Anda di halaman 1dari 27

KONFLIK HAK GUNA USAHA DI ATAS TANAH PENGELOLAAN YANG

BERASAL DARI TANAH HAK ULAYAT

Diajukan Sebagai Tugas dalam Mata Kuliah

Oleh :

Dosen Pengampu:

FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2022
ABSTRAK

Penguasaan tanah oleh negara bukan berarti dimiliki, namun sebagai penguasa
tanah, negara hanya memberikan pengaturan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat
diberikan pada tanah, peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaannya serta pengaturan
mengenai perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan hukum yang dapat dilakukan
atas tanah-tanah tersebut. Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-
hak yang serupa dengan itu”. Tulisan ini merupakan penelitian yuridis normatif, yang
akan meneliti konflik Hak Guna Usaha di atas tanah pengelolaan yang berasal dari tanah
Hak Ulayat. Faktor-faktor terjadinya konflik Hak Guna Usaha adalah adanya
ketimpangan penguasaan tanah pertanian dan terdapat kekaburan pengaturan hak guna.
Akan tetapi manakalah prosedur tersebut tidak dilakukan secara benar menurut hukum,
maka hal tersebut menjadi pemicu konfik antara pemegang hak semula dengan calon
pemegang hak guna usaha atau pemegang hak guna usaha.
Kata Kunci : Hak Ulayat, Hak Guna Usaha, Konflik
A. Pendahuluan

Masalah tanah merupakan salah satu persoalan paling pokok dalam kehidupan

manusia. Ini karena di atas tanah itulah manusia mendirikan rumah untuk tempat

tinggal, gedung untuk menjalankan usaha, ataupun menanaminya untuk memetik

hasilnya. Malahan masalah tanah makin menonjol akhir-akhir ini karena jumlah

manusia bertambah dengan pesat sedangkan luas tanah tetap seperti sediakala. Masalah

tanah sejak dahulu memang sudah merupakan masalah penting, maka dalam hukum-

hukum adat dari masyarakat-masyarakat adat di Indonesia sudah dikenal pengaturan-

pengaturan mengenai tanah. Pengaturan-pengaturan ini terkadung dalam kebiasaan-

kebiasaan setempat. Demikian pula dalam hukum-hukum adat di Indonesia sudah

dikenal adanya pengaturan mengenai pemanfaatan tanah. i

Pasal 18B Ayat (2) UUD mensyaratkan bahwa pengakuan negara terhadap

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam

undang- undang. Pasal 28I Ayat (3) juga begitu, bahwa penghormatan terhadap

identitas budaya dan hak masyarakat tradisional disyaratkan harus selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok- Pokok Agaria (UUPA) merupakan tonggak berdirinya rezim agraria baru yang

didasari oleh hukum adat atau hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat

Indonesia. Asas-asas yang dikandung dalam UUPA terkandung dalam Pasal 2 ayat (1)

yang merupakan pengejawantahan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Repbulik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) amandemen ke empat,

menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.ii

Pasal 3 UUPA mengikuti yang sama juga. Pelaksanaan hak ulayat masyarakat
hukum adat harus memenuhi syarat sepanjang menurut kenyataannya masih ada,

sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan atas persatuan bangsa,

serta tidak boleh bertentangan dengan UU peraturan-peraturan lebih tinggi. Tidak

ketinggalan Pasal 5 UUPA. Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang

angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional

dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia

serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan

perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang

bersandar pada hukum agama.

Penguasaan tanah oleh negara bukan berarti dimiliki, namun sebagai penguasa

tanah, negara hanya memberikan pengaturan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat

diberikan pada tanah, peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaannya serta pengaturan

mengenai perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan hukum yang dapat dilakukan

atas tanah-tanah tersebut. Terhitung mulai berlakunya UUPA sampai dengan era

reformasi saat ini, berbagai permasalahan tanah masih terus berlangsung. Apalagi jika

melihat situasi dan kondisi geografis tanah di Indonesia saat ini, telah terjadi ketidak

seimbangan antara permintaan akan tanah dengan tanah yang tersedia. Untuk itu

diperlukan kebijakan pemerintah yang arif dan bijaksana dalam menyelesaikan

permasalahan pertanahan ini, disamping melakukan Law Enforcement.iii

Tanah merupakan anugerah Tuhan YME yang diberikan kepada manusia

untuk dikelola, digunakan dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber kehidupan

dan penghidupan. Manusia diberikan kepercayaan untuk mengelola dan memelihara

fungsi dan kegunaan tanah, sebab manusia diciptakan sebagai mahluk yang sempurna

yang memiliki akal pikiran, sehingga Tuhan YME menundukan alam semesta ini

termasuk tanah dibawah penguasaan dan pengelolaan manusia.

Berdasarkan konsepsi hubungan antara Negara dengan tanah terdapat 3 (tiga)

entitas tanah, yaitu: (1) tanah Negara; (2) tanah ulayat; dan (3) tanah hak. Terhadap
ketiga entitas tersebut terdapat politik pertanahan yang berbeda di mana sampai dengan

saat ini kebijakan tentang pengelolaan tanah Negara masih belum terwujud. Sementara

itu kebijakan pengelolaan tanah ulayat dilakukan secara sporadis dan tidak terintegrasi

dalam satu sistem. Tanah hak, termasuk di dalamnya hak yang diberikan oleh otoritas

kehutanan dan pertambangan, penguasaan dan pengaturannya masih bersifat sektoral.

Tidak dapat dipungkiri bahwa politik pertanahan nasional tersebut masih mewarisi

politik pertanahan kolonial yang lebih mementingkan pengaturan tanah hak guna dapat

mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Perbedaannya adalah bahwa politik

pertanahan kolonial dilandasi oleh asas domein dengan segala kompleksitas dan

perdebatannya.

Bagi masyarakat hukum adat maka tanah mempunyai fungsi yang signifikan

karena tanpa tanah manusia tidak dapat hidup. Tanah ini merupakan tempat bagi

masyarakat hukum adat bertempat tinggal yang sekaligus dengan tanah itu dapat

menghidupi mereka. Oleh karena itu, diperlukan perangkat pengaturan lewat hukum

termasuk di dalamnya hukum adat. Di masa lalu ada anggapan bahwa tanah adat itu

memiliki potensi yang negatif. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa peranan tanah

adat hingga sekarang memberikan kontribusi yang positip. Dalam hal ini dapat

disebutkan bahwa eksistensi tanah adat dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat.

Akan tetapi muncul beberapa persoalan sekitar, yakni sejauhmana hak ulayat mendapat

pengakuan berkenaan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960.

Persoalan ini muncul karena Persekutuan Hukum Adat dapat memiliki tanah adalah

didasarkan atas hak ulayat yang melekat pada persekutuan hukum adat. Ini artinya

bahwa tanah adat berbasis pada hak ulayat itu. Memang dapat dikatakan bahwa ada

pengaruh antara status dan fungsi tanah adat baik yang dikuasai persekutuan hukum

adat maupun yang dikuasai oleh perorangan. Hingga saat ini dengan munculnya

dualisme dalam pengurusan persoalan tanah antara Dinas Pertanahan dengan Badan

Pertanahan Nasional (BPN) dengan Undang-Undang Agrarianya tampak tidak


dimungkinkan untuk melihat potensi dan nilai atau kearifan masyarakat lokal. Ini

disebabkan karena keberadaan BPN tidak tersentuh dengan persoalan otonomi

daerah.iv

Penyebab dari belum terwujudnya kebijakan pengelolaan tanah Negara

tersebut adalah: (a) Perbedaan persepsi tentang tanah Negara karena ketentuan tentang

tanah Negara (PP No. 8 Tahun 1953) dikeluarkan sebelum UUPA; (b) Perbedaan

persepsi antara tanah Negara dengan hutan Negara (c) tanah ulayat yang kerap

dianggap sebagai tanah Negara. Hal tersebut mengakibatkan penetapan dan

pengadministrasian tanah Negara menjadi sulit dilakukan. Dalam praktek,

pengadministrasian tanah hak lebih menonjol, sehingga identifikasi dan inventarisasi

tanah Negara menjadi terhambat.

Hasil studi yang dilakukan oleh BAPPENAS menunjukkan bahwa terdapat 3

(tiga) persoalan mendasar seputar tanah Negara, yaitu: ketidakjelasan definisi, dasar

hukum dan penanggung jawab pengelolaannya. Hal tersebut berpotensi menimbulkan

permasalahan- permasalahan yang mengganggu stabilitas sosial ekonomi, keamanan

dan kelangsungan pembangunan berkelanjutan, baik di daerah perkotaan mapun di

perdesaan. Mengingat bahwa jumlah luas areal tanah Negara (termasuk hutan)

meliputi lebih dari 75 % dari seluruh areal tanah di Indonesia, maka kompleksitas

permasalahan yang bersumber dari tanah Negara hampir mendominasi persoalan dan

konflik pertanahan di Indonesia. v

Tanah ulayat merupakan kondisi konstitutif keberadaan suatu masyarakat adat.

Perjuangan pengakuan atas tanah ulayat merupakan agenda utama gerakan masyarakat

adat di Indonesia dan dunia. Pada level internasional perjuangan itu telah sampai pada

Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of

Indegenous Peoples) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 13

September 2007. Salah satu isi dari deklarasi tersebut adalah penegasan hubungan

antara masyarakat adat dengan hak-hak tradisionalnya, termasuk tanah ulayat, sebagai
hak-hak dasar yang harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi secara universal.

Perjuangan hak masyarakat adat terutama dalam hal penguasaan ulayat

(sumber daya alam) di Indonesia acap terbentur oleh kebijakan agraria nasional dan

atau kebijakan PSDA yang sektoral, dan menggantungkan hak ulayat kepada

pengakuan negara dengan batas-batas pengakuan hak yang rinci dan jelimet. Kondisi

kebijakan tersebut di perparah lagi oleh berbagai distorsi penafsiran dan implementasi

kebijakan yang mendesak keberadaan hak ulayat oleh masyarakat adat.

Disamping negara mengakui keberadaan Hak Ulayat, negara juga mengakui

hak guna usaha. Hak Guna Usaha merupakan hak-hak baru guna memenuhi kebutuhan

masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung

oleh negara, jadi tidak terhadap tanah selain milik negara dan tidak terjadi atas suatu

perjanjian antara pemilik suatu Hak Milik dengan orang lain, Hak Guna Usaha

Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok

Agraria, Hak Guna Usaha adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan

miliknya sendiri atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan

pertanian, perikanan atau peternakan. Sedangkan menurut KUHP perdata pasal 720

Hak Guna Usaha adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan

kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban untuk

membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya,

baik berupa uang, baik berupa hasil atau pendapatan.

Beberapa masalah Hak Guna Usaha yang sering terjadi salah satunya tanah-tanah

yang diberikan Hak Guna Usaha seringkali berada di atas tanah masyarakat, jadi tumpang

tindih dengan klaim masyarakat adat, petani, dan sering kalau sudah begitu masyarakat

dikalahkan. Prioritas memberikan ke perusahaan itu mengesampingkan kenyataan bahwa

tanah-tanah itu sebagian besar sudah digarap masyarakat dan selama ini banyak

perusahaan yang memonopoli proses produksi hingga pengolahan hasil perkebunan,

pertanian, perikanan, atau peternakan di atas lahan Hak Guna Usaha. Oleh karena itu,
ketimpangan pun akhirnya muncul. Maka pembahasan dalam penelitian ini akan dibatasi

pada masalah-masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut, 1. Apa saja faktor-faktor

yang menyebabkan terjadi konflik Hak Guna Usaha? 2. Bagaimana konflik hak guna

usaha diatas tanah pengelolaan yang berasal dari tanah hak ulayat?

B. Tinjauan Pustaka

1.1. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA

Pengakuan terhadap eksistensi/keberadaan hak ulayat bagi masyarakat hukum adat dalam

kerangka hukum tanah nasional secara yuridis telah diakui sebagaimana di tuangkan alam

Pasal 3 UUPA bahwa :

”Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan pelaksanaan hak ulayat

dan hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan

kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta

tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang

lebih tinggi.”

Masih adanya hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu antara lain dapat

diketahui dari kegiatan sehari-hari Kepala Adat dan Para Tetua Adat yang dalam

kenyataannya masih di akui sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan

dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga

masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Selain mengakui, Hukum Tanah Nasional membatasi pelaksanaannya, dalam arti

pelaksanaannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan Kepentingan Nasional

dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan

dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Pengakuan

terhadap keberadaan Hak Ulayat dapat terlihat dalam hal, jika dalam usaha memperoleh

sebagian tanah ulayat untuk kepentingan pembangunan, dilakukan melalui pendekatan

dengan para penguasa adat serta warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menurut adat istiadat setempat.

Dalam rangka Hukum Tanah Nasional tugas kewenangan yang merupakan unsur

Hak Ulayat, telah menjadi tugas kewenangan Negara Republik Indonesia sebagai kuasa

dan petugas bangsa.Dalam perkembangannya, pada kenyataannya kekuatan Hak Ulayat

cenderung/melemah, dengan makin menjadi kuatnya hak pribadi para warga dan anggota

masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagian-bagian tanah ulayat yang di

kuasainya.vi

1.2. Hak Ulayat

Pengertian hak ulayat berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat

hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut

berisi wewenang dan kewajiban. Dalam pengertian “tanah dalam lingkungan wilayahnya”

itu mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat yang berkenaan dengan tanah,

termasuk segala isinya, yakni perairan tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam wilayah

yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencaharianya. Pemahaman ini penting karena

pada umumnya pembicaraan mengenai hak ulayat hanya di fokuskan pada hubungan

hukum dengan tanahnya.vii

Pengertian terhadap hak ulayat ditegaskan dalam Pasal 1 huruf (s) Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang mengatakan bahwa:

“Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum

adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup

para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air

serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “

Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat

Hukum Adat (selanjutnya disebut Permen Agraria Nomor 5 Tahun 1999) Pasal 1

memberikan pengertian bahwa:

“Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya
disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh

masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang

merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber

daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup

dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara turun temurun dan tidak

terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang

bersangkutan lahiriah dan batiniah. “viii

Menurut Boedi Harsonoix “Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan

kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak

dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan

kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Wewenang dan kewajiban

tersebut yang termasuk bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan dengan

hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga termasuk hukum publik,

berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin

peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaannya.

Hak Ulayat merupakan sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum

adatsedangkan dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dikenal dengan

nama yang berbeda-beda. Hak Ulayat adalah hak penguasaan yang tertinggi atas tanah

dalam hukum adat yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah

suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para

warganya. Hak ulayat bersifat Magis Religius artinya hak ulayat merupakan tanah milik

bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan

peninggalan nenek moyang dan para leluhur kepada masyarakat adat sebagai unsur
x
terpenting bagi kehidupan mereka sepanjang masa.

Dari penjelasan di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa hak ulayat merupakan

hak masyarakat hukum adat yang pada hakikatnya merupakan kewenangan yang di miliki

oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu untuk dapat mengambil
manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut demi

kelangsungan hidup dan kehidupan yang secara khas timbul dari hubungan secara lahiria

dan batinia, secara turun-temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat

dengan wilayahnya. Dalam hal ini, hak ulayat atas tanah menunjukan hubungan hukum

antara masyarakat hukum adat sebagai subjek hak dan sebagai objek haknya dimana

hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya adalah hubungan

menguasai.

Dalam kehidupan persekutuan hukum adat merupakan suatu kehidupan

masyarakat di dalam badan–badan persekutuan bersifat kekeluargaan. Berikut ini akan di

uraikan beberapa ciri-ciri mengenai hak ulayat masyarakat hukum adat yang di

kemukakan oleh van vollenhovenxi:

1. Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri beserta warganya yang dapat

dengan bebas mempergunakan tanah liar atau tanah yang belum di kuasai oleh

masyarakat setempat yang terletak dalam wilayahnya.

2. Hak individu di liputi juga oleh hak persekutuan

3. Orang asing (luar masyarakat hukum adat) boleh mempergunakan tanah itu

dengan izin. Penggunaan tanah tanpa izin dipandang sebagai suatu delik.

Untuk penggunaan tanah tersebut, kadang-kadang bagi warga masyarakat

dipungut recognisi, tetapi bagi orang luar masyarakat hukum adat selalu

dipungut recognisi.

4. Pemimpin persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan

menggunakan bidang-bidang tanah tertentu untuk kepentingan umum dan

terhadap tanah ini tidak diperbolehkan hak perseorangan.

1.3. Hak Guna Usaha

Ketentuan mengenai Hak Guna Usaha diatur di dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b

UUPA dan diatur secara khusus di dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA.

Ketentuan yang mengatur mengenai Hak Guna Usaha lebih lanjut terdapat di dalam Pasal
2 sampai dengan Pasal 18 PP No. 40/1996. Pasal 28 ayat (1) UUPA memberikan definisi

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh

negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 UUPA, guna

perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Dalam hal ini terdapat sedikit

perbedaan dalam PP No. 40/1996, yakni ada penambahan guna perusahaan perkebunan

dalam peraturan tersebut.

Subjek hukum Hak Guna Usaha menurut Pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 PP

No. 40/1996 adalah sebagai berikut:

1) Warga Negara Indonesia;

2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia (badan hukum Indonesia).

Pemegang hak guna usaha tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak guna usaha,

maka dalam waktu satu tahun harus melepaskan atau mengalihkan tanahnya

kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Dalam hal pemegang hak tersebut tidak

melepaskan, maka hak guna usahanya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi

tanah negara. Hak guna usaha hanya dapat diberikan di atas tanah negara. Namun tidak

menutup kemungkinan bahwa tanah tersebut tidak berasal dari tanah negara.

Apabila asal hak guna usaha berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus

dilakukan pelepasan atau penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian

ganti rugi. Dalam hal tanahnya berasal dari kawasan hutan, maka tanah tersebut harus

dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan. Hak Guna Usaha terjadi dengan adanya

permohonan pemberian hak guna usaha oleh pemohon kepada Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia. Hak Guna Usaha diberikan dengan adanya keputusan

pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberian Hak Guna Usaha

wajib didaftarkan dalam buku tanah pada kantor pertanahan. Dengan adanya

pendaftaran tersebut, maka hak guna usaha telah terjadi. Dalam penjelasan Pasal 7

PP No.40/1996 juga ditegaskan bahwa sebelum didaftarkan, maka Hak Guna


Usaha belum belum terjadi dan statusnya masih tetap tanah negara.

Menurut sifat dan tujuannya Hak Guna Usaha adalah hak yang waktu

berlakunya terbatas. Hak Guna Usaha diberikan jangka waktu paling lama tiga

puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua

puluh lima tahun.

Perpanjangan Hak Guna Usaha tersebut dapat diperpanjang atas

permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan

tujuan pemberian hak tersebut;

b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh

pemegang hak;

c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Setelah jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut telah habis, dan jangka waktu

perpanjangan pun telah berakhir, pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna

Usaha di atas tanah yang sama. Hak Guna Usaha dapat diperpanjang atas permohonan

pemegang hak, jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat,

dan tujuan pemberian hak tersebut;

b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;

c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Permohonan perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan Hak Guna Usaha

diajukan paling lambat dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha

tersebut. Perpanjangan maupun pembaharuan Hak Guna Usaha harus dicatat dalam buku

tanah dan kantor pertanahan. Ketentuan mengenai tata cara permohonan perpanjangan

atau pembaharuan hak guna usaha dan persyaratannya diatur lebih lanjut dengan

keputusan Presiden, namun hingga sekarang peraturan yang dimaksud tidak ada.

Berdasarkan Pasal 34 UUPA, Hak Guna Usaha hapus karena beberapa hal
yaitu:

a. Jangka waktunya berakhir;

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat

tidak dipenuhi;

c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

d. Dicabut untuk kepentingan umum;

e. Ditelantarkan;

f. Tanahnya musnah;

g. Ketentuan Pasal 30 ayat (2)

Menurut Pasal 17 PP No. 40/1996, Hak Guna Usaha menjadi hapus karena beberapa hal,

antara lain:

a. Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian atau

perpanjangannya;

b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir

karena tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak atau

dilanggarnya ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam keputusan

pemberian hak, dan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap;

c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka

waktunya berakhir;

d. Hak Guna Usahanya dicabut;

e. Tanahnya ditelantarkan;

f. Tanahnya musnah;

g. Pemegang Hak Guna Usaha tidak memenuhi syarat sebagai pemegang

Hak Guna Usaha.


C. Pembahasan dan Analisis

1. Konflik Hak Guna Usaha di Atas Tanah Pengelolaan yang Berasal dari Hak

Ulayat

Dalam Hukum Agraria terlebih pada pengaturannya yakni Undang-undang Hukum

Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 tidak diatur secara jelas mengenai tanah ulayat,

hanya terdapat pada Pasal 3 UUPA dimana disebutkan mengenai Hak Ulayat , itupun

tidak dengan gamblang penjelasan yang ada, “Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1

dan Pasal 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa masyarakat hukum adat,

sepanjang masih ada dalam kenyataannya, harus dilaksanakan secara selaras dengan

kepentingan nasional dan kepentingan negara. Atas dasar persatuan bangsa, tidak boleh

bertentangan dengan hukum dan ketentuan lain yang lebih tinggi, yaitu mempunyai hak

dan kewajiban masyarakat hukum adat. Sehingga perlu didalami secara mendalam perihal

hal-hal yang berkaitan dengan tanah ulayat. xii

Hak ulayat meliputi semua tanah yang berada pada lingkungan masyarakat

hukum baik yang sudah dihaki ataupun belum dengan ketidakpastian akan batas wilayah

hukum adat teritorialnya. Berbeda dengan itu Tanah Ulayat mendapat perhatian khusus

yakni dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat

Masyarakat Hukum Adat dikatakan bahwa Tanah ulayat adalah sebidang tanah yang

diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat adat tertentu. Sedangkan adapula

menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat disebutkan pula bahwasanya Tanah Ulayat Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat adalah tanah persekutuan yang berada di wilayah masyarakat

hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada. Kurang lebih memang sama namun,
dalam Peraturan Menteri terbaru terdapat kata “menurut kenyataanya masih ada” yakni

tanah ulayat tersebut dan jelas ditujukan untuk kesatuan masyarakat adat.

Secara umum penguasaan dan kepemilikan tanah oleh masyarakat hukum adat,

selain pengakuan atas keberadaan kepemilikan pribadi atas tanah, disebut juga tanah

bersama (komunal), yang biasa disebut hak ulayat atas tanah, hak ulayat atas tanah yang

terlibat dapat berupa segala bentuk perkebunan, padang rumput, pertanian, kuburan,

sungai, kolam dan hutan. Terdapat Teori Penguasaan Tanah dalam Hukum Adat

dijelaskan bahwa penggunaan tanah disini dimodifikasi oleh manusia untuk menciptakan

suatu hal dilingkungan yang terbangun seperti, lapangan, pertanian, dan pemukiman.

Dimana pembangunan itulah yang digunakan pula untuk fasilitas atau kepentingan umum

yang tidak dapat dijelaskan pengertiannya. xiii

Oleh sebab itu pengaturan dalam proses penguasaanya sendiri perlu dilakukan

analisis, mengacu pada Bab II Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak

Ulayat Masyarakat Hukum Adat mengenai proses penguasaan tanah ulayat disebutkan

jika pelaksaan hak ulayat dapat dilakukan bila masyarakat hukum adatnya masih ada dan

sesuai dengan ketentuan hukum adat setempat.

Dilanjutkan dengan syarat tidak hilangnya hak ulayat masyarakat adat apabila

terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya dan

merupakan warga negara Indonesia, kedua adanya tanah ulayat yang menjadi lingkungan

hidup masyarakat adat setempat dan yang ketiga terdapat oengaturan mengenai

pengurusan tanahnya. Jika syarat tersebut telah terpenuhi maka, proses penguasaan tanah

dapat diproses.xiv

Namun, masalah terkait kontrol yang terjadi di masyarakat adat saat ini bisa

dikatakan Pemerintah cenderung mengabaikan Perlindungan dan pengakuan hak ulayat

masyarakat adat dan ini menjadi kekhawatiran yang cukup serius. Di Indonesia sendiri

hak penguasaan bukanlah menjadi hak milik (egindom), yakni setiap tanah yang tidak
dapat dibuktikan kepemilikan sekaligus penguasaannya menjadi tanah milik Negara.

Hak Guna Usaha Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUPA, hak atas tanah yang

dimaksud dalam bunyi Pasal 4 ayat (1) diatas yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil

Hutang. Hak-hak lain yang tidak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan

undangundang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak Guna Usaha yang diatur

dalam Pasal 28 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau UUPA

ialah hak untuk menguasakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka

waktu sebagaimana disebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian,perikanan atau

peternakan.

Waktu yang diberikan untuk Hak Guna Usaha ialah 25 tahun dan dapat

diperpanjang dengan maksimal sampai 60 tahun. Berbeda dengan perusahaan yang

diberikan jangka waktu paling lama 35 tahun menurut ketentuan yang ada. Dengan begitu

pemberian HGU ialah tanah yang memang dikuasai oleh negara atau bisa juga tanah

ulayat milik masyarakat adat dengan prosedur atau tata cara sesuai perundang-undangan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 pasal 4 tentang hak guna usaha,

hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah, tanah yang dapat diberikan dengan hak

guna usaha adalah :

a. Tanah yang dapat diberikan hak guna usaha adalah tanah negara.

b. Apabila tanah yang diberikan hak guna usaha adalah tanah milik negara yang

berada dalam kawasan hutan, maka hak guna usaha dapat diberikan setelah

status kawasan hutan dari tanah yang bersangkutan dibatalkan. Pemberian hak

guna usaha atas tanah yang telah dipakai hak tertentu sesuai dengan ketentuan

yang berlaku Pelaksanaan hak guna usaha hanya dapat dilakukan setelah

pelepasan hak sebelumnya selesai sesuai dengan tata cara yang ditentukan oleh

hukum dan peraturan yang berlaku.

c. Apabila terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain di atas tanah
yang diberikan hak atas guna usaha, dan keberadaannya berdasarkan hak yang

sah, maka pemilik bangunan dan tanaman tersebut akan diberi ganti rugi dan

termasuk dalam kepemilikan hak atas guna usaha yang baru.

d. Ketentuan lain terkait lanjutan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (4), diatur dengan keputusan Presiden.

Menurut Prof Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, Hak

Guna Usaha termasuk dalam hak atas tanah yang memang jelas terdaftar namun bukan

berarti hak tersebut menjadi hak kebendaan. Pendaftaran tidak mengubah hakikat dari

Hukum Tanah Nasional yang jelas tidak terdapat penggolongan hak atas tanah dalam

golongan hak yang juga tertuang dalam Hukum Barat. Dengan adanya pendaftaran hak

atas tanah dimaksudkan untuk memberikan alat bukti yang sah terhadap hak yang

nantinya dikuasakan mengenai hubungan antara seseorang atau badan hukum dan dalam

hubungannya dengan pihak ketiga.xv

Hak Guna Usaha dapat berakhir jika, Berakhirnya batas waktu yang ditentukan

dalam keputusan hibah atau perpanjangan, Hak ini dibatalkan oleh pejabat yang

berwenang sebelum berakhirnya batas waktu karena tidak melaksanakan kewajiban

pemegang hak dan/atau melanggar ketentuan Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14 PP

40/1996; atau Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Pemegang

hak dengan sukarela mengakhiri sebelum berakhirnya batas waktu, Pencabutan sesuai

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961, Terlantar, Tanah dihancurkan, Apabila

dalam jangka waktu 1 tahun hak guna usaha tersebut tidak dilepaskan atau dialihkan oleh

karena pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat untuk dapat memiliki hak guna usaha

yakni warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum

Indonesia dan menetap di Indonesia.

Pada prakteknya hal-hal terkait pada penguasaan tanah selalu diikuti oleh adanya

klaim pengelolaan dari suatu tanah yang dikuasakan. Klaim yang dimaksudkan ialah jika

tanah tersebut termasuk dalam tanah ulayat maka yang mengelola ialah masyarakat adat
yang tinggal disekitar atau wilayah tanah yang dikuasakan termasuk pula hak tanah

diatasnya.

Perbedaan yang signifikan terjadi ketika terdapat kasus yang muncul bahwa

terjadi sengketa antara Tanah Ulayat saat Hak Guna Usaha terikat diatas tanah tersebut

dimana, seharusnya kembali ke masyarakat adat oleh sebab tanah ulayat beralih menjadi

tanah negara sehingga menimbulkan adanya sengketa pertanahan masyarakat dengan

pengelola Hak Guna Usaha yang pada saat itu bermasalah pada proses perpanjangan.

Tanah Ulayat yang disengketakan dalam perkara ini ialah milik masyarakat adat

Kalimantan Selatan dengan Hak Guna Usaha diatasnya yakni Perkebunan Sawit. Dalam

artian tanah ini memiliki makna martabat dan harga diri dari kaum adat tersebut. Hal ini

terbukti dalam perkara bahwa masyarakat telah bertahun-tahun mengelola dan menikmati

hasil dari perkebunan tersebut.

Bagaimana kelanjutannya bila diatasnya terdapat Hak Guna Usaha yang

peralihannya diberikan kepada perusahaan dan tidak kembali ke masyarakat melainkan

menjadi tanah negara, maka dari itu kesinambungan masyarakat wilayah sekitarnya

menjadi terancam.

Disisi lain hal yang terkait didalamnya tidak diikuti oleh pemahaman akan dasar-

dasar hukum yang telah ada terkait status tanah ulayat bilamana diatasnya terdapat Hak

Guna Usaha yang dapat menimbulkan perkara serius dikemudian hari. Pentingnya

mengetahui dasar hukum atas suatu tanah terutama tanah ulayat menjadi hal pertama

yang wajib diketahui oleh masyarakat bahkan Perusahaan yang ingin peralihannya

menggunakan Hak Guna Usaha.

Banyak regulasi yang ada terkait permasalahan Tanah Ulayat dengan Hak Guna

Usaha yakni Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, Undang-undang Nomor 40 Tahun

1996 dan paling terbaru yakni turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020

tentang Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 dimana

didalamnya mengatur batas akhir atau hapusnya Hak Guna Usaha yang ketiganya
memiliki perbedaan. Pertama dalam Undang- undang Nomor 5 Tahun 1960 atau UUPA

pada pasal 9 berbunyi:

(1) Hak guna usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.

(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan

hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.

(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya

jangka waktu yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini dapat diperpanjang dengan

waktu paling lama 25 tahun.

Kedua, dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1996 masa berakhir atau

hapusnya Hak Guna Usaha yakni pada Pasal 8 ayat (1) dan (2):

(1) Hak guna usaha yang diberikan dalam Pasal 6 sampai dengan 35 tahun dan

dapat diperpanjang sampai dengan 25 tahun.

(2) Setelah hak guna usaha habis dan diperpanjang sesuai dengan ayat pertama,

pemegang hak dapat memberikan pembaruan hak untuk tanah yang sama.

Sedangkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Pasal 127 diturunkan pada Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2021 Pasal 22 ayat (1):

Diberikan hak guna usaha paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun, perpanjangan paling

lama 25 (dua puluh lima) tahun, dan diperbarui paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.

Pembaruan yang ada mengakibatkan penambahan jumlah tahun dimana

maksimal sebelumnya 85 tahun, yang baru yaitu kurang lebih menjadi 95 tahun lamanya

oleh sebab adanya penambahan kata Pembaruan dalam 2 peraturan terakhir. Pada

UUPA tidak mencantumkan keterangan pembaruan masa Hak Guna Usaha apabila

haknya telah berakhir hanya saja cukup dengan diperpanjang. Faktanya dalam

pengimplementasian suatu permasalahan akan menggunakan atau merujuk pada

pembaruan di Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 yang sudah jelas pula

didalamnya menjelaskan lebih rinci dalam hal jangka waktu Hak Guna Usaha.

Pengimplementasian dalam hal ini ialah tanah ulayat yang diberikan Hak Guna Usaha
akan kembali pada masyarakat adat atau menjadi tanah negara. Tanah ulayat sendiri

dalam masyarakat adat memiliki arti penting bukan hanya sekedar tanah yang mereka

tempati sebagai tempat tinggal atau hanya tanah turun-temurun melainkan tanah sebagai

penghidupan oleh sebab mereka mendapat pengahasilan untuk keberlangsungan hidup

sebagian besar dari tanah tersebut, bila tanahnya dialihkan menjadi Hak guna usaha

maka secara otomatis tanah tersebut beralih pengelolaanya menjadi tanah yang dikuasai

oleh negara.

Pada Pasal 22 ayat (2) dan (3) Peraturan terbaru yakni Peraturan Pemerintah

nomor 18 tahun 2021 dijelaskan bahwa: (2) Setelah jangka waktu pemberian,

perpanjangan, dan pembaruan sebagaimana dimaksud pada ayat (i) berakhir, Tanah hak

guna usaha kembali menjadi Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara atau tanah

Hak Pengelolaan. Dengan maksud bahwa setelah masa hak guna usaha berakhir yakni

35 tahun dapat diperpanjang dan diperbarui masing-masing 25 tahun serta 35 tahun

dengan total jangka waktu yang diberikan 95 tahun.

Setelah itu jika tidak adanya pengelolaan lebih lanjut pada tanah ulayat tersebut

atau bahkan terlantar maka akan beralih menjadi tanah negara karena dikhawatirkan

akan menimbulkan kerugian seperti kasus yang terjadi di Jawa Barat bahwa terdapat

tanah hak guna usaha yang telah berakhir namun, tetap dikuasai oleh pihak swasta dan

merugikan masyarakat terutama petani yang sebelumnya mengelola tanah tersebut serta

masalah-masalah lain yang akan timbul dikemudian hari tanpa ada kejelasan yang pasti

terkait lahan Hak Guna Usaha yang telah berakhir.

Kemudian diperjelas kembali pada ayat (3), (3) Tanah yang Dikuasai Langsung

oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penataan kembali penggunaan,

pernanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri dan dapat diberikan prioritas

kepada bekas pemegang hak dengan memperhatikan tanahnya masih diusahakan dan

dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak,

syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak, pemegang hak
masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, tanahnya masih sesuai dengan rencana

tata ruang, tidak dipergunakan cian/atau direncanakan untuk kepentingan umum,

sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan keadaan Tanah dan masyarakat sekitar.

Dengan begitu menurut penjelasan diatas, tanah yang masih aktif dikelola atau

dimanfaatkan oleh masyarakat tidak dapat beralih menjadi tanah negara kecuali tanah

tersebut hapus karena jangka waktu habis, terlantar dan tidak produktif, digunakan

untuk kepentingan umum,musnah atau hilang oleh sebab bencana alam serta yang

terakhir kembali pada pemiliknya. Berdasarkan pada peraturan diatas ialah jika tanah

yang semula merupakan tanah ulayat masyarakat adat maka, akan beralih menjadi tanah

negara.

Pengertian tanah ulayat tidak ditemukan dalam UUPA namun dapat ditemukan

dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman penyelesaian masalah hak ulayat dalam

masyarakat hukum adat, yang menjelaskan tanah ulayat adalah tanah yang hak

ulayatnya (pengelolaan) dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Sedangkan masyarakat

hukum adat adalah sekumpulan orang yang terikat oleh tatanan hukum adat didaerah

tertentu, sebagai rakyat bersama dari kesamaan hukum, karena tempat tinggal

yang dekat atau berdasarkan keturunan. Dengan keluarnya Peraturan Nomor 5 Tahun

1999 adalah sebagai bukti adanya pengaturan lebih lanjut terkait tanah dan juga hak

ulayat masyarakat adat. xvi

Jika menilik dari pasal yang mengatur Hak Guna Usaha dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 secara jelas maka, status hak guna usaha atas tanah

ulayat dari masyarakat hukum adat setelah berakhirnya jangka waktu atau hak guna

usaha dicabut menurut hukum, tanah yang dibebaskan akan dikembalikan atau beralih

menjadi tanah negara. Dengan begitu, merujuk pada substansinya pula, yang berarti

sama halnya dengan UUPA dan Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996 yakni tanah

hak guna usaha yang telah berakhir jangka waktunya kembali menjadi tanah negara
dengan catatan yang telah dijelaskan diatas namun dengan adanya perbedaan pada

perpanjangan total jangka waktu yakni 95 tahun atau lebih lama 10 tahun dari

pengaturan sebelumnya.

2. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Hak Guna Usaha

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab maraknya konflik penguasaan tanah

HGU yang berupa perkebunan akhir-akhir ini, yaitu:xvii

a. Ketimpangan Penguasaan Tanah Pertanian.

Secara umum yang menjadi penyebab utama konflik penguasaan tanah adalah

karena semakin dalamnya ketimpangan penguasaan tanah pertanian Pada satu sisi petani

yang memang mata pencaharian pokoknya hidup dari usaha pertanian hanya memiliki

tanah yang sangat sempit (petani gurem) atau bahkan tidak.

b. Terdapat Kekaburan Pengaturan Hak Guna

Usaha Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang

25 tahun lagi. Untuk tanaman tertentu seperti tanaman keras seperti kelapa sawit Hak

Guna Usaha dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat

diperpanjang 25 tahun lagi. Peruntukkan Hak Guna Usaha digunakan untuk keperluan

perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan dan perkebunan.

Berkaitan dengan obyek hak guna usaha, dalam Pasal 28 ayat (1) UUPA disebutkan

bahwa hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan "tanah yang dikuasai langsung

oleh Negara". Selanjutnya dalam Pasal 4 PPNo. 40 Tahun 1996 disebutkan kembali

bahwa: Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara:

(1) Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu adalah

tanah Negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak

Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan

dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan.

(2) Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang telah dikuasai dengan hak
tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan Hak Guna

Usaha tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannya

pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dalam hal di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu

terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang

keberadaannya berdasarkan alas hak yang sah, pemilik bangunan dan

tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan pada pemegang

Hak Guna Usaha baru.

Dari bunyi ketentuan tersebut di atas sangat jelas bahwa pada asasnya yang

menjadi obyek hak guna usaha adalah tanah negara bebas atau tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara. Dari bunyi ketentuan mengandung makna bahwa hak guna usaha

tidak boleh didirikan atas tanah Negara tidak bebas atau atas tanah hak, dalam arti

terhadap tanah yang diatasnya telah terdapat kewenangan-kewenangan tidak boleh

dijadikan obyek hak guna usaha, terlepas apakah haknya tersebut terdaftar atau belum

terdaftar. Persoalannya adalah bagaimana jika obyek hak guna usaha tersebut bukan tanah

negara bebas, dalam arti terpaksa menggunakan tanah yang sudah ada haknya.xviii

Terhadap hal yang demikian maka tanah hak tersebut harus dijadikan tanah

negara bebas terlebih dahulu, kemudian setelah tanah tersebut berada dalam penguaasaan

langsung oleh negara baru bisa dijadikan sebagai obyek Hak Guna Usaha. Hal ini sejalan

dengan ketentuan bunyi Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996,

yang antara lain menyatakan bahwa pemberian hak guna usaha atas tanah yang telah

dikuasai dengan hak tertentu, hak guna usaha baru dapat dilaksnakan setelah

terselesaikannya pelepasan haknya menurut ketentuan yang berlaku, Secara yuridis

konseptual persoalan yang berkaitan dengan obyek hak guna usaha yang berasal dari

tanah hak sepertinya tidak mengalami persoalan dan dibenarkan secara hukum sepanjang

proses pelepasan hak atas tanah tersebut didasarkan pada peraturan yang berlaku.
Akan tetapi manakalah prosedur tersebut tidak dilakukan secara benar menurut

hukum, maka hal tersebut menjadi pemicu konfik antara pemegang hak semula dengan

calon pemegang hak guna usaha atau pemegang hak guna usaha. Pengalaman di beberapa

daerah yang menjadi penyebab konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan

yang menggunakan fasilitas Hak Guna Usaha salah satunya disebabkan karena masalah

sengketa kepemilikan hak atas tanah tersebut, terutama berkaitan dengan ganti kerugian

atas tanah dan tanam tumbuh atas tanah yang dilepaskan haknya pada masa-masa yang

lalu.

D. Kesimpulan

1. Adanya perubahan regulasi dimana pengaturan tanah ulayat maupun Hak Guna

Usaha tidak dijelaskan secara jelas dan terperinci menyebabkan perbedaan

persepsi atau pendapat mengingat bentuk penafsiran setiap individu berbeda.

Terlebih persepsi tersebut pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi pihak

tertentu baik persengketaan atau masalah lain. Bukan tidak mungkin pasti

terdapat salah satu pihak yang dirugikan akibat pengambilan kebijakan atas suatu

pengaturan dimana tidak dipertimbangkan dengan baik atau secara tidak

langsung dengan tidak memperhatikan aspek-aspek terkait didalamnya. Oleh

karena itu penyeragaman penafsiran diperlukan untuk menciptakan suatu hasil

yang seragam pula. Dalam hal ini tanah ulayat yang beralih fungsi menjadi tanah

atas Hak Guna Usaha baik untuk kepentingan swasta maupun umum dapat

menimbulkan perkara pada akhirnya bila ketentuan atau pengaturan yang ada

tidak mengatur dengan jelas terlebih atas pembaruan-pembaruan yang ada dan

cukup dinamis. Menurut peraturan sebelumnya yakni pada UUPA dan PP No 40

tahun 1996 menyebutkan bahwa setelah Hak Guna Usaha berakhir maka,tanah

tersebutberalih menjadi tanah negara. Sama halnya dengan isi atau substansi

dalam Peraturan terbaru yakni turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja


Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 yang didalamnya terdapat pasal

terkait pengaturan Hak Guna Usaha secara jelas tidak banyak yang berubah yaitu

status tanah ulayat yang juga akan beralih menjadi tanah negara.

2. Faktor-faktor terjadinya konflik Hak Guna Usaha adalah adanya ketimpangan

penguasaan tanah pertanian dan terdapat kekaburan pengaturan hak guna. Akan

tetapi manakalah prosedur tersebut tidak dilakukan secara benar menurut hukum,

maka hal tersebut menjadi pemicu konfik antara pemegang hak semula dengan

calon pemegang hak guna usaha atau pemegang hak guna usaha.

Daftar Bacaan :
i
Sihombing, B. F. 2004. Pergeseran Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Pemerintah Dan Swasta (Studi Kasus Pengaturan Pemilikan, Penguasaan Tanah Di Provinsi DKI
Jakarta), Universitas Indonesia, hlm. 26
ii
Bachriadi, Dianto, 2012, Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal: Perjuangan Hak
Atas Tanah Di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, hlm.150
iii
Suryadi, Agus Santoso, 2003, Asas Kepastian Hukum Dan Asas Keadilan Dalam
Pemungutan Pajak-Pajak Atas Pengalihan Hak-Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan, Universitas
Indonesia, hlm. 45
iv
Op.Cit, Sihombing, hlm. 53
v
Ibid, hlm. 21
vi
G.Kertasapoetra, A.Setiadi, 1985, Hukum Tanah Jaminan Undang-Undang Pokok
Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, PT.Bina Aksara, Jakarta, hlm. 88
vii
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Presfektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Kompas, Jakarta, 2009.hlm. 170
viii
Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
ix
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm.185
x
Boedi Haarsono, 2002, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dan Hubungan
Dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001, Universitas Trisakti, hlm.227
xi
Urif Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, PT. Kharisma Putra Utama,
Jakarta, hlm.82
xii
Abby, F.Achmadi, Ifrani. 2016. “Laporan Hasil Akhir Penelitian Sengketa Pertanahan
Hak Masyarakat Adat Dengan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Sawit Di Kalimantan Selatan
Tim Pengusul Ketua”, hlm. 12
xiii
Jasimr, 2018, “Pengembalian Status Hukum Tanah Ulayat Atas Hak Guna Usaha”,
Soumatera Law Review 1, hlm.92
xiv
Op.Cit, Abby F Achmadi
xv
Boedi Harsono, 2016, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta,
hlm. 92
xvi
Tamarine Camalia, 2021, Status Tanah Ulayat Atas Hak Guna Usaha Yang Telah
Berakhir, Jurnal De Lega Lata, Vol.6, Juli-Desember 2021, hlm. 1-10
xvii
Mukmin Zakie, 2021, Hak Guna Usaha dan Problematika di Indonesia, Prosiding
Seminar Nasional Hukum Perdata, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 57-60
xviii
Ibid

Anda mungkin juga menyukai