PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Permasalahan terhadap penguasaan tanah oleh negara bukanlah sesuatu yang
menguasai dari negara setidaknya telah menjadi wac ana perbincangan setidaknya
hampir tiga dasa warsa terakhir jika dihitung sejak diundangkanya Undang-undang
No.5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria. Persisnya muncul
sekitar tahun 1979 ketika masalah atau kasus pertanahan marak terjadi di berbagai
wilayah di Indonesia. Walaupun akar persoalan pertanahan tidak hanya terletak pada
hak menguasai negara semata, namun menurut beberapa hasil kajian lembaga
terjadi bias antara ide (idea) dengan praktik seperti dinyatakan: "cita-cita ideal yang
yang terkandung di dalam konsepsi HMN adalah menempatkan negara sebagai sentral
yang mengatur mengatur kekayaan negeri untuk kemakmuran rakyat dengan prasyarat
negara yang kuat dengan bentuk negara yang netral be bas dari kepentingan yang lain
ian lembaga swadaya masyarakat dari bebrbagai kasus di tanah air, semakin
HMN dengan praktik, sehingga mendorong gagasan untuk dilakukannya revisi atas
Undang-undang No.5 Tahun 1960 yang substansinya antara lain memuat HMN yang
dimaksud. Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara (disingkat menjadi:HMN)
termuat dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
besar kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia,
sehingga berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah. Oleh karena
itu, di kalangan ahli hukum timbul gagasan untuk membatasi wewenang negara yang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Sampai saat ini pengertian konsep hak menguasai negara tidak mempunyai
pengertian yang jelas dan tegas sehingga mepunyai penafsiran sesuai dengan
ini sebagimana dinyatakan oleh Ida Nurlinda bahwa: Pengertian ”dikuasai” negara
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tidak dijelaskan
lebih rinci dalam penjelasan, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal
demi pasal. Hal ini memungkinkan hak menguasai negara itu ditafsirkan atas
menafsirkan.
Hal senada dikemukakan pula oleh Abrar Saleng bahwa: HPN sebagai konsep
sampai saat ini belum mempunyai konsep serta makna yang jelas dan tegas yang
dapat diterima oleh semua pihak dalam hubungannya dengan pengelolaan dan
Dengan berpedoman pada penjelasan hak menguasai negara atas tanah yang
ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA negara sebagai organisasi kekuasaan
1
Abrar Saleng, 2007, Hukum Pertambangan, UII Press, Jakarta, hal. 2.
a. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persedian dan
pemeliharaan;
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari)
angkasa.
Maka secara filosofi dari makna hak menguasai negara atas sumber daya
pemanfaatan hak-hak atas tanah termasuk yang dikuasai oleh masyarakat. Artinya
kedudukan negara dalam mengurus dan mengatur hak-hak atas tanah masyarakat
Belanda. Sehingga masyarakat dalam konsep ini tidak ada yang dapat mempunyai
hak milik, melainkan hanya hak pakai saja. Dengan demikian akan bertentangan
hukum tata negara feodal, yang sudah lama ditinggalkan, baik dalam praktik
maupun dalam teori hukum.2 Sedangkan Menurut Aminuddin Ilmar hak menguasai
2
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
Dan pelaksanaannya, Jembatan, Jakarta, hal. 268.
negara adalah suatu kewenangan atau wewenang formal yang ada pada negara dan
memberikan hak kepada negara untuk bertindak baik secara aktif maupun pasif
dalam bidang pemerintahan negara, dengan kata lain wewenang negara tidak hanya
berkaitan dengan wewenang pemerintahan semata, akan tetapi meliputi pula semua
wewenang ini sah jika dijalankan menurut hukum. Secara istimewa, wewenang
dimiliki oleh negara. Sehingga, negara berhak menuntut kepatuhan. Oleh karena
itu, wewenang atau kekuasaan negara berada dalam lingkup hukum public.
Kekuasaan berkaitan juga dengan lingkup hukum perdata, yaitu: kecakapan dan
kategori benda atau tanah yang dipergunakan bagi umum (res publicae). Dengan
demikian, jalan umum dan sejenisnya adalah milik negara. Beberapa alasan
dikemukakan:
masyarakat umum);
3
Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2012, Hlm.24
4
Menurut N. E. Algra, kata “kompeten” diartikan sama dengan bekwaam dan bekvougd, selengkapnya lihat N.
E. Algra, Inleiding tot het Nedherlands Privaatrecht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, achtiende druk, 1985, hlm.
79 dan 121.
2. Kekuasaan hukum yang dijalankan negara terhadap tanah khususnya yang
dipergunakan oleh umum, mempunyai isi yang sama dengan kekuasaan yang
terbatas. Isi kekuasaan ini memiliki karakter yang sama dengan kekuasaan
menjadi
milik negara.
memikul hak dan kewajiban. Negara dengan demikian dipandang sebagai pribadi
kategori benda atau tanah yang dipergunakan bagi umum (res publicae).
Dengan demikian, jalan umum dan sejenisnya adalah milik negara. Beberapa
alasan dikemukakan:
perdata.
Dalam literatur, tidak ada teori yang secara tegas menyatakan bahwa
bukanlah pemilik tanah atau hubungan antara tanah dengan negara bukan
atas hubungan milik. Menurut Von Jhering, negara tidak mempunyai milik
pandangan ini, maka dapat disimpulkan bahwa hak milik atas tanah adalah
tidak menerima kekuasaan untuk memiliki apa yang dimiliki oleh warga.
setiap orang yang ada dalam masyarakat itu. Dalam hal ini, diterima suatu
dalil bahwa milik seseorang tidak dapat dilepaskan secara paksa. Demikian
pula jika negara memiliki tanah, maka pemilikan tanah oleh negara itu
Teori yang berbeda diajukan oleh Karl Marx dan Friederich Engels. Teori
ini bertolak dari teori-teori ekonomi khususnya teori nilai buruh. Negara
pertentangan antar kelas. Cara yang dilakukan adalah tidak dikenal adanya
sebagai alat produksi dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat dalam bentuk
negara.
bersifat privat (domain) atas tanah. Tanah-tanah yang dimiliki secara privat
menjadi pemegang hak milik atas tanah-tanah yang tidak berada di bawah hak
privat menurut hukum Belanda. Dengan kata lain, tanah yang tidak ada alat
hukum adat yang memang tidak memiliki konsep bukti tertulis untuk
kepemilikan komunal atas tanah adat Sebagai akibatnya, seluruh tanah adat
jatuh menjadi hak milik negara Hindia Belanda sehingga pemerintah Hinda
mengatur penggunaan dan kepemilikan atas seluruh jenis tanah, tidak hanya
menolak konsep staatsdomein atau hak milik negara atas tanah. Dalam
Penjelasan Umum Bagian II (2) UUPA, dijelaskan bahwa pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 tidak memberikan hak pada negara untuk memiliki tanah, tetapi
tersebut, negara diberi wewenang atau mandat oleh bangsa Indonesia untuk
menguasai bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya.
hak negara untuk mengatur dan mengelola tanah, bukan hak untuk memiliki
tanah. Konsep UUPA ini dipengaruhi oleh konsep hukum adat yang tidak
mengakui hak milik individual yang absolut/mutlak atas tanah, dan hanya
mengakui hak komunal atas tanah. UUPA memang mengakui bahwa hukum
yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa di Indonesia adalah hukum adat
sebagai hukum asli rakyat Indonesia (pasal 5 dan Penjelasan Umum Bagian III
(1) UUPA). Dengan demikian, UUPA juga menerima konsep hak adat atas
tanah yang disebut sebagai hak ulayat. Hak ulayat menurut UUPA sama
masyarakat adat untuk mengatur dan mengolah tanah mereka seisinya. Walau
hati, melainkan dengan persyaratan, yaitu hukum adat dan hak ulayat tidak
Bagian II (3) UUPA). Pengakuan setengah hati ini pada akhirnya menjadi
Indonesia hingga kini. Hal ini juga menjadi pembahasan dalam artikel ini.
UUPA mengatur bahwa hak atas tanah memiliki fungsi sosial (pasal 6). Hal
ini menunjukkan sifat sosialisme dari Undang-undang ini. Oleh karena itu,
segala hak atas tanah dapat dicabut oleh negara untuk kepentingan umum,
bangsa dan negara dengan ganti rugi yang layak dan menurut undang-undang
tanah-tanah yang tidak memiliki sertifikat atau tidak memiliki alat-alat bukti
alas hak lainnya. Pemerintah menyebut tanah-tanah ini sebagai Tanah Negara
Bebas yang berarti dapat digunakan dengan bebas oleh negara, terutama untuk
negara untuk memiliki tanah di Indonesia. Hal ini bisa terjadi dengan mudah
tanah yang tidak dapat dibuktikan hak miliknya (hak milik privat). Di samping
itu, UU Pokok Kehutanan ini juga memasukkan hutan ulayat milik masyarakat
hukum adat ke dalam kategori Hutan Negara (pasal 2 dan Penjelasan Umum
menganggap hak milik komunal tidak sama kedudukan hukumnya dengan hak
milik privat yang dikenal dalam sistem hukum perdata Barat. Sehingga
termasuk hak milik, daripada hak komunal (beschikkingsrecht atau hak ulayat)
yang tidak dikenal dalam sistem hukum perdata Barat. Setelah kemerdekaan,
Peralihan UUD 1945, yang berbunyi “Segala badan negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
baik yang baru maupun yang bersifat amandemen, konsep pemerintah tentang
hak negara atas tanah masih serupa dengan konsep pemerintahan sebelum era
daerah (pemda) di Indonesia. Hal ini sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi
No. 22/1999 yang telah diganti dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dan UU No. 25/1999 yang telah diganti dengan UU No. 33/2004
mengambil sumber daya alam mereka, seperti mineral, tambang, dan minyak
kelapa sawit. Pada umumnya, pendapatan yang diperoleh dari sumber daya
daerah yang sedang berkuasa. Kebiasaan untuk tidak mengakui hak ulayat
masyarakat adat atas tanah mereka masih berlanjut di era Reformasi, baik itu
yang menggolongkan hutan adat sebagai hutan negara (pasal 1 butir 6 dan
pasal 5). Sementara itu, Undang-undang No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah
hak sebagai satu-satunya bukti kepemilikan hak atas tanah (pasal 40 – 43).
Tanpa alat bukti hak, tanah dan hutan menjadi tanah negara bebas atau hutan
negara bebas. Mengingat banyak penduduk di pulau-pulau di luar Jawa terdiri
dari masyarakat adat, maka tanah dan hutan mereka hanya dilindungi dengan
hak ulayat saja, bukan dengan sertifikat atau alat bukti lainnya. Oleh karena
itu, sebagian besar tanah dan hutan di luar Jawa jatuh menjadi tanah atau hutan
negara bebas. Berdasarkan hak menguasai negara atas tanah, maka baik
kuasa pertambangan mineral dan batu-bara, serta izin lokasi dan izin usaha
pemungutan hasil hutan. Sejak era otonomi daerah di tahun 1999, jumlah izin
bahwa di antara tahun 2009 dan 2012 saja, pemerintah telah mengeluarkan
pertambangan mineral dan batu-bara serta izin usaha perkebunan yang luar
biasa banyak dan kadang bertabrakan satu sama lain telah menciptakan konflik
konflik dan pelanggaran HAM yang meluas terjadi pada tanah dan hutan yang
perusahaan BUMN
Guna Bangunan dan Hak Pakai, kepada mereka . Dengan mengalihkan tanah-
daerah atau lembaga pemerintah yang memegang hak pengelolaan atas tanah
Akhir-akhir ini, terjadi lonjakan harga rumah dan bangunan yang tidak lagi
terjangkau oleh rakyat banyak sebagai akibat praktek spekulan atau investor
yang menaikkan harga rumah secara tidak wajar. Perumahan tidak lagi
tingginya Pada bulan Juni 2013, Special Rapporteur PBB, Raquel Ronik,
bagi rakyatnya (pasal 11). Dari uraian di sub-bab ini dapat disimpulkan bahwa
di era Reformasi, pemerintahan Reformasi masih menggunakan interpretasi
yang sama dengan pemerintahan sebelumnya tentang hak negara atas tanah.
sebagai pemilik atas tanah. Hal ini terbukti dari sejak era otonomi daerah
banyak pemerintah daerah yang secara masif mengambil tanah atau hutan dari
spekulan dan investor, bukan untuk kepentingan rakyat umum. Uraian di sub-
bab ini juga membuktikan bahwa tanah-tanah yang harusnya di bawah hak
negara yang bersifat publik telah berganti menjadi tanah di bawah hak privat
untuk kepentingan sektor privat dan bukan lagi untuk kepentingan umum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
konsep hak negara atas tanah di Indonesia. Konstitusi dan UUPA memberikan mandat
kepada negara untuk menguasai tanah, bukan untuk memiliki tanah. Akan tetapi
negara dari “pemegang hak menguasai” menjadi “pemilik” atas tanah, terutama tanah-
tanah yang tidak ada alat bukti haknya, termasuk tanah-tanah masyarakat adat.
B. Saran
tata-ruang, jalan, tanah bagi pembangunan/kepentingan umum, dan tanah atau hutan
Aminuddin Ilmar,2012, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Ronald Z. Titahelu, “Penetapan Asas-asas Hukum Umum dalam Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-besar
Kemakmuran Rakyat, 1993, Suatu Kajian Filsafati dan Teoritik tentang Pengaturan dan
SurabayA