Anda di halaman 1dari 11

Bagus Ade Prasetyo

20200610041

Sarana Pemerintahan (E)

Pengadaan Tanah Oleh Pemerintah Untuk Sarana Pemerintahan

Istilah pengadaan tanah menggantikan hal tentang "pencabutan hak atas tanah atau
pembebasan tanah" pada masa sebelumnya, yang diatur dengan suatu ketentuan setingkat UU
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Proses pembebasan tanah bukan hal yang mudah untuk
dilakukan dan memerlukan waktu yang cukup lama karena kompleksitas potensi
permasalahan. Sementara itu istilah "pengadaan tanah" diatur dengan peraturan setingkat UU,
Keputusan Presiden, dan Peraturan Presiden. Presiden yang paling memiliki kewenangan
apakah suatu lokasi tanah akan digunakan untuk kepentingan umum atau tidak setelah
mendapatkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum ini juga sangat relevan dengan UU Pokok Agraria (UUPA) tentang fungsi sosial tanah
bahwa yang mana jika dalam keadaan terpaksa pemerintah bisa mengambil atau menguasai
tanah dalam rangka kepentingan umum. Meskipun dalam pemberian "Hak Milik" atas tanah
memiliki hak turun temurun dan paling kuat namun jika kepentingan umum menghendaki
maka hak milik yang kuat tersebut bisa hapus, demi kepentingan kebersamaan bangsa dan
negara. 

Pembangunn yang dilaksanakan oleh negara sejatinya didasarkan pada kepentingan


bangasa dan negara dengan manfaat sebesar besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Pembangunan memiliki bentuk yang ragam, salah satunya pembangunan untuk memenuhi
public good atau kepentingan umum yang kemudian diatur dalam UU No.2 tahun 2012.
Dalam konteks ini pembangunan dilakukan untuk membangun infrastuktur bagi kepentingan
umum tersebut membutuhkan tempat atau lahan sebagai lokasi yang digunakan sebagai
pembangunan. Pengadaan tanah untuk infrastuktur selalu menyiksakan persoalan persoalan
dalam pelaksanaannya. Persoalan yang muncul biasanya nerkenaan dengan dengan tarik
menarik kepentingan antara instansi pemerintahan yang memerlukan tanah dengan
masyarakat pemilik hak atas tanah atau masyarakat penggarap tanah. Salah satu penyebab
permasalahan tersebut, sering didapati dilapangan selalu berhubungan atau berkenaan dengan
ganti kerugian yang merupakan faktor penting dalm musyawarah pengadaan tanah
pembangunan.

Beragam penafsiran tentang konsep kepentingan umum dalam konteks pembangunan


mendorong kita untuk menyatukan persepsi terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud
dengan kepentingan umum itu sendiri. Secara sederhana kepentingan umum dapat diartikan
sebagai untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang
luas. Namun pengertian tersebut masih terlalu umum, tidak mampu memberikan suatu
batasan yang jelas. Menurut Maria SW Sumardjono dalam Buku Kebijakan Pertanahan;
Antara Regulasi dan Implementasi (2001) dijelaskan bahwa kepentingan umum yang
terumuskan dalam UU No.5/1960, UU No.20/1961 Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan
Benda-benda Yang Ada Di Atasnya dan Inpres No.9/1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan
Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, belum menegaskan esensi
kriteria kepentingan umum secara konseptual. Kepentingan umum dinyatakan dalam arti
“peruntukannya” yaitu kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat dan
kepentingan pembangunan.

UU No.2/2012 Tentang Pengadaan Tanah  Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan


Umum merupakan undang-undang yang dianggap dapat menjawab beberapa persoalan yang
muncul terkait permasalahan tanah di Indonesia. Peraturan perundang-undangan sebelumnya
dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-
undang ini dalam pembentukannya diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang
yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan. Bagi pemerintah yang
memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan sebelumnya dipandang masih
menghambat atau kurang memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana.
Potensi untuk merubah pemaknaan “Kepentingan Umum” dalam pengadaan lahan untuk
berbagai proyek yang dibutuhkan untuk segera dibangun adalah satu hal yang mendasar yang
harus diantisipasi. Pendanaan dengan skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU),
APBN ataupun menggunakan dana swasta memungkinkan memiliki persinggungan dengan
pengertian kepentingan umum yang dimaksud. Misalnya kerjasama antara Pemerintah
Daerah dengan swasta dalam membangun pasar, pembangunan kilang minyak yang dibiayai
murni oleh swasta. 
Bila mengacu kepada pengertian kepentingan umum yang tertulis pada Pasal 4 ayat
(1) UU No.2/2012 ansich, tentu berpotensi menimbulkan debat dan silang pendapat. Apakah
pembangunan pasar yang dibiayai swasta bisa memanfaatkan UU No.2/2012. Apakah
pembangunan kereta api komoditi yang dipergunakan oleh industri untuk mengangkut
komoditinya ke pelabuhan yang notabene tidak masuk dalam kategori transportasi umum bisa
disebut sebagai “kepentingan umum”? Jawabannya adalah “Iya”, karena hal tersebut
tercantum sebagai unsur kepentingan umum bila merujuk pada UU No.2/2012 dan juga
regulasi/aturan sebelumnya (UU No.5/1960, Keppres No.55/1993, Perpres No.36/2005 jo
Perpres No.65/2006, dan UU No.2/2012). Pemaknaan pembangunan kepentingan umum yang
unsur-unsur kepentingan umumnya telah jelas disebut dalam pasal 4 ayat 1 harusnya
digabung dengan pengertian kepentingan umum yang terdapat dalam Keppres 55/1993 yang
definisi kepentingan umum nya disebut adalah sebagai berikut : (1). Kepentingan seluruh
masyarakat (pemaknaan kata seluruh adalah sebagian besar sebagaimana disuarakan Prof.
Maria SW Sumardjono), (2). Kegiatan pembangunan yang dilakukan dimiliki oleh
pemerintah (pemaknaan dimiliki sesuai dengan perkembangan jaman menjadi akan dimiliki);
dan (3). Tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan. Sehingga pembangunan tersebut
sudah memenuhi kegiatan dalam unsur-unsur yang tercantum dalam pasal 4 ayat 1 UU
Nomor 2/2012 dan juga masuk pada pemaknaan kepentingan umum seperti yang tertuang
dalam Keppres 55/1993. Bila dalil hukum ini dapat diterima serta digunakan dengan baik,
maka penulis meyakini pemaknaan kata kepentingan umum yang selama ini menjadi bahan
perdebatan akan semakin berkurang dan tidak menjadi persoalan lagi.

Terlepas dari itu semua ada beberapa masalah yang cukup menghantui dalam
menjalankan itu semua, masalah ketidaktersediaan lahan selalu menjadi kendala yang serius
dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Tentu saja berbagai permasalahan tentang
pengadaan tanah bagi keperluan pembangunan infrastruktur ini dapat menghambat
perkembangan ekonomi di Indonesia. Hal ini yang untuk selanjutnya menjadi fokus dari
Pemerintahan Jokowi yang terus menggenjot peningkatan pembangunan infrastruktur di
Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untuk terus mendukung
mensukseskan program ini. Mulai dari kemudahan perizinan atau deregulasi perizinan hingga
penciptaan peluang kerja sama dengan sektor swasta dalam mengembangkan pembangunan
infrastruktur di Indonesia.

Dalam tahap pembangunan infrastruktur ini, permalahan hukum yang sering muncul
dalam proses pengadaan tanah adalah sengketa pertanahan disamping sengketa hukum
lainnya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Bentuk sengketa pertanahan yang kadang
kala muncul dalam proses pengadaan tanah ini pun bermacam-macam. Mulai dari sengketa
tata usaha negara (TUN) yang kerap digunakan untuk menggungat surat keputusan atas
penetapan lokasi ; sengketa keperdataan yang terkait dengan keberatan penetapan ganti rugi,
konsinyasi, maupun sengketa lainnya ; sengketa pidana yang terkait dengan pemalsuan
dokumen tanah, penggelapan, dan sebagainya ; sengketa adat – hak ulayat ; sengketa
tumpang tindih ; hingga sengketa lingkungan hidup. Berbagai sengketa ini yang untuk
selanjutnya menghambat pembangunan sebuah proyek, bahkan tak jarang proyek tersebut
menjadi mangkrak hingga tahunan. Disinilah untuk selanjutnya penegakan atas UU No. 2
Tahun 2012 beserta dengan peraturan turunannya sebagai payung hukum sangat diharapkan
untuk menjamin kelancaran dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, khususnya infrastruktur.

Sebagai konsekuensi logis daripaham negara kesejahteraan yangdianut, Indonesia


mengartikan pembangunan adalah prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat
secara fisik maupun mental. Dalam pembangunan fisik lekat sekali atau erat terhadap
pembangunan infrastruktur. Pada 5 november 2014, dalam sambutannya, Jusuf Kalla
mengatakan pembangunan infrastruktur adalah hal yang penting, contohnya adalah
keberadaan infrastruktur seperti keberadaan jalan, listrik, pelabuhan, bandara dan lainnya
akan sangat mempengaruhi kehidupan ekonomis suatu negara.

Dalam setiap kegiatan pembangunan sudah pasti kegiatan tersebut menjadikan tanah
sebagai wadahnya. Suatu kegiatan pembangunan dapat terhambat dikarnakan tanah adalah
sumber daya alam yang sifatnya terbatas. Menurut pendapat Sudaryo Soimin dalam bukunya
yang berjudul Stats Hak dan Pembebasan Tanah mengatakan bahwa “Tanah Negara yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut sudah sangat terbatas sekali dan atau tidak
adalagi”. Oleh sebab itu pemerintah mengambil tanah rakyat untuk melanjutkan atau
melakukan proses pengadaan tanah demi melancarkan proses infra struktur yang akan
dijalankan oleh pemerintah, untukterwujudnya proses pembangunan didalamnya. Dalam
dilakukannya proses pengadaan tanah, sering muncul masyarakat yang terkena dampak dari
pengadaan tanah menjadi korban. Hal tersebut dikarenakan kurang terpenuhinya prinsip
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum didalamnya.

Berbicara terkait tujuan hukum,adalah berbicara perlindungan hak dankeadilan bagi


subjek hukum didalamnya. Karena itu diperlukan asas keadilan atau tujuan utamanya
diciptakan hukum agar memenuhi klasifikasi dasar dalam norma keadilan. Mengutip dari
perkataan Aristoteles, dalam konsep negara hukum yang memerintah sebuah negara bukanlah
manusia itu sendiri melainkan adalah pikiran-pikiran yang adil dan lahir didalamnya,
sedangkan penguasa sesungguhnya hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Secara general, negara penganut paham hukum senantiasa berlaku tiga prinsip dasar didalam
negara nya. Pertama adalah supermasi hukum atau supremacy oflaw, kesetaraan dihadapan
hukum atau equality before the law dan penegakanhukum yang berdasar hukum atau
dueprocess of law. Ketiga prinsip yang disebutkan apabila terlaksana dan dilaksanakan
dengan baik maka akan menjadikan sebuah negara memiliki kekuatannya dalam menciptakan
keadilan bagi warga negaranya dan juga terpenuhinya serta terlindunginya hak asasi manusia
didalam sebuah negara.

Prinsip ke-dua yang kita kenal adalah prinsip kepastian hukum. Mochtar Kusuma
atmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum
dalam pergaulan di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat
dan kemampuan yang diberikan oleh Tuhan kepadany asecara optimal tanpa adanya
kepastian hukum dan ketertiban hukum didalamnya. Gustav Radbruch berpendapat ada dua
macam kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dari hukum. Hukum yang
berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna.
Kepastian hukum oleh negara kerena hukum memberi tugas hukum yang lain yaitu keadilan.

Prinsip yang ke-3 adalah prinsip atau asas kemanfaatan dalam hukum. Dalam hukum
terdapat aliran utilistis yang salah satu penganutnya Bernama Jerey Bentham, ia mengatakan
hukm barulah dapat diakui sebagai hukum jika memberikan kemanfaatan yang sebesar-
besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang, dan mengukur kadar baik dan buruk suatu
hukum maka harus dilihat bagaimana dampak atau side effect yang ditimbulkan dari
pengaplikasian sebuah hukum tersebut dan ditinjau dari aspek sosiologis suatu hukum. Suatu
ketentuan hukum baru dapat dikatakan mendapat nilai baik jika akibat pengaplikasiannya
mempunyai efekkebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan sedikitinya penderitaan,dan
hukum bisa dikatakan buruk jika pengaplikasiannya berlainan dari pendapat diatas tadi. Tidak
ada salahnya jika nilai kemanfaatan hukum ini adalah sebagai dasar ekonomi bagai pemikiran
hukum. Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan
hukum adalah kesejahteraan yang sebesarnya bagi rakyat dan melakukan evaluasi atau
peninjauan kembali terhadap hukum pun adalah hasil dari penerapan hukum di masyarakat.
Berkenaan pada orientasi tersebut maka hukum dapat dikatakan adalah sebua ketentuan
tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.

Ada dua hal penting yang tertuang didalam batang tubuh UUD 45 adalah
ditepatapkannya dan diartikan negara Indonesia sebagai negara hukum, hal tersebut tertuang
dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, lalu kemudian disepakati bahwa, bumi dan air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukan atau
dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat, hal tersebut disampaikan oleh
pasal 3 ayat (3) UUD 45.

Pelaksanaan program pembangunan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah,


secara ex officio memrlukan lahan atau tanah sebagai lokasi tempat merealisasikan fisik
untuk pembangunan sarana dan prasarana kepentingan umum. Sedang makna dari
kepentingan umum dimaksud disinitidak berpotensi menjadikan rakyat sengsara tetapi untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan hal tersebut,
pembangunan fisik yang dilakukan dalam pengadaan tanah oleh instansi pemerintahan,
senantiasa membutuhkan lahan atau tanah guna dijadikan sebagai lokasi dan atau tempat
mendirikan berbagai jenis bangunan. Namun dalam hal tersebut terdapat issue sentral yang
hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Sadar kebutuhan tanah semakin
meningkat dan tanah merupakan sumber daya alam yang tidak bisa atau dapat diperbaharui
ditambah lagi luas tanah tidak dapat bertambah. Terlebih lagi jika dihubungkan atau
dipertautkan dengan persoalan vertilitas penduduk yang semakin meningkat, terntu setiap
orang membutuhkan tanah untuk mendukung aktivitas keseharian dalam memenuhi tuntutan
hidup baim dalam lingkup keluarga atau kearah ekonom lainya.

Hal tersebut merupakan hal fundamental untuk dapat menghidupkan dan menggiring
oponi publik pemilikatau pemegang hak atas tanah untuk tidak melepaskan bidang tanahnya
kepada instansi pemerintahan yang membutuhkan tanah dari yang bersangkutan. Karena hal
itu pemerintah atau instansi pemerintah lainnya yang membutuhkan tanah untuk pengadaan
pembangunan bagikepentingan pemerintah, atau agar terselenggaranya kepemerintahan,
menawarkan kepada masyarakat nilai tukar yang tinggi dari bidang-bidang tanah yang
dipunyai rakyat. Dengan demikian maka persoalan hukum yang sedang dihadapi pemerintah
sekarang adalah tanah untuk pemenuhan keperluan manusia tidak cukup tersdia. Sehingga
memerlukan solusi yang ditimbulkan melalui kebijakan untuk menciptakan semacam
rekayasa sosial terhadap fungsi hukum. Perekayasaan tersebut dimaksudkan untuk
menghidupkan fungsi pemberdayaan hukum itu sendiri sebagai a tool ofsocial engine ring
dan a tool of socialcontrol.

Berkaitan dengan dua pokok fungsi pemberdayaan hukum yang telah disebutkan
diatas, dalam melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah yang bertujuan
demi terjalannya sebuah proses kepemerintahan, lebih menarik jika dikaitkan dengan sifat-
sifat dasar dari setiap bidang tanah, mengacu pada aspek sosiologis hukum, bahwa setiap
bidang tanah mempunyai tiga sifat dasar, yaitu.

1. Sifat penyabar, disini diartikan tanah tidak akan pernah mengeluh sekalipun
diatasnya diletakkan suatu beban yang relatif berat Betapa berat bangunan
yang dibangun di atas tanah.
2. Sifat konsisten; artinya tanahtidak pernah berspikulasimenghadapi realita,
sehinggatidak mungkin akan tumbuhpohon durian bilamana yangditanam
adalah langsat.
3. Sifat kerahasiaan, artinya tanah pandai menyembunyikan rahasia.

Pemerintah secara normatif berhak serta memiliki kewenangan mengatur dan menggusur
sendiri urusan pemerintah daerah yang kemudian tertuang dalam otonomi daerah dengan
tujuan pengadaan tanah bagi kepentingan umum selebihnya kepentingan pemerintah yang
berujung kepada kepentingan secara umum dan lebih luas. Sebab didalam hal tersebut
pengadaan pembangunan atas tanah mempunyai impact atau dampak yang dapat
mempengaruhi bahkan dapat mempengaruhi negara secara ekonomi.

Begitu juga bagi masyarakat yang diarasa terdampak dann mendapat kerugian bisa
mengajukan permohonan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian
ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum mengatur persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengajukan Permohonan Penitipan
Ganti Kerugian ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dengan dilampiri dokumen
pendukung sekurang-kurangnya berupa:

a) Bukti yang berkaitan dengan identitas pemohon


1. Dalam hal Pemohon instansi pemerintah, berupa fotocopy surat keputusan
pengangkatan/ penunjukan/tugas pimpinan instansi pemerintah tersebut;
2. Dalam hal Pemohon Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik
Negara/Daerah/badan hukum perdata lainnya, berupa fotocopy surat
keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengesahan badan
hukum, foto copy keputusan pengangkatan orang yang mewakili badan hukum
di Pengadilan serta fotocopy KTP atau kartu identitas lainnya yang sah.
b) fotocopy surat keputusan gubernur atau bupati/walikota tentang penetapan lokasi
pembangunan yang menunjukkan Pemohon sebagai Instansi yang memerlukan tanah;
c) fotocopy dokumen untuk membuktikan Termohon sebagai pihak yang berhak atas
objek pengadaan tanah;
d) fotocopy surat dari penilai atau penilai publik perihal nilai Ganti Kerugian;
e) fotocopy berita acara hasil Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian;
f) fotocopy salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dalam hal sudah terdapat putusan;
g) fotocopy surat penolakan Termohon atas bentuk dan/atau besar Ganti Kerugian
berdasarkan Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian atau putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jika telah ada;
h) fotocopy dokumen surat gugatan atau keterangan dari panitera pengadilan yang
bersangkutan dalam hal objek pengadaan tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian
sedang menjadi objek perkara di pengadilan atau masih dipersengketakan
kepemilikannya;
i) fotocopy surat keputusan peletakan sita atau surat keterangan pejabat yang
meletakkan sita dalam hal objek pengadaan tanah yang akan diberikan Ganti
Kerugian diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang;
j) fotocopy surat keterangan bank dan Sertifikat Hak Tanggungan dalam hal objek
pengadaan tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian menjadi jaminan di bank.

Selain untuk melakukan penitipan Ganti Kerugian, penetapan lokasi juga diperlukan
oleh pihak yang berhak atau kuasanya yang hadir ataupun tidak hadir yang menolak hasil
musyawarah penetapan ganti kerugian untuk mengajukan keberatan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2016, keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh
Pemohon Keberatan atau kuasanya yang memuat:

a) Identitas Pemohon Keberatan;


1) dalam hal Pemohon Keberatan orang perseorangan, memuat nama, umur, tempat
tinggal, dan pekerjaan Pemohon Keberatan dan/atau kuasanya;
2) dalam hal Pemohon Keberatan badan hukum perdata, memuat nama badan hukum
perdata, tempat kedudukan, identitas orang yang berwenang untuk mewakili badan
hukum perdata tersebut di Pengadilan, dan/atau identitas kuasanya apabila diwakili
kuasa;
3) dalam hal Pemohon Keberatan instansi pemerintah, memuat nama instansi
pemerintah, tempat kedudukan, pimpinan instansi yang bertindak untuk dan atas
nama instansi pemerintah tersebut;
4) dalam hal Pemohon Keberatan masyarakat hukum adat, memuat nama masyarakat
hukum adat yang masih hidup, alamat masyarakat hukum adat, dan fungsionaris
masyarakat hukum adat tersebut;
b) Identitas termohon keberatan, memuat:
1) nama dan tempat kedudukan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
atau Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; dan
2) nama dan tempat kedudukan Instansi yang memerlukan tanah;
c) Penyebutan secara lengkap dan jelas penetapan lokasi pembangunan;
d) Penyebutan waktu dan tempat pelaksanaan serta berita acara hasil Musyawarah
Penetapan Ganti Kerugian, dalam hal Pemohon Keberatan mempunyai dokumen
berita acara hasil Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian;
e) Uraian yang menjadi dasar Keberatan:
1) kedudukan hukum Pemohon Keberatan sebagai pihak yang berhak;
2) penjelasan pengajuan Keberatan masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari setelah hasil Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian dalam hal Pemohon
Keberatan mempunyai dokumen berita acara hasil Musyawarah Penetapan Ganti
Kerugian;
3) alasan-alasan Keberatan menyebutkan secara jelas hal-hal yang pada pokoknya
menerangkan bahwa bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian merugikan Pemohon
Keberatan;
f) hal pokok yang dimohonkan dalam permohonan:
1) mengabulkan Keberatan dari Pemohon Keberatan;
2) menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian sesuai tuntutan Pemohon
Keberatan;
3) menghukum Termohon Keberatan untuk melaksanakan pemberian Ganti Kerugian
sesuai tuntutan Pemohon Keberatan;
4) menghukum Terrmohon Keberatan untuk membayar biaya perkara.
Persyaratan tersebut merupakan syarat minimal yang harus dipenuhi pemohon
keberatan dan pemohon penitipan Ganti Kerugian di pengadilan.

Tahapan pengadaan tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012


tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, meliputi:
perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil. Pada tahapan persiapan, instansi
yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.
Gubernur menetapkan lokasi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
Sedangkan untuk pengadaan tanah skala kecil yaitu pengadaan tanah dibawah 5 (lima) hektar
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 22 Tahun 2015
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 2012 yaitu pada Pasal 53 ayat (3). Dalam Perpres Nomor 71 Tahun 2012, tidak
diwajibkan adanya permohonan penetapan lokasi, selain itu penilaian tanahnya menggunakan
hasil penilaian jasa penilai.

Namun terdapat konsekuensi hukum atas tidak adanya penetapan lokasi atas
pengadaan tanah skala kecil yaitu mengakibatkan instansi yang memerlukan tanah tidak
dapat melakukan konsinyasi atau penitipan ganti kerugian di pengadilan karena salah satu
syarat yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah penetapan lokasi
yang ditetapkan oleh gubernur atau walikota/bupati.
Daftar Pustaka

Azwar, Saifuddin. (2015). Metode Penelitian. Yogyakarta:

Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991

Dewi, Iga Gangga Santi. (2017). Konflik tentang Ganti Rugi Non Fisik pada Pengadaan
Tanahuntuk Kepentingan. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46 No. 3 Juli.

Ismail, Nurhasan. (2012). Arah Politik Hukum Pertanahan dan Perlindungan Kepemilikan
TanahMasyarakat (Political Direction of Land and Protection of People’s Land
Ownership).Jurnal Rechts Vinding, Media Pembinaan Hukum Nasional. Volume 1
Nomor 1,Januari-April.Pranoto,

Carolus Brega. (2017). Pembangunan Negara, Hukum Pertanahan Indonesia, danKembalinya


Tanah Kasultanan di Yogyakarta. Jurna

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksaaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah, sebagaimana telah diubah
terakhir Dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri Dalam
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum

Wirabrata, Ahmad & Surya, T.Ade. (2011) . Masalah Kebijakan dalam Pengadaan Tanah
untuk Pembangunan Infrastruktur. Jurnal ekonomi & Kebijakan Publik, Vol 2 No 2,
Desember

Anda mungkin juga menyukai