Oleh :
Dosen Pengampu:
FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2022
ABSTRAK
Penguasaan tanah oleh negara bukan berarti dimiliki, namun sebagai penguasa
tanah, negara hanya memberikan pengaturan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat
diberikan pada tanah, peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaannya serta pengaturan
mengenai perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan hukum yang dapat dilakukan
atas tanah-tanah tersebut. Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-
hak yang serupa dengan itu”. Tulisan ini merupakan penelitian yuridis normatif, yang
akan meneliti konflik Hak Guna Usaha di atas tanah pengelolaan yang berasal dari tanah
Hak Ulayat. Faktor-faktor terjadinya konflik Hak Guna Usaha adalah adanya
ketimpangan penguasaan tanah pertanian dan terdapat kekaburan pengaturan hak guna.
Akan tetapi manakalah prosedur tersebut tidak dilakukan secara benar menurut hukum,
maka hal tersebut menjadi pemicu konfik antara pemegang hak semula dengan calon
pemegang hak guna usaha atau pemegang hak guna usaha.
Kata Kunci : Hak Ulayat, Hak Guna Usaha, Konflik
A. Pendahuluan
Masalah tanah merupakan salah satu persoalan paling pokok dalam kehidupan
manusia. Ini karena di atas tanah itulah manusia mendirikan rumah untuk tempat
hasilnya. Malahan masalah tanah makin menonjol akhir-akhir ini karena jumlah
manusia bertambah dengan pesat sedangkan luas tanah tetap seperti sediakala. Masalah
tanah sejak dahulu memang sudah merupakan masalah penting, maka dalam hukum-
Pasal 18B Ayat (2) UUD mensyaratkan bahwa pengakuan negara terhadap
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam
undang- undang. Pasal 28I Ayat (3) juga begitu, bahwa penghormatan terhadap
identitas budaya dan hak masyarakat tradisional disyaratkan harus selaras dengan
Pokok- Pokok Agaria (UUPA) merupakan tonggak berdirinya rezim agraria baru yang
didasari oleh hukum adat atau hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia. Asas-asas yang dikandung dalam UUPA terkandung dalam Pasal 2 ayat (1)
menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
Pasal 3 UUPA mengikuti yang sama juga. Pelaksanaan hak ulayat masyarakat
hukum adat harus memenuhi syarat sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan atas persatuan bangsa,
ketinggalan Pasal 5 UUPA. Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan
Penguasaan tanah oleh negara bukan berarti dimiliki, namun sebagai penguasa
tanah, negara hanya memberikan pengaturan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat
atas tanah-tanah tersebut. Terhitung mulai berlakunya UUPA sampai dengan era
reformasi saat ini, berbagai permasalahan tanah masih terus berlangsung. Apalagi jika
melihat situasi dan kondisi geografis tanah di Indonesia saat ini, telah terjadi ketidak
seimbangan antara permintaan akan tanah dengan tanah yang tersedia. Untuk itu
fungsi dan kegunaan tanah, sebab manusia diciptakan sebagai mahluk yang sempurna
yang memiliki akal pikiran, sehingga Tuhan YME menundukan alam semesta ini
entitas tanah, yaitu: (1) tanah Negara; (2) tanah ulayat; dan (3) tanah hak. Terhadap
ketiga entitas tersebut terdapat politik pertanahan yang berbeda di mana sampai dengan
saat ini kebijakan tentang pengelolaan tanah Negara masih belum terwujud. Sementara
itu kebijakan pengelolaan tanah ulayat dilakukan secara sporadis dan tidak terintegrasi
dalam satu sistem. Tanah hak, termasuk di dalamnya hak yang diberikan oleh otoritas
Tidak dapat dipungkiri bahwa politik pertanahan nasional tersebut masih mewarisi
politik pertanahan kolonial yang lebih mementingkan pengaturan tanah hak guna dapat
pertanahan kolonial dilandasi oleh asas domein dengan segala kompleksitas dan
perdebatannya.
Bagi masyarakat hukum adat maka tanah mempunyai fungsi yang signifikan
karena tanpa tanah manusia tidak dapat hidup. Tanah ini merupakan tempat bagi
masyarakat hukum adat bertempat tinggal yang sekaligus dengan tanah itu dapat
menghidupi mereka. Oleh karena itu, diperlukan perangkat pengaturan lewat hukum
termasuk di dalamnya hukum adat. Di masa lalu ada anggapan bahwa tanah adat itu
memiliki potensi yang negatif. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa peranan tanah
adat hingga sekarang memberikan kontribusi yang positip. Dalam hal ini dapat
Akan tetapi muncul beberapa persoalan sekitar, yakni sejauhmana hak ulayat mendapat
Persoalan ini muncul karena Persekutuan Hukum Adat dapat memiliki tanah adalah
didasarkan atas hak ulayat yang melekat pada persekutuan hukum adat. Ini artinya
bahwa tanah adat berbasis pada hak ulayat itu. Memang dapat dikatakan bahwa ada
pengaruh antara status dan fungsi tanah adat baik yang dikuasai persekutuan hukum
adat maupun yang dikuasai oleh perorangan. Hingga saat ini dengan munculnya
dualisme dalam pengurusan persoalan tanah antara Dinas Pertanahan dengan Badan
daerah.iv
tersebut adalah: (a) Perbedaan persepsi tentang tanah Negara karena ketentuan tentang
tanah Negara (PP No. 8 Tahun 1953) dikeluarkan sebelum UUPA; (b) Perbedaan
persepsi antara tanah Negara dengan hutan Negara (c) tanah ulayat yang kerap
(tiga) persoalan mendasar seputar tanah Negara, yaitu: ketidakjelasan definisi, dasar
perdesaan. Mengingat bahwa jumlah luas areal tanah Negara (termasuk hutan)
meliputi lebih dari 75 % dari seluruh areal tanah di Indonesia, maka kompleksitas
permasalahan yang bersumber dari tanah Negara hampir mendominasi persoalan dan
Perjuangan pengakuan atas tanah ulayat merupakan agenda utama gerakan masyarakat
adat di Indonesia dan dunia. Pada level internasional perjuangan itu telah sampai pada
Indegenous Peoples) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 13
September 2007. Salah satu isi dari deklarasi tersebut adalah penegasan hubungan
antara masyarakat adat dengan hak-hak tradisionalnya, termasuk tanah ulayat, sebagai
hak-hak dasar yang harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi secara universal.
(sumber daya alam) di Indonesia acap terbentur oleh kebijakan agraria nasional dan
atau kebijakan PSDA yang sektoral, dan menggantungkan hak ulayat kepada
pengakuan negara dengan batas-batas pengakuan hak yang rinci dan jelimet. Kondisi
kebijakan tersebut di perparah lagi oleh berbagai distorsi penafsiran dan implementasi
hak guna usaha. Hak Guna Usaha merupakan hak-hak baru guna memenuhi kebutuhan
masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung
oleh negara, jadi tidak terhadap tanah selain milik negara dan tidak terjadi atas suatu
perjanjian antara pemilik suatu Hak Milik dengan orang lain, Hak Guna Usaha
Agraria, Hak Guna Usaha adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan
miliknya sendiri atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan. Sedangkan menurut KUHP perdata pasal 720
Hak Guna Usaha adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan
kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban untuk
Beberapa masalah Hak Guna Usaha yang sering terjadi salah satunya tanah-tanah
yang diberikan Hak Guna Usaha seringkali berada di atas tanah masyarakat, jadi tumpang
tindih dengan klaim masyarakat adat, petani, dan sering kalau sudah begitu masyarakat
tanah-tanah itu sebagian besar sudah digarap masyarakat dan selama ini banyak
pertanian, perikanan, atau peternakan di atas lahan Hak Guna Usaha. Oleh karena itu,
ketimpangan pun akhirnya muncul. Maka pembahasan dalam penelitian ini akan dibatasi
pada masalah-masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut, 1. Apa saja faktor-faktor
yang menyebabkan terjadi konflik Hak Guna Usaha? 2. Bagaimana konflik hak guna
usaha diatas tanah pengelolaan yang berasal dari tanah hak ulayat?
B. Tinjauan Pustaka
Pengakuan terhadap eksistensi/keberadaan hak ulayat bagi masyarakat hukum adat dalam
kerangka hukum tanah nasional secara yuridis telah diakui sebagaimana di tuangkan alam
dan hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
lebih tinggi.”
Masih adanya hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu antara lain dapat
diketahui dari kegiatan sehari-hari Kepala Adat dan Para Tetua Adat yang dalam
dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
terhadap keberadaan Hak Ulayat dapat terlihat dalam hal, jika dalam usaha memperoleh
dengan para penguasa adat serta warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menurut adat istiadat setempat.
Dalam rangka Hukum Tanah Nasional tugas kewenangan yang merupakan unsur
Hak Ulayat, telah menjadi tugas kewenangan Negara Republik Indonesia sebagai kuasa
cenderung/melemah, dengan makin menjadi kuatnya hak pribadi para warga dan anggota
masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagian-bagian tanah ulayat yang di
kuasainya.vi
hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut
berisi wewenang dan kewajiban. Dalam pengertian “tanah dalam lingkungan wilayahnya”
itu mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat yang berkenaan dengan tanah,
termasuk segala isinya, yakni perairan tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam wilayah
yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencaharianya. Pemahaman ini penting karena
pada umumnya pembicaraan mengenai hak ulayat hanya di fokuskan pada hubungan
Pengertian terhadap hak ulayat ditegaskan dalam Pasal 1 huruf (s) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang mengatakan bahwa:
“Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup
para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat (selanjutnya disebut Permen Agraria Nomor 5 Tahun 1999) Pasal 1
“Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya
disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup
dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara turun temurun dan tidak
kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak
tersebut yang termasuk bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan dengan
hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga termasuk hukum publik,
nama yang berbeda-beda. Hak Ulayat adalah hak penguasaan yang tertinggi atas tanah
dalam hukum adat yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah
suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para
warganya. Hak ulayat bersifat Magis Religius artinya hak ulayat merupakan tanah milik
bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan
peninggalan nenek moyang dan para leluhur kepada masyarakat adat sebagai unsur
x
terpenting bagi kehidupan mereka sepanjang masa.
Dari penjelasan di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa hak ulayat merupakan
hak masyarakat hukum adat yang pada hakikatnya merupakan kewenangan yang di miliki
oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu untuk dapat mengambil
manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut demi
kelangsungan hidup dan kehidupan yang secara khas timbul dari hubungan secara lahiria
dan batinia, secara turun-temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
dengan wilayahnya. Dalam hal ini, hak ulayat atas tanah menunjukan hubungan hukum
antara masyarakat hukum adat sebagai subjek hak dan sebagai objek haknya dimana
hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya adalah hubungan
menguasai.
uraikan beberapa ciri-ciri mengenai hak ulayat masyarakat hukum adat yang di
1. Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri beserta warganya yang dapat
dengan bebas mempergunakan tanah liar atau tanah yang belum di kuasai oleh
3. Orang asing (luar masyarakat hukum adat) boleh mempergunakan tanah itu
dengan izin. Penggunaan tanah tanpa izin dipandang sebagai suatu delik.
dipungut recognisi, tetapi bagi orang luar masyarakat hukum adat selalu
dipungut recognisi.
Ketentuan mengenai Hak Guna Usaha diatur di dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b
UUPA dan diatur secara khusus di dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA.
Ketentuan yang mengatur mengenai Hak Guna Usaha lebih lanjut terdapat di dalam Pasal
2 sampai dengan Pasal 18 PP No. 40/1996. Pasal 28 ayat (1) UUPA memberikan definisi
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 UUPA, guna
perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Dalam hal ini terdapat sedikit
perbedaan dalam PP No. 40/1996, yakni ada penambahan guna perusahaan perkebunan
Subjek hukum Hak Guna Usaha menurut Pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 PP
Pemegang hak guna usaha tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak guna usaha,
maka dalam waktu satu tahun harus melepaskan atau mengalihkan tanahnya
kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Dalam hal pemegang hak tersebut tidak
melepaskan, maka hak guna usahanya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi
tanah negara. Hak guna usaha hanya dapat diberikan di atas tanah negara. Namun tidak
menutup kemungkinan bahwa tanah tersebut tidak berasal dari tanah negara.
Apabila asal hak guna usaha berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus
dilakukan pelepasan atau penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian
ganti rugi. Dalam hal tanahnya berasal dari kawasan hutan, maka tanah tersebut harus
dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan. Hak Guna Usaha terjadi dengan adanya
permohonan pemberian hak guna usaha oleh pemohon kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia. Hak Guna Usaha diberikan dengan adanya keputusan
pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberian Hak Guna Usaha
wajib didaftarkan dalam buku tanah pada kantor pertanahan. Dengan adanya
pendaftaran tersebut, maka hak guna usaha telah terjadi. Dalam penjelasan Pasal 7
Menurut sifat dan tujuannya Hak Guna Usaha adalah hak yang waktu
berlakunya terbatas. Hak Guna Usaha diberikan jangka waktu paling lama tiga
puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua
a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan
pemegang hak;
Setelah jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut telah habis, dan jangka waktu
perpanjangan pun telah berakhir, pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna
Usaha di atas tanah yang sama. Hak Guna Usaha dapat diperpanjang atas permohonan
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
diajukan paling lambat dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha
tersebut. Perpanjangan maupun pembaharuan Hak Guna Usaha harus dicatat dalam buku
tanah dan kantor pertanahan. Ketentuan mengenai tata cara permohonan perpanjangan
atau pembaharuan hak guna usaha dan persyaratannya diatur lebih lanjut dengan
keputusan Presiden, namun hingga sekarang peraturan yang dimaksud tidak ada.
Berdasarkan Pasal 34 UUPA, Hak Guna Usaha hapus karena beberapa hal
yaitu:
tidak dipenuhi;
e. Ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
Menurut Pasal 17 PP No. 40/1996, Hak Guna Usaha menjadi hapus karena beberapa hal,
antara lain:
perpanjangannya;
waktunya berakhir;
e. Tanahnya ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
1. Konflik Hak Guna Usaha di Atas Tanah Pengelolaan yang Berasal dari Hak
Ulayat
Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 tidak diatur secara jelas mengenai tanah ulayat,
hanya terdapat pada Pasal 3 UUPA dimana disebutkan mengenai Hak Ulayat , itupun
tidak dengan gamblang penjelasan yang ada, “Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1
dan Pasal 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa masyarakat hukum adat,
sepanjang masih ada dalam kenyataannya, harus dilaksanakan secara selaras dengan
kepentingan nasional dan kepentingan negara. Atas dasar persatuan bangsa, tidak boleh
bertentangan dengan hukum dan ketentuan lain yang lebih tinggi, yaitu mempunyai hak
dan kewajiban masyarakat hukum adat. Sehingga perlu didalami secara mendalam perihal
Hak ulayat meliputi semua tanah yang berada pada lingkungan masyarakat
hukum baik yang sudah dihaki ataupun belum dengan ketidakpastian akan batas wilayah
hukum adat teritorialnya. Berbeda dengan itu Tanah Ulayat mendapat perhatian khusus
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat dikatakan bahwa Tanah ulayat adalah sebidang tanah yang
diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat adat tertentu. Sedangkan adapula
Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat adalah tanah persekutuan yang berada di wilayah masyarakat
hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada. Kurang lebih memang sama namun,
dalam Peraturan Menteri terbaru terdapat kata “menurut kenyataanya masih ada” yakni
tanah ulayat tersebut dan jelas ditujukan untuk kesatuan masyarakat adat.
Secara umum penguasaan dan kepemilikan tanah oleh masyarakat hukum adat,
selain pengakuan atas keberadaan kepemilikan pribadi atas tanah, disebut juga tanah
bersama (komunal), yang biasa disebut hak ulayat atas tanah, hak ulayat atas tanah yang
terlibat dapat berupa segala bentuk perkebunan, padang rumput, pertanian, kuburan,
sungai, kolam dan hutan. Terdapat Teori Penguasaan Tanah dalam Hukum Adat
dijelaskan bahwa penggunaan tanah disini dimodifikasi oleh manusia untuk menciptakan
suatu hal dilingkungan yang terbangun seperti, lapangan, pertanian, dan pemukiman.
Dimana pembangunan itulah yang digunakan pula untuk fasilitas atau kepentingan umum
Oleh sebab itu pengaturan dalam proses penguasaanya sendiri perlu dilakukan
analisis, mengacu pada Bab II Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat mengenai proses penguasaan tanah ulayat disebutkan
jika pelaksaan hak ulayat dapat dilakukan bila masyarakat hukum adatnya masih ada dan
Dilanjutkan dengan syarat tidak hilangnya hak ulayat masyarakat adat apabila
terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya dan
merupakan warga negara Indonesia, kedua adanya tanah ulayat yang menjadi lingkungan
hidup masyarakat adat setempat dan yang ketiga terdapat oengaturan mengenai
pengurusan tanahnya. Jika syarat tersebut telah terpenuhi maka, proses penguasaan tanah
dapat diproses.xiv
Namun, masalah terkait kontrol yang terjadi di masyarakat adat saat ini bisa
masyarakat adat dan ini menjadi kekhawatiran yang cukup serius. Di Indonesia sendiri
hak penguasaan bukanlah menjadi hak milik (egindom), yakni setiap tanah yang tidak
dapat dibuktikan kepemilikan sekaligus penguasaannya menjadi tanah milik Negara.
Hak Guna Usaha Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUPA, hak atas tanah yang
dimaksud dalam bunyi Pasal 4 ayat (1) diatas yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil
Hutang. Hak-hak lain yang tidak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan
undangundang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak Guna Usaha yang diatur
dalam Pasal 28 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau UUPA
ialah hak untuk menguasakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka
waktu sebagaimana disebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian,perikanan atau
peternakan.
Waktu yang diberikan untuk Hak Guna Usaha ialah 25 tahun dan dapat
diberikan jangka waktu paling lama 35 tahun menurut ketentuan yang ada. Dengan begitu
pemberian HGU ialah tanah yang memang dikuasai oleh negara atau bisa juga tanah
ulayat milik masyarakat adat dengan prosedur atau tata cara sesuai perundang-undangan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 pasal 4 tentang hak guna usaha,
hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah, tanah yang dapat diberikan dengan hak
a. Tanah yang dapat diberikan hak guna usaha adalah tanah negara.
b. Apabila tanah yang diberikan hak guna usaha adalah tanah milik negara yang
berada dalam kawasan hutan, maka hak guna usaha dapat diberikan setelah
status kawasan hutan dari tanah yang bersangkutan dibatalkan. Pemberian hak
guna usaha atas tanah yang telah dipakai hak tertentu sesuai dengan ketentuan
yang berlaku Pelaksanaan hak guna usaha hanya dapat dilakukan setelah
pelepasan hak sebelumnya selesai sesuai dengan tata cara yang ditentukan oleh
c. Apabila terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain di atas tanah
yang diberikan hak atas guna usaha, dan keberadaannya berdasarkan hak yang
sah, maka pemilik bangunan dan tanaman tersebut akan diberi ganti rugi dan
Menurut Prof Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, Hak
Guna Usaha termasuk dalam hak atas tanah yang memang jelas terdaftar namun bukan
berarti hak tersebut menjadi hak kebendaan. Pendaftaran tidak mengubah hakikat dari
Hukum Tanah Nasional yang jelas tidak terdapat penggolongan hak atas tanah dalam
golongan hak yang juga tertuang dalam Hukum Barat. Dengan adanya pendaftaran hak
atas tanah dimaksudkan untuk memberikan alat bukti yang sah terhadap hak yang
nantinya dikuasakan mengenai hubungan antara seseorang atau badan hukum dan dalam
Hak Guna Usaha dapat berakhir jika, Berakhirnya batas waktu yang ditentukan
dalam keputusan hibah atau perpanjangan, Hak ini dibatalkan oleh pejabat yang
pemegang hak dan/atau melanggar ketentuan Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14 PP
40/1996; atau Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Pemegang
hak dengan sukarela mengakhiri sebelum berakhirnya batas waktu, Pencabutan sesuai
dalam jangka waktu 1 tahun hak guna usaha tersebut tidak dilepaskan atau dialihkan oleh
karena pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat untuk dapat memiliki hak guna usaha
yakni warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
Pada prakteknya hal-hal terkait pada penguasaan tanah selalu diikuti oleh adanya
klaim pengelolaan dari suatu tanah yang dikuasakan. Klaim yang dimaksudkan ialah jika
tanah tersebut termasuk dalam tanah ulayat maka yang mengelola ialah masyarakat adat
yang tinggal disekitar atau wilayah tanah yang dikuasakan termasuk pula hak tanah
diatasnya.
Perbedaan yang signifikan terjadi ketika terdapat kasus yang muncul bahwa
terjadi sengketa antara Tanah Ulayat saat Hak Guna Usaha terikat diatas tanah tersebut
dimana, seharusnya kembali ke masyarakat adat oleh sebab tanah ulayat beralih menjadi
pengelola Hak Guna Usaha yang pada saat itu bermasalah pada proses perpanjangan.
Tanah Ulayat yang disengketakan dalam perkara ini ialah milik masyarakat adat
Kalimantan Selatan dengan Hak Guna Usaha diatasnya yakni Perkebunan Sawit. Dalam
artian tanah ini memiliki makna martabat dan harga diri dari kaum adat tersebut. Hal ini
terbukti dalam perkara bahwa masyarakat telah bertahun-tahun mengelola dan menikmati
menjadi tanah negara, maka dari itu kesinambungan masyarakat wilayah sekitarnya
menjadi terancam.
Disisi lain hal yang terkait didalamnya tidak diikuti oleh pemahaman akan dasar-
dasar hukum yang telah ada terkait status tanah ulayat bilamana diatasnya terdapat Hak
Guna Usaha yang dapat menimbulkan perkara serius dikemudian hari. Pentingnya
mengetahui dasar hukum atas suatu tanah terutama tanah ulayat menjadi hal pertama
yang wajib diketahui oleh masyarakat bahkan Perusahaan yang ingin peralihannya
Banyak regulasi yang ada terkait permasalahan Tanah Ulayat dengan Hak Guna
1996 dan paling terbaru yakni turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 dimana
didalamnya mengatur batas akhir atau hapusnya Hak Guna Usaha yang ketiganya
memiliki perbedaan. Pertama dalam Undang- undang Nomor 5 Tahun 1960 atau UUPA
(1) Hak guna usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan
jangka waktu yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini dapat diperpanjang dengan
hapusnya Hak Guna Usaha yakni pada Pasal 8 ayat (1) dan (2):
(1) Hak guna usaha yang diberikan dalam Pasal 6 sampai dengan 35 tahun dan
(2) Setelah hak guna usaha habis dan diperpanjang sesuai dengan ayat pertama,
pemegang hak dapat memberikan pembaruan hak untuk tanah yang sama.
Pasal 127 diturunkan pada Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2021 Pasal 22 ayat (1):
Diberikan hak guna usaha paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun, perpanjangan paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun, dan diperbarui paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.
maksimal sebelumnya 85 tahun, yang baru yaitu kurang lebih menjadi 95 tahun lamanya
oleh sebab adanya penambahan kata Pembaruan dalam 2 peraturan terakhir. Pada
UUPA tidak mencantumkan keterangan pembaruan masa Hak Guna Usaha apabila
haknya telah berakhir hanya saja cukup dengan diperpanjang. Faktanya dalam
pembaruan di Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 yang sudah jelas pula
didalamnya menjelaskan lebih rinci dalam hal jangka waktu Hak Guna Usaha.
Pengimplementasian dalam hal ini ialah tanah ulayat yang diberikan Hak Guna Usaha
akan kembali pada masyarakat adat atau menjadi tanah negara. Tanah ulayat sendiri
dalam masyarakat adat memiliki arti penting bukan hanya sekedar tanah yang mereka
tempati sebagai tempat tinggal atau hanya tanah turun-temurun melainkan tanah sebagai
sebagian besar dari tanah tersebut, bila tanahnya dialihkan menjadi Hak guna usaha
maka secara otomatis tanah tersebut beralih pengelolaanya menjadi tanah yang dikuasai
oleh negara.
Pada Pasal 22 ayat (2) dan (3) Peraturan terbaru yakni Peraturan Pemerintah
nomor 18 tahun 2021 dijelaskan bahwa: (2) Setelah jangka waktu pemberian,
perpanjangan, dan pembaruan sebagaimana dimaksud pada ayat (i) berakhir, Tanah hak
guna usaha kembali menjadi Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara atau tanah
Hak Pengelolaan. Dengan maksud bahwa setelah masa hak guna usaha berakhir yakni
Setelah itu jika tidak adanya pengelolaan lebih lanjut pada tanah ulayat tersebut
atau bahkan terlantar maka akan beralih menjadi tanah negara karena dikhawatirkan
akan menimbulkan kerugian seperti kasus yang terjadi di Jawa Barat bahwa terdapat
tanah hak guna usaha yang telah berakhir namun, tetap dikuasai oleh pihak swasta dan
merugikan masyarakat terutama petani yang sebelumnya mengelola tanah tersebut serta
masalah-masalah lain yang akan timbul dikemudian hari tanpa ada kejelasan yang pasti
Kemudian diperjelas kembali pada ayat (3), (3) Tanah yang Dikuasai Langsung
oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penataan kembali penggunaan,
pernanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri dan dapat diberikan prioritas
kepada bekas pemegang hak dengan memperhatikan tanahnya masih diusahakan dan
dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak,
syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak, pemegang hak
masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, tanahnya masih sesuai dengan rencana
sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan keadaan Tanah dan masyarakat sekitar.
Dengan begitu menurut penjelasan diatas, tanah yang masih aktif dikelola atau
dimanfaatkan oleh masyarakat tidak dapat beralih menjadi tanah negara kecuali tanah
tersebut hapus karena jangka waktu habis, terlantar dan tidak produktif, digunakan
untuk kepentingan umum,musnah atau hilang oleh sebab bencana alam serta yang
terakhir kembali pada pemiliknya. Berdasarkan pada peraturan diatas ialah jika tanah
yang semula merupakan tanah ulayat masyarakat adat maka, akan beralih menjadi tanah
negara.
Pengertian tanah ulayat tidak ditemukan dalam UUPA namun dapat ditemukan
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman penyelesaian masalah hak ulayat dalam
masyarakat hukum adat, yang menjelaskan tanah ulayat adalah tanah yang hak
hukum adat adalah sekumpulan orang yang terikat oleh tatanan hukum adat didaerah
tertentu, sebagai rakyat bersama dari kesamaan hukum, karena tempat tinggal
yang dekat atau berdasarkan keturunan. Dengan keluarnya Peraturan Nomor 5 Tahun
1999 adalah sebagai bukti adanya pengaturan lebih lanjut terkait tanah dan juga hak
Jika menilik dari pasal yang mengatur Hak Guna Usaha dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 secara jelas maka, status hak guna usaha atas tanah
ulayat dari masyarakat hukum adat setelah berakhirnya jangka waktu atau hak guna
usaha dicabut menurut hukum, tanah yang dibebaskan akan dikembalikan atau beralih
menjadi tanah negara. Dengan begitu, merujuk pada substansinya pula, yang berarti
sama halnya dengan UUPA dan Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996 yakni tanah
hak guna usaha yang telah berakhir jangka waktunya kembali menjadi tanah negara
dengan catatan yang telah dijelaskan diatas namun dengan adanya perbedaan pada
perpanjangan total jangka waktu yakni 95 tahun atau lebih lama 10 tahun dari
pengaturan sebelumnya.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab maraknya konflik penguasaan tanah
Secara umum yang menjadi penyebab utama konflik penguasaan tanah adalah
karena semakin dalamnya ketimpangan penguasaan tanah pertanian Pada satu sisi petani
yang memang mata pencaharian pokoknya hidup dari usaha pertanian hanya memiliki
Usaha Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang
25 tahun lagi. Untuk tanaman tertentu seperti tanaman keras seperti kelapa sawit Hak
Guna Usaha dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat
diperpanjang 25 tahun lagi. Peruntukkan Hak Guna Usaha digunakan untuk keperluan
Berkaitan dengan obyek hak guna usaha, dalam Pasal 28 ayat (1) UUPA disebutkan
bahwa hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan "tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara". Selanjutnya dalam Pasal 4 PPNo. 40 Tahun 1996 disebutkan kembali
bahwa: Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara:
(1) Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu adalah
(2) Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang telah dikuasai dengan hak
tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan Hak Guna
pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam
(3) Dalam hal di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu
Dari bunyi ketentuan tersebut di atas sangat jelas bahwa pada asasnya yang
menjadi obyek hak guna usaha adalah tanah negara bebas atau tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara. Dari bunyi ketentuan mengandung makna bahwa hak guna usaha
tidak boleh didirikan atas tanah Negara tidak bebas atau atas tanah hak, dalam arti
dijadikan obyek hak guna usaha, terlepas apakah haknya tersebut terdaftar atau belum
terdaftar. Persoalannya adalah bagaimana jika obyek hak guna usaha tersebut bukan tanah
negara bebas, dalam arti terpaksa menggunakan tanah yang sudah ada haknya.xviii
Terhadap hal yang demikian maka tanah hak tersebut harus dijadikan tanah
negara bebas terlebih dahulu, kemudian setelah tanah tersebut berada dalam penguaasaan
langsung oleh negara baru bisa dijadikan sebagai obyek Hak Guna Usaha. Hal ini sejalan
dengan ketentuan bunyi Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996,
yang antara lain menyatakan bahwa pemberian hak guna usaha atas tanah yang telah
dikuasai dengan hak tertentu, hak guna usaha baru dapat dilaksnakan setelah
konseptual persoalan yang berkaitan dengan obyek hak guna usaha yang berasal dari
tanah hak sepertinya tidak mengalami persoalan dan dibenarkan secara hukum sepanjang
proses pelepasan hak atas tanah tersebut didasarkan pada peraturan yang berlaku.
Akan tetapi manakalah prosedur tersebut tidak dilakukan secara benar menurut
hukum, maka hal tersebut menjadi pemicu konfik antara pemegang hak semula dengan
calon pemegang hak guna usaha atau pemegang hak guna usaha. Pengalaman di beberapa
daerah yang menjadi penyebab konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan
yang menggunakan fasilitas Hak Guna Usaha salah satunya disebabkan karena masalah
sengketa kepemilikan hak atas tanah tersebut, terutama berkaitan dengan ganti kerugian
atas tanah dan tanam tumbuh atas tanah yang dilepaskan haknya pada masa-masa yang
lalu.
D. Kesimpulan
1. Adanya perubahan regulasi dimana pengaturan tanah ulayat maupun Hak Guna
tertentu baik persengketaan atau masalah lain. Bukan tidak mungkin pasti
terdapat salah satu pihak yang dirugikan akibat pengambilan kebijakan atas suatu
yang seragam pula. Dalam hal ini tanah ulayat yang beralih fungsi menjadi tanah
atas Hak Guna Usaha baik untuk kepentingan swasta maupun umum dapat
menimbulkan perkara pada akhirnya bila ketentuan atau pengaturan yang ada
tidak mengatur dengan jelas terlebih atas pembaruan-pembaruan yang ada dan
tahun 1996 menyebutkan bahwa setelah Hak Guna Usaha berakhir maka,tanah
tersebutberalih menjadi tanah negara. Sama halnya dengan isi atau substansi
terkait pengaturan Hak Guna Usaha secara jelas tidak banyak yang berubah yaitu
status tanah ulayat yang juga akan beralih menjadi tanah negara.
penguasaan tanah pertanian dan terdapat kekaburan pengaturan hak guna. Akan
tetapi manakalah prosedur tersebut tidak dilakukan secara benar menurut hukum,
maka hal tersebut menjadi pemicu konfik antara pemegang hak semula dengan
calon pemegang hak guna usaha atau pemegang hak guna usaha.
Daftar Bacaan :
i
Sihombing, B. F. 2004. Pergeseran Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Pemerintah Dan Swasta (Studi Kasus Pengaturan Pemilikan, Penguasaan Tanah Di Provinsi DKI
Jakarta), Universitas Indonesia, hlm. 26
ii
Bachriadi, Dianto, 2012, Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal: Perjuangan Hak
Atas Tanah Di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, hlm.150
iii
Suryadi, Agus Santoso, 2003, Asas Kepastian Hukum Dan Asas Keadilan Dalam
Pemungutan Pajak-Pajak Atas Pengalihan Hak-Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan, Universitas
Indonesia, hlm. 45
iv
Op.Cit, Sihombing, hlm. 53
v
Ibid, hlm. 21
vi
G.Kertasapoetra, A.Setiadi, 1985, Hukum Tanah Jaminan Undang-Undang Pokok
Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, PT.Bina Aksara, Jakarta, hlm. 88
vii
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Presfektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Kompas, Jakarta, 2009.hlm. 170
viii
Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
ix
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm.185
x
Boedi Haarsono, 2002, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dan Hubungan
Dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001, Universitas Trisakti, hlm.227
xi
Urif Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, PT. Kharisma Putra Utama,
Jakarta, hlm.82
xii
Abby, F.Achmadi, Ifrani. 2016. “Laporan Hasil Akhir Penelitian Sengketa Pertanahan
Hak Masyarakat Adat Dengan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Sawit Di Kalimantan Selatan
Tim Pengusul Ketua”, hlm. 12
xiii
Jasimr, 2018, “Pengembalian Status Hukum Tanah Ulayat Atas Hak Guna Usaha”,
Soumatera Law Review 1, hlm.92
xiv
Op.Cit, Abby F Achmadi
xv
Boedi Harsono, 2016, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta,
hlm. 92
xvi
Tamarine Camalia, 2021, Status Tanah Ulayat Atas Hak Guna Usaha Yang Telah
Berakhir, Jurnal De Lega Lata, Vol.6, Juli-Desember 2021, hlm. 1-10
xvii
Mukmin Zakie, 2021, Hak Guna Usaha dan Problematika di Indonesia, Prosiding
Seminar Nasional Hukum Perdata, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 57-60
xviii
Ibid