Anda di halaman 1dari 12

EFEKTIFITAS PENCAPAIAN TANAH BAGI SEBESAR-

BESAR KEMAKMURAN RAKYAT MELALUI


PENINGKATAN KELEMBAGAAN PERTANAHAN
Oleh: Dr. Muchtar Wahid

FILOSOFI:

Secara filosofis, tanah sebagai wilayah tanah air merupakan

salah satu unsur kedaulatan dan perekat integritas Negara Kesatuan

RI.

UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menegaskan tujuan dan prinsip pengeloaan

Bumi dan Air serta Kekayaan Alam untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat.

Tanah sebagai Sumber Daya Alam Utama, sifatnya terbatas dan tidak

terbarukan, merupakan tempat kehidupan manusia dan mahluk lain

serta ruang keberadaan semua sumber daya alam. Dengan sifatnya

yang statis, tanah harus menampung semua kepentingan kehidupan

serta aktifitas pembangunan yang terus meningkat secara dinamis

mengikuti populasi dan perkembangan peradaban.

Dalam konteks itulah UU 5/1960 (UUPA) tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, sebagai lex superior atas semua undang-

undang sektoral sumber daya agraria lainnya, mendesak

1
disempurnakan agar mampu mengemban missinya menciptakan

penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

PENGELOLAAN PERTANAHAN & SUMBER DAYA ALAM

LAIN.

Sumber daya alam memiliki sifat dan potensi masing-masing,

namun karena letak dan keberadaannya dalam suatu space (tanah)

sehingga pengelolaan saling membatasi. Oleh karena itu UU sektoral

harus konsisten mengatur asas-asas dan prinsip pengaturan dan

pengelolaan secara sinkron, sinergis serta terkoordinasi dengan baik

agar mendorong pemanfaatan sumber daya secara optimal. Regulasi

parsial yang dikawal kuatnya ego-sektoral telah menimbulkan

berbagai masalah dan tumpang-tindih lingkup kewenangan, telah

berakibat timbulnya konflik dan semakin menurunnya kwalitas

lingkungan hidup. Keprihatinan terhadap kondisi itu, maka sangat

beralasan jika dasar-dasar koordinasi dan sinkronisasi pengelolaan

sumber daya agraria dapat diatur melalui amandemen Undang-

Undang Dasar. Sejalan dengan itu, beberapa hal perlu menjadi

perhatian:

2
1. UUPA sebagai Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang

dimaksudkan

sebagai lex superior terhadap semua UU Sumber Daya Agraria,

sejak awal telah dihianati. Regulasi sumber daya agraria dibangun

secara parsial, selain telah mengingkari asas dan prinsip dasar,

bahkan tidak menjadikan UUPA sebagai konsiderans. Politik

pertanahan yang terdapat dalam UUPA, pada hakikatnya

berorientasi pada semangat kebangsaan dan nasionalisme, sebagai

refleksi nilai-nilai luhur Pancasila berpihak pada rakyat,

mengedepankan fungsi sosial, menghargai asas persamaan hak dan

memuat pembatasan guna mencegah monopoli penguasaan serta

perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah. Namun hal itu

sering dianggap menjadi kendala dalam proses pembangunan yang

berorientasi pada investasi berskala besar.

2. UUPA sebagai politik dan kebijakan agraria/pertanahan belum

ditindak-

lanjuti dengan peraturan perundang-undangan yang mendasar

mengenai hubungan hukum maupun perbuatan hukum orang

3
perorang maupun badan hukum dalam penguasaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah. Sampai saat ini belum

ditetapkan UU Hak Milik Atas Tanah, Land Use Planning, Prinsip-

prinsip Penguasaan dan Penggunaan Tanah Pantai, Pulau-pulau

Kecil dan Wilayah Perbatasan.

3. Perombakan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah

mela-

lui gerakan Landreform yang dimulai sejak tahun enam puluhan,

tidak didukung political will yang kuat. Dalam perjalanan

Landreform mengalami kelesuan dan memasuki tahun delapan

puluhan ahirnya mengalami mati suri. Seiring kebijakan ekonomi

yang mengusung pertumbuhan tinggi guna mendorong pemerataan

(trickle down effect), menimbulkan penguasaan lahan skala besar

yang berimbas melemahnya akses pengembangan petani skala

kecil.

Menyusul gerakan Pembaruan Agraria dengan tema “tanah untuk

keadilan dan kesejahteraan rakyat” yang dicanangkan melalui

pidato kenegaraan Presiden tanggal 31 Januari 2007. Janji

redistribusi tanah seluas 9,15 juta hektar kepada petani hingga kini

masih menjadi penantian yang tidak jelas.

4
4. Dalam perjalanan 53 tahun UUPA sampai saat ini mengalami

perubahan

lingkungan strategis. Lingkungan global ikut mewarnai arah

kebijakan politik dan ekonomi Indonesia, sehingga sumberdaya

alam menjadi tumpuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan strategis dalam UUPA yang memuat asas-asas dan

ketentuan-ketentuan pokok, belum menjadi induk pengelolaan

sumber daya alam yang memakmurkan rakyat. Bahkan cenderung

ditafsirkan menurut kebutuhan dan disesuaikan dengan situasi dan

kondisi berkembang. Secara perlahan UUPA mengalami

‘pembonsaian’. Saat ini, terdapat lebih 12 peraturan perundang-

undangan yang merupakan bagian-bagian dalam mengatur dan

memanfaatkan sumberdaya alam secara parsial, seperti hutan,

tambang, migas, irigasi, kelautan, perkebunan. UU tersebut masing-

masing bersifat sektoral dan cenderung mengutamakan prinsip-

prinsip ekonomi serta kurang mempertimbangkan kepentingan

masyarakat luas dan aspek konservasi serta lingkungan hidup.

UUPA sebagai sumber kebijakan untuk pengelolaan sumber daya

5
agraria berkelanjutan tidak lagi menjadi acuan, sehingga semangat

nasionalisme dan keberpihakan pada rakyat semakin menjauh.

5.POKOK PERMASALAHAN

Selain tumpang-tindih lingkup kewenangan, UU sektoral juga

mengidap

disparitas substantif yang sangat rawan menimbulkan konflik,

seperti terefleksi dalam semangat dan ketentuan masing-masing

UU:

- UUPA mengemban filosofi tanah untuk mewujudkan

kemakmuran rakyat luas yang berkeadilan dengan

perlindungan golongan ekonomi lemah. Dalam Bab I UUPA

sudah ditetapkan asas-asas pengelolaan sumber daya agraria,

bahkan juga mengatur Hak Memungut Hasil Hutan bagi

masyarakat untuk memanfaatkan lebenstraumnya guna

memenuhi kebutuhan dan mengembangkan kehidupannya;

- UU Kehutanan mengemban substansi menjaga ekosistem

berorientasi pengelolaan bagi investor dengan menegasikan

6
peluang Hak Memungut Hasil Hutan bagi rakyat

sebagaimana diamanatkan dalam UUPA;

- UU Pertambangan menganut prioritas bagi pemegang ijin

untuk

melakukan pembebasan hak tanah dan hak keperdataan

eksisting tanpa memperhatikan kebutuhan hidup dan

lebenstraum masyarakat lokal dalam wilayah tambang.

Keberpihakan kepada investor menegasikan peluang

kemitraan saling menguntungkan dengan masyarakat lokal

yang umumnya memiliki hak-hak tradisional secara turun-

temurun atas lokasi.

Kesenjangan substansi dan tumpang tindih lingkup kewenangan

antar UU Sektoral sangat eksesif bagi timbulnya berbagai

masalah dikotomik dilapangan, yakni korporate terganggu oleh

masyarakat lokal, dan masyarakat tersisih serta kehilangan

akses pengembangan bahkan timbulnya konflik dimensional.

Kesadaran kembali mengenai pentingnya mempertahankan

prinsip dasar dalam UUPA muncul, melalui TAP MPR-RI Nomor

IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan SDA,

menugaskan Presiden bersama DPR, antara lain, (a). Agar dilakukan

7
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah yang berkeadilan dengan memperhatikan

kepemilikan tanah untuk rakyat; (b). Meningkatkan keterpaduan dan

kordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam

melakukan pembaruan agraria; (c) melakukan pengkajian ulang

terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor.

Selanjutnya melalui KEPRES No. 34 Tahun 2003 menugaskan Badan

Pertanahan Nasional melakukan percepatan ‘penyempurnaan UUPA’

dan menyusun peraturan perundangan agraria lainnya.

Sementara itu upaya penyempurnaan UUPA sejak tahun 2003, telah

mengalami berbagai tantangan sehingga berujung kesepakatan politik

antara BPN dengan Komisi II DPR RI pada tanggal 29 Januari 2007,

bahwa UUPA masih relevan dan mampu menghadapi dinamika

kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga belum mendesak

disempurnakan.

Populasi penduduk dan perkembangan tehnologi serta kemajuan

peradaban, terus menimbulkan tekanan dibidang pertanahan sehingga

membutuhkan diantaranya penyempurnaan UUPA, yang meliputi hal-

hal mendasar, antara lain:

8
(i) penegasan wawasan nusantara;

(ii) sumber daya tanah sebagai perekat tegaknya NKRI;

(iii) sumber daya alam milik Bangsa Indonesia;

(iv) mekanisme koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan

sumber daya agraria;

(v) rambu-rambu dalam pengelolaan sumber daya agraria;

(vi) penegasan hak azasi manusia dan kelestarian lingkungan

hidup

(vii) pengaturan wilayah perbatasan negara;

(viii) perlindungan pemilikan tanah pertanian skala kecil;

(ix) konsolidasi tanah terutama dalam peremajaan kota;

(x) land use planning, sebagai dasar Perencanaan Tata

Ruang Wilayah dengan memperhatikan

ekoregion;

(xi) perlindungan hak atas tanah rakyat dalam wilayah

tambang;

(xii) pegaturan hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;

(xiii) Hak Guna Ruang Bawah Tanah dan Guna Ruang Atas

Tanah;

(xiv) Pendaftaran Tanah Perairan Dangkal.

9
PASANG-SURUT KELEMBAGAAN

AGRARIA/PERTANAHAN.

VISI, MISI & Struktur Kelembagaan, mencerminkan arah dan

prioritas pembangunan setiap Orde Pemerintahan. Demikian tercermin

dari fluktuasi bentuk kelembagaan yang menyelenggarakan tugas-

tugas agraria/pertanahan sejak kemerdekaan.

Kelembagaan telah mengalami pasang-surut dari bentuk Departemen

Agraria, Dirjen Agraria DDN, Dirjen Agraria dan Transmigrasi,

Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Negara Agraria, dan saat ini

kembali menjadi Badan Pertanahan Nasional. Status dan bentuk

kelembagaan dimaksud sekaligus mencerminkan komitmen

pemerintah meletakkan strategi dan prioritas tugas

keagrariaan/pertanahan dalam kerangka pembangunan nasional.

Konsekwensi dari pasang-surut kelembagaan sangat mempengaruhi

kebijakan dan penerapannya, baik ditinjau dari segi efektivitas,

koordinasi, keserasian dan sinergitas program, pelaksanaan serta

pembiayaannya.

Tugas pokok dan fungsi lembaga pertanahan pada hakikatnya

menyelenggarakan kewenangan negara dalam hal mengatur hubungan

10
hukum dan perbuatan hukum antara subyek dan obyek penguasaan,

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya pertanahan/

keagrariaan sebagaimana diatur dalam UUPA.

Penyelenggaraan tugas keagrariaan/pertanahan bersifat multi dimensi,

sehingga kelembagaan yang menangani harus memiliki kewenangan

dan fungsi koordinatif secara nasional, sektoral dan regional.

Guna mendukung pelaksanaan tugas dan fungsinya secara optimal,

maka kelembagaan harus disertai kesiapan sumber daya manusia yang

cukup, memiliki integritas dan dedikasi yang tinggi serta kompetensi

yang sesuai.

Sejalan dengan itu, penyempurnaan UUPA juga perlu segera disertai

pengkajian semua UU Sektoral agar terjadi sinkronisasi.

Penyelenggaraan tugas pembaruan dan perombakan serta

pengaturan kembali struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan

tanah melalui Landreform atau Pembaruan Agraria harus dilaksanakan

secara berkelanjutan sebagai upaya untuk terus memelihara dan

menjamin keberlanjutan pengelolaan sumber daya tanah/agraria yang

berkeadilan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Institusi Pertanahan dapat memantaskan diri untuk peningkatan

kelembagaan dengan “membangun UU Pertanahan melalui

11
penyempurnaan UUPA” sebagai lex superior terhadap semua UU

Sektoral Sumber Daya Agraria, daripada membangun UU Pertanahan

secara parsial sebagai lex specialis.

Jakarta, 18 November

2013.

Dr. Muchtar Wahid.

12

Anda mungkin juga menyukai