Anda di halaman 1dari 18

Materi Pengadaan 

Tanah
12 Mei

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui,
memahami dan menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut
menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan
segi lahiriah dari manusia, akan tetapi juga dari segi batiniah.

Dalam ketentuan perundang-undangan mengenai Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan


Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang berlaku sekarang perlu dirumuskan kembali
sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berkembang dimasyarakat, agar menghasilkan ketertiban
dan ketenteraman didalam masyarakat. Perlu dirumuskan kembali Perpres No. 65 Tahun 2006,
mengingat potensi masalah yang akan timbul dimasyarakat, yakni:

A.   Pendefinisian yang konkret tentang pengertian  Kepentingan Umum, menurut


peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang.

Pengertian kepentingan umum dirumuskan secara abstrak, yaitu kepentingan sebagian besar
masyarakat. Pengertian kepentingan umum dibatasi untuk kepentingan pembangunan yang tidak
bertujuan komersial. Batasan tentang pengertian kepentingan umum terlihat abstrak, sehingga
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam masyarakat. Akibat yang ditimbulkan adalah
ketidakpastian hukum dan menjurus pada munculnya konflik dalam masyarakat.

Pembatasan kepentingan umum dalam dua hal, pembangunan itu dilaksanakan


pemerintah/pemda yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki pemerintah/pemda. Pengurangan
pembangunan untuk kepentingan umum dari 21 menurut Perpres 36 Tahun 2005 menjadi 7 jenis
dalam Perpres No. 65 Tahun 2006. Pengurangan tersebut akan menimbulkan permasalahan
manakala pemerintah/pemda akan membangun puskesmas/rumah sakit umum, tempat
pendidikan atau sekolah, lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, kantor
pemerintah/pemda, pasar umum/tradisional.

B.   Penitipan ganti rugi ke pengadilan negeri bila proses musyawarah mengenai harga
tanah tidak selesai.

Masalah utamanya adalah mekanisme penitipan ganti rugi kepada pengadilan negeri,
permasalahan penitipan uang ganti kerugian kepada pengadilan negeri bila lokasi pembangunan
tidak dapat dipindahkan, namun musyawarah tidak mencapai hasil setelah berlangsung 120 hari
kalender (sebelumnya 90 hari) dalam pasal 10. Penerapan lembaga penawaran pembayaran yang
diikuti dengan penitipan pada pengadilan negeri yang diatur dalam pasal 1404 KUH Perdata
keliru diterapkan dalam Perpres ini.

Pengadaaan tanah adalah perbuatan pemerintah/pemda yang masuk dalam ranah hukum
administrasi, sedangkan lembaga penawaran pembayaran dalam pasal 1404 KUH Perdata
mengatur hubungan hukum keperdataan diantara para pihak. Selain keliru menerapkan konsep
dan terkesan memaksakan kehendak sepihak, pasal 10 ini tidak final.  Sepanjang masyarakat
tetap keberatan dengan ganti kerugian, meski ganti kerugian telah dititipkan kepada pengadilan
negeri, tetap terbuka proses pengusulan pencabutan hak atas tanah melalui Pasal 18 Perpres ini,
sesuai UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah yang merupakan pelaksanaan
amanat pasal 18 UUPA. Pencabutan hak baru dapat ditempuh jika upaya musyawarah gagal dan
merupakan upaya terakhir yang dimungkinkan oleh hukum. Penetapan jangka waktu 120 hari
diharapkan dapat dicegah berlarutnya proses musyawarah sekaligus menimbulkan tekanan psikis
pada masyarakat yang enggan berhubungan dengan lembaga peradilan. Secara hukum pasal 10
Perpres ini tidak relevan karena tanpa menitipkan ganti kerugian pada pengadilan negeri sudah
ada jalan keluar yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961.

1. Pengaturan tentang permukiman kembali tidak diatur lebih lanjut, sehingga permukiman
kembali dilaksanakan hanya sekedar memindahkan warga masyarakat yang terkena
proyek pembebasan dari tempat yang lama ketempat yang baru, tanpa diikuti dengan
kegiatan untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi mereka.

Paradigma baru tentang pemulihan sosial ekonomi warga masyarakat yang terkena proyek
pembebasan adalah perlu adanya upaya untuk memulihkan kegiatan ekonomi mereka dengan
memperhitungkan kerugian yang dialami oleh warga yang terkena dampak pembebasan
tanahnya. Bagi warga masyarakat yang sebelumnya  tanah merupakan aset yang berharga,
sebagai tempat usaha, bertani, berkebun dan sebagainya, terpaksa kehilangan aset ini kerena
mereka dipindahkan ketempat pemukiman yang baru. Pemulihan lokasi pemukiman yang baru
bagi warga masyarakat seharusnya dibarengi dengan perencanaan pembangunan infrastruktur
yang mendukung kegiatan  dalam upaya pemulihan kehidupan sosial ekonomi warga
masyarakat. Setidak-tidaknya masyarakat tidak akan menjadi lebih miskin sebelum tanah
dibebaskan.

Perlu adanya pemikiran tentang lokasi tempat pemukiman yang baru, harus ditata sesuai dengan
rencana tata ruang daerah atau kota, dengan diikuti oleh proyek konsolidasi tanah perkotaan atau
perdesaan. Konsekwensi dari pemikiran ini diharapkan agar pembebasan tanah ini sekaligus akan
terjadi pengembangan wilayah baru yang tertib dan membangun sentral-sentral ekonomi baru
bagi masyarakat.

1. Panitia pencabutan hak-hak atas tanah harus juga bertanggungjawab terhadap upaya
pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak pembebasan.
Keanggotaan penitia pembebasan tanah tidak hanya didominasi oleh instansi pemerintah
saja, tetapi harus juga melibatkan masyarakat/LSM dan wakil dari perguruan tinggi, agar
netralitas kepanitiaan tetap terjaga.

Hubungan Perpres No. 65 Tahun 2006 Perubahan atas Perpres No. 36 Tahun 2005 dengan
Keppres atau UU sebelumnya mengenai persoalan terkait hanya sebagai legitimasi bahwa
kebijakan yang dimaksud itu tidak memenuhi tuntutan pasar. Situasi politik, ekonomi dan
sosialnya sudah berbeda dan berkembang. Diharapkan akan menarik investor berdatangan.
Sebaliknya yang terjadi adalah makin terjadi konsentrasi penguasaan atas tanah dan lepasnya
penguasaan tanah oleh banyak warga masyarakat pada segelintir orang saja.
Peraturan perundang-undangan dibidang agraria, memberi kekuasaan yang besar kepada negara
untuk menguasai semua tanah yang ada diwilayah Indonesia, sehingga berpotensi melanggar hak
ulayat dan hak perorangan atas tanah. Pengadaan tanah sebagai suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah untuk kepentingan tertentu dengan cara
memberikan ganti kerugian kepada pemilik tanah baik perorangan atau badan hukum menurut
tata cara dan besaran nominal tertentu. Pemerintah atas nama negara memerlukan tanah untuk
pembangunan namun karena ketersediaan tanah yang dikuasai negara terbatas maka dasar
hukum yang digunakan adalah Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah, maka pemerintah
mengambil tanah-tanah hak yang dikuasai oleh perorangan atau badan hukum dengan
memberikan penggantian yang layak.

Aktifitas pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan secara teoritik didasarkan pada
azas/prinsip tertentu dan terbagi menjadi dua subsistem:

1. Pengadaan tanah oleh pemerintah karena kepentingan umum,


2. Pengadaan tanah oleh pemerintah karena bukan kepentingan umum (komersial).

Walaupun tersebut secara normatif dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum, sesungguhnya jalan tol tidak dapat dimasukkan dalam ranah
kepentingan umum. Argumentasinya menurut Kitay (1985) kepentingan umum mengandung tiga
unsur esensial yakni; dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan non profit.
Realitas menunjukan bahwa jalan tol pasti bermotif  profit. Sehingga argumentasi  hukumnya
yang tepat untuk jalan tol cara perolehan tanah oleh pemerintah bukan dengan pengadaan tanah,
melainkan dengan jual beli.[6]

Menurut Soemardjono, kelemahan regulasi yang mengatur masalah aktivitas pengadaan tanah
untuk kepentingan umum beberapa variabel diantaranya adalah:

1. Wujud produk hukum mestinya berupa undang-undang karena aspek yang diatur
(substansi) menyangkut hajat hidup orang banyak, bersifat esensial (hak asasi manusia),
konkritnya bertautan pangan, papan dalam konteks negara agraris.
2. Masih luasnya makna kepentingan umum, persoalan yang mengemuka, istilah tanpa batas
yang jelas dan tegas. Ada satu dari tiga alaternatif pertama hanya pedoman umum
sehingga mendorong penafsiran terbuka, kedua mencantumkannya dalam daftar kegiatan
(list provision) atau gabungan dari keduannya.
3. Belum dipisahkan secara jelas dan tegas perbedaan kegiatan pembangunan untuk
kepentingan umum dan bukan kepentingan umum.
4. Bentuk ganti rugi yang dimuat bersifat fisik dan tidak mencantumkan yang non fisik.
Padahal harga perubahan status pemegang hak dari profesi petani menjadi menjadi yang
lain sangat mahal misalnya menjadi buruh kasar, kuli bangunan, pemulung.
5. Peran dan kedudukan panitia pengadaan tanah, terutama masalah independensinya
sehingga mampu memetakan dirinya sebagai fasilitator para pihak secara independen.
6. Regulasi menafsirkan secara keliru dan menunjukan pemaksaan kehendak dalam
penetapan ganti kerugian yang tidak disepakati subjek dengan menganalogkan konsinyasi
(penitipan barang dipanitera pengadilan menurut pasal 1404 KUH Perdata)
Dari sisi hukum dimensi keadilan harus dikedepankan artinya makna fungsi sosial terjadinya
keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan. Tegasnya hak-hak yang
sah dari subyek hak atas tanah harus dilindungi dan dihargai. Disisi lain, keikhlasan pemegang
hak demi kepentingan masyarakat yang lebih luas juga sepantasnya dihargai oleh
pemerintah/pemda dan panitia pengadaan tanah.

Pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum oleh pemerintah
dialakukan secara musyawarah antara pemerintah dan perseorangan atau badan hukum yang
menguasai hak milik atas tanah. Adapun syarat untuk terjadinya musyawarah, yakni:

1. Didasarkan pada suatu bentuk kebijakan yang dituangkan dalam suatu produk hukum.
2. Kesamaan prespektif tentang kepentingan umum, musyawarah, substansi penggantian
yang layak.
3. Dilakukan secara langsung, bersama (egaliter/setara), efektif.
4. Saling menerima dan memberi (take and give) pendapat/pandangan, saran, kritik dan
usul.
5. Hanya dapat dilaksanakan dengan hasil yang optimal, jika diketahui materi/substansi
yang dimusyawarahkan, tujuan, hambatan, target yang konkret, peran yang jelas dan
solusi yang adil.
6. Musyawarah tidak boleh ada pemaksaan kehendak pihak yang satu terhadap pihak yang
lain.
7. Pelibatan secara setara pemangku kepentingan dalam forum musyawarah tanpa ada
egosektoral/mengedepankan kepentingan individu/kelompok/ golongan.

Baik acara perolehan tanah melalui kegiatan pengadaan tanah dengan kata sepakat maupun
pencabutan hak (sebagai suatu upaya hukum pemungkas dan final jika pengadaan tanah
musyawarah untuk mencapai mufakat gagal dilakukan dan tidak dimungkinkan pemindahan
lokasi kegiatan ketempat lain), terhadap subyek hak wajib diberi imbalan yang layak berupa
uang, fasilitas/tanah pengganti sehingga keadaan sosial-ekonominya tidak merosot/menurun.

Keterlibatan panitia pengadaan tanah yang memiliki netralitas dalam pemecahan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum tidak hanya selesai pada proses ganti kerugian tetapi juga
menyangkut penyelesaian sesudah proses ganti kerugian, yakni menyangkut profesi perorangan
yang melekat dengan tanah seperti petani, pemilik kebun, dll, yang harus dipikirkan mengenai
profesi selanjutnya setelah proses pengadaan tanah guna dapat menyambung ekonomi demi
menunjang kehidupan.

Persoalan yang esensial dari dimensi hukum bahwa perbuatan hukum itu menjadi benar, adil
dengan terpenuhinya prosedur atau tata cara saja. Namun yang justru mendasar adalah:

1. Apakah panitia pengadaan tanah termasuk tim penilai benar-benar secara jujur
mengakomodasi kepentingan si pemilik tanah?
2. Dalam pembagian peran pada P2T biasanya leading sektor adalah pemda (sebagai
penggagas) kurang melakukan koordinasi dan peran setara dengan institusi terkait BPN,
kantor pelayanan PBB Pajak Pratama, Dinas Kimpraswil, Badan Urusan Tanah dan
Rumah, dsb, akibatnya dalam taksasi nilai tanah tidak sesuai dengan kewajaran sehingga
memicu adanya konflik/sengketa hukum.
3. Tidak terfikirkan terhadap si empunya tanah skenarionya tidak diberikan penggantian
yang layak dalam bentuk uang/relokasi melainkan, misalnya penyertaan saham jalan tol
dengan assesmentyang teliti berapa besaran disesuaikan dengan luas lahannya.

Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupaka prosedur yang menyangkut
persoalan esensial dalam upaya penegakkan hukum yang berujung pada tercapainya keadilan.
Dalam konteks sosial sesungguhnya prosedur atau mekanisme merupakan sebuah kontrak sosial
yang merupakan kesepahaman antara regulator dengan rakyat mengenai urut-urutan kegiatan
yang harus ditempuh dalam suatu kegiatan. Dalam penyusuna prosedur menurut Nonet dan
Selznick harus bersifat jelas (tidak multitafsir), sederhana dan mudah dilaksanakan (tidak
birokratik), bertujuan jelas, mengedepankan kemaslahatan masyarakat daripada kepentingan
regulator.

Menurut Satjipto Rahardjo, produk hukum yang lebih banyak melayani kepentingan golongan
atas dan belum menyentuh masyarakat stratum bawah. Oleh karena itu dalam proses pembuatan
hukum, legislator sangat dituntut kesadarannya untuk mencermati berbagai kekuatan yang ikut
bermain dalam proses dengan antara lain secara sistematis memasukan komponen asas hukum
untuk mengalirkan nilai-nilai yang dianut masyarakat.

Lebih lanjut Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa pembahasan eksekusi sebagai suatu
permainan bahasa dari banyak keinginan, kepentingan mengubah menjadi harapan dan
keinginan. Seringkali peraturan diciptakan dengan wawasan yang sangat sempit, bebas emosi,
menempatkan kepentingan masyarakat sebagai urutan pertama, merupakan aktifitas
berkesinambungan. Sehingga implikasi yang timbul, harus dicermati dari sekian variabel dari
proses panjang prosedur dan eksekusinya. Berbicara hukum tidak hanya terbatas pada apa yang
tertuang dalam teks, seperti hukum alam atau matematis segala sesuatu terkuantifikasi. Dalam
penafsiran bukan menggunakan logika peraturan semata, melainkan kenyataan yang ada
dimasyarakat.

Berkaitan dengan kebijakan (policy), maka suatu kebijakan yang diambil pada tataran, nasional,
regional, lokal dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan wajib
mempertimbangkan produk hukum apa yang akan dihasilkan, artinya bagaimana wujud
pengkaidahan kebijakan yang akan dibuat, kemana hukum hendak diarahkan, variabel apa yang
secara signifikan dapat mengubah hukum yang diberlakukan. Bagaimana implikasi kebijakan
dapat dikatakan sebagai kebijakan yang tidak implementatif, otoriter, tidak realistik, terlepas dari
nilai-nilai keadilan dan etika berbangsa dan bernegara (principle of good governence).

Salah satu permasalahan muncul sebagai akibat dari pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan adalah terhadap petani yang kehilangan tanahnya harus berubah menjadi non
petani: buruh tani, buruh pabrik, penarik becak, buruh bangunan yang sebelumnya tidak pernah
terbayangkan. Apakah sengaja atau tidak mengabaikan kalkulasi kerugian akibat pengadaan
tanah terhadap perubahan tata guna lahan yang semula sawah beririgasi teknis yang dulu dibiayai
dengan hutang luar negeri menjadi peruntukan lain, misalnya bendungan pengairan,
prasarana/sarana jaringan transportasi darat. Berapa biaya yang harus dikeluarkan pemerintah
untuk melakukan perubahan peta tata ruang nasional/propinsi/kabupaten/kota sebagai akibat dari
pengadaan tanah atau sebaliknya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak yang
memerlukan tanah untuk pengamanan infrastruktur yang akan atau sedang dibangun oleh
aparatur keamanan akibat mendapatkan resistensi atau penolakan warga masyarakat kerena
sebab tertentu. Bila dilakukan dengan pendekatan legal-positivistik akan sia-sia, karena
ketidakmampuan mengungkap akar persoalan, mengapa setiap aktifitas pengadaan tanah pada
tataran implementatif mengalami resistensi dari publik.

Persoalan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum hanyalah
berakar pada pengalokasian anggaran untuk pembayaran ganti kerugian kepada subyek eks
pemegang hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
58/PMK.02/2008. Tidak pernah terfikirkan bagaimana implikasi sosial-ekonomi-budaya
perubahan hidup eks pemegang hak atas tanah sesudah tanahnya diambil oleh pemerintah.

Menurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan:

Pasal 36

1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak
melanggar hukum,

2)  Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan cara melawan
hukum,

3)  Hak milik mempunyai fungsi sosial.

Pasal 37

1)    Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan
dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

2)     Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus
dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu
maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan kecuali ditentukan lain.

Mengacu pada ketentuan Pasal 36 dan Pasal 37 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia maka kaidah hukum yang mengatur mengenai Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
bagi kepentingan umum berupa undang-undang bukan Perpres sebagaimana selama ini berlaku.
Mengingat masalah hak atas tanah merupakan sesuatu yang bersifat fundamental serta
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Tidak dibenarkan hak atas tanah seseorang termasuk
didalamnya hak Ulayat (hak Adat) atas tanah diambil oleh pihak lain apalagi secara paksa
dengan mengabaikan aspirasi si subyek hak atas tanah.
About these ads
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Pembukaan


UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk terus
bertambah, dan sejalan dengan semakin meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka
semakin meningkat dan beragam pula kebutuhan penduduk itu.
Termasuk dalam kegiatan pembangunan Nasional itu adalah pembangunan untuk kepentingan
umum. Pembangunan untuk kepentingan umum ini harus terus diupayakan pelaksanaannya
seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang disertai dengan semakin
meningkatnya kemakmurannya.

Penduduk yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik,
tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jaringan/transportasi, fasilitas
pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan
sebagainya.

Pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas, memerlukan tanah sebagai


wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih luas, pembangunan fasilitas umum tersebut tidak
menemui masalah. Tetapi persoalannya tanah merupakan sumberdaya alam yang sifatnya
terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia sudah banyak yang dilekati
dengan hak (tanah hak), dan tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.

Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan
umum di atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil
tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah.

Melihat uraian diatas, maka kami tertarik untuk menulis makalah yang membahas tentang
persoalan-persoalan diatas dengan judul:

“PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK


KEPENTINGAN UMUM”…

I.2. Tujuan Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini bertjuan untuk meamenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Hukum Agraria pada fakultas syari’ah dan hukum di Universitas Islam Negeri Syarif
hidayatullah Jakarta serta dengan makalah ini diharapkan menjadi sumbangsih penulis untuk
kepentingan para mahasiswa.

1.3. Sistematika Penulisan

Didalam makalah ini, terdapat sistematika penulisan makalah dengan rincian sebagai
berikut :

BAB I : Pendahuluan

Latar belakang masalah

Tujuan penulisan

Sistematika penulisan

BAB II : Pembahasan

BAB III: Penutup/Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1. Definisi pengadaan tanah dan kepentingan umum

A. Definisi pengadaan tanah

Pengertian Pengadaan Tanah Menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 :


Pasal 1 : “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti kerugian kepada orang yang berhak atas tanah tersebut”.

Pengertian Pengadaan Tanah Menurut Perpres No. 36 Tahun 2005 :


Pasal 1 angka (3) : “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti rugi kepada orang yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,
tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah”.
Pengertian Pengadaan Tanah Menurut Perpres No. 36 Tahun 2005 :
Pasal 1 angka (3) : Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,bangunan,
tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.”

B. Definisi kepentingan umum

Pengertian Kepentingan Umum Menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 :


Pasal 1 angka (3) : “Kepentingan Umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat “.
Pasal 5 : “Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keppres ini dibatasi untuk :
1. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjtunya dimiliki pemerintah serta tak
digunakan untuk mencari keuntungan dalam bidang-bidang antara lain :
a. jalan umum, saluran pembuangan air.
b. waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi.
c. rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat.
d. pelabuhan, bandar udara atau terminal.
e. peribadatan.
f. pendidikan atau sekolahan.
g. pasar umum atau pasar INPRES.
h. fasilitas pemakaman umum.
i. fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar
dan lain-lain bencana.
j. pos dan telekomunikasi.
k. sarana olah raga.
l. stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya.
m. kantor pemerintah.
n. fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
2. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang dimaksud dalam angka (1) yang
ditetapkan dalam Keputusan Presiden.

Pengertian Kepentingan Umum Menurut Perpres No. 36 Tahun 2005:


Pasal 1 angka (5) : “Kepentingan umum adalah kepentingan umum sebagian masyarakat”.
Pasal 5 : Pembangunan kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah
daerah meliputi :
a. jalan umum, jalan tol, rel kereta api ( di atas tanah, di ruang atas tanah atau pun di ruang
bawah tanah), saluran air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi.
b. waduk, bendungan, bendung, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya.
c. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat.
d. pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal.
e. peribadatan.
f. pendidikan atau sekolah.
g. pasar umum.
h. fasilitas pemakaman umum.
i. fasilitas keselamatan umum.
j. pos dan telekomunikasi.
k. sarana olah raga.
l. stasiun penyiaran radio, televise dan sarana pendukungnya.
m. kantor pemerintah, pemerintah daerah, Perwakilan Negara Asing, Perserikatan Bangsa-
Bangsa dan/ atau lembaga-lembaga Internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
n. fasilitas Tentara Negara Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya.
o. lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.
p. rumah susun sederhana.
q. tempat pembuangan sampah.
r. cagar alam dan cagar budaya.
s. pertamanan.
t. panti sosial.
u. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Perpres No 36 Tahun 2005 yang kemudian dirampingkan oleh Perpres 65 Tahun 2006
dimana telah ditentukan secara limitatif dan konkret pengertian dari kepentingan umum yaitu :
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang
bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-
lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam dan cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

2.2. Hukum dan kaitannya dengan Pengadaan tanah guna kepentingan umum di Indonesia

Di Indonesia, yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan
persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya. Maka
tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu
adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA

Suatu terobosan yang sangat revolusioner diakukan oleh UUPA yaitu dihapusnya sistem
“Domain Verklaring”. Domain Verlklaring adalah sistem yang menentukan bahwa tanah yang
tidak dapat dibuktikan secara autentik maka dengan sendirinya menjadi milik negara. Jelas hal
ini sangat bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat indonesia yang berbasis adat,
dimana bukti autentik tidak dikenal sebelumnya dan hanya mengandalkan asas saling
kepercayaan.

Dalam konstitusi RI (UUD RI 1945) tepatnya Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa :

“ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Yang perlu digarisbawahi dari bunyi pasal di atas adalah kata dikuasai. Sekilas kata
dikuasai menunjukkan negara adalah pemiliknya. Padahal tidak demikian adanya. Pada
penjelasan umum UUPA disebutkan bahwa negara (pemerintah) dinyatakan menguasai “hanya”
menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah
pengertian yang memberi wewenang tertentu kepada negara sebagai organisasi kekuasaan. Hal
ini dirumuskan secara tegas di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menegaskan, kewenangan
negara adalah :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan atau


pemeliharaannya ;

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan
ruang angkasa itu ;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-


perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan
tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan
makmur.

Sebagai bagian dari hukum agraria nasional, peraturan pengadaan tanah harus mengacu pada
tujuan hukum agraria nasional dengan prinsip keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan umum. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan,
kalau tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, melainkan wajib pula memperhatikan kepentingan umum. Ketentuan tersebut
tidaklah berarti bahwa kepentingan pribadi akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum.
Kepentingan umum dan kepentingan pribadi haruslah saling mengimbangi, hingga akhirnya akan
tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagian rakyat seluruhnya. Itulah yang
menjadi tujuan dari UUPA.

Dalam menjawab persoalan pengadaan tanah ini, di Indonesia telah diundangkan beberapa aturan
yang antara lain
1. UU No 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada
Diatasnya
2. Permendagri No 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tatacara
Pembebasan Tanah, yang disusul Permendagri No 2 Tahun 1976 dan Permendagri No 2 Tahun
1985.
3. Keppres No 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Demi
Pembangunan.
4. Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum ; dan yang terakhir
5. Perores No 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dalam implementasinya aturan-aturan diatas tidak boleh bertentangan dengan UU No 26


Tahun 2007 tentang tata ruang yang di dalamnya juga mengatur hak-hak yang dimiliki oleh
masyarakat dalam pengadaan tanah yang dibahas pada :
Pasal 60 : Setiap orang berhak untuk :

1. mengetahui Rencana Tata Ruang;


2. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
3. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan perencanaan Tata Ruang;
4. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tak sesuai
dengan Rencana Tata Ruang di wilayahnya.

2.3. Bentuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia

Pada prinsipnya hukum agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan tanah
yaitu:
- Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak atas
tanah) ;
Perpres No 36 tahun 2005 memberikan definisi pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan
hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan
ganti rugi atas dasar musyawarah.
- Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Berdasarkan penjelasan umum UU No. 20 Tahun 1961 ini dapat dipahami bahwa sesungguhnya
pencabutan hak atas tanah adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada
pemerintah, dalam hal ini presiden. Bentuk kewenangan yang diberikan undang-undang adalah
untuk melakukan tindakan dengan secara paksa mengambil dan menguasai tanah seseorang
untuk kepentingan umum

Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah
ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam
pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar azas musyawarah.

Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk
pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan
hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan
bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan.

Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No.
65 Tahun 2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan
untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat
ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Dengan kata lain jalur pembebasan tanah harus
ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah. Jika pada Perpres
No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan pencabutan, maka pada
Perpres No.65 Tahun 2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini
agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan segampangnya saja dalam mengambil tindakan
dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia, Perpres
No 65 Tahun 2006 lebih agak manusiawi dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya.
Secara teknis dalam Perpres No 65 Tahun 2006 meyebutkan pelepasan tanah dilakukan
dengan bantuan panitia pengadaan tanah. Panitia pengadaan tanah ini bertugas untuk
mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan dan dokumen yang mendukungnya serta melakukan inventarisasi atas tanah dan
bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut. Selanjutnya panitia pengadaan tanah ini akan
menetapkan besaran ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan.

Suatu terobosan kecil yang diberikan oleh Perpres No 65 Tahun 2006 adalah dengan
dicantumkannya pasal 18 A. Pasal 18 A menentukan apabila yang berhak atas tanah atau benda-
benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana
ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta
banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya
dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh
Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang
ada di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas ketentuan Pasal 8 UU No. 20 Tahun
1961.

Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU No. 20 Tahun 1961
namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-perpres yang ada hanya
menegaskan pengajuan keberatan kepada Bupati/Wali Kota, Gubernur, atau Menteri Dalam
Negeri. Ini artinya memberikan ruang untuk meminimalisir kesewenang-wenangan birokrasi
eksekutif yang nota bene adalah pihak yang paling berkepentingan dalam urusan ini.

Sekali lagi dengan berlakunya Perpres No 65 Tahun 2006 ini, sedikit memberikan
kepastian hukum dan aturan-aturan pengadaan tanah yang lebih demokratis. Dan sedikit menutup
ruang bagi aparat pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang dan bekerja asal beres.

BAB 3 PENUTUP/KESIMPULAN

Uraian diatas banyak membahas tentang pengadaan tanah dalam pelaksanaan


pembangunan untuk kepentingan umum yang berakhir dengan Perpres No 65 Tahun 2006 secara
normatif akan tetapi dalam realita banyak kalangan menganggap negatif Perpres tersebut,
Peraturan ini dituding akan bisa menjadi alat semena-mena untuk menghilangkan hak atas tanah
dengan tiba-tiba. Meskipun memiliki dokumen dan surat-menyurat yang sah dan lengkap, oleh
Perpres ini, pemerintah (presiden) bisa mencabut hak atas tanah tersebut apabila tanah itu akan
digunakan untuk kepentingan umum.

Yang paling dikhawatirkan adalah Perpres ini akan disalahgunakan. Misalnya, sejauh apa
pemahaman "demi kepentingan umum" yang dimaksud ? Hal ini dipertanyakan sebab seringkai
dalam praktiknya terjadi "perubahan arah", misalnya ruang lingkup "kepentingan umum"
berubah menjadi kepentingan "pemilik modal". Hal inilah yang justru sering mendapat
penolakan dari rakyat pemilik tanah.

Dari pengalaman, pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang bukan disebabkan
oleh tidak relanya rakyat pemilik tanah atau tidak sepakatnya harga tanah, melainkan oleh ulah
oknum aparat dan atau spekulan tanah, baik itu yang berkaitan dengan urusan administrasi tanah
maupun oknum yang memanfaatkan situasi. Sebagai akibatnya, sengketa tanah telah berubah
menjadi ajang rebutan rezeki, yang dampak nya cenderung tak terkendali.

Satu hal yang harus diwaspadai dan memang sering terjadi di lapangan dimana istilah
“demi kepentingan umum” dijadikan tameng oleh pihak pengusaha yang berselingkuh dengan
pemerintah untuk menggerogoti tanah-tanah milik rakyat. Disini rakyat harus jeli memahami
maksud kepentingan umum sebagaimana yang telah ditentukan secara limitatif dalam Perpres
No.65 Tahun 2006.

DAFTAR PUSTAKA

Oloan Sitorus dkk.,1995., Pelepasan Atau Penyerahan Hak Atas Tanah Sebagai Cara Pengadaan
Tanah, Cetakan Pertama, CV Dasamedia Utama, Jakarta

Oloan Sitorus dkk., 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Mitra
Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta

Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Pembangunan Bagi Kepentingan Umum

Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Pembangunan Bagi Kepentingan Umum

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

LAMPIRAN

PERPRES NO 65 TAHUN 2006

“Pasal 7

Panitia pengadaan tanah bertugas :

a. mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah,

bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada

kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan

atau diserahkan;

b. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah


yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan

dokumen yang mendukungnya;

c. menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya

akan dilepaskan atau diserahkan;

d. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada

masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau

pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan

pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik

baik melalui tatap muka, media cetak, maupun media

elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat

yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang

hak atas tanah;

e. mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak

atas tanah dan instansi pemerintah dan/atau pemerintah

daerah yang memerlukan tanah dalam rangka

menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;

f. menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada

para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan

benda-benda lain yang ada di atas tanah;

g. membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;

h. mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua

berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak

yang berkompeten.”
“Pasal 7A

Biaya Panitia Pengadaan Tanah diatur lebih lanjut oleh

Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Kepala Badan

Pertanahan Nasional.”

“Pasal 10

(1) Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan

umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan

secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain, maka

musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama

120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak

tanggal undangan pertama.

(2) Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia

pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan

menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri

yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang

bersangkutan.

(3) Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan

ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka

panitia menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan

negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang

bersangkutan.”
“Pasal 13

Bentuk ganti rugi dapat berupa :

a. Uang; dan/atau

b. Tanah pengganti; dan/atau

c. Pemukiman kembali; dan/atau

d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian

sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;

e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”

“Pasal 15

(1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :

a. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai

nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual

Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian

Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;

b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat

daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;

c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah

yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

(2) Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi,

Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh

Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta.”

Anda mungkin juga menyukai