Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN TERHADAP TANDA BATAS TANAH MENURUT PERATURAN

MENTERI AGRARIA NOMOR 8 TAHUN 1961 TENTANG TANDA-TANDA BATAS


TANAH-TANAH HAK MILIK DI DESA NEKMESE KECAMATAN AMARASI
SELATAN KABUPATAN KUPANG

YELNI ELDAWATI TENIS


Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Hukum
e-mail : yelnitenis@gmail.com

ABSTRAK

Yelni Eldawati Tenis: Tinjauan Terhadap Tanda Batas Tanah Menurut Peraturan
Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 1961 Tentang Tanda-Tanda Batas Tanah-Tanah Hak Milik
Di Desa Nekmese, Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang, yang dibimbing oleh
Darius Mauritsius dan Helsina Fransiska Pello.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab tidak adanya tanda
batas pada sebuah bidang tanah serta bagaimana upaya meningkatkan kesadaran masyarakat
pemilik lahan mengenai tanda batas tanah. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan
menggambarkan keadaan subjek dan objek dapat berupa orang atau lembaga berdasarkan
fakta yang ada dan menggunakan pendekatan empiris yaitu menganalisis peraturan
perundang-undangan dan melakukan wawancara dengan responden. Data diperolah melalui
penelitian lapangan (field research). Berdasarkan hasil penelitian, yang menjadi penyebab
dari tidak adanya tanda batas yakni faktor alam, diantaranya curah hujan dan kebakaran,
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap hukum yang berlaku serta masyarakat tidak
melakukan sesuai ketentuan tentang penetapan tanda batas tanah. Selain itu kurangnya
pengawasan dari para aparat hukum dalam bidang pertanahan, sehingga masyarakat
menggunakan itu sebagai sebuah kesempatan dalam menentukan luas tanah miliknya sendiri
tanpa memperhatikan hak milik dari pemilik lahan lainnya. Dalam mencegah masalah tanda
batas tanah untuk tidak terjadi lagi, maka perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat, dengan
tujuan agar setiap masyarakat dapat menjaga nilai budaya yang sudah ada sehingga menjadi
ciri khas dan karakteristik dari masyarakat. Selain sosialisasi masyarakat diwajibkan untuk
tetap menjaga tanda batas tanah, dengan melakukan pembuatan atau penanamam kembali
tanda batas tanah yang rusak atau hilang, tujuannya untuk menghindari perselisihan antara
para pemilik tanah yang berbatasan dan sebagai jaminan kedepannya letak tanah tetap
terjaga.
Kata Kunci: Upaya Hukum, Perkara Perdata, Structural.
ABSTRACT

Yelni Eldawati Tenis: review of land boundary markings according to the minister of
agrarian regulation number 8 of 1961 concerning boundary markings of privately owned
lands in nekmese village, amarasi selatan district, kupang regency, supervised by Darius
Mauritsius and Helsina Fransiska Pello.
The purpose of this writing is to find out the factors causing the absence of boundary
markings on a plot of land and how to increase awareness of the landowner community
regarding land boundary markings. This research is descriptive in nature. By describing
subjects and objects that can be people or institutions based on existing facts and using an
approach empirical. Data obtained through field (field research). Based on research results,
which are the causes of the absence of boundary markers, namely natural factors, including
rainfall and fires, lack of public awareness of applicable laws and people not carry out
according to the provisions regarding the determination of land boundary markings. In
addition to the lack of supervision from legal officials in the land sector. So that people use it
as an opportunity to determine the area of their own land without paying attention to the
property rights from other land owners, in order to prevent the land boundary marking
problem from happening again. It is necessary to socialize it to the community, with the aim
that each community can maintain exiting cultural values so that they become the hallmarks
and characteristics of the community, in addition to community socialization is required to
maintain land boundary markings, by making or replanting damaged or lost land boundary
markers, the aim is to avoid disputes between the parties who own the bordering land and as
guarantee in the future the location of the land is maintained.
Key Words: Legal Efforts, Civil Cases, Structural

Latar Belakang Masalah


Sebutan tanah dalam Bahasa kita, dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam
penggunaanya, perlu diberi Batasan agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan.
Dalam hukum tanah kata sebutan tanah dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian
yang telah diberi Batasan resmi oleh oleh Undang- undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam
pasal 4, Undang-Undang Pokok Agraria, menjelaskan bahwa atas dasar hak menguasai dari
negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi
(ayat 1). Sedangkan hak-hak atas tanah adalah ha katas Sebagian tertentu permukaan bumi,
yang berbatas, berdimensi, dan dengan ukuran Panjang dan lebar. Menurut kamus besar
bahas Indonesia (1994), tanah adalah:
1. Permukaan bumi atau lapisan yang diatas sekali
2. Keadaan bumi disuatu tempat
3. Permukaan bumi yang diberi batas
4. Bahan- bahan dari bum, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir,cadas napal dan sebagainya)
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bumi. Tanah yang dimaksud disini
bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang
disebut hak. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan ha
katas tanah adalah ha katas Sebagian tertentu permukaan bumi dan yang terbatas.
Efendi Perangin, menyatakan bahwa hukum tansh adalah keseluruhan peraturan-
peraturan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah yang merupakan Lembaga-lembaga hukum dan hubungan-
hubungan hukum yang konkrit. Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah,
yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian
wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu
mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat,
yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur
pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.
Tanah merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia.
Kehidupan manusia dan aktifitas manusia selalu dihubungkan dengan tanah sebagai
unsur pembantu dalam mewujudkan terlaksananya aktifitas manusia. Manusia berasal
dari tanah, berpijak di atas tanah, memperoleh penghidupan dari hasil tanah. Namun
demikian, masalah tanah juga dapat membuat manusia kehilangan rasa solidaritas
bahkan kehilangan nyawa. Masalah tanah, semakin hari semakin meningkat selalu
terdengar hilir sengketa tanda batas tanah dalam kehidupan masyarakat desa.
Keberadaan letak tanah, yang kurang diperhatikan sering menimbulkan masalah tanda
batas tanah, dimana masing-masing pihak yang mempunyai hak milik atas tanah itu,
dengan leluasa menentukan luas tanah miliknya, tanpa memperhatikan prosedur yang
berlaku dan persetujuan dari pihak lain yang mempunyai hak atas tanah tersebut.
Akibatnya sering terjadi percekcokan karena tanda batas tanah. Banyak orang
berpenndapat bahwa masalah tanda batas tanah di sebabkan oleh faktor kekeliruan.
Bahkan ada yang mengartikannya lebih luas lagi sebagai keinginan merampas melebihi
hak milik tanda batas tanah.
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul” Tinjauan terhadap tanda batas tanah menurut Peraturan
Menteri Agraria Nomor 6 Tahun 1961 Tentang tanda-tanda batas tanah-tanah hak
milik di Desa Nekmese, Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang”

Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor penyebab tidak adanya tanda batas tanah?
2. Bagaimana upaya meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat pemilik lahan
mengenai tanda batas?

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tidak adanya tanda batas tanah
2. Untuk mengetahui upaya meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat desa pemilik
lahan mengenai tanda batas tanah

Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesadaran bagi masyarakat akan pentingnya
pembuatan tanda batas dalam sebuah bidang tanah untuk menghindari konflik antara
masyarakat pemilik lahan yang saling berdekatan. Penelitian ini diharapkan dapat membantu
mengembangkan ilmu pengetahuan dan wawasan terutama untuk menemukan jawaban atas
permasalahan yang menjadi penyebab adanya masalah tanda batas tanah.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada para penegak hukum secara
umum, pemerintah desa dan masyarakat. Bahwa permasalahan tanda batas tanah sering
terjadi dan berdampak pada kerenggangan suatu hubungan sosial. oleh karena itu, dibutuhkan
pencerahan dalam pencegahan masalah tanda batas tanah.
Metode Penelitian
1. Lokasi penelitian
Penelitian dengan judul Tinjuauan terhadap tanda batas tanah menurut Peraturan Menteri
Agraria Nomor 8 Tahun 1961 tentang tanda-tanda batas tanah-tanah hak milik di Desa
Nekmese, Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang. Pemilihan lokasi penelitian ini
dengan pertimbangan bahwa kurangnya kesadaran hukum masyarakat di Desa Nekmese
terkait tanda batas kepemilikan tanah. Pihak-pihak yang terlibat yaitu masyarakat desa
pemilik lahan, aparat pemerintah desa yang terlibat langsung dalam penyelesaian masalah
tanda batas tanah, dan Pegawai Pertanahan Nasional (BPN)
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini bersifat empiris, yakni data-
data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan. Penelitian dengan judul tinjauan
terhadap tanda batas tanah menurut Perturan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 1961 tentang
tanda-tanda batas tanah-tanah hak milik di Desa Nekmese, Kecamatan Amarasi Selatan,
Kabupaten Kupang. Penelitian ini akan difokuskan pada bukti sertifikat hak milik dan tanda
batas yaitu batu pilar, tumbuhan pembatas yang ditentukan bersama
Aspek-Aspek Yang Diteliti
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidak adanya tanda batas tanah
2. Upaya meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat desa mengenai tanda batas tanah

Tinjauan Pustaka
a. Pengertian Masyarakat
masyarakat berasal dari akar kata Arab”syaraka”yang berarti ikut serta, berpartisipasi.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling
berinteraksi. Menurut macvler masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara
dari wewenang dan Kerjasama antara berbagai kelompok, berbagai golongan dan
pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan individu (masyarakat).
Menurut Macvler masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari
wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, berbagai golongan dan pengawasan
tingkah laku serta kebebasan-kebebasan individu (masyarakat). Keseluruhan yang selalu
berubah inilah yang dinamakan masyarakat. Manusia adalah makhluk sosial yang mustahil
bisa hidup sendiri. Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti membutuhkan pertolongan dari
orang lain. Sikap saling bergantung satu sama lain inilah yang kemudian menjadikan manusia
hidup berkelompok dan bermasyarakat.
Menurut Linton masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang sudah lama hidup
dan bekerja sama sehingga akan terbentuk suatu organisasi.yang mana, organisasi tersebut
dapat mengatur setiap orang di dalam masyarakat dan bisa mengatur setiap orang di dalam
masyarakat dan bisa mengatur dirinya sendiri sebagai sebuah satu kesatuan sosial yang
memiliki batas-batas .
Masyarakat adalah sekelompok makhluk hidup yang terjalin erat karena sistem tertentu,
tradisi tertentu, konvensi, dan hukum tertentu yang sama, serta mengarah pada kehidupan
kolektif. Sistem dalam masyarakat saling berhubungan antara satu manusia dengan manusia
lainya yang membentuk suatu kesatuan. Kepribadian masyarakat terbentuk melalui
penggabungan individu-individu dan aksi reaksi budaya mereka.
Masyarakat merupakan kelompok manusia atau individu yang secara bersama-sama
tinggal di suatu tempat dan saling berhubungan. Biasanya, hubungan atau interaksi ini
dilakukan secara teratur atau terstruktur. Dengan adanya kelompok sosial ini, Setiap individu
dapat saling berinteraksi dan membantu satu sama lain. Masyarakat merupakan interaksi
individu yang berada dalam kelompok tersebut. Masyarat adalah sekumpulan individi-
individu yang hidup bersama, bekerja bersama untuk memperoleh kepentingan bersama yang
telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, dan adat istiadat yang ditaati dalam
linkungannya.
Kehidupan sebagai masyarakat berarti kehidupan untuk tolong menolong, bantu
membantu, agar sebuah pekerjaan berat dapat terselesaikan dengan mudah. Namun, tidak
terlepas dari itu dalam kehidupan sebagai masyarakat juga dilingkupi oleh berbagai
problematika, kekeliruan dan kesalahan dari berbagai individu yang kemudian menjadi
sebuah permasalahan. Maka tentunya dalam kebersamaan ini diperlukan aturan-aturan sebaai
patokan, dasar untuk membatasi perilaku manusia dalam kebersamaan itu supaya mencegah
berbagai permasalahan yang terjadi maupun yang akan terjadi.

b. Pengertian Hak Milik


Hak milik secara umum dapat diartikan sebagai hak kepemilikan dari seseorang
mengenai sesuatu objek tertentu. Hak milik adalah hak kepemilikan yang paling fundamental
dan kuat yang dapat dipunyai orang atas tanah. Dengan memiliki hak ini, seseorang memiliki
kuasa penuh atas tanah yang menjadi miliknya.
Menurut pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) hak milik adalah
sebagai berikut: " hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanadengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 ". Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak
itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dan tidak dapat diganggu gugat. Kata-
kata turun temurun berarti bahwa hak milik atas tanah tidak hanya berlangsung selama hidup
pemegang hak, akan tetapi apabila terjadi peristiwa hukum yaitu dengan meninggalnya
pemegang hak dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Kata terkuat berarti bahwa hak milik atas
tanah dapat dibebani hak atas tanah lainnya, misalnya dibebani dengan Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai dan hak lainnya. Hak milik atas tanah ini wajib didaftarkan. Hak milik atas tanah
telah memberi wewenang yang luas kepada pemegang hak dalam hal menggunakan tanahnya.
Ciri-ciri hak milik menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofyan,yaitu:
a. Hak milik merupakan hak induk terhadap hak kebendaanya lain
b. Hak milik bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan lainnya
c. Hak milik merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.

Hak milik mengandung hak untuk melakukan atau memakai bidang tanah yang
bersangkutan untuk kepentingan apapun. Hubungan yang ada hanya bersifat bukan
kepemilikan saja, melainkan psikologis-emosional. Hak milik hanya diperuntukan untuk
berkewarganegaraan tunggal Indonesia.
Berdasarkan pasal 27 UUPA hapusnya hak milik adalah sebagai berikut:
a. Tanahnya jatuh kepada negara
Tanahnya jatuh kepada negara, diantaranya:
1. Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18 yang menentukan
2. Karena penyerahandengan sukarela oleh pemiliknya
3. Karena ditelantarkan
4. Karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2)

b. Tanahnya musnah
Istilah musnah dalam hal ini dipahami dalam pengertian yuridis, yaitu secara fisik tanah
tersebut tidak dapat dipergunakan secara layak sesuai dengan isi/kewenangan haknya.
Contohnya tanah yang hilang terkikis erosi sungai maupun pantai. Meskipun secara fisik
bidang tanah tersebut masih dapat ditemukan, akan tetapi karena sudah tidak dapat
mendukung penggunaannya secara layak, maka haknya hapus menjadi tanah negara

c. Pengertian Batas Tanah


Batas tanah adalah tanda-tanda batas yang dipasang pada setiap sudut batas tanah.
Penanda batas tanah atau biasa disebut patok tanah merupakan unsur penting untuk
menentukan luasnya hak atas tanah. Sebelum mendaftarkan tanah atau mengurus sertifikat
tanah, pemilik harus memasang patok tanah terlebih dahulu. Tujuannya untuk memudahkan
petugas pertanahan mengukur luas kepemilikan tanah sebelum ditentukan. Ketentuan
mengenai pemasangan tanda batas tanah tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen)Nomor
16 Tahun 2021 tentang perubahan ketiga Atas Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 3 Tahun
1997 tentang ketentuan pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pasal 19 A menjelaskan bahwa pemasangan tanda batas tanah dilakukan oleh pemohon atau
pemilik tanah. Tentunya setelah mendapat persetujuan dari pemilik lahan yang berdekatan.
Untuk menghindari konflik batas tanah.
Penentuan letak batas dilakukan oleh pemilik tanah dan para pemilik tanah yang
berbatasan secara kontradiktur dikenal dengan asas kontradiktur. Penentuan letak batas secara
kontradiktur merupakan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian ini melibatkan semua pihak, masing-masing harus
memenuhi kewajiban menjaga letak batas bidang tanah. Setiap perjanjian berlaku suatu asas,
dinamakan asas konsesualitas dari asal kata konsensus artinya sepakat. Asas konsensualitas
berarti suatu perjanjian sudah dilahirkan sejak detik tercapainnya kesepakatan, perjanjian
sudah sah apabila sudah sepakat.
Pemasangan tanda batas harus disaksikan pejabat atau aparat atau pejabat yang
mengetahui atau memiliki data siapa-siapa pemilik tanah yang berbatasan. Kantor pertanahan
tidak memilki data pemilik tanah yang berbatasan bila pemilik tanah tersebut belum terdaftar
data pemilik tanah yang berbatasan dimiliki oleh Kepala Desa/Kelurahan oleh karena itu
pelaksanaan asas kontradiktur ini wajib disaksikan oleh aparat desa/kelurahan
Dalam pasal 625 KUH Perdata dijelaskan bahwa para pemilik pekarangan yang
bertetangga mempunyai hak dan kewajiban satu sama lain baik yang timbul karena letak
pekarangan menurut alam, maupun karena ketentuan perundang undangan. Selanjutnya pasal
630a mengatakan bahwa " Tiap pemilik pekarangan dapat mengharuskan masing-masing
pemilik pekarangan yang bertetangga untuk membuat tanda perbatasan antara pekarangan
mereka. Pembuatan batas itu harus dilakukan atas biaya bersama ".
Pembuatan tanda batas tanah bertujuan untuk memudahkan petugas dari Badan
Pertanahan Nasional ketika melakukan pengukuran. Hal ini karena tidak menutup
kemungkinan pemilik lahan dan petugas kesulitan ketika melakukan pengukuran lahan
lantaran pemilik lupa atau kurang ingat batas lahan atau tanah miliknya.

d. Pengertian Kesadaran Hukum


Dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat mengenai kesadaran hukum.
Ada yang merumuskan bahwa kesadaran hukum merupakan satu-satunya sumber dari hukum
dan mengikatnya hukum, serta keyakinan hukum individu dalam masyarakat yang
merupakan kesadaran hukum individu adalah dasar pokok terpenting dari kesadaran hukum
masyarakat.
Kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan erat sekali. Kesadaran hukum
merupakan faktor dalam penemuan hukum. Maka sumber segala hukum adalah kesadaran
hukum. Oleh karena itu yang disebut hukum hanyalah yang dapat memenuhi kesadaran
hukum kebanyakan orang, maka Undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum
kebanyakan orang akan kehilangan kekuatan mengikat. Kesadaran hukum adalah kesadaran
yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu.
Kesadaran hukum menurut wignjoesoebroto ialah kesediaan masyarakat dalam
berperilaku sesuai dengan aturan hukum yang telah ditetapkan. Dalam kesadaran hukum
memiliki dua dimensi, yaitu kognitif dan afektif. Kognitif merupakan pengetahuan tentang
hukum yang mengatur perilaku tertentu baik dilarang maupun diperintahkan sesuai dengan
hukum yang telah ditentukan. Sedangkan afektif merupakan suatu bentuk keinsyafan yang
mengakui bahwa hukum memang harus dipatuhi. Kesadaran hukum merupakan kepatuhan
terhadap hukum dari persoalan yang secara luas, diantaranya masalah pengetahuan,
pengakuan, serta penghargaan terhadap hukum. Kesadaran hukum berpusat pada adanya
pengetahuan hukum, dari adanya pengetahuan hukum tersebut akan tumbuh suatu pengakuan
dan penghargaan terhadap aturan-aturan hukum,selanjutnya akan timbul suatu kepatuhan
hukum.
Menurut krabbe dalam kutipannya Achmad Ali dan Wiwie Heryani (2012), kesadaran
hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang
hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sedangkan pengertian lain
mengenai kesadaran hukum, dijelaskan oleh soerjona soekanto (1982) bahwa kesadaran
hukum itu merupakan persoalan nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi abstrak yang terdapat
dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki
sepantasnya.
Ali (2012), kesadaran hukum sendiri ada dua macam, yaitu:
1. Kesadaran hukum positif, indentik dengan ketaatan hukum
2. Kesadaran hukum negatif, identik dengan ketidaktaatan hukum
Kesadaran hukum adalah sumber dari segala sumber hukum. Dengan kata lain
kesadaran hukum tersebut ada pada setiap manusia karena setiap manusia memiliki
kepentingan, sehingga apabila hukum tersebut dihayati dan dilaksanakan dengan baik maka
kepentinganya akan terlindungi dan apabila terjadi pergesekan kepentingan maka hukum
hadir sebagai alternatif penyelesaian. Soekanto (1982), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kesadaran hukum, sebagai berikut:
Kesadaran Hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satu diantaranya adalah
konsepsi mengenai kebudayaan hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran-ajaran kesadaran
hukum yang lebih banyak mempersalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai
mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif.
Kesadaran manusia adalah hukum yang tertinggi. Realisasi akan hukum, harus dimulai
dari diri sendiri, adanya sikap untuk hidup bersama, adanya usaha melawan rasa egois. Maka
penerapannya akan berwujud nyata dalam kenyataan.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan
A. Gambaran Umum Tentang Desa Nekmese
1. Batas Wilayah Desa Nekmese
 Batas Administrasi Desa dan Luas Wilayah
Desa nekmese adalah salah satu desa didalam wilayah administrasi kecamatan amarasi
selatan, kabupaten kupang. Secara geografis, letak des aini adalah:
 Di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Apren kecamatan amarasi selatan
 Desebelah barat berbatasan dengan Kawasan hutan lindung dan desa
kotabes, desa ponain
 Di sebelah utara berbatasan dengan hutan lindung dan desa tesbatan,
kecamatan amarasi
 Di sebelah selatan berbatasan dengan Kawasan hutan lindung dan kelurahan
buraen
 Topografi
Topografi desa nekmese berbukit-bukit dengan dataran tersebar secara sporadis
pada gugusan yang sempit diapit dataran tinggi atau perbukitan. Lahan dengan
kemiringan 15-40 persen mencapai luasan 38,07% dan lahan dengan
kemiringan lebih dari 40% mencapai 35,46%. Kondisi geoformologis yang
demikian menyebabkan pertanian pada dataran sangat terbatas baik pertanian
lahan kering. Pertanian lahan kering banyak dilakukan pada daerah-daerah
dengan kemiringan yang curam sehingga produktifitas menjadi rendah.

 Geologi
Wilayah desa nekmese termasuk dalam Kawasan circium-pasifik terletak
dipulau Timor yang terbentuk dari dasar laut yang terangkat ke permukaan,
dengan kondisi geologi
a. jumlah penduduk di desa nekmese
 jumlah laki-laki : 2.691 jiwa
 penduduk laki-laki : 1.347 jiwa
 penduduk perempuan : 1. 344 jiwa
 jumlah kepala keluarga : 631 kk

b. mata pencaharian masyarakat desa nekmese


secara umum mata pencaharian warga masyarakat desa nekmese dapat teridentifikasi ke
dalam beberapa bidang mata pencaharian, seperti: petani/peternak, buruh tani, PNS, Swasta,
Wiraswasta, pensiunan, buruh bangunan atau tukang.

2.Faktor Penyebab Tidak Adanya Tanda Batas Tanah


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), faktor bearti hal (keadaan peristiwa)
yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu.
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di
bidang pertanian (Agraria), baik sebagai pemilik tanah pertanian, petani penggarap maupun
buruh tani. Pasal 10 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) mewajibkan pemilik tanah pertanian untuk mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif tanah pertaniannya.
Tanda batas di Wilayah Desa Nekmese, Kecamatan Amarasi Selatan dominan
ditetapkan dari tumbuhan hidup. Penetapan ini menyeluruh, dan masyarakat mengakuinya
dapat menjadi pemisah bidang tanah untuk pemilik yang berbeda. Penetapan tanda batas ini
sudah turun temurun, dan sudah menjadi kebiasaan masyakat setempat.
Sengketa ataupun konflik pertanahan masih kerap terjadi dan biasanya karena beberapa
faktor. Penentuan tanah dengan tumbuhuhan maupun pilar bisa terjadi karena berbagai faktor.
Konflik maupun sengketa tanah itu bisa terjadi karena beberapa faktor, salah satunya terkait
perubahan alam. Pada tahun 1970-an, pengukuran luas tanah berpatok pada benda-benda di
alam seperti letak pohon, batu dan lainnya sehingga ketika patok alam itu menghilang maka
koordinatnya juga hilang dan menyulitkan pengukurannya.
Secara umum ada 3 faktor penyebab tidak adanya tanda batas tanah, yaitu:
1. faktor alam
Dari hasil wawancara para pemilik lahan, salah satu penyebab hilangnya tanda batas
tanah yaitu faktor alam. Faktor alam yang sering terjadi, yaitu:
a. curah hujan
Dari hasil wawancara, menurut Bapak Yeremias Bani mengatakan bahwa "Penyebab
tidak adanya tanda batas atau hilangnya tanda batas, disebabkan oleh curah hujan yang tinggi
yang menyebabkan tanda batas runtuh dan dibawa oleh arus. Lebih lanjut dijelaskan oleh
Bapak frans bahwa "curah hujan yang tinggi dapat membuat tanda batas tumbang atau
hancur, entah itu tumbuhan hidup maupun batu pilar". Genangan air yang banyak membuat
tanah lebih lembah dan akar tumbuhan tidak kuat, apalagi disertai angin badai.
b. Kebakaran
Selain curah hujan yang terus menerus, salah satu faktor penyebab tidak adanya atau
hilangnya tanda batas yaitu kebakaran. Rata-rata masyarakat menentukan batas tanah dari
tumbuhan hidup, jika terjadi kabakaran baik yang terjadi karena faktor alam atau kelalaian
manusia bisa menghilangkan tanda batas tanah, yang menyebabkan para pihak tidak mampu
untuk membuktikan tanah hak miliknya.

2. Faktor Masyarakat
Masalah tanda batas tanah banyak yang disebabkan oleh masyarakat sebagai pengeloh
tanah. Faktor masyarakat ini terjadi karena masyarakat mengetahui tentang adanya hukum,
tetapi kurang kesadaran hukumnya atau masyarakat mengetahui aturannya tetapi tidak
melakukan sesuau aturan itu. Secara sadar masyarakat menciptakan atau memberi
kesempatan kepada dirinya untuk melakukan perilaku bermasalah
Faktor masyarakat terjadi seperti, tanah miliknya belum dilakukan tanda batas
kepemilikan. Masyarakat tidak mengetahui adanya ketentuan hukum yang mengatur bentuk
atau ukuran tanda batas tanah dan pemasangannya (tidak mengetahui hak dan kewajibannya
sebagai pimilik tanah). Masyarakat mengetahui hal itu tetapi tidak mengetahui tatacara
pembuatan dan pemasangannya bahkan masyarakat sudah ada bukti hak miliknya tetapi
masih melakukan kesalahan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menjelaskan
bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum terhadap faktor-faktor masalah tanda batas
tanah, diantarannya faktor masyarakatnya, pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah, termasuk pemberian surat tanda bukti yang hanya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya.
Faktor penyebab masalah tanda batas tanah yang seringkali terjadi yaitu tidak adanya
pendekatan dari kedua pihak dalam menemukan adanya kesalahan tanda batas. Hal ini
dibuktikan dengan, ketika salah satu pemilik lahan merasa dirugikan oleh pemilik lahan lain
terkait tanda batas, ia langsung meloporkan kepada ketua RT yang bersangkutan untuk
diselesaikan secara adat. Sedangkan, pihak yang dicap merugikan, ketika mendapat anpggilan
untuk bersangketa ia langsung memenuhi panggilan itu, ia siap bersangketa tanpa melakukan
pendekatan secara khusus kepada pihak yang lain.
Faktor penyebab masalah tanda batas tanah yang seringkali terjadi yaitu tidak adanya
pendekatan dari kedua pihak dalam menemukan adanya kesalahan tanda batas. Hal ini
dibuktikan dengan, ketika salah satu pemilik lahan merasa dirugikan oleh pemilik lahan lain
terkait tanda batas, ia langsung meloporkan kepada ketua RT yang bersangkutan untuk
diselesaikan secara adat. Sedangkan, pihak yang dicap merugikan, ketika mendapat panggilan
untuk bersangketa ia langsung memenuhi panggilan itu, ia siap bersangketa tanpa melakukan
pendekatan secara khusus kepada pihak yang lain.
Masalah lain yang menjadi penyebab yaitu terdapat keinginan dari salah satu pemilik
lahan untuk memperluas tanah miliknya. Jika dalam penyelesaian didapati kedua pemilik
lahan, masing-masing mempertahankan kebenaran terkait tanahnya, maka aparat yang
membantu menyelesaikan akan mengambil jalan tengah untuk membagi dua (2) tanah itu
kepada kedua pihak yang bersangketa. Jika salah satu pihak tidak menerima keputusan itu,
pemerintah akan turun ke lokasi untuk melakukan pengukuran tanah sesuai Sertifikat Hak
Milik (SHM), setelah melakukan pengukuran pemerintah menentukan kembali tanda batas
dan peringatan kepada kedua pemilik lahan untuk mematuhi tanda batas itu. tanda batas yang
ditentukan kembali oleh pemerintah desa sebagai tanda yang parmenen, tidak bisa dirombak
di kemudian hari, jika ada yang berani merombak akan dikenakan saksi adat yang lebih berat.
Selain faktor masyarakat yang terjadi karena masyarakat tidak mematuhi aturan yang
berlaku, secara spesifik faktor lain yang mungkin menjadi penyebab adanya masalah batas
tanah yaitu:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah pembelajaran pembelajaran pengetahuan, keterampilan dan
kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya
melalui pengajaran, pelatihan atau penelitian. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap
kehidupan masyarakat. Pendidikan dapat mengarahkan masyarakat dan menjadi tolak ukur
bagi masyarakat ketika hendak melakukan sesuatu. Minimnya pengetahuan dari seseorang
dapat berpengaruh pada pemahaman untuk menerapkan sesuatu atau berbuat sesuatu diluar
dari yang seharusnya, karena ketika membuat sesuatu ia berdasar pada keinginannya.

b. Adat masyarakat
Adat istiadat adalah bentuk budaya yang mewakili norma, nilai, tradisi dan kebiasaan
bersama dari suatu kelompok. Biasanya, adat istiadat digunakan untuk memandu sikap dan
perilaku masyarakat tertentu. Salah satu kebiasaan masyarakat yang nyata terjadi dapat dilihat
dari penanaman tanaman yang menjalar di batas tanah, misalnnya tumbuhan pisang.
Penentuan tanda batas tanah dengan tumbuahn ini sering memicu pada persoalan tanda batas
tanah, karena tumbuhan ini akan terus bertambah. Jika masyarakat yang sadar, akan dibuat
suatu kesepakatan dimana tumbuhan itu tumbuh, itu menjadi milik pemilik lahan itu. Tetapi
ada juga masyarakat menentukan hak milik berdasarkan pada tumbuhnya tumbuhan ini. Oleh
karena itu, masyarakat seharusnya berhati-hati dalam menanam tumbuhan pembatas.

3. Faktor Penegak Hukum


Penyebab lain adanya sengketa batas tanas yaitu dari faktor penegak hukum yakni
petugas ukur atau Satuan Tugas Pengukuran dan pemetaan tidak bertindak tegas, untuk tetap
melaksanakan pengukuran walaupun batas hanya ditunjukan oleh pemilik tanah saja atau
dengan kehadiran sempadan yang tidak lengkap, tidak memperhatikan batas-batas bidang
tanah terdaftar yang ada dilapangan dan petugas yang mengukur tidak menegaskan kepada
pemilik tanah untuk segera mengganti tanda batas sementara dengan tanda batas permanen.
Penyebab lainnya yaitu kurangnya pengawasan terhadap setiap pemilik tanah yang tidak
memenuhi kewajiban dalam pemasangan tanda-tanda batas tanah dan pemeliharaannya
karena minimnya pengetahuan, ketidaktahuan dan ketidakpatuhan atau ketidakpedulian dari
para pemilik lahan.
Selain kelamahan dari para penegak hukum, faktor lain juga terjadi karena Faktor
hukumnya yakni tidak adanya aturan yang tegas dan pengaturan terkait sanksi atau hukuman
yang tegas terhadap kewajiban pemasangan tanda batas tanah kepada para pemilik lahan. Hal
ini menjadi penyebab masyarakat berbuat sesuka hatinya saja.
Peraturan yang berhasil adalah peraturan yang mampu mengubah atau menghilangkan
berbagai penyebab perilaku bermasalah. Cita-cita dari pembuat hukum akan tercapai jika
didapati adanya perlakuan yang sama dari masyarakat terhadap aturan yang berlaku.
c. Upaya Meningkatkan Kesadaran Hukum Bagi Masyarakat Pemilik Lahan
Mengenai Tanda Batas Tanah
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kesadaran berarti insaf; merasa tahu dan
mengerti. Kesadaran adalah keinsafan, keadaan mengerti, hal yang dirasakan atau dialami
oleh seseorang. Kesadaran adalah kondisi dimana seseorang mengerti akan hak dan
kewajiban yang harus dijalankannya.
Menurut Soejono Soekanto kesadaran diartikan sebagai suatu penilaian terhadap hukum
yang ada atau hukum yang diharapkan ada. Setiap warga masyarakat seharusnya mempunyai
kesadaran hukum, oleh karena tidak ada warga masyarakat yang tidak ingin hidup dalam
keadaan teratur. Lebih lanjut Soejono soekanto mengatakan kesadaran hukum sebenarnya
berkisar pada diri warga-warga masyarkatnya merupakan suatu faktor yang menentukan bagi
sahnya hukum.
Kesadaran hukum dapat diartikan sebagai kesadaran seseorang atau suatu kelompok
masyarakat pada aturan-aturan atau hukum yang berlaku. Kesadaran hukum sangat
diperlukan oleh masyarakat. Hal ini bertujuan agar ketertiban, kedamaian, ketentraman dan
keadilan dapat diwujudkan dalam pergaulan antar sesama. Tanpa memiliki kesadaran hukum
yang tinggi, tujuan tersebut akan sangat sulit dicapai. Akibat lemahnya kesadaran hukum,
kehidupan masyarakat akan menjadi resah dan tidak tentram. Oleh karena itu, kita hendaknya
mengembangkan sikap sadar terhadap hukum.
Achmad Sanusi lebih lanjut mengemukakan; Sebagai batasan yang khusus dapat
diartikan tentang kesadaran hukum itu sebagai potensi atau daya yang mengandung;
a. Persepsi, pengenalan, ketahuan, ingatan dan pengertian tentang hukum, termasuk
konsekuensinya-konsekuensinya
b. Harapan dan kepercayaan bahwa hukum dapat memberi sesuatu kegunaan serta memberi
perlindungan dan jaminannya dengan kepastian dan rasa keadilan
c. Perasaan perlu dan butuh akan jasa-jasa hukum karena itu sedia menghormatinnya
d. Perasaan khawatir dan takut melanggar hukum, karena jika dilanggar maka sanksi-
sanksinya dapat dipaksakan
e. Orientasi, perhatian, kesanggupan, kemauan baik, sikap dan kesediaan serta keberanian
mantaati hukum dalam hak maupun kewajibannya, karena kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum itu adalah kepentingan hukum.
Tingginya kesadaran hukum di suatu wilayah akan memunculkan masyarakat yang
berabad. Membangun kesadaran hukum sejak dini, tidak harus menunggu setelah terjadi
pelanggaran dan penindakan oleh penegak hukum. Upaya pencegahan dinilai sangat penting
dan bisa dimulai dari dalam keluarga sebagai unit terkecil masyarakat. Kesadaran inilah yang
mesti kita bangun dimulai dari keluarga. Karena yang lebih penting bukanlah meningkatkan
kesadaran hukum tetapi membina kesadaran hukumnya itu sendiri.
Upaya peningkatan kesadaran hukum sebagai cara atau usaha bagaimana dapat
membuat seseorang tahu dan paham terhadap aturan yang berlaku serta bagaimana ia dapat
melakukan sesuai aturan yang berlaku itu. Jika dalam kenyataan masyarakat melakukan
sesuai aturan atau kebiasaan yang berlaku maka dipastikan tingkat kesadaran hukumnya
tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara upaya atau usaha meningkatkan kesadaran masyarakat
terkait tanda batas dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1. Sosialisasi
Sosialisasi merupakan sarana untuk mewariskan, menyebarkan, dan melestarikan nilai,
norma, budaya dan kepercayaan di lingkungan kelompoknya. Tujuannya agar setiap anggota
masyarakat di kelompok tersebut dapat menjaga nilai budaya yang sudah ada sejak lama
sehingga menjadi ciri khas dan karakteristik mereka.
Secara umum, pengertian sosialisasi adalah suatu proses belajar mengajar dalam
berperilaku di masyarakat. Beberapa orang juga mengatakan bahwa sosialisasi adalah proses
penanaman nilai, kebiasaan dan aturan bertingkah laku di masyarakat dari generasi ke
generasi lainnya. Dalam proses sosialisasi sendiri, manusia disesuaikan dengan peran dan
status sosial masing-masing di dalam kelompok masyarakat.
Dengan adanya proses sosialisasi, maka seseorang bisa mengetahui, memahami sekaligus
menjalankan hak dan kewajibannya berdasarkan peran status masing-masing sesuai budaya
masyarakat. Selanjutnya, dalam proses pengenalan hak dan kewajiban seorang manusia
dewasa, setiap individu atau manusia perlu melakukan sosialisasi untuk mempelajari dan
mengembangkan pola-pola perilaku sosial bersama anggota masyarakat lainnya
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan, atau nilai dan aturan
dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyatakat. Menurut
Charlotte Buhler (1978:55), pengertian sosialisasi adalah suatu proses yang membantu
anggota masyarakat untuk belajar dan menyesuaikan diri terhadap bagaimana cara berpikir
kelompoknya, agar ia dapat berperan dan berfungsi dalam kelompok tersebut.
Proses sosialisasi mengajarkan manusia untuk merangkai dan mengembangkan dari
semua sifat dan kecakapan sebagai suatu kesatuan dalam diri seseorang. Sosialisaai
Memberikan pencerahan kepada masyrakat untuk tetap mematuhi batas tanah dengan
memasang tanda batas, tetap memelihara batas tanah. Peningkatan pengetahuan terkait Hak
dan kewajiban pemilik lahan yang yaitu para pemilik lahan berhak untuk ada dalam
penetapan tanda batas dan memelihara tanda batas yang ditetapkan. Sosialisasi dalam
masyarakat pada akhirnya membuat masyarakat menjadi mampu berpartisipasi dalam
kepentingan kehidupan masyarakat dan mewariskan dan mewariskan sesuatu kepada generasi
selanjutnya. Ada beberapa faktor yang dapat membuat sosialisasi terjadi, yaitu:
1. Apa yang disosialisasikan adalah sebuah informasi yang diberikan kepada masyarakat
berupa nilai, norma dan peran
2. Menjelaskan cara mensosialisasikan dengan melibatkan proses pembelajaran
3. Siapa saja yang mensosialisasikan. Pihak yang mensosialisakan bisa jadi adalah
institusi, media massa, individu dan kelompok.
Tujuan dari sosialisasi yang perlu diketahui, yaitu:
1. Setiap individu mendapatkan hak hidup dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Hal itu
terjadi selama individu tersebut mampu menghayati nilai dan norma dalam kehidupan.
2. Setiap individu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan budaya yang dimiliki oleh
masyarakat. Individu tersebut berarti sudah bisa dikatakan memenuhi harapan masyarakat.
Dalam lingkup masyarakat terikat kuat dengan budaya, anggota masyarakat harus bisa
mengaplikasikannya sebagai dan kebiasaan.
3. Setiap individu dapat menyadari dan memahami peran dan posisinya dalam masyarakat.
Hal itu akan membuat individu tersebut dapat berperan aktif dan positif dalam kehidupan
sehari-hari.
4. Setiap individu mampu menjadi anggota masyarakat yang baik sesuai nilai dan norma dari
masyarakat.

2. Menanam Kembali Tanda Batas Tanah Yang Telah Rusak


Selain sosialisasi upaya lain untuk meningkatkan kesadaran manusia untuk terhindar
dari masalah batas tanah yaitu menanam kembali tanda batas yang telah hilang atau rusak,
dengan persetujuan kedua pihak. Pemasangan tanda batas untuk tetap menjaga dan
memelihara keamanan tanah, menghindari perselisihan antara para pemilik lahan dan sebagai
jaminan kedepannya letak tanah tetap terjaga. Dalam Peraturan Menteri Agraria Menentukan
tanda batas dari pagar tembok dan pagar besi, maupun bangunan yang dapat bertahan. Bentuk
batas tanah tidak berpengaruh jika dalam mengelola masyarakat patuh pada aturan yang
berlaku. Menurut hasil wawancara masyarakat setempat jika itu menjadi keharusan untuk
kedepannya akan kami patuhi dan selama tanda batas didasari oleh sikap paham sosial yang
tinggi masalah sengketa batas tanah tidak akan pernah terjadi
Faktor pendukung agar pelaksanaan ini berhasil harus didasari oleh keinginan
masyarakat untuk mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pemilik tanah khususnya
mengenai pemasangan tanda batas, mengingat dalam praktik mereka tidak tahu bentuk atau
ukuran atau bahan yang harus digunakan cara pemasangan dan letaknya. Adanya dukungan
dari aparat desa atau dusun dan tokoh masyarakat dan tokoh agama, mengingat kegiatan ini
akan berdampak positif terhadap ketertiban dan ketentraman warganya, yaitu dengan
pengetahuan dan pemahaman warganya mengenai hak dan kewajiban sebagai pemilik tanah
terutama dalam pemberian tanda batas tanah, akan mengurangi sengketa tanah yang
disebabkan tidak jelasnya tanda batas tanah.
Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan, bidang-bidang tanah di ukur setelah
ditetapkan letak dan batas-batasnya serta ditempatkan tanda-tanda batas. Penetapan batas
tanah diupayakan berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan (yaitu pemegang
hak atas tanah yang berbatasan) atau secara "contradictoire dilimitatie".
Apabila dalam penepatan batas bidang tanah, pemohon pengukuran tidak dapat hadir
maka penunjukan batas dapat dikuasakan secara tertulis kepada orang lain.
Apabila dalam penetapan batas bidang tanah tidak ada kesepakatan sampai saat akan
ditetapkannya batas dan pengukuran, maka ditetapkan batas sementara berdasarkan batas-
batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang tanah yang bersangkutan.
Para pemegang hak atas tanah berkewajiban memasang tanda-tanda batas tanah pada sudut-
sudut bidang tanah yang dipunyainya dan memeliharanya. Bentuk dan ukuran tanda batas
kepemilikan tanah diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 1961 tentang
Tanda-Tanda Batas Tanah. Dalam peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1997
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah menentukan bahwa tanda-tanda batas tanah dibedakan menjadi dua yaitu untuk tanah
yang luasnya kurang dari 10 ha dan yang lebih dari 10 ha (pasal 22). Tanah yang kurang dari
10 ha tanda-tanda batas berupa:
1. Pipa besi atau barang besi, panjang sekurang-kurangnya 100 cm dan bergaris tengah
sekurang-kurangnya 5 cm, dimasukan ke dalam tanah sepanjang 80 cm, sedang selebihnya 20
cm diberi tutup dan dicat merah
2. Pipa paralon yang diisi dengan beton (pasir campur kerikil dan semen) panjang sekurang-
kurangnya 100 cm dan bergaris tengah sekurang-kurangnya 5 cm, dimasukan kedalam tanah
sepanjang 80 cm, sedangkan selebihnya 20 cm dicat merah
3. Kayu besi, bengkerai, jati dan kayu lainnya yang kuat dengan panjang sekurang-kurangnya
100 cm lebar kayu sekurang-kurangnya 7,5 cm, dimasukan ke dalam sepanjang 80 cm,
sedang selebihnya 20 cm dipermukaan tanah dicat merah, dengan ketentuan bahwa untuk di
daerah rawa panjangnya kayu sekurang-kurangnya 1,5 m dan lebar sekurang-kurangnya 10
cm, yang 1 m dimasukan ke dalam tanah, sedang yang muncul di permukaan tanah merah.
Pada kira-kira 0,2 m dari ujung bawah terlebih dahulu dipasang dua potong kayu sejenis
dengan ukuran sekurang-kurangnya 0,05 x 0,05 x 0,70 m yang merupakan salib, atau;
4. Tugu dari batu bata atau batako yang dilapisi dengan semen yang besarnya sekurang-
kurangnya 0,20 m x 0,20 m dan tinggi sekurang-kurangnya 0,40 m, yang setengahnya
dimasukan ke dalam tanah, atau;
5. Tugu dari beton, batu kali atau granit dipahat, sekurang-kurangnya sebesar 0,10 m persegi
dan sepanjang 0,50 m yang 0,40 m dimasukan ke dalam tanah, dengan ketentuan bahwa
apabila tanda batas itu terbuat dari beton di tengah-tengahnya dipasang paku atau besi.
Tanah yang luasnya lebih dari 10 ha tanda-tanda batas berupa:
1. pipa besi panjang sekurang-kurangnya 1,5 m bergaris tengah sekurang-kurangnya 10 cm,
dimasukan ke dalam tanah sepanjang 1 m, selebihnya diberi tutup besi dan dicat merah, atau;
2. besi bolak dengan panjang sekurang-kurangnya 1,5 m dan lebar sekuran-kurangnya 10 cm,
dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, sedangkan selebihnya dicat merah, atau
3. kayu besi, bengkerai, jati dan kayu lainnya yang kuat dengan panjang sekurang-kurangnya
1,5 m lebar kayu sekurang-kurangnya 10 cm, dimasukan ke dalam tanah sepanjang 10 m,
dimasukan kedalam tanah sepanjang 1 m, pada kira-kira 20 cm dari ujung bawah dipasang 2
potong kayu sejenis yang merupakan salib dengan ukuran sekurang-kurangnya 0,05 x 0,05 x
0,70 m. Pada bagian atas yang muncul di atas tanah di cat merah, atau; tugu dari batu bata
atau batako yang dilapisi dengan semen atau beton yang besarnya sekurang-kurangnya 0,30
m x 0,30 m dan tinggi sekurang-kurangnya 0,60 m, dan berdiri di atas batu dasar yang
dimasukan ke dalam tanah sekurang-kurangnya berukuran 0,70 x 0,70 x 0, 40 m, atau;
4. pipa paralon yang diisi dengan beton (pasir campur kerikil dan semen) panjang sekurang-
kurangnya 1,5 m dan bergaris tengah sekurang-kurangnya 10 cm, dimasukan ke dalam tanah
sepanjang 1 m, sedangkan selebihnya 0,5 m dicat merah, atau penyimpangan dari bentuk dan
ukuran-ukuran tanda-tanda batas tanah tersebut untuk menyesuaikan dengan keadaan
setempat ditentukan dengan keputusan Kepala Kantor Pertanahan. Kemudian untuk sudut-
sudut batas yang sudah jelas letaknya karena ditandai oleh benda- yang sudah jelas letaknya
karena ditandai oleh benda-benda terpasang secara tetap seperti pagar beton, pagar tembok
atau tugu/patok penguat pagar kawat, tidak harus dipasang tanda batas.

Penutup
a. Kesimpulan
Tanah merupakan salah satu media tumbuh tanaman, baik tanaman semusim maupun
tanaman tahunan untuk keselamatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanah dikatakan
sebagai media untuk tumbuhnya tanaman secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan
berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan penyuplai kebutuhan air
dan udara, secara kimiawi berfungsi sebagai gedung dan penyuplai hara atau nutrisi dan
unsur-unsur esensial. Tanah memberikan banyak manfaat kepada manusia dalam
pengelolaannya. Namun, terlepas dari itu tanah juga dapat membuat manusia hilang relasi
sosial manusia. Tanda batas tanah merupakan hal penting untuk mengetahui titik-titik
kepemilikan atas suatu bidang tanah. Tentunya untuk meminimalisir konflik hak atas tanah
antara pemilik dengan tetangga yang berbatasan. Terjadinya konflik tanda batas tanah,
disebabkan karena lemahnya hukum yang di terapkan dalam kehidupan masyarakat dan
kurangnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi aturan-aturan hukum yang memuat
tentang tanda batas tanah. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang sengketa
tanda batas tanah di Desa Nekmese dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. a. Faktor penyebab tidak adanya tanda batas tanah yaitu:
a.Faktor alam, kondisi lingkungan dapat membuat perubahan alam dan menghilangkan
bentuk alam; b. Faktor penegak hukum, kurangnya pengawasan dari badan atau lembaga
yang menangani batas tanah; c. Faktor masyarakat, kurangnya kesadaran masyarakat akan
hak kepemilikan dan aturan yang mengatur letak tanah.
2. Upaya meningkatkan masyarakat untuk mencegah masalah tanda batas tanah yaitu
melakukan sosialisasi atau pencerahan tentang hak dan kewajiban dalam pengelolaan tanah,
menanam kembali batas tanah yang rusak dengan melakukan persetujuan dengan pemilik
lahan lain
Kesadaran hukum merupakan konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia tentang
keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya.
Kesadaran hukum mencakup unsur-unsur pengetahuan tentang hukum, pengetahuan tentang
isi hukum, sikap hukum, dan pola perikelakuan hukum.
b. Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang dapat disajikan oleh peneliti yaitu faktor tanah
menjadi sesuatu persoalan yang serius karena dapat berdampak pada relasi sosial masyarakat
dan bisa kehilangan nyawa. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya lebih banyak memberi dan
meningkatkan bantuan hukum lewat sosialisasi maupun pencerahan lainnya untuk
menyadarkan masyarakat terkait batas tanah, agar dalam pengelolaan sebuah bidang tanah ses
terus menerapkan apa yang menjadi pemahaman. Jika sesuatu yang diharapkan baik untuk
terjadi dalam diri, namun tidak dilandasi oleh kesadaran, maka sesuatu itu mustahil untuk
terjadi.
Adapun saran penulis bagi para penegak hukum, pemerintah desa dan masyarakat yaitu:
 Para penegak hukum terkhususnya di bidang agraria seharusnya melakukan
pengukuran ulang untuk setiap bidang tanah milik masyarakat yang pernah
bermasalah. Menyesuaiakan setiap pengukuran tanah dari masa ke masa, agar
kepentingan masyarakat dapat terbantu. Hal ini dapat dilakukan sebagai sebuah
jaminan kedepannya letak tanda batas tetap terjaga
 Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan dan mensosialisasikan tentang tanda
batas tanah kepada masyarakat dan melakukan penanaman atau pembuatan tanda
batas tanah yang baru untuk menggantikan tanda batas yang telah rusak atau hilang
 Pemerintah dalam penyelesaian sengketa tanda batas tanah, memberikan sanksi yang
lebih berat agar mengurangi atau mencegah terjadi lagi masalah sengketa tanda batas
tanahrjaga. uai fungsinya dan terarah. Dan kepada masyarakat
 Masyarakat seharusnya tetap memelihara dan menjaga batas tanah agar tidak hilang,
dan menanam kembali tanda batas tanah yang telah hilang atau rusak dengan
melakukan pendekatan dan persetujuan dari pemilik lahan lain untuk mencegah
sengketa tanda batas tanah
 Masyarakat seharusnya menyeimbangi kepentingan pribadi dengan kepentingan orang
lain. Melihat orang lain seperti diri sendiri, agar hak atau kepunyaan orang lain tidak
dirampas. Menerapkan aturan yang berlaku dimulai dari sendiri, mencegah segala
kesalahpahaman terkait kepemilikan sebuah tanah. Kesadaran hukum dapat
diwujudkan jika masyarakat dalam kehidupan berperilaku sesuai aturan atau
kebiasaan yang berlaku

Anda mungkin juga menyukai