PENDAHULUAN
Kemakmuran yang adil dan merata tersebut hanya akan dapat dicapai melalui
pembangunan. Setiap kegiatan pembangunan, baik fisik maupun non-fisik, langsung atau
tidak langsung, selalu memerlukan tanah sebagai wadah dari kegiatan pembangunan tersebut.
Kebutuhan akan tanah dalam masa pembangunan yang sekarang sangat meningkat bila
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, karena pada umumnya, hampir semua sektor
pembangunan memerlukan tanah sebagai sarana utama untuk melaksanakan proyek-proyek
pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, dalam usaha untuk melaksanakan
pembangunan tersebut, pemerintah mengadakan atau menyediakan tanah berdasarkan
Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dengan kebijakan melalui pencabutan,
pembebasan dan pelepasan atas tanah, yang dimiliki oleh rakyat secara pribadi maupun
golongan.
Kenyataan ini menuntut adanya penguasaan sejumlah areal tanah yang akan
diperlukan untuk membangun berbagai proyek dengan cara pembebasan tanah dan/atau
pencabutan hak atas tanah, pengambilan tanah-tanah penduduk melalui penggusuran, dsb.
Kejadian yang demikian kelihatan sudah lumrah terjadi dimana-mana pada berbagai kawasan
di negara kita.
1
stabilitas masyarakat. Berbagai ketegangan dalam masyarakat timbul karena adanya
ketidaksepakatan antara pemilik dengan tanah/pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan
diambil untuk keperluan proyek-proyek pembangunan dengan pihak penguasa yang bertugas
untuk melakukan/meminta dilakukannya pembebasan tanah yang dimaksud, baik yang
menyangkut status hak, besar dan bentuknya ganti kerugian ataupun pelaksanaan teknis
lainnya.
Pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah itu tidak hanya dilakukan
oleh pemerintah, namun juga diperuntukkan untuk proyek yang dilaksanakan oleh swasta.
Hanya saja, dalam penggunaanya berbeda.
Pola sengketa berkisar antar rakyat dan pemerintah atau rakyat dan swasta (yang
didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai besarnya ganti rugi antara rakyat dengan
pihak perkebunan serta kehutanan mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan
sewa-menyewa. Bahwa sengketa diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantara-
perantara dan kecilnya ganti rugi atas tanah yang diambil.
Disamping itu juga, penguasaan tanah oleh rakyat dilakukan tanpa alas hak yang sah
dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Dalam posisi yang demikian, pihak
yang membutuhkan tanah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat
melemahkan posisi yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu
rakyat tidak memiliki baukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini
terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat , kekurangan itu antara lain:
a. Belum adanya penepatan ahli waris (pemilik asli/nama yang tercantum pada surat
keterangan tanah, yang telah meninggal dunia).
c. Dan sebagainya.
2
Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh orang yang memerlukan tanah, akan tetapi
dengan berbagai alasan untuk melaksanakan proyek yang telah direncanakan tetap
dilakukan pembebasan dengan ganti rugi. Sehingga sulit bagi yang membutuhkan tanah
untuk memnetukan kepada siapa ganti rugi yang akan diberikan. Oleh sebab itu banyak
dijumpai pembayaran ganti rugi dilakukan pada orang yang sebenarnya tidak berhak,
yang akhirnya menimbulkan sengketa.
Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak
swasta yang membutuhkan tanah, disebabkan karena kurangnya koordinasi antar instansi
yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak adanya sinkronisasi antara suatu sector
dengan sector lainnya. Banyak sekali peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling
bertabrakan dengan peraturan lain. Sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-undang
No.20 Tahun 1961, yang mengatur tentang Pencabutan Hak Tanah Oleh Pemerintah
Untuk Kepentingan Umum. Undang-undang ini sangat sederhana dan setelah
diundangkan Tahun 1961, praktis undang-undang ini tidak pernah “in action” artinya
belum pernah dipergunakan untuk pencabutan hak atas tanah.
Peraturan hukum mengenai pencabutan, pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah
untuk keperluan pemerintah maupun swasta dalam praktek, pelaksanaan peraturan
tersebut belum berjalan sesuai dengan isi dan jiwa ddari ketentuan-ketentuannya.
Sehingga, pada satu pihak timbul kesan seakan-akan hak dan kepentingan rakyat pemilik
tanah, tidak mendapat perlindungan hukum. Sedangkan dari pemerintah atau pihak yang
memerlukan tanah juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam memperoleh tanah untuk
membangun proyeknya. Secara factual pelaksanaan pencabutan, pembebasan dan
pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari sudut
peraturan dan paradigma hukum yang berbeda antara masyrakat dengan
penguasa/pemerintah serta penerapan hokum dari para hakim sangat bernuansa paham
positivis yang mengabaikan kaedah-kaedah social dan kebiasaan serta moral yang hidup
dalam masyarakat.
3
BAB II
PERMASALAHAN
1. Bagaimana pengadaan tanah untuk fungsi social yang dikaitkan dengan kepentingan
umum dalam doktrin negara hukum?
2. Bagaimana ganti rugi atas pembebasan hak atas tanah yang dikaitkan dengan fungsi
social?
4
BAB III
PEMBAHASAN
a) Jual beli
b) Pencabutan hak (onteigening)
c) Perampasan (Verbeurdverklaring)
d) Nasionalisasi
Prosedur jual beli hanya dapat dilakukan bagi tanah-tanah yang telah
mempunyai sertifikat, melalui PPAT. Sedangkan tanah yang belum mempunyai
sertifikat dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dengan ganti rugi. Namun
5
pelaksanaannya juga harus dilakukan dengan syarat-syarat teknis yang sama dengan
tanah bersertfikat.
Namun kalau kita telusuri UUD 1945, sebagai dasar kehidupan Negara kita,
tidaklah dapat kita temukan suatu ketentuan yang tegas mengenai pencabutan atas
tanah (onteigening). Tetapi mengenai hal ini ada diatur dengan tegas dalam konstitusi
RIS dan UUDS 1950. Dalam UUPA, tidak mengenaka danya suatu perampasan
(penyitaan) tanah seseorang untuk pembangunan, kecuali karena suatu kejahatan,
demikian juga tidak mungkin karena pandangan politik seseotrang, tetapi harus
dengan ganti rugi.
6
pemerintah harus bertindak secara adil dan dlaksanakan dengan etika moral yang
tinggi.
Lembaga pengadaan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak yang
diatur dalam peraturan presiden no. 36/2005 yang menggantikan keputusan presiden
No. 55 tahun 1993 dan telah diubah lagi dengan peraturan presiden no. 65 tahun 2006
merupakan realisasi dari konsekuensi salah satu sifat pencabutan hak yaitu sebagai
satu-satu nya jalan terakhir untuk mendapatkan tanah karena pemilikanya tidak setuju.
Lembaga ini sebelumnya lebih dikenal sebagai lembaga pembebasan tanah.
Menurut pasal 1 butir 3 peraturan presiden no. 65 tahun 2006 Pengadaan tanah
adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi
kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah.
7
B. Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah yang Dikaitkan dengan Fungsi
Sosial
Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa ganti kerugian itu adalah karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, at5au sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukannya. Artinya ganti rugi itu adalh kerugian yang timbul
karena debitur melakukan wanprestasi, kerugian wajib diganti oleh debitur
terhitumh sejak ia dinyatakan lalai.
Selanjutnya KUHPerdata menegaskan bahwa ganti rugi itu terdiri dari tiga
unsure yaitu: biaya, rugi, dan bunga, kecuali wanprestasi itu dapat dibuktikan
karena adanya overmacht dan tidak ada itikad buruk dari debitur. Gnti rugi yang
dapat dituntut penggantiannya adalah atas rugi yang dideritanya dan keuntungan
yang sedianya harus dinikmatinya.
Biaya, rugi dan bunga dalam bahasa Belanda sering disebut kosten, schaden
en intersten. Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyatanya sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi atau
kerugian adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur
yang diakibatkan kelalaian debitur atau wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud
dengan bunga adalah rugi yang berupa kehilanagan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh debitur.
8
perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang
pihak debitur. Pembatasan-pembatasan tersebut adalah debitur hanya diwajibkan
mengganti biaya, kerugian dan bunga yang diharapkan atau sedianya dapat diduga
pada waktu perikatan diadakan kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan oleh karena tipu daya yang dilakukannya. Bahkan jika tidak
dipenuhinya karena tipu daya debitur maka penggantian kerugian dan bunga yang
menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan, hanya
mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya
perikatan itu.
Dari hal tersebut diatas dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan kerugian
yaitu
Dua macam kerugian inilah yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur
sebagai akibat dari wanprestasi. Jadi, tegasnya ganti rugi hanya.dapat diwajibkan
terhadap kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan
itu diadakan yang timbul akibat ingkar janji atau wanprestasi. Jumlahnya
ditentukan dengan suatu perbandingan diantara kekayaan-kekayaan sesudah
terjadinya ingkar janji/wanprestasi dan keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi
ingkar janji (wanprestasi) sebelumnya. Atau yang dapat diduga ketika perikatan
dilahirkan dan apa yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi / ingkar
janji. Pada umumnya, debitur hanya memberikan ganti rugi kalau gantirugi
berhubungan langsung dengan ingkar janji.
Menurut teori condition sine qua non, setiap peristiwa adalah penting dan
menyebabkan terjadinya akibat. Teori ini terlalu luas sehingga sulit dipakai
menentukan terjadinya akibat. Sedangkan teori Adequate lebih terbatas lagi. Yang
dimaksud dengan akibat langsung adalah akibat yang menurut pengalaman
manusia yang normal apat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dalam hubungan
ini debitur berdasarkan pengalaman yang normal dapat menduga bahwa dengan
9
adanya wanprestasi ituakan timbul kerugian bagi kreditur. Dalam perjanjian jual
beli misalnya, penjual dapaty menduga bahwa pembeli akan menderita kerugian
jika barang yang dibelinya tidak dating. Kerugian yang diduga akan terjadi itu
sebagai akibat langsung tidak dikirimnya barang oleh penjual yang wanprestasi.
Selain dari pembatasn kerugian yang telah diuraikan diatas masih ada lagi
pembatasan pembayaran ganti rugi tersebut yaitu dalam perjanjian yang
pretasinya berupa pembayaran sejumlah uang, hal ini diatur dalam pasal 1250
KUHPerdata yang merumuskan
10
perjanjian telah ditentukan cara perhitungan atau besarnya bunga itu, maka yang
diberlakukan adalah apa yang telah diperjanjikan. Jika ditentukan bahwa bunga
tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan atau sejak dimasukkannya
surat gugatan.
Bertolak dari pengertian ganti rugi yang diuraikan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa ganti rugi menurut hukum perdata adalah dikaitkan dengan
adanya wanprestasi, sehingga siapa yang wanprestasi akan dihukum untuk
membayar ganti rugi, berupa biaya, rugi dan bunga berupa kehilangan keuntungan
yang diharapkan.
Cara pengadaan tanah yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 dilakukan
dengan lembaga pencabutan hak atas tanah. Cara ini mengandung hakekeat dan
tindakan hukum yang berbeda jika dibandingkan dengan cara-cara pelepasan hak
atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993.
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang sebelumnya disebut sebagai
pembebasan tanah adalah merupakan kegiatan melepaskan hubungan hukum
antara pemegang hk atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan
memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Salah satu kunci yang
kelihatannya juga cukup menentukan dalam perbuatan hukum diatas itu adalah
yang berkenaan dengan ganti rugi dalam pelepasam hak atau pembebasan tanah
itu merupakan imbalan sewbagai pengganti nilai atas tanah yang diserahakan oleh
pemilik atau pemegang hak atas tanah. Mengenai pencabutan atau pelepasan hak
atas tanah A.P.Parlindungan menyatakan : Orang yang dicabut haknya itu tidak
berada dalam keadaaan lebih miskin ataupun menjadi lebih miskin setelah
pencabutan hak tersebut, ataupun akan menjadi miskin kelak karena uang
pembayaran ganti rugi itu telah habis dikonsumsi. Minimal dia harus dalam
situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti yang dicabut haknya,
syukur kalau bertambah lebih baik.
11
II. Syarat-syarat Persetujuan Ganti Rugi Tanah
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana yang dirumuskan pada
pasal 1 butir 2 Keppres No. 55 Tahun 1993 adalah merupakan ke kegiatan
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hk atas tanah dengan tanah yang
dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Berdasarkan
rumusan tersebut berarti bahwa pelepasan ataupenyerahan hak atas tanah tidak
dapat dibenarkan dengan cara-cara paksaan/ atau tanpa kesepakatan dari
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
12
perbuatan hukum untuk pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya
tergantung ada tidaknya kesepakatan atau persetujuan kehendak diantar kedua
belah pihak. Hal ini berarti perbuatan hukum tersebut harus memperhatikan
syarat-syarat sebagaiman yang ditentukan pada pasal 1320 KUHPerdata jo. 1338
KUHPerdata.
Dalam praktek proses kegiatan untuk saling mendengar dan sikap saling
menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kerelaan atau persetujuan
kehendak antara pihak-pihak sangat sulit tercapai atau sulitdilaksanakan apabila
yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran hukum, apalagi salah satu pihak
tidak mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan.
Pada asanya bentuk ganti rugi yang lazim diergunakan adalah uang. Oleh
karena menurut para ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan
alat yang paling prakttisss, yang paling sedikt menimbulkan masalah dalam
menyelesaikan suatu sengketa. Selain uang masih ada bentuk-bentuk lain yang
diperlukan sebagai bentuk ganti rugi, yaitu pemulihan keadaan semula (in natura)
dan larangan untuk mengulangi. Keduany ini kalau tidak ditepati dapat dierkuat
dengan uang paksa. Jadi haruslah diingat bahwa uang paksa itu bukanlah
merupakan wujud dari ganti rugi. Berdasarakan hal tersebut, maka bentuk ganti
rug itu adalah berupa uang, bukan barang yang diperjanjiakn itu.
Ada juga terjadi kerugian dinilai dalam bentuk benda ( in natura) misalnya : A
merusakkan benda yang dititipkan kepadanya oleh B, dapat dituntut ganti rugi
dalam mereparasi benda itu, sehingga kembali ke keadaan semula. Dalam pada itu
kreditur dapat juga menuntut agar diperhitungkan kerugian yang akan dating
misalmya : A menderita kecelakaan karena dilanggar B dengan sepeda, berhak
menuntut ganti rugi atas biaya-biaya perawatan yang akan dibayarkannya kepada
dokter. Inilah yang dimaksud kerugian yang dapat diduga atau yang diperkirakan
sebelumnya.
Bentuk ganti rugi dalam pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas
tanah berbeda dengan ganti rugi dalam KUHPerdata tersebut diatas, dalam hal ini
pembebasan, pencabutan dan pelepasan tanah memiliki suatu makna yang
13
berbeda, maksudnya pembyaran ganti rugi dengan sejumlah uang diberikan kepda
pemilik tanah sebagai kompensai atas dilepaskannya ahk atas tanahnya sesuai
dengan harga pasar dan memperhitungkan kerugian lain yang ada diatas tanahnya.
Jadai gantirugi yang utama adalah merupakan penggantian kerugian, bilamana
harta seorang pemilik yang dicabut dari harta pribadinya. Nilai ganti rugi yang
dibayar tersebut harus sama dengan nilai yang diambil padanya, tujuan dari ganti
rugi itu untuk mendapatkan uang yang nilainya setara dengan yang diambil.
1. uang ;
2. tanah pengganti ;
3. pemukiman kembali]
4. gabungan dari dua atau lebih untuk ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b, dan c;
5. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Hanya sayangnya, dalam pasal 13 ini ganti rugi tidak juga diperhitungkan
kerugian karena kepindsahan ketempat lain, atau kehilangan pencaharian ditempat
yang lam,namun mungkin saja kelak nerkembang suatu benruk kerugian lain
sebagai tafsiran pasal 13. sedangkan sebelumnya pada pasal 6 aya (2) PMDN
No. 15 Tahun 1975 disebutkan bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah, dan
atau fasilitas lain. Batasan ini lebih sederhana jika dibandingkan dengan yang
diatur dalam Keppres No. 55 tahun 1993.
14
(1) Di dalam mengadakan penafsiran/penetapan mengenai
besarnya ganti rugi, Panitita Pembebasan Tanah harus mengadakan
musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah
dan/atau benda/tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga
umum setempat.
(2) Dalam menetapkan besarny ganti rugi harus diperhatikan pula
tentang :
a. Lokasi dan factor –faktor strategis lainnya yang dapat
mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam
menettapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus
berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Dinas Pekerjaan Umum/ Dinas Pertanian Setempat.
b. Bentuk ganti rugi berupa uang, tanah dan atau fasilitas-
fasilitas lain;
c. Yang berhak atas ganti rugi itu ialah mereka yang
berhak atas tanah/bangunan/tanaman yang ada diatasnya,
dengan berpedoman kepada hukum adat setempat,
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
dalam UUPA.
(3) Panitia pembebasan tanah berusaha agar dalam menentukan
besarnya ganti rugi terdapat kata sepakat diantar para anggota
panitia dengan memperhatikan kehendak dari para pemegang hak
atas tanah. Jika terdapat perbedaan tafsiran ganti rugi diantaranya
para anggita panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga
rata-rata dari tafsiran masing-masing anggota.
(4) Pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam
waktu yang singkat.
(5) Keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai
besar/bentuknya ganti rugi tersebut disampaikan kepada instanasi
yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah dan para
anggota panitia yang turut mengambil keputusan.
Menurut pasal 1 ayat 93) PMDN NO. 15 Tahun 1975 yang dikatakan
sebagai harga umum setempat adalah harga dasar yang ditetapkan secara
berkala oleh panitia.
15
Menurut keppres No 44 tahun 1993, cara penentuan ganti rugi
pelepasan hak atas tanah berbeda dengan yang diatur dalam PMDN NO 15
tahun 1975. pasal 15 Keppres No 55 Tahun 1993, menegaskan bahwa dasar
dan cara perhitungan ganti rugi ditetapkan dengan dasar :
16
(4) Ganti rugi diupayakan dalam bentuk yang tidak menyebabkan
perubahan terhadap pola hidup masyarakat dengan
mempertimbangkan kemungkinan dilaksanakannya alih
pemukiman ke lokasi yang sesuai.
Namun dalam praktk masa lau, sering terjadi yang diamggap sebagai
musyawarah untuk menetapkan besarnya ganti rugi lebih dititikberatkan
paddd segi formalitanya/formalitas belaka, misalnya ada undangan
musyawarah, frekuensi dilakukannyan musyawarah, jumlah yang dihadiri
dan sebagainya. Jika dibandingkan dengan masalah substansialnya. Suatu
musyawarah untuk dapat menghasilkan kesepakatan harus dilandasi atas
kesejajaran antara pihak-pihak yang bermusyawarah dan dilaksanakan tanpa
tekana berupa apapun, berupa situasi atau tindakan penekanan dalam
berbagai gradasinya baik yang tejadi dalam pertemuan maupun di luar
pertemuan, yng secara psikologis sangat mempengaruhi masyarakat yang
akan kehilangan hak atas tanahnya. Walaupun secara procedural
musyawarah telah memenuhi syarat, namun apabila keputusn yang
dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka tidak dapat dikatakan telah
tercapai kesepakatan, karena tekanan itu merupakan perwujudan dari
pemaksaan kehendak satu pihak untuk menekan pihak lain agar mengikuti
kehendaknya. Disamping itu, dalam proses musyawarah sering terlibat
orang-orang diluar kepanitiaan yang resmi, misalnya aparat militer biasanya
berdalih untuk mengadakan pengamanan yang tidak jelas fungsi dan
tanggung jawabnya, sehingga hal ini akan menguburkan arti musyawarah
secara substansal.
17
2. Dasar dan Kriteria Pemberian Ganti Rugi
Yang berhak menerima ganti rugi bukan hanya pemilik yang
melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah melainkan juga pemilik
bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda yang lain yang terkait dengan
tanah yang bersangkutan. Karena di dalam masyarakat bias saja pemilik
tanah sekaligus sebagai pemilik bangunan dan tanaman dan bisa juga
pemilik tanah berbeda dengn pemilik bangunan maupun tanaman serta
benda-benda yang diatasnya.
Terhadap tanah yang digarap tanpa izin yang ehak atau kuasanya,
penyelesaian dilkukan berdasarkan UU No 51 Prp Tahun 1960, tentang
larangan Pemakain Tanpa yang Berhak Atau Kuasanya. Hal ini berarti bagi
penggarap atau pihak yang menguasai tanah secara fisik tanpa suatu alas
hak. Berdasarkan ketentuan ini bagi mereka yang menguasai tanah tanpa
izin yang berhak atau kuasanya tidak diberikan ganti rugi, namun harus
diselesaikan secara musyawarah dan memberikan uang pesangon/santunan
bagi mereka.
Ketentuan ini masih belum jelas atau rancu karena tidak dijelaskan
lebih lanjut mengenai tanah milik yang bersertifikat sebagai tanda bukti atas
tanah untuk mengganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk pembngunan
kepentingan umum ini perlu ditinjau lembali. Sangatlah tidak adil apabila
mereka mempunyai mempunyai hak atas tanah, tetapi tidak mempunyai
bukti-bukti formal hany diberikan uang santunan/pesangon.
18
perseorangan. Begitu juga terhadap bidang tanah wakaf ganti kerugiannya
diberikan dalam bentuk tanah, bangunan dan perlengkapan yang diperlukan.
19
pemilik tanah belum bersedia namun dalamprakteknya pihak yang
membutuhkan tanah melakukan penitipan pembayaran tunai ke Pengadilan
Negeri agar mereka dapat melakukan pengosongan tanah dan melakukan
pembangunan. Kenyataan ini adalah sangat merugikan pihak pemilik tanah,
hal ini disebabkan belum adanya kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti rugi.
20