangle ini mengijinkan
sumberdaya negara untuk memperkuat local strongmen dan organisasinya, dan
keberlangsungan local strongmen tergantung juga pada kekuatan negara untuk mengatur
kontrol mereka. Mereka belajar mengakomodasi pemimpin yang populis untuk
’menangkap’ organisasi negara pada level yang lebih rendah 7.

B. TELAAH UNDANG-UNDANG NO 23 Tahun 2014 DARI PERSPEKTIF ELIT

Akar permasalahan mengapa penulis merasa perlu untuk mengkaji undang-undang ini
berdasarkan perspektif elit adalah karena tarik menarik kewenangan kemudian menjadi
latar belakang lahirnya UU No 23 tahun 2014 ini. Otonomi darah yang digadang-gadang
merupakan bentuk terbaik dari penyelenggaraan pemerintahan, menurut pendapat penulis
sudah berubah menjadi sebuah arena memperkaya diri bagi para pemimpin dan elit lokal,
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.

Didalam undang-undang No 23 tahun 2014 pasal 14 disebutkan; ayat 1 : Penyelenggaraan


Urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, energi dan sumber daya mineral dibagi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi. Ayat 2 dituliskan ; Urusan pemerintahan
bidang kehutanan sebagaimana disebut pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan
taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. Ayat 3,
dituliskan ; Urusan pemerintahan bidang energi dan sumberdaya mineral sebagaimana
yang disebut pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Ayat 4, dituliskan; Urusan pemerintahan bidang
energi dan sumberdaya mineral sebagaimana yang disebut pada ayat (1) yang berkaitan
dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupatan/kota menjadi
kewenangan kabupaten /kota.
7
Sekilas dari pemaparan pasal 14 terdapat keadilan berbagi kewenangan yakni diayat 3,
pemerintah pusat memiliki hak dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, dilain pihak
daerah kabupaten/kota memiliki hak mengelola taman kota dan pemanfaatan langsung
panas bumi.

Dalam perspektif elit, dalam kacamata teori Marx, yang dijelaskan mengenai produksi,
maka keputusan pasal 14 dalam UU N0 23 tahun 2014 ini adalah murni dikarenakan
tentang kelas menurut pendapat penulis. Pemerintah pusat mempunyai kelas yang lebih
tinggi dibandingkan pemerintah daerah. Pusat memiliki hak yang lebih pantas untuk
memproduksi dan menghasilkan publik goods bagi masyarakat dengan menguasai
sumber daya alam yang paling dicari dan paling menguntungkan.

Dalam konteks teori kapitalisme, penulis berpendapat bahwa pemerintah pusat yang
terdiri dari bagian eksekutif dan legislatif memiliki keinginan mengambil keuntungan
lebih besar dan lebih banyak dalam hal ekploitasi minyak dan gas bumi. Dalam banyak
kasus, bahwa penguasaan minyak dan gas telah menjadi sumber penghasilan partai politik
dengan menempatkan wakil-wakilnya dijajaran pemerintahan umtuk menjadi menteri dan
direktur pertamina (contoh kasus Rudi Rubiantara dan Sultan Bhatogana politisi Partai
Demokrat dalam korupsi SKK Migas).

Dalam konteks lokal, dalam perspektif local strongmen-nya Midgal, bahwa kekuatan
lokal diramu dengan kelemahan negara menjadikan banyak kekuatan-kekuatan lokal
baru. Serupa dengan Bossism di Filiphina, penulis berpendapat bahwa kekuatan lokal di
kabupaten dan kota di Indonesia dalam hal ini konteks yang lebih sempit adalah Provinsi
Lampung lahir dari kolaborasi penguasa (Bupati dan Walikota) dengan pengusaha.

Dengan pengambilalihan kewenangan minyak bumi dan gas ke pemerintah pusat, yang
paling dirugikan adalah penguasa dan pengusaha lokal. Asumsi penulis, dalam konteks
lokal kabupaten-kabupaten di Provinsi Lampung yang memiliki cadangan minyak bumi
dan gas bumi, perusahaan-perusahaan asing telah mengeluarkan dana yang telah di
alokasikan untuk melancarkan eksploitasi mereka di daerah. Misalnya Chevron yag
menggali cadangan gas dan minyak bumi yang ada di Kabupaten Lampung Barat dan
Kabupaten Tanggamus.
Pembagian kewenangan yang dirasa tidak adil oleh daerah ini juga cenderung dapat
menciptakan peluang neo-feadalisme dengan budaya paternalistik dan menciptakan pola
patron klien yang baru. Kembali ke masa orde barau dimana pemerintah usat sebagai
patron (raja) dan pemerintah daerah sebagai klien (hamba) khususnya bagi pengelolaan
migas.

UU No 23 tahun 2014 yang telah direvisi sebagian kecil pasalnya dan dimuat dalam UU
No 2 tahun 2015 telah menjadi sebuah pekerjaan rmah yang berat bagi daerah-daerah
kabupaten kota, khususnya yang memiliki kandungan minyak dan gas bumi yang banyak.
Peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang ini memang belum ada, untuk itu
diperlukan peraturan yang sistemtik dan mengatur seadil-adilnya tentang bagi hasil
daerah yang memiliki kandungan minyak dan gas.

Fenomena Aceh dan Papua, bisa menular ke daerah-daerah lain di Indonesia adalah hal
disintegrasi bangsa dan juga kecendrungan keinginan kuat memisahkan diri dari NKRI
jika masalah pembagian kuota ini tidak diberlakukan dengan bijak dan adil. Jika
kecendrungan ini didukung kuat oleh lokal stongmen dan bossism kuat didaerah yang
ditopang oleh dana dari pengusaha , maka kemungkinan disintegrasi daerah bisa mungkin
terjadi.

Pasal 14 Undang-Undang No 23 tahun 2014 memang hanya terdiri dari beberapa ayat,
namun besar konsekuensinya dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah, karena
juga menyangkut pembagian jatah kue perekonomian yang berguna untuk pembangunan
daerah.

Kepemimpinan politik lokal , dalam hal ini konteks Bupati dan Walikota menanggapi
berlakunya UU No 23 tahun 2014 , selain perlu pembagian kue yang lebih adil juga
dibutuhkan pengawasan yang melekat sehingga pemimpin lokal tidak menjadi raja kecil
yang cenderung menyelewengkan dana pemerintah pusat. Hendaknya diaturan peraturan
pemerintah sebagai turunan dari UU No 2 tahun 2015 revisi dari UU No 23 tahun 2014
juga memberikan sanksi yang tegas dan merujuk dalam pasal 72,73 dan 74 Undang-
Undang No 23 tahun 2014 tentang pertanggungjawaban kepala daerah.
DAFTAR PUSTAKA

Agger, 2003, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan& Implikasinya, Kreasi Wacana
Yogyakarta
Apter, David E. 1997, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta
Josep R. Kaho & Cornelis Lay dalam Modul Kuliah Politik Desentralisasi, bab dinamika
politik lokal, pascasarjana Ilmu Politik, 2005
Malik Djamaludin, Dedy dan Inantara, 1994. Komunikasi Persuasif. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya
Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi, terjemahan.
Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 1984
Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001
Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939
Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 1935
Mulyana, Deddy.Dr, M.A.2005 Nuansa-Nuansa Komunikasi.Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
Nimmo, Dan. 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja

Anda mungkin juga menyukai