20200610041
Istilah pengadaan tanah menggantikan hal tentang "pencabutan hak atas tanah atau
pembebasan tanah" pada masa sebelumnya, yang diatur dengan suatu ketentuan setingkat UU
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Proses pembebasan tanah bukan hal yang mudah untuk
dilakukan dan memerlukan waktu yang cukup lama karena kompleksitas potensi
permasalahan. Sementara itu istilah "pengadaan tanah" diatur dengan peraturan setingkat UU,
Keputusan Presiden, dan Peraturan Presiden. Presiden yang paling memiliki kewenangan
apakah suatu lokasi tanah akan digunakan untuk kepentingan umum atau tidak setelah
mendapatkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum ini juga sangat relevan dengan UU Pokok Agraria (UUPA) tentang fungsi sosial tanah
bahwa yang mana jika dalam keadaan terpaksa pemerintah bisa mengambil atau menguasai
tanah dalam rangka kepentingan umum. Meskipun dalam pemberian "Hak Milik" atas tanah
memiliki hak turun temurun dan paling kuat namun jika kepentingan umum menghendaki
maka hak milik yang kuat tersebut bisa hapus, demi kepentingan kebersamaan bangsa dan
negara.
Terlepas dari itu semua ada beberapa masalah yang cukup menghantui dalam
menjalankan itu semua, masalah ketidaktersediaan lahan selalu menjadi kendala yang serius
dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Tentu saja berbagai permasalahan tentang
pengadaan tanah bagi keperluan pembangunan infrastruktur ini dapat menghambat
perkembangan ekonomi di Indonesia. Hal ini yang untuk selanjutnya menjadi fokus dari
Pemerintahan Jokowi yang terus menggenjot peningkatan pembangunan infrastruktur di
Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untuk terus mendukung
mensukseskan program ini. Mulai dari kemudahan perizinan atau deregulasi perizinan hingga
penciptaan peluang kerja sama dengan sektor swasta dalam mengembangkan pembangunan
infrastruktur di Indonesia.
Dalam tahap pembangunan infrastruktur ini, permalahan hukum yang sering muncul
dalam proses pengadaan tanah adalah sengketa pertanahan disamping sengketa hukum
lainnya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Bentuk sengketa pertanahan yang kadang
kala muncul dalam proses pengadaan tanah ini pun bermacam-macam. Mulai dari sengketa
tata usaha negara (TUN) yang kerap digunakan untuk menggungat surat keputusan atas
penetapan lokasi ; sengketa keperdataan yang terkait dengan keberatan penetapan ganti rugi,
konsinyasi, maupun sengketa lainnya ; sengketa pidana yang terkait dengan pemalsuan
dokumen tanah, penggelapan, dan sebagainya ; sengketa adat – hak ulayat ; sengketa
tumpang tindih ; hingga sengketa lingkungan hidup. Berbagai sengketa ini yang untuk
selanjutnya menghambat pembangunan sebuah proyek, bahkan tak jarang proyek tersebut
menjadi mangkrak hingga tahunan. Disinilah untuk selanjutnya penegakan atas UU No. 2
Tahun 2012 beserta dengan peraturan turunannya sebagai payung hukum sangat diharapkan
untuk menjamin kelancaran dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, khususnya infrastruktur.
Dalam setiap kegiatan pembangunan sudah pasti kegiatan tersebut menjadikan tanah
sebagai wadahnya. Suatu kegiatan pembangunan dapat terhambat dikarnakan tanah adalah
sumber daya alam yang sifatnya terbatas. Menurut pendapat Sudaryo Soimin dalam bukunya
yang berjudul Stats Hak dan Pembebasan Tanah mengatakan bahwa “Tanah Negara yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut sudah sangat terbatas sekali dan atau tidak
adalagi”. Oleh sebab itu pemerintah mengambil tanah rakyat untuk melanjutkan atau
melakukan proses pengadaan tanah demi melancarkan proses infra struktur yang akan
dijalankan oleh pemerintah, untukterwujudnya proses pembangunan didalamnya. Dalam
dilakukannya proses pengadaan tanah, sering muncul masyarakat yang terkena dampak dari
pengadaan tanah menjadi korban. Hal tersebut dikarenakan kurang terpenuhinya prinsip
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum didalamnya.
Prinsip ke-dua yang kita kenal adalah prinsip kepastian hukum. Mochtar Kusuma
atmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum
dalam pergaulan di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat
dan kemampuan yang diberikan oleh Tuhan kepadany asecara optimal tanpa adanya
kepastian hukum dan ketertiban hukum didalamnya. Gustav Radbruch berpendapat ada dua
macam kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dari hukum. Hukum yang
berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna.
Kepastian hukum oleh negara kerena hukum memberi tugas hukum yang lain yaitu keadilan.
Prinsip yang ke-3 adalah prinsip atau asas kemanfaatan dalam hukum. Dalam hukum
terdapat aliran utilistis yang salah satu penganutnya Bernama Jerey Bentham, ia mengatakan
hukm barulah dapat diakui sebagai hukum jika memberikan kemanfaatan yang sebesar-
besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang, dan mengukur kadar baik dan buruk suatu
hukum maka harus dilihat bagaimana dampak atau side effect yang ditimbulkan dari
pengaplikasian sebuah hukum tersebut dan ditinjau dari aspek sosiologis suatu hukum. Suatu
ketentuan hukum baru dapat dikatakan mendapat nilai baik jika akibat pengaplikasiannya
mempunyai efekkebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan sedikitinya penderitaan,dan
hukum bisa dikatakan buruk jika pengaplikasiannya berlainan dari pendapat diatas tadi. Tidak
ada salahnya jika nilai kemanfaatan hukum ini adalah sebagai dasar ekonomi bagai pemikiran
hukum. Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan
hukum adalah kesejahteraan yang sebesarnya bagi rakyat dan melakukan evaluasi atau
peninjauan kembali terhadap hukum pun adalah hasil dari penerapan hukum di masyarakat.
Berkenaan pada orientasi tersebut maka hukum dapat dikatakan adalah sebua ketentuan
tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.
Ada dua hal penting yang tertuang didalam batang tubuh UUD 45 adalah
ditepatapkannya dan diartikan negara Indonesia sebagai negara hukum, hal tersebut tertuang
dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, lalu kemudian disepakati bahwa, bumi dan air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukan atau
dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat, hal tersebut disampaikan oleh
pasal 3 ayat (3) UUD 45.
Hal tersebut merupakan hal fundamental untuk dapat menghidupkan dan menggiring
oponi publik pemilikatau pemegang hak atas tanah untuk tidak melepaskan bidang tanahnya
kepada instansi pemerintahan yang membutuhkan tanah dari yang bersangkutan. Karena hal
itu pemerintah atau instansi pemerintah lainnya yang membutuhkan tanah untuk pengadaan
pembangunan bagikepentingan pemerintah, atau agar terselenggaranya kepemerintahan,
menawarkan kepada masyarakat nilai tukar yang tinggi dari bidang-bidang tanah yang
dipunyai rakyat. Dengan demikian maka persoalan hukum yang sedang dihadapi pemerintah
sekarang adalah tanah untuk pemenuhan keperluan manusia tidak cukup tersdia. Sehingga
memerlukan solusi yang ditimbulkan melalui kebijakan untuk menciptakan semacam
rekayasa sosial terhadap fungsi hukum. Perekayasaan tersebut dimaksudkan untuk
menghidupkan fungsi pemberdayaan hukum itu sendiri sebagai a tool ofsocial engine ring
dan a tool of socialcontrol.
Berkaitan dengan dua pokok fungsi pemberdayaan hukum yang telah disebutkan
diatas, dalam melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah yang bertujuan
demi terjalannya sebuah proses kepemerintahan, lebih menarik jika dikaitkan dengan sifat-
sifat dasar dari setiap bidang tanah, mengacu pada aspek sosiologis hukum, bahwa setiap
bidang tanah mempunyai tiga sifat dasar, yaitu.
1. Sifat penyabar, disini diartikan tanah tidak akan pernah mengeluh sekalipun
diatasnya diletakkan suatu beban yang relatif berat Betapa berat bangunan
yang dibangun di atas tanah.
2. Sifat konsisten; artinya tanahtidak pernah berspikulasimenghadapi realita,
sehinggatidak mungkin akan tumbuhpohon durian bilamana yangditanam
adalah langsat.
3. Sifat kerahasiaan, artinya tanah pandai menyembunyikan rahasia.
Pemerintah secara normatif berhak serta memiliki kewenangan mengatur dan menggusur
sendiri urusan pemerintah daerah yang kemudian tertuang dalam otonomi daerah dengan
tujuan pengadaan tanah bagi kepentingan umum selebihnya kepentingan pemerintah yang
berujung kepada kepentingan secara umum dan lebih luas. Sebab didalam hal tersebut
pengadaan pembangunan atas tanah mempunyai impact atau dampak yang dapat
mempengaruhi bahkan dapat mempengaruhi negara secara ekonomi.
Begitu juga bagi masyarakat yang diarasa terdampak dann mendapat kerugian bisa
mengajukan permohonan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian
ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum mengatur persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengajukan Permohonan Penitipan
Ganti Kerugian ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dengan dilampiri dokumen
pendukung sekurang-kurangnya berupa:
Selain untuk melakukan penitipan Ganti Kerugian, penetapan lokasi juga diperlukan
oleh pihak yang berhak atau kuasanya yang hadir ataupun tidak hadir yang menolak hasil
musyawarah penetapan ganti kerugian untuk mengajukan keberatan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2016, keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh
Pemohon Keberatan atau kuasanya yang memuat:
Namun terdapat konsekuensi hukum atas tidak adanya penetapan lokasi atas
pengadaan tanah skala kecil yaitu mengakibatkan instansi yang memerlukan tanah tidak
dapat melakukan konsinyasi atau penitipan ganti kerugian di pengadilan karena salah satu
syarat yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah penetapan lokasi
yang ditetapkan oleh gubernur atau walikota/bupati.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991
Dewi, Iga Gangga Santi. (2017). Konflik tentang Ganti Rugi Non Fisik pada Pengadaan
Tanahuntuk Kepentingan. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46 No. 3 Juli.
Ismail, Nurhasan. (2012). Arah Politik Hukum Pertanahan dan Perlindungan Kepemilikan
TanahMasyarakat (Political Direction of Land and Protection of People’s Land
Ownership).Jurnal Rechts Vinding, Media Pembinaan Hukum Nasional. Volume 1
Nomor 1,Januari-April.Pranoto,
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksaaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah, sebagaimana telah diubah
terakhir Dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri Dalam
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum
Wirabrata, Ahmad & Surya, T.Ade. (2011) . Masalah Kebijakan dalam Pengadaan Tanah
untuk Pembangunan Infrastruktur. Jurnal ekonomi & Kebijakan Publik, Vol 2 No 2,
Desember