Anda di halaman 1dari 47

1

STATUS PENGUASAAN HAK ATAS TANAH TIMBUL

DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA


(Studi Kasus di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi)

Oleh: Betty Tjiandra

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan


suatu faktor yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia,
terlebih lagi di lingkungan masyarakat Indonesia yang baik sebagai
individu maupun sebagai makhluk sosial senantiasa memerlukan tanah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara melakukan hubungan
dan memanfaatkan sumber daya tanah, baik yang ada di atas maupun
yang ada di dalam tanah. Selain sebagai tempat pemukiman, tanah
merupakan sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah
melalui usaha tani, tambak, dan perkebunan.
Tanah merupakan bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral
dan bahan organik. Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan
di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan
menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar serta
mendukung kehidupan semua makhluk hidup yang ada hidup di bumi,
sehingga tanah disebut mempunyai dimensi ekologis, di mana tanah
dijadikan sebagai tempat berkesinambungan atau berjalannya ekosistem
2

alam di mana tempat manusia itu hidup, beraktivitas, dan menjalankan


kehidupannya.1
Bagi kehidupan manusia, tanah mengandung makna yang
multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi, tanah merupakan sarana
produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis,
tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan
masyarakat. Ketiga, sebagai kapital budaya, tanah dapat menentukan
tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna
sakral, di mana setiap akhir hayat manusia akan kembali kepada tanah. 2
Dalam rangka pembangunan nasional yang berkesinambungan,
peranan tanah menjadi bertambah penting, sehubungan dengan terus
bertambahnya jumlah penduduk. Sementara itu, tanah merupakan sumber
daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenwable), artinya tidak dapat
ditingkatkan atau diperluas jumlahnya seiring dengan pertumbuhan
penduduk. Namun adakalanya di beberapa tempat tertentu, seperti
sungai, danau, tepi pantai, dan tengah laut, karena peristiwa alam
membuat bidang tanah pada lokasi tersebut menjadi bertambah luasnya.
Pertambahan luas tanah tersebut disebabkan karena proses sedimentasi
atau endapan di tepi perairan sungai atau tepi pantai. Hasil tanah yang
berasal dari lumpur yang terbawa aliran sungai atau pantai yang
mengendap, sehingga pada akhirnya membentuk sebuah daratan baru
yang dikenal dengan sebutan tanah timbul (aanslibbing).3
Tanah timbul merupakan suatu karunia yang sangat berharga bagi
masyarakat yang bertempat tinggal (bermukim) di sekitar pantai ataupun
sungai tersebut, khususnya bagi mereka warga masyarakat yang
berekonomi lemah yang mencari nafkah sebagai petani, karena sebagai
1
Windia dan Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, (Denpasar: Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006), hlm. 45.
2
Nugroho, Heru, Menggugat Kekuasaan Negara, (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2001), hlm. 237.
3
Soerodjo, Irawan, Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan atas Tanah (HPL);
Eksistensi, Pengaturan, dan Praktik, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2014), hlm.
119.
3

sumber daya alam baru, tanah timbul merupakan daratan yang dapat
dikelola dan dimanfaatkan untuk usaha pertanian, tambak, dan bahkan
dapat dijadikan tempat untuk mendirikan bangunan sebagai tempat
tinggal. Namun, apabila tidak diatur penggunaannya dapat menjadi
potensi konflik berbagai kepentingan dalam penguasaannya dan
pemanfaatannya, seperti sengketa tanah timbul di Desa Pantai Harapan
Jaya, yang melibatkan rakyat sebagai penggarap dengan Perum
Perhutani yang merasa sebagai pemegang hak atas tanah Negara karena
masih merupakan bagian dari kawasan hutan; 4 dan sengketa dalam
pelaksanaan pembebasan tanah timbul oleh PT FT, di mana petani yang
menduduki tanah timbul dianggap sebagai penggarap liar di atas tanah
Negara.5
Aturan hukum di bidang pertanahan akan melindungi kepentingan
dan keseimbangan tatanan dalam kehidupan masyarakat dan terjaminnya
kepastian hukum di bidang pertanahan. Indonesia telah memiliki
ketentuan khusus yang mengatur tentang pertanahan, yaitu: Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan manifestasi
dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memberi landasan bahwa: “Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sebagai
peraturan dasar, UUPA hanya mengatur asas-asas atau masalah-
masalah pokok dalam garis besarnya berupa hukum pertanahan nasional,
tidak mengatur secara eksplisit tentang penguasaan, peruntukan dan
penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, serta langkah-langkah
yang harus ditempuh untuk memperoleh hak atas tanah timbul.
Demikian besarnya potensi ekonomis dari tanah timbul dalam
memberikan insentif berupa pendapatan negara dan pendapatan
masyarakat, serta demikian beragamnya penafsiran tentang status

4
Kompas, 27 September 1994.
5
Pikiran Rakyat, 24 April 1994.
4

penguasaan hak atas tanah timbul, maka sangat menarik untuk mengkaji
sistem penguasaan dan pemilikan tanah timbul menurut budaya atau
hukum adat, demikian juga pengaturan terkait tanah timbul dalam
perundang-undangan beserta langkah-langkah yang harus ditempuh
untuk memperoleh hak atas tanah terkait penguasaannya. Oleh karena
itu, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai: “Status
Penguasaan Hak atas Tanah Timbul dalam Sistem Hukum Pertanahan
di Indonesia (Studi Kasus Di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten
Bekasi).”
B. Rumusan Masalah

Beranjak dari apa yang dikemukakan di atas, maka dapat


dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah prosedur permohonan untuk memperoleh hak atas
tanah terkait penguasaan tanah timbul?
2. Bagaimanakah status hukum tanah timbul di Kecamatan Muara
Gembong, Kabupaten Bekasi?

C. Tujuan Penelitian

Bertumpu pada rumusan permasalahan sebagaimana diuraikan


di atas, dalam penelitian ini dapat dirumuskan tujuan penelitian, antara
lain:
1. Untuk mengetahui prosedur permohonan untuk memperoleh hak
atas tanah terkait penguasaan tanah timbul.
2. Untuk mengetahui status tanah timbul di Kecamatan Muara
Gembong, Kabupaten Bekasi.

D. Manfaat Penelitian
5

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini


adalah:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari makalah ini, diharapkan dapat mengkaji secara
mendalam terhadap hakikat tanah timbul, mendeskripsikan,
menganalisis, dan mengkaji pola penguasaan dan pemilikan atas
tanah timbul yang tumbuh di pesisir laut Jawa, mendeskripsikan
sekaligus menganalisis status hak atas tanah timbul oleh
masyarakat dalam hukum agraria nasional, serta menemukan dan
membangun konsep pengakuan dan perlindungan terhadap
penguasaan atas tanah timbul oleh masyarakat dalam perspektif
hukum agraria nasional.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat membuka
wawasan dan paradigma berpikir masyarakat dan praktisi hukum
dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum. Selain itu,
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan wacana dan acuan
dalam mengambil langkah-langkah kebijakan yang tepat dan efisien
guna menciptakan suatu konsep, strategi, dan model yang lebih
spesifik dalam penyempurnaan perangkat peraturan perundang-
undangan mengenai pertanahan.

E. Kerangka Teori

Dalam makalah ini terdapat 4 (empat) teori yang menjadi pisau


untuk menganalisis bagaimana hubungan hukum antara subyek hukum
penguasaan atas tanah timbul oleh masyarakat dalam perspektif hukum
agraria nasional tersebut, yaitu: teori hukum alam (lex naturalis) dari
Thomas Aquinas, teori utilitarian dari John Stuart Mill, konsep pluralisme
hukum (legal pluralism) yang dikemukakan oleh John Griffiths, dan teori
hukum sebagai suatu sistem (the legal system) dari Lawrence M.
6

Friedman. Berdasarkan teori hukum alam, penguasaan tanah oleh


masyarakat itu dapat dilakukan pada wilayah yang tidak bertuan (tanah
kosong), sedangkan menurut teori utilitarian, menjelaskan pada
hakikatnya, manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan
yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaannya, atau terhadap
peraturan yang dibuat harus dapat memberikan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi sejumlah individu dalam masyarakat (the greates
happines for the greatest number). Di dalam konsep pluralisme hukum
memberikan pemahaman, bahwa suatu kondisi yang didalamnya terdapat
lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan
dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok
masyarakat. Sementara itu menurut teori hukum sebagai satu sistem
menjelaskan hukum sebagai suatu sistem dalam operasinya mempunyai 3
(tiga) elemen atau komponen dasar yang saling berinteraksi, yaitu
struktur, substansi, dan kultur hukum.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Sumber Data

Berdasarkan permasalahan yang diangkat, makalah ini


menggunakan penelitian kualitatif, sementara itu dilihat dari teknik
penyajian datanya, makalah ini menggunakan pendekatan deskriptif.
Dalam setiap penelitian, selain menggunakan metode yang tepat
juga diperlukan kemampuan memilih metode pengumpulan data yang
relevan. Jenis data yang digunakan dalam makalah ini adalah:
a. Data primer (primary data).
Merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli
(tidak melalui media perantara) dengan perangkat desa dan pihak-
pihak terkait serta melalui observasi terhadap tanah timbul.
b. Data sekunder (secondary data).
7

Adapun sumber data sekunder terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu:


1) Bahan hukum primer, meliputi berbagai peraturan perundang-
undangan mengenai pertanahan serta berbagai peraturan
perundang-undangan terkait.
2) Bahan hukum sekunder, meliputi pendapat hukum/doktrin/teori-
teori yang diperoleh dari buku teks, laporan penelitian, karya
ilmiah, makalah (prosiding), artikel majalah, jurnal ilmiah bidang
hukum, maupun website yang terkait dengan penulisan.
3) Bahan hukum tersier, diperoleh dari kamus bahasa Indonesia,
kamus bahasa Inggris, kamus hukum, ensiklopedi, indeks
kumulatif, dan lain sebagainya.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian, teknik pengumpulan data bertujuan agar


mendapatkan data-data yang valid dalam penelitian. Adapun peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara secara mendalam (metode in depth interview).
Peneliti melakukan wawancara secara mendalam dengan beberapa
informan, yaitu: Kades Desa Pantai Harapan Jaya, Kades Desa
Pantai Mekar, Kades Desa Pantai Sederhana, Kades Desa Pantai
Bakti, Kades Desa Pantai Bahagia, Camat Muara Gembong, dan
BPN Kabupaten Bekasi.
b. Studi kepustakaan/dokumentasi.
Peneliti menelaah terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-
catatan, dan laporan-laporan yang ada kaitannya dengan masalah
yang dipecahkan. Dokumen yang telah diperoleh kemudian
dianalisis (diurai), dibandingkan, dan dipadukan (sintesis)
membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu, dan utuh.
8

3. Metode Analisis Data

Di dalam penelitian ini terdapat 3 (tiga) komponen yang terdiri dari


reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi, yaitu:
a. Reduksi data (data reduction).
Reduksi data merupakan cara yang dilakukan peneliti dalam
melakukan analisis untuk mempertegas, memperpendek, membuat
fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data
sedemikian rupa, sehingga dapat menarik kesimpulan atau
memperoleh pokok temuan.
b. Penyajian data (data display).
Dalam penelitian ini penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya.
Data disajikan dalam bentuk teks yang bersifat naratif.
c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/
verification).
Peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari pola, tema,
hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul dan sebagainya
yang dituangkan dalam kesimpulan tentatif mengenai tanah timbul.
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Makna dan Definisi Tanah Timbul

Secara etimologis istilah tanah timbul berasal dari bahasa Inggris,


yaitu: “deltaber“ atau “channelbar”. Tanah timbul dalam bahasa Belanda
disebut dengan “aanslibbing.” 6
Secara yuridis pengertian tanah timbul berdasarkan Pasal 14
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter
dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Dalam Penjelasan Pasal 12
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah memberikan definisi sebagai berikut:

6
Sulistriono, Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan: Kasus
Penguasaan Tanah Timbul di Muara Sungai Citandui, dalam Hukum dan Kemajemukan
Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm. 185.
10

“Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi


di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas
sungai dikuasai langsung oleh Negara.”

Secara geologis tanah timbul muncul sebagai akibat pergerakan


tektonik yang dikenal dengan geo-sinklinal dan geo-antiklinal yang
menimbulkan patahan yang bergerak vertikal yang disebut diaklas
(retakan). Tanah timbul juga dapat diakibatkan graben (slenk/terban) dan
horst (sembul).7

Gambar 1
Tipe-tipe Patahan

Tanah timbul terjadi akibat pergeseran bumi secara alamiah yang


mengakibatkan munculnya tanah di permukaan, yang bisa terjadi di
tengah laut atau di tepi pantai, kemudian menjadi suatu daratan. Tanah
timbul sebelumnya diawali dari tanah-tanah di tepi sungai/pantai yang
dibawa ke tengah laut, dan akibat proses alam tersebut kemudian
terbentuk pulau-pulau atau tanah-tanah dari tengah laut yang dibawa dari
sungai lalu dihempaskan lagi ke pantai, sehingga terjadilah tanah timbul. 8
Jadi tanah timbul terjadi karena proses alam tanpa melalui perbuatan atau
rekayasa manusia. Sedangkan reklamasi (reclamation) merupakan suatu
kegiatan mengambil atau memanfaatkan lahan atau area yang tidak dapat

7
Efendi, Yuli, Kajian tentang Status Penguasaan dan Penggunaan Tanah Timbul
di Pantai Sine Desa Kalibatur Kecamatan Kalidawir Kabupaten Tulungagung Provinsi
Jawa Timur, Skripsi, (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2008).
8
Yosua, Suhanan, Hak atas Tanah Timbul (Anslibbing) dalam Sistem Hukum
Pertanahan Indonesia, (Jakarta: Restu Agung, 2010), hlm.1.
11

digunakan, kemudian dilakukan rekayasa, sehingga kemudian lahan atau


area tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia. 9
Pembentukan tanah timbul terjadi karena adanya proses alam,
disebabkan oleh:10
1. Muatan sungai terlalu besar.
Meluapnya air sungai (banjir) tenaga air mampu mengangkat
seluruh muatan, maka tidak terjadi pengendapan bahkan mungkin
terjadi pengikisan yang lama kelamaan menimbulkan aliran sungai
yang berganti arah dan menimbulkan tanah tumbuh.
2. Terhentinya aliran sungai.
Dengan terhentinya aliran sungai maka tenaga pengangkut tidak
ada, karena berat jenis muatan lebih besar daripada jenis air, maka
terjadilah pengendapan dan lama kelamaan muncul tanah tumbuh.
3. Aliran sungai terhalang.
Adanya material yang mengendap pada aliran sungai dapat
menganggu aliran sungai dan dapat menyebabkan terjadinya
pengendapan sehingga lama kelamaan muncul tanah tumbuh.
4. Sungai yang semakin melebar.
Apabila sungai menjadi semakin lebar, maka aliran sungai menjadi
semakin tersebar yang mengakibatkan tenaga pengangkut yang
berasal dari aliran sungai berkurang dan terjadilah pengendapan
yang lama kelamaan muncul tanah tumbuh.
Dalam lingkungan masyarakat Indonesia terdapat beragam istilah
dalam menyebutkan tanah timbul, sebagaimana di Muara Kali Prongo
tanah timbul disebut sebagai tanah wedikengser atau pangonan.
Masyarakat Desa Teluk Erong mengenal tanah timbul dengan istilah
tanah datang. Di daerah Kabupaten Wajo menyebut sebagai
tanah koti/tanah telleng/ tanah tonrong/tanah balete. Masyarakat di

9
Soerodjo, Irawan, Op.Cit., hlm. 117.
10
Indria, Riza, Upaya Penyelesaian Sengketa Tanah Timbul Antara Desa Mojo
dan Desa Pesantren Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang, Skripsi, (Undip:
Semarang, 2003), hlm. 20.
12

Kecamatan Losari menyebut tanah timbul dengan istilah tanah G.G./tanah


bantaran/tanah lepe-lepe. Sedangkan dalam penelitian di Kecamatan
Muara Gembong, dikenal dengan nama “pulau buaya” atau “laut gara-
gara.”
Roestandi dalam Rofi Wahanisa dan Arif Hidayat menyebut tanah
timbul dengan istilah tanah oloran, yaitu tanah yang timbul di tepi sungai
akibat endapan lumpur yang terbawa oleh alur sungai. 11 Sementara itu,
Urip Santoso menyebut dengan istilah lidah tanah, yaitu tanah yang timbul
atau muncul di tepi arus sungai yang berbelok, tanah ini berasal dari
endapan lumpur yang makin meninggi dan mengeras. Timbulnya tanah ini
bukan karena kesengajaan dari seseorang atau pemilik tanah yang
berbatasan, melainkan terjadi secara alamiah. 12
Sejalan dengan Urip Santoso, istilah lidah tanah juga digunakan
oleh Abdurrahman Soejono yang merumuskan lidah tanah sebagai tanah
yang timbul atau muncul karena berbeloknya arus sungai atau tanah yang
timbul di pinggir pantai, dan terjadi dari lumpur, lumpur tersebut makin
lama makin tinggi dan mengeras sehingga akhirnya menjadi tanah. Dalam
Hukum Adat, lidah tanah yang begitu luas menjadi hak bagi pemilik tanah
yang berbatasan.13 Dalam penelitian ini, daratan berupa hamparan pasir
hitam dan lumpur bercampur kerang-kerang kecil membentuk huruf Z
memanjang terletak pada koordinat 5°58'33.42°S-106°59'30.89°E.

Gambar 2
Peta Tanah Timbul Di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi

11
Rofi Wahanisa dan Arif Hidayat, Penguasaan Tanah Timbul (Aanslibbing)
Sebagai Dasar Untuk Memperoleh Hak Milik Atas Tanah, (Jurnal Pandecta: Volume. III.
No.1, Januari-Juni 2009), hlm. 3.
12
Santoso, Urip, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Jakarta: Kencana,
2010), hlm. 54.
13
Soejono, Abdurrahman, Prosedur Pendaftaran Tanah, (Jakarta: Asdi
Mahasatya, 2003), hlm. 15.
13

Sumber: Google Earth

Untuk menuju lokasi tanah timbul, dapat ditempuh dengan perahu


melalui dermaga Tempat Pelelangan Ikan Desa Pantai Sederhana. Lokasi
itu juga dapat ditempuh melalui wilayah Pondok Dua, Desa Urip Jaya,
Kecamatan Babelan dan Wilayah Pal 2 Desa Samudra Jaya, Kecamatan
Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.

B. Gambaran Umum Kecamatan Muara Gembong

Secara geografis, Kecamatan Muara Gembong terletak pada posisi


5,9502º - 6,0415º LS dan 107,0249º – 107,0999º BT, dan berada pada
ketinggian rata-rata 2,8 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan
yang tergolong landai (<15º) hingga sedang (15º–25º). 14 Derajat
kemasaman tanahnya berkisar antara 4.5 – 5.5. Rendahnya nilai pH tanah
disebabkan kandungan ferit yang tinggi. Karakteristik sungai dan laut
berwarna keruh atau kecoklatan terutama pada musim hujan. Sedangkan
berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson termasuk dalam tipe C
14
Sudrajat, Jajang, Statistik Daerah Kecamatan Muara Gembong 2015, Katalog,
(Cikarang Pusat: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, 2015), hlm. 1.
14

dengan curah hujan rata-rata 1.697 mm dengan curah hujan terbanyak


terdapat antara bulan Januari - Februari. Suhu udara berkisar antara
29–340C dengan suhu rata-rata 320C dengan kelembaban 77– 99%.15
Kawasan pesisir Muara Gembong terdiri dari areal perkampungan,
tambak, kebun campuran, tegalan, semak, dan hutan bakau (mangrove).
Luas hutan bakau sampai saat ini hanya tersisa 3,62% dari luas hutan
bakau pada tahun 1950-an. Dua desa di Kecamatan Muara Gembong
tenggelam pada tahun 2000, yaitu Desa Muara Kuntul dan Desa Muara
Mati, keadaan ini disebabkan oleh abrasi dampak dari penebangan liar
pohon bakau oleh masyarakat untuk dijadikan lahan tambak dan
pembuatan rumah musiman oleh nelayan. Upaya reboisasi yang
dilakukan Perum Perhutani tidak mampu mengimbangi tingkat konversi
lahan yang sangat tinggi.
Kecamatan Muara Gembong dilintasi oleh sungai Citarum dengan
4 (empat) anak sungai yang bermuara ke laut Jawa. Total luas sungai
sekitar 2.57% dari total luas wilayah Kecamatan Muara Gembong, dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Laut Jawa; 
- Sebelah Selatan : Kecamatan Babelan, Kecamatan Sukawangi,
dan Kecamatan Cabangbungin;
- Sebelah Barat : Laut Jawa;
- Sebelah Timur : Kabupaten Karawang.
Mata pencaharian utama masyarakat pada umumnya di sektor
perikanan, terutama di pertambakan dan penangkapan (nelayan). Tambak
perikanan mencakup lahan seluas 10.125 Ha, sisanya bekerja dengan
mengelola lahan pertanian. Lahan kritis di Muara Gembong telah diolah
dengan budi daya pertanian seluas 512 Ha. Kehidupan kebudayaan
dicerminkan dalam berbagai kegiatan kesenian masyarakat seperti gotong
singa (odong-odong) dan topeng bekasi.

15
Schmidt dan Ferguson, Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratio for
Indonesia with Western New Gurinea, (Kementerian Perhubungan, 1951).
15

Penduduk Muara Gembong terdiri dari beragam suku bangsa,


seperti Betawi, Sunda, Jawa, dan Bugis. Penduduk Kecamatan Muara
Gembong tahun 2014 mencapai 36.824 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki
sebanyak 18.947 jiwa dan perempuan sebanyak 17.877 jiwa. Dengan
luas wilayah sekitar 140,09 km2, maka rata-rata kepadatan penduduk tiap
km2 sebanyak 263 jiwa. Komposisi penduduk Kecamatan Muara
Gembong menunjukkan bahwa penduduk usia produktif (15-64 tahun)
mencapai 64,94%, sedangkan penduduk yang belum produktif (<15
tahun) sebanyak 31,16%, dan yang kurang produktif lagi (65 tahun ke
atas) sebanyak 3,89%. Sehingga rasio ketergantungan sebesar 53,98%. 16

Grafik 1
Piramida Penduduk Kecamatan Muaragembong Tahun 2014

16
Ibid, hlm. 4.
16

Sejak otonomi daerah dan pemekaran wilayah yang diberlakukan


pada tahun 2001, jumlah desa di Kecamatan Muara Gembong tidak
mengalami perubahan, yaitu sebanyak 6 (enam) desa, yaitu: Desa Pantai
Harapan Jaya, Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai
Bakti, Desa Pantai Bahagia, dan Desa Jayasakti.
Gambar 3
Peta Wilayah Kecamatan Muara Gembong
17

Kecamatan Muara Gembong berjarak sekitar 64 km dari Ibukota


Kabupaten Bekasi. Jarak Kantor Desa yang terdekat ke Kantor
Kecamatan Muara Gembong adalah Desa Pantai Mekar dengan jarak
sekitar 0,1 km; Desa Pantai Sederhana dengan jarak 2,0 km; Desa Pantai
Bakti dengan jarak 6,0 km; Desa Pantai Bahagia dengan jarak 9,0 km;
Desa Pantai Harapan Jaya dengan jarak 12,0 km, dan Desa Jayasakti
merupakan desa dengan jarak terjauh sekitar 15,0 km. 17
Grafik 2.
Jarak Kantor Desa dengan Kantor Kecamatan dan Kabupaten

17
Sudrajat, Jajang, Kecamatan Muara Gembong dalam Angka 2015, Katalog,
(Cikarang Pusat: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, 2015), hlm. 18.
18

1. Keberadaan Tanah Timbul Di Desa Pantai Harapan Jaya

Luas wilayah Desa Pantai Harapan Jaya adalah seluas 4.672 Ha,
dengan perincian tambak seluas 2.800 Ha (termasuk tanah timbul),
pemukiman penduduk seluas 300 Ha, pemakaman seluas 1 Ha, dan
lahan pertanian sawah seluas 1.571 Ha. Status tanah SHM seluas 815 Ha
dan Tanah Adat Letter C seluas 217 Ha.
Desa Pantai Harapan Jaya memiliki batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Desa Pantai Mekar; 
- Sebelah Selatan : Kecamatan Sukawangi;
- Sebelah Barat : Desa Pantai Mekar;
- Sebelah Timur : Kecamatan Cabangbungin.
Ketinggian Desa Pantai Harapan Jaya dari permukaan laut 4,0
DPL. Luas tanah timbul yang dimiliki oleh Desa Pantai Harapan Jaya
tahun 1993 adalah seluas 800 Ha, namun pada tahun 2016 luasnya
berkurang menjadi 615 Ha. Terdapat 30 Kepala Keluarga di Dusun Satu
Pondok Dua yang menggarap tanah timbul tersebut untuk dimanfaatkan
sebagai tambak ikan bandeng dan udang windu. 18

18
Wawancara dengan Maher Nurmawan, Kepala Desa Pantai Harapan Jaya,
tanggal 13 Februari 2016, Kantor Kepala Desa Pantai Harapan Jaya.
19

Jumlah Dusun, RW, dan RT di Pantai Harapan Jaya terdiri dari 5


Dusun, 14 RW, dan 27 RT. Terdapat 36 bangunan rumah di bantaran/tepi
sungai Desa Pantai Harapan Jaya. Jumlah penduduk Desa Pantai
Harapan Jaya tahun 2014 mencapai 8.270 jiwa, penduduk laki-laki
sebanyak 4.196 jiwa dan perempuan sebanyak 4.074 jiwa.19

2. Keberadaan Tanah Timbul Di Desa Pantai Mekar

Luas wilayah Desa Pantai Mekar adalah seluas 1.457,385 Ha,


terdiri dari 10 Sertifikat Hak Milik  seluas 15  Ha, tanah Bengkok  seluas
18 Ha, jalan  seluas 4,8  Ha, sawah dan ladang seluas 226,777 Ha,
bangunan umum seluas 11,450 Ha, tambak seluas 988,031 Ha,
pemukiman seluas 80,500  Ha, jalur hijau  seluas 55,057  Ha, dan
pekuburan seluas 2,500 Ha. 
Desa Pantai Mekar memiliki batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Desa Pantai Bakti; 
- Sebelah Selatan : Desa Muara Bakti;
- Sebelah Barat : Desa Pantai Sederhana;
- Sebelah Timur : Desa Pantai Harapan Jaya.
Ketinggian Desa Pantai Harapan Jaya dari permukaan laut 1,0
DPL. Luas tanah timbul yang dimiliki Desa Pantai Mekar seluas 500 Ha
yang dimanfaatkan sebagai budidaya kerang hijau dan rumput laut. 20
Jumlah Dusun, RW, dan RT di Pantai Mekar terdiri dari 4 Dusun, 8
RW, dan 23 RT. Terdapat 154 bangunan rumah di bantaran/tepi sungai
Desa Pantai Mekar. Jumlah penduduk Desa Pantai Mekar tahun 2014
mencapai 8.578 jiwa. Penduduk laki-laki sebanyak 4.298 jiwa dan
perempuan sebanyak 4.280 jiwa.21

19
Sudrajat, Jajang, Op.Cit., hlm. 21.
20
Wawancara dengan Darman, Kepala Desa Pantai Mekar, tanggal 17 Februari
2016, Kantor Kepala Desa Pantai Mekar.

21
Sudrajat, Jajang, Op.Cit., hlm. 21.
20

3. Keberadaan Tanah Timbul Di Desa Pantai Sederhana

Luas wilayah Desa Pantai Sederhana adalah seluas 1.244 Ha,


terdiri dari tambak ikan dan udang seluas 850 Ha, persawahan seluas 45
Ha, dan sisanya pemukiman penduduk, berupa Tanah Adat dan SHM
sekitar 5% dari luas tanah di Desa Pantai Sederhana.
Desa Pantai Sederhana memiliki batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Desa Pantai Bahagia; 
- Sebelah Selatan : Kecamatan Sukawangi;
- Sebelah Barat : Laut Jawa;
- Sebelah Timur : Desa Pantai Mekar.
Ketinggian Desa Pantai Sederhana dari permukaan laut 2,0 DPL.
Luas tanah timbul yang dimiliki Desa Pantai Sederhana seluas 700 Ha,
terletak 2 km dari bibir pantai Desa Pantai Sederhana. Pada tahun 2003,
Pemerintah Kabupaten Bekasi mengadakan program pembudidayaan
rumput laut dan kerang hijau, namun program tersebut kurang menunjang
kebutuhan hidup masyarakat sehari-sehari dan mulai ditinggalkan oleh
masyarakat, kemudian tanah timbul hanya dimanfaatkan sebagai tempat
bermain, lapangan untuk kegiatan olah raga, lokasi tanah galian, serta
budidaya tambak ikan dan udang.22
Jumlah Dusun, RW, dan RT di Desa Pantai Sederhana terdiri dari
16 RT, 5 RW, dan 4 Dusun (Tanjung Nahu, Gaga Tengah, Kampung
Gaga, dan Muara Gembong). Terdapat 50 bangunan rumah di
bantaran/tepi sungai Desa Pantai Sederhana. Jumlah penduduk Desa
Pantai Sederhana tahun 2014 mencapai 4.506 jiwa. Jumlah penduduk
laki-laki sebanyak 2.282 jiwa dan perempuan sebanyak 2.224 jiwa.23

4. Keberadaan Tanah Timbul Di Desa Pantai Bakti

22
Wawancara dengan Zeny, Kepala Desa Pantai Sederhana, tanggal 19 Februari
2016, Desa Pantai Sederhana.
23
Sudrajat, Jajang, Op.Cit., hlm. 21.
21

Luas wilayah Desa Pantai Bakti adalah seluas 4.700 Ha, yang
terdiri dari pemukiman seluas 400 Ha, pertanian seluas 400 Ha, dan
tambak seluas 3900 Ha, status tanah berupa SHM 5%, Tanah Girik 20%,
dan Tanah Garapan 75%.24
Ketinggian Desa Pantai Bakti dari permukaan laut 4,0 DPL. Luas
tanah timbul yang dimiliki Desa Pantai Bakti seluas 1100 Ha dengan jarak
dari 0,7 mil dari garis pantai. Desa Pantai Bakti memiliki batas wilayah
sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Laut Jawa; 
- Sebelah Selatan : Desa Pantai Mekar;
- Sebelah Barat : Desa Pantai Bahagia;
- Sebelah Timur : Kabupaten Karawang.
Jumlah Dusun, RW, dan RT di Pantai Bakti terdiri dari 3 Dusun, 6
RW, dan 19 RT. Terdapat 7 bangunan rumah di bantaran/tepi sungai
Desa Pantai Bakti. Penduduk Desa Pantai Bakti tahun 2014 mencapai
8.182 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4.103 jiwa dan
perempuan sebanyak 4.079 jiwa.25

5. Keberadaan Tanah Timbul Di Desa Pantai Bahagia

Ketinggian Desa Pantai Bahagia dari permukaan laut 2,0 DPL.


Garis pantai desa 10 km terbentang dari desa tebing ke muara besar,
dengan jenis tutupan lahannya didominasi oleh lahan pertambakan
sedangkan permukiman menempati sepanjang pinggir sungai Citarum

24
Wawancara dengan Suwinta, Kepala Desa Pantai Bakti, tanggal 26 Februari
2016, Kantor Kepala Desa Pantai Bakti.
25
Sudrajat, Jajang, Op.Cit., hlm. 21.
22

berbaur dengan lahan pohon campuran (tegalan/ladang). Luas wilayah


Desa Pantai Bahagia adalah seluas 4.900 Ha, yang terdiri dari tambak
seluas 70%, perumahan seluas 15%, persawahan seluas 15%, status
tanah Girik seluas 100 Ha dan SHM seluas 4 Ha.26
Luas tanah timbul yang dimiliki Desa Pantai Bahagia seluas 1800
Ha. Pada tahun 1975, tanah timbul dimanfaatkan sebagai lahan tambak
ikan, udang, kerang hijau, dan penataannya dibantu oleh pihak perikanan
dan kelautan Kabupaten Bekasi. Jarak lokasi tanah timbul dari pinggir
Pantai Bahagia sekitar 1,7 mil.
Desa Pantai Bahagia memiliki batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Laut Jawa; 
- Sebelah Selatan : Desa Pantai Sederhana;
- Sebelah Barat : Laut Jawa;
- Sebelah Timur : Desa Pantai Bakti.
Jumlah penduduk Desa Pantai Bahagia tahun 2014 mencapai
8.166 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4.103 jiwa dan
perempuan sebanyak 4.063 jiwa. Jumlah Dusun, RW, dan RT di Pantai
Bahagia terdiri dari 3 Dusun, 6 RW, dan 32 RT.Terdapat 100 bangunan
rumah di bantaran/tepi sungai Desa Pantai Bahagia. Mata
pencaharian penduduk 50% sebagai nelayan, 30% penggarap tambak,
10% petani sawah, 10% PNS dan pegawai swasta.27

6. Desa Jayasakti

Semua desa di Kecamatan Muara Gembong berada di tepi laut


kecuali Desa Jayasakti. Luas wilayah Desa Jayasakti adalah seluas
1.751 Ha, yang terdiri dari lahan pertanian sawah non irigasi seluas 604
Ha, lahan pertanian non sawah seluas 400 Ha, lahan non pertanian

26
Wawancara dengan Maman Suryaman, Kepala Desa Pantai Bahagia, tanggal
26 Februari 2016, Kantor Kepala Desa Pantai Bahagia.
27
Sudrajat, Jajang, Op.Cit., hlm. 21.
23

seluas 747 Ha. Desa Pantai Jayasakti memiliki batas wilayah sebagai
berikut:
- Sebelah Utara : Desa Pantai Mekar; 
- Sebelah Selatan : Kecamatan Cabangbungin;
- Sebelah Barat : Desa Pantai Harapan Jaya;
- Sebelah Timur : Kabupaten Karawang.
Jumlah Dusun, RW, dan RT di Pantai Jayasakti terdiri dari 3 Dusun, 6
RW, dan 20 RT. Penduduk Desa Pantai Jayasakti tahun 2014 mencapai
8.011 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4.022 jiwa dan
perempuan sebanyak 3.989 jiwa.28

BAB III
PROSEDUR PERMOHONAN UNTUK MEMPEROLEH HAK
ATAS TANAH TERKAIT PEMANFAATAN DAN
PENGUASAAN TANAH TIMBUL
28
Ibid.
24

A. Macam-macam Hak Atas Tanah dalam Hukum Pertanahan


Indonesia

1. Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA

Istilah hak di dalam literatur Belanda disebut “recht”. Pengertian


hak menurut Soeroso adalah hukum mengatur hubungan antara orang
yang satu dengan yang lainnya, antara orang dengan masyarakat atau
antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya, yang akan
menimbulkan kekuasaan atau kewenangan dan kewajiban. 29 Dalam setiap
hak selalu terdapat 4 (unsur), yaitu: subyek hukum, obyek hukum,
hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban, dan
perlindungan hukum. kemudian dibedakan 2 (dua) macam hak, yaitu: hak
absolut dan hak relatif. Hak absolut memberi wewenang bagi
pemegangnya untuk berbuat atau tidak berbuat, pada dasarnya dapat
dilaksanakan terhadap siapa saja dan melibatkan setiap orang. Hak relatif
merupakan hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya
dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu, sehingga hanya berlaku
bagi orang-orang tertentu.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 Jo. Pasal 53
UUPA, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Hak atas tanah yang bersifat tetap.


Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku
atau belum dicabut dengan Undang-undang yang baru. Contoh:
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak

29
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 273.
25

Sewa, Untuk Bangunan, serta Hak Membuka Tanah dan Hak


Memungut Hasil Hutan.
b. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan Undang-undang.
Hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan
dengan Undang-undang.
c. Hak atas tanah yang bersifat sementara.
Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat
akan dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan,
feodal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak Gadai,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah
Pertanian.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 (dua)
kelompok, yaitu:
a. Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah yang
berasal dari tanah Negara. Contoh: Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara, Hak Pakai atas Tanah
Negara.
b. Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas tanah yang
berasal dari tanah pihak lain. Contoh: Hak Guna Bangunan atas
tanah Hak pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik,
Hak Pakai Bangunan atas tanah Hak pengelolaan, dll.
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atau badan hukum atas tanah dengan mengingat
fungsi sosial Pasal 20 UUPA. “Turun temurun”, artinya hak milik atas
tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila
pemiliknya sudah meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.
“Terkuat”, artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan
hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah
dipertahankan dari gangguan pihak lain dan tidak mudah dihapus.
“Terpenuh”, artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada
26

pemiliknya paling luas dibandingkan degan hak atas tanah yang lain,
dapat menjdi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak
atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila
dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. Hak milik adalah hak
untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan leluasa dan untuk
berniat bebas terhadap kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenuhnya
asal tidak bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan umum. 30
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara, meliputi bidang pertanian, perkebunan,
perikanan, dan peternakan yang luas minimum 5 Ha untuk perorangan
dan luas maksimum 25 Ha untuk badan usaha. HGU di atur dalam Pasal
16 ayat (1) UUPA, sebagai salah satu hak atas tanah sedangkan secara
khusus HGU diatur UUPA dalam Pasal 28 s.d. Pasal 34, kemudian
disebut juga dalam pasal 50 dan Pasal 52 UUPA.
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bagunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu 30
tahun, yang atas permintaan pemegang hak mengikat keperluan serta
keadaan bangunan-bangunannya. Jangka waktu 30 tahun terhadap
pemegang hak guna bangunan tersebut dapat diperpanjang sampai
dengan jangka waktu maksimum 20 tahun. HGB diatur dalam Pasal 35-40
UUPA.
Hak Pakai dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA adalah hak yang
diberikan Negara untuk digunakan dan/atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengelolaan tanahnya, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan asas dan ketentuan UUPA.

30
Soimin, Soedharyo, Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), Hlm. 1.
27

Mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan dapat dipunyai oleh


seseorang atau badan hukum, apabila ia berhak mempergunakan tanah
milik orang lain untuk keperluan bangunan dan membayar kepada
pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44 ayat (1) UUPA).
Sedangkan yang mengatur mengenai Hak sewa untuk tanah pertanian
adalah Pasal 53 UUPA, sebagai hak yang bersifat “sementara”, yang akan
dihapus di kemudian hari karena bertentangan dengan asas yang termuat
dalam Pasal 10 UUPA dimana tanah harus dikerjakan secara aktif oleh
yang mempunyainya.
Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan adalah hak
yang berasal dari Hukum Adat sehubungan dengan adanya Hak Ulayat
yang masih diakui dalam Hukum Tanah kita sekarang ini. 31 Dengan
pembukaan tanah saja, belumlah berarti yang membukanya lantas
memperoleh hak atas tanah tersebut tetapi tanah tersebut haruslah ia
benar-benar usahakan, baru kemudian dapat menjadi suatu hak. Begitu
juga dengan memungut hasil hutan secara sah begitu saja tidak lah lantas
ia memperoleh suatu hak, tetapi pemungutan hasil hutan itu ia lakukan
bersamaan dengan pembukaan penguasaan tanah itu secara nyata.
Selain diatur dalam UUPA dan beberapa Peraturan Menteri Dalam Negeri,
diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan Peraturan Pemerintahan
Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan.

2. Hak Pengelolaan atas Tanah

Istilah Hak Pengelolaan secara eksplisit tidak terdapat dalam


UUPA, namun di dalam Penjelasan Umum II angka 2 UUPA terdapat
istilah “Pengelola” Hak Pengelolaan berasal dari istilah bahasa Belanda

31
Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 39.
28

“Beheersrecht” yang diterjemahkan dengan Hak Penguasaan. Seiring


dengan perkembangan hukum pertanahan nasional, pengertian Hak
Pengelolaan yang dahulu disebut Hak Penguasaan tersebar di berbagai
jenis peraturan hukum di bidang pertanahan.
Menurut Maria Sumardjono, Hak Pengelolaan adalah hak
menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegang haknya. 32 Selanjutnya pengertian Hak
Pengelolaan menurut R. Atang Ranoemihardja adalah hak tanah yang
dikuasai oleh Negara dan hanya dapat diberikan kepada badan hukum
atau pemerintah daerah baik dipergunakan untuk usahanya sendiri
maupun untuk kepentingan pihak ketiga.33
Sementara di sisi lain, Ramli Zein memberikan pendapat yang
berbeda mengenai sifat Hak Pengelolaan, yaitu bersifat kumulatif bukan
alternatif. Artinya, tanah yang dikuasai oleh Negara akan diberikan Hak
Pengelolaan kepada BUMN atau BUMD, apabila tanah tersebut selain
dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, juga bagian-
bagian tanah tersebut akan diserahkan dengan sesuatu hak tertentu
kepada pihak ketiga.34

3. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara

Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik juga dalam


arti yuridis. Ada penguasaan beraspek privat dan beraspek publik.
Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak
yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan
32
Sumardjono, Maria, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
(Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 213.
33
Wicaksono, Satrio, Pelaksanaan Pemberian Hak Pengelolaan atas Tanah dan
Potensi Timbulnya Monopoli Swasta atas Usaha-usaha dalam Bidang Agraria, Tesis,
(Semarang: Universitas Diponegoro, 2008), hlm. 12.
34
Zein, Ramli, Hak Pengelolaan dalam Sistem Undang-Undang Pokok Agraria,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 89-90.
29

kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. 35
Ada juga penguasaan yuridis, yang walaupun memberikan kewenangan
untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya
penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain. Selain itu, ada
penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk
menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik.
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang,
kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau
dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang
menjadi kriterium atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan
atas tanah yang diatur dalam hukum tanah. 36
Pasal 1 sub 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah, mendefinisikan penguasaan tanah adalah
hubungan hukum antara orang perorangan, kelompok masyarakat atau
badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA.
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah
dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:37
a. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan antara tanah
dan orang atau badan hukum tertentu sebgai pemegang haknya.
Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, adalah
sebagai berikut:
1) Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;
2) Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib
dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta
jangka waktu penguasaannya;

35
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 1997), hlm. 22.
36
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, (Jakarta: Prenada
Media, 2006), hlm. 74.
37
Ibid., hlm. 75.
30

3) Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh


menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi
penguasaannya;
4) Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
b. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang
konkrit.
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan antara tanah
tertentu sebagai obyek dan orang atau badan hukum tertentu
sebagai subyek atau pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan
dalam hak penguasaan atas tanah, sebagai berikut:
1) Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu
hubungan hukum yang konkrit, dengan nama atau sebutan hak
penguasaan atas tanah tertentu;
2) Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak
lain;
3) Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain;
4) Mengatur hal-hal mengenai hapusnya;
5) Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
Adapun hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan
Hukum Tanah Nasional, sebagai berikut:
a. Hak bangsa Indonesia atas tanah.
Hak bangsa Indonesia atas tanah ini merupakan hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam
wilayah negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi,
dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah
(Pasal 1 ayat (1) dan (3) UUPA).
b. Hak menguasai dari Negara atas tanah.
Hak menguasai dari negara atas tanah bersumber pada hak
bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan
penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang
mengandung unsur hukum publik (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
31

Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh


pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu:38
a. Wewenang umum.
Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk
juga tubuh bumi, air, dan ruang yang ada diatasnya diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lainnya yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat
(2) UUPA).
b. Wewenang khusus.
Wewenang yang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai
dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada
tanah hak milik adalah untuk kepentingan pertanian dan atau
mendirikan bangunan, wewenang pada tanah HGB adalah
menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada
tanah HGU adalah menggunakan tanah haknya untuk kepentingan
perusahaan di bidang pertanian, perikanan,
peternakan atau perkebunan.

B. Prosedur Permohonan Untuk Memperoleh Hak Atas Tanah


Terkait Penguasaan Tanah Timbul

1. Pemanfaatan Tanah Timbul

38
Ibid., hlm. 87.
32

Menurut Boedi Harsono, lidah tanah merupakan salah satu cara


lain untuk memperoleh hak atas tanah menurut Hukum Adat, di samping
cara pembukaan hutan (lahan). Aanslibbing adalah pertumbuhan tanah
di tepi sungai, danau, atau laut yang merupakan lidah tanah. Menurut
Hukum Adat tanah yang tumbuh demikian dianggap menjadi kepunyaan
orang yang memiliki tanah yang berbatasan, karena biasanya
pertumbuhan tersebut sedikit banyak terjadi karena usaha pemilik tanah di
samping prose tanah. Terjadinya tanah hak yang demikian melalui suatu
proses pertumbuhan yang memakan waktu lama. 39
Tanah-tanah timbul di pesisir pantai dapat dikuasai oleh
masyarakat atau penduduk sekitar sebagai tempat tinggal atau tempat
usaha. Namun dalam yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3948
K/Pdt/1999 memutuskan bahwa jika tanah-tanah timbul tersebut tidak
terlalu luas, maka akan menjadi milik dari pemilik tanah yang berbatasan.
Sebaiknya apabila lidah tanah tersebut sangat luas, maka menjadi tanah
ulayat dari masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan. Apabila lidah
tanah tersebut berada di luar areal tanah ulayat, maka secara hukum
menjadi milik pihak yang mempunyai tanah yang berbatasan dengan lidah
tanah.
Demikian juga jika suatu tanah dekat pantai, sungai, atau areal
perairan lainnya dikuasai dengan Hak Pengelolaan, kemudian karena
proses alam terjadi tanah timbul, maka tanah timbul tersebut menjadi hak
dari pemegang Hak Pengelolaan. Namun demikian, pemegang Hak
Pengelolaan yang memperoleh tambahan dari tanah timbul tersebut tetap
mengajukan permohonan hak dan mendaftarkan haknya kepada pejabat
yang berwenang.

2. Langkah-Langkah Yang Ditempuh Untuk Memperoleh Hak Atas


Tanah Terkait Penguasaan Tanah Timbul

39
Harsono, Boedi, Op.Cit, hlm. 80-81.
33

Tanah timbul merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh


Negara dan terhadapnya dapat dimohon suatu hak atas tanah. Hak atas
tanah yang berasal dari tanah negara dapat diperoleh dengan suatu
Penetapan Pemerintah menurut cara dan syarat yang ditentukan.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut adalah
Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak atas Tanah Negara juncto Peraturan Menteri Negara
Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Hak atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3
Tahun 1999, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya
berwenang memberikan keputusan mengenai:
a. Pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih
dari 2 Ha;
b. Pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak
lebih dari 2.000 M2 kecuali mengenai tanah bekas HGU;
c. Pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan
program:
1) Transmigrasi;
2) Redistribusi tanah;
3) Konsolidasi tanah;
4) Pendaftaran tanah secara massal baik dalam rangka
pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun
sporadik.
Kewenangan Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi untuk
mengeluarkan keputusan terhadap adanya permohonan permohonan hak
atas tanah negara diatur dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Negara Agraria
Nomor 3 Tahun 1999. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Propinsi memberi keputusan mengenai:
34

a. Pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2
Ha;
b. Pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak
lebih dari 5.000 M2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah
dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/
Kotamadya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Berdasarkan Pasal 13 Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3
Tahun 1999, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
menetapkan pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum.
Pada prinsipnya permohonan hak atas tanah diajukan ke Kantor
Pertanahan yang wilayah hukumnya meliputi letak tanah tersebut.
Pemohon mengisi formulir yang telah disediakan, yaitu berupa keterangan
mengenai:40
a. Identitas pemohon, meliputi: nama, umur, kewarganegaraan, KTP,
tempat tinggal, pekerjaan, keterangan mengenai suami/istri dan
anak serta jumlah anggota keluarga yang masih menjadi
tanggungannya.
b. Keterangan mengenai tanah yang dimohon, meliputi:
1) Letak, batas-batas dan luasnya (gambar situasi bila ada);
2) Status tanah: sertifikat/surat keterangan pendaftaran tanah,
girik/petuk, pajak bumi atau tanda bukti lain kalau ada;
3) Jenis tanahnya: untuk tanah pertanian atau tanah bangunan;
4) Penguasaannya/perolehannya atau atas dasar apa pemohon
menguasai atau memperoleh tanah tersebut;
5) Penggunaan tanahnya, yaitu tanah yang dimohon tersebut
direncanakan dipergunakan untuk keperluan apa;
6) Untuk daerah yang sudah mempunyai rencana induk
pembangunan diperlukan advice planning dari Dinas Tata Kota

40
Pulungan, Rudiansyah, Status Penguasaan Tanah Timbul (Aanslibbing) Di
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu, Jurnal, (Premise Law Jurnal: Vol 1, No. 2,
2013), hlm. 13.
35

atau instansi lain yang terkait dengan tanah yang


bersangkutan.
c. Keterangan lainnya, yaitu:
1) Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah
yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang
dimohon;
2) Keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu.
Setelah permohonan hak atas Tanah Negara diterima oleh Kepala
Kantor Pertanahan, maka proses pengurusan permohonan di kantor
pertanahan sebagai berikut:
a. Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada seksi
pengurusan hak untuk:
1) Mencatat permohonan tersebut dalam daftar permohonan hak
yang telah disediakan untuk itu;
2) Memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen permohonan hak
atas tanah, dan apabila ternyata belum lengkap maka diminta
kepada yang bersangkutan (pemohon) untuk melengkapinya.
3) Memanggil yang bersangkutan (pemohon) untuk:
a) Melengkapi permohonan (apabila dokumen-dokumen belum
lengkap);
b) Membayar biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan
permohonan hak atas tanah tersebut di Kepala Sub Bagian
Administrasi.
b. Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada Seksi
Penatagunaan Tanah, Seksi Pengaturan Penguasaan Tanah, dan
Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk menghimpun dan
mengumpulkan bahan-bahan atau materi-materi yang diperlukan
guna pengambilan keputusan atas permohonan tersebut. Materi
atau bahan-bahan yang diperlukan tersebut adalah:
1) Surat keterangan pendaftaran tanah;
2) Surat ukur/gambar situasi;
36

3) Memberikan pertimbangan apakah permohonan tersebut


sesuai dengan persyaratan tata guna tanah dan rencana tata
guna tanah daerah;
4) Apabila tanah yang dimohon ada kaitannya dengan instansi
lain, maka akan diperlukan pertimbangan dari instansi tersebut.
c. Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukur/gambar
situasi atau bahan-bahan yang diperlukan untuk mengambil
keputusan belum cukup, maka Kepala Kantor Pertanahan
membentuk “panitia pemeriksa tanah A” yang bertugas melakukan
pemeriksaan setempat terhadap tanag yang dimohon.
d. Apabila wewenang pemberian hak atas tanah yang dimohon ada
pada Kepala Kantor Pertanahan maka Kepala Kantor Pertanahan
memproses dan mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak
(SKPH).
e. Menyampaikan tembusan risalah pemeriksaan tanah kepada
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN dan kepada pemohon, dalam
hal wewenang untuk memberikan hak atas tanah ada pada Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN, Kepala Kantor Wilayah BPN ataupun
Kepala Kantor Pertanahan.
f. Memerintahkan kepada seksi pengurusan hak atas tanah untuk
mencatat pengiriman berkas tersebut dalam daftar.
g. Mengadakan perhitungan dengan pemohon mengenai persekot
biaya.
Selanjutnya permohonan hak atas tanah negara sebagaimana
diuraikan di atas dapat diberikan keputusan pemberian hak ataupun
keputusan penolakan hak, yang kemudian keputusan tersebut
disampaikan kepada yang bersangkutan (pemohon) melalui surat tercatat
atau dengan cara lain yang terjamin diterimanya keputusan tersebut oleh
yang bersangkutan. Setelah dikeluarkannya SKPH atas nama pemohon,
pemohon yang bersangkutan harus memenuhi kewajiban yang ditentukan
dalam SKPH, yaitu:
37

a. Membayar uang pemasukan pada negara yang jumlah dan jangka


waktu pembayarannya dinyatakan dalam SKPH.
b. Hak yang diberikan selanjutnya didaftarkan di kantor pertanahan
setempat. Pendaftaran hak tersebut merupakan syarat bagi
lahimya hak dan baru dapat dilakukan setelah semua syarat yang
tercantum dalam SKPH dipenuhi.
c. Negara membebaskan diri dari pertanggungan jawab mengenai
hal-hal yang terjadi sebagai akibat pemberian hak tersebut.
d. Kelalaian terhadap pemenuhan kewajiban yang tercantum dalam
angka 1 dan 2 yang secara khusus ditegaskan dalam SKPH dapat
dijadikan alasan untuk membatalkan pemberian hak tersebut.
Setelah semua persyaratan dan kewajiban yang dinyatakan dalam
SKPH tersebut dipenuhi termasuk pendaftaran haknya, maka Kepala
Kantor Pertanahan menerbitkan dan menyerahkan sertifikat tanah yang
bersangkutan kepada pemegang haknya. Sertifikat sebagai tanda bukti
hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik
dan data yuridis yang termuat didalamnya.
Berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Muara Gembong yang
telah menguasai dan memanfaatkan tanah timbul, belum pernah ada yang
mengajukan permohonan hak atas tanah terhadap tanah timbul yang
merupakan tanah negara, walaupun Surat Edaran Menteri Negara/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293 tentang Penertiban Status
Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi yang diatur dalam angka 5,
memberikan kemungkinan bagi para pemohon hak atas tanah-tanah
timbul tersebut dapat segera diproses melalui prosedur sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.

BAB IV
STATUS PENGUASAAN TANAH TIMBUL
DI KECAMATAN MUARA GEMBONG, KABUPATEN BEKASI
38

A. Status Hukum Tanah Timbul dalam Perspektif Kitab Undang-


Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat/Kebiasaan

Sebagaimana diketahui bahwa Buku II Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata yang menyangkut tentang kebendaan sepanjang yang
mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
telah dihapuskan setelah diundangkannya UUPA.
Namun, dalam makalah ini akan diuraikan tentang persepsi BW
terkait tanah timbul, mengingat Pasal 58 UUPA yang menyatakan
“Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut
dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak
atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi
tafsiran yang sesuai dengan itu.”

Dalam pengertian umum Hak Milik dalam BW masih tetap berlaku


dalam Hukum Indonesia, yaitu sebagai pemilikan atau kepunyaan
(ownership). Adapun pengertian Hak Milik dalam Pasal 570 BW adalah:
“Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih
leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas
sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan Undang-undang
atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang
dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu
tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan
umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan.”

Selanjutnya Pasal 584 Burgelijk Wetbook dijelaskan tentang cara


memperoleh hak milik, yaitu:
39

“Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan
pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat
waktu, dengan pewarisan, baik menurut Undang-undang maupun
menurut surat wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan
berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik,
yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap
barang itu.”

Dari uraian Pasal 584 BW di atas terlihat bahwa salah satu


terjadinya hak milik yaitu dengan cara perlekatan (natrekking). Menurut
Pasal 588 BW perlekatan (natrekking) terjadi apabila suatu benda melekat
pada benda lain, sehingga kedua benda itu menjadi satu, karena benda
yang melekat telah menjadi satu dengan benda utama, maka pemilik
benda utama menjadi pemilik benda yang melekat itu. Dalam Pasal 589
BW dinyatakan bahwa:
“Pulau besar dan pulau kecil, yang terdapat di sungai yang tidak
dapat dilayari atau diseberangi dengan rakit, begitu pula beting
yang timbul dari endapan lumpur di sungai seperti itu, menjadi miik
si pemilik tanah di tepi sungai tempat tanah timbul itu terjadi. Bila
tidak berada pada salah satu dari kedua belah sungai, maka pulau
itu menjadi milik semua pemilik tanah di kedua tepi sungai dengan
garis yang menurut perkiraan ada di tengah-tengah sungai sebagai
batas.”

Selanjutnya pengertian pendamparan sebagai dimaksud dalam


Pasal 589 BW diatas dijelaskan dalam Pasal 569 BW, yang menyatakan:
“Pendamparan adalah tiap-tiap peristiwa yang berlangsung dengan
berkali-kali mendarat dan melekatnya danau lumpur pada tanah-
tanah yang letaknya berdekatan dengan sesuatu arus air, sebagai
peristiwa alam yang mengakibatkan pertumbuhan tanah pada
tempat-tempat itu, demikian lambat-laun, sehingga terluput dari
pandangan mata. Perdampingan yang demikian adalah
menguntungkan sekalian pemilik tanah di pertepian tiap-tiap
bengawan atau sungai...”

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa menurut KUHPerdata


apa yang disebut dengan tanah timbul (aanslibbing) adalah merupakan
“milik” dari orang-orang yang memiliki tanah yang berbatasan secara
langsung berdasarkan asas perlekatan (natrekking). Aturan hukum
40

sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal KUHPerdata tersebut ternyata


memiliki persamaan dengan persepsi dalam Hukum Adat.
Di mana dalam Hukum Adat (khusus menyangkut tentang tanah
timbul) juga mengenal apa yang disebut dengan perlekatan (natrekking).
Namun demikian, makna yang terkandung dalam KUHPerdata tersebut
berbeda dengan Hukum Adat/Kebiasaan.
Dalam hal ini, persamaan dan perbedaan sebagaimana dimaksud
di atas, dapat diketahui dengan menganalisis Putusan Mahkamah Agung
Nomor 3948 K/Pdt/1999 pada tanggal 24 Januari 2001, di mana dalam
Konsideran Mahkamah Agung menimbang:
“...tanah timbul atau tanah perlekatan/delta dalam hukum adat
menjadi milik pemilik tanah yang dilekati, bila terjadi secara alami,
tetapi dalam sengketa ini karena diupayakan oleh Tergugat maka
tanah tumbuh atau tanah perlekatan/ delta menjadi milik yang
mengusahakan...”

B. Status Hukum Tanah Timbul dalam Perspektif Undang-Undang


Pokok Agraria Sebagai Dasar Hukum Tanah Nasional

Secara eksplisit UUPA tidak ada menyebutkan tentang keberadaan


tanah timbul, tetapi secara implisit dari luas ruang lingkup UUPA yang
meliputi bumi, air, dan ruang angkasa sebagaimana telah diuraikan di
atas, dapatlah diketahui bahwa tanah timbul adalah merupakan
“permukaan bumi” yang tidak terlepas dari apa yang dikehendaki oleh
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Sejalan dengan itu, melalui Surat Edaran Menteri Negara/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293 tanggal 9 Mei 1996 tentang
Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi, dalam angka 3
Surat Edaran Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional
tersebut, menyebutkan:
“Tanah-tanah timbul secara alami seperti delta, tanah pantai, tepi
danau/situ, endapan tepi sungai, pulau timbul dan tanah timbul
secara alami lainnya dinyatakan sebagai tanah yang langsung
dikuasai oleh negara. Selanjutnya penguasaan/pemilikan serta
41

penggunaannya diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan


Pertanahan Nasional sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.”

Kemudian ketentuan mengenai status tanah timbul dituangkan


dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah yang menegaskan bahwa:
“Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi
di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas
sungai dikuasai langsung oleh Negara.”

Permohonan hak baru harus dilakukan karena status tanah timbul


tersebut merupakan tanah yang langsung dikuasai Negara (Tanah
Negara). Prosedur dan tata cara serta syarat dan ketentuan permohonan
hak baru dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila permohonan disetujui maka akan diterbitkan Surat Keputusan
Pemberian Hak Baru atas Tanah Timbul, untuk selanjutnya dilakukan
pendaftaran dan diterbitkan sertifikat yang baru.

C. Status Hukum Tanah Timbul Di Kecamatan Muara Gembong


Kabupaten Bekasi

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa menurut


budaya atau hukum adat/kebiasaan yang hidup dalam masyarakat di
Kecamatan Muara Gembong, hak untuk memanfaatkan tanah timbul yang
muncul karena adanya karena proses alam tersebut, diprioritaskan
kepada penduduk asli Kecamatan Muara Gembong yang berbatasan
secara langsung dengan tanah timbul sejauh 2 mil dari garis pantai.
Pola penguasaan dan pemilikan tanah timbul di Kecamatan Muara
Gembong sangat membutuhkan intensitas de facto (kesungguhan
penggunaan atau penggarapan) manusia atas tanah tersebut. Semakin
intens penggarapan, maka semakin utuh pula hubungan masyarakat
dengan tanahnya, sehingga semakin kukuh pula kekuasaan atas tanah
tersebut.
42

Pola penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul oleh masyarakat


didasarkan pada budaya masyarakat setempat yang memiliki mekanisme-
mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat (inner order
mechanism/self regulation) yang secara nyata berfungsi sebagai sarana
untuk mengatur perolehan penguasaan hak atas tanah timbul. Dalam hal
ini, penguasaan tanah timbul tersebut baru akan diakui sah
kepemilikannya setelah adanya perbuatan yang khusus oleh warga yang
bersangkutan dalam membuka dan mengerjakan tanah timbul seluas 2 Ha
tiap KK, yaitu dengan cara memberi patok tanda batas tanah. Pada saat
ini Kades Desa Pantai Bahagia membuat program 1 Ha tanah timbul
untuk tiap KK, dengan tujuan agar semua masyarakat dapat
memanfaatkan tanah timbul tersebut. Kesadaran masyarakat bahwa
tanah timbul adalah milik bersama adalah cerminan dari asas
musyawarah dan mufakat yang masih dianut oleh masyarakat.
Permohonan ijin garap atas tanah timbul di Desa Pantai Harapan
Jaya, Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Bakti, dan Desa Pantai Bahagia
dilakukan dengan cara membuat Surat Pernyataan Penguasaan/
Penggarap Tanah dengan mengetahui Ketua RT dan Ketua RW
setempat, kemudian Kantor Kepala Desa mencatat sesuai register desa
tanpa pemungutan biaya retribusi. Sebelum tahun 1990, di Desa Pantai
Sederhana guna diterbitkannya bukti tertulis oleh aparat desa setempat
terkait penguasaan tanah tersebut, dikenakan biaya retribusi guna
pemasukan ke dalam kas desa dalam rangka pembangunan desa.

BAB V

PENUTUP
43

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dan dihubungkan


dengan gambaran kasus, masalah, serta analisis yang telah dirumuskan,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Tanah timbul merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dapat dimohon dan diberikan hak atas tanah. Pada
dasarnya langkah-langkah yang dilakukan untuk memperoleh hak
atas tanah terhadap tanah timbul adalah sama dengan
permohonan hak atas Tanah Negara pada umumnya yang diatur
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan
Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara juncto Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Akan tetapi, terdapat perbedaan mengenai teknik pelaksanaan, hal
tersebut disebabkan karakteristik dari tanah timbul itu sendiri yang
mempunyai tingkat kelabilan yang tinggi.
2. Pola penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul oleh masyarakat
di Kecamatan Muara Gembong didasarkan pada budaya
masyarakat setempat yang memiliki mekanisme-mekanisme
pengaturan lokal dalam masyarakat yang secara nyata berfungsi
sebagai sarana untuk mengatur perolehan penguasaan hak atas
tanah timbul. Dalam hal ini, pemanfaatan tanah timbul
diprioritaskan kepada penduduk asli Kecamatan Muara Gembong
yang berbatasan secara langsung dengan tanah timbul sejauh 2 mil
dari garis pantai dan penguasaan tanah timbul tersebut baru akan
diakui sah kepemilikannya setelah adanya perbuatan menguasai
44

tanah secara fisik, yaitu dengan cara memberi patok tanda batas
tanah.

B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka


peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Perlu adanya pemanfaatan yang dilakukan secara optimal terhadap
tanah timbul di Kecamatan Muara Gembong, namun pemanfaatan
tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai ekologi, sehingga
keseimbangan ekosistem tetap terpelihara. Selain itu dibutuhkan
peran serta dari pemerintah untuk mengawasi peruntukan,
pengelolaan, dan pemanfaatan tanah timbul sehingga dapat
mengurangi penyalahgunaan dalam pemanfaatan tanah timbul
tersebut.
2. Efektifitas penyuluhan hukum pada masyarakat berkenaan dengan
penguasaan dan pemilikan tanah timbul, agar masyarakat yang
memiliki Surat Izin Menggarap dapat meningkatkan status tanah
garapan menjadi Sertifikat Hak Milik. Untuk itu diharapkan kepada
pihak aparat pendaftaran tanah untuk mampu meningkatkan
profesionalisme sehingga mampu membantu dan memperlancar
proses pendaftaran tanah.

DAFTAR PUSTAKA
45

I. Buku-buku

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta:
Djambatan, 1994.

Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, Yogyakarta: Liberty, 1997.

Nugroho, Heru, Menggugat Kekuasaan Negara, Surakarta:


Muhammadiyah University Press, 2001.

Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Jakarta: Prenada
Media, 2006.

------------------, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta:


Kencana, 2010.

Schmidt dan Ferguson, Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratio
for Indonesia with Western New Gurinea, Kementerian
Perhubungan, 1951.

Soejono, Abdurrahman, Prosedur Pendaftaran Tanah, Jakarta: Asdi


Mahasatya, 2003.

Soerodjo, Irawan, Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan atas Tanah


(HPL); Eksistensi, Pengaturan, dan Praktik, Yogyakarta: LaksBang
Mediatama, 2014.

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

Soimin, Soedharyo, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Jakarta: Sinar


Grafika, 2004.

Sudrajat, Jajang, Kecamatan Muara Gembong dalam Angka 2015,


Katalog, Cikarang Pusat: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi,
2015.

---------, Statistik Daerah Kecamatan Muara Gembong 2015, Katalog,


Cikarang Pusat: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, 2015.
46

Sulistriono, Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan: Kasus


Penguasaan Tanah Timbul di Muara Sungai Citandui, dalam
Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2000.

Sumardjono, Maria, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan


Budaya, Jakarta: Kompas, 2008.

Windia dan Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Denpasar: Lembaga


Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana,
2006.

Yosua, Suhanan, Hak atas Tanah Timbul (Anslibbing) dalam Sistem


Hukum Pertanahan Indonesia, Jakarta: Restu Agung, 2010.

Zein, Ramli, Hak Pengelolaan dalam Sistem Undang-Undang Pokok


Agraria, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

II. Skripsi, Tesis, dan Jurnal.

Efendi, Yuli, Kajian tentang Status Penguasaan dan Penggunaan Tanah


Timbul di Pantai Sine Desa Kalibatur Kecamatan Kalidawir
Kabupaten Tulungagung Provinsi Jawa Timur, Skripsi, Yogyakarta:
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2008.

Indria, Riza, Upaya Penyelesaian Sengketa Tanah Timbul Antara Desa


Mojo dan Desa Pesantren Kecamatan Ulujami Kabupaten
Pemalang, Skripsi, Undip: Semarang, 2003.

Pulungan, Rudiansyah, Status Penguasaan Tanah Timbul (Aanslibbing)


Di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu, Jurnal, Premise
Law Jurnal: Vol 1, No. 2, 2013.

Rofi Wahanisa dan Arif Hidayat, Penguasaan Tanah Timbul (Aanslibbing)


Sebagai Dasar Untuk Memperoleh Hak Milik Atas Tanah, Jurnal
Pandecta: Volume. III. No.1, Januari-Juni 2009).

Wicaksono, Satrio, Pelaksanaan Pemberian Hak Pengelolaan atas Tanah


dan Potensi Timbulnya Monopoli Swasta atas Usaha-usaha dalam
Bidang Agraria, Tesis, Semarang: Universitas Diponegoro, 2008.
47

III. Undang-Undang

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Kehutanan.

Peraturan Pemerintahan Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak


Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan


Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1999 tentang


Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak atas Tanah Negara.

Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata


Cara Pemberian dan Hak atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan.

Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan


Kawasan Lindung.

Surat Edaran Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor


410-1293 tanggal 9 Mei 1996 tentang Penertiban Status Tanah
Timbul dan Tanah Reklamasi.

Anda mungkin juga menyukai