Anda di halaman 1dari 12

349

EKSISTENSI HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH (HPL)


DAN REALITAS PEMBANGUNAN INDONESIA
Elita Rahmi
Fakultas Hukum Universitas Jambi
E-mail: elita_rahmi@yahoo.co.id

Abstract

Management Right on Land (HPL) is right outside in Act No. 5 of 1960 on Basic Regulation on
Agrarian Principles (Undang-undang Pokok Agraria/UUPA) that grow and develop in accordance with
the demands of the development. Rights that has existed since the colonial era already formulated
in a special regulation, so that the holders of HPL with are third parties who utilize HPL within the
law and morals. Development held in Indonesia still requires the existence of HPL, due to limited
government funds and the empowerment of government agencies central government and local
government. HPL may become a test of the right control of the country. Are the economically weak
have a place in existence in order to compensate parties who HPL always "land eklpoitation " the
investors.

Key word: Management Right, value, development.

Abstrak

Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) adalah hak di luar UUPA yang tumbuh dan berkembang sesuai
dengan tuntutan pembangunan. Hak yang telah ada sejak zaman penjajahan perlu dirumuskan dalam
suatu peraturan perundang-undangan, sehingga antara pemegang HPL dengan pihak ketiga yang
memanfaatkan HPL berada dalam koridor Kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Pembangunan yang berlangsung di Indonesia masih membutuhkan eksistensi HPL, akibat keterbatasan
dana pemerintah, dan dalam rangka pemberdayaan Instansi Pemerintah (pusat) maupun Pemerintah
Daerah. HPL dapat menjadi alat uji terhadap hak menguasai dari negara. Apakah golongan ekonomi
lemah telah mendapat tempat dalam eksistensi HPL guna mengimbangi pihak yang senantiasa
“mengeklpoitasi tanah” yaitu pihak pemodal.

Kata Kunci: Hak Pengelolaan, nilai, Pembangunan

Pendahuluan belum maksimal,2 sehingga luas tanah negara


Pro dan kontra terhadap eksistensi Hak akan lebih luas dibanding tanah hak, sebagai
Pengelolaan atas Tanah (selanjutnya disingkat contoh 85 juta bidang tanah di Indonesia, baru
HPL) terus bergulir. Apabila kerancuan ini te- 31 persen yang terdaftar, dibutuhkan waktu
rus berlangsung, maka akan berdampak kepa- paling cepat 20 tahun untuk pendaftaran se-
da persoalan pertanahan yang tidak kunjung mua tanah.3 Akibatnya banyak terjadi tanah
selesai.1 Suka atau tidak suka HPL adalah rea- terlantar.4
litas pembangunan Indonesia yang masyarakat
sangat heterogen dan struktur tanahnya sangat 2
Lihat Mhd Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Hukum
variatif. Di sisi lain, sistem pendaftaran tanah Pendaftaran Tanah, Mandar Maju Bandung 2008, hlm. 6.
Bandingkan dengan Adrian Sutedi, 2006, Politik dan
Kebijaksanaan Hukum Pertanahan Serta Berbagai
Permasalahannya, Jakarta: BP.Cipta Jaya, hlm. 1.
3
Tanah Negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh
negara (Pasal 1 ayat (1) PP No. 8 Tahun 1953 Tentang
1
Sejak 2000 - Juni 2010, ada 1.012 kasus yang melibat- Penguasaan Tanah Negara), dengan kata lain tanah
kan petani dan nelayan. Sebanyak 630 kasus terkait negara adalah tanah yang belum dilekati sesuatu hak.
penguasaan lahan. Akar masalahnya tidak meratanya Sejatinya menurut hukum tanah negara adalah, tanah
penguasaan lahan. Petani hanya menguasai rata-rata yang kontras dengan tanah hak
4
0,3 hektar. Lihat Kompas, 2010, Reforma Agraria Suhariningsih, 2007, Aspek Yuridis Tanah Terlantar Dan
Untuk Tuntaskan konflik, tanggal 29 Juli, hlm.12. Penyelesaiannya (Kajian Teerhadap Tanah HGU (Perke-
350 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 10 No. 3 September 2010

Pembangunan Indonesia menuntut eksis- pendapat bahwa telah terjadi pergeseran sifat
tensi HPL perlu disempurnakan untuk dikoreksi HPL cenderung ke arah Perdata6. Puncak dari
sesuai dengan hakekat dan prinsip-prinsip keinginan Pemerintah untuk mengiring HPL
hukum baik itu segi filosofis, yuridis dan pada ranah privat terakumulasi pada konsep
sosiologis. Fakta hukum menunjukkan pem- Rancangan Perubahan UUPA “pernah ada ke-
bangunan yang tengah berlangsung di Indo- inginan” untuk memasukkan hak pengelolaan
nesia masih memerlukan keberadaan HPL se- pada hak keperdataan (Pasal 16 UUPA). Apa-
bagai bagian dari hak menguasai dari negara, bila keinginan ini terwujud maka “asas do-
segera diatur dengan tepat dalam rangka mein” (negara pemilik tanah) sebagai politik
mengatasi persoalan kemiskinan, ketidak- penjajah akan kembali berkibar di Indonesia.
merataan penduduk, letak geografis Indonesia, Akibatnya banyak pihak yang kontra terhadap
pemusatan pembangunan, dan dampak dari eksistensi HPl. Diantaranya pendapat Soedjar-
tanah terlantar. wo Soeromihardjo “Hak-hak pemegang HPL
Penyeimbangan pengunaan HPL untuk meningatkan kembali pada hak-hak pertuanan
golongan ekonomi lemah dengan akses yang dalam tanah partikelir, sehingga hak-hak yang
terbatas adalah mimpi yang harus diwujudkan bertentangan dengan tujuan UUPA hidup
negara. Kecenderungan tanah HPL pada komo- kembali7.
ditas ekonomi, dimana tanah dieksploitasi Ke depan HPL perlu dikembalikan pada
untuk kepentingan spekulasi dan pembangunan khitohnya yaitu hak publik atau bagian dari
yang kurang berpihak kepada rakyat, harus hak menguasai dari negara, perundang-un-
diwaspadai baik secara preventif dan refresif dangan perlu menselaraskan fungsi hak penge-
oleh sistem perundang-undangan nasional. lolaan baik secara vertikal maupun horizontal,
Hak Pengelolaan Atas Tanah adalah hak sehingga kehadiran HPL tidak mengacaukan
atas tanah di luar UU Nomor 5 Tahun 1960 sistem hukum pertanahan nasional. Pemegang
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria HPL maupun pihak ketiga yang memanfaatkan
(selanjutnya disebut UUPA). Sekalipun para tanah HPL tetap dalam kerangka hukum dan
ahli banyak yang menyangsikan bahwa HPL moral8, bahwa tanah sebesar-besarnya untuk
bukanlah hak atas tanah sebagaimana yang kesejahteraan rakyat bukan kemakmuran
dimaksud dalam Pasal 16 UUPA (Hak Milik, Hak kelompok pemodal dan “tuan tanah”.
Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Guna usaha, Harus diakui bahwa sejarah HPL telah
dan lain-lain) atau hak-hak Keperdataan atas ada sejak Pemerintahan Hindia Belanda de-
tanah. Namun Pasal 12 Peraturan Menteri ngan menggunakan istilah “in beheer”, yang
Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 Tentang kemudian oleh pemerintah Indonesia diterbit-
Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas kan PP Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Pe-
Tanah telah mengkontruksikan HPL adalah hak nguasaan Tanah Negara. Filosofi penjajah ter-
administrasi tanah. HPL merupakan salah satu hadap eksistensi HPL adalah ingin menguasai
wujud nyata bahwa hukum pertanahan adalah tanah jajahan sedangkan pada masa peme-
bagian hukum administrasi.5 rintah Indonesia eksistensi HPL adalah jawab-
Ketidaksingkronan perundang-undangan an terhadap kebutuhan pembangunan dan
mendudukkan eksistensi HPL menimbulkan kondisi obyektif bangsa dan negara Indonesia.

6
bunan) Di Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Jawa Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif
Timur (Disertasi), Malang:Universitas Brawijaya, hlm. Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta: Kompas, hlm
1. 203.
5 7
Utrecht mengatakan, Hukum Agraria (Hukum Tanah) Soemardijono, 2006, Analisis Mengenai Hak Pengelola-
adalah menjadi bagian Hukum Administrasi Negara, an (HPL), Jakarta: Penerbit Lembaga Pengkajian Perta-
yang mengkaji hubungan hukum, terutama yang nahan (LPP), hlm Sampul Belakang
8
memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus Moral adalah alat penuntun, pedoman sekaligus alat
soal-soal agraria, penting sekali hak-hak yang bersifat kontrol yang paling ampuh dalam mengarahkan kehi-
agraris diurus secara baik. Dikutip dari Ali Achmad dupan manusia. Dalam Supriadi, 2006, Etika & Tang-
Chomzah, 2003, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), gung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Sinar
Jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, hlm.1. Grafika, hlm. 12.
Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas Pembangunan Indonesia 351

Pembahasan Dapat dikatakan bahwa Hak Pengelola-


Pembaharuan Pengaturan dan Pergeseran an dalam sistem hukum pertanahan nasional
Istilah serta Subyek HPL tidak disebut dalam UUPA secara nyata, tetapi
Hak Pengelolaan atas tanah yang sering hanya tersirat dalam penjelasan umum. Apa-
disebut HPL. Hak Pengelolaan lahir bukanlah bila diperhatikan secara seksama antara pen-
didasarkan atas undang-undang akan tetapi di jelasan umum UUPA dan Peraturan Menteri Ag-
dasarkan atas Peraturan Menteri Agraria raria Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelak-
Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan sanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah
Konversi Hak Menguasai Negara dan Ke- dan ketentuan-Ketentuan tentang Kebijak-
tentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Se- sanaan, terdapat penambahan kata “Hak”
lanjutnya. Peraturan inilah yang pertama kami didepan istilah “Pengelolaan”. Perkembangan
mengunakan istilah hak pengelolaan, sebagai- selanjutnya “fungsi” atau aspek “kewenang-
mana disebutkan dalam Pasal 2 Peraturan an” pengelolaan telah bergeser kepada “hak”.
Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pergeseran subyek HPl terjadi antara
Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas pasal dan Penjelasan UUPA. Perbedaan Pasal
Tanah dan ketentuan-Ketentuan tentang Kebi- 2 ayat (4) dan penjelasan UUPA cukup dra-
jaksanaan yang menentukan bahwa, “Jika matis. Pasal 2 ayat (4) hanya menyebut (2)dua
tanah negara sebagai dimaksud dalam Pasal 1, subyek HPL yaitu daerah swatantra dan ma-
selain dipergunakan untuk kepentingan ins- syarakat hukum adat9. Pada Penjelasan Subyek
tansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga HPL dengan tiba-tiba muncul kata “Depar-
untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak temen”, sedangkan kata-kata “masyarakat
kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan hukum adat” hilang.10 Dengan demikian secara
tersebut di atas dikonversi menjadi hak penge- yuridis antara pasal dan Penjelasan UUPA
lolaan sebagai dimaksud dalam Pasal 5 dan 6, tidak singkron, dalam memaknai subyek HPL,
yang berlangsung selama tanah tersebut ada yang “dikembangkan” dan ada bagian
dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang “dihilangkan”. Dalam dinamikanya sub-
yang bersangkutan” jek HPL semakin meluas ke badan profit
Padahal UU No 5 Tahun 1960 Tentang pemerintah yakni BUMN dan BUMD.
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Istilah “hak pengelolaan” semakin sering
Pada bagian Penjelasan Umum tidak menye- dijumpai baik dalam praktik, maupun teori
butkan dengan istilah “hak pengelolaan” me- hukum pertanahan, sebagaimana ditemui di
lainkan “pengelolaan”. Hal itu dapat ditemui dalam Pasal 1 ayat 3 Peraturan Menteri Ne-
pada Penjelasan Umum II angka (2) yang gara Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
menyebutkan bahwa dengan berpedoman pada 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian
tujuan yang disebutkan di atas, Negara dapat dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan
memberikan tanah yang demikian (yang di- Hak Pengelolaan, yang memberi definisi Hak
maksudkan adalah tanah yang tidak dipunyai Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara
dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak yang kewenangan pelaksanaaannya sebagian
lain)kepada seseorang atau badan-badan dilimpahkan kepada pemegangnya.
dengan sesuatu hak menurut peruntukkan dan
keperluannya, misalnya dengan hak milik, hak
9
Pasal 2 ayat (4) berbunyi UU No 5 Tahun 1960 Tentang
guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai
UUPA menyatakan : Hak Menguasai dari Negara terse-
atau memberikannya dalam pengelolaan ke- but di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum
pada suatu badan Penguasa ((Departemen, Ja-
adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan de-
watan atau Daerah Swatantra) untuk diper- ngan kepentingan nasioal menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
gunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing- 10
Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah (Me-
masing(Pasal 2 ayat 4) . nemukan Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Atas
Eksistensi Tanah Aset Daerah), Jakarta: Prestasi Pus-
taka, hlm.13.
352 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 10 No. 3 September 2010

Istilah Hak pengelolaan ternyata tidak mendatang “desa” dirasa perlu untuk di-
hanya dipergunakan oleh peraturan-peraturan jadikan subjek HPL.
yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Na- Istilah hak pengelolaan dari kalangan
sional selaku badan negara yang menyeleng- para ahli, sering dilihat dari segi makna dan
garakan bidang pertanahan, tetapi telah subtansi yang diberikan perundang-undangan
merambah kepada produk hukum berupa Per- atas keberadaan hak pengelolaan, Pertama,
aturan Pemerintah (PP) sampai pada undang- Maria S.W. Sumardjono11, memaknai hak
undang. Hal tersebut dapat ditemui pada pengelolaan (HPL) adalah hak menguasai dari
Pertama, Pasal 1 ayat (4) PP Nomor 24 Tahun negara yang kewenangan pelaksanaaannya
1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang mem- sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya
beri definisi bahwa hak pengelolaan adalah (dalam hal ini pemegang HPL); Kedua, Boedi
hak menguasai dari negara yang kewenangan Harsono12, Hak pengelolaan sebagai gempitan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada Hak Menguasai dari negara; Ketiga, A.P.
pemegangnya. Pada Pasal 9 ayat (1) PP Nomor Parlindungan adalah hak atas tanah di luar
24 Tahun 1997 Tentang pendaftaran Tanah, UUPA.13 Pendapat ahli di atas, sama-sama
juga mengatur bahwa hak pengelolaan me- memberi arti bahwa HPL adalah bagian dari
rupakan salah satu obyek pendaftaran tanah; hak menguasai negara yang diatur di luar
Kedua, PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak UUPA. Padahal yang menarik dari HPL tidak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan hak hanya ari pergeseran kewenangan tetapi
Pakai atas Tanah, Pasal 1 ayat 2 menyebutkan “meluas” dan “menghilangnya” subyek HPL
hak pengelolaan adalah hak menguaai dari dalam UUPA itu sendiri.
negara yang kewenangan pelaksanaannya se- Perkembangan kebijakan hak penge-
bagian dilimpahkan kepada pemegangnya; lolaan atas tanah yang dikontruksikan peme-
Ketiga, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 tahun rintah, menggambarkan bahwa Hak Pengelo-
1985 yang berbunji: Rumah susun hanya dapat laan sebagai suatu hak atas permukaan bumi
dibangun di atas tanah hak milik, hak guna yang didelegasikan oleh negara kepada suatu
bangunan, hak pakai atas tanah negara atau lembaga pemerintah, atau pemerintah daerah,
hak pengelolaan sesuai dengan peraturan badan hukum pemerintah, atau badan hukum
perundang-undangan yang berlaku; Keempat, pemerintah daerah, masyarakat hukum adat
UU Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Per- dengan kewenangan untuk: merencanakan
olehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pada peruntukan dan penggunaan tanah yang ber-
Bab II Tentang Obyek pajak Pasal 2 ayat (3) sangkutan; Menggunakan tanah tersebut untuk
huruf (f), hak pengelolaan termasuk salah satu keperluan pelaksanaan usahanya; menyerah-
obyek pajak kan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak
Istilah “hak pengelolaan” dari bebera- ketiga menurut persyaratan yang ditentukan
pa perundang-udangan di atas sudah demikian oleh pemegang hak pengelolaan tersebut,
populer dalam perundang-undangan di Indo- yang meliputi segi peruntukkan, penggunaan,
nesia tidak hanya dalam bidang pertanahan, jangka waktu dan keuangan, dengan keten-
tetapi juga bidang-bidang Sumber Daya Alam tuan bahwa pemberi hak atas tanah kepada
dan perpajakan, property, dan lain-lain. Se- pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh
mua produk perundang-undangan berkeinginan pejabat-pejabat yang berwenang menurut
mengkontruksikan kewenangan pengelolaan Peraturan Menteri Dalam negeri Nomor 6
menjadi hak pengelolaan. Menurut hemat pe- Tahun 1972 Tentang pelimpahan Wewenang
nulis salah satunya dipengaruhi oleh politik
hukum sentralisasi. Untuk itu perlu diimbangi 11
Maria S.W. Sumardjono, op.cit, hlm. 213.
12
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia Sejarah
dengan politik hukum yang populis melalui Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
pemberdayaan otonomi (menginventarisasi pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, hlm. 277.
13
A.P. Parlindungan, 1994, Hak Pengelolaan Menurut Sis-
ulang hak-hak masyarakat adat). Di masa tem UUPA, Bandung: Mandar Maju, hlm. 1.
Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas Pembangunan Indonesia 353

Pemberian Hak Atas Tanah, sesuai dengan per- kepada badan atau pejabat administrasi dalam
aturan perundang-undangan yang berlaku. rangka penyelenggaraan pemerintahan.14 Pe-
Keadaan semakin rumit dengan hadirnya ran seluruh lapisan masyarakat, badan usaha
UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbenda- dalam upaya peningkatan kesejahteraan rak-
haraan Negara dan PP No. 6 Tahun 2006 yat, tak terkecuali pihak swasta. Artinya pe-
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ merintah tidak dapat sendirian melaksanakan
Daerah. Mendefinisikan Barang Milik Negara pembangunan “one man show”.
adalah barang yang dibeli atau diperoleh atas Persoalan hukum yang krusial adalah
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja bagaimana caranya prinsip-prinsip hukum15
Negara (APBN) atau berasal dari perolehan secara filosofis, yuridis dan sosiologis sebagai
lainnya yang sah. Apakah HPL aset atau tidak ? asas hukum yang obyektif diterjemahkan da-
karena HPL bukanlah diperoleh dari dana lam norma hukum dalam wujud Undang-
APBN. Apakah HPL dapat dikategorikan pada Undang atau setidak-tidaknya Peraturan Pe-
“perolehan lainnya”. Lebih tegas lagi aturan merintah yang mengatur aspek administrasi
PP Nomor 6 Tahun 2006 menegaskan bahwa sebagai asas obyektif yang harus dipedomani
pihak ketiga yang memperoleh hak atas tanah dalam mengatur dan mengurus HPL. Hak dan
di atas HPL tidak diperkenankan menjadikan kewajiban pemegang HPL, pihak ketiga (mitra
objek bangun, kelola, sewa, serah (Build, kerja pemegang HPL) maupun hak pakai ruang
Operate, and Transfer-BOT). Padahal di yang biasanya terjadi pada pemakai kios-kios
sebagian Daerah telah mengatur melalui Perda HGB di atas HPL.
tentang kerjasama dengan pihak ketiga, Pemegang HPL diharapkan “tidak men-
seperti Kota Bandung melalui Perda Nomor 3 jadi tuan tanah”. Kasus yang terjadi, peme-
Tahun 2004. gang HPl, mengalihkan kewajibannya kepada
Pertanyaan yang muncul adalah mampu- pihak ketiga, seperti pembuatan sertifikat
kah pemerintah mengelola sendiri seluruh HPL, pengosongan penghuni liar dibebankan
aset tanah yang dimilikinya? Dan bagaimana kepada pihak ke III (ketiga) dalam perjanjian
dengan HPL yang selama ini telah dikerja- kerja sama. Dibutuhkan tanggung jawab no-
samakan dengan pihak ketiga melalui per- taris dalam meletakkan hak dan kewajiban
janjian yang mengikat?. Perundang-undangan pemegang HPL dan pihak ketiga sesuai dengan
di Indonesia tidak memberikan solusi yang prinsip-prinsip perjanjian yang seimbang dan
cukup untuk mengatur masa transisi ini?. beritikad baik. Secara yuridis pihak ketiga
HPL tidak dapat dilihat dari “kaca mata hanyalah pihak yang menumpang tanah. Se-
kuda”, tetapi diperlukan pandangan yang kom- perti halnya hak atas tanah yang bersifat se-
prehensif dan harmonis, karena HPL terkait kunder yaitu hak atas tanah yang bersifat
dengan persoalan pertanahan, khususnya pe- sementara, karena dinikmati dalam waktu
ngelolaan aset tanah pemerintah, tidak dapat terbatas. Kedudukan antara pemegang HPL
dipungkiri diperlukan kerja sama dari pihak
14
Abdul Latief, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijak-
ketiga sebagai mitra kerja sama, karena tidak
sanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, Yog-
cukup tersedia dana untuk melakukan kegiatan yakarta: UII Press, hlm. xi.
15
Prinsip dapat dianalogikan dengan pemahaman tentang
operasional pembangunan maupun pemeliha-
asas hukum. Asas hukum dibedakan asas hukum yang
raannya. Pada sisi lain pihak ketiga tersebut obyektif dan asas hukum yang subyektif. Asas hukum
yang obyektif adalah prinsip yang menjadi dasar bagi
memerlukan bantuan dana atau jasa perbank-
pembentukan hukum. Asas hukum obyektif dibedakan
an untuk membiayai kegiatan usahanya. asas hukum yang bersifat moral dan asas hukum yang
bersifat rasional. Sedangkan asas hukum subyektif ada-
Indonesia sebagai penganut negara hu-
lah prinsip yang menyatakan kedudukan subyek da-lam
kum material (negara kesejahteraan), dimana hubungannya dengan hukum. Asas hukum subyektif ada
yang bersifat moral dan bersifat rasional, yaitu hak-hak
negara ikut campur dalam berbagai bidang yang ada pada manusia dan menjadi titik tolak pem-
termasuk tanah. Suatu negara kesejahteraan bentukan hukum. Hujbers, sebagaimana dikutip Ida Nur-
linda,2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria (Pres-
menuntut adanya kebebasan yang diberikan pektif Hukum), Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 1.
354 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 10 No. 3 September 2010

dengan pihak ketiga harus taat hukum dan Program pemerintah yang mendelega-
taat asas. sikan HPL pada golongan ekonomi lemah
adalah program transmigrasi (setiap peserta
Eksistensi HPL transmigrasi mendapat tanah sekitar 2 (dua)
Keberadaan HPl baik secara vertikal hektare yang terdiri lahan usaha dan pe-
maupun horizontal perlu diharmonisasikan. mukiman. Tanah HPL Departemen Transmi-
Secara vertikal dan rorizontal perundang-un- grasi dapat dialihkan menjadi tanah hak milik
dangan yang lebih rendah tidak boleh ber- bagi peserta transmigrai. Program pemerintah
tentangan dengan yang lebih tinggi. Demikian di bidang transmigrasi, juga dimaksudkan
pula antara sesama undang-undang lainnya pelaksanaan dari landreform17. Untuk bidang
yang sederajat. Bukankah Secara Filosofi Perumahan peralihan hak milik melalui Hak
UUPA bercita-cita bahwa tanah untuk sebesar- Guna Bangunan(HGB) dengan seizin pemegang
besarnya untuk kemakmuran rakyat?. Oleh HPL, yang biasanya terjadi dalam bidang
karena itu secara normatif hukum tidak boleh property. Seperti alih rumah perumnas.
menutup peluang kepada siapapun yang ingin Peralihan HPL menjadi hak milik, bukan
berpartisipasi dalam pembangunan. Jujur, lah tanpa persoalan, karena program trans-
harus diakui bahwa pemerintah “belum pro- migrasi di Indonesia merupakan program
fesional” memanfaatkan aset tanahnya yang pemindahan penduduk terbesar di dunia yang
demikian banyak dan demikian luas. Namun dikelola pemerintah.18 Persoalan yang terjadi
kunci dari aspek filosofis dan yuridis adalah diantaranya kecemburuan penduduk lokal de-
harus ada asas keseimbangan atau keadilan ngan pendatang (peserta transmigrasi). De-
dalam membagi tanah HPl, sudah seper- ngan demikian asas hukum harus dipertim-
berapakah kebijakan pemerintah “care” bangkan dalam peralihan HPL menjadi hak
terhadap “ekonomi lemah”. Bukankah HPL milik adalah Pertama, Asas kearifan lokal;
baru dinikmati golongan pemodal ?. Kedua, Asas Adat istiadat setempat
HPL adalah “ujung tombak” hak me- Asas hukum yang dimaksud adalah lan-
nguasai dari negara. Artinya apabila pemegang dasan atau latar belakang dari lahirnya per-
HPl dapat mengsinergikan HPL untuk golongan aturan perundang-undangan, atau merupakan
“ekonomi lemah” yang dalam UUPA diistilah- dasar-dasar pemikiran yang umum dan abs-
kan dengan “masyarakat hukum adat” dan go- trak, serta di dalamnya terkandung nilai-nilai
longan “ekonomi kuat”. Cita-Cita Hak me- etis, sehingga peraturan yang lahir nantinya
nguasai dari negara terwujud, tapi sebaliknya mengandung nilai-nilai etis pula.19 Formula
apabila HPL hanya untuk kelompok pemodal asas, akan menentukan norma hukum, dari
yang mengeksploitasi tanah untuk golongan abstrak menjadi konkrit. Norma yang tidak
tertentu, maka cita-cita hak menguasai dari didasari asas hukum akan menjadi “kering”
negara “gagal”. Dengan demikian asas kejelas- dan “tidak berwibawa”, akibatnya norma
an tujuan; kelembagaan atau organ pemben- menjadi “rapuh” dan tak dipatuhi masyarakat.
tuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan
materi muatan; dapat dilaksanakan; kedaya- dan kepastian hukum serta keseimbangan, keserasian
dana keselarasan.
gunaan dan kehasilgunaan; kejelasan tujuan; 17
Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun
dan keterbukaan.16 Harus tercermin dalam 1972 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak
Atas Tanah. Lihat juga Pasal 23,24 UU Nomor 29 Tahun
perundang-undangan yang mengatur HPL .
2009 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1997
Tentang Ketransmigrasian.
18
Siswono Yudo Husodo, 2003, Transmigrasi (Kebutuhan
16
Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen Dengan
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahkan Persebaran Yang Timpang}. Penerbit PT Tema Baru.
menurut Pasal 6 pada materi muatan Peraturan Jakarta, hlm 3. Banding Mirwanto Manuwiyoto,2008,
perundang-undangan mengandung asas : Pengayoman; Mengenal dan memahami Transmigrasi. Jakarta:Pustaka
kemanusiaan, kebangsaan; kekeluargaan; kenusantara- Sinar Harapan, hlm. Xiii.
19
an dan bhinneka tunggal ika; keadilan dan kesamaan J.B. Dalijo, 1992, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT.
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; keteriban Prenhalindo, hlm. 90.
Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas Pembangunan Indonesia 355

Sebutan masyarakat hukum adat da- nyak menimbulkan persoalan baik bagi peme-
lam literatur adalah kelompok masyarakat gang HPL maupun bagi pihak ketiga. Bidang
yang memiliki asal usul leluhur (secara turun pembangunan yang memanfaatkan peluang ini
menurun) di wilayah geografis tertentu, serta diantaranya Perumnas; Industri; Pariwisata,
memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, po- dll. Menurut Peraturan Menteri Agraria Nomor
litik, budaya, sosial dan wilayah sendiri20. Pe- 9 Tahun 1965, memberi wewenang kepada pe-
ngakuan hak-hak masyarakat adat secara uni- megang HPL untuk menerima uang pemasukan
versal oleh PBB dimuat dalam Resolusi Sidang dan/atau uang wajib tahunan yang ditetapkan
Umum PBB. Pasal 5, menyatakan: Masyarakat sesuai dengan perjanjian, banyak kasus yang
Adat berhak untuk mempertahankan dan terjadi antara pemegang HPL dengan pihak
memperkukuh lembaga-lembaga politik, hu- ketiga sering terjadi perselisihan berkaitan
kum, ekonomi, sosial dan budaya mereka un- dengan uang pemasukan ini. Untuk itu ke-
tuk mengambil bagian sepenuhnya, kalau me- hadiran peraturan perundang-undang menjadi
reka juga memilih, dalam kehidupan politik, demikian penting untuk menentukan pro-
ekonomi, sosial dan budaya dari negara.21 sentasi minimal dan maksimal penentuan uang
Resolusi ini menggambarkan bahwa dalam pemasukan. Apakah standar-standar yang da-
mempertahankan kearifan lokal masyarakat pat dijadikan patokan penentuan uang pe-
adat perlu diberi ruang yang cukup oleh suatu masukan (umpamanya Nilai Jual Obyek Pajak-
kebijakan negara. NJOP). Di samping itu pihak ketiga juga di
Pengakuan masyarakat adat dalam pro- tuntut untuk membayar Bea Perolehan Hak
gram-program pemerintah sering kali justru Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai-
diabaikan, karena dinilai menghambat pro- mana diatur dalam UU nomor 21 Tahun
gram pemerintah. Padahal hukum adat adalah 1997.HPL memberi kontribusi positif terhadap
sumber hukum materiil yang dapat digunakan keuangan negara melalui pajak.
dalam dan bagi pembangunan nasional. Bukan-
kah Mazhab sejarah telah memberi pandangan HPL dan Realitas Pembangunan di Indonesia
bahwa hukum adat sebagai pencerminan dari Fungsi hukum dalam proses pembangun-
nilai-nilai budaya asli penduduk pribumi. an adalah sebagai sarana pembangunan.
Bahkan dalam filsafat hukum aliran “socio- Hukum merupakan sarana yang membuka jalan
logical jurisprudence” mangatakan bahwa dan menyalurkan kehendak-kehendak dan
hukum positif yang baik dan efektif adalah kebutuhan masyarakat ke arah yang dikehen-
hukum positif yang sesuai dengan living law. daki23. Dalam Prespektif masa depan, dunia
Demikian urgennya peran hukum adat dalam akan menjadi sebuah perkampungan besar,
pembangunan Indonesia, sehingga Sunaryati sementara batas-batas negara menjadi sangat
mengistilahkan dengan sebutan asas Bhineka kabur. Sementara itu ekonomi global meng-
Tunggal Ika. 22 ikuti logikanya sendiri24. Untuk itu peran ne-
Peralihan HPL menjadi Hak Guna Ba- gara dalam memprotek warga negaranya men-
ngunan adalah bidang tanah yang paling ba- jadi unsur penting, disamping mengakomodasi
perubahan-perubahan yang terjadi.
20 Praktik pemanfaatan HPl dalam pem-
Bambang Daru Nugroho, 2008, Pengelolaan Hak Ulayat
Kehutanan Yang Berkeadilan Dalam Kaitannya Pem- bangunan di Indonesia, dapat dikategorikan
berian Izin HPH Dihubungkan Dengan Hak Menguasai
pada 3 (tiga) bagian besar.yaitu pemanfaatan
Negara Atas Sumber Daya Alam (Disertasi), Bandung:
Unpad, hlm. 199.
21
Sem Karoba (Penerjemah), 2007, Hak Asasi Masrakat
23
Adat (United nations Declaration The Rights Of Indi- Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum
genous Peoples). Sidang Umum Perserikatan Bangsa- Dalam Rangka Pembangunan Nasional (Lembaga Pene-
Bangsa Sesi ke-61 New York, Yogyakarta : Galang Press, litian Hukum dan Kriminologi, FH Unpad, Bandung:
hlm. 17. Bina-cipta.
22 24
Sunaryati Hartono, 2006, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum. Studi
Asas Hukum Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Ban- Perkem-bangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-
dung: Citra Aditya Bakti, hlm. 23 – 35. 1990, Surakarta: UMS Press, hlm. 9.
356 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 10 No. 3 September 2010

HPL untuk Golongan ekonomi menengah ke Kedelapan, Pemerintahan yang antisipatif,


bawah, Pemanfaatan HPL untuk Golongan yaitu mengutamakan pencegahan, dibanding-
ekonomi menengah ke bawah, Pemanfaatan kan pengobatan/perbaikan; Kesembilan, Pe-
Untuk Fasilitas Umum. merintahan yang didesentralisasi Kesepuluh,
Tanah adalah aset dan modal pem- pemerintahan yang beroriantasi pasar, dimana
bangunan sekaligus non ekonomi. Keduanya perubahan didorong melalui pasar.26
merupakan satu kesatuan, dimana di atasnya Ide Osborne di atas, menggambarkan
terdapat manusia sebagai penghuninya dan bahwa pemencaran kekuasaan kepada satuan
kandungan sumber kekayaan alam di dalam- yang lebih kecil akan mengefektifkan suatu
nya. Indonesia merupakan negara kepulauan pemerintahan untuk mengeksplorasi potensi
yang terdiri dari 17.508 dan bahkan dijuluki tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam
sebagai Benua Maritim. Seluruh wilayah melakukan pelayanan publik kepada masya-
yurisdiksinya 7,8 juta Km2, termasuk luas rakat. A pabila hal ini dihubungakan dengan
daratan 2.027.087 Km2.25 HPL, maka pendelegasian hak menguasai ne-
Berdasarkan kondisi di atas, maka se- gara kepada badan pemerintah akan men-
cara geografi untuk memajukan pulau-pulau di datangkan manfaat bagi pemegang HPL berupa
atas, perlu keikutsertaan swasta dalam upaya profesionalisme dalam menjalin kemitraan
mempercepat pembangunan. Melibatkan ba- dengan pihak ketiga, yang dikenal dengan
dan usaha swasta dalam suatu program pem- sebutan “ Prinsip enterprenership ”
bangunan mengingatkan pada pemikiran David Pulau Batam adalah salah satu contoh
Osborne, yang menggambarkan semangat HPl “sukses”. sejak pemberian Hak Pengelo-
atau jiwa wirausaha (entrepreneurial spirit) laan atas seluruh wilayah di Pulau Batam, di
ke dalam birokrasi, menawarkan 10 (sepuluh) tetapkan berdasarkan Keputusan Presiden
prinsip dalam menata ulang birokrasi, yaitu Nomor 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri
Pertama, pemerintahan yang katalis, yaitu Pulau Batam. dan Keputusan Menteri Dalam
mengutamakan pengarahan, daripada melak- Negeri Nomor 43 Tahun 1977 Tentang Penge-
sanakan sendiri (steering-rowing); Kedua, lolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Indus-
Pemerintahan merupakan milik masyarakat, tri Pulau Batam. Melalui Keputusan Mendagri
yaitu lebih mengutamakan pemberian wewe- tersebut, hak pengelolaan pulau Batam di-
nang dibandingkan sekedar melayani (em- serahkan kepada Otorita Pengembangan Dae-
powering service); Ketiga, Pemerintahan yang rah Industri Pulau Batam (selanjutnya disebut
kompetitif, yaitu menyuntikkan unsur per- Otorita Batam). Namun dengan hadirnya
saingan di dalam memberikan pelayanan ke- pemerintah Kotamadya Batam , dikhawatirkan
pada masyarakat; Keempat, Pemerintahan banyak persoalan baru di bidang pertanahan
yanag digerakkan oleh misi; Kelima, Peme- yang muncul (Di Batam ada tiga instansi yang
rintahan yang berorientasi kepada hasil dan mengurus tanah, Kantor Pertanahan, Dinas
mengutamakan penganggaran untuk mem- Pertanahan, otorita Batam). Inilah bukti tarik
biayai hasil dan bukan masukan (input); Ke- menarik kewenangan pemerintah di urusan
enam, Pemerintahan yang beroriantasi pelang- pertanahan antara pemerintah (pusat) dan
gan, bukan sekedar memenuhi persyaratan
birokrasi; Ketujuh, Adanya pemerintahan yang
berjiwa wirausa, yaitu lebih berorientasi pada
pendapatan, bukan pengeluaran (belanja); 26
David Osborne dan Ted Gaebler (Terjemahan Abdul
Rosyid,1992, Mewirausahan Birokrasi, Pustaka Binaman
Pressindo, Jakarta , hlm. 1-343. Lihat juga Surat Kabar
25
Agum Gumelar, Kebijakan Agraria/pertanahan dari Harian Kompas, Selasa 16 Desember 1997, Tulisan Su-
Perspektif Pertanahan keamanan Dalam Konteks negara trisno Iwantoro. Ide Osborne : Reinventing Government.
Kesatuan Republik Indonesia, dalam Brahmana Adhie Bandingkan juga Wihana Kirana Jaya.1997, Visi Institusi
dan Hasan Basri Nata Menggala (Penyunting), 2002, Birokrasi Dalam Memandang Kerjasama dengan Pihak
Reformasi Pertanahan, Bandung: Mandar Maju, hlm. 13- Ketiga (Makalah), Pada Rakor BUMD di Depdagri Jakarta
14. 26-28 Februari 1997.
Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas Pembangunan Indonesia 357

daerah masih menjadi persoalan besar di norma hukumnya bahkan telah tertuangkan
republik ini.27 dalam Pasal 15 UUPA: “Memelihara tanah, ter-
Pulau Batam adalah salah satu pulau ke- masuk menambah kesuburannya serta men-
banggaan di Indonesia karena menjadi kawas- cegah kerusakannya, adalah kewajiban tiap-
an kompetitif di Asia Pasifik28 atau disebut tiap orang, badan hukum atau instansi yang
juga “Bayi ajaib Indonesia”, dan mampu men- mempunyai hubungan hukum dengan tanah
jadi “mesin pencetak uang” bagi Indonesia. itu”.
HPL Pulau Batam dapat menjadi inspirasi Asas kearifan lokal termasuk hal yang
bahwa daerah-daerah kepulauan yang pada cukup penting dalam pengembangan pelabuh-
umumnya berbatasan dengan negara lain an. Mari kita belajar dari Pelabuhan Kaohsiung
dapat menjadi pertumbuhan ekonomi baru di Taiwan, dimana Kuil keramat, bangunan tua
bagi Indonesia. yang dihuni nelayan berikut tempat ibadah
Pelabuhan termasuk salah satu tanah peninggalan nenek moyang berbaur dengan
HPL. Bicara HPL Pelabuhan, mengingatkan kita berbagai aktivitas pelabuhan truk pengang-
pada Kasus Mbah Priok yang cukup meng- kutan peti kemas, kapal cargo dan super tan-
hebohkan, (kerusuhan berdarah di kelurahan ker menjadi daya tarik pelabuhan Kaohsiung.29
Koja Jakarta Utara, pada Kamis 15 April 2010. Sebagaimana diakui Imam Koeswahyono30 bah-
Antara Satpol PP yang menjalankan tugas dari wa pengadaan tanah untuk kepentingan pem-
Walikota berdasarkan instruksi dari Wakil bangunan megabaikan variabel non hukum
Gubernur DKI Jakarta). Persengketaan antara yang justru sangat besar relevansi dan pe-
PT Pelindo II (BUMN) Pengelola Pelabuhan Tan- ngaruhnya terhadap variabel hukum. HPl Pe-
jung Priok dengan masyarakat lokal. Secara labuhan memegang peranan penting dalam
yuridis PT Pelindo II, merasa pihak yang paling mendorong tumbuhnya kota-kota pelabuhan,
berwenang memanfaatkan tanah HPL seluas seperti di Singapur, Hongkong, Tokyo, dll. Ko-
145 hektar. Dengan alas hak atas tanah berupa ta pelabuhan merupakan pusat pertumbuhan
sertifikat Hak Pengelolaan No. 1/Koja Utara dengan penggerak utama jasa-jasa yang
yang terbit tahun 1987. Di sisi lain ahli waris berkaitan dengan perhubungan31. Indonesia
Mbah Priok adalah pihak yang mempunyai hu- sebagai negara maritim dapat mengembang-
bungan bathin dengan tanah makam yang kan kota-kota pantai berbasis pelabuhan se-
dipersengketakan seluas 5,4 hektar. bagai lokomotif ekonomi.
Kasus HPL Tanjung Priok, mengindikasi-
kan bahwa prinsip-prinsip HPL Pelabuhan perlu
diperhitungkan, diantaranyan adalah prinsip
lingkungan hidup. Prinsip lingkungan hidup
dianut oleh undang-undang agraria nasional. Penutup
Misalnya Asas pelestarian Fungsi Lingkungan Simpulan
hidup, sayangnya asas ini tidak diuraikan da- Eksistensi Hak Pengelolaan sebagai hak
lam penjelasan Umum (II) UUPA, akan tetapi publik merupakan bagian hak menguasaan
dari negara. HPL adalah hak administratif, di
27 mana pemegang HPl diberi kewenangan untuk
Elita Rahmi, 2009, Tarik Menarik Antara Desentralisasi
dan Sentralisasi Kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengatur dan mengurus tanah yang didele-
Urusan Pertanahan, Jurnal Hukum Vol 16 . UII
gasikan negara. Antara pemegang HPL dan
Yogyakarta ISSN 0854-8498 , hlm 137.
28
Apul D. Maharaja (Penyunting), 2003, Membanguan
29
Indonesia Studi Kasus Batam,Jakarta : Pustaka Sinar Kompas,16 April 2010, hlm. 25.
30
Harapan, hlm 35. Lihat juga Abdul Karim Lesar, 2003 , Imam Koeswahyono, 2008, Melacak Dasar Konstitusional
FTZ Batam Demi Kemakmuran Indonesia, Jakarta : UI Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan
Press,Jakarta, hlm. 12; Aksara Karunia, Batam Bagi Umum, Jurnal Konstitusi, PPK-FH Univ. Brawijaya
Komitmen Setengah Hati, Jakarta: Gramedia Pustaka Malang, hlm. 33.
31
Utama, hlm 63. Bandingkan. Development Progress of Laode M. Kamaluddin, 2002, Pembangunan Ekpnomi
Batam yang diterbitkan Batam Industrial Development Maritim di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka
Authority. Utama, hlm. 57.
358 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 10 No. 3 September 2010

pihak ketiga selaku mitra kerja, memiliki hak tangga untuk mencuri pulau yang ada. Belajar
dan kewajiban masing-masing. Perjanjian se- dari kasus Sipadan Lagitan.
bagai dasar peralihan HPL menuntut tanggung
jawab notaris dalam memberikan kedudukan DAFTAR PUSTAKA
yang proporsional. Ketidaksesuaian antara Adhie, Brahmana dan Hasan Basri Nata
norma hukum Pasal 2 ayat (4) dengan Pen- Menggala (ed). 2002. Reformasi Perta-
jelasan UUPA. Mengindikasikan ada “politisasi” nahan. Bandung: Mandar Maju;
terhadap masyarakat hukum adat dalam Chomzah, Ali Achmad. 2003. Hukum Agraria
sistem hukum pertanahan di Indonesia. (Pertanahan Indonesia) Jilid 1. Jakarta:
Pembangunan hukum adalah pembaha- Prestasi Pustakaraya;
ruan hukum. Dalam hukum pertanahan HPL Dalijo, JB. 1992. Pengantar Ilmu Hukum.
harus diberi tempat sebagai hak administrasi Jakarta: PT. Prenhalindo;
dalam rangka mempercepat pembangunan Dimyati, Khudzaifah. 2005. Teorisasi Hukum.
Indonesia, terutama daerah-daerah perbatas- Studi Perkembangan Pemikiran Hukum
Di Indonesia 1945-1990. Surakarta: UMS
an, kepulauan, dan lain-lain. HPL telah banyak Press;
memberikan kontribusi positif tehadap pem-
Hartono, Sunaryati. 2006. Bhinneka Tunggal
bangunan Indonesia. Contoh bidang Transmi- Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pemba-
grasi. Perumnas, Pelabuhan. Perkeretaapian, ngunan Hukum Nasional. Bandung: Citra
Pariwisata. Sebagai negara hukum material Aditya Bakti;
(negara kesejahteraan), pemerintah bersama -------. 2007. Hukum Agraria Indonesia Sejarah
badan usaha dan masyarakat, menggerakkan Pembentukan Undang-Undang Pokok A-
pemerintahan melalui prinsip enterprenership. graria, Isi dan pelaksanaannya. Jakarta:
Djambatan;
HPL adalah ujung tombak dari hak
menguasai dari negara. Agar Hak menguasai Husodo, Siswono Yudo. 2003. Transmigrasi
(Kebutuhan Negara Kepulauan Berpen-
dari negara tidak terus menerus digugat duduk Heterogen Dengan Persebaran
sebagai hak yang terlalu luas, maka HPL harus Yang Timpang). Jakarta: Penerbit PT
lebih dominan meningkatkan taraf hidup Tema Baru;
ekonomi lemah yang akses politik ,sosial dan Ida Nurlinda. 2009. Prinsip-Prinsip Pembaha-
ekonominya sangat rendah. ruan Agraria (Prespektif Hukum). Ja-
karta: Rajawali Perss;
Saran Jaya, Wihana Kirana. 1997. Visi Institusi Biro-
Perintah Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 5 krasi Dalam Memandang Kerjasama de-
ngan Pihak Ketiga. Makalah pada Ra-kor
Tahun 1960 Tentang UUPA, bahwa pendele-
BUMD di Depdagri Jakarta 26-28 Feb-
gasian hak menguasai negara kepada badan ruari 1997;
pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerin-
Kamaluddin, Laode M. 2002. Pembangunan
tah, segera ditindak lanjuti oleh pemerintah. Ekonomi Maritim di Indonesia. Jakarta:
Hak dan kewajiban antara pemegang HPl dan Gramedia Pustaka Utama;
pihak ketiga maupun Hak pakai ruang menjadi Karoba, Sem. 2007. Hak Asasi Masrakat Adat
materi hukum yang sangat diperlukan dalam (United nations Declaration The Rights
praktek pengalihan HPL. Of Indigenous Peoples). Sidang Umum
Pembangunan Indonesia, menuntut ke- Perserikatan Bangsa-Bangsa Sesi ke-61
New York. Yogyakarta: Galang Press;
beranian pemerintah membangun daerah stra-
Kusumaatmadja, Mochtar. 1986. Pembinaan
tegis seperti, daerah perbatasan, kepulauan
Hukum Dalam Rangka Pembangunan
(17.508) melalui pemberian HPL pada tanah- Nasional. Bandung: Bina-cipta;
tanah negara tersebut sesuai dengan potensi
Latief, Abdul. 2005. Hukum dan Peraturan
yang dimiliki masing-masing wilayah. Mem- Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pe-
bangun berarti “memperkecil” negara te- merintahan Daerah. Yogyakarta: UII
Press;
Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas Pembangunan Indonesia 359

Lesar, Abdul Karim. 2003. FTZ Batam Demi Suhariningsih. 2007. Aspek Yuridis Tanah
Kemakmuran Indonesia. Jakarta: UI Terlantar Dan Penyelesaiannya (Kajian
Press; Teerhadap Tanah HGU (Perekebunan) Di
Lubis, Mhd Yamin dan Rahim Lubis. 2008. Satuan Wilayah Pengembangan (SWP)
Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung: Jawa Timur. Disertasi. Malang: Univer-
Mandar Maju; sitas Brawijaya;
Maharaja, Apul D. (ed). 2003. Membanguan In- Sumardjono, Maria SW. 2008. Tanah Dalam
donesia Studi Kasus Batam. Jakarta: Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan
Pustaka Sinar Harapan; Budaya. Jakarta: Kompas;
Manuwiyoto, Mirwanto. 2008. Mengenal dan Soemardijono. 2006. Analisis Mengenai Hak
memahami Transmigrasi. Jakarta: Pus- Pengelolaan (HPL). Jakarta: Penerbit
taka Sinar Harapan; Lembaga Pengkajian Pertanahan (LPP);
Nugroho, Bambang Daru. 2008. Pengelolaan Supriadi. 2006. Etika dan Tanggung Jawab Pro-
Hak Ulayat Kehutanan Yang Berkeadilan fesi Hukum Di Indonesia. Jakarta: Sinar
Dalam Kaitannya Pemberian Izin HPH Grafika;
Dihubungkan Dengan Hak Menguasai Ne- -------.2010. Aspek Hukum Tanah Aset Daerah
gara Atas Sumber Daya Alam. Disertasi. (Menemukan Keadilan, Kemanfaatan
Bandung: Unpad; dan Kepastian Atas Eksistensi Ta-nah
Osborne, David dan Ted Gaebler (Terjemahan Aset Daerah). Jakarta: Prestasi Pus-
Abdul Rosyid). 1992. Mewirausahan Bi- taka;
rokrasi, Jakarta: Pustaka Binaman Press- Sutedi, Adrian. 2006. Politik dan Kebijak-
indo; sanaan Hukum Pertanahan Serta Berba-
Parlindungan, AP. 1994. Hak Pengelolaan Me- gai Permasalahannya. Jakarta: BP.Cipta
nurut Sistem UUPA. Bandung: Mandar Jaya;
Maju; Sutrisno Iwantoro. “Ide Osborne : Reinventing
Rahmi, Elita. 2009. “Tarik Menarik Antara Government”. Kompas. Selasa 16 De-
Desentralisasi dan Sentralisasi Kewe- sember 1997.
nangan Pemerintah Daerah dalam Urus-
an Pertanahan”. Jurnal Hukum. Vol 16.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Pancasila;
360 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 10 No. 3 September 2010

Anda mungkin juga menyukai