Anda di halaman 1dari 12

POLITIK HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA DALAM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2020


TENTANG CIPTA KERJA (OMNIMBUS LAW)

Visi Indonesia pada tahun 2045 adalah menjadi 5 (lima) besar kekuatan
ekonomi dunia dengan menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2040.
Berdasarkan RPJMN 2020-2024, untuk mencapat target rata-rata 6 (enam persen
dalam 5 (lima) tahun maka diperlukan sumbangan peningkatan dari tiga area
utama yaitu ketenagakerjaan 68-70%, investasi pada sektor industry mencapai
7%, dan Total Factor Productivity (TFP) meningkatan sebesar 30-40%. Namun
saat ini Indonesia menghadapi tantangan-tantangan yang besar, baik yang
bersumber dari eksternail maupun internal. Tantangan eksternal dipicu dari
kondisu perekonomian global yang kini tengah mengalami pelemahan dan
ketidakpastian. Dinamika geopolitik di berbagai belahan dunia, serta hadirnya
berbagai teknologi baru pada era Revolusi Industri Keempat (revolusi industry
4.0) yang merubah lanskap ekonomi global merupakan sumber
ketidakpastianyang membatasi pergerakan perekonomian global. Pertumbuhan
ekonomi globat yang melambat telah memberikan dampak yang cukup signifikan
terhadap perekonomian Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah harus menemukan
formulasi yang tepat untuk mengatasi berbagagi tantangan seperti
mempertahankan daya beli masyarakat, mendorong peningkatan konsumsi
pemerintah, serta meningkatkan kinerja investasi salah satu caranya yang dapat
dilakukan pemerintah adalah melakukan penyederhadaan peraturan dengan
membentuk Omnimbus Law Cipta Kerja, yang diselipkan beberapa poin-poin
peningkatan kemudahan investasi di Indonesia sebagai cara yang dinilai tepat
untuk menyetabilkan perekonomian. Pada UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) memasukkan beberapa klaster, salah
satunya sebagai klaster pertanahan.
Kebijakan pemerintah secara nasional di sektor agraria/pertanahan dalam
praktik selama ini berpijak pada UU Cipta Kerja, sementara ketentuan UU No. 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut
UUPA). Regulasi pertanahan nasional yang disahkan sejak Presiden Soekarno
pada tanggal 24 September 1960 dinilai sudah dianggap tidak relevan lagi
diterapkan, namun semangat/ spirit reforma agrarian masih melekat pada
ketentuan tersebut dengan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Sementara
banyak ketentuan sectoral yang berkaitan dengan pertanahan, diantaranya undang-
undang kehutanan, undang-undang tata ruang, undang-undang pertambangan
mineral dan batubara, undang-undang kelistrikan, undang-undang perumahan dan
kawasan permukiman, dan lain sebagainya.
Reforma agraria harus dibuktikan dalam tindakan nyata, bukan sekedar
retrorika atau teori semata. TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 mengamanatkan
DPR RI bersama Presiden untuk segera mengatur lanjut pelaksanaan
pembaharuan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam lebih lanjut serta
mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua peraturan perundang-undnangan
terkait yang tidak sejalan dengan ketetapan ini. Mandat ini seyogyanya ditindak
lanjuti secara konkret oleh Pemerintah dan DPR dengan meninjau kembali
peraturan perundang-undangan yang ada dan mensinkronkannya serta
menyesuaikannya dengan prinsi dan arahan kebijakan yang diamanatkan dalam
ketetapan ini. Pelaksanaan reforma agrarian tentu akan menghasilkan politik
hukum pertanahan yang mampu mencerminkan perlindungan hukum dan
peningkatan kesejahteraan serta mendorong kegiatan ekonomi bagi masyarakat.
Mencermati ketentuan UU Cipta Kerja, yang berkaitan dengan pertanahan,
memperlihatkan semangat yang dibawa adalah sistem perizinan atau persetujuan
investor terhadap pemilik hak atas tanah, tidak ada keseimbangan semangat
negara dan investor atas perlindungan atau inklaf terhadap wilayah-wilayah atau
tanah komunal atau ulayat, termasuk pelestarian terhadap lingkungan guna
keseimbangan investasi, bahkan harus ada izin ketika tanah ulayat akan digunakan
investasi. Ancaman atas UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan investasi
penggunaan ha katas tanah sangat terasa pada masyarakat hukum adat yang
keberadaannya diakui negara. Kesejahteraan rakat atas penggunaan dan/atau
pengelolaan tanah yang didengungkan oleh pemerintah kemudian tidak
berdampak pada jaminan kesejahteraan dan ekonomi pada kelompok tradisional,
sebaliknya akan terjadi kesengsaraan, penggusuran lahan, ancaman, dan
kriminalisasi yang ditujukan kepada kelompok lemah (kecil).
Bedasarkan hal tersebut, mencermati keberadaan reformasi agraria dalam
UU Ciptakerja dapat dikatakan bahwa spirit reforma agrarian dalam upaya
perlindungan terhadap masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat terhadap hak
atas tanah tidak terlihat. Munculnya UU Cipta Kerja dapat dinilai merupakan
upaya mendegradasi dan menggeser paradigma penggunaan tanah serta spirit
reforma agrarian yang seharusnya menjadi pertimbangan utama. Pada akhirnya,
hak-hak apapun atas tanah akan diubah dan di ekspoitasi demi melanggengkan
investasi, usaha, bisni dan pendapatan negara, sementara tidak ada upaya inklaf
atau perlindungan terhadap wilayah-wilayah tertentu misalnya kawasan
konservasi, lingdung, dan ulayat. Keberadaan UU Cipta Kerja dinilai akan
berdampak serius dan menggeser spirit reforma agraria, merusak lingkungan, dan
menjauhkan diri dari keadilan sosial yang hendaknya dikaji ulang. Jika hal ini
dikaitkan dengan fungsi sosial hak atas tanah, pembentukan UU Cipta Kerja ini
dapat menggeser prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai manan
amanat fungsi sosial hak atas tanah.
Sebelum pemerintah membentuk UU Cipta Kerja sebagai pengaturan
tambahan dan pembaharuan dalam hukum pertanahan yang harusnya harmonis
dengan UUPA, pemerintah juga sempat menyusun Rancangan Undang-Undang
Pertanahan (selanjutnya disebut RUU Pertanahan). Pada tahun 2012 sampai
dengan tahun 2013 RUU Pertanahan disusun atas insiatif dari DPR dengan
melibatkan pakar di bidang Hukum Pertanahan. Penyusunan RUU Pertanahan
pada saat itu dirasa perlu karena adanya pemikiran bahwa Indonesia memerlukan
peraturan pelaksana yang berfungsi sebagai pelengkap sekaligus penyempurna
substansi dari UUPA.
RUU Pertanahan tidak dimaksudkan untuk menggantikan UUPA, akan
tetapi bersifat lex specialis dan UUPA menjadi lex generalis, sehingga RUU
Pertanahan diharapkan mampu mewujudkan sistem pertanahan nasional yang
lengkap dan jelas serta berpedoman pada prinsip yang mendasari UUPA dan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam TAP MPR No.IX/2001 Tentang
Pembaharuan Pertanahan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mana
ketetapan ini merupakan hasil akhir dari harapan dan tuntutan rakyat, khususnya
kaum tani untuk mengembalikan hak-hak secara adil dalam pengelolaan kebijakan
“harta” pertanahan nasional sesuai yang dicita-citakan UUPA, dimana selama
rezim orde baru dikuasai oleh oknum penguasa.
RUU Pertanahan seharusnya disahkan pada tanggal 24 September 2019,
akan tetapi resmi dibatalkan pengesahannya pada saat itu dan akan dibahas
kembali pada masa pimpinan anggota legislative periode selanjutnya. Pembatalan
pengesahan RUU Pertanahan pada 24 September 2019 dilatar belakangi karena
masyarakat berpandangan bahwa RUU Pertanahan tidak mewakili jiwa UUPA
melainkan mencerminkan keberpihakan yang sangat besar pada sektor swasta dan
bertentangan dengan reformasi pertanahan serta menganggap pendaftaran tanah
hanya administrative semata, sehingga ada desakan dari masyarakat untuk
dilakukan peninjauan kembali terhadap seluruh pasal dalam RUU Pertanahan.
Dalam rangka penyederhanaan regulasi dan kembali menghadirkan
semangat penyempurnaan hukum pertanahan Indonesia, pemerintah membentuk
UU Cipta Kerja yang didalamnya terdapat banyak bidang-bidang pengaturan salah
satunya adalah klaster pertanahan. Namun nyatanya pada klaster pertanahan,
pemerintah hanya memindahkan pasal-pasal dan ide-ide dalam RUU Pertanahan
ke dalam UU Cipta Kerja secara mentah-mentah tanpa dilakukan peninjauan
kembali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengaturan pertanahan dalam
UU Cipta Kerja merupakan gempilan dari RUU Pertanahan yang tidak dapat
terlepas dari roh urgensi pembentukan dari UU Cipta Kerja itu sendiri, yaitu untuk
meningkatkan kemudahan investasi dan perizinan di Indonesia, hal ini
dikarenakan semua kegiatana investasi bermuara pada tanah, sehingga hukum
pertanahan menjadi titik kunci utama dalam UU Cipta Kerja.
Salah satu kebijakan yang krusial di dalam UU Cipta Kerja yang sangat
mencerminkan politik hukum UU Cipta Kerja mengarah pada kemudahan
investasi adalah pembentukan lembaga baru di bidang pertanahan yaitu Badan
Bank Tanah (selanjutnya disebut Bank Tanah). Dalam Pasal 125 sampai dengan
Pasal 135 UU Cipta Kerja, disebutkan akan dibentuk lembaga baru berupa Badan
Bank Tanah yang disinyalir menjadi solusi untuk menjawab kesulitan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum di Indonesia. Atas pelaksanaan ketentuan tersebut,
maka dibentuklah Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank
Tanah dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 109 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6683 (selanjutnya
disebut PP Badan Bank Tanah).
Keberadaan Bank Tanah ini juga bersumber dari Pasal 2 ayat (2) huruf a
UUPA yang menyatakan bahwa:
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Lalu Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-
022/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir baru dalam Pasal 2
ayat (2) huruf a UUPA ini bahwa HMN mencakup, pengertian bahwa negara
merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad),
melakukan pengurusan (bestuurdaad) melakukan pengelolaan (beherrdaad) dan
melakukan pengawasan untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sehingga Pasal 2 ayat (2) huruf a juga harus dimaknai bahwa negara selain
mempunyai kewenangan sebagaimana tercantum dalam Pasal tersebut, juga
memiliki kewenangan pengawasan terhadap bumi, air danruang angkasa.
Maka dari itu, negara memerlukan suatu lembaga untuk menajalankan tugasnya
ini, yang dicanangkan akan dilaksanakan oleh Bank Tanah.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP Badan Bank Tanah menyatakan bahwa
Badan Bank Tanah yang selanjutnya disebut Bank Tanah adalah badan khusus
(sui geneis) yang merupakan badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh
pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah. Badan
bank tanah diharapkan dapat mengakuisisi tanah secara sistematis terhadap tanah
yang belum dikembangkan, tanah terlantar, atau yang ditinggalkan kosong dan
dianggap memiliki potensi untuk pengembangan. 1 Akuisisi yang dilakukan
badan bank tanah terhadap tanah-tanah yang dinilai tidak produktif ditujukan
untuk dikelola dengan baik agar tanah-tanah tersebut menjadi lahan produktif
yang dapat dimanfaatkan. Salah satu pemanfaatan yang dimaksud dapat berupa
penyediaan lahan untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Badan bank
tanah menghimpun tanah dari masyarakat, terutama tanah yang ditelantarkan dan
tanah negara yang belum digunakan, untuk selanjutnya dikembangkan dan
didistribusikan Kembali sesuai rencana penggunaan tanah. Badan bank tanah ini
dapat menjadi salah satu alternatif cara penyediaan tanah nirkonflik yang dapat
di terapkan di Indonesia. 2
Namun kenyataannya, pengaturan mengenai Bank Tanah dalam UU
Cipta Kerja dan PP Bank Tanah mengandung banyak konflik. Upaya
membangun Bank Tanah sebagai lembaga yang membantu pemerintah dalam
pengelolaan tanah-tanah aset negara harusnya dibarengi dengan pemberian
kedudukan, tugas dan fungsi yang tepat kepada Bank Tanah, namun pengaturan
mengenai kedudukan, tugas dan fungsi Bank Tanah pada PP Bank Tanah malah
mencerminkan konsep dikotomi yang nantinya berimplikasi kepada kewenangan
Bank Tanah pengelolaan tanah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneisa (KBBI),
dikotomi diartikan sebagai pembagian atas dua kelompok yang saling
bertentangan atau adanya kondisi yang mendua.3 Dengan demikian konsep
dikotomi kedudukan Bank Tanah menunjukkan ada 2 (dua) kedudukan Bank
Tanah yang mengalami kecenderungan saling bertentangan, yaitu:
1. Kedudukan Bank Tanah ditempatkan sebagai representasi negara.
Sebagai representasi negara ini, Bank Tanah diberikan kewenangan
publik dalam pengelolaan tanah.

1
Bernhard Limbong, 2013, Bank Tanah, Margaretha Pustaka, Jakarta, hal.70.
2
Ibid, hal. 65.
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia, URL: https://kbbi.web.id/dikotomi, diakses pada
Rabu, 3 November 2021.
2. Kedudukan Bank Tanah sebagai subyek atas tanah yaitu Hak
Pengelolaan yang diberikan kewenangan privat guna melakukan
kerjasama pemanfaatan tanah Hak Pengelolaan.
Kedudukan Bank Tanah ditempatkan sebagai representasi negara, dapat
dilihat dari tugas dan kewenangan Bank Tanah dalam PP Bank Tanah yaitu:
a) Diberikan kewenangan publik yang bersumber dari Hak
Menguasai Negara. Kewenangan ini berupa kewenangan umum
sebagaimana ditentukan Pasal 23 dan kewenangan khusus
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2);
b) Menguasai, merencanakan, dan/atau menata pemanfaatan tanah
yang berasal dari tanah negara (Pasal 7) dan tanah dari pihak lain
(Pasal 8);
c) Melakukan penyediaan dan pembagian tanah untuk pembangunan
(Pasal 15);
d) Mengendalikan harga tanah (Pasal 13 huruf c);
e) Menentukan sendiri tarif pelayanan yang diberikan oleh Bank
Tanah (Pasal 26);
f) Menjamin pemerataan pendistribusian tanah secara proporsional
semua subyek sasaran Bank Tanah (Pasal 16 – Pasal 22).
Disisi lain Kedudukan Bank Tanah sebagai subyek atas tanah yaitu Hak
Pengelolaan yang diberikan kewenangan privat guna melakukan kerjasama
pemanfaatan tanah Hak Pengelolaan dapat dilihat dari kewenangan Bank Tanah
untuk:
a. menggunakan tanah Hak Pengelolaan sebagai obyek kegiatan
usaha yang nantinya dijadikan sebagai sumber pendapatan dari
Bank Tanah (Pasal 11 ayat (1) jo. Pasal Pasal 11 ayat (3));
b. mengembangkan kerjasaman pemanfaatan bagian tanah hak
pengelolaan sebagai bentuk kegiatan usaha melalui bentuk
kerjasama usaha, jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, atau
bentuk lainnya yang disepakati (Pasal 14);
c. Menjadikan hasil pembayaran yang diterima Bank Tanah dari
kerjasama pemanfaatan bagian tanah sebagai modal penyertaan
pada badan usaha yang melakukan kerjasama pemanfaatan tanah
dengan Bank Tanah (Pasal 26 ayat (5) jo. Pasal 26 ayat (7));
d. Menerima dan mengelola tanah titipan pemerintah, pemerintah
daerah, BUMN, BUMD, Swasta, Koperasi, atau masyarakat dalam
bentuk kerjasama usaha (Pasal 36 ayat (3).
e. Membentuk Badan Usaha sebagai business centre (Pasal 37)
f. Membeli Surat Berharga Negara (Pasal 30)

Pemberian kewenangan Privat ini kepada Bank Tanah tidak lain


merupakan konsekuensi dari sumber kekayaan Bank Tanah yang sebagian berasal
dari APBN dan sebagian lagi dari usaha Bank Tanah sendiri sebagaimana
tercantum dalam Pasal 27 PP Bank Tanah yang menyatakan bahwa:
Sumber Kekayaan Bank Tanah dapat berasal dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. pendapatan sendiri;
c. penyertaan modal negara; dan/atau
d. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Sehingga untuk memenuhi sumber pendapatannya guna melakukan kinerja


kelembagaan Bank Tanah dapat mencari pendapatan sendiri melalui kerjasama
usaha pemanfaatan tanah dengan pihak lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal
11 ayat (1) jo. Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 14 PP Bank Tanah. Hal tersebut juga
didukung oleh Pasal 137 ayat (2) huruf b dan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU
Cipta Kerja.
Pasal 137 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa:

(2) Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan


kewenangan untuk:
a. Menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah sesuai dengan rencana tata ruang;
b. Menggunakan dan memanfaatkan seluruhnya atau sebagian tanah
hak pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan
dengan pihak ketiga.
c. menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi
dan/atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga sesuai dengan
perjanjian

Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa:

(1) Penyerahan pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak


ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) huruf b
dilakukan dengan perjanjian pemanfaatan tanah.
(2) Diatas hak pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak
ketiga baik sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan hak guna usaha,
hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
(3) jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan
pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan
sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
(4) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas
penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah diatas hak pengelolaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal hak atas tanah yang berada di atas hak pengelolaan telah
berakhir, tanahnya kembali menjadi tanah hak pengelolaan.

Diberikannya kewenangan privat yang dinilai terlalu luas dan terbuka


khususnya melalui Pasal 137 ayat (2) huruf b dan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2)
UU Cipta Kerja serta dalam Pasal 11 ayat (1) jo. Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 14 PP
Bank Tanah kepada Bank Tanah akan mempengaruhi kinerja Bank Tanah yang
berorientasi kepada pelayanan publik. Kewenangan privat yang terlalu luas dan
terbuka tersebut dinilai akan menjadi core business karena Bank Tanah sebagai
lembaga representasi negara diberikan kesempatan untuk berusaha layaknya
lembaga swasta untuk mencari keuntungan sendiri, sehingga semangat pelayanan
umum guna mengelola tanah yang berlandaskan keadilan dan kemakmuran rakyat
akan memudar.
Berdasarkan hal tersebut, terjadi konflik norma antara kewenangan privat
yang terlalu luas dan terbuka melalui beberapa kegiatan usaha dan kerjasamanya
untuk mencari keuntungan sebagai sumber dana yang diatur dalam Pasal 137 ayat
(2) huruf b dan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Cipta Kerja serta dalam Pasal
11 ayat (1) jo. Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 14 PP Bank Tanah yang bertentangan
dengan semangat pelayanan publik Bank Tanah sebagaimana amanat Pasal 2 ayat
(2) UUPA yang berorientasi pada pelayanan umum guna mewujudkan
kemakmuran rakyat.
Dimasukkannya substansi bank tanah dalam UU Cipta Kerja ternyata
merombak pemikiran-pemikiran pemerintah terdahulu untuk membentuk bank
tanah yang berorientasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui
pelayanan publik di dibidang pertanahan. Nyatanya pembentukan bank tanah
tidak terlepas dari roh investasi daru UU Cipta Kerja sebagai UU pembentukanya.
Pembentukan bank tanah ini lebih mengarahkan pada pemanfaatan tanah untuk
investasi dengan menerapkan kemudahan-kemudahan. Sehingga, pemerintah
dapat mengoptimalkan pemanfaatan tanah dan dipergunakan memfasilitasi
investasi guna meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Dengan konsep
kemudahan investasi, pemanfaatan tanah disinyalir bukan hanya sebagai wadah
tapi juga dapat memberikan posisi pada tanah sebagai obyek investasi tersebut.
dapat memberikan kebaikan dan kebahagiaan kepada mayoritas rakyat Indonesia.

KESIMPULAN
Politik hukum dibentuknya UU Cipta Kerja adalah berlandaskan atas
semangat Pemerintah untuk mendorong peningkatan laju investasi dan ekonomi
Indonesia. Dengan adanya semangat investasi ini, UU Cipta Kerja disinyalir dapat
berdampak serius bagi kehidupan dengan tidak menjamin kesejahteraan dan
keadilan rakyat, terutama pada hubungankelompok masyarakat tradisional
(masyarakat adat) terhadap tanah. Salah satu ketentuan mengenai pertanahan
dalam UU Cipta Kerja yang krusial dan mencerminkan kemudahan investasi salah
satunya adalah rencana pembentukan lembaga baru berupa Badan Bank Tanah.
Urgensi pembentukan bank tanah pasca terbentuknya UU Cipta Kerja dan PP
Bank Tanah adalah karena didorong keterdesakan Indonesia akan permasalahan
kebutuhan tanah yang sangat besar, yang nantinya tanah tersebut digunakan
sebagai wadah kegiatan investasi.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bernhard Limbong, 2013, Bank Tanah, Margaretha Pustaka, Jakarta.

Harsono, Boedi, 2002, Sejarah Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Margaretha
Pustaka, Jakarta.

Redi, Admad, dan Ibnu Sina Chandranegara, 2020, Omnimbus Law: Diskursus
Pengadopsiannya ke Dalam Sistem Perundang-Undangan Nasional, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Santoso, Urip, 2013, Hukum Agraria komprehensif, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta.

Sumardjono, Maria S.W, 2015, Dinamika Pengaturan Pengadaan Tanah Di


Indonesia, Dari Keputusan Presiden Sampai Undang-Undang, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

_______ S.W., 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Jurnal
Safitru, Myrna A., 2016, “Meninjau Kembali Hak Pengelolaan Dalam Rancangan
Undang-Undang Pertanahan”, Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik), Program
Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pancasila, Vol.2
No.2

Wardhani, Dwi Kusumo, 2020, “Disharmoni Antara RUU Cipta Kerja Bab
Pertanahan Dengan Prinsip-Prinsip UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Pamulang, Vol 6 No.2.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945

TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok


Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
2043)
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6673)

Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia, URL: https://kbbi.web.id/dikotomi, diakses pada
Rabu, 15 Oktober 2022

Anda mungkin juga menyukai