Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun
langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa
kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Agraria tentang “Sengketa Tanah
dalam Indonesia”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
B. Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang akan dibahas untuk kelengkapan suatu tulisan
yang dibuat oleh penulis.
1. Pengertian dari Hukum Agraria,
2. Pengertian dari sengketa tanah,
3. Contoh dalam masyarakat Indonesia secara nyata,
Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H. Geni, Yahya bin H. Geni,
dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada tahun 1972 – 1973 dan pada putusan MA
dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007 yang hak
atas tanahnya sudah milik warga sekarang tinggal di meruya yang sudah mempunyai sertifikat tanah
asli seperti girik.
Kasus sengketa tanah meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun turun tangan
dalam masalah ini. Selama ini warga meruya yang menempati tanah meruya sekarang tidak merasa
punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli tanah dari PT Portanigra,namun
tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000 kepala keluarga atau sekitar 21.000 warga akan
dieksekusi berdasarkan putusan MA. Tidak hanya tanah milik warga, tanah milk negara yang di
atasnya terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi. Hal ini
dikarenakan sengketa yang terjadi 30 tahun lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007,
dimana warga meruya sekarang mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah
dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Disini terbukti adanya ketidaksinkronan dan kesemrawutan
hukum pertanahan indonesia yang dengan mudahnya mengeluarkan sertifikat tanah yang masih
bersengketa.
Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus penjualan tanah meruya dulu antara PT. Portanigra dan
H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha pada 1972 dan 1973. Ternyata H Djuhri cs
ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak lain sehingga mereka dituntut secara pidana
(1984) dan digugat secara perdata (1996).
Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah kurun waktu singkat.
Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik penghuni, lingkungan sekitar, institusi
terkait yang menangani, pasti personelnya sudah silih berganti. Warga merasa memiliki hak dan
ataupun kewenangan atas tanah meruya tersebut. Mereka merasa telah menjalankan tugas dengan
baik seperti membayar PBB atas kepemilikannya dan tidak mau disalahkan, tidak ingin kehilangan hak
miliknya.
Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya berbeda sama sekali dengan sekarang. Cara-cara
melakukan penilaian dan mengambil langkah-langkah penindakan 30 tahun yang lalu pada saat ini
telah banyak berubah. Paradigma masa lalu bahwa warga banyak yang belum memiliki sertifikat akan
berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi kemudahan dalam memperoleh sertifikat tanah.
Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat pemerintah daerah dan Badan
Pertanahan Tanah (BPN) yang bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang masih bersengketa. Selain
itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah ini. PT. Portanigra yang menang
dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian
yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahan sudah di tempati warga meruya
sekarang dengan sertifikat tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang
terlibat.
Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra hanya bisa mengelola lahan
kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus Mercu Buana, sedangkan Meruya Residence
lebih tenang karena sudah membeli langsung hak kepemilikan tanah ke PortaNigra.
Dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah ada beberapa jalur hukum yang dapat ditempuh seperti
gugatan perlawanan oleh pihak ketiga yang merasa mempunyai hak (telah dilakukan), mengajukan
permohonan peninjauan kembali (PK) oleh para pihak yang bersengketa seperti antara PT. Portanigra
denga hj djuhri cs, mengajukan gugatan baru oleh para pihak yang merasa dirugikan dalam
permasalahan sengketa. Untuk memperjuangkan hak-haknya seyogianya warga melandasinya dengan
surat-surat yang kuat (sertifikat), batas-batas tanah jelas, asal-usulnya dapat ditelusuri serta tidak
terkena sengketa.
Kasus Meruya memberi pembelajaran tentang proses hukum yang tidak boleh berlarut-larut,
pentingnya sertifikat dalam kepemilikan tanah, tentang putusan pengadilan serta pelaksanaannya yang
berkeadilan, dan juga perlunya kerja sama antara pengadilan dan lembaga negara yang menangani
masalah pertanahan.
CONTOH 3
Konflik Agraria Hantui Gorontalo
Konflik lahan dan sumber daya alam terjadi di berbagai daerah. Seperti dialami masyarakat
adat di Maluku Utara meblokade jalan yang dibuat perusahaan tambang, PT Weda Bay Nikel, di
lahan adat. Gorontalo, masih memiliki potensi pengembangan lahan pangan cukup luas, sekitar 300
ribuan hektar lebih. Namun, peluang ini berubah menjadi kekhawatiran kala yang datang mengisi
para pengusaha pengeruk sumber daya alam, seperti sawit dan tambang. Pengalaman dibanyak
tempat, bisnis-bisnis ini lekat dengan perampasan lahan warga hingga potensi konflik agraria
menghantui. Demikian terungkap dalam dalam diskusi dan bedah kasus agraria dalam persiapan
Musyawarah Wilayah pembentukan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Gorontalo,
Sabtu, 9 November 2013.
Irwan Frans Kusuma, Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi
Utara, Tengah, dan Gorontalo (Suluttenggo), mengungkapkan, kehadiran perkebunan sawit di
Gorontalo, akan berdampak buruk bagi masyarakat, terutama petani. Sebab, ketika pemerintah dan
perusahaan mengambil alih lahan warga menjadi kebun sawit, dengan alasan kesejahteraan, yang
akan terjadi sebaliknya, lahir kemiskinan. Masyarakat pun akan terpisah dari tanah dan sumber
penghidupan mereka. “Ini hanya akan memunculkan perlawanan masyarakat. Potensi konflik besar
mengancam masyarakat Gorontalo,” katanya di Gorontalo.
Dalam bisnis sawit, katanya, untuk memperlancar ekspansi, perusahaan biasa menggunakan
modus memanipulasi data kelompok-kelompok petani. Tujuannya, membuat surat tanah yang akan
dijual kepada perusahaan. Belum lagi soal pola kemitraan yang dikenal dengan istilah plasma dan
inti, banyak merugikan petani. “Terbukti di banyak tempat, petani plasma hanya menjadi pekerja di
tanah sendiri. Mereka akan dibebani kredit, utang yang tak jelas.”
Keadaan tambah sulit kala masyarakat lokal yang dipaksa menyerahkan tanah kepada
perusahaan kadang tak memiliki informasi memadai soal pola kemitraan. Contoh, oleh inti petani
plasma wajib mengurus izin sampai sertifikat lahan plasma. Inti biasa menyediakan dana talangan,
namun dianggap sebagai utang plasma. Nanti, skema pelunasan kredit dengan agunan sertifikat
lahan plasma, biasa dikuasai inti. Kemudian hari, jika inti menghindar dari utang bank, sertifikat
plasma disandera oleh bank seumur hidup. Petani plasmapun gigit jari dan tercekik utang.
Saat ini saja, di satu kabupaten sudah ada beberapa perusahaan sawit beroperasi. Contoh,
di Kabupaten Pohuwato, ada enam perusahaan sawit sedang beroperasi. Enam perusahaan itu PT
Sawit Tiara Nusa, PT Sawindo Cemerlang, PT Wira Mas Permai, PT Banyan Tumbuh Lestari, PT Inti
Global Laksana, dan PT Wira Sawit Mandiri. Daerah paling banyak konsesi sawit di Kecamatan
Popayato. Provinsi Gorontalo merupakan daerah agraris dengan topografi datar, berbukit-bukit dan
bergunung. Berdasarkan data BPS 2011, mata pencaharian sebagian besar penduduk Gorontalo
bertumpu pada sektor pertanian sekitar 175.374 jiwa atau 57 persen, petani.
Luas wilayah sekitar 11.967,64 km, sekitar 37,95 persen (463.649,09) areal potensial
pertanian, dimanfaatkan baru 148.312,78 hektar (32 persen). Jadi, masih ada peluang
pengembangan lahan pertanian untuk pangan masyarakat sekitar 312.138, 81 hektar. Warga
menolak pengeboran di lahan yang dinilai belum dibebaskan dan tidak memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan di proyek PLTU Batang, salah satu proyek MP3EI.
Ancaman MP3EI
Setiap kabupaten dan kota di Gorontalo, rentan konflik agraria yang mungkin lahir dari rencana
pembangunan nasional atau disebut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Irwan mengatakan, meskipun konsep itu baru sebatas masterplan,
tetapi dampak sangat nyata saat ini. Pemerintah di Gorontalo, sedang getol-mempersiapkan
infrastruktur pembangunan menyambut ide MP3EI. Contoh, saat ini di Desa Pilohayanga dan
Pilohayanga Barat, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo, tahap sosialisasi pembebasan lahan
untuk pembangunan jalan. Masyarakat menolak memberikan lahan, namun dibenturkan dengan
aturan pemerintah.
Di dua desa itu, akan dibangun jalan lingkar luar selebar 60 meter. Untuk memuluskan
pembangunan ini, rumah warga, tanah, sawah produktif, mesjid, sekolah, bahkan kuburan akan
digusur. Bahkan Desa Pilohayanga Barat, terancam hilang karena wilayah paling banyak diambil
untuk jalan lingkar luar. Irwan mengungkapkan, infrastruktur perlu untuk mempercepat akses sumber
daya alam yang selama ini dianggap lambat. Dalam konsep MP3EI, koridor ekonomi Sulawesi
merupakan pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, minyak dan gas
serta pertambangan nasional. Sedang koridor ekonomi Jawa adalah pusat industri dan jasa nasional.
Sejak awal MP3EI, pada 27 Mei 2011, didasarkan Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011,
proyek sektor riil di koridor ekonomi Sulawesi 133 dengan investasi Rp243, 6 triliun, infrastruktur 80
proyek dengan investasi Rp111 triliun. Total investasi proyek sudah groundbreaking di koridor
ekonomi Sulawesi Rp28,113 triliun, terdiri atas proyek sektor riil Rp15,666 triliun dan infrastruktur
Rp12,447 triliun. Proyek-proyek yang sudah groundbreaking ini bersumber dari APBN Rp5,996 triliun,
BUMN Rp9,519 triliun, swasta Rp10,592 triliun, serta dana campuran Rp2 triliun. Hingga akhir Maret
2013, isu regulasi di koridor ekonomi Sulawesi yang masih menjadi bahasan khusus tim kerja,
menyangkut IPPKH, IUP, dan RTRW sebagai acuan implementasi proyek MP3EI.
Dalam dokumen itu juga dijelaskan, hingga triwulan I 2013, tim kerja koridor ekonomi
Sulawesi menerima beberapa usulan proyek baru. Tim sedang mengidentifikasi usulan-usulan
sebanyak 96 proyek dari sektor pertanian pangan, kakao, perikanan, migas, infrastruktur, SDM-iptek,
dan lain-lain senilai Rp48,177 triliun. “Jika melihat koridor ekonomi Sulawesi dalam MP3EI itu, orang
Gorontalo akan menjadi pekerja, menyediakan stok pangan industri di Jawa.” “Salah satu jalan keluar
masalah ini dengan reforma agraria,” ucap Irwan. Muhamad Djufrihard, Wakil Presiden Telapak,
mengatakan, koridor ekonomi Sulawesi, ancaman terbesar investasi eksploitatif. Sebab, sumber daya
alam akan disedot habis-habisan guna memenuhi kebutuhan orang lain. Konflik pun berpotensi
muncul. Sampai dengan saat ini, katanya, masih ada todongan senjata kepada warga untuk
menyerahkan tanah buat perusahaan-perusahaan industri ekstraktif itu. Di berbagai tempat,
perlawanan rakyat terus terjadi tanpa rasa takut.
Analisis kasus:
1. Penyebab masalah :
Dalam kasus agrarian di daerah Gorontalo ini yang menjadi penyebab masalah aialah:
a) Para pengusaha pengeruk sumber daya alam mulai ingin membangun usaha di daerah tersebut,
seperti sawit dan tambang. Pengalaman dibanyak tempat, bisnis-bisnis ini lekat dengan perampasan
lahan warganegara di sekitar areal perkebunan tersebut.
b) Terjadinya manipulasi perusahaan terhadap warganegara dalan istilah Plasma yang sebenarnya
sangat merugikan warganegara tersebut.
c) Rencana pembangunan nasional atau disebut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Membuat hak warganegara maupun masyarakat hukum adat
yang ada di sekitar lahan tersebut terancam haknya, karena pasti pemerintah melakukannya dengan
alasan untuk pembangunan. Padahal dalam UU PA NO.5 tahun 1960 sudah jelas terdapat isi
mengenai hak asasi manusia dan perlindungan tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat, namun
pada pelaksanaannya sering kali aturan-aturan ini tidak ditegakan sebagai mana mestinya.
2. Akibat masalah:
a) Lahan milik warganegara maupun, tanah ulayat masyarakat hukum adat terambil alih oleh
perusahaan yang ingin menguasai lahan atau tanah tersebut demi merauk keuntungan yang sebesar-
besarnta untuk perusahaan mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap permasalahan pertanahan kita
harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta siapa
subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum yang berbeda-beda
pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di
Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa TNI
sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Namun sebagai Warga
Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi,
TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah
oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap keputusan Pengadilan Negeri dalam setiap sengeketa tanah
antara Sipil dengan TNI, sudah seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila
sengketa tersebut yang melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun
2002 tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen utama dalam
pertahanan negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan hakim. Hal ini
bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak merugikan para pihak yang bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga dengan kasus diatas yang
merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi hukum itu milik negara dan haruslah kembali pada
negara dengan berlandaskan untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya , Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009
H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004
Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,isi dan
pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan, 2005
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005
Anonim. 2007. Sengketa Tanah Yang Aneh. Dalam Http:/// Mata – Mata
Jakarta www.jakartahariini.com. Diakses pada tanggal 8 juni 2009.