Anda di halaman 1dari 9

Nama: Rihhadatul Aisyi

Nim: 220102113
TUGAS HUKUM AGRARIA

EKSISTENSI HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH (HPL)


DAN REALITAS PEMBANGUNAN INDONESIA

A. Pembaharuan Pengaturan dan Pergeseran Istilah serta Subyek HPL


Hak Pengelolaan (HPL) adalah hak menguasai atas tanah yang diberikan oleh negara
kepada pihak ketiga melalui peraturan-peraturan seperti Peraturan Menteri Agraria Nomor 9
Tahun 1965 dan undang-undang terkait. Istilah "hak pengelolaan" mulai digunakan dalam
peraturan-peraturan tersebut, meskipun tidak secara jelas disebutkan dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Perkembangan selanjutnya
menunjukkan bahwa pengelolaan tanah semakin berubah menjadi hak pengelolaan. Subyek
HPL juga mengalami pergeseran, meliputi daerah swatantra, masyarakat hukum adat, dan
badan-badan pemerintah seperti BUMN dan BUMD.
Istilah "hak pengelolaan" banyak digunakan dalam peraturan-peraturan, termasuk
Peraturan Menteri Negara Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 dan
berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah terkait pertanahan, sumber daya alam,
perpajakan, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa istilah "hak pengelolaan" telah
diterima secara luas dalam perundang-undangan di Indonesia.
Beberapa ahli memberikan makna dan penjelasan mengenai hak pengelolaan, di
antaranya adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya sebagian dilimpahkan
kepada pemegang HPL. Namun, terdapat perbedaan dalam UUPA antara penjelasan umum
dan pasal terkait subyek HPL. Istilah "hak pengelolaan" juga merambah ke berbagai bidang,
termasuk sumber daya alam, perpajakan, dan property.
Pengelolaan tanah oleh pihak ketiga melalui HPL juga menjadi topik yang rumit,
terutama dalam menghadapi UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan
PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Masa transisi ini
menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pemerintah dalam mengelola seluruh aset
tanahnya serta perlunya kerja sama dengan pihak ketiga. Masalah ini membutuhkan
pendekatan yang komprehensif dan harmonis dalam mengatur HPL.

1
Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum material, di mana negara ikut campur
dalam berbagai bidang termasuk tanah, kerja sama antara pihak swasta dan pemerintah
menjadi penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, perlu dicari
solusi yang tepat untuk mengatur HPL dan memenuhi prinsip-prinsip hukum secara obyektif
dalam norma hukum yang berlaku.
Dalam menghadapi persoalan hukum terkait HPL, penting untuk menerjemahkan
prinsip-prinsip hukum secara filosofis, yuridis, dan sosio-kultural agar pengelolaan tanah
dapat dilakukan secara adil dan berkelanjutan.

B. Eksistensi HPL
HPL (Hak Pengusahaan Lahan) adalah hak penguasaan tanah oleh negara yang perlu
diharmonisasi baik secara vertikal maupun horizontal. Peraturan perundang-undangan harus
konsisten dan tidak saling bertentangan. Tujuan utama UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria) adalah memaksimalkan pemanfaatan tanah untuk kemakmuran rakyat, sehingga
hukum tidak boleh menutup peluang partisipasi dalam pembangunan. Namun, pemerintah
masih perlu meningkatkan profesionalitas dalam memanfaatkan aset tanahnya yang luas.
Prinsip keseimbangan dan keadilan dalam pembagian tanah HPL menjadi penting.
Pertanyaannya adalah sejauh mana kebijakan pemerintah memperhatikan ekonomi yang
lemah atau apakah HPL hanya menguntungkan pemodal.
Program transmigrasi merupakan salah satu program pemerintah yang mengalihkan HPL
kepada golongan ekonomi lemah. Peserta transmigrasi mendapatkan sekitar 2 hektar tanah
untuk usaha dan pemukiman, dan tanah HPL dapat dialihkan menjadi hak milik bagi mereka.
Program transmigrasi juga merupakan pelaksanaan reforma agraria. Namun, peralihan HPL
menjadi hak milik tidak terlepas dari masalah, terutama terkait kecemburuan penduduk lokal
terhadap peserta transmigrasi. Oleh karena itu, prinsip kearifan lokal dan adat istiadat
setempat perlu diperhatikan dalam peralihan HPL menjadi hak milik.
Pengakuan terhadap hukum adat sangat penting dalam pembangunan nasional. Hukum
adat merupakan sumber hukum materiil yang mencerminkan nilai-nilai budaya asli penduduk
pribumi. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat harus diberikan ruang yang cukup
dalam kebijakan negara. Dalam filsafat hukum aliran "sociological jurisprudence", hukum
positif yang baik dan efektif adalah hukum yang sesuai dengan living law. Oleh karena itu,
peran hukum adat dalam pembangunan Indonesia sangat penting, sejalan dengan prinsip
Bhineka Tunggal Ika.

2
Peralihan HPL menjadi Hak Guna Bangunan merupakan sumber permasalahan yang
banyak terjadi, baik bagi pemegang HPL maupun pihak ketiga. Bidang pembangunan seperti
perumahan, industri, dan pariwisata sering memanfaatkan peluang ini. Pemegang HPL
memiliki kewenangan untuk menerima uang pemasukan dan/atau uang wajib tahunan sesuai
perjanjian. Namun, perselisihan sering terjadi terkait uang pemasukan ini antara pemegang
HPL dan pihak ketiga. Peraturan perundang-undangan menjadi penting untuk menetapkan
persentase minimal dan maksimal dalam penentuan uang pemasukan. Standar seperti Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP) dapat dijadikan patokan. Pihak ketiga juga wajib membayar Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan UU No. 21 Tahun 1997.
HPL memberikan kontribusi positif terhadap keuangan negara melalui pajak.

C. HPL dan Realitas Pembangunan di Indonesia


Fungsi hukum dalam proses pembangunan adalah sebagai sarana pembangunan,
membuka jalan, dan menyalurkan kebutuhan masyarakat. Dalam perspektif masa depan,
batas-batas negara menjadi kabur, dan ekonomi global mengikuti logikanya sendiri. Oleh
karena itu, peran negara dalam melindungi warganya dan mengakomodasi perubahan
menjadi penting.
Praktik pemanfaatan Hak Pengusahaan Lahan (HPL) dalam pembangunan di Indonesia
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar: pemanfaatan HPL untuk golongan ekonomi
menengah ke bawah, pemanfaatan HPL untuk fasilitas umum, dan pemanfaatan HPL oleh
swasta dalam program pembangunan.
Tanah merupakan aset dan modal pembangunan, serta memiliki nilai non-ekonomi.
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah yang luas memiliki potensi
pembangunan yang membutuhkan keterlibatan sektor swasta. Menggabungkan semangat
wirausaha ke dalam birokrasi, seperti yang dikemukakan oleh David Osborne, dapat
menghasilkan pembaruan birokrasi yang efektif.
Ide tersebut menekankan pentingnya delegasi kekuasaan kepada satuan yang lebih kecil
untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik. Dalam
konteks HPL, delegasi hak pengelolaan negara kepada badan pemerintah dapat memberikan
manfaat dalam bentuk profesionalisme dalam menjalin kemitraan dengan pihak ketiga, yang
dikenal sebagai "Prinsip entrepreneurship".
Pulau Batam merupakan contoh sukses pemanfaatan HPL, di mana hak pengelolaan
pulau tersebut diserahkan kepada Otorita Batam. Namun, dengan adanya pemerintah

3
Kotamadya Batam, terdapat perselisihan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
terkait pertanahan.
Pulau Batam juga menjadi contoh kebanggaan Indonesia sebagai kawasan kompetitif di
Asia Pasifik dan dapat menjadi pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia. Kasus
persengketaan HPL Tanjung Priok menunjukkan pentingnya memperhitungkan prinsip
lingkungan hidup dalam pemanfaatan HPL. Prinsip kearifan lokal juga menjadi faktor
penting dalam pengembangan pelabuhan, seperti yang terjadi di Pelabuhan Kaohsiung di
Taiwan.
Pemanfaatan HPL pelabuhan memiliki peranan penting dalam mendorong pertumbuhan
kota pelabuhan dan sektor jasa terkait perhubungan. Indonesia sebagai negara maritim
memiliki potensi untuk mengembangkan kota-kota pantai berbasis pelabuhan sebagai
lokomotif ekonomi. Dengan demikian, pemahaman dan implementasi yang baik terhadap
fungsi dan prinsip-prinsip HPL dalam pembangunan dapat berkontribusi positif terhadap
kemajuan Indonesia.

4
HAK TANGGUNGAN SEBAGAI LEMBAGA JAMINAN
TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH

A. Pengertian Hak Tanggungan


Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan mengatur tentang hak
jaminan yang dikenakan pada hak atas tanah dan benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut untuk tujuan pelunasan utang tertentu. Hal ini memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.
Hak Tanggungan memungkinkan kreditur yang memegangnya untuk menjual objek hak
tanggungan melalui pelelangan umum jika debitur ingkar janji. Penjualan tersebut dilakukan
untuk melunasi utang yang telah diperjanjikan, dengan memberikan hak prioritas kepada
kreditur pemegang hak tanggungan terhadap kreditur lainnya.
Undang-undang tersebut juga menyebutkan hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak
tanggungan, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah Negara. Berbagai hal terkait Hak Tanggungan diatur dalam undang-undang, termasuk
objek Hak Tanggungan, pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, tata cara pemberian,
pendaftaran, peralihan, dan pencabutan Hak Tanggungan, eksekusi Hak Tanggungan,
pencoretan Hak Tanggungan, serta sanksi administratif.
Pelaksanaan Undang-undang ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 jo. Permeneg Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 mengenai
Pendaftaran Hak Tanggungan.
Dengan demikian, Hak Tanggungan merupakan lembaga hak jaminan atas tanah yang
menggantikan kedudukan Hypotheek dan Crieditverband, dan pemberian Hak Tanggungan
dilakukan melalui Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat di hadapan Notaris dan
didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Hak Tanggungan memberikan kedudukan istimewa bagi
kreditur pemegangnya dalam pelunasan hutang-piutang yang telah diperjanjikan.

B. Syarat Pendaftaran
Dalam pemberian Hak Tanggungan atas Hak Milik Tanah, tujuannya adalah untuk
mengatur perjanjian pinjaman dan hubungan hutang-piutang antara kreditor dan debitur, yang
mencakup hak kreditor untuk menjual aset sebagai jaminan dan mengumpulkan hutang dari
hasil penjualan tersebut. Untuk memastikan hal ini, kepastian hukum yang jelas diperlukan
melalui registrasi sebagai saat terbentuknya hak tanggungan, yang menciptakan hubungan

5
hukum yang mengikat antara pihak-pihak yang terlibat dan pihak ketiga yang
berkepentingan, dengan tujuan menghindari perselisihan di masa depan selama
pelaksanaannya.
Oleh karena itu, pendaftaran Hak Tanggungan yang dikenakan pada Hak Milik harus
dilakukan di Kantor Pertanahan di yurisdiksinya masing-masing. Dalam proses pendaftaran,
terdapat dua persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana yang disebutkan oleh Satrio:
1. Persyaratan kekhususan: Ini adalah persyaratan penting mengenai subjek dan objek hak
tanggungan itu sendiri, yang akan diberikan.
2. Persyaratan publisitas: Persyaratan ini harus dipenuhi untuk memastikan publikasi
terbuka dan publik, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengetahuinya.
Persyaratan kekhususan mengacu pada pemenuhan substansi atau dasar pemberian hak
tanggungan, yang dilakukan di hadapan notaris/pejabat umum dengan kehadiran pihak-pihak
yang terlibat dalam perjanjian tersebut, yang terutama berkaitan dengan hubungan hutang-
piutang untuk menerapkan Hak Tanggungan atas Hak Milik tanah dari pemberi Hak
Tanggungan sebagai jaminan pembayaran hutang. Jenis-jenis hak atas tanah yang dapat
dikenakan hak tanggungan adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Agraria,
yaitu:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai Tanah Negara
5. Hak Atas Satuan Rumah Susun dan Hak Milik atas Unit Rumah Susun
Terkait dengan masing-masing hak tersebut, terdapat perbedaan dalam proses pemberian
hak tanggungan, berdasarkan bukti kepemilikan hak-hak yang diajukan ke notaris. Dalam
diskusi ini, fokusnya adalah Hak Milik sebagai hak utama dan penuh atas tanah untuk
dikenakan Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan melalui akta autentik, yaitu Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT), yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
yang diotorisasi oleh undang-undang. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang
Pembuktian Perjanjian (UU PPAT), APHT harus mencakup:
1. Nama dan identitas pemberi Hak Tanggungan dan penerima hak tanggungan.
2. Tempat tinggal para pihak

6
3. Penujukan secara jelas hutang yang dijamin, juga nama dan identitas pemberi hak
tanggungan jika pemberi Hak Tanggungan bukan debitur.
4. Nilai tanggungan yang diuraikan secara jelas
5. Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan
6. Janji-janji

C. Proses Pendaftaran
Proses pendaftaran Hak Tanggungan melibatkan beberapa langkah penting yang
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendaftaran dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan data yang terdapat
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang diterima dari PPAT. APHT
dibuat dalam 2 lembar asli (In Originali) yang ditandatangani oleh debitur pemberi
Hak Tanggungan, kreditur penerima Hak Tanggungan, 2 orang saksi, dan PPAT.
2. Lembar pertama APHT disimpan di kantor PPAT, sementara lembar kedua dan
salinannya yang telah diparaf oleh PPAT disahkan sebagai salinan oleh Kepala
Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertifikat Hak Tanggungan.
3. Selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah ditandatangani di hadapan PPAT,
warkah-warkah yang diperlukan beserta surat-surat dokumen harus disampaikan
kepada Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan. Surat pengantar dari PPAT
dibuat dalam rangkap dua dan mencantumkan daftar jenis surat-surat yang
disampaikan.
4. Surat-surat yang wajib disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan meliputi: a.
Surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari penerima Hak Tanggungan. b.
Fotokopi surat bukti identitas pemberi dan penerima Hak Tanggungan. c. Sertifikat
asli Hak milik atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan. d. Lembar kedua
APHT. e. Salinan APHT yang telah diparaf oleh PPAT untuk disahkan sebagai
salinan dalam pembuatan sertifikat Hak Tanggungan. f. Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan (SKMHT) jika pemberian Hak Tanggungan melalui kuasa.
5. Semua dokumen tersebut disusun secara rinci untuk memastikan tanggal penerimaan
surat-surat dokumen yang lengkap, yang akan menentukan peringkat Hak
Tanggungan pada buku tanah yang terkait.

7
6. Setelah proses tersebut, Kepala Kantor Pertanahan mencatatkan adanya Hak
Tanggungan pada buku Tanah dan menyalinnya pada sertifikat Hak atas Tanah yang
dijadikan jaminan.
7. Proses pendaftaran dilakukan untuk memastikan publikasi Hak Tanggungan agar
pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengetahui dengan jelas tentang pemberian
Hak Tanggungan, termasuk pemberi Hak Tanggungan, kreditur pemegangnya, jenis
dan jumlah piutang yang dijaminkan, serta benda-benda yang menjadi jaminan.
8. Pendaftaran tersebut memberikan jaminan hukum terhadap pelaksanaan perjanjian
yang telah disepakati oleh para pihak, serta untuk melindungi hak-hak pihak ketiga
yang terlibat dalam perbuatan hukum yang terjadi.
9. Kantor Pertanahan bertindak sebagai pelengkap dalam proses pendaftaran Hak
Tanggungan, dengan kewenangan dan syarat-syarat pemberian yang harus dipenuhi
saat pemberian Hak Tanggungan dilakukan di hadapan Notaris/PPAT.
10. Melalui pendaftaran, perjanjian yang telah disepakati dianggap sah dan mengikat para
pihak, serta menjadi bukti yang jelas dan terjamin untuk kepentingan perlindungan
hak-hak pihak yang terlibat, termasuk penyelesaian sengketa yang mungkin timbul.

D. Akibat Hukum
Kepastian mengenai tanggal kelahiran Hak Tanggungan memiliki signifikansi penting
baik bagi kreditur maupun dalam menentukan peringkat Hak Tanggungan jika ada kreditur
lain yang terlibat. Jika Hak Tanggungan telah didaftarkan, kedudukan kreditur sebagai
pemegang Hak Tanggungan tidak akan terpengaruh oleh sita jaminan yang ditempatkan
kemudian. Namun, jika sita jaminan ditempatkan sebelum pendaftaran dalam tujuh hari
pertama, Hak Tanggungan tersebut tidak dapat didaftarkan karena pemberi Hak Tanggungan
tidak lagi diperbolehkan untuk melakukan perbuatan hukum mengenai objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
Dengan demikian, kewenangan untuk memberikan Hak Tanggungan terhadap Hak Milik
atas Tanah harus ada pada saat proses pendaftarannya. Setelah buku Tanah dibuat dalam
waktu tujuh hari kerja, sertifikat Hak Tanggungan diterbitkan sebagai bukti adanya Hak
Tanggungan yang bersangkutan. Sertifikat ini terdiri dari salinan buku tanah Hak
Tanggungan dan salinan APHT yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan dan dijilid
menjadi satu dalam satu sampul dokumen. Pada sampul sertifikat tersebut, terdapat irah-irah
dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

8
Sertifikat Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sertifikat tersebut berlaku sebagai
pengganti grosse akta hipotek dalam pelaksanaan eksekusi parate berdasarkan Pasal 20
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997.
Dengan demikian, pendaftaran Hak Tanggungan memungkinkan eksekusi tanpa perlu
persetujuan hakim, di mana debitur ingkar janji dalam pelaksanaan isi perjanjian yang telah
disepakati. Setelah APHT dibuat, kreditur berkedudukan sebagai penerima Hak Tanggungan,
dan setelah pendaftaran dilakukan, kreditur tersebut menjadi pemegang Hak Tanggungan
yang memiliki kedudukan yang diutamakan dan istimewa dalam pelunasan utang oleh
debitur.
Pendaftaran Hak Tanggungan memiliki peran penting karena memberikan jaminan
hukum yang memungkinkan eksekusi jaminan tersebut tanpa persetujuan hakim jika debitur
melanggar perjanjian yang telah disepakati. Selain itu, pendaftaran ini juga memberikan
informasi kepada pihak ketiga yang berkepentingan mengenai adanya pembebanan Hak
Tanggungan, sehingga diharapkan tidak akan terjadi tindakan yang melanggar ketentuan
hukum. Melalui pendaftaran, tercipta akibat hukum yang mengikat secara sah terhadap pihak-
pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut, serta memberikan publikasi kepada masyarakat
luas untuk mencegah perbuatan hukum yang melanggar atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai