Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun
langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa
kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Agraria tentang “Sengketa Tanah
dalam Indonesia”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalam
Penulis,

ESTU WAHYU PUTRI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


         Indonesia adalah negara hukum. Semua yang menyangkut kesejahteraan umum sudah diatur
dalam undang-undang dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis. Dengan begitu sebuah kepastian
hukum untuk seseorang sejahtera hakikatnya telah terjamin oleh konstitusi yang ada di Indonesia.
        Hukum di Indonesia tidak bisa berdiri secara netral, pasti ada beberapa kepentingan-kepentingan
yang menyangkut didalamnya seperti kepentingan negara. Dengan begitu maka politik untuk hukum
bisa dikatakan sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.
       Jadi perlunya hukum untuk negara kita yaitu untuk mengatur supaya bisa mencapai cita-cita
bangsa dan tujuan negara, untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan suatu kejelasan atau kepastian
hukum di dalamnya. Seseorang yang sudah memliki kepastian hukum pasti akan lebih mudah dalam
melakukan lalulintas hukum atau kegiatan-kegiatan hukum, misalnya dalam kepemilikan tanah.
       Tanah adalah suatu aset negara yang sangat banyak sekali, sumber penghasilan negara juga
sebagian besar dari pajak dan salah satu pajak yaitu pajak dari tanah, baik itu pajak bangunan maupun
pajak-pajak yang lain misalnya sewa, hak pakai, daln lain sebagainya.
        Tanah lama kelamaan pasti akan habis dengan setiap tanah bermilik atau berpenghuni karena
semakin banyaknya penduduk Indonesia. Bisa jadi lama-kelamaan tanah kita habis dan semua untuk
dimanfaatkan sudah tidak ada lahan yang kosong atau terlantar.
       Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan hukum atau kaedah hukum yaitu peraturan hidup
kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertibdalam masyarakat.
Hukum tersebut haruslah berupa hukum yang jelas demi memberi kepastian hukum untuk pemilik-
pemilih sah dari tanah-tanah tertentu. Dengan begitu merupakan salah satu cara untuk meminimalisasi
konflik-konflik dari masyarakat maupun dari pemerintah yang dilator belakangi oleh sengketa tanah.

B.     Rumusan Masalah
         Di dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang akan dibahas untuk kelengkapan suatu tulisan
yang dibuat oleh penulis.
1.      Pengertian dari Hukum Agraria,
2.      Pengertian dari sengketa tanah,
3.      Contoh dalam masyarakat Indonesia secara nyata,

C.    Tujuan Penulisan Makalah


         Tujuan dari penulisan makalah ini adalah demi mendapatkan suatu ilmu yang berharga untuk
pengalaman dari contoh kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Dengan makalah ini lah penulis bisa
lebih mengerti akan suatu hal yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini yaitu mengenai sengketa
tanah dengan pihak pemerintah atau lembaga negara. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi, maupun
langkah hukum yang dilakukan akan dibahas di makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Agraria


         Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasa latin agre berarti tanah atau
sebidang tanah. Agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa
Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam
bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA
mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
           Hukum agraria secara sempit ialah bidang hukum yang mengatur yang mengatur mengenai
hak-hak penguasaan tanah.
Pengertian hukum agraria secara luas adalah sekelompok bidang hukum yang masing-masing
mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang meliputi;
·         Hukum tanah, yaitu bidang hukum yang mengatur penguasaan atas tanah(permukaan bumi),
·         Hukum air (hukum pengairan), yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas air,
·         Hukum pertambangan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan
galian,
·         Hukum kehutanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil
hutan,
·         Hukum perikanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam
yang terkandung di dalam air,
·         Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yaitu bidang hukum yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.

B.     Pengertian sengketa tanah


          Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang
masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda
lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah
yang bersangkutan.
             Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah antara
lain :
1.      Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah
yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
2.      Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar
pemberian hak.
3.      Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak
benar.
4.      Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social.
         Berdasarkan penjelasan diatas, maka konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru.
Namun dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada masa kolonial.
Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :
1.      Pemilikan/Penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;
2.      Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian;
3.      Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4.      Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat);
5.      Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.
         Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan.
Secara makro sumber konflik besifat struktural misalnya beragam kesenjangan. Secara mikro sumber
konflik/sengketa dapat timbul karena adanya perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir
mengenai informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau
perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan
penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhana
pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak
(orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap
status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
            Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan tanah dikelompokkan
yaitu :
1.      Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang
ditelantarkan dan lain-lain.
2.      Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
3.      Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
4.      Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
5.      Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.
            Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa
bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang disengketakan oleh karena itu
penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat
permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum
diperoleh sesuatu keputusan.
            Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat
agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin
dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah,
dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya.
Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah
(Pasal 1 ayat (3) UUPA).
           Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat bertani, lalu lintas, perjajian, dan pada
akhirnya tempat manusia dikubur. Akan tetapi, selama kurun waktu 52 tahun usia Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya.
Konflik pertanahan ini ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju
penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti untuk pembangunan
dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun pariwisata juga terus bertambah, sedangkan
ketersediaan tanah itu tidak bertambah atau lebih tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan
konflik-konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal sering terjadi.
          Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab terjadinya konflik di
bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur
penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna
penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Maka dari itu, untuk dapat
memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah yang bersifat tetap, maka
pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dari penggunaan tanah dengan berbagai cara,
diantaranya dengan mengeluarkan berbagai bentuk peraturan pertanahan seperti peraturan
penyediaan tanah untuk kepentingan perorangan dan Badan Hukum atas tanah-tanah Negara
dan/atau atas tanah-tanah hak.
          Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah pokok hingga kini
belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah. Permasalahan tanah yang dari segi
empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya
berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era
perdagangan bebas.
         Munculnya berbagai konflik atau sengketa pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari
konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu
kebijakan dengan yang lain, atau bahkan tidak jarang berbau politis. Struktur hukum tanah menjadi
tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya merupakan
payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara
substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral.
Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan
interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif.
            Sebagai contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa tanah itu misalnya sengketa tanah oleh
lembaga negara dengan masyarakat, misalnya antara TNI dan masyarakat. Dengan memiliki bekal
bahwa TNI adalah ijin latihan dan menganggap tanah itu tanah negara dan mereka juga menjalankan
tugas negara maka mereka sangat kuat untuk mengambil tanah itu tetapi dari masyarakat juga
dikuatkan dari faktor sejarah yang dari turun-temurun keluarganya sudah memakai tanah tersebut.

CONTOH DALAM MASYARAKAT TENTANG SENGKETA TANAH YANG TERJADI


 CONTOH I
            Yang pertaman yaitu konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam 13 tahun
terakhir sejak reformasi bergulir, cukup banyak yang melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan
sengketa tanah antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Harjokuncaran
dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya terhadap lahan di Desa Harjokuncaran,
Kecamatan  Sumber Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di media sampai
saat ini belum mencapai titik penyelesaian. Warga mengklaim lahan tersebut milik warga setempat,
sementara  TNI menyatakan milik negara. Akibat peristiwa tersebut, sebanyak 8 warga menjadi korban,
sementara 5 personel TNI AD mengalami luka di kepala.
          Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu juga
sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa tersebut awalnya bekas
perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani
menggarap lahan seluas sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan
masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi desa definitif
pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare
yang diambil dari tanah perkebunan.
             Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni
warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973,
yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan
Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke negara untuk
pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar
kepemilikan Kodam cacat hukum.  Menurut Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan
tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang
menyatakan tanah sengketa itu obyekland reform dengan verponding  (tanda hak milik zaman
Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa ini memiliki empat
dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
           Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Departemen Pertahanan
yang bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan negara dalam melaksanakan tugasnya TNI
memerlukan sumber daya alam. Yang dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi yang
terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan
negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah merupakan unsur yang
digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi perkantoran, tempat latihan, dan
tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan negara.
             Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan
negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai komponen utama, komponen cadangan dan
komponen pendukung dalam pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara
Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sedangkan
komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui
mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama.
Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber daya
nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
         Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum optimalnya pelaksanaan
administrasi pertanahan di Indonesia serta ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai
sumber hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas tanah. Pihak
masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang dikenal
dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai salah satu hukum pertanahan nasional.
            Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan satu sumber peraturan
pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada pelaksanaannya masih terdapat perbedaan
penafsiran atas peraturan tersebut yang mengakibatkan munculnya konflik tanah yang menimbulkan
korban dari kedua belah pihak. Untuk menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan
masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI terlebih dahulu dalam
hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas tanah TNI. Disamping itu, untuk
memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti
hukum hak atas tanah yang digunakannya.
           Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu antara TNI Angkatan
Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dengan bupati Ujang Iskandar.
Memperebutkan tanah seluas 30,2 hektar yang berada di sekitar tanah milik Lanud Iskandar
Pangkalanbun.
           Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati ujang diangkat dan setelah
kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan dibangun sebuah kompleks pertokoan, tetapi ternyata
sudah ada yang memiliki lebih dahulu yaitu TNI dengan akta tanah tahun 1980an serta terdapat
beberapa patok tanah yang masih menancap milik Lanud. Karena keadaan lokasi yang semi hutan, di
Kalimantan itu kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam liar yang tidak ada
yang mengurusnya.
          Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa menjadi seperti tanah
terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan mendapat nomor pendaftaran akta tanah tahun
2005 tanpa melihat secara langsung di lokasi yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah
ini yaitu tentang pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak serta merta mengecek lahan
yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan kelalaian tersebut maka terjadilah
pemilik ganda dari tanah tersebut.
          Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah.
Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka fihak-fihak yang bersangkutan dengan mudah
dapat mengetahui status atau kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas
dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang ada diatas tanahnya.
       Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar yaitu melalui notaris didaftarkan
melalui kantor pendaftaran tanah setempat tetapi pegawai pembuat akta tanah tersebut kurang cermat
dalam pembuatan serta tidak teliti dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada yang punya atau
belum, begitu juga pihak lanud yang tidak serta merta dengan merawat tanah tersebut dan alasannya
yaitu mereka memiliki tanah yang sangat luas dan belum mampu untuk selalu merawat tanahnya.
Tetapi sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi para prajurit TNI AU yang bertugas.
           Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan digunakan sebagai lahan untuk
latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan tugas negara sudah ada kewajiban untuk
menggunakannya karena merupakan amanah dari negara untuk memperkuat kesatuan wilayah
Indonesia. Akirnya pihak dari TNI menggugat di pengadilan untuk memperkarakan secara hukum
sengketa tanah ini.
           Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh TNI adalah hak
pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak menggunakan atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa
menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
        Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau
pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang
mengandung unsur-unsur pemerasan.
            Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
·         Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan
kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
·         Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,jika hal itu dimungkinkan
dalam perjanjian yang bersangkutan.
·         TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak atas tanah-tanah yang
digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
            Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah ditentukan yang dibebankan atas
benda orang lain, untuk “dengan memelihara bentuk dan sifatnya serta selaras dengan maksudnya“
memakai sendiri benda itu dan mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat keperluan
sendiri.
 CONTOH 2

Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H. Geni, Yahya bin H. Geni,
dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada tahun 1972 – 1973 dan pada putusan MA
dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007 yang hak
atas tanahnya sudah milik warga sekarang tinggal di meruya yang sudah mempunyai sertifikat tanah
asli seperti girik.
Kasus sengketa tanah meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun turun tangan
dalam masalah ini. Selama ini warga meruya yang menempati tanah meruya sekarang tidak merasa
punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli tanah dari PT Portanigra,namun
tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000 kepala keluarga atau sekitar 21.000 warga akan
dieksekusi berdasarkan putusan MA. Tidak hanya tanah milik warga, tanah milk negara yang di
atasnya terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi. Hal ini
dikarenakan sengketa yang terjadi 30 tahun lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007,
dimana warga meruya sekarang mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah
dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Disini terbukti adanya ketidaksinkronan dan kesemrawutan
hukum pertanahan indonesia yang dengan mudahnya mengeluarkan sertifikat tanah yang masih
bersengketa.

Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus penjualan tanah meruya dulu antara PT. Portanigra dan
H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha  pada 1972 dan 1973. Ternyata H Djuhri cs
ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak lain sehingga mereka dituntut secara pidana
(1984) dan digugat secara perdata (1996).

Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah kurun waktu singkat.
Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik penghuni, lingkungan sekitar, institusi
terkait yang menangani, pasti personelnya sudah silih berganti. Warga merasa memiliki hak dan
ataupun kewenangan atas tanah meruya tersebut. Mereka merasa telah menjalankan tugas dengan
baik seperti membayar PBB atas kepemilikannya dan tidak mau disalahkan, tidak ingin kehilangan hak
miliknya.

Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya berbeda sama sekali dengan sekarang. Cara-cara
melakukan penilaian dan mengambil langkah-langkah penindakan 30 tahun yang lalu pada saat ini
telah banyak berubah. Paradigma masa lalu bahwa warga banyak yang belum memiliki sertifikat akan
berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi kemudahan dalam memperoleh sertifikat tanah.

Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat pemerintah daerah dan Badan
Pertanahan Tanah (BPN) yang bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang masih bersengketa. Selain
itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah ini. PT. Portanigra yang menang
dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian
yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahan sudah di tempati warga meruya
sekarang dengan sertifikat tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang
terlibat.

v     Penyelesaian kasus sengketa tanah meruya


Pihak PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga yang dihasilkan adalah pemilik kuasa yakni PT.
Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah di warga sebelum tahun 1997 yang memiliki sertifikat
tanah asli. Warga yang menampati tanahnya tahun 1997 keatas tidak bisa diukur kecuali mereka
mempunyai surat jual-beli tanah dengan pemilik sebelumnya.

Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra hanya bisa mengelola lahan
kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus Mercu Buana, sedangkan Meruya Residence
lebih tenang karena sudah membeli langsung hak kepemilikan tanah ke PortaNigra.

v     Pelajaran yang dapat diambil dari kasus ini


1. proses sengketa tanah untuk mencari keadilan yang berlangsung 30 tahun lalu tidak
menghasilkan keadilan yang diharapkan, bahkan justru menimbulkan ketidakadilan baru.
Sehingga Tidak ada penanggung jawab tunggal untuk disalahkan kecuali berlarut-larutnya
waktu sehingga problema baru bermunculan
2. putusan pengadilan seharusnya dapat dilaksanakan dengan cara-cara mudah, sederhana,
dan mengikutsertakan institusi terkait. Sistem peradilan Indonesia memiliki asas yang
menyatakan bahwa proses peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Putusan yang jelas-jelas sulit atau tidak bisa dilaksanakan dapat mencederai
kredibilitas lembaga peradilan.
3. pihak ketiga yakni warga yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang asli
harus beriktikad baik (apalagi tidak tahu sama sekali mengenai adanya sengketa)
seharusnya memperoleh pertimbangan hukum. Jangan sampai mereka menjadi korban atau
dikorbankan sebab dapat menimbulkan gejolak serta problem kemasyarakatan yang sifatnya
bukan sekedar keperdataan.
4. perlu dilakukan penelitian apakah prosedur pembebasan tanah pada saat itu telah sesuai
ketentuan, siapakah yang membayar pajak (PBB) atas tanah sengketa. Juga dilakukan
penyelesaian atas tanah sengketa yang akan dieksekusi apabila ternyata telah menjadi
sarana umum: sekolah, lapangan bola, perkantoran, puskesmas, ataupun kompleks
pertokoan.
PENUTUP
Pada kasus sengketa tanah meruya ini antara PT. Portanigra dan warga duduk bersama melalui
musyawarah mufakat untuk mencapai solusi yang dilandasi akal sehat merupakan penyelesaian yang
lebih baik daripada saling menyalahkan secara emosional.

Dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah ada beberapa jalur hukum yang dapat ditempuh seperti
gugatan perlawanan oleh pihak ketiga yang merasa mempunyai hak (telah dilakukan), mengajukan
permohonan peninjauan kembali (PK) oleh para pihak yang bersengketa seperti antara PT. Portanigra
denga hj djuhri cs, mengajukan gugatan baru oleh para pihak yang merasa dirugikan dalam
permasalahan sengketa. Untuk memperjuangkan hak-haknya seyogianya warga melandasinya dengan
surat-surat yang kuat (sertifikat), batas-batas tanah jelas, asal-usulnya dapat ditelusuri serta tidak
terkena sengketa.

Kasus Meruya memberi pembelajaran tentang proses hukum yang tidak boleh berlarut-larut,
pentingnya sertifikat dalam kepemilikan tanah, tentang putusan pengadilan serta pelaksanaannya yang
berkeadilan, dan juga perlunya kerja sama antara pengadilan dan lembaga negara yang menangani
masalah pertanahan.

 CONTOH 3
Konflik Agraria Hantui Gorontalo

Konflik lahan dan sumber daya alam terjadi di berbagai daerah. Seperti dialami masyarakat
adat di Maluku Utara meblokade jalan yang dibuat perusahaan tambang, PT Weda Bay Nikel, di
lahan adat. Gorontalo, masih memiliki potensi pengembangan lahan pangan cukup luas, sekitar 300
ribuan hektar lebih. Namun,  peluang ini berubah menjadi kekhawatiran kala yang datang mengisi
para pengusaha pengeruk sumber daya alam, seperti sawit dan tambang. Pengalaman dibanyak
tempat, bisnis-bisnis ini lekat dengan perampasan lahan warga hingga potensi konflik agraria
menghantui. Demikian terungkap dalam dalam diskusi dan bedah kasus agraria dalam persiapan
Musyawarah Wilayah pembentukan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Gorontalo,
Sabtu, 9 November 2013.

Irwan Frans Kusuma, Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi
Utara, Tengah, dan Gorontalo (Suluttenggo), mengungkapkan, kehadiran perkebunan sawit di
Gorontalo, akan berdampak buruk bagi masyarakat, terutama petani. Sebab, ketika pemerintah dan
perusahaan mengambil alih lahan warga menjadi kebun sawit, dengan alasan kesejahteraan, yang
akan terjadi sebaliknya, lahir kemiskinan. Masyarakat pun akan terpisah dari tanah dan sumber
penghidupan mereka. “Ini hanya akan memunculkan perlawanan masyarakat. Potensi konflik besar
mengancam masyarakat Gorontalo,” katanya di Gorontalo.

Dalam bisnis sawit, katanya, untuk memperlancar ekspansi, perusahaan biasa menggunakan
modus memanipulasi data kelompok-kelompok petani. Tujuannya, membuat surat tanah yang akan
dijual kepada perusahaan. Belum lagi soal pola kemitraan yang dikenal dengan istilah plasma dan
inti, banyak merugikan petani. “Terbukti di banyak tempat, petani plasma hanya menjadi pekerja di
tanah sendiri. Mereka akan dibebani kredit, utang yang tak jelas.”

Keadaan tambah sulit kala masyarakat lokal yang dipaksa menyerahkan tanah kepada
perusahaan kadang tak memiliki informasi memadai soal pola kemitraan. Contoh, oleh inti petani
plasma wajib mengurus izin sampai sertifikat lahan plasma. Inti biasa menyediakan dana talangan,
namun dianggap sebagai utang plasma. Nanti, skema pelunasan kredit dengan agunan sertifikat
lahan plasma, biasa dikuasai inti.  Kemudian hari, jika inti menghindar dari utang bank, sertifikat
plasma disandera oleh bank seumur hidup. Petani plasmapun gigit jari dan tercekik utang.

Saat ini saja, di satu kabupaten sudah ada beberapa perusahaan sawit beroperasi. Contoh,
di Kabupaten Pohuwato,  ada enam perusahaan sawit sedang beroperasi. Enam perusahaan itu PT
Sawit Tiara Nusa, PT Sawindo Cemerlang, PT Wira Mas Permai, PT Banyan Tumbuh Lestari, PT Inti
Global Laksana, dan PT Wira Sawit Mandiri. Daerah paling banyak konsesi sawit di Kecamatan
Popayato. Provinsi Gorontalo merupakan daerah agraris dengan topografi datar, berbukit-bukit dan
bergunung. Berdasarkan data BPS 2011, mata pencaharian sebagian besar penduduk Gorontalo
bertumpu pada sektor pertanian sekitar 175.374 jiwa atau 57 persen, petani.

Luas wilayah sekitar 11.967,64 km, sekitar 37,95 persen (463.649,09) areal potensial
pertanian, dimanfaatkan baru 148.312,78 hektar (32 persen). Jadi, masih ada peluang
pengembangan lahan pertanian untuk pangan masyarakat sekitar 312.138, 81 hektar. Warga
menolak pengeboran di lahan yang dinilai belum dibebaskan dan tidak memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan di proyek PLTU Batang, salah satu proyek MP3EI.

Ancaman MP3EI
Setiap kabupaten dan kota di Gorontalo,  rentan konflik agraria yang mungkin lahir dari rencana
pembangunan nasional atau disebut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Irwan mengatakan, meskipun konsep itu baru sebatas masterplan,
tetapi dampak sangat nyata saat ini. Pemerintah di Gorontalo,  sedang getol-mempersiapkan
infrastruktur pembangunan menyambut ide MP3EI. Contoh, saat ini di Desa Pilohayanga dan
Pilohayanga Barat, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo, tahap sosialisasi pembebasan lahan
untuk pembangunan jalan. Masyarakat menolak memberikan lahan, namun dibenturkan dengan
aturan pemerintah.

Di dua desa itu, akan dibangun jalan lingkar luar selebar 60 meter. Untuk memuluskan
pembangunan ini, rumah warga, tanah, sawah produktif, mesjid, sekolah, bahkan kuburan akan
digusur. Bahkan Desa Pilohayanga Barat, terancam hilang karena wilayah paling banyak diambil
untuk jalan lingkar luar. Irwan mengungkapkan, infrastruktur perlu untuk mempercepat akses sumber
daya alam yang selama ini dianggap lambat. Dalam konsep MP3EI, koridor ekonomi Sulawesi
merupakan pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, minyak dan gas
serta pertambangan nasional.  Sedang koridor ekonomi Jawa adalah pusat industri dan jasa nasional.

Dalam dokumen Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI 2013, yang dibuat


Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2013, dijelaskan target dan realisasi koridor ekonomi
Sulawesi atau dikenal sebagai koridor ekonomi IV, memiliki kegiatan ekonomi utama nikel, migas,
dan kakao. Juga, pertanian pangan, dan perikanan dengan infrastruktur pendukung utama Bandara
Hasanuddin dan Pelabuhan Bitung, Jalan Palu-Parigi, PLTU, dan pembangunan broadband (Palapa
Ring). Koridor ekonomi Sulawesi, memiliki target implementasi proyek sektor riil dengan nilai investasi
Rp163, 1 triliun, dan proyek infrastruktur Rp186, 8 triliun hingga 2014. Hingga triwulan I 2013, proses
validasi sudah sekitar 60 persen (Rp97, 6 triliun) untuk proyek sektor riil, dan 58 persen (Rp185, 5
triliun) untuk proyek pembangunan infrastruktur.

Sejak awal MP3EI, pada 27 Mei 2011, didasarkan Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011,
proyek sektor riil di koridor ekonomi Sulawesi 133 dengan investasi Rp243, 6 triliun, infrastruktur 80
proyek dengan investasi Rp111 triliun. Total investasi proyek sudah groundbreaking  di koridor
ekonomi Sulawesi Rp28,113 triliun, terdiri atas proyek sektor riil Rp15,666 triliun dan infrastruktur
Rp12,447 triliun. Proyek-proyek yang sudah groundbreaking  ini bersumber dari APBN Rp5,996 triliun,
BUMN Rp9,519 triliun, swasta Rp10,592 triliun, serta dana campuran Rp2 triliun. Hingga akhir Maret
2013, isu regulasi di koridor ekonomi Sulawesi yang masih menjadi bahasan khusus tim kerja,
menyangkut IPPKH, IUP, dan RTRW sebagai acuan implementasi proyek MP3EI.

Dalam dokumen itu juga dijelaskan,  hingga triwulan I 2013, tim kerja koridor ekonomi
Sulawesi menerima beberapa usulan proyek baru. Tim sedang mengidentifikasi usulan-usulan
sebanyak 96 proyek dari sektor pertanian pangan, kakao, perikanan, migas, infrastruktur, SDM-iptek,
dan lain-lain senilai Rp48,177 triliun. “Jika melihat koridor ekonomi Sulawesi dalam MP3EI itu, orang
Gorontalo akan menjadi pekerja, menyediakan stok pangan industri di Jawa.” “Salah satu jalan keluar
masalah ini dengan reforma agraria,” ucap Irwan. Muhamad Djufrihard, Wakil Presiden Telapak,
mengatakan, koridor ekonomi Sulawesi, ancaman terbesar investasi eksploitatif. Sebab, sumber daya
alam akan disedot habis-habisan guna memenuhi kebutuhan orang lain. Konflik pun berpotensi
muncul. Sampai dengan saat ini, katanya,  masih ada todongan senjata kepada warga untuk
menyerahkan tanah buat perusahaan-perusahaan industri ekstraktif itu. Di berbagai tempat,
perlawanan rakyat terus terjadi tanpa rasa takut.

Analisis kasus:

1.      Penyebab masalah :

Dalam kasus agrarian di daerah Gorontalo ini yang menjadi penyebab masalah aialah:

a)      Para pengusaha pengeruk sumber daya alam mulai ingin membangun usaha di daerah tersebut,
seperti sawit dan tambang. Pengalaman dibanyak tempat, bisnis-bisnis ini lekat dengan perampasan
lahan warganegara di sekitar areal perkebunan tersebut.

b)      Terjadinya manipulasi perusahaan terhadap warganegara dalan istilah Plasma yang sebenarnya
sangat merugikan warganegara tersebut.

c)      Rencana pembangunan nasional atau disebut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Membuat hak warganegara maupun masyarakat hukum adat
yang ada di sekitar lahan tersebut terancam haknya, karena pasti pemerintah melakukannya dengan
alasan untuk pembangunan. Padahal dalam UU PA NO.5 tahun 1960 sudah jelas terdapat isi
mengenai hak asasi manusia dan perlindungan tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat, namun
pada pelaksanaannya sering kali aturan-aturan ini tidak ditegakan sebagai mana mestinya.

2.      Akibat masalah:

a)      Lahan milik warganegara maupun, tanah ulayat masyarakat hukum adat terambil alih oleh
perusahaan yang ingin menguasai lahan atau tanah tersebut demi merauk keuntungan yang sebesar-
besarnta untuk perusahaan mereka.

b)      Kerugian yang dialami warganegara sekitar akibat adanya system plasma.


c)      Hak asasi manusia terampas dan peraturan perUndang-undangan tidak ditegakan sebagaimana
mestinya.

3.      Untuk meminimalisir kasus bagaimana upaya yang bisa dilakukan warganegara?


Yang bisa dilakukan warganegara ialah yang utama yaitu memperjelas keaktaan tanah
meraka agar dalam bisa mempunyai bukti otentik yang kuat. Meminta perlindungan kepadahukum
serta penegakan hak asasi manusia dalam kasus pertanahan yang sudah tertera jelas dalam UU
Pokok Agraria NO. 5 tahun 1960 serta perlindungan terhadap tanah ulayat bagi masyarakat hukum
adat.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
           Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap permasalahan pertanahan kita
harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta siapa
subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum yang berbeda-beda
pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di
Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa TNI
sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Namun sebagai Warga
Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi,
TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah
oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap keputusan Pengadilan Negeri dalam setiap sengeketa tanah
antara Sipil dengan TNI, sudah seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila
sengketa tersebut yang melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun
2002 tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen utama dalam
pertahanan negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan hakim. Hal ini
bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak merugikan para pihak yang bersengketa.
            Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga dengan kasus diatas yang
merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi hukum itu milik negara dan haruslah kembali pada
negara dengan berlandaskan untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya , Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009
H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia)  jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004
Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,isi dan
pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan, 2005
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005
Anonim. 2007. Sengketa Tanah Yang Aneh.  Dalam Http:/// Mata – Mata
Jakarta www.jakartahariini.com. Diakses pada tanggal 8 juni 2009.

Anda mungkin juga menyukai